DISUSUN OLEH :
YOLA AMEZHU P (228110088)
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
I. KONSEP DASAR FILSAFAT
Berbicara tentang filsafat umum tidakterlepas dari pikiran pokok atau gagasan
suatu wacana. Perkara umum adalah pintu masuk sebelum menuju ke pintu yang
lebih khusus terlepas apapun itu bidangnya. Ibarat dokter umum dan spesialis,
keduanya berbeda, namun memiliki hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Secara
kualitas, dokter umum mengetahui pengobatan dasar dari banyak penyakit.
Sementara dokter spesialis mengetahui lebih mendalam pengobatan dari bidang
tertentu saja. Seseorang yang ingin memasuki wilayah khusus dalam bidang ilmu,
standarisasinya harus melalui bidang umumnya terlebih dahulu.
Begitu juga dengan filsafat, berbicara filsafat umum berarti membahas banyak
tema tentang filsafat secara mendasar. Hal tersebut dianggap ideal agar studi filsafat
mudah diterima dan dicerna secara bertahap. Jika dikaitkan dengan ilmu
matematika, sebelum memasuki tahap yang lebih ekstrim, seorang pelajar dituntut
untuk memahami matematika dasar. Bahkan sebelum memahami matematika dasar
itu sendiri, seorang individu dituntut memahami perhitungan dasar seperti
penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian. Tanpa memahami alat hitung
tersebut, maka mustahil ilmu matematika yang lebih rumit dapat dikuasai dan
dipahami.
- ANAXIMANDROS (610-547)
Anaximandros disebut juga Anaximander yang merupakan murid
Thales yang berasal dari kota yang sama. selain ahli astronomi anaximandros
juga ahli geografi. Keahlian geografinya di tandai dengan penetapan beliau
sebagai orang pertama yang membuat peta dunia.
Berbeda dengan thales, menurut anaximandros alam (arche) bukan air
tetapi apeiron. apeiron adalah zat yang tak terhingga dan tak terbatas dan
tidak dapat dirupakan, tak ada persamaanya dengan segala sesuatu apapun
dan memiliki sifat keilahian dan abadi. Anaximandros berpendapat bahwa
proses terjadinya alam dari yang tak terbatas (apeiron) melalui proses
antagonis (pertentangan) diantara dua unsur yang berlawanan yaitu panas dan
dingin. Adapun proses terjadinya makhluk sama dengan gurunya Thales,
anaximandros berpendapat bahwa semua makhluk yang hidup dari air.
Apeirion yang digambarkan sebagai ilahi atau bersifat ilahi yang
menurut anaximandros berasal dari apeirion dan menjadi apeirion kembali.
- ANAXIMENES (585-494 SM)
Anaximenes adalah seorang murid anaximandros. Ia adalah filosuf
alam terakhir dari kota miletos. Pandangan filsafatnya sama dengan
pandangan gurunya. Menurut anaximenes, prinsip yang merupakan asal usul
segala sesuatu adalah udara, karena udaralah yang meliputi seluruh alam
serta udara pulalah yang menjadi dasar hidup bagi manusia yang amat di
perlukan oleh nafasnya.
- DEMOKRITOS (460-360 SM)
Demokritos adalah murid Leukipos, dan sama dengan pendapat
gurunya bahwa alam ini terdiri dari atom-atom yang bergerak-gerak tanpa
akhir, dan jumlahnya sangat banyak. Demokritos sependapat dengan
heraklitos, bahwa anasir yang pertama adalah api. Api terdiri dari atom yang
sangat halus, licin dan bulat. Atom apilah yang menjadi dasar dalam segala
yang hidup. Atom api adalah jiwa. Jiwa itu tersebar keseluruh badan kita,
yang menyebabkan badan kita kita bergerak. Waktu menarik nafas, kita tolak
ia keluar. Kita hidup hanya selama kita bernafas.
- PYTHAGORAS (580-500 SM)
Dikepulauan samos terdapat ahli pikir yang terkenal yaitu Pythagoras.
Hidup didunia menurut faham Pythagoras adalah persediaan buat akhirat.
Berlagu dengan music adalah sebuah jalan untuk membersihkan ruh. Dalam
kehidupan kaum Pythagoras music itu dimulianakan. Selain dari ahli mistik
Pythagoras juga sebagai ahli pikir, terutama Ilmu matamatik. Diantara
pengikut pengikut Pythagoras berkembanglah dua aliran, yang pertama
disebut akusmatikoi (akusm: apa yang telah didengar, peraturan), mereka
mengindahkan penyucian dengan mentaati semua peraturan. Yang kedua
disebut mathematikoi ( mathesis: ilmu pengetahuan ), mereka mengutamakan
ilmu pengetahuan, khususnya Ilmu pasti.
A. KRONOLOGI SEJARAH
a. Filsafat klasik
Istilah Klasik berarti kebudayaan Yunani yang dijelmakan ke dalam lapangan
kesusasteraan dan kesenian. Mereka berorientasi pada alam pikiran manusia untuk
mencari hakekat kebenaran dan bertujuan ingin mencapai kebahagiaan hidup.
Tokoh –tokohnya ialah Plato, Socrates dan Plotinus.
a. Aliran Rasionalisme
Rasionalisme merupakan aliran filsafat yang memandang bahwa akal
pikiran atau resiko adalah sebagai dasar pengetahuan manusia. Menurut
seseorang tokoh rasionalisme yaitu Ploto mengatakan bahwa pengetahuan diri
atas penangkapan aspek- aspek dari dunia sekitar kita. Aspek-aspek itu bersifat
menetap dan telah ada pada kita, itulah yang disbut dengan idea. Oleh karena
itu balajar menurutnya bukan lah memperoleh pengetahuan baru, akan tetapi
menyadarkan kita kepada pengetrahuan yang ada pada kita. Dengan kata lain
memperoleh pengetahuan itu pada hakikatnya adalah mengingat kembali.
Contohnya bagaimana kita dapat membuat segitiga dua kali lebih besar. Untuk
menjawab pertanyaan tersebut kita harus mengingat prinsip-prinsip ilmu ukur
yang ada pada kita.
Dari uraian diatas maka muncul pertanyaan kalau memang pengetahuan
itu telah ada pada kita, maka idea itu datangnya dari mana? Kemudian Plato
menjawab bahwa idea itu sudah dibawa sejak lahir, yang disebut dengan Doktrin
Innate Ideas. Selanjutnya Plato membedakan pengetahuan yang didasarkan
atas alat indera dengan pengetahuan yang didasarkan atas akal. Pengetahuan
yang didasarkan pada akal sehat disebut pengetahuan sejati. Sedangkan
pengetahuan yang didasarkan pada alat indera hanya menghasilkan pengetahuan
bayangan atau pendapat.
Selanjutnya tokoh rasionalisme yang lain Descartes mengatakan bahwa ia
selalu meragu-ragukan sesuatu. Menurutnya segala pengetahuan yang dimilikinya
selalu meragukannya. Dengan kesangsian terhadap kebenaran, maka Descartes
memutuskan untuk mempersoalkan segala sesuatu dengan metode kesaksian,
yaitu dimulai dengan metode kesaksian yang sistematik tentang sesuatu, dan
berusaha untuk mendapatkan apa yang mustahil dapat disangsikan. Menurut
kesangsian metodis adalah metode yang cocok untuk mempengaruhi sistem
filsafat.
Selanjutnya Descartes berusaha untuk mencari kebenaran mutlak. Ia ingin
menncari pengetahuan, keyakinan-keyakinan yang tidak dapat digoyahkan lagi,
dan ia juga ingin mencari dasar yang kokoh tentang kebenaran, sesuatu yang
menetap, dan yang pasti, itulah tujuannya. Descartes juga menemukan kreteria
pngetahuan yang tidak diragukan lagi, sehingga tercapai pada suatu kepastian
yang di dambakannya.
Unbtuk tercapainya suatu kepastian ia mengajukan suatu test. Descartes
mengatakan bahwa kalau saya menemukan bahwa satru segi saja dari
pengetahuan yang meragu- ragukan saya, maka saya akan menolak pengetahuan
yang didasarkan pada pengalaman, karena pengetahuan itu dipandangnya tidak
kokoh, tidak memenuhi tiga macam kreteria yang di kemukakannya, yaitu:
1) Apa yang disebut silap mata, yaitu sebagai manusia pasti ada
keterbatasan dari alat indera dimilikinya
2) berkhayal atau bermimpi, yaitu bahwa manusia dapat tidak sadar dan
bermimpi. Dengan demikian kita tidak bida menjamin bahwa manusia tidak
bermimpi atau tidak sadar pada suatu saat. Jadi dunia kita ini, baik dunia
jaga maupun dunia impian, selalu di dasrakan pada aturan tertentu.
3) Manusia diciptakan olah Tuhan, tetapi siapa yang menjamin bahwa
Tuhan itu memberi kemungkinan pada manusia dapat mengalami sesuatu
yang benar. Maka demikian ucapan Deacartes itu tidak sesuai ddengan
keyakinan agama bahwa Tuhan Maha Sempurna dan Maka Kuasa.
Karena pengetahuan melalui alat dria tidak memuaskan Descartes, maka ia
sampai pada suatu kegelisahan. Ia mengatakan bahwa karap kali keyakinan yang
suatu pada diri kita, yang senangi, teryata tidak benar. Namun bagaimana
Descartes sampai kepada kepastian bahwa “ ia berfikir maka ia ada “ (corgito
ergo sum), yaitu bahwa manusia itu adalah makhluk berfikir? Mengapa hal itu
dianggab muktlak dan tidak pasti? Descartes menjawab ia memperoleh kepastian
itu karena hal itu bagiannya sudah jelas dan tegas, atau tidak meragukannya lagi.
Pengertian jelas dan tegas yang di maksudkan Descrates adalah sebagai
berikut: saya akan menyebut sesuatu drengan tegas kalau hal itu dapat saya batasi
pada hal yang jelas itu, dan dapat dibedakannya dari hal-hal yang lain.
Pengetahuan itu barujelas bila telah mennjadi masalah bagi kita, dan ia akan
menjadi tegas apabila dapat dibatasi pada hal- hal yang jelas dari pengetahuan itu.
Descartes
b. Aliran empiris
Emperisme merupakan suatu aliran dalam filsafat yang tertuju pada
keduniaan, yang menentang sikap mentingkan dogma agama yang kaku. Berikut
akan dikemukankan pandangan tiga orang pendukung aliran emperismen yang
terkenal.
John Locke. Menurut John Locke mengarang buku yang terpenting yaitu
“Essay Concerning Human Understanding” berpendapat bahwa pengetahuan itu
bukanlah telah ada pada kita, tetapi ada diluar diri kita dan datang kepada kita
melalui alat indra.
c. Aliran idealisme
Herman Horne mengatakan idealisme merupakan pandangan yang
menyimpulkan bahwa alam merupakan ekspresi dari pikiran, juga mengatakan
bahwa subtansi dari dunia ini adalah dari alam pikiran serta berpandangan bahwa
hal-hal yang bersifat materi dapat dijelaskan melalui jiwa. Senada dengan itu,
Ahmad Tafsir mengemukakan bahwa dalam kajian filsafat, idealisme adalah
doktrin yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik hanya dapat dipahami dalam
ketergantungannya pada jiwa (mind) dan spirit (ruh). lstilah ini diambil dari
"idea", yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa.
Lebih lanjut George R. Knight menguiaikan bahwa idealisme pada
mulanya, adalah suatu penekanan pada realitas ide gagasan, pemikiran, akal pikir
daripada suatu penekanan pada objek-objek dan daya-daya materi. Idealisme
menekankan akal pikir (mind) sebagai hal dasar atau lebih dulu ada bagi materi
dan bahkan menganggap bahwa akal pikir adalah sesuatu yang nyata, sedangkan
materi adalah akibat yang ditimbulkan oleh akal pikir. Menurutnya, ini sangat
berlawanan dengan materialisme yang berpendapat bahwa materi adalah nyata
ada, sedangkan akal pikir (mind) adalah sebuah fenomena pengiring.
Dari ketiga pengertian di atas dapat dipahami bahwa idealisme merupakan
suatu aliran filsafat yang mempunyai pandangan bahwa hakekat segala sesuatu
ada pada tataran ide. Realitas yang berwujud sebenarnya lebih dulu ada dalam
realitas ide dan pikiran dan bukan pada hal-hal yang bersifat materi. Meskipun
demikian, idealisme tidak mengingkari adanya materi. Materi merupakan bagian
luar dari apa yang disebut hakekat terdalam, yaitu akal atau ruh, sehingga materi
merupakan bungkus luar dari hakekat, pikiran, akal, budi, ruh atau nilai. Dengan
demikian, idealisme sering menggunakan term-term yang meliputi hal-hal yang
abstrak seperti ruh, akal, nilai dan kepribadian. Idealisme percaya bahwa watak
sesuatu objek adalah spritual, non material dan idealistik.
Pemikiran idealisme ini selalu identik dengan Plato. Platolah yang sering
dihubungkan dengan filsafat idealisme. Pandangan seperti ini muncul, mengingat
bahwa pada dasarnya Plato merupakan bapak filsafat idealisme atau pencetus
filsafat idealisme. Menurut Plato hakekat segala sesuatu tidak terletak pada yang
bersifat materi atau bendawi, tetapi sesuatu yang ada dibalik materi itu, yakni ide.
Ide bersifat kekal, immaterial dan tidak berubah. Walaupun materi hancur, ide
tidak ikut musnah. Dalam mencari kebenaran, Plato berpendapat bahwa
kebenaran tidak dapat ditemukan dalam dunia nyata, sebab dunia nyata ternyata
tidak permanen dan selalu mengalami perubahan. Artinya bahwa dunia materi
bukanlah dunia yang sebenarnya, tetapi hal itu merupakan analogi atau ilusi
semata yang dihasilkan oleh panca indera.
Walaupun idealisme selalu dihubungkan dengan Plato, lahirnya idealisme
sebagai mazhab atau aliran filsafat bukanlah pada zaman Plato masih hidup.
Istilah idealisme untuk menunjukkan suatu aliran filsafat, baru dipakai pada abad
ke-19 M.
Aliran filsafat idealisme dalam abad ke-19 M, merupakan kelanjutan dan
pemikiran filsafat rasionalisme yang berkembang pada abad ke- 17 M. Para
pengikut aliran idealisme ini pada umumnya, filsafatnya bersumber dari filsafat
kritisismenya Immanuel Kant. Fichte (1762-1814) yang dijuluki sebagai penganut
idealisme subjektif adalah merupakan murid Kant. Demikian juga dengan
Schelling yang filsafatnya disebut dengan idealisme objektif Kemudian kedua
filsafat idealisme ini (subjektif dan objektif) disintesiskan dalam filsafat idealisme
mutlaknya Hegel (1770-1831).
d. Aliran positivisme
Positivisme merupakan aliran yang berorientasi pada ilmnu pengetahuan
alam. Timbulnya filsafat positivisme adalah sebagai reaksi tehadap spekulasi
theologis dan metafisis filsafat hegel. Aliran positivisme ini memberi tekanan
kepada fakta, kepada bukti- bukti yang konkrit kepada sesuatu yang diverifikasi.
Tokoh-tokoh utama aliran positivisme ini adalah Auguste Comte (1798-
1857), john Stuart Mill (1806-1903). Auguste Comte berpandangan bahwa alam
pikiran manusia berkembang menjadi tiga tahap: (1) religius, (2) metafisis, (3)
positivisme. Pada tahap relegius segala sesuatu diterangkan dari sudut pandangan
adanya pengaruh dan sebab-sebab yang melampaui kemampuan dan kondrat
manusia. Manusia memandang sesuatu dari sudut keyakinan baik politheisme
atau mototheisme. Pada taraf metafisis, segala sesuatu diterangkan oleh manusia
melalui abstrak, melalui perenungan metafesis.pada tingkat positivistis segala
sesuatu ingin diterapkan dari sudut pengetahuan yang bertolak dari hukum sebab
akibat yang sudah determinitis. Menurut Comte, ilmu pengetahuan termasuk
ilmu masyarakat, haruslah bersemangat positivisme, artinya dapat dialami dan
dapat dibuktikan dengan fakta-fakta berdasarkan hukum kausalitet. Comte sendiri
adalah ahli sosiologi dan dipandang sebagai bapak ilmu sosiologi modern.
Menurut positivisme Comte, kita harus menjahui diri dari pertanyaan
yang melampai bidang-bidang ilmu positif. Positivisme ingin mengetahui tentang
gejala, bukan hakikat kenyataan. Hubungan antara gejala-gejala disebut comte
sebagai. “ konsep- konsep” atau “hukum-hukum” dan hukum- hukum itu bersifat
positif. Pandangan metafisis dan spekulatif di pandangan oleh comte
sebagai tidak positif, tapi negatif. Karena itu filsafat comte bersifat anti
matematika.
Neo-positivisme Filsafat positifisme telah sangat berjasa bagi
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sekarang ini positivisme masih
hidup dalam aliran neo- positivisme sebagaimana yang di kembangkan oleh
kelompok sarjana yang tergabung dalam Wiener Kreis atau Vienna Circle
(lingkaran wina), atau disebut juga dengan sebutan: logika positivisme,
logica empiricism dan scientific empiricism. Pendirinya ialah Moritz Schilick
(1882-1936), dan tokoh yang lain ialah Hans Hahn (1879-1934) dan Rudolf
Carnap (1891-1979).
Menurut Neo-positivisme pengalaman itu hendaknya dijadikan sebagai
sumber satu- satunya bagi pengetahuan. Karena kurang tertib dalam
perumusan bahasa, maka neo- positivisme menurut analisa daripada istilah-
istilah yaitu penertiban dalam penggunaan bahasa. Pandangan mereka erat
hubungannya dengan logika modern. Banyak anggota”lingkaran wina” adalah
orang yahudi yang melarikan diri ke Amerika dan Inggris sebelu Hilter
menduduki Australia, sehingga kelompok ini tidak lama dalam hidupnya.
e. Aliran pragmatisme
Pragmatisme adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa kebenaran dari
segala sesuatu berdasarkan kepada manfaat yang diberikannya. Sesuatu hal ini
dinilai dari kebergunaannya bagi tindakan manusia untuk kehidupannya.
Pernyataannya dapat berbentuk ucapan, dalil atau teori. Pragmatisme muncul
sebagai tradisi pemikiran yang berasal dari dunia Barat dan berkembang
khususnya di Amerika. Kehadirannya sebagai suatu pemikiran yang berusaha
menjawab persoalan kehidupan manusia. Pragmatisme digolongkan sebagai salah
satu aliran filsafat abad ke-19 dalam sejarah filsafat Barat. Pelopor pemikiran
pragmatisme adalah seorang filsuf asal Amerika Serikat yang bernama Chales
Sanders Peirce (1839–1914). Tokoh yang berpengaruh dalam pemikiran
pragmatisme antara lain William James (1842–1910) dan John Dewey (1859–
1952).
Isitilah "pragmatisme" berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata pragma.
Kata ini memiliki banyak arti antara lain fakta, benda, materi, sesuatu yang
dibuat, kegiatan, tindakan, akibat atau pekerjaan. Dari kumpulan arti tersebut,
pragmatisme diberi pengertian sebagai pemikiran yang menguatamakan fungsi
gagasan di dalam tindakan. Di sisi lain, istilah "pragmatisme" diperoleh oleh
Charles Sanders Peirce dari pemikiran filsafat Immanuel Kant. Di dalam
pemikiran Kant terdapat dua kata yang mirip dengan arti yang berbeda, yaitu
praktisch dan pragmatisch. Kedua kata ini berasal dari bahasa Yunani yaitu
praktikos dan pragmatikos. Istilah praktisch diartikan sebagai tindakan yang
dilakukan untuk kepentingan dirinya sendiri. Jenis tindakan ini tidak ditemukan
dalam pengalaman secara nyata, melainkan hanya ada pada akal dan budi.
Sedangkan isitlah pragmatisch diartikan sebagai gerak yang dihasilkan oleh
kehendak manusia guna memberikan suatu tujuan definitif sebagai tahapan
penting untuk menjelaskan pemikiran secara benar.
Gagasan mengenai pragmatisme dikemukakan pertama kali oleh Charles
Sanders Peirce pada awal periode 1870-an pada pertemuan sebuah kelompok
filsafat bernama Metaphysical Club. Pertemuan tersebut diadakan di Cambridge,
Massachusetts secara tidak formal. Hasil diskusi dari pertemuan tersebut
dituliskan oleh Peirce menjadi dua buah artikel berjudul The Fixation of Belief
(1877) dan How to Make Our Ideas Clear (1878). Kedua artikel ini
dipublikasikan pada majalah bernama Popular Science Monthly.
Pragmatisme menjadi logika terhadap pengamatan sebagai dasar
pemikirannya. Pandangan ini menyatakan bahwa kenyataan dari dunia yang
terlihat oleh manusia merupakan fakta-fakta yang bersifat nyata, terpisah satu
sama lain dan individual. Dunia ditampilkan apa adanya, sehingga perbedaan
dapat diterima begitu saja. Perwujudan dari kenyataan selalu bersifat pribadi dan
bukan merupakan fakta umum karena hanya muncul dari pikiran manusia. Fungsi
pelayanan dan kegunaan menjadi alat pembenaran suatu gagasan. Pragmatisme
tidak membahas kajian filsafat mengenai kebenaran, khususnya yang berkaitan
dengan metafisika.
Pragmatisme merupakan aliran filsafat yang menilai kebenaran dari suatu
teori atau kepercayaan berdasarkan tingkat keberhasilan atau manfaatnya dalam
penerapan praktis. Persoalan utama bagi pragmatisme ialah mengenai daya guna
dari pengetahuan, bukan hakikat dari pengetahuan. Pandangan ini dilandasi oleh
pemikiran bahwa pengetahuan merupakan sarana bagi perbuatan. Pragmatisme
menyelesaikan permasalahan teoretis maupun praktis dalam kehidupan manusia
dengan mengandalkan penggunaan akal budi.
f. Aliran fenomenologi
Kata "fenomena" sebenarnya telah ada sejak Yunani Kuno yang berarti "hal
yang tampak dan tercerap oleh indra". Pemaknaan terma "fenomenologi" telah
digunakan sejak mazhab skeptik yang telah menghambat ide dogmatisme
metafisis mazhab pemikiran sebelumnya seperti Parmenides.
Dalam sejarah kefilsafatan, terma "fenomenologi" memiliki sekurangnya
tiga makna utama. Pertama adalah fenomenologi G. W. F. Hegel, kemudian
dalam tulisan Edmund Husserl pada tahun 1920, dan ketiga dalam tulisan mantan
asisten riset Husserl Martin Heidegger pada tahun 1927. Meski terma
fenomenologi dipakai di banyak karya sebelum Husserl, pemaknaan kontemporer
atas fenomenologi umumnya terkait pada metode Husserlian.
Terma "fenomenologi" modern dapat ditemukan jauh di abad ke-18 dan
dapat ditemukan di karya teolog Jerman Friedrich Christoph Oetinger (1702–
1782) dalam Philosophie der Alten dan Johann Heinrich Lambert dalam Über die
Methode, die Metaphysik, Theologie und Moral richtiger zu beweisen yang
membahas teori penampakan yang mendasari pengetahuan empiris.
Dalam Kritik der reinen Vernunft, Immanuel Kant (1724–1804) juga
menggunakan terma fenomenologi untuk menunjuk pada batas reseptif
pengetahuan atas realitas. Kant membagi realitas objek menjadi dua: pertama,
objek atas fenomena, yang manusia dapat cerap dan paham oleh indra dan budi,
dan; kedua, objek "pada dirinya sendiri" (an sich) atau noumena, yang tak tampak
di ruang dan waktu sehingga penilaian absah atas noumena tak dapat dilakukan.
Dalam perkembangan lebih lanjut, Hegel (1770–1831), dalam Phänomenologie
des Geistes, menyatakan bahwa fenomenologi dimengerti sebagai eksplorasi yang
tampak (fenomena) untuk mengetahui apa yang tak tampak di balik fenomena.
Pendekatan Hegel ini disebut fenomenologi dialektis.
Franz Brentano (1838–1917) menggunakan terma fenomenologi sebagai
psikologi deskriptif. Selain itu, Carl Stumpf (1848–1936), murid Brentano dan
mentor Edmund Husserl, menggunakan terma fenomenologi sebagai terma yang
merujuk pada pembahasan ontologi atas konten sensori.[butuh rujukan] Akan
tetapi, fenomenologi baru menjadi suatu bahasan dan metode filsafat kontemporer
independen setelah Husserl (1859–1938) menegakkannya pada awal abad ke-20.
Pada awalnya, Husserl mendirikan fenomenologi sebagai pembahasan "psikologi
deskriptif" dan berkembang menjadi ilmu transendental dan eidetis atas
kesadaran. Max Scheler (1874–1928) kemudian mengembangkan lebih lanjut
metode fenomenologi Husserl dan memperluas cakupan fenomenologi pada
reduksi atas metode saintifik.
Martin Heidegger (1889–1976) kemudian mengajukan kritik dan ekspansi
atas fenomenologi Husserl dan mengembangkan teori ontologi miliknya yang
mengarahkan pada konsep Dasein, manusia nondualistis yang eksis dalam dunia.
Heidegger kemudian menarik fenomenologi sebagai basis ontologis ketimbang
menjadikannya basis disiplin kajian filsafat seperti Husserl. Kembangan
Heidegger atas fenomenologi eksistensial amat berpengaruh pada pergerakan
eksistensialisme Prancis.
Praktik fenomenologi sebenarnya telah dilakukan sejak lama sebelum
formalisasi Husserl. Fenomenologi, dikembangkan oleh Husserl, dapat
dimengerti sebagai kembangan ide Kant mengenai hubungan fenomena–
noumena. Kant memahami bahwa noumena (hal-di-dalam-dirinya (Ding an sich)
yang secara fundamental tak dapat diketahui) harus dimengerti terpisah dari
fenomena (realitas yang tampak dan dicerap oleh budi). Kant dengan ini
menyatakan bahwa apa yang tercerap dan dirasakan oleh budi (sekumpulan
fenomena) adalah apa yang disebut realitas bagi individu. Atas dasar mengenai
konsepsi fenomena ini, fenomenologi berkembang dan menjadi studi makna
fenomena yang terisolasi yang terhubung dengan budi.
Di lain hal, fenomenologi Husserlian memiliki akar yang sangat kuat pada
pemikiran psikologi deskriptif Brentano. Psikologi deskriptif Brentano
memaparkan bahwa fenomena batiniah berdiri independen terhadap stimuli fisis
yang diterima budi. Kontras terhadap psikologi empiris, dengan premis tersebut
Brentano mendirikan konsep kesadaran intensional. Dalam artian lain,
intensionalitas tidak pernah tanpa merujuk pada sesuatu; intensionalitas selalu
merupakan kesadaran atas sesuatu.
Penemuan yang terkesan trivial tersebut melandasi pembahasan problem
filosofis fundamental—divisi objek–subjek dalam realitas. Didasari oleh
pengertian bahwa kesadaran bersifat intensional, problem divisi subjek–objek
dapat dilihat dari perspektif alternatif. Brentano pula berasumsi bahwa fondasi
logika takkan dapat ditemukan dalam psikologi natural. Melihat problem tersebut,
Husserl mengambil aspek tersebut dan mengembangkan gagasan psikologi
deskriptif Brentano menjadi fenomenologi transendental.
Praktik fenomenologi sebenarnya telah dilakukan sejak lama sebelum
formalisasi Husserl.Fenomenologi, dikembangkan oleh Husserl, dapat dimengerti
sebagai kembangan ide Kant mengenai hubungan fenomena–noumena. Kant
memahami bahwa noumena (hal-di-dalam-dirinya (Ding an sich) yang secara
fundamental tak dapat diketahui) harus dimengerti terpisah dari fenomena
(realitas yang tampak dan dicerap oleh budi). Kant dengan ini menyatakan bahwa
apa yang tercerap dan dirasakan oleh budi (sekumpulan fenomena) adalah apa
yang disebut realitas bagi individu. Atas dasar mengenai konsepsi fenomena ini,
fenomenologi berkembang dan menjadi studi makna fenomena yang terisolasi
yang terhubung dengan budi.
Di lain hal, fenomenologi Husserlian memiliki akar yang sangat kuat pada
pemikiran psikologi deskriptif Brentano. Psikologi deskriptif Brentano
memaparkan bahwa fenomena batiniah berdiri independen terhadap stimuli fisis
yang diterima budi. Kontras terhadap psikologi empiris, dengan premis tersebut
Brentano mendirikan konsep kesadaran intensional. Dalam artian lain,
intensionalitas tidak pernah tanpa merujuk pada sesuatu; intensionalitas selalu
merupakan kesadaran atas sesuatu.
Penemuan yang terkesan trivial tersebut melandasi pembahasan problem
filosofis fundamental—divisi objek–subjek dalam realitas. Didasari oleh
pengertian bahwa kesadaran bersifat intensional, problem divisi subjek–objek
dapat dilihat dari perspektif alternatif. Brentano pula berasumsi bahwa fondasi
logika takkan dapat ditemukan dalam psikologi natural. Melihat problem tersebut,
Husserl mengambil aspek tersebut dan mengembangkan gagasan psikologi
deskriptif Brentano menjadi fenomenologi transendental.
g. Aliran eksistensialisme
Eksistensialisme berarti filsafat mengenai aku, dan bagaimana aku hidup.
Dengan demikian, eksistensialisme adalah filsafat subyektif mengenai diri. Hal
ini terlihat pada ide-ide dari tiga eksistensialis terbesar Eropa: Soren Kierkegaard
(1813-1855), Martin Heidegger (1889-1976) dan JeanPaul Sartre (1905-1980).
Eksistensialisme Kierkegaard tercapai karena menemukan diri di hadapan
Tuhan. Bagi Heidegger, filsuf Jerman dengan karya Being & Time yang sangat
berpengaruh, diri terkait dengan ‘pengada otentik’, atau kecerdasan identitas.
Sementara bagi Sartre, diri serupa dengan konsep Descartes, tetapi dengan
meniadakan Tuhan. Diri bagi Sartre adalah pengakuan atas Tuhan. Karena, dalam
menciptakan manusia yang kita inginkan, tak ada satupun dari tindakan-tindakan
kita yang tidak sekaligus menciptakan gambaran tentang manusia sebagaimana ia
seharusnya.
Dalil diataslah, menurut Sartre lagi, yang menggambarkan diri kita sebagai
‘Tuhan kecil’ yang berada atau menyatu dalam diri kita, sekaligus yang ‘memiliki
kebebasan kita’ seperti sebuah kebajikan metafisik (Being & Nothingness,
1943:42)
Dari sudut etimologi eksistensi berasal dari kata “eks” yang berarti diluar
dan “sistensi” yang berarti berdiri atau menempatkan, jadi secara luas eksistensi
dapat diartikan sebagai berdiri sendiri sebagai dirinya sekaligus keluar dari
dirinya. Eksistensialisme merupakan suatu aliran dalam ilmu filsafat yang
menekankan pada manusia, dimana manusia dipandang sebagai suatu mahluk
yang harus bereksistensi, mengkaji cara manusia berada di dunia dengan
kesadaran. Jadi dapat dikatakan pusat renungan eksistensialisme adalah manusia
konkrit.
Eksistensialisme didefinisikan sebagai usaha untuk memfilsafatkan sesuatu
dari sudut pandang pelakunya, di bandingkan cara tradisonal, yaitu dari sudut
penelitinya. Eksistensialisme memberi perhatian terhadap masalah-masalah
kehidupan manusia modern. Eksistensialisme menekankan tema eksistensi
pribadi yang dibandingkan dengan eksistensi manusia secara umum,
kemustahilan hidup dan pertanyaan untuk arti dan jaminan kebebasan manusia,
pilihan dan kehendak, pribadi yang terisolasi, kegelisahan, rasa takut yang
berlebihan dan kematian.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.academia.edu/6835955/FILSAFAT_ALAM_SEBAGAI_SIFAT_DEMITOLOGI
http://pendidikan-aliefachrilla.blogspot.com/2015/10/kedudukan-filsafat-sebagai-sifat.html
https://uin-malang.ac.id/r/131101/relasi-filsafat-ilmu-dan-agama.html#:~:text=Ilmu%2C%20filsafat
%20dan%20agama%20memiliki,akan%20memperoleh%20kebahagiaan%20yang%20sebenarnya.
https://www.academia.edu/29361952/
MAKALAH_RUANG_LINGKUP_FILSAFAT_Filsafat_umum_Ronaldo_Nazar_1632600052_2#:~:text=ilm
u%2Dilmu%20khusus.-,Ruang%20lingkup%20fisafat%20adalah%20segala%20sesuatu%20lapangan
%20pemikiran%20manusia%20yang,obyek%20filsafat%20itu%20tidak%20terbatas.
https://core.ac.uk/download/pdf/130811768.pdf
file:///C:/Users/ASUS/Downloads/Konsep%20Dasar%20Filsafat%202020.pdf
file:///C:/Users/ASUS/Downloads/626-Article%20Text-1755-1-10-20210703%20(1).pdf
https://www.academia.edu/37587804/FILSAFAT_ABAD_PERTENGAHAN
https://www.academia.edu/11382855/
Pengantar_Filsafat_Pengertian_Ciri_ciri_Misi_Lapangan_dan_Urgensi_Filsafat
file:///C:/Users/ASUS/Downloads/4875-10489-1-SM.pdf
https://afidburhanuddin.wordpress.com/2014/05/07/pengertian-dan-ruang-lingkup-filsafat-
ilmu-7/
https://serupa.id/filsafat-umum/
https://repository.ar-raniry.ac.id/id/eprint/15508/1/Editor-Book_G.A_Filsafat_Umum.pdf