1. Jelaskan kaidah-kaidah yang menjadi pedoman para Ulama dalam menafsirkan alQuran?
Jawab:
2. Sebutkan syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mufassir dalam menafsirkan alQuran?
Jawab:
Menafsirkan Al-Quran merupakan amanah berat. Oleh karena itu, tidak setiap orang
memiliki otoritas untuk mengemban amanah tersebut. Siapa saja yang ingin menafsirkan
Al-Quran harus memenuhi syarat-syarat tertentu.
Syarat mufassir secara umum terbagi menjadi dua: aspek pengetahuan dan aspek
kepribadian.
a. Syarat Pertama: Aspek Pengetahuan
Imam Jalaluddin As-Suyuthy dalam Al-Itqn f Ulm al-Qurn menyebutkan
lima belas ilmu yang harus dikuasai oleh seorang mufassir, yakni:
1) Bahasa Arab karena dengannya seorang mufassir mengetahui penjelasan kosakata
suatu lafal dan maksudnya sesuai dengan objek
2) Nahwu karena suatu makna bisa saja berubah-ubah dan berlainan sesuai dengan
perbedaan irab.
3) Tashrf (sharaf) karena dengannya dapat diketahui bin (struktur) dan shghah
(tense) suatu kata.
4) Isytiqq (derivasi) karena suatu nama apabila isytiqqnya berasal dari dua subjek
yang berbeda, maka artinya pun juga pasti berbeda. Misalnya () , apakah
berasal dari ( ) atau ().
5) Al-Mani karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkb (komposisi) suatu
kalimat dari segi manfaat suatu makna.
6) Al-Bayn karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkb (komposisi) suatu
kalimat dari segi perbedaannya sesuai dengan jelas tidaknya suatu makna.
7) Al-Bad karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkb (komposisi) suatu
kalimat dari segi keindahan suatu kalimat.
8) Ilmu qirah karena dengannya dapat diketahui cara mengucapkan Al-Quran dan
kuat tidaknya model bacaan yang disampaikan antara satu qri dengan qri
lainnya.
9) Ushluddn (prinsip-prinsip dien) yang terdapat di dalam Al-Quran berupa ayat
yang secara tekstual menunjukkan sesuatu yang tidak boleh ada pada Allah taala.
Seorang ahli ushul bertugas untuk menakwilkan hal itu dan mengemukakan dalil
terhadap sesuatu yang boleh, wajib, dan tidak boleh.
10) Ushul fikih karena dengannya dapat diketahui wajh al-istidll (segi penunjukan
dalil) terhadap hukum dan istinbth.
11) Asbbun Nuzl (sebab-sebab turunnya ayat) karena dengannya dapat diketahui
maksud ayat sesuai dengan peristiwa diturunkannya.
12) An-Nsikh wa al-Manskh agar diketahui mana ayat yang muhkam (ditetapkan
hukumnya) dari ayat selainnya.
13) Fikih.
14) Hadits-hadits penjelas untuk menafsirkan yang mujmal (global) dan mubham
(tidak diketahui).
15) Ilmu muhibah, yaitu ilmu yang Allah taala anugerahkan kepada orang yang
mengamalkan ilmunya.
Menurut Ahmad Bazawy Adh-Dhawy , maka ia harus menguasai tiga syarat
pengetahuan tambahan selain lima belas ilmu di atas. Tiga syarat pengetahuan
tersebut adalah:
1) Mengetahui secara sempurna ilmu-ilmu kontemporer hingga mampu memberikan
penafsiran terhadap Al-Quran yang turut membangun peradaban yang benar agar
terwujud universalitas Islam.
2) Mengetahui pemikiran filsafat, sosial, ekonomi, dan politik yang sedang
mendominasi dunia agar mufassir mampu mengcounter setiap syubhat yang
ditujukan kepada Islam serta memunculkan hakikat dan sikap Al-Quran Al-Karim
Metode Maudhui
Metode Muqaran
1.
2.
4. Jelaskan sejarah hidup Ibnu Katsir dan bagaimana corak penafsiran al-Quran menurut
Ibnu Katsir?
Jawab:
a. Sejarah Hidup Ibnu Katsir
Ibnu Katsir dilahirkan di Basyra, 700 H/1300 M, dan wafat di Damakus bulan
Syaban 774 H/Februari 1373. Nama lengkapnya adalah Imaduddin Ismail bin Umar bin
Katsir. Ia seorang ulama yang terkenal dalam ilmu tafsir, hadits, sejarah, dan fiqih. Ia
berguru kepada banyak ulama terkenal, termasuk Ibnu Taimiyah. Semasa muda,
Imaduddin Ismail menduduki banyak jabatan penting di bidang pendidikan. Beliau juga
menjadi guru besar di Masjid Umayyah Damaskus. Ia juga aktif menulis buku tafsir,
yakni Tafsir Ibnu Katsir yang terdiri dari 10 jilid. Juga Fadail al-Quran (Keutamaan
Alquran). Dia juga menulis buku sejarah. Salah satu yang paling terkenal adalah alBidayah wa an-Nihayah (Permulaan dan Akhir), yang sering dijadikan rujukan utama
dalam penulisan sejarah Islam. Ibnu Katsir juga menulis banyak buku hadits dan fiqih.
Sebut saja, Kitab Jami as-Masanid wa as-Sunan (Kitab Penghimpunan Musnad dan
Sunan), al-Kutub as-Sittah (Kitab-kitab Hadis yang Enam), dan al-Mukhtasar
(Ringkasan).
Ibnu Katsir (Imam al-Hafidz Imaduddin Abul-Fida Ismail bin Katsir) merupakan
salah seorang ulama tafsir terkemuka. Karyanya, Tafsir Ibnu Katsir, merupakan salah
satu tafsir klasik Alquran yang menjadi pegangan kaum Muslimin selama berabad-abad.
Ibnu Katsir telah melakukan suatu kajian tafsir dengan sangat teliti, dilengkapi dengan
hadis-hadis dan riwayat-riwayat yang masyhur. Kecermatan dan kepiawannya dalam
menafsirkan Kitab Suci Alquran yang mulia, menjadikan Tafsir Ibnu Katsir sebagai kitab
rujukan di hampir semua majelis kajian tafsir di seluruh dunia Islam.
Namun satu hal yang tidak dapat dipungkiri, kedalaman kajian dan terjadinya
banyak pengulangan di dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir menjadikan kitab itu tebal dan
berjilid-jilid. Atas dorongan para ulama Yaman, Maroko, Mesir, Arab Saudi, dan
Libanon, akhirnya Muhammad Nasib ar-RifaI (seorang ulama asal Suriah) meringkas
kitab tafsir itu menjadi hanya empat jilid saja. Penerbit Gema Insani telah
menerjemahkan dan menerbitkan keempat jilid lengkap buku Ringkasan Tafsir Ibnu
Katsir itu.
b. Corak Penafsiran al-Quran menurut Ibnu Katsir
Adapun dari segi corak, tafsir Ibnu Kasir tergolong kepada tafsir yang bercorak bil
masur, karena dalam upaya menafsirkan suatu ayat beliau sangat dominan dalam
menafsirkannya menggunakan riwayat, pendapat sahabat, serta tabiin, meskipun
sebagian kecilnya beliau menggunakan royu. Secara umum, langkah-langkah
penafsirannya dapat dibagi sebagai berikut:
1) Menafsirkan ayat dengan ayat, yaitu beliau menjelaskan maksud suatu ayat dengan
ayat yang lain.
2) Menafsirkan ayat dengan riwayat atau hadis, yaitu ketika beliau tidak menemukan
ayat yang mempunyai keterkaitan dengan ayat yang sedang di tafsirkan, maka beliau
mencari riwayat yang menjelaskan ayat tersebut. Akan tetapi, sekalipun beliau
menemukan ayat lain yang berhubungan dengan ayat yang sedang beliau tafsirkan,
beliau tetap mencantumkan hadis atau riwayat. Namun hanya berfungsi untuk
melengkapi penjelasan.
3) Menafsirkan ayat dengan perkataan sahabat, yakni dalam menafsirkan suatu ayat
terkadang Imam Ibnu Kasir menukil perkataan sahabat yang berkenaan dengan ayat
tersebut.
4) Menafsirkan ayat dengan perkataan tabiin. Dalam corak tafsir bi al-masur
penafsiran al-Quran dengan menukil perkataan tabiin adalah cara yang paling akhir.
5) Menafsirkan ayat dengan royu. Sebenarnya ini adalah cara yang tidak disenangi oleh
Ibnu Kasir, namun beliau membolehkannya asal memenuhi syarat-syarat tertentu.