Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

PENDEKATAN SOSIOLOGIS STUDI ISLAM

(Dakwak Para Wali Kepada Masyarakat)

Diajukan Sebagai Tugas Mata Kuliah Pendekatan Studi Islam

Dosen Pengampu Dr. H. Akhmad Patah, M.Ag.

ABDU RABBI FAQIHUDDIN : 18201010024

MAGISTER BAHASA DAN SASTRA ARAB

FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

2018
BAB I

Pendahuluan

Petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana yang terdapat


dalam sumber ajarannya al-Qur’an dan Hadits terlihat sangant ideal dan agung. Islam
mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi
kebutuhan material dan spiritual, senantiasa menggembangkan kepedulian sosial, menghargai
waktu, bersikap terbuka, demokratis, berorientasi pada kualitas, egaliter, berahlak mulia dan
bersikap positif lainnya.

Kehadiran agama saat ini dituntut untuk terlibat secara aktif dalam memecahkan
berbagai persoalan yang dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh hanya dijadikan sekedar
lambang kesolehan, tetapi secara konsepsional mampu menunjukkan cara-cara yang efektif
dalam memecahkan masalah. Tuntunan terhadap agama seperti itu dapat dijawab manakala
pemahaman agama yang selama ini banyak menggunakan pendekatan teologis normatif
dilengkapi dengan pemahaman agama yang menggunakan pendekatan lain yang secara
operasional dapat memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul. Berbagai pendekatan
tersebut diantaranya pendekatan teolegis normatif, antropologis, sosiologis, psikologis,
historis, kebudayaan dan pendekatan filosofis. Pentingnya pendekatan sosiologis dalam
memahami agama dapat difahami karena banyak sekali ajaran agama yang berkaitan dengan
masalah sosial. Melalui pendekatan sosiologis, agama akan dapat dipahami dengan mudah,
karena agama itu sendiri diturunkan untuk kepentingan sosial.

Dengan menyebarnya kaum muslimin di berbagai wilayah, dengan terbentuknya


kaum muslimin sebagai masyarakat sosial, maka secara otomatis kajian-kajian ke-Islaman,
khususnya tentang masyarakat kaum muslimin layak untuk didekati dengan pendekatan
sosiologis. Karena sosiologi itu sendiri merupakan ilmu yang berkenaan dengan masyarakat
sosial, hubungan yang terjadi di dalamnya dan pengaruhnya kepada struktur masyarakat
tersebut.

Islam memang tidak akan dapat dipahami dengan universal dan humanis tanpa
mendekatinya dengan pendekatan sosiologis. Beberapa gejala dalam masyarakat kaum
muslimin, selain juga bisa didekati dengan beberapa pendekatan lain, tentu menyediakan
ruang untuk dikaji dengan pendekatan sosiologis. Karena banyak bidang kajian agama yang
baru dapat dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan
sosiologi, di sinilah letaknya sosiologi sebagai salah satu instrumen dalam memahami ajaran
agama.1

Berdasarkan penjelasan di atas, maka pada makalah ini penulis akan menguraikan
tentang pendekatan sosiologis sebagai pendekatan kajian-kajian keislaman yang dapat

1
Abuddin Nata, Metodelogi Studi Islam. Jakarta: Grafindo Persada, 2001. h 39.
melahiskan studi-studi keislaman yang lebih dinamis terhadap gejala-gejala sosial yang
terjadi di masyarakat.

BAB II

Pembahasan

A. Metode Pendekatan Sosiologis

Untuk menghasilkan suatu teori, maka kajian-kajian ilmiah harus memiliki


pendekatan-pendekatan, demikian halnya dengan teori-teori sosiologi. Ada tiga
pendekatan utama sosiologi, yaitu:

1. Pendekatan struktural-fungsional.

Ini merupakan interdisiplin ilmu antara pendekatan strukturalisme dan


fungsionalisme. Pendekatan strukturalisme akan mengkaji struktur kehidupan
masyarakat dengan mengabaikan fungsi dari setiap struktur tersebut. Pendekatan
ini hanya melihat masyarakat sebagai sebuah komponen yang memiliki struktur
pembangun di dalamnya. Sedangkan fungsionalisme lebih cenderung kepada
kajian bahwa setiap komponen dalam masyarakat mempunyai fungsi dan peran di
dalam masyarakat. Kajian ini mengutamakan fungsi tersebut dan lebih
mengabaikan struktur, bahwa setiap komponen harus berfungsi selayaknya, jika
tidak maka akan terjadi kepincangan dalam kehidupan sosial.

Maka kombinasi antara strukturalisme dan fungsionalisme ini memandang


bahwa masyarkat tidak hanya sebagai kesatuan struktur saja atau fungsi saja, tapi
cenderung untuk mengkaji masyarakat baik dari strukturnya maupun fungsinya dan
hubungan di antara keduanya.

Pendekatan struktural-fungsional terkenal pada akhir 1930-an, dan


mengandung pandangan makroskopis terhadap masyarakat. Walaupun pendekatan
ini bersumber pada sosiolog-sosiolog Eropa seperti Max Webber, Emile Durkheim,
Vill Predo Hareto, dan beberapa antropog sosial Inggris, namun yang pertama yang
mengemukakan rumusan sistematis mengenai teori ini adalah Halcot Parsons, dari
Harvard. Teori ini kemudian dikembangkan oleh para mahasiswa Parson, dan para
murid mahasiswa tersebut, terutama di Amerika.

2. Pendekatan Konflik.

Adapun pendekatan konflik merupakan pendekatan alternatif paling


menonjol saat ini terhadap pendekatan struktural-fungsional sosial makro. Karl
Marx (1818-1883) adalah tokoh yang sangat terkenal sebagai pencetus gerakan
sosialis internasional. Meskipun sebagian besar tulisannya ia tujukan untuk
mengembangkan sayap gerakan ini, tetapi banyak asumsinya yang dalam
pengertian modern diakui sebagai teori sosiologis.2 Namun para pengikut
sosiologi Marx menggunakan pedoman-pedoman sosiologis dan ideologi Marx
secara sangat eksplisit, sedangkan praktek ideologis hanya secara implisit
terdapat dalam tulisan-tulisan para penganut pendekatan sturuktural-fungsional.

Ia menganggap cara produksi di sepanjang sejarah manusia secara


sedemiikian rupa, sehingga sampai-sampai ia berpandangan sumber daya
ekonomi dikuasai oleh segelintir orang tertentu, sementara golongan masyarakat
lainnya ditakdirkan untuk bekerja untuk mereka dan tetap bergantung pada
kemurahan hati segelintir penguasa.

Bertolak dari memandang sejarah manusia dengan cara seperti ini, Marx
mengajukan teori sosialismenya yakni sautu solusi final agar seluruh sumber daya
dapat dimiliki oleh semua orang. Revolusi-revolusi lanjutan tidak lagi diperlukan
karena idealnya tidak akan adala lagi kelaparan,peng eksploitasian dan konflik.

3. Pendekatan Interaksionisme-Simbolis.

Pendekatan ini juga merupakan pendekatan yang menggunakan


interdisiplin, yakni interaksionisme yakni sebuah pendekatan yang mengkaji
hubungan-hubungan yang terjadi di masyarakat.3 Kemudian pendekatan ini
digabungkan dengan pendekatan simbolisme dengan asumsi bahwa semua
interaksi dalam masyarakat hanya akan terlihat dengan jelas bila dihubungkan
dengan simbol-simbol yang berlaku di kalangan mereka.

Sedangkan pendekatan interaksionisme-simbolis merupakan sebuah


perspektif mikro dalam sosiologi yang barang kali sangat spekulatif pada tahapan
analisanya sekarang ini. Tetapi pendekatan ini mengandung sedikit sekali
prasangkan ideologis, walaupun meminjam banyak dari lingkungan Barat tempat
dibinanya pendekatan itu.

Sebagaimana dipesankan oleh namanya, interaksionisme-simbolis lebih


sering disebut sebagai pendekatan interaksionis saja-bertolak dari interaksi sosial
pada tingkat paling minimal. Dari tingkat mikro ini, tidak seperti jenis lain
psikologi sosial, ia diharapkan memperluas cakupan analisisnya guna menangkap
keseluruhan masyarakat sebagai penentu proses dari banyak interaksi. Manusia
dipandang mempelajari situasi-situasi yang bisa serasi atau bisa pula
menyimpang, mempelajari situasi-situasi transaksi-trasnsaksi politis dan

2
osefh S, Sosiologi Sebuah Pengenalan, terj. Sahat Simamora, (Jakarta: Bina Aksara, 1984), h. 22.
3
Ilyas Ba-Yunus dan Farid Ahmad, Sosiologi Islam: Sebuah Pendekatan, terj. Hamid Ba-Syaib, (Bandung: Mizan,
1996), h. 20-24.
ekonomis, situasi-situasi di dalam dan diluar keluarga, situasi-situasi permainan
dan pendidikan, situasi-situasi organisasi, formal dan informal dan seterusnya.

Ketiga pendekatan sosiologi (struktural-fungsional, konflik dan


intraksionisme-simbolis) yang telah disebutkan pada bagian terdahulu, adalah
pendekatan sosiologi kontemporer yang dibangun berdasarkan objek masyarakat
barat, karenanya pendekatan tersebut tidak bersifat universal. Pemikiran barat
tidak saja jauh dari dan kerap kali bertentangan dengan persepsi-persepsi lokal
dalam masyarakat-masyarakat non-Barat, tetapi juga tidak mampu menjelaskan
problem yang dewasa ini dihadapi oleh masyarakat-masyarakat ini.

Tidak sedikit contoh tentang kelemahan dalam sosiologi ini. Misalnya


teori tentang kejahatan dan pelanggaran serta penyimpangan yang didasarkan
pada pengalaman-pengalaman dan penelitian-penelitian di pusat kota New York
dan Chicago, tidak menjelaskan masalah kejahatan dan penyimpangan yang ada
di Uni Soviet, Fakistan, Mesir, Indonesia dan masyarakat-masyarakat serupa
lainnya.4

Upaya-upaya sosialisasi modern untuk menjelaskan stratifikasi sosial,


perkawinan dan keluarga, juga dapat dikatakan tidak memadai untuk
menerangkan masyarakat-masyarakat non-Barat. Dan jika diperhatikan lebih
dekat, akan ditemukan banyak perbedaan dalam pendekatan-pendekatan yang
dianut dikalangan sosiolog-sosiolog satu Negara Barat dan Negara Barat lainnya.

Memang telah ada upaya-upaya untuk meredakan perbedaan-perbedaan


sosiologis antara satu Negara Barat dengan Negara Barat lainnya. Perbedaan-
perbedaan ini bisa dihilangkan dengan interaksi yang lebih akrab antara para
sosiolog Eropa dan Amerika, tetapi akan tetap dirasakan adanya kenyataan yang
janggal bahwa pendekatan-pendekatan sosiologis Barat didasarkan pada asumsi-
asumsi dan penelitian-penelitian yang asing bagi realitas sosial di masyarakat
non-Barat.

Bila dialihkan perhatian, dari masyarakat Barat pada umumnya, ke


masyarakat Muslim atau wilayah yang berkebudayaan Islam pada khususnya,
maka akan terlihat bahwa studi sistematis mengenai Islam merupakan suatu
bidang yang benar-benar tidak diperdulikan dalam sosiologi. Nyaris tidak satu
pun studi sosiologis tentang Islam dan masyarakat-masyarakat Muslim.5

B. Karakteristik dasar Pendekatan Sosiologis


Teorisasi sosiologis tentang karakteristik agama serta kedudukan dan signifikansinya
dalam dunia sosial, mendorong untuk ditetapkannya serangkaian kategori sosiologis,
meliputi:

4
Ibid.. hal. 29.
5
Ibid.. hal. 30.
1. Stratifikasi sosial, seperti kelas dan etnisitas.
2. Kategori biososial, seperti seks, gender, perkawinan, keluarga, masa kanak-kanak
dan usia
3. Pola organisasi sosial meliputi politik, produksi ekonomis, sistem pertukaran dan
birokrasi.
4. Proses sosial, seperti formasi batas, relasi intergroup, interaksi personal,
penyimpangan dan globalisasi.

Peran kategori-kategori dalam studi sosiologi terhadap agama ditentukan oleh


pengaruh paradigma utama tradisi sosiologi dan oleh refleksi empiris dari organisasi
dan perilaku keagamaan. Paradigma fungsionalis yang mula-mula berasal dari
Durkheim dan kemudian di-kembangkan oleh sosiolog Amerika Utara Talcott
Parsons, secara khusus memiliki pengaruh kuat dalam sosiologi agama. Parsons
melihat bahwa masyarakat adalah suatu sistem sosial yang dapat disamakan dengan
ekosistem. Bagian-bagian unsur sistem sosial memiliki fungsi esensial kuasi organik
yang memberikan kontribusi terhadap kesehatan dan vitalias sistem sosial serta dapat
menjamin kelangsungan hidup manusia.

Sedangkan bagi Bryan Wilson, agama memiliki fungsi manifes dan fungsi
laten. Fungsi manifesnya adalah memberikan keselamatan identitas personal dan jiwa
bagi laki-laki dan perempuan. Sedangkan fungsi latennya adalah memberdayakan
personal dan spiritual dalam menghadapi gangguan emosional inner, kondisi spiritual
dan upaya untuk menghadapi ancaman keimanan dan penyembahan.

Untuk mendapatkan gambaran dari persoalan-persoalan yang dikaji, para


sosiolog menggunakan dua corak metodologi penelitian, yaitu kuantitatif dan
kualitatif. Penelitian kuantitatif dalam sosiologi agama disandarkan pada skala besar
survey terhadap keyakinan keagamaan, nilai-nilai etis dan praktik kehadiran di gereja.
Pendekatan seperti ini digunakan oleh Rodney Stark dan William Bainbridge dalam
The Future of Religion saat mengumpulkan sejumlah besar database statistik nasional
dan regional tentang kehadiran di gereja dan keanggotaan peribadatan dalam upaya
menghasilkan teori sosial yang telah direvisi mengenai posisi agama dalam
masyarakat modern. Sedangkan penelitian kualitatif terhadap agama disandarkan pada
komunitas atau jamaah keagamaan dalam skala kecil dengan menggunakan metode
seperti pengamatan partisipan atau wawancara mendalam. Metode ini diprakarsai oleh
Max Weber dan kemudian disempurnakan oleh Ernst Troeltsch dari Jerman. Jelasnya
bahwa dua metode tersebut (kuantitatif dan kualitatif) dapat digunakan untuk meneliti
agama melalui pendekatan sosiologi.

C. Objek Kajian Dalam Pendekatan Sosiologi


Menurut M. Atho Mudzhar, pendekatan sosiologi agama dapat mengambil beberapa
tema atau obyek penelitian,6 seperti:

6
M. Atho Mudzhar, Studi Hukum Islam dengan Pendekatan Sosiologi, Pidato Pengukuhan Guru Besar IAIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 15 September 1999.
1. Studi tentang pengaruh agama terhadap perubahan masyarakat.
2. Studi tentang pengaruh struktur dan perubahan masyarakat ter-hadap pemahaman
ajaran atau konsep keagamaan.
3. Studi tentang tingkat pengalaman beragama masyarakat.
4. Studi pola interaksi sosial masyarakat muslim.
5. Studi tentang gerakan masyarakat yang membawa paham yang dapat melemahkan
atau menjunjung kehidupan beragama.

Setiap tema yang dikaji, setidaknya tetap relevan dengan teori sosiologi, baik
teori fungsionalisme, konflik maupun interaksionalisme. Teori fungsionalisme dan
konflik bekerja dengan cara analisis makro sosiologi yaitu memfokuskan
perhatiannya pada struktur sosial. Adapun teori interaksionalisme dengan cara analisis
mikro, yaitu lebih mem-fokuskan perhatiannya pada karakteristik personal dan
interaksi yang terjalin antar individu.

D. Pendekatan Sosiologis Dalam Studi Islam

Pentingnya pendekatan sosiologi dalam memahami agama, dapat dipahami,


karena banyak sekali ajaran agama yang bekaitan dengan masalah sosial. Besarnya
perhatian agama terhadap masalah sosial ini selanjutnya mendorong kaum agama
memahami ilmu-ilmu sosial sebagai alat untuk memahami agamanya.

1. Perhatian Agama Islam Terhadap Masalah Sosial

Alasan besanya perhatian agama yang dalam hal ini adalah Islam terhadap masalah
sosial adalah:

a. Dalam al-Qur’an atau kitab-kitab hadis, proporsi terbesar kedua sumber hukum
Islam itu berkenaan dengan urusan muamalah.

b. Bahwa ditekankannya masalah muamalah (sosial) dalam Islam ialah adanya


kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan
muamalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (tentu
bukan ditinggalkan), melainkan dengan tetap dikerjakan sebagaimana mestinya.

c. Bahwa ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar
dari pada ibadah yang bersifat persorangan. Karena itu salah yang dilakukan secara
berjamaah dinilai lebih tinggi nilainya daripada salat yang dikerjakan sendirian
(munfarid) dengan ukuran satu berbanding dua puluh derajat.

d. Dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau
batal, karena melanggar pantangan tertentu, maka kifaratnya (tebusannya) ialah
melakukan sesuatu yang berhubungan dengan msalah sosial. Bila puasa tidak
mampu dilakukan misalnya, jalan keluarnya adalah dengan membayar fidyah
dalam bentuk memberi makan bagi orang miskin.
e. Dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan
mendapat ganjaran lebih besar daripada ibadah sunnah. Dalam hubungannya
dengan ini misalnya membaca hadits yang artinya sebagai berikut.

“Orang yang bekerja keras untuk menyantuni janda dan orang miskin, adalah
seperti pejuang di jalan Allah (atau aku kira beliau berkata) dan seperti orang yang
terus menerus salat malam dan terus menerus berpuasa”. (H.R. Bukhari dan
Muslim).7

Manusia sebagai makhluk yang mempunyai aneka ragam sebutan pada


prinsipnya adalah makhluk yang saling bergantung pada sesamanya, baik yang
menyangkut sandang, pangan, papan, keselamatan diri dan harta, harga diri,
potensi untuk berkembang maupun kasih sayang, di samping kebergantungan di
bidang politik,

ekonomi, budaya, dan hukum. Kebergantungan itu menunjukkan bahwa


manusia saling membutuhkan dalam banyak aspek, guna memenuhi hasrat dan
kebutuhan hidupnya masing-masing. Kebutuhan itu satu sama lain terkadang saling
bertentangan ; kalau tidak diatur dalam suatu kaidah atau norma yang jelas, itu bisa
menimbulkan kekacauan karena masing-masing berusaha sebisa mungkin
memenuhi obsesi hidupnya. Norma tersebut adalah mekanisme pengendalian social
(mechanism of social control) yang dilakukan untuk melaksanakan proses untuk
mendidik, mengajak, atau bahkan emmaksa individu atau masyarakat agar
menyesuaikan diri dengan kaidah-kaidah dan nilai-nilai kehidupan.8

Dengan adanya norma-norma (yang paling penting diantaranya adalah norma-


norma agama) memungkinkan disesuaikannya tingkah laku manusia dengannya.
Namun penyesuaian (terhadap norma-norma sosial) itu ternyata lebih besar
kemungkinannya apabila norma-norma itu ditunjang oleh ganjaran-ganjaran dan
hukuman-hukuman yang berat. Ganjaran-ganjaran dan hukuman-hukuman (atau
sanksi-sanksi) social tersebut, sampai taraf tertentu memang diakui dalam semua
norma social, walaupun kebanyakan orang hanya karena merasa diberi ganjaran
secara psikologis, mau menyesuaikan diri dengan nora-norma itu, atau karena
pernah menerima hukuman dalam arti informal dan sanksi hukum berupa
cemoohan dari teman-teman mereka. Akan tetapi jika norma-norma itu terdapat
dalam kerangka acuan yang bersifat sacral, maka norma-norma tersebut
dikukuhkan pula dengan sanksi-sanksi yang sakral; dan dalam hampir semua
masyarakat sanksi-sanksi sakral tersebut mempunyai kekuatan memaksa yang
istimewa. Karena, tidak hanya menyangkut ganjaran-ganjaran dan hukuman-

7
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam…, hlm. 40-41.
8
Atang Abd, Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), hlm. 223.
hukuman yang bersifat duniawi dan manusiawi, tetapi juga ganjaran-ganjaran dan
hukuman-hukuman yang bersifat supra manusiawi dan ukhrawi.9

Melalui pendekatan sosiologis agama akan dapat dipahami dengan


mudah, karena agama itu sendiri diturunkan untuk kepentingan sosial. Dalam al-
Qur’an misalnya kita jumpai ayat-ayat berkenaan dengan hubungan manusia
dengan manusia lainnya, sebab-sebab yang menyebabkan terjadinya kemakmuran
suatu bangsa, dan sebab-sebab yang menyebabkan terjadinya kesengsaraan.
Semua itu jelas baru dapat dijelaskan apabila yang memahaminya mengetahui
sejarah sosial pada saat ajaran agama itu diturunkan.10

Elizabeth K. Nottingham dalam bukunya mengemukakan berikut


adalah kekuatan agama yang mampu membujuk orang-orang dan pihak-pihak
(yang bersangkutan) untuk mengorbankan kepentingan pribadi mereka demi
terpenuhinya kepentingan masyarakat secara keseluruhan:

Pertama, agama telah membantu mendorong terciptanya persetujuan


mengenai isi dan kewajiban-kewajiban sosial tersebut dengan memberikan nilai-
nilai yang berfungsi menyalurkan sikap-sikap para anggota masyarakat dan
menetapkan isi kewajiban-kewajiban sosial mereka. Dalam peranan ini agama
telah membantu menciptakan sistem-sistem nilai sosial yang terpadu dan utuh.11

Kedua, terdapat alasan-alasan yang kuat untuk mempercayai bahwa agama


juga telah memainkan peranan vital dalam memberikan kekuatan memaksa yang
mendukung dan memperkuat dan memperkuat adat-istiadat. Dalam hal ini patut
diketahui bahwa sikap mengagungkan dan rasa hormat, terutama yang berkaitan
dengan adat istiadat (moral) yang berlaku, berhubungan erat dengan perasaan-
perasaan kagum yang ditimbulkan oleh yang sakral itu sendiri.12

2. Aplikasi Sosiologi dalam Pengembangan Ilmu Keislaman

Bagi pengembangan ilmu-ilmu keislaman, sosiologi memiliki manfaat ganda,


yakni:

a. Manfaat teoritis-epistimologi : bahwa sosiologi pengetahuan dapat membantu para


pengkaji ilmu-ilmu keislaman untuk memahami substansi ilmu dan
mengembangkan paradigma di dalamnya, sehingga ilmu bisa lebih dinamis.
Pemahaman terhadap substansi ilmu dilakukan melalui penemuan eksemplar-
eksemplar itu, dan pengidentifikasian metode-metode dalam suatu paradigma.
Semetara pengembangan paradigm dilakukan melalui penelusuran kaitan antara

9
Elizabeth K. Nottingham (penerjemah: Abdul Muis Naharong), Agama dan Masyarakat; Suatu Pengantar
Sosiologi Agama, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996) , hlm. 39-40.
10
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam…, hlm. 40-41.
11
Elizabeth K. Nottingham (penerjemah: Abdul Muis Naharong), Agama dan Masyaraka…, hlm, 36.
12
Ibid.. hal. 36.
paradigma dengan konteks sosio-historisnya, pencarian paradigma baru
berdasarkan analisis persoalan sosio-historis kontemporer, dan pencarian teori-teori
baru dalam paradigma baru.

b. Manfaat praktis sosiologis adalah bahwa sosiologi pengetahuan dapat memperkaya


metode penelitian ilmu-ilmu keislaman. Ilmu keislaman sudah selayaknya dilihat
dengan berbagai cara (apa saja boleh), asalkan semua cara itu dilakukan dengan
bertanggung jawab dan dapat memperluas perspektif para pengkaji. Hanya dengan
cara memperbanyak perspektif inilah akan terwujud ilmu keislaman yang ramah
terhadap segala keragaman dan problematika kehidupan. Di samping itu, ilmu
keislaman yang multiperspektif juga akan mudah diterima semua kalangan karena
dinamika dan kelenturannya yang tinggi ketika harus bersentuhan dengan realitas
masyarakat.

Sebagai contoh, sebagai ilmu, ilmu ushul fikih bukanlah ilmu yang terbentuk
dari ruang hampa dan steril dari pengaruh lokasi sosial pada zaman tertentu. Oleh
karena itu, biarlah orang-orang terdahulu merumuskan prinsip-prinsip ilmu ushul
fikih yang sesuai pada saat itu, dan kita juga merumuskan prinsip-prinsip ilmu
ushul fikih kita sendiri sesuai dengan zaman kita. Dominasi antar generasi hanya
akan menghasilkan kejumudan dan kemandekan berpikir.

Islam telah meletakkan dasar-dasar umum cara bermasyrakat. Di


dalamnya diatur hubungan antara individu dengan individu, antara individu dengan
masyarakat, anatar satu komunitas masyarakat dengan komunitas masyarakat
lainnya. Aturan itu mulai yang sederhana sampai kepada yang sempurna, mulai
dari hukum berkeluarga sampai bernegara.

Al-Qur’an memang bukan buku sejarah yang secara sistematis membahas


keadaan masyarakat masa lampau namun sebagai bukti petunjuk yang di dalamnya
di dapati hukum-hukum perubahan masyarakat (sosial) yang berlaku sepanjang
sejarah manusia. Oleh karena itu di dalamnya terdapat ayat-ayat yang berisi
perintah agar manusia memperhatikan sejarah umat terdahulu.

E. Contoh Studi Islam Dengan Pendekatan Sosiologi


Contoh konkrit kajian Islam dengan menggunakan pendekatan sosiologi dalam
kehidupan sehari-hari antara lain adalah metode dakwah yang dipergunakan wali
songo dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa. Dengan keberadaan agama Hindu dan
Budha yang terlebih dahulu memasuki Indonesia, maka para wali menggunakan
pendekatan Sosiologi dalam memahamkan masyarakat Jawa tentang Islam.

Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada


masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari
kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga
pemerintahan.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya
Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol
penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang
juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan
Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta
dakwah secara langsung, membuat “sembilan wali” ini lebih banyak disebut
dibanding yang lain.

Salah satu contoh cerita para wali antara lain Sunan Kalijaga juga punya murid
bernama Sunan Geseng. Nama asli petani penyadap nira ini adalah Ki Cokrojoyo.
Alkisah, dalam pengembaraannya, Sunan Kalijaga terpikat suara merdu Ki Crokro
yang bernyanyi setelah menyadap nira.

Kalijaga meminta Ki Cokro mengganti syair lagunya dengan zikir kepada


Allah. Ketika Ki Cokro berzikir, mendadak gula yang ia buat dari nira itu berubah jadi
emas. Petani ini heran bukan kepalang. Ia ingin berguru kepada Sunan Kalijaga.
Untuk menguji keteguhan hati calon muridnya, Sunan Kalijaga menyuruh ki Cokro
berzikir tanpa berhenti, sebelum ia datang lagi.

Setahun kemudian, Sunan Kalijaga teringat Ki Cokro. Sang aulia


memerintahkan murid-muridnya mencari Ki Cokro, yang berzikir di tengah hutan.
Mereka kesulitan menemukannya, karena tempat berzikir ki Cokro telah berubah
menjadi padang ilalang dan semak belukar. Syahdan, setelah murid-murid Sunan
Kalijaga membakar padang ilalang, tampaklah Ki Cokro sujud ke kiblat.

Tubuhnya hangus, alias geseng, dimakan api. Tapi, penyadap nira ini masih
bugar, mulutnya berzikir komat-kamit. Sunan Kalijaga membangunkannya dan
memberinya nama Sunan Geseng. Ia menyebarkan agama Islam di Desa Jatinom,
sekitar 10 kilometer dari kota Klaten arah ke utara. Penduduk Jatinom mengenal
Sunan Geseng dengan sebutan Ki Ageng Gribik.

Julukan itu berangkat dari pilihan Sunan Geseng untuk tinggal di rumah
beratap gribik –anyaman daun nyiur. Menurut legenda setempat, ketika Ki Ageng
Gribik pulang dari menunaikan ibadah haji, ia melihat penduduk Jatinom kelaparan.
Ia membawa sepotong kue apem, dibagikan kepada ratusan orang yang kelaparan.
Semuanya kebagian.
Ki Ageng Gribik meminta warga yang kelaparan makan secuil kue apem
seraya mengucapkan zikir: Ya-Qowiyyu (Allah Mahakuat). Mereka pun kenyang dan
sehat. Sampai kini, masyarakat Jatinom menghidupkan legenda Ki Ageng Gribik itu
dengan menyelenggarakan upacara ”Ya-Qowiyyu” pada setiap bulan Syafar.

Warga membikin kue apem, lalu disetorkan ke masjid. Apem yang terkumpul
jumlahnya mencapai ratusan ribu. Kalau ditotal, beratnya sekitar 40 ton. Puncak
upacara berlangsung usai salat Jumat. Dari menara masjid, kue apem disebarkan para
santri sambil berzikir, Ya-Qowiyyu…. Ribuan orang yang menghadiri upacara
memperebutkan apem ”gotong royong” itu.
Kemudian cerita lainnya yaitu cara Sunan Kudus mendekati masyarakat
Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat
dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu
yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan
Sunan Kudus.
Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan
tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo
Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi
simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al
Baqarah yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional
Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.
Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut
disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti
kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam
dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat
masyarakatnya.

BAB III
Penutup

A. Kesimpulan
1. Beberapa metode pendekatan sosiologis di antaranya:
a. Pendekatan struktural fungsional
b. Pendekatan konflik
c. Pendekatan interaksionalisme/ simbolis

2. Karakteristik dasar pendekatan sosiologis:


Teorisasi sosiologis tentang karakteristik agama serta kedudukan dan
signifikansinya dalam dunia sosial, mendorong untuk ditetapkannya serangkaian
kategori sosiologis, meliputi:
a. Stratifikasi sosial, seperti kelas dan etnisitas.
b. Kategori biososial, seperti seks, gender, perkawinan, keluarga, masa kanak-
kanak dan usia
c. Pola organisasi sosial meliputi politik, produksi ekonomis, sistem pertukaran
dan birokrasi.
d. Proses sosial, seperti formasi batas, relasi intergroup, interaksi personal,
penyimpangan dan globalisasi.

3. Objek kajian dalam pendekatan sosiologis


Menurut M. Atho Mudzhar, pendekatan sosiologi agama dapat mengambil
beberapa tema atau obyek penelitian, seperti:
a. Studi tentang pengaruh agama terhadap perubahan masyarakat.
b. Studi tentang pengaruh struktur dan perubahan masyarakat ter-hadap
pemahaman ajaran atau konsep keagamaan.
c. Studi tentang tingkat pengalaman beragama masyarakat.
d. Studi pola interaksi sosial masyarakat muslim.
e. Studi tentang gerakan masyarakat yang membawa paham yang dapat
melemahkan atau menjunjung kehidupan beragama.

4. Pendekatan sosiologi dalam studi islam


a. Perhatian Agama Islam Terhadap Masalah Sosial

Alasan besanya perhatian agama yang dalam hal ini adalah Islam terhadap masalah
sosial adalah:

1) Dalam al-Qur’an atau kitab-kitab hadis, proporsi terbesar kedua sumber hukum
Islam itu berkenaan dengan urusan muamalah.

2) Bahwa ditekankannya masalah muamalah (sosial) dalam Islam ialah adanya


kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan
muamalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan
(tentu bukan ditinggalkan), melainkan dengan tetap dikerjakan sebagaimana
mestinya.

3) Bahwa ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih


besar dari pada ibadah yang bersifat persorangan. Karena itu salah yang
dilakukan secara berjamaah dinilai lebih tinggi nilainya daripada salat yang
dikerjakan sendirian (munfarid) dengan ukuran satu berbanding dua puluh
derajat.

4) Dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna
atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, maka kifaratnya (tebusannya)
ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan msalah sosial. Bila puasa
tidak mampu dilakukan misalnya, jalan keluarnya adalah dengan membayar
fidyah dalam bentuk memberi makan bagi orang miskin.

5) Dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan
mendapat ganjaran lebih besar daripada ibadah sunnah. Dalam hubungannya
dengan ini misalnya membaca hadits yang artinya sebagai berikut.

b. Aplikasi Sosiologi dalam Pengembangan Ilmu Keislaman

1) Manfaat teoritis epistimologi

2) Manfaat praktis sosiologi


DAFTAR PUSTAKA

Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2004.

osefh S. Sosiologi Sebuah Pengenalan. terj. Sahat Simamora, (Jakarta: Bina Aksara, 1984)

Ilyas Ba-Yunus dan Farid Ahmad. Sosiologi Islam: Sebuah Pendekatan, terj. Hamid Ba-
Syaib, (Bandung: Mizan, 1996).

Mudzhar, M. Atho. Pendekatakan Studi Islam dalam Teori dan Praktek,1998, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.Sunan Kalijaga Yogyakarta, 15 September 1999.

Studi Hukum Islam dengan Pendekatan Sosiologi. Pidato Pengukuhan


Guru Besar IAIN

Atang Abd, Hakim dan Jaih Mubarok. Metodologi Studi Islam. (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2003)

Elizabeth K. Nottingham (penerjemah: Abdul Muis Naharong). Agama dan Masyarakat.


Suatu Pengantar Sosiologi Agama. (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996)

Anda mungkin juga menyukai