Penyair ini memiliki nama lengkap Umru' al-Qais bin Hujrin bin al-Harits al-
Kindi, dan berasal dari suku Kindah, yaitu suatu suku yang pernah berkuasa
penuh di daerah Yaman. Karena itu, ia lebih dikenal sebagai penyair Yaman
(Hadramaut). Kabilah ini adalah keturunan dari bani Harits yang berasal dari
Yaman, daerah Hadramaut Barat. Mereka mendiami daerah Nejed sejak pertengahan
abad ke-5 Masehi.
Suku Kindah merupakan salah satu kabilah bangsawan Arab yang harus menghadapi
dua saingan kerajaan yang cukup kuat, yaitu Malik al-Khairah dan Husasanah.
Keduanya saling berusaha untuk menghalang-halangi pengaruh suku Kindah
terhadap suku-suku lain, sehingga mengakibatkan terjadinya peperangan terus-
menerus dan turun-menurun.
Nasab penyair ini termasuk ke dalam kalangan terhormat, ia anak seorang raja
Yaman yang bernama Hujur al-Kindi, sedangkan ibunya bernama Fatimah binti
Rabiah saudara Kulaib Taghlibiyyah, yaitu seorang pewira Arab yang amat
terkenal dalam peperangan al-Basus dan saudara dari Muhalhil, yang juga
seorang penyair.
Hujur al-Kindi adalah ayah Umru' al-Qais, yang meninggal dibunuh oleh kabilah
Bani Asad. Namun, para sastrawan dan kritikus sastra Arab berselisih pendapat
tentang sebab terbunuhnya ayah Umru' al-Qais. Salah satunya adalah pendapat
pengarang kitab al-Aghāni (Ibnu Mandzur, tt:248). Ia berpendapat bahwa
penyebab kematiannya terdapat empat riwayat, yaitu:
2. Diriwayatkan dari Abu Faraj dan Abi Amr as-Saibani (w. 213 H),
berpendapat bahwa terbunuhnya Hujur al-Kindi merupakan akibat kelalaian
dirinya sendiri ketika ia berlindung kepada Uwair bin Sijnah karena rasa
takutnya kepada bani Asad.
3. Diriwayatkan dari Abu Faraj dari Ibnu Sikkit (w. 244 H), berpendapat
bahwa Hujur al-Kindi meninggal terbunuh oleh seorang pemuda ketika berperang
melawan bani Asad sebagai balas dendam kepadanya.
4. Diriwayatkan dari Abu Faraj dari Hisam bin 'Adi (w. 206 H), pendapat
ini sama dengan pendapat no. 2, hanya saja ia dibunuh sebab kelengahannya
ketika berperang dengan bani Asad.
Namun, menurut Syauqi Dhaif[1], ia berpendapat bahwa riwayat yang paling
benar adalah riwayat terakhir.
Sebagian ahli sastra Arab berpendapat bahwa nasab Umru' al-Qais dari ayahnya
Semith bin Umru' al-Qais bin Amr al-Kindi. Adapun nasab ibunya, Tamaluk bin
Amr bin Zubaid bin Madzhad dari Suku Amr bin Ma'ad Yakrub. Diriwayatkan bahwa
di masa Jahiliyyah terdapat enam belas penyair Arab yang kesemuanya bernama
Umru' al-Qais, sehingga terjadi perselisihan di antara satu sama lain[4].
Adapun tentang kapan dilahirkannya, para ahli sejarah sastra Arab tidak
mengetahui dengan pasti kapan dia dilahirkan. Namun, ada yang mengatakan
bahwa ia dilahirkan pada permulaan abad ke-6 M.
Kebiasaan buruk Umru' al-Qais yang senang berfoya-foya, tidak juga hilang
meskipun ia dalam masa pembuangan. Suatu hari, ketika ia sedang berada di
salah satu warung minuman dan hiburan di Dammun, datang seorang kurir
menyampaikan berita mengenai kematian orang tuanya yang terbunuh di tangan
kabilah Bani Asad, yaitu sebuah kabilah yang sedang memberontak terhadap
kekuasaan ayahnya. Mendengar berita kematian orang tuanya itu tidak
membuatnya terkejut dan menuntut balas, tetapi berita itu tidak disambut baik
olehnya, bahkan dengan malas-malasan ia berkata[5]:
" وغدا أمر, اليوم خمر, ول سكر غدا, ل صحو اليوم, وحـملني دمه كبيرا,"ضيعني صغيرا
"Dulu, sewaktu aku kecil, aku dibuang, dan kini setelah aku dewasa, aku
dibebani dengan darahnya, biarkan saja urusan itu, sekarang waktunya untuk
bermabuk-mabukan, dan esok barulah waktu untuk menuntut darahnya"[6].
Namun akhirnya, ia berangkat juga menuju Nejed untuk menuntut balas atas
kematian orang tuanya. Dalam menunaikan pembalasannya itu, ia terpaksa
meminta bantuan kepada kabilah-kabilah Arab yang berada di sekitarnya.
Sehingga pertempuran itu berkecamuk lama, dan akhirnya ia melarikan diri
menuju kerajaan Romawi Timur (Byzantium) di Turki. Di tengah perjalanan,
penyair itu terbunuh oleh musuhnya dan di makamkan di kota Angkara, Turki,
dan tidak diketahui secara pasti tahun berapa ia terbunuh, diperkirakan
kurang lebih 82 sebeum Hijriyyah atau 530-540 Masehi.
Sebagian besar ahli sastra Arab berpendapat bahwa diantara puisi-puisi al-
Mu'allaqat, puisi Umru' al-Qais merupakan puisi yang palin terkenal dan
menduduki posisi penting dalam khazanah kesusastraan Arab Jahiliyyah.
Mu'allaqat Umru' al-Qais merupakan peninggalan yang paling monumental yang
mempunyai peranan penting dalam perkembangan kesusastraan Arab pada masa-masa
selanjutnya. Puisi-puisinya seringkali dipakai sebagai referensi dalam kajian
ilmu-ilmu bahasa Arab seperti nahwu, sharf, maupun balaghah.
Orang yang mempelajari puisi karya Umru' al-Qais dengan mendalam, maka akan
ditemukan bahwa keindahan penyair ini terletak pada caranya yang halus dalam
puisi ghazal-nya. Ditambah dengan gaya isti'arah (kata-kata kiasan dan
perumpamaan). Sehingga banyak yang beranggapan bahwa ialah orang pertama yang
menciptakan perumpamaan dalam puisi Arab. Walauun terkadang puisi-puisinya
juga tidak luput dari perumpamaan yang cabul, tetapi itu tidak mengurangi
nilai dalam puisinya, karena bentuk kecabulannya itu tidak terlalu
berlebihan, dan perumpamaan semacam itu merupakan kebiasaan dari para penyair
Arab.
Secara garis besar bait-bait puisinya yang terkumpul dalam kasidah
mu'allaqat-nya meliputi beberapa tema, antara lain:
"Mereka terus memasak daging antara yang matang dengan dipanggang, dan ada
yang direbus setengah matang"
"Seandainya yang kuusahakan ini untuk kehidupan yang rendah, aku sudah
kecukupan, dan tak perlu lagi mencari secuil harta"
"Akan tetapi, aku berusaha untuk suatu keagungan sejati, yang terkadang
keagungan sejati itu mampu tergapainya orang-orang sepertiku"
Di bawah ini merupakan contoh puisi Umru' al-Qais dalam bab Ghazal yang
menceritakan perjalanan bersama kekasihnya yang bernama Unaizah, seperti di
bawah ini[8]:
عقرتا بعيرى يا امرأ القيس فانزل¤ تقول وقد مال الغبيط بنا معا
"Suatu hari ketika aku sedang masuk ke dalam Haudat[9] kekasihnya Unaizah,
maka Unaizah berkata kepadaku: "Celakalah kamu, jangan kamu beratkan untaku".
Penyair ini juga mensifati kecantikan kekasihnya, Unaizah, seperti dalam bait
puisi di bawah ini[10]:
بنا بطن خبت ذى حقاف عقنقل¤ فللما اجزنا ساحة الحلى وانتحى
"Ketika kami berdua telah melewati perkampungan, dan sampai di tempat yang
aman dari intaian orang kampung"
"Lehernya jenjang bak leher kijangi, jika dipanjangkan tidak bercacat sedikit
pun, karena lehernya dipenuhi kalung permata".
"Rambutnya yang panjang dan hitam bila terurai di bahunya bagaikan mayang
korma".
Contoh lain yang menunjukkan kemahiran penyair ini dalam menggambarkan suatu
kejadian dengan gayanya yang khas sehingga bayangan yang ada benar-benar
terjadi. Seperti kesusahan yang dialaminya pada malam hari, seperti dibawah
ini[11]:
فقلت له لملـا تم ل
واردف اعجازا وناء بكلكل¤ طى بصلبه
بصبح وما الصباح منك بأمثل¤ ال اليها اللليل الطويل ال انجلى
"Di kala gelap malam bagaikan badai laut yang tengah meliputiku dengan
berbagai macam keresahan untuk mengujiku (kesabaranku)".
"Di kala malam itu tengah memanjangkan waktunya, maka aku katakan padanya".
"Hai malam yang panjang, gerangan apakah yang menghalangimu untuk berganti
dengan pagi hari? Ya walaupun pagi itu pun belum tentu akan sebaik kamu".
Pada bait-bait puisi di atas, sebenarnya penyair ini ingin mengutarakan
betapa malang nasibnya. Di mana keresahan hatinya akan bertambah susah bila
malam hari tiba. Karena saat itu ia merasa seolah-olah malam itu sangat
panjang sekali. Sehingga ia mengharapakan waktu pagi segera tiba, agar
keresahannya dapat berkurang, namun sayang sekali keresahannya itu tidak juga
berkurang walaupun pagi hari telah tiba. Puisi di atas, tidak lain merupakan
contoh dari kepandaian Umru' al-Qais dalam menggambarkan suatu keadaan.
Sehingga seolah-olah itu benar-benar terjadi.
Pada suatu ketika Umru' al-Qais ingin bertemu kekasihnya, namun keinginannya
itu selalu dihalangi oleh pamannya, karena ia takut anak puterinya itu akan
terbujuk dengan puisi Umru' al-Qais. Karena itulah, Umru' al-Qais berusaha
dengan sekuat tenaga untuk mendapatkan kesempatan agar dapat bertemu dengan
anak pamannya yang bernama Unaizah. Dan pada suatu ketika, ia berhasil
bertemu dengan Unaizah dan bersepakat bertemu dalam kesempatan lain bila
anggota kabilahnya sedang pergi mengambil air. Dan telah menjadi kebiasaan
kabilah itu, bila hendak mengambil air kaum lelaki berjalan terlebih dahulu,
kemudian barulah diikuti kaum wanita dari belakang.
Sewaktu kaum lelaki pergi ke mata air, Umru' al-Qais tidak keluar bersama
mereka, bahkan penyair ini menunggu keberangkatan kaum wanita. Dan ketika
kaum wanita keluar menuju mata air, maka Umru' al-Qais keluar mendahului
mereka agar dapat sampai lebih dahulu. Sesampainya di mata air yang bernama
Juljul yang terletak di daerah Kindah (Nejed), penyair ini langsung
bersembunyi di balik batu yang tidak terlalu jauh dari tempat itu.
Ketika rombongan wanita yang di dalamnya terdapat kekasihnya tiba di mata air
Juljul, maka mereka langsung menanggalkan pakaiannya masing-masing, dan
meletakkannya di atas batu. Setelah mereka masuk ke dalam air, maka Umru' al-
Qais yang tengah asyik memperhatikan dari balik batu, langsung mengambil
pakaian mereka semua, dan berjanji tidak mengembalikannya kecuali bila mereka
keluar dari mata air itu dengan keadaan telanjang bulat. Melihat kejadian
itu, semua kaum wanita terkejut dan meminta Umru' al-Qais untuk mengembalikan
pakaian mereka. Namun Umru' al-Qais tetap bersikeras tidak mengembalikan
pakaian mereka bila mereka tidak mau keluar dalam keadaan telanjang bulat.
Akhirnya, dengan keadaan terpaksa kaum wanita itu keluar dari mata air Juljul
dalam keadaan telanjang bulat untuk mengambil pakaian mereka dari tangan
Umru' al-Qais, tetapi hanya Unaizah yang tidak mau keluar dari mata air, dan
ia meminta Umru' al-Qais untuk mengembalikan pakaiannya. Setelah ia
mengetahui bahwa Umru' al-Qais tidak akan mengembalikan pakaiannya, maka
dengan terpaksa Unaizah keluar dari mata air dengan keadaan telanjang dan
meminta Umru' al-Qais untuk mengembalikan pakaiannya. Dan kemenangannya itu,
diabadikannya dalam kasidah mu'allaqat-nya.
Umru' al-Qais juga memiliki puisi-puisi panjang dan pendek. Puisi panjangnya
yang paling terkenal dan menjadi buah bibir orang dalam kepopulerannya,
terdapat dalam kumpulan mu'allaqat-nya seperti terdapat di bawah ini:
بسقط اللوى بين الدحول فحومل¤ قفا نبك من ذكرى حبيب ومنـزل
Umru' al-Qais juga memiliki puisi yang berisikan hikmah-himah atau kata-kata
mutiara, seperti yang terdapat di bawah ini:
فليس على شيئ سواه بخزان¤ إذا المرءا لم يخزن عليه لسانه
"Seseorang, bila lisannya tidak dapat memelihara dirinya, maka tidak ada
sesuatu pun yang dapat dipeliharanya"
"Sesungguhnya kamu tidak akan dibanggakan sebagai orang lemah kamu tidak akan
dikalahkan oleh orang yang berkali-kali kalah"
[2] Julukan ini diberikan kepada Umru' al-Qais karena ia merupakan seseorang
yang di dalam hidupnya penuh dengan kebingungan.
[3] Julukan ini diberikan kepadanya, karena ia ditimpa dengan penyakit nanah
sampai mati.
[4] Syauqi Dhaif, Al-Adab al-Jahili, hal. 236.
[7] yaitu cara mengajak orang untuk berhenti pada puing reruntuhan bekas
rumah kekasihnya, hanya untuk sekedar mengenang masa percintaan.
[9] Tempat duduk di atas punggung unta yang dikhususkan bagi wanita