Anda di halaman 1dari 7

Perkembangan Syair Jahiliyah (Arab Klasik)

Syair Jahiliyah atau syair Arab Klasik yaitu syair-syair yang berkembang
sebelum Islam. Sebagaimana telah disebutkan diatas, bahwa syair jahiliyah
berkembang pesat sekitar abad ke 6 M. dan perlu kita ketahui bahwa syair adalah
arsif, diwan orang-orang Arab, yang berisi ilmu, sejarah,dan hikmah mereka. Para
pemuka Arab menganggap bahwa membuat syair adalah kebajikan, maka mereka
berlomba-lomba dalam kebajikan ini. Mereka berhenti dipasar-pasar 'ukadz untuk
membacakan syai rmasing-masing menyampaikan karyanya berupa kritik terhadap
orang-orang yang terkenal dan pandai.
Para penyair Arab jahiliah berlomba-lomba menggantungkan syair mereka
pada pojok-pojok al-Bait al-haram, tempat mereka melakukan ibadah haji dan rumah
Ibrahim, Ka'bah, sebagaimana dilakukan oleh Amru al-Qays bin Hujr, an-Nabighah
adz-Dzibyani, Zuhair bin Abi Sulma, Antarah bin Syaddad, Tharafah bin al-'Abd,
'Alaqamah bin 'Abadah, al-A'sya, dan lain-lain dari kelompok mu'alaqat yang tujuh.
Hanya orang yang perpengaruh di kalangan masyarakat, dan orang yang mempunyai
kedudukan yang baik, yang mampu menggantungkan syairnya dipojok-pojok Ka'bah.
Salah satu alasan disebutnya dengan mu'allaqat.
Dari segi kemashuran dan banyaknya mengeluarkan syair, penyair jahiliyah dapat
dikatagorikan menjadi tiga tingkatan yaitu:
1. Tingkat pertama Umruul Qoes, Zuher inb Sulmi dan An-Nabigohah AdzDzibyan. Ketiga penyair ini merupakan penyair ternama pada masa itu, dan
merupakan tokoh penyair jahiliyah yang mempunyai julukan "kepala para
penyair jahiliyah".
2. Tingkat Kedua A'Sya Qoes, Lubed bi Robi'ah dan Thorpah bin Abdi. Para
penyair tingkatan ini termasuk penyair yang banyak hartanya, dan kekayaannya
dihasilkan dari menjual syair-syairnya kepada raja atau penguasa pada waktu itu.

Para penyair ini sekali melantunkan syairnya dihargai sampai dengan sepuluh
ribu dinar.
3. tingkatan ketiga Antarah Al-Abasyi, Urwah bin Wurud, Dured bin Simah, dan
lain-lain. Pada periode ini satu sama lain saling mengungguli.
Ditinjau dari jenis atau bentuknya syair jahiliyah terdiri dari :
a. Syair Gojal, yaitu syair tentang percintaan
b. Syair Madh, yaitu syair tentang pujian kepada seseorang. Syair ini biasanya
dipakai oleh para penyair jahiliyah untuk memuji para raja atau penguasa pada
masa itu untuk mendapatkan pemberian dari penguasa pada waktu itu.
c. Syair Fahru, yaitu penyombongan diri.
d. Syair Rosya, yaitu syair ratapan (berduka cita)
e. Syair Hija', yaitu syair tentang ejekan, sindiran atau celaan.
f. Syair I'tidzar, yaitu syair tentang permohonan maaf
g. Syair Al-Waspu, yaitu menyipati sesuatu dengan kejadian yang sedang terjadi
h. Syair Hikmah dan Misal, syair ini jarang sekali kita temukan, karena sedikitnya
sehingga diumpamakn seperti garam dalam makanan, dan yang paling banyak
mengeluarkan syair ini adalah Zuher inb Sulmi dan An-Nabigohah Adz-Dzibyan
.
Kodifikasi Syair Jahiliyah
Pada abad ke 19 sampai dengan abad 20 muncul Pembahasan tentang otentik
atau tidaknya pembukuan syair jahiliyah. Para fakar sangat mengutamakan urusanurusan otentik atau tidaknya pembukuan syair jahiliyah, karena masalah ini sangat
penting untuk menelusuri pengkodifikasia ilmu-ilmu islam seluruhnya.
Dalam stadi nash arab, syair arab klasik dikodifikasikan setelah Islam, melalui tiga
tahapan :
1. memberi batasan syair arab jahiliyah.

2. Mengumpulkan Syair-syair baik yang tertulis ataupun hanya sebatas hapalan


saja.
3. Proses pembukuan oleh para ahli bahasa.
Pada tahap kedua, kemungkinan besar dimulai pada awal periode pemerintahan
bani Umayah. Pada kurun itu kita menemukan Ubed bin Surbah yang mengarang
kitab Ahbar al-Yamn wa Asy'Aruha wa Ansaabuha, Ziad bin Ubeh mengarang kitab
Al-Masalib, Yazid bin Mufarrig Al-Hasiri yang mengarang kitab Siroh tatabi'u wa AsAruha.
Pada setiap tahapan, periwayatannya menggunakan lisan sampai pada
pengkodifikasian sehingga satu sama lainnya saling menyempurnakan. Kita megenal
metode periwayatan Ilmu Hadits yang diberinama musthalahul hadits. Begitupula
dengan Syair jahiliyah dalam metode periwayatannya sama seperti periwayatan ilmu
hadits. Yaitu sebagai berikut :
1. Seorang yang meriwayatkan syair sampai kepadanya dengan bentuk tulisan, atau
membukukannya sendiri. Dan Terkadang syair itu dihafalnya secara sempurna
dalam ingatannya.
2. Seorang perawi syair harus orang yang bisa dipercaya (jujur).
3. Dalam pengkodifikasi hadits diperkuat oleh sanad yang sampai kepada
sumbernya, dan syair dilihat dari silsilah isnadnya. Dalam silsilsh isnad
disebutkan perowi kasidah.
Dan adapun perbedaan antara kodifikasi hadits yang diperkuat oleh isnad, sedangkan
dalam syair tidak adanya isnad, itu dikembalikan kepada pembaca karena syair
jahiliyah lebih tua daripada hadits Nabi.
Dalam hal otentik dan tidaknya pengkodifikasian syair jahiliyah. Para pakar berbeda
pendapat diantaranya:
Theodor Noldeke, W. Ahlaward berpendapat, bahwa tidak mungkin syair jahiliyah
yang dikodifikasikan itu sesuai dengan aslinya, yaitu sesuai dengan yang ducapkan
penyair jahiliyah, karena rentang waktu yang sangat jauh atara proses

pengkodifikasian yang dimulai masa pemerintahan bani umayah dengan masa


jahiliyah. Dari rentang waktu tersebut kemungkinan besar akan diriwayatkan oleh
beberapa orang atau banyak orang, sehingga bisa bermuara pada beberapa penyair
jahiliyah. Hal itu akan mengakibatkan sulitnya mencari siapa yang sebenarnya yang
membuat syair tersebut.
Sebagian pakar berpendapat, bahwa kodifikasi syair Arab jahiliyah adalah otentik.
Karena metode pentadwinannya sama dengan kodifikasi hadits.

TOKOH-TOKOH YANG MENYAMPAIAKAN DAKWAH MELALUI SYAIR DAN


NYANYIAN
1. Wali Songo
Dakwah wali songo lewat syair yang paling tersohor yaitu syair yang berjudul
ilir-ilir yang disampaikan Sunan Kalijaga.
Syair tembang pengobar semangat dalam berdakwah yang merupakan
hasil kolaborasi Islam Putihan dengan Islam Abangan itu adalah sebagai berikut:
Lir-ilir, lir ilir
Tandure wus (wis) sumilir
Tak ijo royo royo
Tak sengguh penganten anyar
Cah angon, cah angon
Penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekno
Kanggo mbasuh dododiro (dodotiro)
Dodotiro dodotiro
Kumitir bedah ing pinggir

Domono jlumatono
Kanggo sebo mengko sore
Mumpung padhang (gede) rembulane
Mumpung jembar kalangane
Sun (Yo) surako,
Surak hore (iyo).

2. Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al Khattabi al-Bakri


Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al Khattabi alBakri (Jalaluddin Rumi) atau sering pula disebut dengan nama Rumi adalah
seorang penyair sufi yang lahir di Balkh(sekarang Afganistan) pada tanggal 6
Rabiul Awwal tahun 604 Hijriah, atau tanggal 30 September 1207 Masehi.
Ayahnya masih keturunan Abu Bakar, bernama Bahauddin Walad. Sedang
ibunya berasal dari keluarga kerajaan Khwarazm. Ayah Rumi seorang cendekia
yang saleh, mistikus yang berpandangan ke depan, seorang guru yang terkenal di
Balkh. Saat Rumi berusia 3 tahun karena adanya bentrok di kerajaan maka
keluarganya meninggalkan Balkh menuju Khorasan.
Dari sana Rumi dibawa pindah ke Nishapur, tempat kelahiran penyair dan
alhi matematika Omar Khayyam. Di kota ini Rumi bertemu dengan Attar yang
meramalkan si bocah pengungsi ini kelak akan masyhur yang akan menyalakan
api gairah Ketuhanan.
Dan berikut ini adalah beberapa karya dari Jalaluddin Rumi :

Musik Kenangan
Nyanyian Seruling Bambu
Burung Hantu dan Elang Raja
Kerja
Dua Alang-Alang
Debu Di Atas Cermin
3. Syeikh Hamzah Fansuri
Syeikh Hamzah Fansuri adalah seorang cendekiawan, ulama tasawuf,
dan budayawan terkemuka yang diperkirakan hidup antara pertengahan abad
ke-16 sampai awal abad ke-17. Nama gelar atau takhallus yang tercantum di
belakang nama kecilnya memperlihatkan bahwa pendekar puisi dan ilmu
suluk ini berasal dari Fansur, sebutan orang-orang Arab terhadap Barus,
sekarang sebuah kota kecil di pantai barat Sumatra yang terletak antara kota
Sibolga dan Singkel.
Syekh Hamzah Fansuri telah begitu banyak memberikan
sumbangan terhadap peradaban Islam Nusantara. Karyakaryanya, baik puisi maupun yang lainnya telah banyak
memberikan inspirasi bagi generasi-generasi sesudahnya.
Melalui

puisi-puisinya

itu

pula

Syekh

Hamzah

Fansuri

menyebarkan dakwah islamiyah.


Meskipun paham sufinya mendapatkan pertentangan dari
beberapa kalangan sehinga menyebabkan buku-bukunya
dibakar, tetapi namanya tidak lekang oleh zaman. Sejarah
pembakaran buku sebagaimana terjadi pada awal masuknya
Islam

tidak

boleh

terulang.

Buku,

bagaimana

pun

kontroversialnya, tetap merupakan sebuah produk intelektual


dan hasil perenungan dari penulisnya. Pembakaran buku,

pengekangan kebebasan berpikir, justru akan membuat


peradaban berjalan mundur.

Sumber : http://www.rumahbangsa.net/2014/08/perkembangan-syair-masa-jahiliyah-arab.html?m=1
https://islamjawa.wordpress.com/2013/04/26/suluk-tembang-dakwah-walisongo-5ilir-ilir-kolaborasi-tokoh-islam-abangan-dengan-islam-putihan/

http://www.tintaguru.com/2013/04/hamzah-al-fansuri-biografi-karya-dan.html

Anda mungkin juga menyukai