Anda di halaman 1dari 4

Doktrin Ahlusunnah Waljamaah: Iman, Islam, Ihsan

a                            1. Doktrin Keimanan

doktrin aswaja

Iman adalah pembenaran atas Allah, rasul, dan segala ajaran yang dibawakannya. Doktrin
keimanan Ahlussunnah  waljamaah ini termanifestasikan dalam formula yang diajarkan
Al’asyari dan Maturidi. Kedua tokoh tersebut  hampir sepakat dalam masalah akidah
islamiyah, meliputi sifat-sifat wajib, mustahil dan ja'iz bagi Allah, para rasul dan malaikat-
Nya, kendati keduanya berbeda dalam cara dan proses penalaran. Kedua tokoh ini hanya
berbeda dalam tiga masalah yang tidak berakibat fatal, yaitu dalam masalah istitsna, takwin,
dan iman dengan taqlid[1].
Tingkatan tauhid dalam Ahlussunnah  waljamaah terbagi menjadi 4 tingkatan, yakni
iman bittaqlid, iman biddalil, iman bil iyyan dan iman bil haqq. Pertama,
iman  bittaqlid adalah keimanan melalui ungkapan orang lain tanpa mengetahui dalilnya
secara langsung. Keimanan seperti ini keabsahannya masih diperselisihkan. Kedua,
iman biddalil (ilmul yaqin) ialah keyakinan terhadap aqa'id lima puluh dengan dalil dan
alasan filosofinya. Dua strata keimanan ini masih terhalang ( ‫ )بﻮﺠﺤﻣ‬dalam mengetahui
Allah. Ketiga, iman bil iyyan (ainul yaqin) ialah keimanan yang senantiasa
hatinya muraqabah kepada Allah. Artinya, dalam kondisi apapun, Allah tidak hilang dari
kesadaran hatinya.

Keempat, iman  bil haqq (haqqul yaqin) yaitu keimanan yang telah terlepas dari segala
yang hadîts dan tenggelam dalam fana' billah. Mempelajari ilmu tauhid, fiqh dan tasawuf,
hanya akan menghasilkan iman biddalil (ilmul yaqin), dan jika keimanan ini senantiasa
disertai kesadaran hati dan penghayatan amaliah, maka naik ke strata iman bil iyyan (ainul
yaqin) hingga puncaknya mencapai pada iman bil haqq (haqqul yaqin).
Dalam menanggapi perbuatan manusia, Ahlussunnah  waljamaah berada di antara
jabariyah dan qodariyah. Ahlussunnah  waljamaah meyakini bahwa makhluk memiliki
kebebasan kehendak (ikhtiyar) namun tidak memiliki kuasa (qudrah) perbuatan selain
sebatas kasb   (upaya). Dalam keyakinan Ahlussunnah  waljamaah, secara dhahir manusia
adalah 'kuasa' (memiliki qudrah), namun secara batin, manusia adalah ajbûr (tidak
memiliki qudrah apapun).
Adapun mengenai perbuatan dosa, Ahlussunnah  waljamaah sangat hati-hati dalam
memvonis seseorang yang berdosa, tidak terjebak oleh ekstrimisme khawarij atau
pun Murji’ah. Jika seseorang melakukan maksiat sementara hatiya masih memegang
teguh syahadatain, ia hanya berdosa dan sesat, tidak sampai divonis kafir. Kekafiran hanya
terjadi jika seseorang menafikan wujud Allah, Muhammad sebagai rasul Allah, dan
menyangkal ketetapan syariat yang telah ditetapkan secara umum.
b.      Doktrin Ke-Islaman
Doktrin keislaman yang termanifestasikan ke dalam hukum fiqih yang meliputi hukum
legal formal dengan syariat secara umum memiliki perbedaan. Menurut Sahal Mahfudh, fiqih
diartikan sebagai usaha manusiawi, yang melibatkan proses penalaran, baik pada tataran
teoritis maupun praktis, dalam memahami, menjabarkan, dan mengelaborasi hukum-hukum
agama. Adapun syariat dipahami secara longgar untuk merujuk agama Islam atau hukum
Tuhan sebagaimana dikandung dalam korpus-korpus wahyu tanfa melibatkan tangan-tangan
manusia.[2] Pernyataan tersebut memiliki kesamaan makna dengan pernyataan Jaih Mubarok
yang menyatakan bahwa syariat merupakan peraturan yang diwahyukan Allah kepada Nabi
Muhammad untuk manusia yang mencakup ketauhidan, perbuatan, dan akhlak.[3]
Fiqih sebagai hasil istinbatul hukm (penggalian hukum), maka diperlukan perangkat
tertentu yang mengatur pencapaian produk-produk fiqih, yakni ushul fiqih (legal theory) dan
qawaidul fiqhiyah (legal maxims). Ushul fiqih sebagai metodologi dan prinsip dalam
memahami kandungan nash sehingga membentuk aturan-aturan hukum praktis. Adapun
kaidah-kaidah fiqih dipahami sebagai pedoman dalam pengambilan hukum secara praktis.
Baik ushul fiqih maupun kaidah fiqih, keduanya turut menentukan akhir keputusan hukum
dengan menginvestigasi latar belakang hukum tersebut.
Kaitannya dengan ijtihad manusia dalam memahami wahyu Tuhan yang termanifesasikan
ke dalam fiqih, Ahlussunnah  waljamaaah menganut kepada salah satu dari madzhab hanafi,
maliki, syafi’i, dan hambali.  Pada dasarnya, eksistensi madzab-madzhab fiqih tidak secara
otomatis mengikuti polarisasi umat Islam di bidang akidah. Dalam hal ini, maka tidak tepat
jika disebutkan bahwa para pengikut madzhab empat tersebut adalah sunni, atau sebaliknya
kaum sunni adalah pengikut madzhab empat adalah sunni.
Pada kenyatannya, para teolog baik dari kalangan Muktazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah
maupun Salafiyun tersebar dalam berbagai madzhab fiqih. Dalam hal ini, hanya Syi’ah selaku
madzhab teologi mempunyai madzhab fiqih tersendiri yang berasal dari imam mereka, yakni
Ja’far Asyadiq.   Dengan demikian, dalam madzhab fiqih  sebenarnya hanya terjadi dua
kutub, yakni Syi’ah dan non Syi’ah.[4]
Alasan mendasar Ahlussunnah  waljamaah melakukan pemilihan kepada  empat madzhab
di atas yang dijadikan rujukan dalam berfiqih. Di samping otenstisitas konsep-konsep yang
tersusun secara rapi dan sistematis, metodologi dan epistimologi madzhab ini relatif tawazun
(berimbang) dalam mensinergikan dalil aql (rasio-logis) dan dalil naql (teks-teks keagamaan).
Keempat madzab tersebut dinilai paling tawasuth (moderat) dibanding madzab Dahiri yang
cenderung tektualis dan Muktazilah  yang cenderung rasionalis[5].
Dengan prinsip tersebut, Ahlussunnah  mengakui bahwa empat madhab yang memadukan
dalil antara Al Quran, sunnah, ijma, dan qiyas diakui mengandung kemungkinan lebih besar
berada di jalur kebenaran dan keselamatan. Artinya, kebenaran yang diikuti dan diyakini oleh
Ahlussunnah  waljamaah hanya bersifat kemungkinan dan bukan kemutlakan.
c.       Doktrin Ihsan
Ihsan, sebagaimana yang Nabi Muhammad sampaikan ialah Ihsan adalah
seseorang  menyembah Allah seolah ia melihatNya, dan jika ia tidak melihatNya,
sesungguhnya Dia melihat orang tersebut. Konsep ihsan ini termanifestasikan dalam tasawuf,
yakni jalan spiritual yang dilakukan bukan melalui teori-teori ilmiah melainkan
pengintegrasian antara ilmu dan amal, dengan jalan melepaskan (takhalli) kenistaan (akhlaq
mazdmunah), mengenakan (tahalli) akhlak yang mulia, sehingga Allah terasa hadir (tajalli)
dalam setiap gerak-gerik manusia[6].
            Ahlussunnah  waljamaah merujuk doktrin keihsanan ini kepada tasawuf akhlaki dan
amali, juga berada mengambil jalan tengan antara tasawuf batiniyah dan tasawuf falsafi.
Tasawuf batiniyah memberikan perhatian berlebihan kepada aspek batiniah sehingga
menegasikan tuntutan kemanusiaan yang berporos pada penalaran rasio. Adapun tasawuf
falsafi adalah tasawuf yang telah memasuki wilayah ontologi yang sangat dipengaruhi
masalah rasio sehingga aspek yang dibicarakan adalah emanasi, inkarnasi, ittihad,
dan wihdatul wujud[7].
[1] Istitsna adalah mengatakan keimanan dengan Insya Allah. Maturidi tidak memperbolehkan
karena hal tersebut adalah bentuk keraguan dalam beriman, akan tetapi Asyari membolehkan
karena maksud istitsna tersebut bukan keimanan yang ragu, melainkan ragu pada akhir hayat
berada dala keadaan beriman atau tidak. Takwin (mewujudkan) sifat yang tidak berbeda dengan
sifat Qudroh, sedangkan menurut Maturidi berbeda. Iman dengan taqlid (ikut-ikutan tanfa
mengetahui dalil) menurut Maturidi dianggap sah dan masuk surge, sedangkan Asyari
mengatakan tidak cukup keimanan hanya dengan taqlid. NurSayyid S. Kristeva, ibid, hal. 148
[2] Ulasan A. Baso terhadap fiqih sebagaimana dikutip dari KH Sahal mahfudh. NU Studies, hal.
39
[3] Jaih Mubarok, Sejarah dan perkembangan Hukum Islam, hal.3
[4] Ahmad Muhibin Zuhri, op.cit, hal 53
[5] Nur sayyid, op.cit, hal.149
[6] Ibid, hal 150
[7] Ahmad M Zuhri, op.cit, hal 57

Anda mungkin juga menyukai