Anda di halaman 1dari 114

PERILAKU DAN SIKAP INDIVIDU

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas

Mata Kuliah: Perilaku Organisasi

Dosen Pengampu: Sofyan Hakim, SE., SAP., MM., MAP

Disusun Oleh:

Rusandi Fahmi Atmaja

2114140288

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

PRODI AKUNTANSI SYARIAH

TAHUN 2021/1443 M
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga kami mampu menyelesaikan makalah ini tepat
waktu sebagai tugas mata kuliah Perilaku Organisasi. Tak lupa pula shalawat
dan salam kita haturkan kehadirat junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang
menjadi teladan bagi umat Islam.

Saya selaku penulis tidak lupa untuk mengucapkan terima kasih kepada bapak
Sofyan Hakim, SE., SAP., MM., MAP selaku dosen mata kuliah Fikih Ibadah.
Tulisan ini merupakan perwujudan dari hasil pemahaman kami berdasarkan dari
beberapa sumber bacaan yang telah kami baca dan khirnya kami susun dalam
sebuah resume makalah.

Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, ini disebabkan
karena terbatasnya ilmu yang saya miliki. Untuk itu masukan dari berbagai pihak
sangat saya harapkan demi perbaikan di masa mendatang.

Demikianlah resume makalah ini saya susun, semoga dapat berguna dan
memberikan banyak manfaat khususnya bagi kami dan umumnya bagi para
pembaca untuk memperluas wawasan.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Palangkaraya, 1 November 2022

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................
KATA PENGANTAR..................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................iii
PEMBAHASAN..........................................................................................................1
BAB 1 KERAGAMAN BUDAYA ORGANISASI DAN KEPEMIMPINAN .........1
BAB II PERILAKU INDIVIDU DAN PERILAKU KERJA...................................11
BAB III PERSEPSI, ATRIBUT, DAN EMOSI DALAM ORGANISASI...............18
BAB IV MOTIVASI DALAM ORGANISASI........................................................37
BAB V KELOMPOK DAN TIM DALAM ORGANISASI.....................................48
BAB VI KONFLIK...................................................................................................57
BAB VII NEGOSIASI..............................................................................................63
BAB VIII KEKUASAAN POLITIK DAN PEMBERDAYAAN.............................67
BAB IX PENGAMBILAN KEPUTUSAN...............................................................90
BAB X EVALUASI, UMPAN BALIK DAN PENGHARGAAN...........................99
PENUTUP...............................................................................................................110
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................110
PEMBAHASAN
BAB 1
Keragaman Budaya Organisasi dan Kepemimpinan

1. Keragaman Budaya Organisasi


a). Budaya Organisasi
Budaya organisasi dapat diartikan sebagai suatu pola asumsi-asumsi dasar
yang oleh suatu kelompok tertentu telah ditemukan atau telah dikembangkan
melalui pelajaran untuk memecahkan masalah-masalah dalam adaptasi eksternal
dan integrasi internal, dan yang telah berjalan cukup lama dan dipandang sahih,
oleh karena itu perlu untuk diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara
yang benar untuk memandang, berfikir dan merasa dalam kaitannya dengan
masalah-masalah tersebut. Joanne Martine (Lutans, 1995) menyatakan bahwa
sewaktu individu-individu itu masuk ke dalam organisasi mereka masuk ke dalam
norma yang ada, masuk terhadap cerita orangorang yang menyatakan apa yang
terjadi, aturan-aturan formal dan prosedur formal organisasi, disamping itu juga
masuk pada kode-kode tingkah laku formal, ritual, tugas, sistem pembayaran,
istilah dan gurauan-gurauan yang hanya dapat dimengerti oleh orang dalam.
Elemen-elemen ini merupakan beberapa dari manifestasi budaya organisasi.
Menurut Lutans (1995), seluruh organisasi mempunyai budaya, mereka berada
dalam budaya masyarakat khusus dan merupakan bagian dari masyarakat tersebut,
suatu budaya organisasi adalah merupakan persepsi biasa yang dipegang oleh para
anggota organisasi. Setiap orang dalam organisasi itu saling berbagi didalam
persepsi tersebut. Menurut Sweeney dan Dean B.M. (2002) budaya perusahaan
adalah merupakan suatu istilah yang paling halus dalam tingkah laku organisasi,
tetapi banyak sekali yang tidak setuju dengan istilah tersebut. Kebanyakan orang
mengetahui atau mengenal suatu istilah sebagai cara hidup atau personalitas dari
perusahaan atau gaya dari suatu perusahaan. Budaya perusahaan melibatkan
kepercayaan yang dianut oleh perusahaan, nilai-nilai yang dianut oleh perusahaan,
dan tingkahlaku yang dilakukan oleh suatu perusahaan yang memberikan pesan
terhadap orang dalam dan orang luar dari organisasi itu Budaya perusahaan
cenderung untuk stabil dalam waktu yang lama, jadi sekali budaya itu terbentuk
maka sangat sulit untuk dirubah. Robbins, 1998 dalam buku Organizational
Behavior: Structure, Disign and Aplications alih bahasa Pujaatmaka (1994)
mengemukakan bahwa budaya organisasi adalah suatu persepsi bersama yang
dianut oleh anggota-anggota organisasi, atau suatu sistem dari makna bersama.
Sistem makna bersama ini, merupakan seperangkat karakteristik utama yang
dihargai oleh organisasi itu. Fukuyama, 1995 (Sigit, 2003) budaya organisasi
adalah common understanding (kebersamaan pengertian) para anggota organisasi
untuk berperilaku sama, baik di luar maupun di dalam organisasinya. Ouchi, 1981
(Sigit, 2003) mendefinisikan budaya organisasi sebagai seperangkat simbol,
upacara dan mitos yang mengkomunikasikan nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan
dari organisasi kepada para karyawannya. Menurut Miller, 1984 (Sigit:2003)
budaya organisasi adalah seperangkat sistem nilainilai primer yang terdiri atas
delapan azas’ yaitu: azas-azas tujuan, konsensus, keunggulan, prestasi (kinerja),
empirisme, kesatuan, keakraban dan integritas, yang dijadikan sebagai norma atau
pedoman bagi para anggota perusahaan dalam perilaku mereka dan dalam
memecahkan masalah-masalah perusahaan. Budaya organisasi mengacu pada nilai
dan pola keyakinan dan perilaku yang diterima dan dipraktekan oleh anggota
organisasi tertentu. Karena setiap organisasi mengembangkan budaya uniknya
sendiri, organisasi dalam industri yang sama dan dalam kota yang sama sekalipun
ternyata bisa menunjukkan cara operasi yang berbeda. Budaya organisasi tertentu
mencerminkan pengaruh dari pendirinya, dan pengaruh yang kuat dari pemimpin
transformasional lainnya ketimbang pendirinya (Wright, Mark, J.K. dan John, P. :
1996). Berdasarkan konsep-konsep budaya organisasi di atas, maka mengabil
intisari dari beberapa konsep tersebut dan memformulasikannya dalam satu
kesatuan yaitu, bahwa budaya organisasi adalah suatu pola asumsi-asumsi dasar
yang berkenaan dengan kepercayaan, nilainilai, dan tingkahlaku yang di ciptakan
dan dikembangkan oleh suatu oraganisasi sebagai dasar dalam menentukan
tujuan, konsensus, keunggulan, prestasi (kinerja), inovasi, kesatuan, keakraban
dan integritas organisasi, yang dijadikan sebagai norma atau pedoman bagi para
anggota organisasinya untuk berperilaku sama dalam memecahkan masalah-
masalah organisasi baik di luar maupun di dalam organisasi untuk mendukung
pertumuhan dan perkembangan organisasi.
b). Karakteristik Budaya Organisasi
Menurut Robbins,1990 dalam buku Organizational Theory: Structure, Disign and
Aplications yang diterjemahkan oleh Jusuf Udaya (1994) bahwa budaya
mengimplikasikan adanya dimensi atau karakteristik tertentu yang berhubungan
secara erat dan interdependen. Tetapi kebanyakan peneliti tidak berusaha merinci
karakteristik tersebut. Jika budaya itu memang ada, dan kita menyatakan bahwa
memang demikian adanya, maka budaya harus mempunyai dimensi mencolok
yang dapat didefinisikan dan dapat diukur. Untuk itu Robbins (1998) dalam buku
Organizational Behavior: Concepts, Controversies, Applications alih bahasa
Pujaatmaka (2002) mengemukakan tujuh Karakteristik Budaya Organisasi sebagai
berikut:
a). Inovasi dan Pengambilan Resiko, yaitu sejauh mana para karyawan didorong
untuk inovatif dan mengabil resiko.
b). Perhatian, yaitu sejauh mana para karyawan diharapkan memperlihatkan
presisi (kecermatan), analisis dan perhatian terhadap hal yang lebih rinci.
c). Orientasi Hasil, yaitu sejauh mana manajemen memusatkan perhatian pada
hasil, bukannya pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil.
d). Orientasi Orang, yaitu sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan
efek hasil-hasil pada orang-orang di dalam organisasi tersebut.
e). Orientasi Tim, yaitu sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan dalam tim-tim
kerja, bukannya individuindividu.
f). Kegresifan, sejauh mana orang-orang itu agresif dan kompetitif dan bukannya
santai-santai.
g). Kemantapan, sejauh mana kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya
status quo dari pada pertumbuhan.
c). Fungsi Budaya dalam Organisasi
Menurut Robbins, 1998 (Pujaatmaka:2002) budaya manjalankan sejumlah fungsi
di dalam sebuah organisasi, antara lain:
a). Untuk menetapkan tapal batas antara satu organisasi dengan organisasi lainnya
b).Identitas bagi para anggota organisasi
c). Menimbulkan komitmen organisasi
d). Memantapkan sistem sosial organisasi atau sebagai perekat sosial organisasi
e). Mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap
serta perilaku karyawan dalam organisasi
f). Menetapkan permainan organisasi
d). Keseragaman Budaya dalam Organisasi
Budaya organisasi menyatakan suatu persepsi bersama yang dianut oleh anggota-
anggota organisasi itu. Oleh karena itu diharapkan bahwa individu-individu di
dalam organisasi mendiskripsikan budaya yang sama, walaupun sebenarnya
mereka memiliki keragaman latar belakang yang bervariasi dan tingkat-tingkat
jabatan dalam organisasi yang berbeda beda. Pengakuan bahwa budaya organisasi
mempunyai sifat-sifat bersama, tidaklah berarti bahwa tidak dapat ada sub-sub
budaya di dalam suatu organisasi. Karena pada kenyataanya bahwa organisasi
yang besar mempunyai suatu budaya yang dominan dan sejumlah sub budaya.
Menurut Luthans (1995) budaya organisasi yang dominan adalah merupakan satu
rangkaian nilai inti yang dilakukan oleh mayoritas dari anggota organisasi
tersebut. Suatu contoh misalnya kebanyakan organisasi Southwest Airlines
menerapkan nilai-nilai kerja keras, loyalityas terhadap perusaahaan dan
pentingnya akan pelanyanan kepada pelanggan. Sedangkan Sub budaya organisasi
adalah merupakan suatu rangkaian nilai yang diterapkan oleh satu minoritas,
biasanya minoritas kecil dari anggota-anggota organisasi seperti departemen atau
unit. Sub budaya ini biasanya merupakan suatu hasil bentukan anggotaanggota
dari satu departeman atau suatu unit. Jika organisasi-organisasi tidak mempunyai
budaya dominan dan tersusun hanya dari sub-sub budaya, maka nilai budaya
organisasi sebagai suatu variabel independen akan sangat berkurang, karena tidak
akan ada penafsiran yang seragam atas apa yang menggambarkan perilaku yang
tepat dan atau tidak tepat dari suatu anggota organisasi. Tetapi kita tidak dapat
mengabaikan realitas bahwa banyak organisasi yang mempunyai sub-sub budaya
yang dapat mempengaruhi perilaku anggota-anggotanya (Robbins:1998).
e). Jenjang Budaya Organisasi
Menurut Schein, 1985 (Sigit: 2003) budaya itu dapat dilihat dari tiga jenjang yaitu
jenjang atas, jenjang tengah, dan jenjang bawah. Jenjang atas ialah ―artifacts”
yaitu benda-benda atau barang-barang hasil ciptaan manusia, jenjang tengah
adalah ―values” yaitu nilai-nilai, dan jenjang bawah adalah ―asumptions‖; yaitu
asumsi-asumsi. Schein melukiskan tiga jenjang budaya itu seperti tampak pada
gambar 7. Pada jenjang atas (artifacts & creations) berupa teknologi, seni, pola-
pola perilaku manusia yang dapat didengar dan dilihat. Ini banyak sekali dan sulit
untuk dirinci satu persatunya. Yang dapat dilihat dan didengar ini budaya. Pada
jenjang tengah, ialah nilai-nilai termasuk keyakinan dan ideologi, tidak tampak
karena ada dalam pikiran, disadari oleh setiap orang, tergantung pada tempat,
waktu, dan faktorfaktor lainnya. Orang tidak akan menciptakan barang-barang,
teknologi, seni dan perilaku jika tidak ada nilai-nilai pada dirinya. Nilai-nilai ini
timbul disebabkan oleh adanya asumsiasumsi dasar yang ada pada jenjang bawah,
yaitu dasar anggapan yang ada pada setiap orang, siapa-pun, di mana-pun dan
kapanpun. Ini adalah pra sadar yang paling dalam, yang tidak tampak, yang tidak
disadari tetapi ada pada setiap orang, dan oleh sebab itu di sebut preconscious dan
taken for granted. siapa-pun, dan di mana-pun, maka ini sebenarnya bukan
budaya, karena budaya ialah yang membedakan antara satu komunitas dengan
komunitas lainnya.
f). Budaya dan Pengaruhnya Terhadap Organisasi
a). Budaya Kuat vs Budaya Lemah
Menurut Robbins,1998 (Pujaatmaka: 2002) budaya kuat mempunyai dampak
yang lebih besar pada perilaku karyawan dan lebih langsung dikaitkan pada
pengurangan tingkat keluarnya karyawan. Dalam suatu budaya kuat, nilai inti
budaya itu dipegang secara intensif dan dianut bersama secara meluas. Makin
banyak anggota yang menerima nilai-nilai inti dan makin besar komitmen mereka
pada nilai-nilai itu, maka makin kuat budaya tersebut. Konsisten dengan definisi
ini, suatu budaya kuat akan mempunyai pengaruh yang besar pada perilaku
anggota-anggotanya karena tingginya tingkat kebersamaan dan intensitas
menciptakan suatu iklim internal dari kendali perilaku yang tinggi. Suatu hasil
spesifik dari suatu budaya yang kuat seharusnya adalah menurunnya tingkat
keluarnya karyawan. Suatu budaya yang kuat memperlihatkan kesepakatan yang
tinggi dikalangan anggota mengenai apa yang dipertahankan oleh organisasi itu.
Kebulatan maksud semacam itu membina kekohesifan, kesetiaan dan komitmen
organisasi, sehingga mengurangi kecenderungan karyawan untuk meninggalkan
organisasi itu.
b). Budaya vs Formalisasi
Suatu budaya yang kuat meningkatkan konsistensi perilaku. Dalam penegrtian ini,
hendaknya kita menyadari bahwa suatu budaya yang kuat dapat bertindak sebagai
suatu pengganti untuk formalisasi (Robbins,1998, alih bahasa Pujaatmaka: 2002)
Formalisasi tinggi dalam suatu organisasi menciptakan peramalan, ketertiban, dan
konsistensi. Suatu budaya yang kuat mencapai tujuan akhir yang sama tanpa perlu
dokumentasi tertulis. Oleh karena itu seharusnya kita memandang formalisasi dan
budaya sebagai dua jalan yang berlainan tetapi menuju pada suatu tujuan yang
sama. Makin kuat suatu budaya organisasi, makin kurang manajemen itu perlu
memperhatikan pengembangan aturan dan pengaturan formal untuk memandu
perilaku karyawan. Panduan tersebut akan diinternalkan dalam diri para karyawan
ketika mereka menerima budaya organisasi.
c). Budaya Organisasi vs Budaya Nasional
Riset menunjukkan bahwa budaya nasional mempunyai dampak yang lebih besar
pada para karyawan daripada budaya organisasi meraka (Robbins,1998, alih
bahasa Pujaatmaka: 2002). Karenanya para karyawan Jerman pada sebuah
fasilitas IBM di Munich akan lebih dipengaruhi oleh budaya Jerman dari pada
oleh budaya IBM. Temuan-temuan ini secara insidental, konsisten dengan apa
yang ditemukan oleh Presiden baru Masda yaitu Henry Wallace dari Ford Motor
Co. pada tahun 1996 untuk mengubah penjualan yang merosot dan membuat
Mazda kembali mampu menghasilkan laba. Menurut Wallace yang dituturkan
Robbins (1998) bahwa budaya Jepang telah sangat kuat membentuk budaya
perusahaan Mazda, dan karyawan Jepang menolak nilai budaya tipe Ford.
Kesimpulannya bahwa budaya nasional lebih besar pengaruhnya dari pada budaya
organisasi terhadap pemahaman perilaku orang di tempat kerja. Kasus lain adalah
tentang seleksi diri yang berlangsung pada tahap penerimaan kerja. Misalnya IBM
mungkin kurang peduli dalam mempekerjakan orang khas ―Italia‖ untuk
operasinya di Italia dari pada mempekerjakan orang Italia yang cocok dengan cara
IBM melakukan segala sesuatu. Secara historis orang-orang Italia yang
mempunyai kebutuhan tinggi akan otonomi lebih besar kemungkinannya untuk
pergi ke Olivetti daripada IBM. Karena budaya organisasi Olivetti bersifat
informal dan tidak terstruktur, yang memberikan lebih banyak kebebasan dari
pada yang diberikan oleh IBM. Memang Olivetti berupaya mempekerjakan
individu-individu yang tidak sabar, pengambil resiko dan inovatif dari kualitas
calon karyawan baru yang justru akan ditolak oleh operasi IBM di Italia.
g). Merubah Budaya Organisasi
Menurut Dunford (1995) bisa tidaknya dikelola (manageability) suatu budaya
adalah merupakan isu penting yang masih diperdebatan, seperti; Martin (1985)
mengkarakteristikkan dua kemungkinan ekstrim dari pragmatisme budaya dan
budaya murni. Pragmatisme budaya menyatakan bahwa budaya itu merupakan
fenomena yang secara relatif dapat dekelola. Dari posisi ini, budaya adalah
merupakan satu variabel seperti struktur teknologi atau strategi marketing, disitu
bisa dibentuk dan bisa diolah. Keyakinan ini digambarkan secara umum oleh
Hikson dan Silva (1984) yang menamakan salah satu bab dari bukunya itu adalah
How to build culture‖. Kilmann (1985) merujuk pada gap culture‖ yang
menyarankan bahwa budaya yang ada mungkin berdeviasi dari apa yang terbaik
yang ada sebelumnya pada ―top mangement‖, dan ―culture ruts‖ dimana transisi
budaya yang lama dengan yang baru itu tidak bisa digantikan. Lundberg, 1985
(Dunford (1995) menspesifikasikan beberapa tahap perubahan budaya organisasi
sebagai berikut:
a). Kondisi yang memungkinkan secara eksternal; seperti kondisi pasar dan
faktor-faktor level budaya masyarakat.
b). Kondisi yang memungkinkan secara internal; seperti adanya tekanan beberapa
anggota organisasi yang menekankan dan atau menjadi sumber yang mendorong
perubahan.
c). Tekanan-tekanan yang mendesak; seperti permintaan konsumen yang berubah,
atau keadaan staf yang berubah.
d). Cultural visioning; Hal ini merupakan kesedaran anggotaanggota organisasi
kunci akan perlunya redesign budaya organisasi.
e).Strategi perubahan budaya, dimana visi harus kembangkan menjadi suatu
perencanaan ke depan dalam merubah budaya organisasi.
Luthans (1995) mengemukakan bahwa kadang-kadang suatu organisasi
menentukan bahwa budaya organisasi harus dirubah. Salah satu contoh
lingkungan luar telah berubah secara drastis, dan organisasi tersebut harus dapat
beradaptasi dengan kondisi yang baru atau bahkan organisasi tersebut tidak
mungkin bisa survive. Tetapi perubahan budaya lama merupakan hal yang cukup
sulit, suatu kasus bahkan mungkin terjadi bahwa perubahan tersebut betul-betul
tidak dapat dilakukan secara berhasil. Meskipun banyak hambatan, tekanan dan
perlawanan yang signifikan terhadap adanya perubahan, tetapi pada prinsipnya
budaya organisasi dapat dikelola dan dapat dirubah dalam kurun waktu tertentu.
Menurut Sigit (2003) bahwa mengubah budaya organisasi tidak mudah, apalagi
jika nilai-nilai budaya organisasi yang akan diubah itu sudah berlaku bertahun-
tahun, sudah mengakar dan kuat. Mengubah budaya organisasi berarti berhadapan
dengan sebagaian anggota organisasi, kecuali jika budaya yang ada dan sedang
berlaku tidak kuat. Untuk mengubah budaya diperlukan pimpinan organisasi yang
kuat, dalam arti berkualitas, yang memiliki: kecakapan, kejujuran, keteladanan,
dan dapat mengubah paradigma anggota organisasi untuk melepaskan budaya
lama dan berpaling kepada budaya baru yang telah dianalisis lebih unggul dan
lebih menguntungkan bagi masa depan organisasi. Ada empat pendekatan yang
dapat dilakukan untuk mengubah budaya organisasi (Sigit, 2003), yaitu:
a). Pendekatan agresif, dalam pendekatan ini pimpinan mengganti nilai-nilai lama
dengan nilai-nilai baru yang sifatnya memaksa dan menggunakan kekerasan.
Pendekatan ini tentu saja menimbulkan konflik dan non-kolaboratif, karena
dilakukan secara sepihak. Ada dua kemungkinan hasilnya, yaitu berhasil atau
gagal.
b). Pendekatan Concilliative (damai), pendekatan ini dilakukan secara bertahap;
sedikit-demi sedikit, tidak dramatis dan pada akhirnya tidak terasa sudah terjadi
perubahan.
c). Pendekatan Corrosive, pendekatan ini menggunakan taktik dan proses politik,
yaitu dengan membagi kekuasaan dengan orang-orang tertentu yang ditempatkan
untuk menguasai bagian-bagian tertentu.
d). Pendekatan Indoktrinatif, pendidikan ini menggunakan pelatihan dan
pendidikan, dengan fokus pada konsep pengubahan budaya organisasi melalui
proses belajar. Ini dilakukan secara bertahap dimulai dari level atas samapai level
bawah secara terus-menerus.
Dari empat pendekatan itu, mana yang akan dipilih tergantung pada situasi dan
kondisi, yaitu sejauh mana kekuatan budaya yang lama, sejauh mana kekuatan
pimpinan, sejauhmana reaksi para anggota organisasi, dan bagaimanakah keadaan
lingkungan organisasi mendukung atau tidak. Hal ini perlu dipelajari terlebih
dahulu sebelum memutuskan untuk memilih pendekatan mana yang akan
digunakan.
2. Kepemimpinan Dalam Organisasi
Berhasil tidaknya suatu usaha pencapaian tujuan yang telah ditentukan itu
sebagian besar akan ditentukan oleh kemampuan pemimpin, yang memegang
peranan penting dalam rangka menggerakkan orang-orang/bawahannya.
Keterampilan kepemimpinan (leadership skill) yang baik dan efektif sangat
penting untuk membangun, mendorong dan mempromosikan kualitas bukan
kuantitas produksi dalam perusahaan yang kuat dan akhirnya meraih keberhasilan.
Oleh karena itu, keahlian dalam memimpin sangat dibutuhkan untuk
meningkatkan efisiensi dan mencapai tujuan organisasi. Suatu organisasi dapat
bergerak maju jika menanggapi secara positif perubahan-perubahan yang akan
muncul. Pemimpin saat ini dan akan dating dituntut untuk bersikap fleksibel,
mampu beradaptasi dengan dengan lingkungan yang bersifat dinamis serta
mampu menindaki segala bentuk perubahan dan secara aktif membuat variasi
program perubahan yang dibutuhkan. Setiap manusia mempunyai sebuah tujuan,
tetapi keterbatasan yang dimiliki menjadi faktor penyebab terbentuknya suatu
organisasi. Organisasi inilah yang mengumpulkan mereka untuk bekerjasama
dalam mencapai tujuan yang ditetapkan bersama. Organisasi harus mempunyai
seorang pemimpin untuk membantu mereka menjalankan semua komponen dalam
organisasi tersebut. Meskipun demikian, seorang pimpinan tidak semata-mata
dipilih dan ditentukan. Terdapat persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi,
serta kemampuan berpikir dan bertindak yang tentu harus dipertimbangkan. Setiap
pemimpin memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda antara satu dan lainnya.
Cara pandang mengenai isu-isu tertentu menjadi kapasitas kepemimpinan
individu. Tidak bisa dipungkiri bahwa menjadi seorang pemimpin harus
bertanggung jawab dan memiliki peran yang berat dan berpengaruh. Akan tetapi,
setiap hal dapat diatasi jika ia menggunakan taktik dan strategi yang sesuai
dengan keadaannya. Kepemimpinan atau dalam bahasa Inggris disebut dengan
leadership memiliki arti luas meliputi “ilmu tentang kepemimpinan, teknik
kepemimpinan, seni memimpin, ciri kepemimpinan, serta sejarah kepemimpinan”
(Tikno Lensufie). Kepemimpinan mengacu pada seseorang yang memimpin
sebuah organisasi atau lembaga, dan bukan sekedar memimpin upacara bendera,
paduan suara dan sejenisnya (memimpin sesaat). Berikut ini hal-hal yang patut
diperhatikan dalam memimpin suatu organisasi:
a) Efektivitas kepemimpinan bukan berdasarkan penunjukannya, melainkan
penerimaan para anggota terhadap kepemimpinannya.
b) Efektivitas kepemimpinan tercermin dari kemampuannya untuk tumbuh dan
berkembang.
c) Efektivitas kepemimpinan menuntut kemahiran untuk “membaca” situasi. d)
Sikap dan perilaku seseorang terbentuk dari pertumbuhan dan perkembangan.
e) Anggota yang mampu menyesuaikan cara berpikir dan bertindaknya untuk
mencapai tujuan organisasi dapat mewujudkan kehidupan organisasi yang dinamis
dan serasi.
1). Pentingnya Kepemimpinan dalam Sebuah Organisasi
Manajemen yang baik oleh manajer yang berpengalaman dapat mensukseskan
sebuah bisnis. Namun, keterampilan manajemen dasar tidak cukup untuk
mencapai kesuksesan di dunia yang penuh dengan persaingan ini. Dibutuhkan
keterampilan kepemimpinan (leadership skill) yang baik dan efektif untuk
menciptakan, mendorong dan mempromosikan budaya yang kuat dalam
perusahaan sampai meraih keberhasilan. Manajer biasanya dipahami sebagai
pemimpin yang pada kenyataannya tidak semua manajer bisa menjadi pemimpin,
meskipun seorang pemimpin merupakan manajer. Oleh karenannya, keterampilan
kepemimpinan sangat penting untuk meningkatkan efisiensi dan mencapai tujuan
organisasi.
2). Ada 3 sebab mengapa seseorang menjadi seorang pemimpin, antara lain
yaitu :
a) Melalui berbagai persiapan dan pendidikan serta didorong oleh kemauan
sendiri.
b) Memiliki bakat kepemimpinan sejak ia lahir yang kemudian dikembangkan
melalui pendidikan dan pengalaman dan sesuai tuntutan lingkungan sekitar.
c) Untuk persyaratan kepemimpinan yang dikaitkan dengan kekuasaan,
kewibawaan, dan kemampuan.
3). Pentingnya Sebuah Kepemimpinan yang Efektif
a) Produktivitas Sebuah kemampuan dan kemauan dapat menghasilkan prestasi
kerja yang efektif dan berdaya guna dengan memanfaatkan sumber daya manusia
dan non-manusia. Dalam kasus ini, seorang atasan berperan untuk
memaksimalkan produktivitas pegawai melalui peningkatan kemauan untuk
bekerja keras dan berkontribusi secara tepat guna.
b) Kepuasan kerja Memberikan lingkungan kerja yang baik dapat menambah
kepuasaan kerja pegawai yang bergantung pada perilaku pemimpin terhadap
pegawainya. Dengan demikian, atasan harus memastikan bahwa ia bersikap sesuai
dengan apa yang bisa diterima oleh bawahannya.
c) Kerjasama kelompok Seorang atasan harus memastikan bahwa bawahannya
mengerjakan tugas masing-masing dengan sebaik-baiknya dan saling percaya satu
sama lain untuk memajukan organisasi mereka. Pemimpin memotivasi mereka
dalam mencapai tujuan organisasi.
d) Kegiatan yang terorganisir Seorang pemimpin memastikan segala aktivitas
organisasi didelegasikan secara adil dan merata pada pegawainya untuk
menghindari bentrokan di lingkungan organisasi.
e) Semangat karyawan Semangat kerja yang tnggi dari seorang pegawai dapat
membantu terwujudnya kepemimpinan yang efektif. Pemimpin yang bijaksana
mampu memberikan hak kepada tiap kelompok dalam hal pemikiran dan perilaku,
agar dapat terjalin interaksi yang lebih baik. Lebih lanjut, hubungan yang baik
yang difasilitasi antara anggota-anggota kelompok dengan menjaga disiplin dan
pengawasan pada karyawan.
f) Koordinasi Mengintegrasikan tujuan pribadi dan tujuan kelompok yang
mengikat persamaan dari dua kepentingan. Pemimpin menyimpan informasi yang
dibutuhkan kelompok, untuk membuat suatu keputusan umum dalam rangka
mengkoordinasi upaya secara keseluruhan
4). Komponen–Komponen Kempemimpinan dalam Organisasi
Pemimpin adalah orang yang mampu menggerakkan pengikutnya yang mana ia
tidak bekerja sendiri, namun membutuhkan komponen-komponen lain dalam
kepemimpinan:
a) Pemimpin, yaitu orang yang mampu menggerakkan pengikut untuk mencapai
tujuan organisasi. Pemimpin harus mempunyai visi, spirit, karakter, integritas, dan
kapabilitas yang tinggi.
b) Kemampuan menggerakkan, yaitu bagaimana pemimpin menggerakkan
pengikutnya untuk mencapai tujuan organisasi
c) Pengikut, yaitu orang-orang yang berada di bawah otoritas atau jabatan seorang
pemimpin.
d) Tujuan yang baik, yaitu apa yang ingin dicapai oleh organisasi tersebut.
e) Organisasi, yaitu wadah atau tempat kepemimpinan berada.
a. Teori Kepemimpinan dalam Organisasi
Ada beberapa teori kepemimpinan dalam organisasi :
1) Teori sifat: kecerdasan, inisiatif, keterbukaan dan perasaan humor, antusiasme,
kejujuran, simpatik, kepercayaan pada diri sendiri /PD
2) Teori Kelompok (berskala psikologi sosial) : Pertukaran antara pemimpin dan
pengikutnya, konsep sosiologi, memperhitungkan dan membantu pengikutnya,
pemberian perhatian
3) Teori Situasional dan model kontingensi : Hubungan pemimpin dan struktur
fungsi, derajat tugas dan strukutur tugas, otorita formal (kontingensi), diterima
oleh pengikutnya, tugas dan semua berhubungan dengannya ditentukan dengan
secara jelas, penggunaan otoritas dan kekuasaan secara formal
4) Teori jalan-jalan kecil-tujuan : Kepemimpinan direktif, pemimpin mendukung
partisipatif, pemimpin berorintasi pada prestasi.
b. Fungsi Kepemimpinan dalam Organisasi
Tugas pokok seorang atasan ialah melakukan fungsi-fungsi manajemen yang
terdiri atas: merencanakan, mengorganisasikan, menggerakkan, dan mengawasi.
Tugas-tugas tersebut dapat terselesaikan dengan menggerakkan orang-orang yang
mengikutinya. Seorang pemimpin harus kreatif dan inisiatif serta selalu
memperhatikan interaksi manusiawi agar para bawahan mau bekerja dengan baik.
Berikut tugas-tugas rinci seorang pemimpin organisasi: pengambilan keputusan,
menetapkan sasaran dan menyusun kebijaksanaan, mengorganisasikan dan
menempatkan pekerja, mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan baik secara vertikal
(antara bawahan dan atasan) maupun secara horisontal (antar bagian atau unit),
serta memimpin dan mengawasi pelaksanaan pekerjaan. Secara umum, tugastugas
pokok pemimpin meliputi. Melaksanaan fungsi managerial, yaitu berupa kegiatan
pokok meliputi pelaksanaan:
1. Penyusunan rencana. Penyusunan organisasi pengarahan organisasi
pengendalian penilaian atau pelaporan
2. Mendorong (memotivasi) bawahan untuk dapat bekerja dengan giat dan teku
3. Membina bawahan agar dapat memikul tanggung jawab tugas masing-masing
secara baik
4. Membina bawahan agar dapat bekerja secara efektif dan efisien
5. Menciptakan iklim kerja yang baik dan harmonis
6. Menyusun fungsi manajemen secara baik
7. Menjadi penggerak yang baik dan dapat menjadi sumber kreativitas
8. Menjadi wakil dalam membina hubungan dengan pihak luar
Untuk menciptakan kepemimpinan yang efektif, maka kepemimpinan tersebut
harus dilaksanakan sesuai dengan fungsinya. Sehubungan dengan hal tersebut,
menurut Hadari Nawawi (1995) “fungsi kepemimpinan berhubungan langsung
dengan situasi sosial dalam kehidupan kelompok masing-masing yang
mengisyaratkan bahwa setiap pemimpin berada di dalam, bukan berada di luar
situasi itu. Pemimpin harus berusaha agar menjadi bagian di dalam situasi sosial
kelompok atau organisasinya. Fungsi kepemimpinan menurut Hadari Nawawi
“memiliki dua dimensi yaitu:
1. Dimensi yang berhubungan dengan tingkat kemampuan mengarahkan dalam
tindakan atau aktivitas pemimpin, yang terlihat pada tanggapan orang-orang yang
dipimpinnya.
2. Dimensi yang berkenaan dengan tingkat dukungan atau keterlibatan orang-
orang yang dipimpin dalam melaksanakan tugas-tugas pokok kelompok atau
organisasi, yang dijabarkan dan dimanifestasikan melalui keputusan-keputusan
dan kebijakan pemimpin”.
Sehubungan dengan kedua dimensi tersebut, menurut Hadari Nawawi, secara
operasional dapat dibedakan “lima fungsi pokok kepemimpinan, yaitu:
1. Fungsi Instruktif
Pemimpin berfungsi sebagai komunikator yang menentukan apa (isi perintah),
bagaimana (cara mengerjakan perintah), bilamana (waktu memulai, melaksanakan
dan melaporkan hasilnya), dan dimana (tempat mengerjakan perintah) agar
keputusan dapat diwujudkan secara efektif. Sehingga fungsi orang yang dipimpin
hanyalah melaksanakan perintah.
2. Fungsi Konsultatif
Pemimpin dapat menggunakan fungsi konsultatif sebagai komunikasi dua arah.
Hal tersebut digunakan manakala pemimpin dalam usaha menetapkan keputusan
yang memerlukan bahan pertimbangan dan berkonsultasi dengan orang-orang
yang dipimpinnya.
3. Fungsi Partisipasi
Dalam menjalankan fungsi partisipasi pemimpin berusaha mengaktifkan orang-
orang yang dipimpinnya, baik dalam pengambilan keputusan maupun dalam
melaksanakannya. Setiap anggota kelompok memperoleh kesempatan yang sama
untuk berpartisipasi dalam melaksanakan kegiatan yang dijabarkan dari tugas-
tugas pokok, sesuai dengan posisi masing-masing.
4. Fungsi Delegasi
Dalam menjalankan fungsi delegasi, pemimpin memberikan pelimpahan
wewenang membuat atau menetapkan keputusan. Fungsi delegasi sebenarnya
adalah kepercayaan seorang pemimpin kepada orang yang diberi kepercayaan
untuk pelimpahan wewenang dengan melaksanakannya secara bertanggungjawab.
Fungsi pendelegasian ini, harus diwujudkan karena kemajuan dan perkembangan
kelompok tidak mungkin diwujudkan oleh seorang pemimpin seorang diri.
5. Fungsi Pengendalian
Fungsi pengendalian berasumsi bahwa kepemimpinan yang efektif harus mampu
mengatur aktivitas anggotanya secara terarah dan dalam koordinasi yang efektif,
sehingga memungkinkan tercapainya tujuan bersama secara maksimal. Dalam
melaksanakan fungsi pengendalian, pemimpin dapat mewujudkan melalui
kegiatan bimbingan, pengarahan, koordinasi, dan pengawasan”.
c. Pendekatan-Pendekatan dalam Kepemimpinan
Terdapat empat pendekatan kepemimpinan yang dijelaskan dalam poin-poin
berikut.
1. Pendekatan Sifat Kesuksesan dan kegagalan pemimpin ditentukan oleh sifat
yang dimilikinya sejak lahir.
2. Pendekatan Keahlian Individu pemimpin merupakan fokus dari pendekatan
keahlian dan pendekatan sifat. Namun, jika pendekatan sifat berhubungan dengan
karakter pribadi pemimpin yang dibawanya sejak lahir, maka pendekatan keahlian
berpusat pada kemahiran dan kemampuan yang dapat dipelajari dan
dikembangkan oleh seseorang yang ingin menjadi pemimpin. Jika pendekatan
sifat mempertanyakan siapa saja yang mampu untuk menjadi pemimpin, maka
pendekatan keahlian mempertanyakan apa yang harus diketahui untuk menjadi
seorang pemimpin. Kemampuan seseorang untuk mengaplikasikan pengetahuan
dan kompetensi yang dimilikinya untuk mencapai tujuan merupakan pengertian
dari pendekatan keahlian.
3. Pendekatan Perilaku Pendekatan perilaku berdasarkan pada pemikiran bahwa
sikap dan gaya kepemimpinan mampu menentukan kesuksesan atau kegagalan
seorang pemimpin. Sikap dan gaya kepemimpinan tersebut terlihat dari
kehidupannya sehari-hari, cara ia memberi perintah, membagi tugas dan
wewenangnya, cara berkomunikasi, cara mendorong semangat kerja bawahan,
cara memberi bimbingan dan pengawasan, cara membina disiplin kerja bawahan,
cara menyelenggarakan dan memimpin rapat anggota, cara mengambil keputusan
dan sebagainya.
4. Pendekatan Situasional Pendekatan situasional atau pendekatan kontingensi
didasarkan pada pendapat tentang kesuksesan kepemimpinan tidak hanya
dipengaruhi oleh perilaku pemimpin saja. Setiap organisasi mempunyai karakter
khusus dan unik yang bahkan organisasi sejenispun akan menghadapi isu-isu yang
bervariasi karena lingkungan, semangat, watak dan situasi yang berbeda ini harus
ditindaklanjuti dengan perilaku kepemimpinan.
Pemimpin merupakan individu yang memimpin orang terpilih sebagai pemimpin.
Ia terpilih karena kemampuan kompetitif dan koperatif dalam kelompoknya. Hal
ini sangat penting dalam mengatur atau memanfaatkan sumber-sumber potensial
dalam organisasi. Kepemimpinan juga tidak terpisahkan dari istilah kekuasaan
yang bersifat dominan. Apabila kekuasaan tidak ada dalam diri seorang
pemimpin, maka kurang utuh kewenangan yang ia berikan. Banyak para ahli yang
mendefinisikan kekuasaan. Kekuasaan berhubungan erat dengan kepemimpinan.
Dengan memberikan interaksi yang menyeluruh antara kepemimpinan dan
kekuasaan. Kekuasaan sangat berperan dalam menentukan nasib umat manusia.
Hubungan pemimpin dan kekuasaan adalah ibarat gula dengan manisnya, ibarat
garam dengan asinnya. Dua-duanya tak terpisahkan. Kepemimpinan yang efektif
terwujud pada pemimpin yang kekuasaannya mampu menggugah pengikutnya
mencapai prestasi yang memuaskan. Saat kekuasaan tidak hanya muncul dari satu
sumber, kepemimpinan yang efektif bisa dianalogikan sebagai gerakan untuk
memanfaatkan asal usul kekuasaan dan menerapkannya di lingkungan yang tepat.

BAB II
Perilaku Individu dan Perilaku Kerja
1. Perilaku Individu
Perilaku manusia merupakan sebuah fungsi dari hubungan antara manusia dengan
lingkungan sekitarnya. Seseorang membawa rangkaian dalam organisasi meliputi
kemampuan, kepercayaan pribadi, pengharapan kebutuhan dan pengalaman masa
lalu. Sementara itu, karakteristik manusia akan masuk ke dalam lingkungan kerja
yang baru yaitu organisasi atau lembaga lainnya. Organisasi pun memiliki
karakteristik dan bertindak sebagai sebuh lingkungan untuk manusia.
Karakteristik manusia berinteraksi dengan karakteristik organisasi yang dapat
menciptakan perilaku individu dalam organisasi. Pada dasarnya, perilaku manusia
dimotivasi oleh hasrat untuk mencapai suatu tujuan, yang mana seseorang
seringkali mempunyai motif dalam pencapaian tujuan tersebut. Motif merupakan
ikhwal penyebab perilaku yang timbul dan mempertahankan kegiatan serta
menetapkan arah umum perilaku manusia. Motif ialah dorongan utama dalam
melaksanakan suatu kegiatan. Setelah bertahun-tahun teori dan riset
dikembangkan, akhirnya secara umum disepakati, bahwa:
a. Perilaku timbul karena sutu sebab
b. Perilaku diarahkan pada tujuan
c. Perilaku yang dapat diamati masih dapat diukur. Membuat laporan, menyusun
program, merangkai sperpart computer, dll.
d. Perilaku yang tidak langsung dapat diamati seperti: berfikir, berpersepsi juga
penting dalam mencapai tujuan
e. Perilaku bermotivasi.
Setiap manusia mempunyai ciri seperti kemampuan, kepercayaan pribadi,
harapan, kebutuhan dan pengalaman masa lalunya. Organisasi sebagai lingkungan
manusia juga berciri-ciri sebagai berikut: regulasi yang disusun dalam suatu
hirarki, pekerjaan-pekerjaan, tugas-tugas, wewenang, tanggung jawab, sistem
penggajian, sistem pengendalian.
Menurut Sopiah untuk dapat memahami perilaku individu dengan baik,
terlebih dahulu kita harus memahami karakteristik yang melekat pada
indvidu. Adapun karakteristik yang dimaksud adalah ciri-ciri biografis,
kepribadian, persepsi dan sikap(Sopiah, 2008). Manusia merupakan salah
satu dimensi dalam organisasi yang amat penting, merupakan salah satu
faktor dan pendukung organisasi(Ratih, 2018). Perilaku organisasi pada
hakikatnya adalah hasil-hasil interaksi antara individu-individu dalam
organisasinya. Oleh karena itu untuk memahami perilku organisasi sebaiknya
diketahui terlebih dahulu individu-individu sebagai pendukung organisasi
tersebut(Thoha, 2012).Kast dan James, mengemukakan perilaku adalah cara
bertindak, ia menunjukkan tingkah laku seseorang. Pola perilaku adalah
mode tingkah laku yang dipakai seseorang dalam melaksanakan kgiatan-
kegiatannya. Dikatakan bahwa proses perilaku serupa untuk semua individu,
walaupun pola perilakunya mungkin berbeda. Ada 3 asumsi yang saling berkaitan
mengenai perilaku manusia, yakni:
1) perilaku itu disebabkan (caused)
2) perilaku itu digerakkan (motivated)
3) perilaku itu ditunjukan pada sasaran.
Ketiga unsur ini saling terkait dalam modal dasar perilaku individu dan berlaku
kepada siapa dan kapan saja (Kast & Rosenzweig, 1995). Setiap individu
berperilaku ketika ada ransangan dan memiliki sasaran tertentu. Perialku ke arah
sasaran, timbul karena ada ransangan dan semua perilaku ada penyebabnya.Yang
pokok dalam proses ini adalah jarak antara kondisi sekarang dengan kondisi yang
diinginkan dan perilaku yang timbil untuk menutup jarak itu. Ransangan disaring
melalui system keinginan atau kebutuhan yang mungkin bermacam-macam
bentuknya. Perilaku organisasi merupakan ilmu pengetahuan yang membahas
tentang dampak perseorangan, kelompok, dan struktur dalam perilaku
berorganisasi dengan tujuan menerapkan pengetahuan mengenai hal–hal tersebut
guna memperbaiki efektivitas organisasi (Umam, 2012). Perilaku manusia adalah
sebagai suatu fungsi dari interaksi antara person atau individu dengan
lingkungannya. Individu membawa ke dalam tatanan organisasi kemampuan,
kepercayaan pribadi, pengharapan kebutuhan, dan pengalaman masa lalunya. Ini
semua merupakan karakteristik yang dipunya individu, dan karakteristik ini akan
dibawa olehnya manakala ia akan memasuki sesuatu lingkungan baru, yakni
organisasi atau lainnya. Organisasi yang juga merupakan suatu lingkungan bagi
individu mempunyai karakteristik pula. Adapun karakteristik yang dipunyai
organisasi antara lain: keteraturan yang diwujudkan dalam susunan hirarki,
pekerjaan-pekerjaan, tugas-tugas, wewenang dan tanggung jawab, sistem
penggajian, sistem pengendalian dan lain sebagainya.
a. Memahami Sifat-sifat Manusia
Salah satu cara untuk memahami sifat-sifat manusia ialah dengan menganalisa
kembali prinsip-prinsip dasar yang merupakan salah satu bagian daripadanya.
Prinsipprinsip dasar itu sebagaimana dikemukakan oleh Thoha, sebagai berikut:
Manusia berbeda perilakunya, karena kemampuannya tidak sama Mempelajari
prinsip dasar kemampuan amat penting agar dapat diketahui mengapa seseorang
berbuat dan berperilaku berbeda dengan yang lain. Dengan adanya keterbatasan
kemampuan ini, maka setiap orang didalam melaksanakan tugasnya akan tidak
sama pula. Demikian pula dengan seorng pemimpin. Ada seorang pemimpin bisa
mengatasi persoalan yang rumit hanya memerlukan beberapa saat saja, tetapi tidak
demikianlah dengan pimpinan yang lain, ia memerlukan puasa tiga hari tiga
malam, berkonsultasi dengan orang tua disuatu desa yang diagung-agungkan, dan
banyak cara yang dilakukan.Keterbatasan kemampuan ini yang membuat
seseorang bertingkah laku yang berbeda. Banyak yang diinginkan manusia, tetapi
jawaban manusia untuk mewujudkan keinginannya itu terbatas, sehingga
menyebabkan semua yang diinginkan itu tidak tercapai (Thoha, 2012). Manusia
mempunyai kebutuhan yang berbeda. Para ahli sepakat bahwa manusia ini
berperilaku karena di dorong oleh serangkaian kebutuhan. Dengan adanya
kebutuhan yang ada dalam diri setiap individu, hal ini mendorong semangatnya
untuk berbuat dalam mencapainya sesuatu objek atau hasil. Kebutuhan seseorang
berbeda dengan kebutuhan orang lain. Seseorang karyawan yang didorong untuk
mendapatkan tambahan gaji supaya dapat hidup satu bulan dengan keluarganya,
tingkah perilakunya jelas akan berbeda dengan karyawan yang didorong oleh
keinginan memperoleh kedudukan agar mendapatkan harga diri di dalam
masyarakat. Pemahaman kebutuhan yang berbeda dari seseorang ini amat
bermanfaat untuk memahami konsep perilaku seseorang di dalam organisasi. Hal
ini bisa dipergunakan untuk memprediksi dan menjelaskan perilaku yang
berorientasi tujuan di dalam kerja sama organisasi. Ini juga dapat menolong kita
untuk memahami mengapa suatu hasil dianggap penting bagi seseorang, dan juga
menolong kepada kita untuk mengerti hasil manakah yang akan menajdi
terpenting untuk menentukan spesifikasi individu. Orang berfikir tentang masa
depan, dan membuat pilihan tentang bagaimana bertindak. Kebutuhan-kebutuhan
manusia dapat dipenuhi lewat perilakunya masingmasing. Didalam banyak hal,
seseorang dihadapi dengan sejumlah kebutuhan yang potensial harus dipenuhi
lewat perilaku yang diperilakunya. Cara untuk menjelaskan bagaimana seseorang
membuat pilihan di antara sejumlah besar rangkaian pilihan perilaku yang terbuka
baginya, adalah dengan mempergunakan penjelasan teori expectancy
(pengharapan). Teori ini didasarkan atas proposisi yang sederhana yakni bahwa
seseorang memilih berperilaku sedemikian karena ia yakin dapat mengerjakan
untuk mendapatkan sesuatu hasil tertentu (misalkan mendapatkan hadiah atau
upah, dan dikenal oleh atasan yang menarik baginya karena sesuai dengan
tuntutan kebutuhannya) (Thoha, 2012). Seseorang memahami lingkungannya
dalam hubungannya dengan pengalaman masa lalu dan kebutuhannya. Memahami
lingkungan adalah suatu proses yang aktif dimana seseorang mencoba membuat
lingkungannya itu mempunyai arti baginya. Proses yang aktif melibatkan
seseorang individu mengakui secara selektif aspek-aspek yang berbeda dari
lingkungan, menilai apa yang dilihatnya dalam hubungannya dengan pengalaman
masa lalu, dan mengevaluasi apa yang dialami dalam kaitannya dengan
kebutuhan-kebutuhannya dan nilainilainya. Oleh karena kebutuhan-kebutuhan dan
pengalaman seseorang itu seringkali berbeda sifatnya, maka persepsi terhadap
lingkungan juga akan berbeda. Suatu contoh, orang-orang yang berada dalam
organisasi yang sama seringkali mempunyai perbedaan di dalam berpengharapan
(expectancy) mengenai suatu jenis perilaku yang membuahkan suatu
penghargaan, misalnya naiknya gaji dan cepatnya promosi. Seseorang itu
mempunyai reaksi-reaksi senang atau tidak senang (affective). Orangorang jarang
bertindak netral mengenai suatu hal yang mereka ketahui dan alami. Dan mereka
cenderung untuk mengevaluasi sesuatu yang mereka alami dengan cara senang
atau tidak senang. Selanjutnya, evaluasinya itu merupakan salah satu faktor yang
teramat sulit di dalam mempengaruhi perilakunya dimasa yang akan datang.
Perasaan senang dan tidak senang ini akan menjadikan seseorang berbuat yang
berbeda dengan orang lain dalam rangka menanggapi sesuatu hal. Seseorang bisa
puas mendapatkan gaji tertentu karena bekerja di suatu tempat tertentu, orang lain
pada tempat yang sama merasa tidak puas. Kepuasan dan ketidakpuasan ini
ditimbulkan karena adanya perbedaan dari sesuatu yang diterima dengan sesuatu
yang diharapkan seharusnya diterima (Arifin, 2014). Orang Seutuhnya. Seorang
manusia perlu dilihat secara utuh, bukan sepotongsepotong, karena dapat
menyesatkan pandangan terhadapnya. Seorang manajer mungkin saja hanya
menggunakan akal dan kreativitas bawahan, juga karakteristik atau ciri-ciri
tertentu saja, tetapi semuanya akan membentuk suatu sistem manusia seutuhnya
yang mempunyai jiwa dan raga. Kreativitas atau akalnya tidak dapat dilepaskan
dari kehidupan bermasyarakatnya, tidak dapat lepas dari emosi dan fisik, dan
seterusnya. Hal lain yang perlu diketahui adalah seseorang menjadi anggota suatu
organisasi atau perusahaan sekaligus ia menjadi anggota organisasi lain, yaitu
keluarga dan masyarakatnya, atau bahkan ia menjadi anggota profesi lainnya. Hal
tersebutlah yang meyakinkan kita bahwa memahami seseorang sebagai manusia
seutuhnya merupakan hal yang sangat perlu. Dengan pemahaman ini, kita akan
lebih baik lagi memperoleh manfaat kemampuan dan kreativitas manusia (Thoha,
2012). Atas dasar pengetahuan manusia seutuhnya itulah kita dapat memahami
mengapa seseorang berperilaku secara berbeda dengan yang lain.
b. Pendekatan-Pendekatan Untuk Memahami Sifat Manusia
Paling tidak ada empat pendekatan yang dapat dikembangkan oleh beberapa ahli
dalam memahami terjadinya perilaku manusia. Keempat pendekatan tersebut,
antara lain Pendekatan Kognitif, Pendekatan Kepuasan, Penguatan dan
pendekatan psikoanalitis, namun pada pendekatan psikonalitis akan dipaparkan di
sub pembahasan selanjutnya Pendekatan kognitif. Berasal dari teori psikologi dan
ilmu pengetahuan perilaku lainnya, dan cenderung bersifat individual. Psikologi
adalah sumber utama dari teori-teori kognitif dan perilaku manusia. Menurut
Littlejohn, teori tersebut membahas tentang kaitan antara stimuli (S) yang
berfungsi sebagai masukan (input) dan jawaban (response = R) berupa perilaku
yang berfungsi sebagai keluaran (output). Teori kognitif ini melihat hubungan S -
R yang berkaitan dengan pemrosesan informasi yang terjadi antara rangsangan
dan jawaban. Teori kognitif ini melihat cara variabel-variabel terbentuknya
kognitif yang menyebabkan terbentuknya perilaku tertentu (Littlejohn & Foss,
2010). Perilaku ini menurut Miftah Thoha, tersusun secara teratur. Seseorang
mengatur pengalamannya ke dalam kegiatan untuk mengetahui (cognition) dan
kemudian memasukkan ke dalam kognitifnya. Susunan ini akan menentukan
jawaban. Singkatnya, seseorang mengetahui adanya rangsangan, memprosesnya
ke dalam kognisi, dan menghasilkan suatu jawaban. Kita melihat jawaban tersebut
sebagai perilaku (Thoha, 2012). Contoh sederhana, sebagai berikut: Seseorang
karyawan yang telah melakukan kesalahan (misalnya, pelanggaran disiplin)
dijatuhi hukuman berupa “penundaan kenaikan pangkatnya”. Hukuman tadi
menyebabkan ia memahami bahwa melakukan pelanggaran disiplin akan
mengakibatkan sesuatu yang tidak baik bagi dirinya. Hukuman tadi merupakan
“stimulus” bagi dirinya yang menyebabkan perubahan pada posisi “kognitif”,
sehingga memberikan tindakan (respons) untuk tidak lagi melakukan pelanggaran
disiplin. Pendekatan Kepuasan. Teori ini menaruh perhatian pada faktor-faktor
dalam diri seseorang yang menguatkan (energize), mengarahkan (direct),
mendukung (sustain), dan menghentikan (stop) perilakunya. Mendampingi teori
kepuasan, adalah teori proses yang menguraikan dan menganalisis bagaimana
perilaku tersebut dikuatkan, diarahkan, didukung, dan dihentikan. Menurut
Gibson, dkk, kedua teori tersebut sebenarnya berhubungan dengan proses
motivasi seseorang (James, 1993).
2. Perilaku Kerja
Work behavior is anything a person does in the work environment (Ivancevich
et.al. 2005: 79), (Perilaku kerja adalah semua yang dilakukan oleh seseorang
dalam lingkungan kerja). Berbicara kepada manajer, mendengar teman kerja,
menciptakan metode baru untuk meningkatkan penjualan, mendokumentasikan
laporan, belajar hal yang baru, dan lain-lain semuanya adalah perilaku kerja.
Perilaku kerja dalam organisasi adalah sangat kompleks karena dipengaruhi oleh
berbagai variabel lingkungan kerja, non kerja, dan variabel individu atau dapat
dikatakan bahwa perilaku individu adalah fungsi dari variabel-variabel individu
dan variabel-variabel lingkungan. Gambar 3.1 memberi pedoman bagaimana
mempelajari perilaku individu dalam organisasi yang terkait dengan variabel-
variabel relevan yang mempengaruhi perilaku manusia dalam organisasi. Variabel
lingkungan terdiri dari variabel lingkungan kerja dan variabel di luar lingkungan
kerja. Variabel individu terdiri dari variabel psikologis, karakteristik biografi,
kemampuan dan ketrampilan. Semua variabel ini akan mempengaruhi perilaku
kerja individu misalnya dalam pemecahan masalah, proses berfikir,
berkomunikasi, observasi, dan pergerakan. Selanjutnya perilaku individu ini akan
berdampak pada hasil dalam organisasi. Perilaku kerja akan berdampak pada hasil
(outcome) yaitu dapat menghasilkan prestasi jangka panjang maupun jangka
pendek yang positif, pengembangan diri, kepuasan kerja atau sebaliknya prestasi
jangka panjang yang jelek dan kurang berkembang. Menurut Robbins (2005: 26),
outcome dari perilaku kerja adalah produktivitas, turnover, absenteeism, kepuasan
kerja, dan organizational citizenship behavior (OCB). Robbins & Judge (2013:25)
outcome perilaku kerja adalah attitudes and stress, task performance, citizenship
behavior, dan withdrawal behavior.
a. Produktivitas
Ukuran kinerja yang meliputi efektivitas dan efisiensi. Suatu organisasi dikatakan
produktif bila mencapai tujuan-tujuannya dan melakukannya dengan cara
mengubah masukan menjadi hasil dengan biaya serendah mungkin. Oleh karena
itu, produktivitas mengimplikasikan masalah efektivitas maupun efisiensi.
Produktivitas organisasi misalnya, suatu rumah sakit dikatakan efektif manakala
berhasil memenuhi kebutuhan para pasiennya, dan rumah sakit tersebut efisien
manakala bisa memenuhi kebutuhan pasiennya dengan biaya rendah.
Produktivitas dari perspektif karyawan individual juga harus memperhitungkan
pengorbanan yang dikeluarkan untuk mencapai suatu tujuan. Misalnya, dua orang
mahasiswa dari fakultas yang sama diwisuda karena telah menyelesaikan
studinya. Mahasiswa yang pertama menyelesaikan studinya tepat waktu yakni
empat tahun tetapi mahasiswa yang ke dua menyelesaikan studinya selama tujuh
tahun. Kedua mahasiswa tersebut dikatakan efektif karena telah berhasil, tetapi
mahasiswa yang selesai empat tahun yang dikatakan efisien.
b. Turnover (Perputaran)
Perputaran karyawan adalah pengunduran diri yang permanen secara sukarela
maupun tidak sukarela dari suatu organisasi. Tingginya perputaran karyawan
mengakibatkan meningkatnya biaya perekrutan, seleksi, dan pelatihan. Hal ini
tentu membawa kerugian bagi organisasi. Akan tetapi jika karyawan yang
meninggalkan organisasi adalah karyawan yang punya kinerja tidak baik, maka
perputaran karyawan sebenarnya bisa positif, karena hal ini menciptakan peluang
untuk menggantikan individu yang berkinerja buruk dengan seseorang yang
mempunyai keahlian atau motivasi yang lebih tinggi, membuka lebih banyak
peluang untuk promosi, dan menambah ide-ide baru untuk organisasi. Namun
demikian, tidak jarang perputaran karyawan menyebabkan hilangnya individu
yang ingin dipertahankan oleh organisasi. Jika perputaran karyawan melibatkan
karyawan yang berkinerja tinggi, maka dapat menjadi faktor pengganggu yang
menghalangi efektifitas organisasi.
c. Absenteeism (Kemangkiran)
Absenteeism (kemangkiran), yaitu tidak masuk kerja tanpa laporan. Kemangkiran
merupakan kerugian dan gangguan yang sangat besar bagi para pemberi kerja, dan
bagi suatu organisasi sulit untuk beroperasi dengan lancar dan mencapai tujuan-
tujuannya apabila karyawan mangkir.
d. Organizational Citizenship Behavior
Organizational Citizenship Behavior, (OCB; Perilaku kewargaan organisasi),
adalah perilaku pilihan yang tidak menjadi bagian dari kewajiban kerja formal
seorang karyawan, namun mendukung berfungsinya organisasi tersebut secara
efektif. Organisasi yang sukses membutuhkan karyawan yang akan melakukan
lebih dari sekedar tugas biasa mereka yang akan memberikan kinerja yang
melebihi harapan. Dalam dunia kerja yang dinamis seperti saat ini, tugas semakin
sering dikerjakan dalam tim dan fleksibilitas sangatlah penting. Organisasi
membutuhkan karyawan yang akan memperlihatkan perilaku kewargaan yang
baik, seperti membantu individu lain dalam tim, mengajukan diri untuk
melakukan pekerjaan ekstra, menghindari konflik yang tidak perlu, serta dengan
besar hati mentolerir kerugian dan gangguan terkait pekerjaan yang kadang
terjadi. Organisasi menginginkan dan membutuhkan karyawan yang bersedia
melakukan tugas yang tidak tercantum dalam deskripsi pekerjaan mereka. Fakta
menunjukkan bahwa organisasi yang mempunyai karyawan seperti itu memiliki
kinerja yang lebih baik daripada organisasi lain.
e. Job Satisfaction (Kepuasan Kerja)
Job satisfaction (kepuasan kerja), suatu perasaan positif tentang pekerjaan
seseorang yang merupakan hasil evaluasi karakteristiknya. Seseorang dengan
tingkat kepuasan kerja yang tinggi memiliki perasaan-perasaan positif tentang
pekerjaannya, sementara seseorang yang tidak puas memiliki perasaan-perasaan
yang negative tentang pekerjaannya. Berbeda dengan perilaku kerja sebelumnya,
kepuasan kerja lebih menggambarkan sikap dari perilaku. Kepuasan kerja banyak
dihubungkan dengan faktor kinerja, bahwa karyawan yang merasa puas lebih
produktif bila dibandingkan dengan karyawan yang tidak puas. Meskipun hasil-
hasil penelitian belum konsisten dalam mendukung hubungan tersebut. Pekerjaan
seseorang menuntut interaksi dengan rekan kerja dan atasan, mengikuti peraturan
dan kebijaksanaan organisasional, memenuhi standar kinerja, menerima kondisi
kerja yang sering kali kurang ideal, dan lain-lain. Ini berarti bahwa penilaian
seorang karyawan tentang seberapa ia merasa puas atau tidak puas dengan
pekerjaan merupakan hal yang rumit dari sejumlah elemen pekerjaan yang
berlainan. Ada lima dimensi pekerjaan telah diidentifikasi untuk mengukur
kepuasan kerja (Luthans, 2011:141) yakni :
a). Pekerjaan itu sendiri. Dalam hal pekerjaan memberikan tugas yang menarik,
kesempatan untuk belajar, dan kesempatan untuk menerima tanggung jawab
b). Gaji. Sejumlah upah yang diterima dan tingkat dimana hal ini bisa
dipandang sebagai hal yang dianggap pantas dibandingkan dengan orang lain
dalam organisasi.
c). Kesempatan promosi. Kesempatan untuk memperoleh promosi jabatan
dalam organisasi.
d). Pengawasan. Kemampuan penyelia untuk memberikan bantuan teknis dan
dukungan perilaku.
e). Rekan kerja. Tingkat dimana rekan kerja pandai secara teknis dan
mendukung secara sosial.
f. Kepuasan Kerja dan Kinerja
Apakah karyawan yang puas memiliki kinerja lebih baik daripada karyawan yang
kurang puas? Hasil penelitian mengenai hubungan antara kepuasan kerja dan
kinerja masih merupakan kontroversi sampai sekarang. Misalnya, ada penelitian
yang mengungkapkan bahwa kepuasan kerja mempengaruhi kinerja daripada
kinerja mempengaruhi kepuasan kerja. Bukti penelitian juga mengindikasikan
bahwa kepuasan kerja mungkin tidak perlu menghasilkan perkembangan kinerja
individu, tetapi menyebabkan perkembangan level departemen dan organisasi.
g. Kepuasan Kerja dan Turnover
Apakah kepuasan kerja karyawan yang tinggi mengakibatkan turnover yang
rendah? Kepuasan kerja yang tinggi tidak akan membuat perputaran karyawan
(turnover) menjadi rendah, tetapi hal ini mungkin membantu. Sebaliknya jika
terdapat ketidakpuasan kerja, maka perputaran karyawan mungkin tinggi. Ada
beberapa faktor turut berperan dalam hal ini seperti, usia, kedudukan dalam
organisasi, dan komitmen pada organisasi. Beberapa orang tidak mempunyai
peluang bekerja di tempat lain, jadi mereka tetap bertahan meskipun tidak puas.
Sebaliknya, mereka merasa puas, banyak orang ingin keluar jika ada kesempatan
lain yang lebih menjanjikan.
h. Kepuasan Kerja dan Absenteeism
Penelitian menunjukkan hubungan negative yang lemah antara kepuasan kerja dan
ketidakhadiran. Seperti halnya dengan perputaran karyawan, banyak variabel lain
yang menjadi pertimbangan misalnya, tingkat orang merasa bahwa pekerjaan
mereka penting. Penelitian membuktikan bahwa karyawan yang yakin bahwa
pekerjaannya penting memiliki ketidakhadiran rendah daripada karyawan yang
tidak merasa pekerjaannya penting. Selain itu, hal yang penting bahwa kepuasan
kerja tinggi belum tentu menghasilkan ketidakhadiran yang rendah, tetapi
kepuasan kerja yang rendah mungkin menyebabkan ketidakhadiran.
i. Kepuasan Kerja dan OCB
Kepuasan kerja seharusnya menjadi faktor penentu utama dari OCB seorang
karyawan. Karyawan yang puas tampaknya cenderung berbicara secara positif
tentang organisasi, membantu individu lain, dan melewati harapan normal dalam
pekerjaan mereka. Selain itu, karyawan yang puas mungkin lebih mudah berbuat
lebih dalam pekerjaan karena mereka ingin merespons pengalaman positif
mereka. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kepuasan kerja mempengaruhi
OCB, tetapi melalui persepsi keadilan.
j. Kepuasan Kerja dan Kepuasan Pelanggan
Pada organisasi jasa kepuasan kerja karyawan garis depan yang berinteraksi
langsung dengan pelanggan berhubungan positif dengan kepuasan pelanggan.
Banyak penelitian yang membuktikan bahwa karyawan yang puas bisa
meningkatkan kepuasan dan kesetiaan pelanggan. Karyawan yang merasa puas
cenderung lebih ramah, ceria, dan responsive pada pelanggan. Namun demikian,
hubungan tersebut bisa berlaku sebaliknya yakni pelanggan yang tidak puas bisa
meningkatkan ketidakpuasan kerja seorang karyawan. Karyawan yang
mempunyai hubungan tetap dengan pelanggan melaporkan bahwa pelanggan yang
kasar, tidak mempertimbangkan orang lain, atau menuntut dengan tidak masuk
akal, hal ini mempengaruhi kepuasan kerja karyawan.

BAB III
Persepsi, Atribut dan Emosi Dalam Organisasi
1. Persepsi Dalam Organisasi
Kreitner & Kinicki (2007: 207) mengatakan bahwa Perception is a cognitive
process that enables us to interpret and understand our surroundings. recognition
of objects in one of this process is major functions. Persepsi adalah merupakan
proses kognitif yang memungkinkan kita menginterprestasikan dan memahami
sekitar kita. Dikatakan pula sebagai proses menginterprestasikan suatu
lingkungan. Orang harus mengenal objek untuk berinteraksi sepenuhnya dengan
lingkungan mereka. Ivancevich, dkk (2006: 116) mendefenisikan bahwa persepsi
adalah proses kognitif di mana seorang individu memilih, mengorganisasikan, dan
memberikan arti kepada stimulus lingkungan. Sedangkan Nord dalam Winardi
(2004: 203) Mendefenisikan persepsi merupakan proses kognitif di mana seorang
individu memberikan arti kepada lingkungan. Mengingat bahwa masing-masing
orang memberi artinya sendiri terhadap stimuli, maka dapat dikatakan bahwa
individu-individu yang berbeda, “melihat” hal sama dengan caracara yang
berbeda Menurut Suhendi & Anggara (2012: 67) Persepsi diartikan sebagai proses
pemahaman ataupun pemberian makna atas suatu informasi terhadap ataupun
pemberian makna atas suatu informasi terhadap stimulus. Stimulus diperoleh dari
proses pengindraan terhadap objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan
antargejala yang selanjutnya diproses oleh otak. Sementara itu Persepsi
(perception) menurut Robbins & Judge (2012: 175) adalah proses di mana
individu mengatur dan menginterpretasikan kesan-kesan sensoris mereka guna
memberikan arti bagi lingkungan mereka. Namun apa yang diterima seseorang
pada dasarnya bisa berbeda dari realitas objektif. Dalam Penelitian Joseph (2013:
2) Persepsi adalah proses yang dilalui orang dalam memilih, mengorganisasikan
dan mengintepretasikan informasi guna membentuk gambaran yang berarti
mengenai dunia seseorang yang termotivasi siap untuk bertindak. Bagaimana
orang tersebut bertindak dipengaruhi oleh persepsinya mengenai situasi. Dari
pengertian para ahli diatas, kami menyimpulkan bahwa persepsi merupakan
keadaan penggabungan dari individu terhadap stimulus yang diterimanya. Apa
yang ada dalam diri individu, pikiran, perasaan, pengalaman-pengalaman individu
akan ikut aktif berpengaruh dalam proses persepsi. Proses kognisi dimulai dari
persepsi. Melalui persepsilah manusia memandang dunianya.
Perception is a process by which individuals organize and interpret their sensory
impressions in order to give meaning to their environment (Robbins & Judge,
2013:166). (Persepsi adalah proses dengan mana para individu mengatur dan
menginterpretasikan kesan-kesan sensoris mereka guna memberikan arti bagi
lingkungannya).
Perceptions is defined as the cognitive process by which an individual selects,
organizes, and gives meaning to environmental stimuli (Ivancevich et.al,
2005:110). (Persepsi didefinisikan sebagai proses kognitif dengan mana seorang
individu memilih, mengatur, dan memberi makna bagi rangsangan lingkungan).
Berdasarkan definisi tersebut bahwa setiap orang memberi arti sendiri terhadap
stimulus lingkungannya, individu yang berbeda dapat melihat hal yang sama
tetapi memahaminya secara berbeda, sehingga mempunyai persepsi yang berbeda.
Sebagai contoh, jika semua karyawan dalam sebuah perusahaan menganggapnya
sebagai tempat yang baik, kondisi kerja yang menyenangkan, pekerjaan yang
menarik, gaji yang memadai, manajemen yang pengertian, dan sebagainya, tetapi
sebagaimana diketahui bahwa sebagian besar kita sangat sulit untuk menemukan
kecocokan yang seperti itu. Persepsi merupakan proses mengorganisasikan dan
menafsirkan kesan indera (sensasi) manusia agar memberi makna pada
lingkungan mereka. Proses ini mencakup sensasi, atensi dan interpretasi. Luthans
menjelaskan “persepsi itu lebih kompleks dan lebih luas dibanding penginderaan.
Proses persepsi meliputi suatu interaksi yang sulit dari kegiatan seleksi,
penyusunan dan penafsiran. Selanjutnya proses persepsi dapat menambah dan
mengurangi kejadian. Sebagai contoh: bagian pembelian membeli peralatan yang
diperkirakan menurutnya adalah peralatan yang terbaik, tetapi para insinyur
mengatakan bahwa itu bukan yang terbaik”.
a. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi
Menurut Robbins dan Judge (2012:175) Ketika sesorang individu melihat sebuah
target dan berusaha untuk menginterpretasikan apa yang ia lihat, interpretasi itu
sangat di pengaruhi oleh berbagai karekteristik pribadi dari pembuat persepsi
individual tersebut. karekteristik pribadi yang mempengaruhi persepsi meliputi
sikap, keperibadian, motif, minat, pengalaman masa lalu, dan harapan-harapan
seseorang. Karekteristik target yang diobservasikan bisa mempengaruhi apa yang
diartikan individu yang bersuara keras cenderung di perhatikan dalam sebuah
kelompok di bandingkan individu yang diam. Begitu pula dengan individu yang
luar biasa menarik atau tidak menarik. Oleh karena target tidak di libatkan secara
khusus, hubungan sebuah target dengan latar belakang juga mempengaruhi
persepsi, seperti halnya kecenderungan kita untuk mengelompokkan hal-hal yang
dekat dan hal-hal yang mirip. persepsi dibentuk oleh tiga faktor, yaitu:
(1) Perceiver, orang yang memberikan persepsi,
(2) target, orang atau objek yang menjadi sasaran persepsi, dan
(3) situasi, keadaan pada saat persepsi dilakukan.
Faktor pelaku persepsi mengandung komponen:
(a) Sikap-sikap,
(b) Motif-motif,
(c) Minat-minat,
(d) Pengalaman,
(e) Harapanharapan.
Pelaku persepsi disini adalah penafsiran seorang individu pada suatu objek yang
dilihatnya akan sangat dipengaruhi oleh karakteristik pribadinya sendiri,
diantaranya sikap, motif, minat, pengalaman, dan harapan. Kebutuhan atau motif
yang tidak dipuaskan akan merangsang individu dan mempunyai pengaruh yang
kuat pada persepsi mereka. Contohnya seperti seorang tukang rias akan lebih
memperhatikan kesempurnaan riasan orang daripada seorang tukang masak,
seorang yang disibukkan dengan masalah pribadi akan sulit mencurahkan
perhatian untuk orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa kita dipengaruhi oleh
kepentingan/minat kita. Sama halnya dengan ketertarikan kita untuk
memperhatikan hal-hal baru, dan persepsi kita mengenai orang-orang tanpa
memperdulikan ciri-ciri mereka yang sebenarnya. Faktor target mengandung
komponen:
(a) sesuatu yang baru,
(b) gerakan,
(c) suara,
(d) ukuran,
(f) latar belakang,
(g) kedekatan
(h) kemiripan.
Dari target ini akan membentuk cara kita memandangnya. Misalnya saja suatu
gambar dapat dilihat dari berbagai sudut pandang oleh orang yang berbeda. Selain
itu, objek yang berdekatan akan dipersepsikan secara bersama-sama pula. Faktor
Situasi mengandung komponen: (a) waktu, (b) keadaan kerja, (c) keadilan sosial.
Faktor dalam situasi juga berpengaruh bagi persepsi kita. Misalnya saja, seorang
wanita yang berparas lumayan mungkin tidak akan terlihat oleh laki-laki bila ia
berada di mall, namun jika ia berada di pasar, kemungkinanannya sangat besar
bahwa para lelaki akan memandangnya.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengembangan persepsi seseorang,
yaitu:
a) Psikologi
Persepsi seseorang sangat dipengaruhi oleh keadaan psikologi.
b) Famili
Pengaruh yang besar terhadap anak-anak adalah familinya, orang tua yang telah
mengembangkan suatu cara yang khusus di dalam memahami dan melihat
kenyataan di dunia ini, banyak sikap dan persepsipersepsi mereka diturunkan
kepada anak-anaknya.
c) Kebudayaan
Kebudayaan dan lingkungan masyarakat tertentu juga merupakan salah satu faktor
yang kuat di dalam mempengaruhi sikap nilai dan cara seseorang memandang dan
memahami keadaan di dunia ini.
Faktor dalam dan faktor luar sangat mempengaruhi sebuah persepsi. Faktor luar
yang berdampak pada proses pemilihan persepsi ialah:
1). Intensitas, semakin besar intensitas stimulus dari luar, semakin besar juga hal
itu dapat dipahami.
2). Ukuran, semakin besar ukuran suatu objek semakin mudah untuk diketahui.
3). Berlawanan atau kontras, prinsip berlawanan dengan sekelilingnya ini akan
menarik banyak perhatian.
4). Pengulangan, stimulus dari luar yang diulang akan memberikan perhatian yang
lebih besar dari pada yang sekali dilihat atau didengar.
5). Gerakan, orang akan memberikan banyak perhatian kepada kepada benda yang
bergerak. Disamping itu, faktor dalam yang berdampak pada pemilihan persepsi
antara lain:
1). Belajar dan persepsi. Contoh: seseorang anak yang telah diajari oleh orang
tuanya bahwa daging babi itu haram dan liur anjing itu mengandung najis, maka
pada diri anak akan timbul persepsi bahwa anjing dan babi itu harus dijauhi.
2). Motivasi dan pesepsi motivasi mempengaruhi terjadinya persepsi. Sebagai
contoh: membicarakan tentang seks akan sangat menarik perhatian, tetapi bagi
masyarakat yang sudah biasa tidak begitu menarik.
3). Persepsi dan kepribadian, kepribadian, nilai-nilai, dan juga termasuk usia akan
mempengaruhi persepsi seseorang. Contoh: pada usia-usia tua lebih senang
dengan musik-musik klasik sedang pada usisa muda lebih suka musik yang lain.
Apabila sebuah informasi dating dari suatu kondisi yang telah diketahui
seseorang, maka informasi tersebut akan berdampak pada cara seseorang
mengorganisasikan persepsinya. Hasil pengorganisasian persepsi terhadap sebuah
informasi meliputi pengertian suatu objek tersebut. Pengorganisasian persepsi itu
mencakup tiga hal: kesamaan dan ketidaksamaan, kedekatan dalam ruang, dan
kedekatan dalam waktu. Aspek sosial dalam persepsi berperan penting dalam
perilaku organisasi. Persepsi sosial merupakan interaksi langsung dengan cara
seseorang memandang dan memahami orang lain. Para pegawai suatu departemen
secara ajek akan terlibat dalam proses persepsi ini dalam hal mengenal,
memandang, memahami dan menilai satu sama lain. Seorang pemimpin akan
menilai bawahannya, dan sebaliknya dalam sebuah organisasi. Pengawas juga
menilai apa yang diawasi dan begitupun sebaliknya dan seterusnya. Proses
persepsi selalu ada dalam setiap organisasi ketika anggotanya melakukan
komunikasi. Proses persepsi sosial tersebut hanya akan mengikutsertakan orang
yang menilai dan orang yang dinilai dimana kedua pihak ini memiliki ciri khas
masing-masing. Ciriciri orang yang menilai yaitu: mengetahui diri sendiri,
karakteristik diri sendiri, aspek-aspek yang menyenangkan bagi orang lain
sepertinya mampu dilihat orang-orang yang merasa dirinya berlebihan, ketepatan
menilai orang lain itu tidaklah merupakan kecakapan tunggal, sedangkan ciri-ciri
orang yang dinilai antara lain: status orang yang dinilai, orang yang dinilai
biasanya ditempatkan dalam kategori-kategori tertentu, sifat perangai orang-orang
yang dinilai. Perasaan dan emosi berhubungan erat dengan persepsi seseorang
yang terjadi pula di sebuah organisasi. Emosi yang kuat dapat membuat manusia
memandang negatif peraturan dan kebijakan yang ditetapkan organisasi. ketika
seorang individu melihat sebuah target dan berusaha untuk menginterpretasikan
apa yang dilihat. Interpretasi itu sangat dipengaruhi oleh berbagai karakteristik
pribadi dari pembuat persepsi tersebut yang meliputi sikap, motif, kepentingan,
pengalaman, dan harapan-harapan seseorang. Faktor target yang diobservasi bisa
mempengaruhi apa yang diartikan. Individu yang bersuara keras cenderung
diperhatikan dalam sebuah kelompok dibandingkan individu yang lembut. Begitu
pula dengan individu yang menarik atau tidak menarik. Oleh karena target tidak
dilihat secara khusus, hubungan sebuah target dengan latar belakangnya juga
mempengaruhi persepsi, seperti halnya kecenderungan kita untuk
mengelompokkan halhal yang dekat dan hal-hal yang mirip. Konteks di mana kita
melihat berbagai objek atau peristiwa juga penting. Waktu dimana sebuah objek
atau peristiwa dilihat, dapat mempengaruhi perhatian, seperti halnya lokasi,
cahaya, panas, atau sejumlah faktor situasional lainnya. Sebagai contoh, pada
acara pesta malam mungkin Anda tidak memperhatikan seorang wanita yang
mengenakan gaun yang bagus. Namun wanita yang sama hadir di kelas Anda pada
pagi hari dan mengenakan gaun yang sama pada acara pesta, pasti akan mendapat
perhatian Anda bahkan seluruh kelas Anda. Jadi, baik si pembuat persepsi
maupun target tidak berubah saat di pesta dan saat di kelas, tetapi situasinya
berbeda.
b. Kesalahan dalam Persepsi
Apabila seseorang melihat orang lain maka persepsinya terhadap orang tersebut
mungkin saja salah atau keliru. Dalam hal demikian telah terjadi kesalahan
persepsi. Kemungkinan kesalahan yang dapat terjadi menurut para pakkar
bentuknya sangat beragam. Pendapat mereka mengandung persamaan, namun
terdapat pula perbedaan, sehingga secara keseluruhan dapat saling melengkapi.
Kesalahan persepsi menurut Greenberg dan Baron dalam Wibowo (2014: 67)
dapat berupa: Fundamental attribution error, Halo effect, Similar-to-me effect,
selective perception, dan First-impression error. McShane dan Von Glinow dalam
Wibowo (2014: 67) menunjukan kesalahan persepsi sebagai: Halo Effect, Primacy
effect, Recency effect, dan False-consesus effect. Sementara itu, Kreitner dan
Kinicki dalam Wibowo (2014: 68) mengemukakan kesalahan persepsi biasa
ditemukan dalam bentuk: Halo, Leniency, sentral tendency, Recency Effect, dan
Contrast effect. Di bawah ini adalah pembahasan secara bertahap kemungkinan
bentuk kesalahan dalam persepsi kita terhadap sesseorang menurut Wibowo
(2014:67)
a. Fundamental Attribution Error Merupakan kesalahan persepsi karena
kecenderungan kita menghubungkan tindakan orang lain pada sebab internal
seperti sifatnya, sementara untuk sebagian besar mengabaikan faktor eksternal
yang mungkin juga memengaruhi perilaku. Dengan demikian, kita cenderung
berasumsi bahwa perilaku orang lain ditentukan oleh cara, sifat dan watak mereka.
Kebanyakan di antara kita mengasumsi bahwa seseorang yang datang terlambat di
tempat pekerjaan adalah karena dia malas, daripada karena mengalami kemacetan
lalu lintas.
b. Halo Effect Merupakan kesalahan persepsi karena kesan umum kita tentang
orang biasanya didasarkan pada satu karakteristik yang ditentukan sebelumnya,
sehingga mewarnai persepsi kita terhadap karakteristik lain dari orang tersebut.
Terjadi karena seorang penilai membentuk kesan menyeluruh tentang sesuatu
objek dan kemudian menggunakan kesan tersebut membias penilaian tentang
sesuatu objek. Menurut Sofyandi & Garniwa (2007:71) Bila kita menarik suatu
kesan umum mengenai seorang individu berdasarkan suatu karakeristik tunggal,
seperti misalnya, kecerdasan, dapat bergaul, atau penampilan, berlangsunglah di
sini suatu efek halo.
c. Similar-to-me Effect Kecenderungan orang merasa atau menganggap enteng
atau ringan orang lain yang diyakini sama dengan dirinya dalam setiap cara yang
berbeda. Sebaliknya, bisa terjadi karena kecenderungan orang merasa lebih
menyukai orang lain yang seperti mereka daripada mereka yang tidak sama.
Apabila atasan menilai bawahan, maka semakin sama bawahan, semakin tinggi
penilain yang diberikan oleh atasan. Kecenderungan ini terjadi pula pada beberapa
dimensi kesamaan yang berbeda seperti kesamaan dalam nilai kerja dan
kebiasaan, kesamaan keyakinan tentang cara yang harus dilakukan dalam
pekerjaan, dan kesamaan yang berkaitan dengan variabel demografis seperti umur,
ras, gender, dan pengalaman kerja.
d. First-impression Error Kecenderungan mendasarkan pertimbangan kita tentang
orang lain pada kesan kita sebelumnya tentang mereka. Sering kali cara kita
mempertimbangkan seseorang tidak didasarkan semata pada seberapa baik orang
tersebut kinerjanya sekarang, tetapi pada pertimbangan awal kita terhadap
individu tersebut. Kesan awal kita membimbing kesan kita berikutnya, kita telah
menjadi korban first empreion error. Tugas manajerial menentukan secara akurat
kinerja orang lain adalah penting. Ketika kinerja bawahan membaik, maka perlu
untuk dikenal. Tetapi sering kali terjadi evaluasi sekarang didasarkan pada kesan
pertama yang buruk.
e. Primacy Effect Merupakan kesalahan persepsi di mana kita secara cepat
membentuk opini tentang orang atas dasar informasi pertama yang kita terima
tentang mereka. Persepsi organisasi dan interpertasi cepat terjadi karena kita perlu
mengerti tentang dunia sekitar kita. Masalahnya adalah bahwa kesan pertama,
terutama kesan pertama negatif, sulit untuk mengubah. Setelah mengategorikan
seseorang, kita cenderung memilih informasi yang mendukung kesan pertama kita
dan membuang informasi yang berlawanan dengan kesan tadi. Primacy effect ini
sebenarnya mirip dengan First-impression error.
f. Recency Effect Merupakan kesalahan persepsi di mana informasi yang paling
baru mendominasi persepsi kita terhadap orang lain. Bisa persepsi ini paling
umum terjadi ketika orang, terutama yang pengalamannya terbatas, melakukan
evaluasi yang menyangkut informasi yang kompleks. Merupakan kecenderungan
untuk mengingat informasi yang baru terjadi. Apabila informasi yang baru adalah
negatif, orang atau objek dievaluasi secara negatif.
g. False-consensus Effect Merupakan kesalahan persepsi di mana kita
memperkirakan lebih tinggi terhadap orang lain yang mempunyai keyakinan dan
karakteristik sama dengan kita. Pekerja yang berfikir untuk keluar dari pekerjaan
berkeyakinan bahwa sebagian besar rekan kerjanya juga berfikir untuk keluar
juga.
h. Lineancy Effect Merupakan karakteristik personal yang mengarahkan individu
untuk secara konsisten mengevaluasi orang atau objek lain dalam cara sangat
positif Karenanya dapat terjadi menilai tinggi seorang profesor pada semua
dimensi kinerja tanpa memandang kinerja aktualnya. Penilai yang membenci
mengatakan masalah negatif tentang orang lain. Karenanya kita perlu berusaha
jujur dan realistis ketika mengevaluasi orang lain.
i. Central Tendency Effect Merupakan kecenderungan menghindari semua
pertimbangan ekstrem dan menilai orang atau objek sebagai rata-rata atau netral.
Karenanya yang terjadi adalah menilai profesor rata-rata pada semua dimensi
kinerja tanpa memandang kinerja aktualnya. Adalah wajar untuk memberikan
umpan balik berupa informasi baik positif maupun negatif.
Ada sejumlah kesalahan persepsi yang sering terjadi dalam mempersepsikan
orang lain. Oleh Robbins & Judge (2013: 179) menyebutnya jalan pintas dalam
menilai orang lain, yaitu selective perception, halo effect, contrast effects, dan
stereotyping. Kesalahan-kesalahan persepsi ini dapat berakibat pada pengambilan
keputusan yang salah.
1). Selective perception. Persepsi selektif adalah menginterpretasi secara selektif
apa yang dilihat seseorang berdasarkan minat, latar belakang, pengalaman, dan
sikap seseorang. Persepsi selektif memungkinkan kita ‘membaca’ individu lain
dengan cepat, tetapi terdapat risiko bahwa kita mendapatkan gambaran yang tidak
akurat. Karena kita melihat apa yang ingin kita lihat, kita bisa menarik kesimpulan
yang tidak beralasan dari situasi yang ambigu.
2). Halo effects. Halo effects adalah kecenderungan menilai seseorang hanya atas
dasar salah satu sifatnya saja. Misalnya, seseorang yang mudah senyum dan
penampilannya rapi dianggap lebih jujur dari orang yang berpenampilan serem.
Efek halo sering terjadi pada saat melakukan penilaian dengan wawancara.
Pewawancara seringkali menilai hanya dari salah satu sifat seseorang yang
nampak menonjol pada saat wawancara itu dilakukan, padahal salah satu sifat
tersebut tidak mencerminkan sifat yang sebenarnya. Efek halo ini memang lazim
dan berpengaruh kuat sekali pada diri kita dalam menilai orang-orang yang
bersangkutan. Bila kita sangat terkesan oleh seseorang, karena kepemimpinannya
atau keahliannya dalam suatu bidang, kita cenderung memperluas kesan awal kita.
Bila ia baik dalam satu hal, maka seolah-olah ia pun baik dalam hal lainnya.
3). Contrast effects. Efek kontras adalah evaluasi tentang sifat atau karakteristik
seseorang yang dipengaruhi oleh perbandingan dengan orang lain yang baru
ditemui, yang mendapat nilai lebih tinggi atau lebih rendah untuk karakteristik
yang sama. Kita tidak mengevaluasi seseorang secara terisolasi, sehingga reaksi
kita terhadap seorang individu dipengaruhi oleh individu lain yang baru kita
temui. Misalnya, dalam situasi wawancara dimana seorang pewawancara melihat
serombongan pelamar kerja. Penyimpangan dalam evaluasi kandidat manapun
bisa muncul sebagai akibat dari jadwal wawancara. Seorang kandidat cenderung
menerima evaluasi yang lebih baik bila didahului oleh para pelamar dengan
kemampuan menengah, dan evaluasi yang kurang baik bila didahului
pelamarpelamar yang unggul. Merupakan kecenderungan mengevaluasi orang
atau objek dengan membandingkan mereka dengan karakteristik orang atau objek
yang baru saja diamati. Menilai seorang profesor yang baik sebagai rata-rata
karena kita membandingkan kinerjanya dengan tiga profesor terbaik yang kita
miliki dalam perguruan tinggi. Hal tersebut terjadi karena kita baru mengikuti
kuliah dari ketiga profesor yang unggul. Karenanya penting untuk mengevaluasi
pekerja terhadap standar daripada memori kita tentang orang terbaik atau terburuk
dalam pekerjaan tertentu. Menurut Sofyandi & Garniwa (2007 :72) ekef kontras
adalah evaluasi dari karakteristik-karakteristik seseorang yang dipengaruhi oleh
pembandingan-pembandingan dengan orang-orang lain yang baru saja dijumpai
yang berperingkat lebih tinggi atau lebih rendah pada karakteristik-karakteristik
yang sama.
4). Stereotyping. Stereotyping adalah menilai seseorang berdasarkan persepsi
tentang kelompok dimana ia bergabung. Stereotip seringkali didasarkan atas jenis
kelamin, keturunan, umur, agama, dan kedudukan atau jabatan. Misalnya seorang
manajer mempunyai persepsi bahwa ibu-ibu terutama yang mempunyai bayi di
rumah tidak menyukai kerja lembur dan manganggap bahwa bekerja lembur
merupakan suatu beban. Secara umum persepsi tersebut mungkin benar, tetapi
tidak berarti benar untuk ibu-ibu tertentu.
c. Hubungan Persepsi dan Pengambilan Keputusan
Bagaimana individu dalam organisasi membuat berbagai keputusan dan kualitas
dari pilihan-pilihan akhir mereka sangat dipengaruhi oleh persepsi-persepsi
mereka. Pembuatan keputusan muncul sebagai reaksi atas sebuah masalah.
Artinya, ada ketidaksesuaian antara keadaan saat ini dengan keadaan yang
diinginkan yang membutuhkan pertimbangan untuk membuat beberapa tindakan
alternative. Pengambilan keputusan dalam organisasia meliputi ; pengambilan
keputusan rasional, rasionalitas yang dibatasi, dan intuition. Keputusan rasional,
bergantung pada sejumlah asumsi, termasuk bahwa pembuat keputusan memiliki
informasi yang lengkap, mampu mengidentifikasi semua pilihan yang relevan
dalam cara yang tidak bias, dan memilih opsi dengan utilitas tertinggi. Tetapi
dalam dunia nyata kebanyakan keputusan tidak menggunakan model rasional.
Langkah-langkah dalam pengambilan keputusan rasional,
a. Mendefinisikan masalah
b. Mengidentifikasi kriteria keputusan
c. Mengalokasikan kriteria-kriteria yang berbobot
d. Membuat berbagai alternative
e. Mengevaluasi alternative
f. Memilih alternative terbaik Rasionalitas yang dibatasi,
karena otak manusia tidak bisa mengolah dan menyelesaikan masalah yang
complex dengan rasionalitas penuh, maka kita menggunakan bounded rationality,
yaitu suatu proses dalam pembuatan keputusan dengan menggunakan model yang
sederhana lalu kemudian disaring sehingga nantinya menjadi mudah untuk
dipahami. Intuition, sebuah proses bawah sadar yang berasal dari pengalaman
yang disaring, dan proses ini tidak selalu terlepas dari analisis rasional. Keduanya
saling melengkapi dan yang terpenting intuisi bisa menjadi suatu kekuatan yang
sangat kuat dalam pembuatan keputusan.
d. Memperbaiki Persepsi
Sebagaimana kita bahas sebelumnya, selain persepsi dapat mempengaruhi
perilaku, dapat juga terjadi persepsi mengalami penyimpangan dalam berbagai
macam bentuk. Oleh karena itu, seorang manajer harus mampu mengurangi
kemungkinan terjadinya penyimpangan. Di bawah ini beberapa pedoman menurut
Badeni (2013:59) yang dapat dipakai untuk mengatasi hal tersebut.
1) Menyadari kapan faktor perceptual dapat memengaruhi persepsi seseorang.
Misalnya, ketika kita menyampaikan suatu ide baru, kita harus sadar bahwa hal
yang baru dapat memengaruhi persepsi orang tersebut bahwa hal itu sesuatu yang
terbaik. Untuk itu, kita harus mencoba memengaruhi supaya hal baru tersebut
tidak memengaruhi persepsinya. Contoh lain, ketika kita menugasi seseorang
dengan tugas tertentu, seperti memimpin suatu kelompok.
2) Menyadari motif (misalnya motif kuasa, afiliasi, dan lainnya) dapat
berpengaruh terhadap persepsi tentang peran memimpin. Cara yang dilakukan
adalah dengan menjelaskan perannya secara ekspilisit.
3) Mencari informasi lain untuk mengonfirmasi yang kita tangkap. Misalnya,
ketika kita mendapat kesan bahwa seseorang adalah orang baik, kita dapat
mengkonfirmasikannya dengan mencoba meminta bagaimana pendapat orang lain
terhadap orang tersebut.
4) Empati yaitu usaha untuk melihat suatu situasi sebagaimana dipersepsi orang
lain sebab setiap orang dapat mendefinisikan sesuatu yang sama secara berbeda.
5) Meluruskan persepsi seseorang melalui meminta umpan balik ketika mereka
memersepsi suatu situasi yang menyimpang.
6) Menghindari penyimpangan-penyimpangan yang umum terjadi seperti
stereotype, hallo effect, dan lain-lain.
7) Menghindari terjadi pengatribusian yang salah dengan cara menganalisis
beberapa faktor yang dapat mengakibatkan kesalahan dalam pengatribusian
e. Pengelompokan Persepsi
Jika informasi berasal dari suatu situasi yang telah diketahui oleh seorang, maka
informasi yang datang tersebut akan mempengaruhi cara seseorang
mengorganisasikan persepsinya. Hasil pengorganisa-sian persepsinya mengenai
sesuatu informasi dapat barupa pengertian tentang sesuatu obyek tersebut.
Menurut Thoha (2011: 157) Pengorganisasian persepsi itu meliputi tiga hal
berikut ini:
a. Kesamaan dan ketidaksamaan Sesuatu obyek yang mempunyai kesamaan dan
ketidaksamaan ciri, akan diperepsi sebagai suatu obyek yang berhubungan dan
ketidakhubungan. Artinya obyek yang mempunyai ciri yang sama diperepsikan
ada hubungannya, sedangkan obyek yang mempunyai ciri tidak sama adalah
terpisah.
b. Kedekatan dalam ruang Obyek atau peristiwa yang dilihat oleh orang karena
adanya kedekatan dalam ruang tertentu, akan dengan mudah diartikan sebagai
obyek atau peristiwa yang ada hubungannya.
c. Kedekatan dalam waktu Obyek atau peristiwa juga dilihat sebagai hal yang
mempunyai hubungan karena adanya kedekatan atau kesamaan dalam waktu.
Demikianlah ketiga hal di atas merupakan proses pengorganisasian persepsi.
Setiap obyek yang diketahui adanya kesamaan dan ketidaksamaan, kedekatan
dalam ruang, dan kedekatan dalam waktu, maka akan diorganisasikan sedemikian
rupa sehingga menciptakan suatu persepsi tertentu.
2. Atribusi dalam organisasi
Teori atribusi dikemukakan untuk mengembangkan penjelasan mengenai cara-
cara kita menilai orang secara berlainan, bergantung pada makna apa yang akan
kita kaitkan padaperilaku tertentu. Pada dasarnya, teori ini mengemukakan bahwa
bila kita mengamatiperilaku individu, kita berusaha menentukan apakah perilaku
itu disebabkan oleh faktorinternal atau eksternal? Meski demikian, penentuan
tersebut sebagian bergantung pada 3 faktor, yaitu keunikan, konsensus, dan
konsistensi. Salah satu penemuan lebih menarik dari teori atribusi adalah bahwa
terdapat kekeliruanatau bias yang mendistorsi atribusi. Misalnya cukup banyak
bukti yang mengungkapkanbahwa ketika membuat pertimbangan atau penilaian
mengenai perilaku orang lain, makakita mempunyai kecenderungan untuk
meremehkan pengaruh faktor eksternal danmelebih-lebihkan pengaruh faktor
internal atau faktor-faktor pribadi. Ini disebut kekeliruanatribusi mendasar dan
dapat menjelaskan mengapa manajer penjualan cenderungmenghubungkan kinerja
buruk agen penjualannya dengan kemalasan bukannya denganderetan produk
inovatif pesaing. Individu-individu cenderung menghubungkan suksesmereka
sendiri dengan faktor-faktor internal seperti kemampuan atau upaya,
sementarauntuk kegagalan, yang disalahkan adalah faktor-faktor eksternal seperti;
nasib kurangmujur. Ini disebut bias layanan diri.
a). Atribusi Internal
Jika perilaku seseorang yang diamati disebabkan oleh faktor-faktor internal,misal
sikap, sifat-sifat tertentu, ataupun aspek-aspek internal yang lain. contoh, jika
anak memperoleh nilai raport yang jelek, maka sebabnya dapat saja karenaanak
itu malas, terlalu banyak main, atau bodoh.
b). Atribusi Eksternal
Jika perilaku sosial yang diamati disebabkan oleh keadaan atau lingkungan diluar
diri orang yang bersangkutan. contoh, jika anak memperoleh nilai raportyang
jelek, maka sebabnya dapat saja karena ada masalah denganlingkungannya, orang
tuanya bercerai, hubungan yang jelek dengan orang tua,ditekan oleh teman-teman,
ataupun gurunya yang tidak menarik.
Terdapat Tiga Penentu Teori Atribusi yaitu :
1). Konsensus
merupakan derajat kesamaan reaksi orang lain terhadap stimulus atau peristiwa
tertentu dengan orang yang sedang kita observasi. Apakah suatu perilaku
cenderung dilakukan oleh semua orang pada situasi yang sama. Makin banyak
yang melakukannya, makin tinggi konsensus, dan sebaliknya.
2). Konsistensi
adalah derajat kesamaan reaksi seseorang terhadap stimulus atau peristiwa yang
sama pada waktu yang berbeda. Apakah pelaku yang bersangkutan cenderung
melakukan perilaku yang sama di masa lalu dalam situasi yang sama. Kalau “ya”,
konsistensinya tinggi, kalau “tidak”, konsistensinya rendah.
3). Distingsi atau kekhususan
merupakan derajat perbedaan reaksi seseorang terhadap berbagai stimulus atau
peristiwa yang berbeda-beda. Apakah pelaku yang bersangkutan cenderung
melakukan perilaku yang sama di masa lalu dalam situasi yang berbeda-beda. Bila
seseorang memberikan reaksi yang sama terhadap stimulus yang berbeda-beda,
maka dapat dikatakan orang yang bersangkutan memiliki distingsi yang rendah.
Terdapat Jalan pintas dalam menilai orang lain secara umum yaitu :
a). Persepsi Selektif (Selective Perpection)
Kecenderungan untuk secara selektif menginterpretasikan apa yang seseorang liat
dalam basis minat, latar belakang, pengalaman, dan sikap seseorang. Oleh karena
itu, tidak mungkin bagi kita untuk menasimilasikan semua hal yang kita lihat, kita
dapat mengambil hanya rangsangan tertentu saja. Persepsi selektif membuat kita
membaca orang lain dengan cepat, tetapi bersiko menggambarkan gambaran yang
tidak akurat. Kita dapat menggambarkan kesimpulan yang tidak dapat dijamin
dari sebuah keadaan yang ambigu
b). Efek Halo (Halo Effect)
Kecenderungan untuk menggambarkan impresi umum mengenai seseorang
indivdu berdasarkan karakteristik tunggal. Efek halo dikonfirmasi dalam sebuah
studi klasik dimana objek diberikan sebuah daftar-daftar sifat cerdas, terampil,
giat, rajin, berkemauan kuat, serta hangat. Subjek diminta untuk mengevaluasi
orang yang memiliki sifat-sifat tersebut. Subjek menilai orang itu bijaksana,
humoris, populer, dan imajinatif. Ketikaa daftar yang sama menggantukan
“dingin” dengan “hangat”, satu gambaran yang benar-benar berbeda muncul.
Subjek membuat sebuah sifat
c). Efek Kontras (Contrast Effect)
Evaluasi atas karakteristik seseorang dipengaruhi oleh perbandingan dengan orang
lain yang baru muncul yang berperingat lebih tinggi atau lebih rendah dalam
karakteristik yang sama.
d). Stereotip (Stereotype)
Menilai seseorang berdasarkan persepsi mengenai kelompok asalnya. Kalimat-
kalimat seperti : “Pria tidak tertarik dengan perawatan anak”, “Pekerja yang lebih
tua tidak dapat mempelajari keahlian-keahlian baru”, Imigran Asia adalah pekerja
keras dan hati-hati”, merupakan contoh dari menilai orang lain secara stereotip.
Riset menyatakan stereotip beroperasi secara emosional dan sering kali di bawah
alam sadar, membuat sulit untuk dilawan dan diubah. Satu masalah dari stereotip
adalah adanya generalisasi yang menyebar luas, meskipun mungkin tidak
mengandung kebenaran ketika diaplikasikan pada orang atau situasi tertentu.
Terdapat pula beberapa aplikasi spesifik dari jalan pintas dalam organisasi :
a).Wawancara Kerja
Riset membuktikan kita dapat membentuk kesan atas orang lain hanya dalam 10
detik, berdasarkan pandangan pertama. Riset baru mengindikasikan bahwa intuisi
individual kita mengenai sebuah kandidat pekerjaan tidak dapat diandalkan dalam
memprediksi kinerja, tetapi bahwa mengumpulkan semua masukan dari banyak
elevator independen dapat menjadi lebih prediktif. Kebanyakan keputusan
pewawancara berubah sangat sedikit sesudah 4 atau 5 menit pertama wawancara.
Sebagai hasilnya, informasi yang diperoleh dari awal wawancara membawa bobot
yang lebih besar dibandingkan informasi yang diperoleh sedudahnya.
b). Ekspektasi Kinerja
Istilah prediksi pemenuhan diri dan efek Pygmalion menjelaskan bagaimana
perilaku seorang individu ditentukan oleh ekspektasi orang lain. Ekspektasi
menjadi realita
c). Evaluasi Kinerja
Evaluasi kinerja sangat bergantung pada proses perceptual. Meskipun penilaian
bisa jadi objektif, tetapi lebih banyak orang yang menilai secara subjektif. Tentu
ini adalah peikiran yang keliru.
3. Emosi
Safaria dan Saputra (2009: 15) Manusia adalah makhluk yang memiliki rasa dan
emosi. Hidup manusia diwarnai dengan emosi dan berbagai macam perasaan.
Manusia sulit menikmati hidup secara optimal tanpa memiliki emosi. Manusia
bukanlah manusia, jika tanpa emosi. Kita memiliki emosi dan rasa, karena emosi
dan rasa menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan kita sebagai
manusia. Ahli psikologi memandang manusia adalah makhluk yan secara alami
mamiliki emosi. Menurut James emosi adalah keadaan jiwa yang menampakkan
diri dengan sesuatu perubahan yang jelas pada tubuh. Emosi setiap orang adalah
cerminan keadaan jiwanya, yang akan tampak secara nyata pada perubahan
jasmaninya. Sebagai contoh ketika seseorang diliputi emosi marah, wajahnya
memerah, napasnya menjadi sesak, otot-otot tangannya akan menegang, dan
energi tubuhnya memuncak. Emosi berasal dari kata e yang berarti energi dan
motion yang berarti getaran. Emosi kemudian bisa dikatakan sebagai sebuah
energi yang terus bergerak dan bergetar. Emosi dalam makna palin harfiah
dideinisikan sebagai setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu dari
setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap. Emosi yang merujuk pada
suatu perasaan dan pikiran-pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan
psikologis, dan serangkaian kecenderungan bertindak. Menurut Chaplin dalam
buku Safaria dan Saputra (2009: 12) merumuskan emosi sebagai suatu keadaan
yang terangsang dari organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari,
yang mendalam sifatnya, dan perubahan perilaku. Emosi merupakan keadaan
yang ditimbulkan oleh situasi tertentu. Emosi cenderung terjadi dalam kaitannya
dengan perilaku yang mengarah (approach) atau menyingkir (avoidance) terhadap
sesuatu. Perilaku tersebut pada umumnya disertai adanya ekspresi kejasmanian
sehingga orang lain dapat mengetahui bahwa seseorang sedang mengalami emosi.
Misalnya kalau orang mengalami ketakutan mukanya menjadi pucat, jantungnya
berdebar-debar, jadi adanya perubahan-perubahan kejasmanian sebagai rangkaian
dari emosi yang dialami oleh individu yang bersangkutan. Seseorang
kadangkadang masih dapat mengontrol keadaan dirinya sehingga emosi yang
dialami tidak tercetus keluar dengan perubahan atau tandatanda kejasmanian
seperti wajah memerah ketika marah, air mata berlinang ketika sedih atau terharu.
Hal ini berkaitan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ekman dan Friesen,
bahwa ada tiga macam aturan penggambaran emosi yang terdiri atas masking,
modulation, dan simulation. Jadi, dapat disimpulkan bahwa emosi adalah suatu
panggilan jiwa yang menggetarkan pergolakan pikiran, nafsu, hati, yang bisa
berdampak positif atau negatif. Emosi juga bisa diartikan sebagai suatu perubahan
atau tanda-tanda kejasmanian seperti wajah dapat memerah ketika sedang marah
dan emosi juga suatu sifat yang dapat memengaruhi orang lain yang melakukan
sesuatu dengan ekspresi yang terlihat pada raut wajah seseorang. Masking adalah
keadaan seseorang yang dapat menyembunyikan atau menutupi emosi yang
dialaminya. Emosi yang dialaminya tidak tercetus keluar melalui ekspresi
kejasmaniannya. Misalnya, seorang perawat marah karena sikap pasien yang
menyepelekan pekerjaannya, kemarahannya tersebut diredam atau ditutupi
sehingga tidak ada gejala kejasmanian yang menyebabkan tampaknya rasa marah
tersebut. Pada modulasi (modulation) orang tidak dapat meredam secara tuntas
mengenai gejala kejasmaniannya, tetapi hanya mengurangi saja. Misalnya, karena
marah, ia ngomel-ngomel (gejala kejasmanian) tetapi kemarahannya tidak
meledak-ledak. Pada simulasi (simulation) orang tidak mengalami suatu emosi,
tetapi seolah-olah mengalami emosi dengan menampakkan gejalagejala
kejasmanian. Pada dasarnya emosi manusia bisa dibagi menjadi dua kategori
umum jika dilihat dari dampak yang ditimbulkannya. Kategori pertama adalah
emosi positif atau biasa disebut dengan afek positif. Emosi positif memberikan
dampak yang menyenangkan dan menenangkan. Macam dari emosi positif ini
seperti tenang, santai, rileks, gembira, lucu, haru, dan senang. Ketika kita
merasakan emosi positif ini, kita pun akan merasakan keadaan psikologis yang
positif. Kategori kedua adalah emosi negatif atau afek negatif. Ketika kita
merasakan emosi negatif ini maka dampak yang kita rasakan adalah negatif, tidak
menyenangkan dan menyusahkan. Macam dari emosi negatif diantaranya sedih,
kecewa, putus asa, depresi, tidak berdaya, frustasi, marah, dendam, dan masih
banyak lagi. Biasanya kita menghindari dan berusaha menghilangkan emosi
negatif ini. Adakalanya kita mampu mengendalikannya, tetapi adakalanya kita
gagal melakukannya. Ketika kita gagal mengendalikan atau menyeimbangkan
emosi negatif ini maka ketika itu keadaan suasana hati kita menjadi buruk.
Kesejahteraan psikologi dan kebahagiaan seseorang lebih ditentukan oleh
perubahan atau pengalaman emosional yang sering dialaminya. Hal ini disebut
sebagai afek. Jika individu lebih banyak merasakan dan mengalami afek negatif
seperti marah, benci, dendam, dan kecewa maka individu akan diliputi oleh
suasana psikologis yang tidak nyaman dan tidak menyenangkan. Akibatnya
individu akan terasa sulit merasakan kepuasan hidup dan kebahagiaan. Proses
kemunculan emosi melibatkan faktor psikologis maupun faktor fisiologis.
Kebangkitan emosi kita pertama kali muncul akibat adanya stimulus atau sebuah
peristiwa, yang bisa netral, positif, ataupun negatif. Stimulus tersebut kemudian
ditangkap oleh reseptor kita, lalu melalui otak, kita menginterpretasikan kejadian
tersebut sesuai dengan kondisi pengalaman dan kebiasaan kita dalam
mempersepsikan setiap kejadian. Interpretasi yang kita buat kemudian
memunculkan perubahan secara internal dalam tubuh kita. perubahan tersebut
misalnya nafas tersengal, mata memerah, keluar air mata, dada menjadi sesak,
perubahan raut wajah, intonasi suara, cara menatap dan perubahan tekanan darah
kita. Sedangkan menurut Ivancevich dan Matteson (2006: 127) Salah satu utama
yang membedakan orang dengan tekhnologi adalah bahwa orang memiliki emosi.
Emosi seseorang adalah keadaan yang dicirikan oleh rangsangan psikologis dan
perubahan ekspresi wajah, gerakan tubuh, dan perasaan subjektif. Di masa lalu,
emosi sering kali diabaikan dalam studi prilaku organisasi dan manajemen.
Lingkungan kerja dianggap rasional dan merupakan tempat yang cukup stabil di
mana emosi ada tapi bukan prioritas utama untuk dipahami. Hal ini telah berubah
pada beberapa dekade terakhir dengan munculnya pembahasan mengenai emosi,
studi mengenai peran yang memainkan emosi dalam kinerja pekerjaan, dan
percobaan mengenai bagaimana manajer dapat memodifikasi dan mengelola
emosi dengan lebih baik telah muncul dalam literatur. Emosi adalah perasaan
intens yang ditujukan kepada seseorang atau sesuatu.Emosi adalah reaksi terhadap
seseor ang atau kejadian. Emosi dapat ditunjukkan ketika
merasa senang mengenai sesuatu, marah kepada seseorang, ataupun takut terhadap
sesuatu.
a. Aspek Emosi
Terdapat aspek emosi yang fundamental yang harus dipertimbangkan,
diantaranya:
a). Biologi emosi
Semua emosi berasal dari sistem limbik otak yang kira - kira berukuran sebesar
sebuah kacang walnut dan terletak di batang otak. Orang - orang cenderung
merasa bahagia ketika sistem limbik mereka secara relatif tidak aktif. Sistem
limbik orang tidaklah sama. Sistem limbik yang lebih aktif terdapat pada orang -
orang yang depresi, khususnya ketika mereka memperoleh informasi negatif.
b). Intensitas
Setiap orang memberikan respon yang berbeda - beda
terhadap rangsangan pemicu emosi yang sama. Dalam sejumlah
kasus, kepribadian menjadi penyebab perbedaan tersebut. Pada saat lain,
perbedaan tersebut timbul sebagai hasil dari persyaratan - persyaratan pekerjaan.
c). Frekuesi dan durasi
Suksesnya pemenuhan tuntutan emosional seorang karyawan dari suatu pekerjaan
tidak hanya bergantung pada emosi - emosi yang harus ditampilkan dan
intensitasnya tetapi juga pada seberapa sering dan lamanya mereka berusaha
menampilkannya.
d). Rasionalitas dan emosi
Emosi adalah penting terhadap pemikiran rasional karena emosi
memberikan informasi penting mengenai pemahaman terhadap dunia
sekitar. Dalam suatu organisasi, kunci pengambilan keputusan yang baik adalah
menerapkan pemikiran dan perasaan dalam suatu keputusan.
e). Fungsi emosi
Dalam ”The Expression of the Emotions in Man and Animals”, Charles
Darwin menyatakan bahwa emosi berkembang seiring waktu untuk membantu
manusia memecahkan masalah. Emosi sangat berguna karena ‘memotivasi’ orang
untuk terlibat dalam tindakan penting agar data bertahan hidup tindakan - tindakan
seperti mengumpulkan makanan, mencari tempat berlindung, memilih pasangan,
menjaga diri terhadap pemangsa, dan memprediksi perilaku. Emosi sangat
berpengaruh terhadap tingkah laku manusia. manusia lain.
b.  Klasifikasi emosi
Salah satu cara mengklasifikasikan emosi adalah berdasarkan apakah emosi
tersebut positif atau negatif. Emosi - emosi positif seperti rasa gembira dan
rasa syukur mengekspresikan sebuah evaluasi atau perasaan menguntungkan,
sedangkan emosi - emosi negatif seperti rasa marah atau rasa bersalah
mengekspresikan sebaliknya. Emosi tidak dapat netral, karena menjadi netral
berarti menjadi nonemosional.
c. Sumber – sumber emosi dan suasana hati
a). Kepribadian
Kepribadian memberi kecenderungan kepada orang untuk mengalami suasana
hati dan emosi tertentu, contohnya beberapa orang merasa bersalah dan merasakan
kemarahan dengan lebih mudah dibandingkan orang lain, sedangkan orang lain
mungkin merasa tenang dan rileks dalam situasi apa pun. Intinya, beberapa orang
memiliki kecenderungan untuk memiliki emosi apa pun secara lebih intens atau
memiliki intensitas afek (perbedaan individual dalam kekuatan di mana individu -
individu mengalami emosi mereka) tinggi.
b). Hari dalam seminggu dan waktu dalam sehari
Orang - orang cenderung berada dalam suasana hati terburuk di awal minggu dan
berada dalam suasana hati terbaik di akhir minggu. Contoh, tidur adalah salah satu
sumber emosi dan suasana hati.
c).   Cuaca
Cuaca menjadi sebuah peristiwa yang luar biasa sedikit pengaruh terhadap
suasana hati. Seorang ahli menyimpulkan, "Berlawanan dengan
pandangan kultur yang ada, data ini menunjukkan bahwa orang - orang tidak
melaporkan suasana hati yang lebih baik pada hari yang cerah atau sebaliknya.
d). Stres
Sebuah penelitian menghasilkan pernyataan, "Adanya peristiwa yang terus -
menerus terjadi yang menimbulkan stres tingkat rendah menyebabkan para
pekerja mengalami tingkat ketegangan yang semakin lama seiring berjalannya
waktu semakin meningkat.
e). Aktivitas sosial
Orang - orang dengan suasana hati positif biasanya mencari interaksi sosial dan
sebaliknya, interaksi sosial menyebabkan orang - orang mempunyai suasana hati
yang baik. Jenis aktivitas sosial juga berpengaruh. Penelitian mengungkap bahwa
aktivitas sosial yang bersifat fisik, informal, atau Epicurean lebih diasosiasikan
secara kuat dengan peningkatan suasana hati yang positif dibandingkan dengan
kejadian - kejadian formal atau yang bersifat duduk terus - menerus.
Contoh, Olahraga adalah salah satu sumber emosi dan suasana hati.
f). Tidur
Kualitas tidur memengaruhi suasana hati. Para sarjana dan pekerja dewasa yang
tidak memperoleh tidur yang cukup melaporkan adanya perasaan kelelahan yang
lebih besar, kemarahan, dan ketidakramahan. Satu dari alasan mengapa tidur yang
lebih sedikit, atau kualitas tidur yang buruk, menempatkan orang dalam suasana
hati yang buruk karena hal tersebut memperburuk pengamnbilan keputusan dan
membuatnya sulit untuk mengontrol emosi. 
g). Olahraga
Penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa olahraga meningkatkan suasana
hati positif.
h). Usia
Suatu penelitian atas orang-orang yang berusia 18 hingga 94 tahun
mengungkapkan bahwa emosi negatif tampaknya semakin jarang terjadi seiring
bertambahnya usia seseorang.
i). Gender
Dalam perbandingan antar gender, wanita menunjukkan ekspresi emosional yang
lebih besar dibandingkan pria. Mereka megalami emosi secara lebih intens dan
mereka menunjukkan ekspresi emosi positif maupun negatif yang lebih sering,
kecuali kemarahan. Tidak seperti pria, wanita juga menyatakan lebih nyaman
dalam mengekpresikan emosi dan mampu membaca petunjuk nonverbal dan
paralinguistik secara lebih baik.
d. Batasan eksternal pada emosi
Setiap organisasi mendefinisikan batasan - batasan yang mengidentifikasi emosi -
emosi yang dapat diterima dan sampai tingkat mana karyawan dapat
mengekspresikannya.
-Pengaruh - pengaruh organisasional
-Pengaruh - pengaruh budaya
Sebagai contoh, di Cina orang menyatakan bahwa mereka mengalami lebih
sedikit emosi positif dan negatif dibandingkan orang-orang dalam budaya lainnya,
dan apa pun emosi yang mereka alami adalah kurang intensitasnya dibandingkan
pada kultur lain.
e. Kerja emosional
Mengelola emosi untuk kompensasi disebut emotional labor. Dalam organisasi,
kerja emosional mungkin melibatkan meningkatkan, memalsukan, atau menekan
emosi untuk memodifikasi ekspresi emosional. Aturan atau norma berkenaan
dengan ekspektasi mengenai ekspresi emosional mungkin diperoleh dengan
mengamati rekan kerja atau dinyatakan dalam seleksi atau pelatihan. Walau kerja
emosional bisa efektif secara organisasi, mungkin terdapat efek terhadap
karyawan. Beberapa penelitian menemukan bahwa mengelola emosi (misalkan
emotional labor) merupakan hal yang sangat memancing stress dan mungkin
menghasilkan kejenuhan (burnout). Asumsinya adalah bahwa mengelola emosi
memerlukan usaha, waktu, dan energi. Organisasi yang berusaha untuk mengatur
emosi, sesuatu yang sangat pribadi, akan menemukan penolakan, skeptisisme, dan
rasa tidak nyaman dalam diri karyawan mereka. Terdapat dua cara bagi individu
untuk mengelola emosi mereka: melalui apa yang disebut surface acting, di mana
seseorang mengatur ekspresi emosionalnya, dan melalui deep acting, dimana
seseorang memodifikasi perasaan untuk mengekspresikan suatu emosi yang
diinginkan. Dalam kedua cara tersebut, baik dalam surface acting maupun deep
acting, terdapat usaha sadar yang diterapkan. Dalam dunia kerja dimana sering
terjadi peristiwa negatif, terdapat kemungkinana lebih banyak kerja emosional.
Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak peraturan kerja emosional, semakin
besar stres dan burnout. Jumlah kerja emosional berkaitan dengan meningkatnya
stres tuntutan psikologis yang terlibat dalam pengelolaan emosi. Manajer
menyadari efek negatif yang mungkin terjadi dari kerja emosional (misalkan
penarikan diri, sikap yang buruk, depresi) dengan menyediakan dukungan,
bimbingan, pelatihan, dan petunjuk untuk mengatasinya. Kerja emosional masih
merupakan bidang studi yang baru, tapi telah diketahui bahwa emosi memainkan
peran yang signifikan dalam kehidupan organisasi. Wibowo (2014: 75)
menyatakan membahas tentang emosi biasanya tidak dilakukan sebagai
terminologi yang berdiri sendiri. Terdapat tiga terminologi yang saling terkait
yaitu antara affect, emotions , dan moods. Affect merupakan terminologi generik
yang mencakup tentang perasaan yang luas yang dialami orang. Sedangkan
emotions adalah perasaan yang kuat diarahkan kepada seseorang atau sesuatu.
Sementara itu, moods merupakan perasan yang cendurung kurang kuat daripada
emosi dan dengan kekurangan dorongan konstekstual. Moods dapat diberi makna
kurang lebih sebagai suasna hati atau suasana batin. Kerja emosional adalah
situasi saat seorang karyawan mengekspresikan emosi - emosi yang diinginkan
secara organisasional selama transaksi antarpersonal di tempat kerja. Konsep kerja
emosional muncul dari penelitian - penelitian atas pekerjaan terkait pelayanan,
contohnya sebuah maskapai penerbangan mengharapkan pramugari mereka untuk
gembira. Tetapi kerja emosional dapat relevan untuk semua jenis
pekerjaan. Sebagai contoh, seorang manajer mengharapkan bawahannya untuk
bersikap sopan dalam interaksi dengan rekan-rekan kerja. Tantangan sebenanrnya
adalah ketika para karyawan harus menunjukkan satu emosi sementara pada saat
yang bersamaan mengalami emosi yang lain. Perbedaan ini disebut disonansi
emosional. Jika dibiarkan, perasaan terkungkung dari frustasi, kemarahan, dan
kebencian akhirnya dapat menyebabkan kelelahan emosional dan
kejatuhan mental. 
f. Memeriksa Emosi
Akar dari kata emosi memiliki arti “bergerak.” Tubuh secara fisik dirangsang
selama pengarahan emosi. Reaksi tubuh semacam itulah yang menyebabkan orang
berkata bahwa mereka “tergerak” oleh suatu pidato yang penuh inspirasi atau
diakui oleh salah satu rekan kerja sebagai teman terbaik dalam unit. Di samping
itu, orang juga tergerak untuk melakukan tindakan atas dasar emosi, seperti rasa
takut, marah, atau senang. Banyak tujuan yang dicari dalam pekerjaan menjadikan
pekerja “merasa” baik. Aktivitas yang berusaha dihindari oleh para pekerja
membuat mereka “merasa” buruk. Alasan yang mendasari pemeriksaan emosi
adalah titik di mana emosi saling dihubungankan dengan perilaku adaptif dasar
seperti membantu orang lain, mengasingkan diri, mencari wilayah kerja yang
nyaman, dan menyerang seseorang secara verbal karena telah memulai rumor
yang tidak benar. Perilaku adaptif membantu usaha seseorang untuk
menyesuaikan diri dengan perubahan. Akan tetapi, tampak jelas juga bahwa emosi
dapat memiliki efek negatif. Rasa benci dan takut dapat merusak perilaku dan
hubungan. Detak jantung yang semakin cepat, perut yang “melilit,” keringat yang
mengucur, dan rasa gugup merupakan reaksi tubuh yang diawali oleh rasa takut,
marah, jijik, senang, dan kagum. Sebagian besar dari perubahan aktivitas tersebut
disebabkan oleh adrenalin, suatu hormon yang diproduksi oleh kelenjar adrenal.
Adrenalin memasuki aliran darah ketika sistem saraf simpatetis diaktifkan.
1) Emosi Utama,
Studi penelitian telah menentukan delapan emosi primer utama: takut, terkejut,
sedih, senang, jijik, marah, antisipasi, dan penerimaan. Kedelapan emosi utama ini
dapat bervariasi dalam hal intensitas. Kesedihannya misalnya, dapat berkisar dari
kesedihan ringan hingga kesedihan mendalam yang membuat orang tidak dapat
melakukan apapun. Bentuk paling lunak dari emosi disebut suasana hati (mood).
Suasana hati adalah keadaan emosional yang berintensitas rendah dan bertahan
lama. Suasana hati bertindak sebagai faktor emosi yang ringan, yang
mempengaruhi prilaku sehari-hari. Emosi pada umumnya berlangsung untuk
jangka waktu yang singkat, seperti menit atau jam. Suasana hati sering kali
berlangsung untuk periode waktu yang lebih lama, seperti jam atau hari. Sebagai
contoh, ketika seorang rekan kerja sedang berada dalam suasana hati yang marah,
dia mungkin akan bereaksi dengan marah pada setiap permintaan untuk turut serta
dalam suatu tugas tertentu. Ketika orang yang sama berada dalam mood yang
baik, dia akan memahami setiap permintaan. Selain emosi primer terdapat emosi
sekunder atau emosi lain seperti agresi, cinta, kagum, penyesalan, puas, optimis,
dan kecewa. Juga terdapat bauran emosi. Sebagai contoh, seorang karyawan
mungkin mengalami rasa senang dan takut bahwa seorang rekan kerja yang tidak
disukainya akan diberhentikan. Hasilnya mungkin adalah antisipasi bahwa
karyawan tersebut akan menjadi karyawan berikutnya yang diberhentikan.
2) Ekspresi
Ekspresi emosi yang paling mendasar tampak merupakan hal yang umum.
Individu yang buta sejak lahir memiliki sedikit kesempatan untuk belajar ekspresi
emosi dengan mengamati orang lain. Akan tetapi, walaupun buta, mereka
menggunakan ekspresi wajah yang sama seperti orang lain untuk menunjukkan
rasa senang, sedih, marah, benci, dan lain sebagainya.
3) Bahasa Tubuh
Mimicking Studi komunikasi melalui gerakan tubuh, postur, gerakgerik, dan
ekspresi wajah disebut kinesika (kinesics). Hal tersebut lebih sering disebut
“bahasa tubuh.” Ahli Psikologi Bargh dan Chartrand mengidentifikasikan aspek
dari bahasa tubuh yang mereka sebut “efek bunglon (chameleon effect).” Hal
tersebut merujuk pada fakta bahwa orang sering kali secara tidak sadar meniru
postur, gaya, dan ekspresi wajah dari orang dengan siapa mereka berinteraksi.
4) Umpan-Balik Wajah
Berdasarkan penelitian, aktivitas emosional menyebabkan perubahan terprogram
dalam ekspresi wajah. Sensasi wajah menyediakan informasi bagi otak yang
membantu kita menentukan emosi tertentu apa yang kita rasakan. Hal ni disebut
hipotesis umpan-balik wajah. Hipotesis ini menyatakan bahwa memiliki ekspresi
wajah dan menyadarinya akan membuahkan pengalaman emosional. Ekman yakin
bahwa “membentuk ekspresi” (making faces) benar-benar dapat menyebabkan
emosi. Dalam salah satu studi, partisipan dibimbing otot demi otot mengenai
bagaimana mengatur ekspresi wajah mereka untuk menunjukkan rasa terkejut,
jijik, marah, takut, dan senang.
Sementara ekspresi wajah diajarkan, reaksi tubuh partisipan dimonitor.
Eksperimen ini menunjukkan bahwa “membuat wajah” membawa perubahan
dalam sistem saraf otonomi seseorang (misalkan detak jantung, temperatur
kulit,dll). Ekspresi tersebut juga menghasilkan reaksi tubuh yang berbeda-sebagai
contoh, sebuah wajah yang marah meningkatkan detak jantung, sementara wajah
yang jijik menurunkan detak jantung. Rangkaian studi ini menyatakan bahwa
tidak hanya emosi yang mempengaruhi ekspresi. Ekspresi juga mungkin
mempengaruhi emosi.
g. Dimensi Emosi
Menurut Robbins dalam buku Wibowo (2014 : 82) menyatakan menunjukkan
adanya tiga dimensi emosi, yaitu:
a. Variety Terdapat banyak sekali pariasi emosi, namun yang penting adalah
adalah penentuan klasifikasi yang bersifat positif dan negative. Emosi positif,
sepertikebahagiaan dan harapan, menunjukkan evaluasi atau perasaan
menyenagkan. Emosi negative, seperti marah atau benci, menyatakan sebaliknya.
Perlu diinggat bahwa emosi tidak dapat bersifat netral, netral adalah non
emosional. Namun, kebanyakan orang lebih banyak menunjukkan emosi negative
dari pada positif. Disamping itu, dari banyaknya variasi emosi, dilakukan
identifikasi enam emosi yang bersifat universal, yaitu: anger (kemarahan), fear
(takut), sadness (kesedihan), happiness (kebahagiaan), disgust (muak), dan
surprise (terkejut).
b. Intensity Orang memberikan tanggapan yang berbeda pada dorongan emosi
yang kepribadian individual. Diwaktu lain merupakan hasil dari kebutuhan
pekerjaan. Orang beragam dalam kemampuannya menyatakan intensitasnya.
Pekerjaan membuat permintaan intensitas berbeda dalam bentuk emotional labor.
c. Frequency and Duration Menunjukkan seberapa sering emosi perlu ditunjukkan
dan untuk berapa lama. Emotional labor yang memerlukan frekuensi tinggi atau
durasi panjang adalah lebih menuntut dan memerlukan lebih banyak pengarahan
oleh pekerja. Maka apabila pekerja dapat berhasil mencapai emotional demand
dari pekerja tertentu tergantung tidak hanya pada emosi apa yang perlu
ditunjukkan dan intensitasnya. Tetapi juga pada bagaiman sering dan untuk berapa
lama usaha harus dilakukan.
h. Tipe Emosi
Orang banyak mengalami emosi dan berbagai kombinasi emosi, tetapi semua
mempunyai dua tampilan umum. Pertama, emosi membangkitkan evaluasi global
(dinamakan coreeffek) bahwa sesuatu adalah baik atau buruk, bermanfaat atau
berbahaya, didekati atau dihindari. Kedua, semua emosi menghasilkan beberapa
tingkat penggiatan. Tetapi mereka sangat berubah-ubah dalam penggiatan
tersebut, yaitu seberapa banyak mereka meminta perhatian kita dan memotivasi
kita untuk bertindak

BAB IV
Motivasi Dalam Organisasi
Karakteristik motivasi adalah merupakan hal yang sangat penting dan merupakan
persepektif dasar dari pendekatan historikal. Untuk itu perlu diidentifikasi dan
dijabarkan motivasi tersebut berdasarkan perspektif kebutuhan, serta motivasi
juga perlu diidentifikasi dan dijabarkan berdasarkan perspektif proses (Griffin and
Moorhead, 2014). Motivasi diartikan sebagai suatu kekuatan yang mendorong
seseorang untuk melakukan sesuatu agar memperoleh hasil atau tujuan yang
diharapkan. Dalam lingkup organisasi, Motivasi kerja (work motivation)
merupakan tekanan psikologis dalam diri seorang yang menentukan arah
perilakunya dalam organisasi, tingkat usahanya, maupun tingkat ketahanannya
dalam menghadapi hambatanhambatan. Karyawan akan termotivasi untuk
memberikan hasil kerja yang baik apabila dia memperoleh imbalan (reward) yang
memadai seperti bonus, penghargaan, ekstra cuti dan sebagainya. Motivasi sangat
diperlukan dalam organisasi karena berhubungan dengan usaha memberikan
dorongan pada para karyawan untuk mencapai tujuan organisasi. Tujuan
organisasi tidaklah mungkin dicapai tanpa adanya komitmen yang bertahan lama
dari para anggotanya.Pemahaman tentang motivasi perlu di dasarkan pada asumsi
bahwa motivasi adalah sebagai hal yang baik, sebagai penentu prestasi kerja,
sebagai hal yng tidak pernah berhenti, dan sebagai alat pengukur hubungan
pekerjaan dalam organisasi. Oleh karena itu para manajer organisasi dituntut
memiliki kemampuan memotivasi karyawannya yaitu melalui pemahaman tentang
teori-teori motivasi seperti misalnya teori kebutuhan (needs theory), teori
pengharapan (expectancy theory), maupun teori keadilan (equity theory), dan
teori-teori lainnya, (Ratmawati & Herachwati, 2007. Istilah motivasi (motivation)
merupakan istilah serapan dari bahasa latin“movere”, yang secara harafiah berarti
“menggerakkan” (to move). Beberapa pakar memiliki beragam penjabaran
mengenai pengertian motivasi. Menurut Mitchell (dalam Winardi), “motivasi
mewakili proses-proses psikologika, yang menyebabkan timbulnya, diarahkannya
dan terjadinya persistensi kegiatan-kegiatan suka rela (volunter) yang diarahkan
ketujuan tertentu”. Cropley (1985) menjabarkan istilah motivasi secara sederhana
sebagai “tujuan yang ingin dicapai melalui perilaku tertentu”. Senada dengan
kedua pakar ini, Wlodkowski (1985) menjelaskan istilah motivasi sebagai suatu
kondisi yang memicu perilaku tertentu. Dari sini muncul suatu arahan dan
ketahanan (persistence) terhadap tingkah laku tersebut. Beberapa penjelasan ini
mengandung nilai behaviorisme. Dari definisi tersebut penulis dapat
menggarisbawahi bahwa motivasi merupakan salah satu komponen dalam
pelaksanaan kerjakerja organisasi. Dengan adanya motivasi setiap individu dalam
organisasi dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Sehingga seorang
pemimpin dalam organisasi dapat merealisasikan kerja dan upaya yang makasimal
melalui bawahan yang mempunyai semangat serta motivasi yang tingggi.
Sebaliknya tanpa motiavsi yang baik dari semua komponen organisasi maka
organisasi tersebut tidak dapat berjalan dengan baik. Motivasi adalah faktor-faktor
yang ada dalam diri seseorang yang menggerakkan dan mengarahkan perilakunya
untuk memenuhi tujuan tertentu. Proses timbulnya motivasi seseorang merupakan
gabungan dari konsep kebutuhan, dorongan, tujuan, dan imbalan.
1. Definisi Motivasi
Menurut RA. Supriyono, motivasi adalah “kemampuan untuk berbuat” sesuatu
sedangkan motif adalah “kebutuhan, keinginan, dorongan untuk berbuat sesuatu”.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi motivasi, di antaranya stimuli kekuatan
dan aspek instrinsik seorang individu. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa
stimuli eksternal dapat mempengaruhi motivasi, hanya saja motivasi adalah
cerminan dari reaksi seseorang terhadap suatu stimuli. Penjabaran lain mengenai
istilah motivasi dijelaskan oleh Gray et-al (dalam Winardi). Dalam konsepnya,
motivasi merupakan “hasil sejumlah proses, yang bersifat internal atau eksternal
bagi seseorang individu, yang menyebabkan timbulnya sikap antusiasme dan
persistensi dalam hal melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu”.
2. Konsep Motivasi
Motivasi sering kali dipahami sama dengan kinerja (performance). Hal ini timbul
karena pemahaman terhadap pangertian motivasi yang diartikan sebagai suatu
kekuatan yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu agar memperoleh
hasil atau tujuan yang diharapkan. Padahal motivasi dan kinerja (performance)
adalah hal yang berbeda. Kinerja adalah evaluasi atas perilaku seorang, hasilnya
antara lain untuk mengetahui seberapa baik seseorang melakukan pekerjaannya.
Sedangkan motivasi adalah salah satu elemen dari pengukuran kinerja.
Dikarenakan motivasi adalah hanya sebagian dari bagian untuk menilai kinerja,
maka tidak berarti bahwa orang yang bermotivasi baik akan berkinerja baik,
demikian juga sebaliknya beberapa faktor yang menjadi penyebabnya adalah
adanya perbedaan kepribadian, dan kemampuan. Motivasi dapat berupa motivasi
intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi yang bersifat intrinsik adalah manakala sifat
pekerjaan itu sendiri yang membuat seorang termotivasi, orang tersebut mendapat
kepuasan dengan melakukan pekerjaan tersebut bukan karena rangsangan lain
seperti status ataupun uang atau bisa juga dikatakan seorang melakukan pekerjaan
yang merupakan hobbynya. Sedangkan motivasi ekstrinsik adalah manakala
elemen-elemen di luar pekerjaan yang melekat di pekerjaan tersebut menjadi
faktor utama yang membuat seorang termotivasi seperti status ataupun
kompensasi, (Ratmawati & Herachwati, 2007). Perilaku manusia ditimbulkan atau
dimulai dengan adanya motivasi. Banyak psikolog-psikolog yang memakai
istilah-istilah yang berbeda-beda dalam menyebut sesuatu yang menimbulkan
perilaku tersebut. Ada yang menyebut sebagai motivasi (motivation) atau motif,
kebutuhan (need), desakan (urge), keinginan (wish), dan dorongan (drive). Dalam
penulisan ini kita menggunakan istilah motivasi. Motivasi adalah keadaan dalam
pribadi seseorang yang mendorong keinginan seseorang yang mendorong
keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai
suatu tujuan. Motivasi yang ada pada seseorang akan mewujudkan suatu perilaku
yang diarahkan pada tujuan tercapai sasaran kepuasan. Jadi, motivasi bukanlah
sesuatu yang dapat diamati, tetapi adalah hal yang dapat disimpulkan karena
adanya sesuatu perilaku yang tampak. Tiap kegiatan yang dilakukan oleh
seseorang didorong oleh sesuatu kekuatan dari dalam diri orang tersebut; kekuatan
pendorong inilah yang disebut motivasi. Dalam hal ini kita perlu mengingat
bahwa suatu kebutuhan harus diciptakan atau didorong sebelum memenuhi
sebagai motivasi. Sumber yang mendorong terciptanya suatu kebutuhan dapat
berada pada diri orang itu sendiri (seperti melihat makanan yang menarik). Atau
dengan adanya makanan dapat menimbulkan rasa lapar. Motivasi merupakan
masalah kompleks dalam organisasi, karena kebutuhan dan keinginan setiap
anggota organisasi berbeda. Hal ini berbeda karena setiap anggota suatu
organisasi adalah “unik” secara biologis maupun psikologis, dan berkembang atas
dasar proses belajar yang berbeda pula. Manajer organisasi/perusahaan penting
mengetahui apa yang menjadi motivasi para karyawan atau bawahannya, sebab
faktor ini akan menentukan jalannya organisasi dalam pencapaian tujuan. Seperti
telah disebutkan, motivasi bisa ditimbulkan oleh faktor internal atau faktor
eksternal tergantung dari mana suatu kegiatan dimulai. Motivasi internal berasal
dari diri pribadi seseorang dan dijelaskan oleh hirarki kebutuhan Maslow (1965)
dan motif berprestasi McClelland (1976). Motivasi eksternal sebenarnya dibangun
diatas motivasi internal dan adanya dalam organisasi tergantung pada
anggapananggapan dan tehnik-tehnik yang dipakai oleh pimpinan organisasi atau
para manajer dalam memotivasi bawahannya. Teori McGregor (1944) akan
menjelaskan hal ini. Pendekatan Maslow (1965) dan McGregor (1944) serta para
ahli lainnya nampaknya berbeda, tetapi pandangan mereka saling melengkapi.
Kajian kepustakaan mengenai efisiensi internal oleh Frantz (1988) menemukan
beberapa unsur dari efisiensi-X seperti yang disebutkan di bawah ini:
• Kajian produktifitas
• Alokasi sumber daya
• Faktor pendekatan manajemen
Dari sudut pandang ekonomi terdapat empat unsur kunci yang merupakan konsep
usaha di tempat kerja, antara lain :
1). Aktivitas (A) yang merupakan pekerjaan seseorang
2). Kecepatan (K) melakukan aktivitas
3). Presisi (P) melakukan pekerjaan yang berkualitas
4). Pola waktu (W) atau ritme melakukan pekerjaan
3. Teori yang Menjelaskan Motivasi
Untuk memprediksi perilaku, seorang manajer harus mengetahui tujuan seorang
karyawan dan tindakan-tindakan yang harus diambil karyawan untuk mencapai
tujuannya. Teori motivasi pada dasarnya dibedakan menjadi dua yakni content
theories dan process theories (Gibson et.al. 2012: 129). Content theories (teori-
teori kepuasan) memusatkan perhatian pada faktor-faktor di dalam individu yang
mendorong, mengarahkan, mempertahankan, dan menghentikan perilaku. Teori-
teori ini mencoba untuk menentukan kebutuhan-kebutuhan spesifik yang
memotivasi orang. Process theories (teori-teori proses) menerangkan dan
menganalisa bagaimana perilaku didorong, diarahkan, diarahkan, dan dihentikan.
Kedua pengelompokan tersebut memiliki yang penting bagi para manager, yang
karena pekerjaannya, terlibat dengan proses motivasi.
a. Maslow’s Need Hierarchy.
Teori Hirarki Kebutuhan dari Maslow mengemukakan bahwa manusia di tempat
kerjanya dimotivasi oleh suatu keinginan untuk memuaskan sejumlah kebutuhan
yang ada dalam diri seseorang. Teori ini didasarkan pada tiga asumsi dasar yaitu:
1). Kebutuhan manusia tersusun dalam suatu hirarki, mulai dari hirarki kebutuhan
yang paling dasar sampai ke kebutuhan yang paling tinggi tingkatannya.
2). Keinginan untuk memenuhi kebutuhan dapat mempengaruhi perilaku
seseorang, di mana hanya kebutuhan yang belum terpuaskan yang dapat
menggerakkan perilaku. Kebutuhan yang telah terpuaskan tidak dapat berfungsi
sebagai motivator.
3). Kebutuhan yang lebih tinggi berfungsi sebagai motivator apabila kebutuhan
yang hirarkinya lebih rendah paling tidak telah terpuaskan secara minimal.
Atas asumsi di atas, hirarki kebutuhan manusia menurut Maslow adalah sebagai
berikut:
1). Physiological (kebutuhan fisiologis). Kebutuhan fisiologis merupakan hirarki
kebutuhan manusia yang paling dasar yang merupakan kebutuhan untuk dapat
hidup. Dalam konteks organisasi, kompensasi merupakan kebutuhan fisiologis
karyawan sehingga manajemen harus memberikan gaji yang sesuai kepada
karyawan untuk membeli kebutuhan pokok, karyawan harus diberi waktu istirahat
dan makan yang cukup.
2). Safety and security (kebutuhan keselamatan dan keamanan). Apabila
kebutuhan fisiologis relative sudah terpuaskan maka muncul kebutuhan yang
kedua yaitu kebutuhan keselamatan dan rasa aman. Kebutuhan ini meliputi
keamanan akan perlindungan dari bahaya kecelakaan kerja, jaminan akan
kelangsungan pekerjaan, dan jaminan akan hari tua pada saat seseorang tidak lagi
bekerja.
3). Belongingness, sosial, and love (kebutuhan sosial). Jika kebutuhan hirarki
pertama dan kedua telah terpuaskan secara minimal maka akan muncul kebutuhan
sosial, yaitu kebutuhan untuk persahabatan, afiliasi, dan interaksi yang lebih erat
dengan orang lain. Dalam konteks organisasi, berkaitan dengan kebutuhan akan
adanya kelompok kerja yang kompak, supervisi yang baik, rekreasi bersama, dan
sebagainya.
4). Esteem (kebutuhan penghargaan). Kebutuhan ini meliputi kebutuhan
keinginan untuk dihormati, dihargai atas prestasi seseorang, pengakuan atas
kemampuan dan keahlian seseorang serta efektifitas kerja seseorang. Oleh karena
itu, manajer harus menghargai dan memberi reward, dan promosi bagi karyawan
yang bekerja dengan baik.
5). Self-actualization (kebutuhan aktualisasi diri). Aktualisasi diri berkaitan
dengan proses pengembangan akan potensi yang sesungguhnya dari seseorang.
Kebutuhan untuk menunjukkan kemampuan, keahlian dan potensi yang dimiliki
seseorang. Aktualisasi diri merupakan proses yang berlangsung terus menerus dan
tidak pernah terpuaskan. Malahan kebutuhan akan aktualisasi diri ada
kecenderungan potensinya meningkat karena orang mengaktualisasikan
perilakunya. Seseorang yang didominasi oleh kebutuhan akan aktualisasi diri
senang akan tugas-tugas yang menantang keahlian dan kemampuannya. Oleh
karena itu, manajer dapat memberikan pekerjaan yang menantang karyawan
sehingga keterampilan dan kreatifitas yang dimiliki digunakan sepenuhnya.
b. Alderfer’s ERG Theory.
Sama halnya dengan Teori Maslow, Teori ERG juga menganggap bahwa
kebutuhan manusia tersusun dalam suatu hirarki. Alderfer dan Maslow sependapat
bahwa orang cenderung meningkat hirarki kebutuhannya sejalan dengan
terpuaskannya kebutuhan pada hirarki yang lebih rendah. Akan tetapi Alderfer
tidak yakin atau tidak sependapat dengan Maslow bahwa suatu kebutuhan harus
terpuaskan lebih dahulu sebelum tingkat kebutuhan di atasnya muncul. Kalau
teori Maslow menganggap bahwa kebutuhan manusia tersusun dalam lima hirarki
maka teori ERG menganggap bahwa kebutuhan manusia memiliki tiga hirarki
kebutuhan. Ketiga hirarki tersebut meliputi:
1). Existence (kebutuhan eksistensi). Kebutuhan eksistensi berupa semua
kebutuhan yang termasuk dalam kebutuhan fisiologis dan material dan kebutuhan
rasa aman.
2). Relatedness (kebutuhan akan keterkaitan). Kebutuhan ini sama dengan
kebutuhan sosial dari Maslow. Kebutuhan akan keterkaitan meliputi semua bentuk
kebutuhan yang berkaitan dengan kepuasan hubungan antarpribadi di tempat
kerja.
3). Growth (kebutuhan pertumbuhan). Kebutuhan akan pertumbuhan meliputi
semua kebutuhan yang berkaitan dengan pengembangan potensi seseorang
termasuk kebutuhan aktualisasi diri dan penghargaan dari Maslow. Kepuasan atas
kebutuhan pertumbuhan oleh orang-orang yang terlibat dalam suatu tugas tidak
saja ingin menggunakan dan menunjukkan kemampuannya secara maksimal tetapi
juga untuk dapat mengembangkan kemapuan-kemampuan baru.
c. Herzberg’s Two-Faktor Theory.
Teori dua faktor dikemukakan oleh Herzberg yang dihasilkan dari suatu penelitian
terhadap 200 orang akuntan dan insinyur. Dari hasil penelitian tersebut Herzberg
menyimpulkan dua hal atau dua faktor sebagai berikut:
1. Ada sejumlah kondisi extrinsic pekerjaan (konteks pekerjaan), yang apabila
faktor atau kondisi itu tidak ada, menyebabkan ketidakpuasan di antara para
karyawan. Kondisi ini disebut dengan dissatisfiers, atau hygiene faktors, karena
kondisi atau faktorfaktor tersebut dibutuhkan minimal untuk menjaga adanya
ketidakpuasan. Faktor-faktor ini berkaitan dengan keadaan pekerjaan yang
meliputi faktorfaktor sebagai berikut :
• Gaji
• Status
• Kemanan kerja
• Kondisi kerja
• Fringe benefits
• Kebijakan dan prosedur
• Hubungan interpersonal
2. Sejumlah kondisi intrinsic, tidak adanya kondisi ini bukan berarti membuktikan
kondisi sangat tidak puas. Tetapi jika kondisi atau faktor-faktor tersebut ada, akan
membentuk motivasi yang kuat yang menghasilkan prestasi kerja yang baik. Oleh
karena itu, disebut satisfiers (pemuas) atau motivators (motivator). Kondisi
intrinsic meliputi:
• Pencapaian prestasi
• Pengakuan
• Tanggung jawab
• Kemajuan
• Pekerjaan itu sendiri
• Kesempatan untuk berkembang
Teori dua faktor memprediksikan bahwa perbaikan dalam motivasi hanya akan
Nampak jika tindakan manajer tidak hanya dipusatkan pada kondisi ekstrinsik
pekerjaan tetapi juga pada faktor kondisi intrinsic pekerjaan itu sendiri.
McClelland’s Learned Needs Theory. Mc Clelland meneliti tiga jenis kebutuhan,
yaitu the need for achievement (n Ach), the need for affiliation (n Aff), and the
need for power (n Pow). Kebutuhan akan Prestasi (n Ach), dari hasil penelitian
yang dilakukan oleh Mc Clelland, ada tiga karakteristik dari orang yang memiliki
n Ach yang tinggi, yaitu:
(1) memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap pelaksanaan suatu tugas
atau mencari solusi atas suatu permasalahan. Akibatnya mereka lebih suka bekerja
sendiri daripada dengan orang lain. Apabila suatu pekerjaan membutuhkan
bantuan orang lain, mereka lebih suka memilih orang yang berkompeten daripada
sahabatnya ;
(2) cenderung menetapkan tingkat kesulitan tugas yang moderat dan menghitung
resikonya ;
(3) memiliki keinginan yang kuat untuk memperoleh umpan balik atau tanggapan
atas pelaksaan tugasnya. Mereka ingin tahu seberapa baik mereka telah
mengerjakannya, dan mereka sangat antusias untuk mendapatkan umpan balik
tidak peduli apakah hasilnya baik atau buruk.
Selain itu Mc Clelland menemukan bahwa uang tidak begitu penting peranannya
dalam meningkatkan prestasi kerja bagi mereka yang memiliki n Ach yang tinggi.
Orang yang memiliki n Ach yang rendah tidak akan berprestasi baik tanpa insentif
finansial. Namun demikian tidak berarti bahwa uang tidak penting bagi mereka
yang n Ach tinggi, jika mereka sukses maka mereka mencari imbalan ekonomi
sebagai bukti dari keberhasilannya. Kebutuhan afiliasi (n Aff), merupakan suatu
keinginan untuk melakukan hubungan yang bersahabat dan hangat dengan orang
lain, yang ciri-cirinya adalah :
(1) memiliki suatu keinginan yang kuat untuk mendaptkan restu dan ketentraman
dari orang lain;
(2) mereka cenderung untuk menyesuaikan diri dengan keinginan dan norma
orang lain yang ada di lingkungannya;
(3) memiliki suatu perhatian yang sungguh-sungguh terhadap perasaan orang lain.
Orang yang memilki n Aff yang tinggi mencari kesempatan di temapat kerja
untuk memuaskan kebutuhan tersebut. Oleh karenanya mereka cenderung bekerja
dengan orang lain daripada bekerja sendiri, cenderung memiliki tingkat kehadiran
yang tinggi, dan cenderung berprestasi lebih baik dalam situasi di mana ada
dukungan personal dan moral. Kebutuhan akan kekuasaan (n Pow), adalah
kebutuhan untuk mempengaruhi dan mengendalikan orang lain dan bertanggung
jawab kepadanya. Orang yang memiliki n Pow tinggi memiliki ciri-ciri :
(1) keinginan untuk mempengaruhi secara langsung terhadap orang lain;
(2) keinginan untuk mengadakan pengendalian terhadap terhadap orang lain;
(3) adanya suatu upaya untuk menjaga hubungan pimpinanpengikut.
Orang yang n Pow tinggi cenderung lebih banyak memberikan saran-saran, lebih
sering memberikan pendapat dan evaluasinya, selalu mencoba untuk
mempengaruhi orang lain ke dalam cara berpikirnya. Mereka juga cenderung
menempatkan diri sebagai pemimpin di lingkungan aktivitas kelompoknya.
d. Expectancy Theory (Teori Harapan).
Teori ini dikembangkan oleh Victor Vroom. Ide dasar expectancy theory adalah
bahwa motivasi ditentukan oleh hasil yang diharapkan diperoleh seseorang
sebagai akibat dari tindakannya. Variabel-variabel kunci dalam teori ini adalah
usaha (effort), dan hasil (outcome). Usaha atau dorongan seseorang untuk
bertindak tergantung pada pengharapan, instrumentalitas, dan valensi. Hasil
merupakan tujuan akhir dari suatu perilaku tertentu. Hasil dibedakan menjadi hasil
tingkat pertama dan hasil tingkat kedua. Hasil tingkat pertama adalah hasil usaha
seseorang dalam melakukan pekerjaan, seperti jumlah yang dihasilkan, kualitas,
dan produktivitas secara umum. Hasil tingkat kedua adalah konsekuensi dari hasil
tingkat pertama atau merupakan tujuan akhir prestasi, seperti upah, promosi,
penghargaan, dan imbalan lainnya. Model expectancy theory bahwa prestasi kerja
adalah merupakan kombinasi perkalian antara kemampuan, usaha, ketrampilan,
kejelasan tugastanggung jawab (role perceptions). Jika seseorang memiliki
persepsi peran yang jelas atau memahami tugas dan tanggung jawabnya, memiliki
ketrampilan dan keahlian yang diperlukan dan jika mereka termotivasi
menggunakan usahanya/kemampuannya, maka prestasinya akan baik. Prestasi
kerja menghasilkan imbalan ekstrinsik dan intrinsik.
e. Equity Theory (Teori Keadilan).
Equity Theory dikemukakan oleh Stacy Adams, bahwa manusia atau person di
tempat kerja menilai tentang inputnya dalam hubungannya dengan pekerjaan
dibandingkan dengan hasil (outcomes) yang diperoleh. Mereka
membandingkannya dengan orang lain dalam kelompoknya, dengan kelompok
yang lain atau dengan orang lain di luar organisasi dimana ia bekerja. Bila
persepsi seseorang menganggap bahwa imbalan atau hasil yang ia peroleh tidak
sesuai dengan usahanya atau input yang ia berikan pada organisasi, maka mereka
termotivasi untuk menguranginya. Semakin besar ketidaksesuaian (discrepancy)
itu dirasakan seseorang, maka ia semakin termotivasi untuk menguranginya.
Discrepancy terjadi karena adanya perbedaan persepsi diantara dua orang atau
lebih tentang kaitan antara masukan dengan hasil yang diperolehnya. Dalam
equity theory, input meliputi tingkat pendidikan, keahlian, upaya, masa kerja,
kepangkatan, dan produktivitas. Sedangkan outcomes adalah semua imbalan yang
dihasilkan dari pekerjaan seseorang seperti gaji, promosi, penghargaan, prestasi,
dan status.
f. Reinforcement Theory (Teori Penguatan).
Teori ini dikemukakan oleh Skinner, bahwa penguatan merupakan konsep belajar
(learning). Menurut reinforcement theory bahwa perilaku merupakan fungsi dari
akibat yang berhubungan dengan perilaku tersebut. Orang cenderung melakukan
sesuatu yang mengarah kepada konsekuensi yang positif dan menghindari
konsekuensi yang tidak menyenangkan. Reinforcement theory yang dalam hal ini
menggunakan konsep pengkondisian operan dapat dipandang sebagai suatu model
motivasi yaitu berkaitan dengan membentuk, mengarahkan, mempertahankan, dan
mengubah perilaku dalam organisasi. Teori ini memiliki empat konsep dasar yaitu
perilaku dapat diukur, contingencies of reinforcement, skedul penguatan, dan nilai
penguat. Keempat konsep dasar tersebut dapat dijelaskan mengenai perilaku yang
dapat diukur seperti, jumlah yang dapat diproduksi, kualitas produksi, ketepatan
pelaksanaan jadwal produksi, dan sebagainya. Contingencies of reinforcement,
yaitu berkaitan dengan urutan-urutan antar stimulus, tanggapan dan konsekuensi
dari perilaku yang ditimbulkan (reinforcement). Suatu kondisi kerja tertentu yang
dibentuk oleh organisasi (sebagai stimulus), kemudian karyawan bertindak seperti
yang diinginkan organisasi (tanggapan), seterusnya organisasi memberikan
imbalan yang sesuai dengan tindakan atau perilakunya (konsekuensi dari
perilaku). Dari sudut pandang motivasi, melalui penggunaan stimulus dan
konsekuensi atau imbalan, karyawan termotivasi untuk melakukan perilaku yang
diinginkan organisasi, dalam hal ini perilaku yang termotivasi melalui proses
belajar. Semakin pendek interval waktu antara tanggapan atau respon karyawan
(misalnya prestasi kerja) dengan pemberian penguat (imbalan), maka semakin
besar pengaruhnya terhadap perilaku. Berkaitan dengan nilai dan ukuran
penguatan, semakin besar nilai penguat itu bagi karyawan semakin besar
pengaruhnya terhadap perilaku berikutnya.
g. Goal-Setting Theory (Teori Penetapan Tujuan).
Teori ini dikembangkan oleh Edwin Locke, dimana teori ini menguraikan
hubungan antara tujuan yang ditetapkan dengan prestasi kerja. Konsep dasar goal-
setting theory adalah bahwa karyawan yang memahami tujuan (apa yang
diharapkan organisasi terhadapnya) akan mempengaruhi perilaku kerjanya.
Dengan menetapkan tujuan yang menantang (sulit) dan dapat diukur hasilnya
akan dapat meningkatkan prestasi kerja. Dengan catatan bahwa karyawan tersebut
memiliki kemampuan dan ketrampilan yang diperlukan. Beberapa pernyataan
yang berkaitan dengan konsep teori penetapan tujuan, tujuan yang sulit
menghasilkan prestasi yang lebih tinggi dari tujuan yang mudah; tujuan spesifik
(jelas) dan sulit menghasilkan prestasi yang lebih tinggi dari tujuan yang mudah;
tujuan yang spesifik (jelas) dan menantang akan menghasilkan prestasi yang lebih
tinggi dari tujuan yang bersifat abstrak. Proses goal-setting theory meliputi lima
tahap, pertama, insentif tertentu yang disediakan organisasi. Dalam tahap ini
umumnya termasuk penetapan apa yang ingin dilakukan dilakukan organisasi
(target hasil) dan kejelasan imbalan yang berkaitan dengan pencapaian tujuan
tersebut (peningkatan upah, promosi, penghargaan). Kedua, proses partisipasi
penetapan tujuan meliputi bagaiman tujuan itu ditetapkan. Dalam proses
penetapan tujuan, tujuan itu bisa ditetapkan bersam-sama antara pimpinan dengan
bawahan (disebut partisipatif) atau tujuan itu ditetapkan sendiri oleh pimpinan
(otoriter). Ketiga, atribut-atribut penetapan tujuan meliputi, kejelasan, kesulitan,
tantangan, persaingan dengan karyawan lain, dan umpan balik. Keempat, adanya
komitmen dari karyawan untuk melaksanakan tujuan termasuk perhatian dan
usaha untuk pencapaian tujuan tersebut oleh karyawan. Akhirnya, hasil penetapan
tujuan yaitu prestasi kerja dan kepuasan. Beberapa kritik terhadap goal-setting
theory, antara lain; penetapan tujuan agak kompleks dan sulit dipertahankan,
penetapan tujuan berjalan dengan baik untuk pekerjaan-pekerjaan sederhana tetapi
tidak untuk pekerjaan yang kompleks. Penetapan tujuan dengan pekerjaan dimana
tujuan tidak mudah diukur telah menampilkan beberapa masalah. Pencapaian
tujuan dapat menjadi suatu obsesi. Dalam beberapa situasi, yang menetapkan
tujuan begitu terobsesi tentang pencapaian tujuan mereka sehingga mereka
mengabaikan bidang penting pekerjaan mereka.
3. Motivasi Internal
Kebutuhan dan keinginan yang ada dalam diri seseorang akan menimbulkan
motivasi internalnya. Kekuatan ini akan mempengaruhi pikirannya, yang
selnjutnya akan mengarahkan perilaku orang tersebut. Sebagai contoh, seorang
mahasiswa yang ingin memperoleh nilai A dalam ujiannya akan menentukan
perilaku dia dalam memenuhi syarat kelulusannya. Setelah dia memikirkan
dalam-dalam, perilakunya mungkin akan menjadi mahasiswa yang rajin kuliah,
membuat catatan yang baik, belajar keras, membuat tugas makalah dengan baik
dan sebagainya. Tetapi dalam kenyataan tidak semua mahasiswa masih mencapai
nilai A. Begitu juga dalam suatu orgnisasi, setiap individu akan mempunyai
kebutuhan dan keinginan berbeda dan “unik”. Beberapa teori yang ada mencoba
mengidentifikasikan motivasi-motivasi umum yang selalu ada dalam diri semua
orang. Dengan memahami teori-teori tersebut, manajer dapat memotivasi
bawahannya agar kegiatan mereka mencapai kepuasan yang diingankannya dan
juga menguntungkan pencapaian tujuan organisasi. Penggolongan motivasi
internal yang dapat diterima secara umum belum mendapat kesepakatan para ahli.
Namun demikian, psikolog-psikolog menyetujui bahwa motivasi dapat
dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu:
a). Motivasi Fisiologis, yang merupakan motivasi alamiah (biologis), seperti
lapar, haus, dan seks
b). Motivasi psikologis, yang dapat dikelompokkan dalam tiga kategori dasar,
yaitu: Š Motivasi kasih sayang (affectional motivation); motivasi untuk
menciptakan dan memelihara kehangatan, keharmonisan dan kepuasan batiniah
(emosional) dalam berhubungan dengan orang lain. Š
Motivasi mempertahankan diri (ego-defensive motivation); motivasi untuk
melindungi kepribadian, menghindari luka fisik dan psikologis, menghindari
untuk tidak ditertawakan dan kehilangan muka, mempertahankan prestise dan
mendapatkan kebanggaan diri. Š
Motivasi memperkuat diri (ego-bolstering motivation); motivasi untuk
mengembangkan kepribadian, berprestasi menaikkan prestasi dan mendapatkan
pengakuan orang lain, memuaskan diri dengan penguasaannya terhadap orang lain
4. Motivasi eksternal
Teori motivasi eksternal tidak mengabaikan teori motivasi internal. Tetapi justru
mengembangkannya.Teori motivasi eksternal menjelaskan kekuatan-kekuatan
yang ada dalam individu yang dipengaruhi faktor-faktor ekstern yang
dikendalikan oleh manajer, yaitu meliputi; suasana kerja seperti gaji, kondisi
kerja, dan kebijaksanaan perusahaan, dan hubungan kerja, penghargaan, kenaikan
pangkat dan tanggung jawab. Manajer perlu mengenal motivasi eksternal untuk
mendapatkan tanggapan yang positif dari karyawannya. Tanggapan yang positif
ini menunjukan bahwa bawahannya sedang bekerja demi kemajuan orgnisasi.
Seorang manajer dapat mempergunakan motivasi eksternal yang positif ataupun
yang negatif. Motivasi positif memberikan penghargaan untuk pelaksanaan kerja
yang baik. Motivasi negatif memperlakukan hukuman bila pelaksanaan kerja jelek
Keduanya dapat dipakai oleh manajer. Teori McGregor (1944) akan membantu
menjelaskan motivsi eksternal, (Sukanto dan Handoko, 2000).
5. Teori-Teori Motivasi
Banyak teori tentang motivasi dikemukakan oleh para ahli. Setiap teori motivasi
berusaha untuk memberikan uraian yang menuju pada apa yang sebenarnya
diinginkan manusia dan manusia akan dapat menjadi seperti apa. Dalam ilmu
manajemen, konsep awal motivasi adalah model tradisional yang dikaitkan
dengan manajemen ilmiah (scientific management). Manajer menentukan cara
memotivsi karyawan dengan sistem insentif upah yaitu semakin banyak yang
dihasilkan oleh karyawan semakin besar upah yang yang diterima. Model
tradisional ini kemudian dilengkapi dengan model hubungan manusia yaitu
memotivasi karyawan tidak cukup hanya dengan upah saja tetapi diperlukan pula
pemenuhan kebutuhan sosial yang membuat karyawan merasa berguna dan
penting bagi orgnisasi. Berawal dari model hubungan manusia inilah maka Landy
dan Becker membuat pengelompokan pendekatan teori motivasi menjadi lima
kategori yaitu teori kebutuhan, teori penguatan, teori keadilan, teori harapan, dan
teori penetapan sasaran.
a. Teori Kebutuhan
Teori ini memfokuskan pada apa yang menjadi kebutuhan orang agar hidupnya
dapat tercukupi. Menurut teori kebutuhan, orang agar hidupnya dapat tercukupi.
Menurut teori kebutuhan, seseorang mempunyai motivasi jika dia belum
mencapai tingkat kepuasan tertentu dalam hidupnya. Teori kebutuhan yang paling
populer adalah yang dikemukakan oleh Maslow (1965) dengan “hierarchy of
needs” nya. Hierarki kebutuhan dari Maslow (1965) yang mengetengahkan
motivasi manusia berdasarkan lima macam kebutuhan, lebih banyak diminati oleh
para manajer dalam memotivasi karyawannya. Dimulai dari kebutuhan manusia
yang paling mendasar yaitu; kebutuhan fisiologis, kemudian meningkat pada
kebutuhan keamanan, sosial, harga diri, dan kebutuhan tertinggi sebagi kebutuhan
aktualisasi diri membuat manusia termotivasi untuk memenuhinya secara tahap
demi tahap. Dengan demikian apabila kebutuhan akan sesuatu telah terpenuhi,
maka kebutuhan tersebut tidak lagi akan menjadi motivator. Alderfer (1972)
mengetengahkan teori motivasi ERG yang didasarkan pada kebutuhan manusia
akan keberadan (existence), hubungan (relatedness), dan pertumbuhan (growth).
Teori ini sedikit berbeda dengan teori Maslow (1965). Disini Alderfer (1972)
mengemukakan bahwa jika kebutuhan yang lebih tinggi tidak atau belum dapat
dipenuhi maka manusia akan kembali pada kebutuhan yang lebih rendah.
Penekanan teori ini pada gerak yang fleksibel dari pemenuhan kebutuhan dari
waktu ke waktu dan dari situasi ke situasi.
b. Teori Keadilan
Teori keadilan merupakan teori motivasi kerja yang berdasarkan pada asumsi
bahwa faktor utama dalam motivasi pekerjaan adalah motivasi individu atas
keadilan dari penghargaan yang diterima. Menurut teori ini, keadilan disini
ditunjukan oleh perbandingan yang memadai antara input pekerjaan individu
(misalnya keterampilan) dengan imbalan atas input tersebut (misalnya gaji atau
promosi). Sebagai contoh dua orang analisis keuangan bekerja disuatu perusahaan
yang sama, setelah dua tahun, analis A mendapat promosi jabatan sedang analis B
tidak. Bisakah kedua analis tersebut menentukan situasi ini adil atau tidak?
Jawabannya adalah ya. Analis A dan B dapat menentukan apakah situasi tersebut
adil atau tidak mana kala mereka menilai bahwa apa yang diterimanya sesuai
dengan usaha yang dikeluarkan. Apabila kedua analis tersebut mengetahui bahwa
analis A sehari-hari bekerja lembur dan analis B tidak, maka dianggap bahwa
promosi jabatan tersebut disebabkan waktu bekerja analis A yang lebih lama
daripda analis B. Dengan kata lain pekerja akan lebih termotivasi apabila rasio
antara input dan output yang dimiliki sama dengan rasio input dan output yang
serupa yang dimiliki oleh pekerja lain. Oleh karena itu manajer hendaknya dapat
menjamin adanya keadilan dan kejujuran dalam organisasi.
c. Teori Penguatan
Teori penguatan dikemukakan oleh BF Skiner yang menegaskan bahwa tingkah
laku dengan kosekuensi positif cenderung akan diulang sedangkan tingkah laku
yang berkosekuensi negatif cenderung tidak diulang. Tindakan seseorang dimasa
yang akan datang sangat terpengaruh oleh tindakan masa lalu. Hal tersebut dapat
digambarkan secara siklis dengan urutan sebagai berikut: Rangsangan — respon
—— kosekuensi — respon masa depan Teori penguatan dapat dipakai oleh
manajer untuk mengubah tingkah laku bawahannya. Oleh karena itu teori ini
lazim disebut Behavior modification. Beberapa tehnik penguatan dapat dipakai
sebagai pendorong ataupun sebagai pengeliminir tingkah laku yang diinginkan.
Manajer dapat memilih diantara penguatan positif; yaitu merangsang seseorang
untuk berperilaku sesui dengan yang dikehendaki dengan memberi imbalan.
Penguatan negatif (disebut juga avoidance learning), peniadaan (extinction),
maupun hukuman (punishment) untuk mengubah tingkah laku bawahan sehingga
dihasilkan tingkah laku karyawan yang sesuai dalam organisasi. Waktu atas
pemberian penguatan atau imbalan menentukan hasil yang dicapai, maka dari itu
diperlukan jadwal tertentu untuk melakukan penguatan terhadap karyawan agar
menghasilkan perilaku yang diinginkan. Jadwal tersebut terdiri dari waktu
penguatan diberikan, apakah harian, mingguan, bulanan dan seterusnya, frekuensi
adalah seberapa sering penguatan diberikan, dan rasio pemberian penguatan yang
proporsional. W Clay Hamner memberikan enam cara modifikasi tingkah laku
yaitu:
1) Tidak memberi imbalan pada semua individu dengan cara yang sama, tetapi
harus didasarkan pada prestasi kerjanya.
2) Selalu waspada bahwa kesalahan memberikan respon dapat mengubah tingkah
laku.
3) Memberitahukan secara pasti pada semua bawahan tentang apa yang dapat
dilakukan bawahan agar memperoleh penguatan.
4) Memberitahukan pada bawahan tentang kesalahan yang dilakukan .
5) Tidak menghukum dihadapan orang/karyawan lain.
6) Senantiasa berlaku adil.
d. Teori Penetapan
Sasaran Teori penetapan sasaran (goal-setting theory) merupakan teori proses
motivasi yang fokusnya pada proses penetapan sasaran. Seseorang secara individu
akan termotivasi apabila dia mempunyai kemampuan atau ketrampilan untuk
mencapai sasaran tertentu. Untuk itu perlu diperhatikan karakteristik sasaran:
1. Kejelasan/spesifikasi sasaran (goal specificity) adalah kejelasan sasaran yang
terukur dan dapat diamati. Meningkatkan penjualan 20% atau mengurangi jumlah
pengangguran sampai 15% tahun depan adalah contoh sasaran yang jelas. Tujuan
yang spesifik lebih memotivasi pekerja karena target yang dituju mudah
dipahami.
2. Tingkat kesulitan sasaran (goal difficulty); adalah seberapa sulit seorang atau
sebuah kelompok mencapai sasaran yang ditetapkan. Meningkatkan penjualan 5%
mungkin mudah, 10% sedikit sulit, 25% sangat sulit terutama di masa krisis sepeti
saat ini. Memotivasi karyawan harus mengukur tingkat kesulitan pencapaian
dalam ukuran yang masuk akal, apabila ukuran yang dipakai tidak masuk akal,
maka tujuan untuk memotivasi karyawan tidak akan tercapai.
3. Tingkat penerimaan sasaran (goal acceptance); berkaitan dengan siapa yang
harus melakukan tugas pencapaian sasaran. Umumnya, melibatkan individu yang
akan dibebani tugas pencapaian sasaran dalam proses penetapan sasaran
peningkatan tingkat penerimaan individu terhadap sasaran yang dimaksud.

BAB V
Kelompok dan Tim Dalam Organisasi
1. Kelompok
Kelompok di definisikan sebagai dua individu atau lebih yang berinteraksi dan
saling bergantung untuk mencapai tujuan tertentu.
Pengertian kelompok menurut para ahli, berikut ini beberapa pengertian kelompok
:
 W. H. Y. Sprott memberikan pengertian kelompok sebagai beberapa orang
yang bergaul satu dengan yang lain.
 H. Smith menyebutkan bahwa kelompok adalah suatu unit yang terdapat
beberapa individu, yang mempunyai kemampuan untuk berbuat dengan
kesatuannya dengan cara dan atas dasar kesatuan persepsi.
 Kelompok adalah sekumpulan dua orang atau lebih yang satu sama lain
saling berinteraksi dalam mencapai tujuan bersama.

Dari beberapa pengertian di atas, dapat di simpulkan bahwa kelompok adalah


suatu unit yang terdiri atas sekelompok/sekumpulan dua orang atau lebih yang
satu sama lain berinteraksi dalam mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan
secara bersama-sama dalam suatu wadah tertentu.
a. Jenis-Jenis Kelompok
Kelompok dapat berbentuk formal dan informal. Kelompok formal adalah
kelompok yang sengaja dibentuk dengan keputusan manajer melalui bagian
organisasi untuk menyelesaikan suatu tugas secara efisien dan efektif. Sedangkan
kelompok informal adalah suatu kelompok yang tidak dibentuk secara formal
melalui struktur organisasi, yang muncul karena adanya kebutuhan akan kontak
sosial. 1). Kelompok formal
Kelompok formal dibedakan menjadi dua yaitu kelompok komando (command
group) dan kelompok tugas (task group). Kelompok komando adalah kelompok
yang ditentukan oleh bagan organisasi dan melakukan tugas-tugas rutin
organisasi. Kelompok ini terdiri dari bawahan yang melapor dan bertanggung
jawab langsung kepada pemimpin tertentu. Misalnya departemendepartemen yang
ada dalam perusahaan merupakan contoh dari kelompok komando. Kelompok
tugas adalah suatu kelompok yang bekerjasama untuk menyelesaikan suatu tugas
atau proyek tertentu. Anggota kelompok ini biasanya terdiri dari berbagai unit
dalam organisasi yang disesuaikan dengan kebutuhan akan keterampilan dan
keahlian yang diperlukan untuk melaksanakan tugas atau proyek tersebut.
Misalnya satuan tugas yang dibentuk oleh manajer perusahaan untuk
mengendalikan/menurunkan biaya operasional sebesar 10%.
2). Kelompok informal
Kelompok informal dibedakan menjadi dua yaitu kelompok persahabatan dan
kelompok kepentingan. Kelompok persahabatan, merupakan kelompok yang
terbentuk karena ada kesamaan-kesamaan tentang suatu hal, seperti kesamaan
dalam hobi, status perkawinan, jenis kelamin, latar belakang, pandangan politik
dan lain sebagainya. Kelompok kepentingan, merupakan kelompok yang
berafiliasi untuk mencapai sasaran yang sama. Sasaran jenis kelompok ini tidak
berkaitan dengan tujuan organisasi tetapi semata-mata untuk mencapai
kepentingan kelompok itu sendiri.
b. Terbentuknya Kelompok
Alasan-alasan utama seseorang menjadi anggota suatu kelompok adalah berkaitan
dengan kebutuhan untuk keamanan, afiliasi, kekuasaan, status dan pencapaian
tujuan.
1). Alasan Kemanan
Salah satu alasan mengapa seseorang menjadi anggota suatu kelompok adalah
untuk mendapatkan rasa aman dari ancaman. Orang yang bergabung dalam suatu
kelompok posisinya akan lebih kuat dari pada sendirian. Selain itu mereka akan
terhindar dari perlakuan-perlakuan yang kurang menguntungkan dari orang lain
terutama pimpinan. Misalnya menentang kebijakan organisasi yang merugikan
karyawan tertentu, maka dengan bergabung dalam suatu kelompok maka posisi
tawar-menawar akan lebih kuat.
2). Alasan Afiliiasi
Interaksi secara formal yang terjadi dalam organisasi tidak dapat dilakukan secara
intens atau erat karena kesibukan masing-masing dalam melaksanakan tugasnya.
Dengan menjadi anggota suatu kelompok maka interaksi yang terjadi dapat lebih
erat, lebih bersahabat dan akrab.
3). Alasan Kekuasaan
Kelompok informal memberikan peluang bagi seseorang untuk melatih
kemampuan mempengaruhi orang lain. Orang yang ingin menggunakan
pengaruhnya terhadap orang lain, diberikan kekuasaan tanpa wewenang formal
dari organisasi. Sebagai pemimpin kelompok seseorang dapat mempengaruhi
anggota kelompoknya. Bagi orang yang memiliki kebutuhan akan kekuasaan
kelompok merupakan wadah untuk pemenuhannya.
4). Alasan Status
Dengan bergabung dalam suatu organisasi seseorang merasakan adanya
pengakuan dari lingkungannya bahwa ia memiliki status tertentu sesuai dengan
status yang disandang oleh kelompoknya.
5). Alasan Pencapaian Tujuan
Orang-orang bekerja dalam suatu kelompok untuk mencapai tujuan-tujuan yang
penting. Secara fisik dan mental intelektual dengan bekerja bersama dalam wadah
kelompok tujuan-tujuan tersebut akan lebih mudah tercapai. Secara fisik tenaga
yang terhimpun dalam kelompok lebih besar dan secara mental intelektual ide,
gagasan maupun pendapat akan lebih berkualitas dan memberikan kontribusi
terhadap keberhasilan kelompok.
c. Perkembangan Kelompok
Kelompok yang telah terbentuk tidak langsung dapat bekerja dengan tingkat
efektivitas yang tinggi. Karena untuk mencapainya, biasanya melalui beberapa
tahapan perkembangan. Tahapan-tahapan tersebut meliputi tahap orientasi,
konfrontasi, deferensiasi dan tahapan kolaborasi.
1). Tahap orientasi
Pada tahap awal perkembangan, anggota kelompok mencoba memahami tujuan
kelompok dan peranan dari masing-masing anggota kelompok. Masing-masing
memutuskan bagaimana kelompok ini akan dibangun, dan seberapa besar mereka
berperan serta dalam kelompok tersebut. Pemimpin formal atau seseorang yang
dianggap memegang peranan dalam kepemimpinan, memiliki pengaruh besar
dalam membangun kelompok. Selama tahap ini anggota kelompok perlu
mempelajari masing-masing dan memberikan sumbangannya terhadap sasaran
dan tujuan kelompok.
2). Tahap konfrontasi
Sekalipun konflik bukan merupakan fase dari perkembangan kelompok, tetapi
sasaran kelompok dan harapan anggota kelompok akhirnya mendapat tantangan.
Terjadinya perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan dan pengaruh sangat umum
terjadi. Tantangan terhadap tujuan kelompok merupakan proses yang sehat jika
konflik tersebut menyebabkan meningkatnya kohesivitas dan penerimaan. Bila
konflik yang terjadi sangat tajam dan tidak fungsional, maka kelompok akan tetap
merupakan kelompok yang tidak efektif dan tidak pernah naik ke tingkat
kematangan yang lebih tinggi.
3). Tahap deferensiasi
Isu utama dari tahap ini adalah bagaimana tugas dan tanggung jawab akan dibagi
di antara anggota kelompok dan bagaimana prestasi masing-masing anggota
kelompok. Perbedaan masing- masing individu diakui, dan tugas ditetapkan atas
dasar keahlian dan kemampuan. Jika kelompok dapat mengatasi konflik
wewenang dan dapat menciptakan harapan bersama mengenai tujuan dan tugas
yang ditetapkan maka hal ini akan menjadikannya kelompok yang kohesif dan
mampu mencapai tujuannya. Pada tahap ini para anggota merasakan keberhasilan
yang dicapai kelompoknya. Akan tetapi sejalan dengan perkembangan situasi
yang terjadi maka kelompok masih memerlukan adanya peningkatan kematangan
dalam mengatasi konflik yang mungkin terjadi dalam perkembangannya.
4). Tahap kolaborasi
Tingkat kematangan yang tertinggi dari perkembangan kelompok adalah
kolaborasi, dimana ada rasa kekompakan dan komitmen yang tinggi terhadap
organisasi. Perbedaan masing-masing individu dibiarkan terjadi. Konflik yang
terjadi diidentifikasi dan dipecahkan melalui diskusi. Konflik yang terjadi
berkaitan dengan masalah substansi yang relevan dengan tugas kelompok.
Keputusan diambil melalui diskusi yang rasional dan tidak ada upaya untuk
membuat keputusan yang dipaksakan. Anggota kelompok sadar akan proses
kelompok dan meningkatkan keterlibatannya dalam kelompok.
d. Teori Pembentukan Kelompok
Luthans (2011: 341) mengemukakan beberapa teori terkait dengan dinamika
pembentukan kelompok sebagai berikut :
1) Teori Kedekatan (Propinquity Theory)
Menurut teori ini individu-individu saling berafiliasi karena kedekatan ruang atau
geografis. Teori tersebut akan memprediksi bahwa siswa yang duduk
berdampingan di kelas, lebih cenderung membentuk kelompok daripada siswa
yang duduk di ujung ruangan yang berbeda. Dalam sebuah organisasi, karyawan
yang bekerja di area pabrik atau kantor atau manajer yang sama dengan kantor-
kantor yang berdekatan satu sama lain akan lebih mungkin terbentuk dalam
kelompok daripada mereka yang tidak berlokasi sama secara fisik. Teori ini
mengabaikan kemajuan teknologi yang mampu menembus batas ruang dan fisik.
2) Teori Klasik (Classic Theory) dari George Homans
Teori ini mendasarkan pada 3 elemen : activities, interactions, and sentiments.
Ketiga elemen ini berhubungan secara langsung satu sama lainnya, namun elemen
utamanya adalah interaksi. Semakin banyak aktivitas yang dimiliki orang,
semakin banyak interaksi mereka dan semakin kuat sentimen mereka (seberapa
banyak orang lain disukai atau tidak disukai) ; Semakin banyak interaksi di antara
orang-orang, semakin banyak aktivitas dan sentimen bersama mereka ; Semakin
sentimen orang memiliki satu sama lain, semakin banyak kegiatan dan interaksi
bersama mereka.
3) Teori Keseimbangan Klasik (Classic Balance Theory) dari Theodore
Newcomb.
Teori ini menyatakan bahwa orang-orang saling tertarik satu sama lain atas dasar
sikap dan nilai yang sama terhadap objek dan tujuan yang relevan. Begitu
hubungan ini terbentuk, para peserta berusaha untuk menjaga keseimbangan
simetris antara daya tarik dan sikap umum. Jika terjadi ketidakseimbangan, usaha
dilakukan untuk mengembalikan keseimbangan. Jika keseimbangan tidak bisa
dipulihkan, hubungan akan melarut. Kedekatan dan interaksi berperan dalam teori
keseimbangan ini.
4) Teori Pertukaran (Exchange Theory)
Teori pertukaran kelompok didasarkan pada hasil imbalan-biaya (reward-cost)
interaksi. Tingkat positif minimum (imbalan lebih besar daripada biaya) suatu
hasil harus ada agar ketertarikan atau afiliasi dapat terjadi. Imbalan dari interaksi
memuaskan kebutuhan, sedangkan biaya menimbulkan kecemasan, frustrasi, rasa
malu, atau kepenatan. Kedekatan, interaksi, dan sikap umum semuanya memiliki
peran dalam teori pertukaran ini.
Selain itu, Robbins dan Judge (2013: 273) mengemukakan teori pembentukan
kelompok yang disebut :
1) Teori Identitas Sosial (Social Identity Theory)
Menurut teori identitas sosial ini, orang memiliki reaksi emosional terhadap
kegagalan atau keberhasilan kelompok mereka karena harga diri mereka terkait
dengan kinerja kelompok. Reaksi yang muncul pada seseorang sebagai berikut :
a). Bila kelompok anda melakukannya dengan baik, anda menikmati kemuliaan
dan harga diri anda meningkat. Sebaliknya bila kelompok anda berkinerja buruk,
anda mungkin merasa tidak enak dengan diri anda sendiri, atau anda bahkan
mungkin menolak bagian identitas anda. Identitas sosial juga membantu orang
mengurangi ketidakpastian tentang siapa diri mereka dan apa yang harus mereka
lakukan.
b). Orang mengembangkan banyak identitas sepanjang hidup mereka. Anda
mungkin menentukan diri anda dalam hal organisasi tempat anda bekerja, kota
tempat anda tinggal, profesi anda, latar belakang agama anda, etnisitas anda, atau
jenis kelamin anda.
2. Tim Kerja
Organisasi dalam melakukan pekerjaanpekerjaannya secara lebih baik sering
membentuk kelompok kerja atau tim kerja. Kelompok kerja dan tim kerja
merupakan dua konsep yang tidak sama. Para pakar memberikan definisi tim kerja
sebagai berikut :
Teams are special type of task group, consisting of two or more individuals
responsible for the achievement of a goal or objective (Ivancevich et al.(2008).
Tim adalah tipe khusus dari kelompok kerja, terdiri dari dua atau lebih individu
yang bertanggung jawab untuk pencapaian suatu tujuan.
Work team is a group whose individual efforts result in performance that is
greater than the sum of the individual inputs.Robbins dan Judge (2013: 309), Tim
kerja adalah kelompok yang upaya-upaya individunya menghasilkan kinerja yang
lebih besar daripada jumlah dari masukan-masukan individual.
Tjiharjadi (2012: 266) Tim dapat didefinisikan sebagai kumpulan dua atau lebih
individu yang berintraksi secara dinamis, independen, dan saling beradaptasi
untuk mencapai suatu tujuan bersama yang telah ditetapkan. Suatu tim biasanya
mempunyai ukuran yang lebih kecil dan skala tujuan yang lebih spesifik. Dapat
kita ambil contoh: suatu Tim Volly yang mewakili UIN SU yang memiliki tujuan
spesifik untuk merebut gelar juara pada suatu pertandingan olahraga ditingkat
nasional. Kreitner ( 2007: 340) team as a small number of people with
complementary skills who are committed to a common purpose, performance
goals, and approach for which they hold themselves mutually accountable.
Kreitner dan Kinicki dalam buku Wibowo (2014: 182) mengungkapkan bahwa
kelompok kerja bisa saja menjadi tim ketika: kepemimpinan menjadi aktivitas
bersama, akuntabilitas bergeser dari sangat individual menjadi bersama antara
individual dan kolektif, kelompok mengembangkan maksud dan misinya sendiri,
problem solving menjadi way of life bukan aktivitas paruh waktu, dan efektifitas
diukur oleh hasil dan produk kolektif kelompok. Zulkarnain (2013: 149) sebuah
tim adalah sekelompok orang yang saling bergantung informasi, sumber daya,
keterampilan serta berusaha untuk menggabungkan mereka untuk mencapai
tujuan bersama. Karakteristi Tim menurut Thompson dalam Zulkarnain adalah:
anggota tim saling bergantung mengenai beberapa tujuan bersama, tim dibatasi
dan tetap relatif stabil dari waktu kewaktu, anggota tim memiliki wewenang untuk
mengelola pekerjaan mereka sendiri, dan tim beroperasi dalam konteks sistem
organisasi. Meskipun kita sering berfikiran bahwa kelompok dengan tim adalah
suatu kata yang sama makna, akan tetapi pada keduanya terdapat perbedaan baik
dilihat dari banyaknya anggota di dalamnya, cara pemecahan masalahnya,
perilaku para anggotanya, rasa saling memiliki dari anggota tim atau kelompok
itu, atau bahkan cara pengambilan keputusan. Tim jika dilihat juga lebih kecil dan
sedikit serta terbatas anggotanya. Kita dapat mengetahui dan membedakan,
sebagaimana telah dijelaskan di atas. Jadi antara tim dan kelompok memiliki dua
perioritas yang membedakan yaitu dari sebuah tim terdapatnya tujuan bersama
dimana setiap anggota berbagi tanggung jawab untuk mencapainya, serta setiap
anggota memahami dan merasa terikat untuk mencapai tujuan berrsama tersebut.
Berdasarkan pendapat diatas ternyata tim kerja merupakan salah satu tipe khusus
dari kelompok tugas. Tim kerja menghasilkan sinergi positif melalui upaya
terkoordinasi. Upaya individu menghasilkan tingkat kinerja yang lebih besar
daripada jumlah input individu tersebut. Hal ini berbeda dengan kelompok kerja.
Kelompok kerja (work group) adalah kelompok yang berinteraksi terutama untuk
berbagi informasi dan membuat keputusan untuk membantu setiap anggota tampil
di dalam wilayah tanggung jawabnya (Robbins & Judge, 2013: 309). Kelompok
kerja tidak memiliki kebutuhan atau kesempatan untuk terlibat dalam pekerjaan
kolektif sebagai usaha bersama. Jadi penampilan mereka hanyalah penjumlahan
masingmasing kontribusi individu anggota kelompok. Tidak ada sinergi positif
untuk menciptakan tingkat kinerja keseluruhan yang lebih besar daripada jumlah
input. Kemajuan teknologi, kompetisi global dan berbagai perubahan lainnya
dalam kehidupan masyarakat saat ini, menuntut organisasi untuk melakukan
kolaborasi di antara orang-orangnya dalam sebuah tim kerja lintas departemen
atau lintas keakhlian dalam melakukan pekerjaannya. Intinya, pikiran orang
banyak akan lebih baik ketimbang pikiran satu orang saja. Membangun sebuah
tim adalah suatu proses memilih, mengembangkan, memberikan kemudahan, dan
melatih sebuah kelompok kerja agar berhasil mencapai tujuan bersama.
Didalamnya mencakup memotivasi anggotaanggota agar merasa bangga dalam
melaksanakan tugas kelompoknya. Pembangun tim (team builder) harus mampu
memenuhi tuntutan tugas (kualitas hasil, tepat waktu, dsb), dan memenuhi
kebutuhan anggota-anggota kelompok (adil, tidak konflik, dsb). Pada Tabel 8.1
menunjukkan perbedaan antara kelompok kerja dan tim kerja.
1. Tipe-tipe Tim Kerja
Robbins dan Judge (2013: 310), mengklasifikasi empat tipe tim yang paling
umum sebagai berikut :
a) Tim pemecahan masalah (Problem-Solving Teams),
b) Tim kerja yang mengelola diri sendiri (Selfmanaged work teams),
c) Tim lintas fungsional (Cross-Functional Teams),
d) Tim virtual (Virtual Teams).
1). Tim pemecahan masalah (Problem-Solving Teams)
Tim pemecah masalah dibentuk untuk memecahkan masalah-masalah yang
dihadapi organisasi seperti peningkatan kualitas, efisiensi, lingkungan kerja dan
lain-lain. Tim ini umumnya terdiri dari 4 - 12 orang dari departemen yang sama,
mereka saling berbagi gagasan dan menawarkan saran untuk memecahkan
masalah yang dihadapi. Jarang sekali tim-tim ini diberikan otoritas untuk secara
unilateral (sendirinya) menerapkan saran mereka ke dalam tindakan. Satu hal yang
dikenal sebagai bentuk Tim Problem-Solving adalah Lingkaran Kualitas.

2. Tim kerja pengelolaan diri (Self-managed work teams)

Tim yang tidak hanya dapat memecahkan masalah, tetapi juga memikul tanggung
jawab sepenuhnya akan hasil-hasilnya. Tim ini umumnya terdiri atas 10 hingga 15
orang yang mengambil alih tanggung jawab dari para supervisor. Tanggung jawab
ini termasuk kendali menyeluruh atas kecelakaan kerja, penentuan penilaian
pekerjaan, pemecahan masalah organisasi, dan pilihan prosedur-prosedur
pemeriksaan yang dilakukan secara kolektif. Tim ini bahkan memilih sendiri
anggotanya.

3). Tim Lintas Fungsional (Cross-Functional Teams)

Tim yang terdiri dari individu yang memiliki tingkat hirarki yang sama tapi dari
bidang kerja (departemen, bidang atau bagian) yang bebeda untuk menyelesaikan
suatu tugas. Tim lintas fungsional ini bertujuan meningkatkan komunikasi dan
penelusuran catatan kerja, yang akan membawa pada peningkatan produktivitas
dan kepuasan klien. Sebagai contoh, masih menurut Robbins, antara tahun 1999
hingga Juni 2000 manajemen senior IBM menarik 21 pekerja dari sekitar 100 ribu
staf teknologi informasinya guna meminta saran bagaimana perusahaan bisa cepat
menyelesaikan proyek dan memasarkan produk secara cepat ke pasar. Ke-21
anggota dipilih karena mereka punya karakteristik yang serupa dimana mereka
pernah berhasil memimpin proyek-proyek berjangka cepat. “Speed Team”,
demikian julukan tim tersebut, bekerja selama 8 bulan saling berbagi informasi,
menguji perbedaan antara proyek- proyek berjangka cepat dan lambat, dan mereka
mampu melahirkan rekomendasi-rekomendasi seputar bagaimana IBM bisa
mempercepat produksinya.

4). Tim Virtual (Virtual Teams)

Tim virtual adalah kelompok yang menggunakan teknologi komputer dan sistem
informasi sebagai alat untuk koordinasi dengan orang-orang yang terpisah secara
fisik guna mencapai sasaran bersama. Teknik tersebut memungkinkan orang
saling bekerjasama lewat metode online, kendati mereka dipisahkan oleh yuridiksi
negara bahkan benua. Tim virtual dapat melakukan lebih banyak hal ketimbang
tim-tim lainnya, terutama dalam hal berbagi informasi, pembuatan keputusan, dan
perampungan pekerjaan. Mereka terdiri atas para anggota dari organisasi yang
sama ataupun hubungan anggota organ dengan para pekerja dari organisasi lain
semisal supplier ataupun partner perusahaan. Tim Virtual berbeda dengan tim-tim
lain yang face-to-face dalam tiga hal yaitu :

(1) Ketiadaan komunikasi lisan-fisik;

(2) Terbatasnya konteks sosial, dan

(3) Kemampuan mengatasi masalah waktu dan hambatan tempat.


Dalam komunikasi face-to-face, orang menggunakan peran verbal seperti nada
suara, intonasi, dan volume suara serta nonverbal seperti gerak mata, roman muka,
gerak tangan, dan bahasa tubuh lainnya. Keduanya semakin menjelaskan
komunikasi, tetapi kini hal-hal tersebut nihil di dalam tim virtual. Tim virtual
mengalami kekurangan laporan sosial yang manusiawi akibat interaksi langsung
yang kecil diantara para anggotanya.
komponen pembentuk tim yang efektif dapat digolongkan menjadi 4 yaitu: suber
yang memadai, komposisi tim, rancangan pekerjaan, dan variabel proses. Yang
keseluruhannya berpengaruh dalam pembentukan Tim yang efektif. Tim kerja
yang berhasil memiliki orang orang untuk mengisi semua peran dan memilih
orang orang untuk memainkan berbagai peran dengan keterampilan dan pilihan
mereka. Tim yang efektif juga memiliki karakteristik yang sama, seperti sumber
yang memadai, kepemimpinan yang efektif, adanya saling kepercayaan, serta
evaluasi kinerja yang mencerminkan kinerja dari suatu tim. Sopiah (2008) Untuk
berkinerja baik sebagai anggota tim, individu-individu harus mampu
berkomunikasi secara terbuka dan jujur. Menghadapi perbedaan-perbedaan dan
memecahkan konflik dan menghaluskan tujuan pribadi untuk kebaikan tim itu.
Bagi banyak karyawan, ini merupakan suatu tugas yang sukar atau bahkan
mustahil. Tantangan bagi pencipta pemain tim yang paling besar adalah bila:
a. Budaya nasional sangan individualistis
b. Tim itu akan dimasukkan kedalam organisasi yang sudah mapan secara historis
menghargai prestasi individual.
Perusahaan ini semakin besar karena memperkerjakan dan mengganjarkan
bintang-bintang korporasi. Mereka sengaja membiakkan iklim kompetitif yang
mendorong prestasi dan pengakuan individual. Misalnya, adalah suatu organisasi
Amerika memiliki general motors. Perusahaan itu dirancang berdasarkan tim-tim
sejak lahirnya. Semua orang pada awalnya dipekerjakan dengan mengetahui
bahwa mereka akan bekerja dalam tim. Kemampuan untuk menjadi pemain tim
yang baik merupakan kualifikasi pekerjaan yang dasar yang harus dipenuhi oleh
semua karyawan baru. Sopiah (2008: 49) ada beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam pembentukan pemain tim, yaitu seleksi, pelatihan dan
ganjaran.
a). Seleksi
Beberapa orang memiliki keterampilan hubungan antar pribadi untuk menjadi
pemain tim yang efektif. Ketika memperkerjakan anggota tim, disamping
keterampilan teknis yang diperlukan untuk mengisi pekerjaan itu, harus dipastikan
bahwa calon dapat memenuhi peran sebagai anggota tim dan juga memenuhi
persyaratan teknis.
b). Pelatihan Pada pandangan yang lebih optimis, sebagian orang yang dibesarkan
pada lingkungan yang mementingkan prestasi individual dapat dilatih untuk
menjadi pemain tim. Pelatihan menjalankan latihan-latihan yang memungkinkan
karyawan mengalami kepuasan yang dapat diberikan oleh kerja tim. mereka
menawarkan lokakarya untuk membantu karyawan memperbaiki keterampilan
pemecahan masalah, komunikasi, perundingan, manajemen konflik dan pelatihan
(coaching) mereka.
c). Ganjaran
Sistem ganjaran perlu diperbaiki untuk mendorong upaya kooperatif, bukannya
kompetitif. Misalnya, space launch system company milik Martin Marietta telah
mengorganisasikan 1.400 karyawannya ke dalam tim-tim. Ganjarannya distruktur
untuk mengembalikan suatu kenaikan persentase dalam gaji terbawah kepada
anggota tim berdasarkan pencapaian tujuan kinerja tim tersebut.
d). Promosi,
kenaikan upah dan aneka ragam lainnya dari pengakuan hendaknya diberikan
kepada individu-individu atas betapa efektif mereka sebagi anggota tim yang
kolaboratif. Contoh perilaku yang seharusnya diganjar anatara lain melatih rekan
baru, berbagi informasi dengan teman satu tim, membantu memecahkan konflik
tim dan menguasai keterampilan baru yang diperlukan tetapi masih kurang
dimiliki oleh tim.
2. Kerja Sama dalam Membangun Tim Efektif
a). Pengertian tim yang dinamis
Tim dinamis adalah tim yang memiliki kinerja yang sangat tinggi, tim yang dapat
memamfaatkan segala energi yang ada dalam tim tersebut untuk menghasilkan
sesuatu. Tim dinamis merupakan tim penuh dengan rasa percaya diri, tim yang
para anggotanya menyadari kekuatan dan kelemahannya untuk mencapai tujuan
yang telah di tetapkan bersama.
3. Mambangun rasa kebersamaan tim
Tahapan-tahapan dalam membangun tim yang dinamis akan berjalan dengan baik,
apabila anggota-anggota tim mampu membangun rasa kebersamaan secara efektif.
Untuk membangun rasa kebersamaan di dalam suatu tim, setiap anggota
kelompok harus mampu menerima keragaman anggota tim. Hal ini di sebabkan
setiap tim terdiri dari berbagai individu yang memiliki latar belakang, perilaku,
pengalaman yang berbeda-beda
Karakteristik membangun rasa kebersamaan adalah sebagai berikut :
 Berorientasi pada opini
 Berorientasi pada persamaan
 Berorientasi pada tujuan
4. Tim dan Manajemen Kualitas Total Hakikat Total
quality management adalah perbaikan proses dan pelibatan karyawan, yang
merupakan bagian vital dari perbaikan proses. Dengan kata lain total quality
manajement menuntut manajemen untuk mendorong para karyawan untuk berbagi
gagasan dan bertindak sesuai dengan apa yang mereka sarankan. Seperti yang
dikemukakan oleh satu pengarang “Tidak satupun dari berbagai proses dan teknik
total quality management akan dimengerti dan diterapkan kecuali dalam tim-tim
kerja. Semua teknik dan proses semacam itu menuntut tingkat komunikasi yang
tinggi dan kontak, respon dan penyesuaian (adaptasi), serta koodinasi dan
pengurutan. Ringkasnya, teknik dan proses ini menuntut lingkungan yang dapat
dipasok hanya oleh tim kerja yang unggul”. Manajemen Ford mengidentifikasi
lima tujuan. Tim itu harus:
a). Cukup kecil agar efesien dan efektif
b). Dilatih dengan benar dengan dalam keterampilanketerampilan yang akan
dibutuhkan anggotanya
c). Dialokasikan cukup waktu untuk bekerja pada masalahmasalah yang mereka
rencanakan untuk ditangani
d). Diberikan otoritas (wewenang) untuk memecahkan masalah dan melaksanakan
tindakan korektif
e). Masing-masing mempunyai seorang “juara” yang di tunjuk yang tugasnya
adalah membantu tim menghindari penghalang-pengahalang jalan yang timbul.
5. Tim dan Keanekaragaman Angkatan Kerja
Keanekaragaman pada tim kerja adalah bila tim itu sibuk dalam tugas pemecahan
masalah dan pengambilan keputusan. Tim yang heterogen membawa perspektif
ganda kedalam pembahasan. Jadi meningkatkan kemungkinan bahwa tim akan
mengidentifikasi pemecahan yang kreatif atau unik. Disamping itu, kurangnya
suatu perspektif bersama biasanya berarti tim yang beraneka itu menghabiskan
lebih banyak waktu untuk membahas isu itu, yang mengurangi peluang bahwa
suatu alternatif lemah akan dipilih. Tetapi hendaknya diingat bahwa kontribusi
positif yang diberikan oleh keanekaragaman kepada tim pengambilan keputusan
tak diragukan akan berkurang dengan berjalannya waktu. Dapat mengharapkan
meningkatnya komponen nilai tambah dari tim yang beraneka dengan makin
kenalnya satu sama lain anggota-anggota dan makin kohesif tim itu.

BAB VI
Konflik
1. Pengertian Konflik
Dalam Umam (2010: 323) Konflik berasal dari bahasa latin “confligo” yang
terdiri atas dua kata, yaitu „con’, yang berarti bersama-sama dan „fligo’, yang
berarti pemogokan, penghancuran, atau peremukan. Menurut Frost dan Wilmot
(1978: 9), dalam Pace dan Faules (2010: 369) Konflik didefenisikan sebagai suatu
“perjuangan yang diekspresikan antara sekurang-kurangnya dua pihak yang saling
bergantung, yang mempersepsi tujuan-tujuan yang tidak sepadan, imbalan yang
langka, dan gangguan dari pihak lain dalam mencapai tujuan mereka. Dalam
pandangan ini “perjuangan” tersebut menggambarkan perbedaan diantara
pihakpihak tersebut yang dinyatakan, dikenali, dan dialami. Konflik mungkin
dinyatakan dengan cara-cara berbeda, dari gerakan nonverbal yang halus hingga
pertengkaran habis-habisan, dari sarkasme yang halus hingga kecaman verbal
yang terbuka. Tandatanda awal konflik mungkin terlihat dalam peningkatan
intensitas ketidaksepakatan diantara anggota-anggota kelompok. Dalam Umam
(2012: 261) Banyak defenisi tentang konflik yang diberikan oleh para ahli
manajemen. Hal ini bergantung pada sudut tinjauan yang digunakan dan persepsi
para ahli tersebut tentang konflik dalam organisasi. Akan tetapi, diantara
maknamakna yang berbeda itu tampak ada suatu kesepakatan, bahwa konflik
dilatar belakangi oleh adanya ketidak cocokan atau perbedaan dalam hal nilai,
tujuan status, dan budaya. Kita dapat mengambil sikap keras dalam beberapa
persolan dan bersikap lunak dalam persoalan yang lain sehingga memberikan
petunjuk yang jelas mengenai hasil yang menjadi prioritas. Dari pengertian diatas
konflik adalah ketidaksamaan pendapat dari individu atau kelompok dan terjadi
jika masing-masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan
sendiri-sendiri dan tidak bekerjasama antara satu dengan yang lain
2. Perkembangan Pemikiran tentang konflik
Sangat beralasan untuk mengatakan bahwa telah terjadi konflik, mengenai peran
konflik dalam kelompok dan organisasi. Salah satu aliran pemikiran bependapat
bahwa konflik harus dihindari, konflik menunjukan adanya sesuatu yang tidak
berfungsi dalam kelompok. Kami menyebut pemikiran ini merupakan pandangan
tradisional. Aliran pemikiran lainnya, yaitu pandangan hubungan manusia,
berpendapat bahwa konflik adalah akibat alamiah dan tak terhindar dalam
kelompok manapun dan bahwa konflik tidak mesti atau tidak selalu jahat, tetapi
justru memedam potensi untuk menjadi daya positif dalam mendorong kinerja
kelompok. Prespektif ketiga, dan terbaru, tidak hanya menyatakan bahwa konflik
dapat menjadi daya positif dalam sebuah kelompok tetapi juga secara eksplisit
berpendapat bahwa beberapa konflik mutlak diperlukan oleh sebuah kelompok
untuk dapat berkinerja secara efektif.
3. Proses Konflik
Dalam Robbins (2008: 176) Proses konflik (conflict process) dapat dipahami
sebagai sebuah proses yang terdiri atas lima tahapan: potensi pertentangan atau
ketidak selarasan, kognisi dan personalisasi, maksud, perilaku, dan akibat.
4. Pandangan Tentang Konflik
Dalam Sopiah (2008: 58) Ada tiga pandangan tentang konflik, yaitu:
a). Pandangan tradisional, menyatakan bahwa konflik harus dihindari karena akan
menimbulkan kerugian. Pandangan ini konsisten dengan sikap-sikap yang
dominan mengenai perilaku kelompok dalam dasawarsa 1930-an dan 1940-an.
Aliran ini juga memandang konflik sebagai sesuatu yang buruk, tidak
menguntungkan dan selalu merugikan organisasi.
b). Pandangan hubungan kemanusiaan, menyatakan bahwa konflik merupakan
sesuatu yang wajar, alamiah dan tidak terelakkan dalam setiap kelompok manusia.
Konflik tidak selalu buruk karena memiliki potensi kekuatan yang positif didalam
menentukan kinerja kelompok. Oleh karena itu dalam Umam (2012: 264) konflik
harus diterima dan dirasionalisasikan sedemikian rupa sehingga bermanfaat bagi
peningkatan kinerja organisasi. Pandangan ini mendominasi teori konflik dari
akhir dasawarsa 1940-an sampai pertengahan 1970-an.
c). Pandangan interaksionis, menyatakan bahwa konflik bukan sekedar sesuatu
kekuatan positif dalam suatu kelompok, melainkan juga mutlak perlu untuk suatu
kelompok agar dapat berkinerja positif sehingga kelompok dapat tetap
bersemangat (viable) kritis-diri (self-critical), dan kreatif.
5. Jenis-Jenis Konflik
Dalam Tjiharjadi (2012: 243), terdapat jenis-jenis konflik, yaitu:
a). Konflik Substantif (mendasar), konflik terjadi disebabkan tidak adanya
kesepakatan yang mendasar atas tujuan yang ingin dicapai.
b). Konflik Emosi (hubungan personal), Konflik terjadi karena anggota
mengalami masalah hubungan antar pribadi.
6. Tipe konflik
Robbins dan judge (2011: 489) membedakan tipe konflik menjadi:
a. task conflict, merupakan konflik atas konten dan tujuan pekerjaan,
b. relationship conflict, merupakan konflik didasarkan pada hubungan
interpersonal,
c. process conflict, mereupakan konflik terhadap bagaimana pekerjaan dilakukan.
Tipe konflik menurut Kreitner dan kinicki (2010: 377) ada tiga macam yaitu:
personality conflict, intergroub conflict, dan crosscultural conflict.
a. Personality conflict, merupakan perlawanan antar personal berdasar pada
perasaan tidak suka, ketidak sepakatan personal atau gaya yang berbeda.
b. Intergroub conflict, merupakan konflik diantara kelompok kerja, tim, dan
departemen yang merupakan tantangan bersama pada efektivitas organisasi.
c. Cross-cultural conflict, merupakan konflik yang terjadi karena melakukan
bisnis dengan orang yang berasal dari budaya berbeda. Sering terjadi karena dapat
perbedaan assumsi tentang bagaimana berpikir dan bertindak dalam melakukan
merger, joint venture, dan aliansi lintas batas negara.
7. Klasifikasi konflik
Konflik dapat juga diklasifikasikan menurut perbedaan status atau peran
seseorang atau kelompok yang berkonflik.
a. Konflik vertikal yaitu konflik yang terjadi anatara hierarki dalam organisasi,
misalnya konflik antara atasan dan bawahan mengenai berbagai hal seperti
pembagian tugas, penilaian prestasi kerja, dan penentuan sasaran.
b). Konflik horizontal yaitu konflik yang terjadi antara satu orang atau kelompok
dengan orang lain atau kelompok lain yang dapat terjadi akibat adanya sumber
daya yang langka yang diperebutkan atau faktor-faktor emosional lain.
c). Konflik peran yaitu konflik yang terjadi akibat peran yang diharapkan dari
seseorang oleh organisasi tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh pemegang
jabatan.
Semua konflik diatas dapat bersifat instrumental, sosialemosional, atau
kepentingan, meskipun terdapat kecendrungan sumber konflik tertentu lebih
dominan terjadi pada sutau jenis konflik. Contoh intrakonflik yang dialami
seseorang dapat terjadi akibat instrumental misalnya ketidak sesuaian antara apa
yang didapat (reward) dengan tanggung jawabnya, peran-peran yang tidak jelas,
dan ketidaksesuaian antara wewenang dan tanggungjawab dan konflik
kepentingan, misalnya seseorang menginginkan satu jabatan tetapi tidak
mendapatkan jabatan tersebut.
8. Sumber Konflik
Mc.Shane dan Glinow (2010: 333) menyebutkan adanya beberapa sumber konflik
adalah incompatible goals, differentiation, interdependence, scare resources,
ambiguous rules, dan communication problems.
a. Incompatible goals, ketidak sesuain tujuan. Menunjukan bahwa konflik dapat
terjadi karena tujuan satu orang atau departemen yang kelihatan tidak sesuai
mencampuri tujuan orang atau departemen lain.
b. Differentiation, perbedaan terjadi diantara orang, departemen, dan entitas lain
menurut pelatihan, nilai-nilai, keyakinan, dan pengalaman mereka. Differentiation
dapat dibedakan dari goal incompatibility karena 2 orang atau departemen
mungkin sepakat dengan tujuan bersama, tetapi mempunyai perbedaan sangat
besar dalam bagaimana mencapai tujuan tersebut.
c. Interdependence, konflik cenderung meningkat dengan tingkat saling
ketergantungan. Saling ketergantungan terjadi ketika anggota tim harus berbagi
masukan bersama pada tugas individu, kebutuhan berinteraksi dalam proses
melakukan pekerjaan mereka, atau menerima hasil seperti reward yang untuk
sebagian ditentukan berdasarkan kineja orang lain. Semakin tinggi saling
ketergantungan akan meningkatkan risiko konflik karena terdapat kesempatan
lebih besar bahwa masing-masing pihak akan mengganggu atau mencampuri
tujuan pihak lain.
d. Scare resources, langkanya sumberdaya membangkitkan konflik karena
masing-masing orang atau unit memerlukan sumber daya yang perlu untuk
mengalahkan pihak lain yang juga perlu sumber daya tersebut untuk memenuhi
tujuannya. Konflik dapat terjadi karena kekurangan financial, human capital, dan
sumber daya lain bagi setiap orang untuk menyelesaikan tujuan, sehingga pekerja
perlu memberikan alasan mengapa mereka harus menerima sumber daya tersebut.
e. Ambiguous rules, aturan yang ambigu terjadi karena ketidak pastian
meningkatkan risiko bahwa satu pihak bermaksud mencampuri tujuan pihak lain.
Ambiguitas juga mendorong taktik politis, dan dalam banyak kasus pekerja
memasuki pertempuran bebas untuk memenangkan keputusan untuk kesenangan
mereka. Ini menjelaskan mengapa konflik bisa terjadi selama merger dan akuisisi.
f. Communication problems, masalah komunikasi, konflik sering terjadikarena
kurangnya peluang, kemampuan, atau motivasi untuk melakukan komunikasi
dengan efektif. Hal ini terjadi karena:
(a) kedua pihak kekurangan peluang untuk berkomunikasi, masing-masing
cenderung lebih mengandalkan pada stereotype untuk memahami pihak lain
dalam konflik,
(b) sebagian orang kekurangan keterampilan yang diperlukan untuk melakukan
komunikasi dengan cara diplomatis dan tidak konfrontatif, dan
(c) persepsi tentang konflik menurunkan motivasi untuk berkomunikasi.
Relationship conflict tidak nyaman, sehingga orang menghindari berinteraksi
dengan orang lain dalam hubungan yang menimbulkan konflik (Wibowo, 2014:
225).
Menurut Robbins dalam Umam (2010: 329), konflik muncul karena ada kondisi
yang meletarbelakanginya (antecedent conditions). Kondisi tersebut yang disebut
juga sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri atas tiga kategori, yaitu
komunikasi, struktur dan variable pribadi.
a. Komunikasi. Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang
menimbulkan kesalahpahaman antara pihak-pihak yang terlibat, dapat menjadi
sumber konflik.
b. Struktur. Istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam arti mencakup
ukuran (kelompok), derajat speialisasi yang diberikan kepada anggota kelompok,
kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota dengan
tujuan kelompok, gaya kepemimpinan, system imbalan, dan derajat
kebergantungan antara kelompok.
c. Variable pribadi. Sumber konflik lainnya yang potensial adalah factor pribadi,
yang meliputi system nilai yang dimiliki tiaptiap individu, karakteristik
keprinadian yang menyebabkan individu memilki keunikann (idiosyncrasis) dan
berbeda dengan individu yang lain. Kenyataan menunjukkan bahwa tipe
kepribadian tertentu, misalnya: individu yang sangat otoriter, dogmatic, dan
menganggap rendah orang lain, merupakan sumber konflik yang potensial.
Dalam Hasibuan (2011: 199-200) Konflik adalah persaingan yang kurang sehat
berdasarkan ambisi dan sikap aemosional dalam memperoleh kemenangan.
Konflik akan menimbulkan ketegangan, konfrontasi, perkelahian, dan frustasi jika
tidak dapat diselesaikan. Apakah penyebab terjadinya timbulnya konflik? Hal-hal
yang menyebabkan konflik antara lain adanya tujuan yang ingin dicapai, ego
manusia, kebutuhan, perbedaan pendapat, salah paham, perasaan dirugikan, dan
perasaan sensitif.
a. Tujuan
Tujuan sama yang ingin dicapai akan merangsang timbulnya persaingan dan
konflik diantara individu atau kelompok karyawan. Setiap karyawan atau
kelompok selalu berjuang untuk mencapai pengakuan yang lebih baik dari orang
lain. Hal ini memotivasi timbulnya persaingan atau konflik dalam memperoleh
prestasi yang baik.
b. Ego
manusia Ego manusia yang selalu menginginkan lebih berhasil dari manusia
lainnya akan menimbulkan persaingan atau konflik.
c. Kebutuhan
Kebutuhan material dan nonmaterial yang terbatas akan menyebabkan timbulnya
persaingan atau konflik. Pada dasarnya setiap orang menginginkan pemenuhan
kebutuhan material dan nonmaterial yang lebih baik dari orang lain sehingga
timbullah persaingan atau konflik.
d. Perbedaan
pendapat Perbedaan pendapat akan menimbulkan persaingan atau konflik. Karena
setiap orang atau kelompok terlalu mempertahankan bahwa pendapatnya itulah
yang paling tepat. Jika perbedaan pendapat tidak terselesaikan, akan timbul
persaingan atau konflik yang kadang-kadang menyebabkan perpecahan.
e. Salah paham
Salah paham sering terjadi diantara orang-orang yang bekerjasama. Karena salah
paham (salah persepsi) ini timbullah persaingan atau konflik diantara individu
atau kelompok.
f. Perasaan dirugikan
Perasaan dirugikan karena perbuatan orang lain akan menimbulkan persaingan
atau konflik. Setiap orang tidak dapat menerima kerugian dari perbuatan orang
lain. Oleh karena itu, perbuatan yang merugikan orang lain hendaknya dicegah
supaya tidak timbul konflik diantara sesamanya. Jika terjadi konflik pasti akan
merugikan kedua belah pihak, bahkan akan merusak kerjasama.
g. Perasaan sensitif
Perasaan sensitif atau mudah tersinggung akan menimbulkan konflik. Perilaku
atau sikap seseorang dapat menyinggung perasaan orang lain yang dapat
mienimbulkan konflik atau perselisihan, bahkan dapat menimbulkan perkelahian
diantara kelompok. Konflik terjadi karena harga dirinya tersinggung walaupun
menurut orang lain tidak ada maksud jelek. Akan teteapi karena perasaan sensitif
seseorang hal itu dianngap menghina. Jadi, persaingan dan konflik dapat
dirangsang oleh internal dan eksternal organisasi atau kelompok.
9. Kebaikan Konflik:
1) Evaluasi diri/intropeksi diri demi kemajuan
2) Moral kerja atau prestasi kerja akan meningkat
3) Mengembangkan diri demi kemajuan karena dorongan persaingan
4) Memotivasi dinamika organisasi dan kareativitas kelompok.
10. Keburukan konflik:
1) Kerjasama kurang serasi dan harmonis diantara karyawan
2) Memotivasi sikap-sikap emosional karyawan
3) Menimbulkan sikap apriori karyawan
4) Meningkatkan absen dan turnover karyawan
5) Kerusakan produksi dan kecelakaan semangkin meningkat. Dalam Malayu
(2011: 200).
11. Metode-metode Untuk Mengurangi Konflik
Dalam Winardi (2009: 262) mengemukakan metode-metode berikut untuk
mengurangi konflik:
1) Masing-masing kelompok yang berkonflik diberi informasi yang
menguntungkan tentang kelompok yang berhadapan dengan mereka.
2) Kontak social yang menyenangkan antara kelompokkelompok
diintensifkandengan jalan makan bersama atau nonton bersama.
3) Pemimpin-pemimpin kelompok diminta untuk bernegosiasi dan memberikan
informasi positif tentang kelompok yang berhadapan dengan kelompok mereka.
12. Metode-metode Penyelesaian Konflik
Dalam Handoko (2003: 351-353) Metode penyelesaian konflik yang akan dibahas
berikut berkenaan dengan kegiatan-kegiatan para manajer yang dapat secara
langsung mempengaruhi pihakpihak yang bertentangan. Metode-metode
penyelesaian konflik lainnya yang dapat digunakan, mencakup perubahan dalam
struktur organisasi, mekanisme koordinasi, dan sebagainya. Ada tiga metode
penyelesaian konflik yang sering digunakan, yaitu:
1) Dominasi atau penekanan. Dominasi atau penekanan dapat dilkukan dengan
cara: Kekerasan (forcing), yang bersifat penekanan otokratis. Penenangan
(smoothing), merupakan cara yang lebih diplomatis. Penghindaran (avoidance),
dimana manajer menghindar untuk mengambil posisi yang tegas. Aturan
mayoritas (majority rule), mencoba untuk menyelesaikan konflik antar kelompok
dengan melakukan pemungutan suara (voting) melalui prosedur yang adil.
2) Kompromi. Melalui kompromi, manajer mencoba menyelesaikan konflik
melalui pencarian jalan tengah yang dapat diterima oleh pihak-pihak yang
bersangkutan. Bentuk-bentuk kompromi meliputi: Pemisahan (sparation), dimana
pihak-pihak yang sedang bertentangan dipisahkan sampai mereka mencapai
persetujuan. Arbitrasi (perwasitan), dimana pihak ketiga atau manajer diminta
memberikan pendapat.Penyuapan (bribing), dimana salah satu pihak menerima
kompensasi dalam pertukaran untuk tercapainya penyelesaian konflik.
3) Pemecahan masalah integratif.
Dengan metode ini, konflik antar kelompok diubah menjadi situasi pemecahan
masalah. Secara besama, pihak-pihak yang bertentangan mencoba untuk
memecahkan yang timbul diantara mereka. Disamping penekanan konflik atau
pencarian kompromi, pihak-pihak secara terbuka mencoba menemukan
penyelesaian yang dapat diterima semua pihak. Dalam hal ini, manajer perlu
mendorong bawahannya bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama, melakukan
pertukaran gagasan secara bebas, dan menekankan usaha-usaha pencarian
penyelesaian yang optimum, agar tercapai penyelesaian integratif.
13. Strategi konflik
Dalam Wirawan (2009: 146) strategi konflik adalah proses yang menentukan
tujuan seseorang terlibat suatu konflik dan pola interaksi konflik digunakan untuk
mencapai keluaran konflik yang diharapkan. Langkah-langkah penyusunan
strategi konflik:
1) Analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, dan Threat) mengenai diri
sendiri dan lawan konflik.
Analisis SWOT mengenai diri sendiri akan mencerminkan kekuatan (Strength)
dan kelemahan (Weakness) diri sendiri menghadapi lawan konflik. Analisis
SWOT mengenai lawan konflik akan mencerminkan peluang (Opportunity) dan
ancaman (Threat) dari lawan konflik.
2) Menetukan tujuan konflik
Tujuan konflik adalah sesuatun yang ingin dicapai saat menghadapi dan
menyelesaikan konflik.Lebih spesipik, tujuan konflik adalah target keluaran
konflik yang diharapkan sebagai contoh, dari hasil analisis SWOT tersebut,
serikat pekerja telah menentukan tujuan atau sasaran konfliknya dengan
manajemen perusahaan. Tujuan tersebut antara lain:
(1) mencapai kenaikan upah 15% .kenaikan ini merupakan penyesuaian terhadap
inflasi yang mencapai 12%,
(2) menciptakan hubungan baik dengan manajemen setelah tujuan tercapai,
(3) bekerja lebih keras dan lebih disiplin,
(4) mendorong buruh untuk meningkat produktivitasnya
3) Pola interaksi konflik Pola interaksi konflik merupakan bentuk interaksi dengan
pihak lawan konflik dalam upaya mencapai keluaran konflik yang
diharapkan.Berikut adalah factor-faktor yang memengaruhi pola interaksi konflik.
(1) metode resolusi konflik yang digunakan dalm interaksi konflik,
(2) gaya manajemen konflik yang digunakan oleh pihak-pihak yang terlibat
konflik,
(3) perkembangan situasi konflik. Konflik bisa berkembang dari konflik
konstruktif menjadi konflik destruktif, atau sebaliknya.Situasi konflik tersebut
sangat memengaruhi pola interaksi konflik.

BAB VII
Negoisasi
1. Pengertian Negosiasi
Negosiasi merupakan sebuah metode yang digunakan untuk menyelesaikan
sebuah konflik dalam organisasi. Sedangkan menurut menurut Ivancevich (2009)
negosiasi adalah sebuah proses di mana dua pihak atau lebih yang berbeda
pendapat berusaha mencapai kesepakatan. Selain Ivancevich, Robbins ( 2007)
menyatakan bahwa negosiasi adalah sebuah proses di mana dua pihak atau lebih
melakukan pertukaran barang atau jasa dan berupaya untuk menyepakati nilai
tukarnya. Maka, dapat disimpulkan bahwa negosiasi merupakan sebuah proses
dimana ada dua pihak atau lebih mencari kesepakatan yang terjadi karena adanya
perbedaan pendapat oleh keduanya. Oleh sebab itu, pendapat yang berbeda-beda
dapat menimbulkan sebuah konflik yang dapat diredam dengan menggunakan
metode negosiasi.Negosiasi dilakukan atas dasar proses tawar-menawar. Proses
tawar-menawar itu memiliki dua jenis, yaitu tawar-menawar distributif dan tawar-
menawar integratif.Dalam Sopiah (2008: 64) Negosiasi atau Perundingan
merupakan suatu proses tawar menawar antara pihak-pihak yang terlibat dalam
konflik. Dalam perundingan ini diharapkan ada kesepakatan nilai antara dua
kelompok. Maksudnya adalah negosiasi merupakan suatu cara bagi dua atau lebih
pihak yang berbeda kepentingan, baik berupa pendapat, pendirian, maksud, atau
tujuan dalam mencari kesepahaman dengan cara mempertemukan penawaran dan
permintaan dari masing-masing pihak sehingga tercapai suatu kesepakatan atau
kesepahaman tersebut.
2. Mengapa Perlu Negosiasi
Dalam Umam (2010: 343) negosiasi diperlukan dalam kehidupan manusia karena
sifatnya yang begitu erat dengan filosofi kehidupan manusia bahwa setiap
manusia memiliki sifat dasar untuk mempertahankan kepentingannya, dan
manusia juga memiliki kepentingan yang akan tetap dipertahankan sehingga
terjadilah benturan kepentingan. Secara umum, tujuan dilakukan negosiasi adalah
untuk mendapatkan atau memenuhi kepentingan kita yang telah direncanakan
sebelumnya dan hal yang diinginkan tersebut disediakan atau dimiliki oleh orang
lan sehingga kita memerlukan negosiasi untuk mendapatkan yang dinginkan.
3. Gaya-gaya Negosiasi
Dalam Umam (2012: 287-288), Gaya negosiasi dapat dijelaskan dalam dua
dimensi, yaitu arah dan kekuatan.
1) Arah berbicara tentang cara kita menangani informasi.
a) Mendorong (push): memberi informasi, mengajukan usul, melalaikan
kontribusi orang lain, mengkritik, bertindak sebagai pengnganggu, dan semua
taktik yang berlaku tergantung pada sifat dan konteks negosiasi.
b) Menarik (pull): mengajukan pertanyaan untuk mendapatkan informasi,
meminta saran, memastikan pemahaman, meminta kejelasan, dan menyatakan
perasaan kita.
2) Kekuatan berbicara tentang keluwesan untuk beranjak dari kedudukan kita
yang semula.
a) Bersikap keras: kita ingin menang. Berapa pun harganya, tidak akan mengalah
atau mundur, tidak akan menerima tawaran apapunkarena mengejar sasaran yang
tinggi.
b) Bersikap lunak: kita mengalah, ragu-ragu, sulit untuk berkata tidak, sulit
menyesuaikan diri karena sasaran yang kita kejar rendah.
4. Strategi dan taktik negosiasi
Dalam buku Wibowo (2014: 235-236) Taktik negosiasi yang dianjurkan untuk
dapat dipergunakan, antara lain dikemukakan adalah sebagai berikut (Gibson,
Ivan cevich, Donnelly, dan konopaske, 2012: 278):
1) Good-guy/ bad-guy team. Anggota kelompok negosiasi Badguy mengadvokasi
posisi terlalu banyak diluar garis sehingga apapun yang dikatakan good-guy
kelihatan masuk akal.
2) The Nibble. Taktik ini menyangkut mendapatkan konsesiindividual setelah
kesepakatan telah dicapai. Misalnya permintaan untuk menjadi posisi staf oleh
manajer pemasaran setelah kesepakatan tercapai antara kelompoknya dan
kelompok pemasaran lain tentang pembagian tugas riset pemasaran.
3) Joint problem solving. Manajer seharusnya tidak pernah berasumsi bahwa
semangkin menang satu pihak, semangkin banyak pihak lain kalah. Alternative
yang layak belum dipertimbangkan mungkin muncul.
4) Power of competition. Negosiator yang ketat mengunakan kompetisi untuk
membuat lawan berpikir bahwa kita tidak perlu mereka.
5) Splitting the difference. Ini dapat menjadi teknik berguna ketika kedua
kelompok sampai pada titik impas. Tetapi manajer harus berhati-hati ketika
kelompok lain menawarkan memisahkan perbedaan terlalu awal. Mungkin bearti
kelompok lain telah mendapatkan lebih dari pada yang pantas dia pikirkan.
6) Low-balling. Tawaran rendah yang mentertawakan dan/ atau konsesi sering
dipergunakan untuk menurunkan harapan kelompok lain. Manajer tidak
seharusnya membiarkan tipe tawaran ini menurunkan harapan atau tujuannya,
maupun manajer berhenti mengasumsi posisi kelompok lain adalah tidak
fleksibel. Proses komunikasi harus berlanjut.
5. Kemampuan Bernegosiasi
Dalam Umam (2010: 344) Beberapa kemampuan dasar untuk bernegosiasi yang
baik adalah sebagai berikut:
1) Kemampuan menentukan serangkaian tujuan, namun tetap fleksibel dengan
sebagian diantaranya. Selain harus mampu mempertahankan serangkaian tujuan
dalam negosiasi, seorang negosiator harus mampu bersikap fleksibel dalam
membaca keseimbangan atau perubahan posisi tawar yang terjadi selama
negosiasi.
2) Kemampuan untuk mencari kemungkinan-kemungkinan dari pilihan yang
banyak. Dalam hal ini, seorang negosiator harus jeli membaca kemungkinan dan
memprediksi konsekuensi yang mungkin timbul dari tiap-tiap pilihan. Sebaiknya,
seorang negosiator sudah harus mampu memprediksi kemungkinan yang terbak
dan kemungkinan terburuk yang mungkin timbul.
3) Kemampuan untuk mempersiapkan dengan baik. Tidak ada negosiasi yang baik
tanpa adanya persiapan yang baik. Negosiator selalu mempersiapkan segala
sesuatu, mulai dari hal besar hingga hal kecil, jauh sebelum pelaksanaan
negosiasi. Namun, tak jarang seorang negosiator harus mampu melakukan
negosiasi pada saat yang tidak terduga.
4) Kemampuan interaktif, yaitu mampu mendengarkan dan menanyakan pihak-
pihak lain. Menjawab lebih muda dari memberikan pertanyaan yang baik karena
setiap jawaban lahir karena ada pertanyaan yang baik, jawaban yang baik tidak
bisa diharapkan.
5) Kemampuan menentukan prioritas. Dalam negosiasi, segala yang
dinegosiasikan adalah enting. Hanya saja, seorang negosiator harus mampu
memberikan prioritas pada permasalahan yang ada, hingga tersusun dalam
tingkatan prioritas.
Dengan memiliki kemampuan dasar tersebut, negosiaotor memiliki dasar
pemikiran dan kemampuan untuk bernegosiasi. Selain itu, kemampuan dasar
tersebut, seorang negosiator harus memiliki kemampuan berbicara (retorika) dan
kemampuan memimpin (leadership) serta manajemen yang baik agar mampu
menentukan alur negosiasi dan melangsungkan negosiasi hingga tujuan tercapai.
6. Proses negosiasi
merupakan suatu hal yang penting agar negosiasi mencapai tujuan dan memenuhi
kepentingan ke dua belah pihak atau lebih. Dalam proses negosiasi ada beberapa
tahap yang perlu diperhatikan menurut Robbins (2007), yaitu:
a. Persiapan dan perencanaan: Tahap awal sebelum melakukan negosiasi ke dua
belah pihak atau lebih perlu mengetahui apa tujuan dari mereka melakukan
negosiasi dan memprediksi apakah hasil yang mungkin diperoleh dari yang
terbaik hingga yang terburuk.
b. Definisi aturan-aturan dasar: Seteleh melakukan tahap persiapan dan
perencanaan, selanjutnya kedua belah pihak atau lebih menentukan aturan-aturan
dan prosedur dasar untuk ngosiasi. Seperti siapa yang melakukan perundingan? Di
mana perundingan akan dilangsungkan? Kendala waktu apa, jika ada, yang
mungkin akan muncul? Pada persoalan-persoalan apa saja negosiasi dibatasi?
Adakah prosedur khusus yang harus diikuti jika menemui jalan buntu? Dalam fase
ini, para pihak juga akan bertukar proposal atau tuntutan awal mereka.
c. Klarifikasi dan justifikasi: Setelah mengetahui dan menentukan aturan-aturan
dasar, baik pihak pertama maupun kedua harus dapat memberikan pemaparan,
menguatkan, mengklarifikasi, mempertahankan, dan menjustifikasi tuntutan awal.
d. Tawar menawar dan pemecahan masalah: Dalam tahap ini terjadi proses tawar-
menawar dan mencari solusi yang didapatkan dari hasil negosiasi yang dilakukan
oleh kedua belah pihak atau lebih.
e. Penutupan dan implementasi: Fomalisasi kesepakatan yang dibuat berdasarkan
hasl negosiasi setelah itu menyusun prosedur untuk melaksanakan hasil dari
negosiasi tersebut, melakukan implementasi dari hasil negosiasi tersebut, dan
melakukan pengawasan pelaksanaan.
7. Faktor yang Mempengaruhi Negosiasi
Hal yang paling mempengaruhi seseorang untuk menjadi negosiator yang baik
adalah usahanya sendiri untuk menjadi negosiator, seperti terus belajar dan
mempersiapkan hal-hal yang diperlukan dengan baik. Namun, negosiasi yang
dilakukan oleh dua pihak atau lebih seringkali dipengaruhi oleh internal dan
eksternal. Hal ini disebabkan karena setiap orang memiliki kemampuan yang
berbeda-beda dalam bernegosiasi. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
negosiasi, yaitu
a. Kepribadian (personality)
Kepribadian cukup mampu mempengaruhi seseorang dalam bernegosiasi, contoh
seseorang yang memiliki kepribadian extrovert biasanya tidak terlalu baik dalam
bernegosiasi. Ia cenderung akan memberikan informasi yang lebih banyak
daripada yang seharusnya. Hal ini disebabkan seorang ekstrovert memiliki sifat
ramah dan ingin membina hubungan yang baik dengan orang-orang disekitarnya.
Biasanya, orang dengan kepribadian ekstrovert akan gelisah ketika terjadi suatu
konflik dan menghindarinya, bahkan sebelum terjadi negosiasi.
Kepribadian yang dianggap baik dalam bernegosiasi adalah introvert. Kebalikan
dari ekstrovert, seorang dengan sifat introvert lebih mementingkan dirinya sendiri,
sehingga ia tak peduli dengan kepentingan orang lain. Ia takkan memberikan
informasi yang lebih banyak sehingga ia bisa mendapatkan hasil negosiasi yang
lebih baik dari lawannya.
b. Suasana hati atau emosi (mood/emotion)
Faktor ini memiliki hasil yang berbeda sesuai dengan jenis negosiasinya. Pada
distributive negotiations, jika kedua belah pihak yang bernegosiasi sejajar atau
sama tingkatannya maka menunjukkan emosi marah akan lebih baik. Pihak yang
menunjukkan emosi marah, akan lebih fokus dan tegas, sehingga akan
mendapatkan hasil yang lebih baik. Namun, ketika bernegosiasi dengan pihak
yang lebih tinggi seperti atasan atau seseorang yang memiliki kekuasaan yang
lebih besar, lebih baik tidak mengeluarkan emosi marah. Hal itu justru akan
menghasilkan kebalikannya. Selain itu, kegelisahan juga mengarah kepada
keputusan yang kurang baik, karena seseorang yang gelisah biasanya lebih cepat
menyerah.
Sedangkan pada integrative negotiations, suasana hati dan emosi yang positif akan
menghasilkan keputusan yang lebih baik karena suasana hati yang positif akan
mengarah ke kreatifitas.
c. Kebudayaan (culture)
Perbedaan kultur juga mempengaruhi seseorang dalam bernegosiasi. Hal ini
disebabkan nilai dan kebiasaan yang berbeda antar kebudayaan. Misalnya,
seorang manajer di Hong Kong lebih kooperatif dalam negosiasi daripada
manager dari Jerman.
d. Gender
Terdapat stereotype dimana wanita lebih kooperatif dalam bernegosiasi daripada
laki-laki. Walaupun sebenarnya ketika dibandingkan, baik wanita ataupun laki-
laki sama baiknya dalam bernegosiasi. Namun, stereotype ini menjadi kenyataan
karena wanita menganggap sebagai wanita ia harus ‘baik’ dan laki-laki
menganggap bahwa seorang laki-laki harus ‘tegas’.
Pada dasarnya yang membedakan kedua gender ini adalah perbedaan nilai atau
hasil yang mereka harapkan. Misalnya, seorang wanita menganggap hubungan
baik dengan orang-orang sekitarnya atau atasanya lebih penting daripada kenaikan
gaji

BAB VIII
Kekuasaan Politik dan Pemberdayaan
1. Kekuasaan
Menurut Robbins dan Judge dalam Wibowo (2014: 202) memberikan pengertian
bahwa kekuasaan menunjukkan pada kapasitas bahwa A harus memengaruhi
perilaku B, sehingga B bertindak menurut harapan A. Seseorang dapat
mempunyai kekuasaan, tetapi apabila tidak menggunakannya, maka menjadi
kapasitas atau potensi. Aspek paling penting dari kekuasaan adalah fungsi
dependency, ketergantungan. Semakin besar B tergantung pada A, maka semakin
besar kekuasaan A dalam hubungan tertentu.
Menurut Yuki dalam Umam (2012: 307), kekuasaan adalah potensi agen untuk
memengaruhi sikap dan perilaku orang lain (target person). Menurut Weber dalam
Umam (2012: 308), “mengatakan kekuasaan adalah kesempatan seorang atau
sekelompok orang untuk menyadarkan masyarakat atau kemauan-kemauan
sendiri, sekaligus menerapkannya terhadap tindakan-tindakan perlawanan dari
orang-orang atau golongangolongan tertentu.” (Gibson, Ivancevich, Donnelly,
2012: 291) Kekuasaan atau power adalah kemampuan membuat orang lain
melakukan apa yang diinginkan seseorang untuk mereka lakukan. Apabila
dipergunakan untuk kebaikan organisasi, kekuasaan merupakan kekuatan positif
untuk mencapai efektivitas organisasi tingkat tinggi.
Pengertian yang senada dikemukakan oleh Mcshance dan Von Glinow (2010:
300) yang menyatakan bahwa kekuasaan sebagai kapasitas seseorang, tim, atau
organisasi untuk memengaruhi orang lain. Kekuasaan juga diberi pengertian
sebagai kemampuan membujuk seseorang lain untuk melakukan sesuatu yang
ingin kita lakukan atau kemampuan membuat segala sesuatu terjadi atau membuat
segala sesuatu dilakukan dengan cara yang kita inginkan (Schermerhorn, Hunt,
Osborn, dan Uhl-Bien, 2011: 278). Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan
bahwa kekuasaan adalah suatu kapasitas dan kemampuan untuk menghasilkan
dampak dan akibat pada orang lain. Kekuasaan mengandung suatu kompetensi
atau kemampuan yang belum tentu efektif dilakukan. Bisa saja seseorang
memiliki kekuasaan namun tidak digunakan olehnya. Jadi, dia tidak akan terjadi
jika tidak digunakan pemiliknya.
Miriam Budiardjo (2002) berpendapat “kekuasaan adalah kewenangan yang
didapatkan oleh seseorang atau kelompok guna menjalankan kewenangan tersebut
sesuai dengan kewenangan yang diberikan, kewenangan tidak boleh dijalankan
melebihi kewenangan yang diperoleh atau kemampuan seseorang atau kelompok
untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan
keinginan dari pelaku”. Ramlan Surbakti (1992) juga menyebutkan bahwa
“kekuasaan merupakan kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk berpikir dan
berperilaku sesuai dengan kehendak yang mempengaruhi”. Lebih lanjut, Robbins
dan Judge (2007) mengungkapkan “kekuasaan adalah kemampuan seseorang
untuk mempengaruhi perilaku orang lain, sehingga orang lain tersebut akan
berperilaku sesuai dengan yang diharapkan oleh orang yang memiliki kekuasaan”.
Pengertian kekuasaan secara umum adalah “kemampuan pelaku untuk
mempengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa, sehingga tingkah laku
pelaku terakhir menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai
kekuasaan” (Harold D. Laswell, 1984:9). Sejalan dengan itu, dinyatakan Robert
A. Dahl (1978:29) bahwa “kekuasaan merujuk pada adanya kemampuan untuk
mempengaruhi dari seseorang kepada orang lain, atau dari satu pihak kepada
pihak lain”. Sebagai contoh, Presiden memformulasikan UU (subyek kekuasaan)
namun juga harus patuh pada UU (objek kekuasaan). Sumber kekuasaan yang
secara luas sudah diterima yakni dualitas antara position power (kekuasaan
berbasis kedudukan) dan personal power (kekuasaan pribadi). Berdasarkan hal ini,
sebagian kekuasaan berasal dari kesempatan-kesempatan yang ada pada
kedudukan seseorang dalam organisasi dan sebagian lain diperoleh dari atribut-
atribut atasan tersebut serta interaksi pemimpin-pengikut. Kekuasaan berbasis
kedudukan terdiri atas wewenang formal, peninjauan terhadap sumber daya dan
kompensasi, peninjauan terhadap sanksi, informasi dan peninjauan ekologis. Di
sisi lain, kekuasaan pribadi diperoleh dari keahlian dalam pekerjaan, pertemanan,
kesetiaan, kemampuan persuasif dan karismatik dari pimpinan (Gary
Yukl,1996:167- 175). Dengan bahasa yang sedikit berbeda, Kartini Kartono
(1994:140) mengungkapkan “sumber kekuasaan seorang pemimpin dapat berasal
dari kemampuannya untuk mempengaruhi orang lain; Sifat dan sikapnya yang
unggul, sehingga mempunyai kewibawaan terhadap pengikutnya;
a) Memiliki informasi, pengetahuan, dan pengalaman yang luas;
b) Memiliki kemahiran human relation yang baik, kepandaian bergaul dan
berkomunikasi”.
Kekuasaan adalah keadaan dinamis yang bisa bergantiganti berdasarkan
perbedaan kondisi dan aksi-aksi anggota kelompok. Terdapat dua teori terkait cara
mendapatkan, mempertahankan atau menghilangkan kekuasaan dalam sebiah
organisasi. Teori pertama disebut dengan Social Exchange Theory yang berarti
kekuasaan didapatkan dan kemudian hilang saat proses mempengaruhi yang
timbal balik antara pimpinan dan pengikut terjadi di beberapa waktu. Teori ini
menitikberatkan pada expert power dan wewenang. Teori kedua yaitu Strategic
Contingencies Theory yang mendefinisikan kekuasaan sebuah organisasi
bergantung pada faktor kemahiran dalam menindaki masalah, sentralisasi unit
kerja dalam alur kerja dan tingkat kemahiran dari subunit tersebut. Kipnis dan
Schmidt merupakan peneliti pertama mengkaji strategi-strategi yang sering
diaplikasikan untuk mempengaruhi orang lain. (Kipnis dan Schmidt, 1982).
“Berbagai alat ukur telah dibuat untuk meneliti taktik mempengaruhi, dan salah
satu yang terbaik adalah yang dibuat oleh Yukl dkk, yaitu yang disebut Influence
Behavior Questionnaire” (Yukl, Lepsinger, and Lucia, 1992). Hasil penelitian
Yukl dkk, menunjukkan ada sembilan jenis taktik yang biasa digunakan di dalam
organisasi (Hugheset all, 2009), yaitu:
1) “Persuasi Rasional (Rational Persuasion), terjadi jika seseorang mempengaruhi
orang lain dengan menggunakan alasan yang logis dan bukti-bukti nyata agar
orang lain tertarik.
2) Daya-tarik Inspirasional (Inspirational Appeals), terjadi jika seseorang
mempengaruhi orang lain dengan menggunakan suatu permintaan atau proposal
untuk membangkitkan antusiasme atau gairah pada orang lain. Misalnya dengan
memberikan penjelasan yang menarik tentang nilai-nilai yang diinginkan,
kebutuhan,harapan, dan aspirasinya.
3) Konsultasi (Consultation), terjadi jika seseorang mempengaruhi orang lain
dengan mengajak dan melibatkan orang yang dijadikan target untuk ber-
partisipasi dalam pembuatan suatu rencana atau perubahan yang akan
dilaksanakan.
4) Mengucapkan kata-kata manis (Ingratiation), terjadi jika seseorang
mempengaruhi orang lain dengan menggunakan kata-kata yang membahagiakan,
memberikan pujian, atau sikap bersahabat dalam memohon sesuatu.
5) Daya-tarik Pribadi (Personal Appeals), terjadi jika seseorang mempengaruhi
orang lain atau memintanya untuk melakukan sesuatu karena merupakan teman
atau karena dianggap loyal.
6) Pertukaran (Exchange), terjadi jika seseorang mempengaruhi orang lain dengan
memberikan sesuatu keuntungan tertentu kepada orang yang dijadikan target,
sebagai imbalan atas kemauannya mengikuti suatu permintaan tertentu.
7) Koalisi (Coalitions), terjadi jika seseorang meminta bantuan dan dukungan dari
orang lain untuk membujuk atau sebagai alasan agar orang yang dijadikan target
setuju.
8) Tekanan (Pressure), terjadi jika seseorang mempengaruhi orang lain dengan
menggunakan ancaman, peringatan, atau permintaan yang berulang-ulang dalam
meminta sesuatu.
9) Mengesahkan (Legitimacy), terjadi jika seseorang mempengaruhi orang lain
dengan menggunakan jabatannya, kekuasaannya, atau dengan mengatakan bahwa
suatu permintaan adalah sesuai dengan kebijakan atau aturan organisasi”.
a) Kekuasaan dalam Organisasi
Kekuasaan organisasi menurut Robbins dalam Sagala (2007: 48) adalah suatu
kapasitas yang dimiliki A untuk mempengaruhi perilaku B, sehingga B
melakukan apa yang mau atau tidak mau harus dilakukannya. Power bisa ada
tanpa digunakan, oleh karena itu orang dapat mempunyai power tetapi tidak
memaksakan penggunaannya Harsey dan Blanchard mengutip sejumlah pendapat
para ahli mengenai power, menurut pendapat Russell power adalah sebagai hasil
dari akibat yang diinginkan, menurut Beirstedt mendefinisikan power sebagai
kemampuan menggunakan kekuatan, sedangkan menurut Wrong membatasi arti
kuasa sebagai keberhasilan mengendalikan orang lain. Defenisi tersebut
menyiratkan:
1) Suatu potensial yang tidak perlu diaktualkan menjadi efektif;
2) Suatu hubungan ketergantungan.
Manajer memproleh power dari sisi organisasi dan individual karena posisinya di
organisasi. Konsep kekuasaan sebagai kenyataan dalam organisasi, dengan
kekuasaan peran manajer mengendalikan, evaluasi prestasi, dan promosi diartikan
sebagai pengaruh sumberdaya yang memungkikan menimbulkan kepatuhan
sebagai “potensi mempengaruhi” orang lain. Penggunaan kekuasaan (power)
menghasilkan perubahan probabilitas bahwa seseorang atau sekelompok orang
akan melakukan perubahan sesuai yang diinginkan. Karena itu, kekuasaan
(power) adalah kemampuan menggunakan kekuatan dimana suatu kapasitas yang
dimiliki A untuk mempengaruhi perilaku B, sehingga B melakukan apa yang mau
atau tidak mau harus dilakukannnya dimana kekuatan maksimum yang dapat
dilakukan A terhadap B, dikurangi dengan kekuatan maksimum yang dapat
dimobilisasi B, dengan arah yang berlawanan sebagai akibat yang diingikan tanpa
pada keberhasilan mengendalikan orang lain.
b) Sumber dan Dasar Kekuasaan (Power)
Menurut French dan Raven Robbins dalam Syaiful Sagala (2007: 49) telah
mengidentifikasi bahwa ada liam sumber kekuasaan (power) yaitu :
a. Kuasa Paksaan, yaitu kuasa atau power paksaan adalah power yang didasarkan
atas rassa takut, seseorang bereaksi terhadap power ini karena rasa takut akan
berakibat negatif yang mungkin terjadi jika ia gagal mematuhi. Kekuasaan
(power) itu tertumpu pada penerapan sanksi-sanksi fisik seperti dikembangkannya
rasa sakit fisik, dibangkitkannya frustrasi lewat rintangan gerak, atau
pengendalian dengan kekuatan atas kebutuhan psikologis dasar atau keselamatan.
Pada tingkat organisasional A mempunyai kekuasaan paksaan terhadap B, jika A
dapat memecat, menskors, atau menurunkan pangkat B jika mengabaikan
kerjanya. Jika A dapat menugaskan kepada B kegiatan kerja yang dirasakan B
sebagai tidak menyenangkan atau bahkan memalukan, tetapi A memiliki power
paksaan terhadap B.
b. Kuasa Imbalan, yaitu pematuhan yang dicapai berdasarkan kemampuan
membagikan imbalan yang dipandang oleh orang lain sebagai berharga, kondisi
ini akan mempunyai kekuasaan atas mereka. Imbalan itu dapat berupa apa saja
yang dihargai oleh seorang lain. Dalam konteks organisasi imbalan ini dapat
berupa uang, penilain kinerja yang mendukung, kenaikan pangkat, penugasan
kerja yang menarik, rekan yang ramah, informasi yang penting dan gilirann kerja
yang lebih disukai.
c. Kuasa Kepakaran, yaitu pengaruh sebagai akibat kepakaran, keahlian,
keterampilan istimewa, atau pengetahuan. Kepakaran yang didasarkan pada
keterampilan atau pengetahuan khusus telah menjadi salah satu sumber pengaruh
yang paling ampuh.
d. Kuasa Keabsahan, yaitu power yang diterima oleh seseorang sebagai hasil dari
posisinya dalam hierarki formal (posisi strukturalnya) dari suatu organisasi yaitu
kekuasaan formal. Power itu menyatakan kekuasaan yang diterima seseorang
sebagai akibat posisinya dalam hierarki formal suatu organisasi. Secara spesifik
mencakup penerimaan baik wewenang suatu jabatan oleh anggota dalam suatu
organisasi e. Kuasa rujukan, yaitu pengaruh yang didasarkan pada pemilihan
sumber daya atau ciri pribadi yang diinginkan oleh seseorang individu lain, yaitu
pemihakan kepada seseorang yang mempunyai sumber daya atau ciri pribadi yang
diinginkan oleh seseorang.
Sangat sulit menjelaskan kekuasaan dari suatu agen tanpa menyebutkan
seseorang sebagai target, sasaran pengaruh dan priode waktu. Seseorang agen
akan memiliki lebih banyak kekuasaan atas bebrapa orang dibandingkan orang
lainnya dan memiliki banyak pengaruh bagi bebrapa jenis masalah dibandingkan
masalah lainnya. Selanjutnya, kekuasaan adalah variabel yang dinamis yang
berubah bersama dengan perubahan kondisi.
Taksonomi Kekuasaan menurut French dan Raven Dalam Yukl (2007: 175)
adalah:
a. Kekuasaan memberi penghargaan, yaitu para target patuh terhadap pemerintah
untuk memproleh penghargaan yang dikendalikan oleh agen. Kekusaan memberi
penghargaan ini adalah peresepsi dari seorang target bahwa agen mempunyai
kendali terhadap sumber daya yang penting dan penghargan yang diinginkan oleh
seorang target.
b. Kekuasaan memaksa, yaitu para target patuh terhadap perintah untuk
menghindari hukuman yang dikendalikan oleh agen.
c. Kekuasaan yang memiliki legitimasi, yaitu para target patuh karena mereka
pecaya bahwa agen memiliki hak untuk memerintah dan seorang target
berkewajiban untuk mematuhinya
d. Kekuasaan berdasarkan keahlian, yaitu para target patuh karena mereak percaya
bahwa agen memiliki pengetahuan khusus mengenai cara menyelesaikan suatu
pekerjaan.
e. Kekuasaan berdasarkan referensi, yaitu para target patuh karena mereka
mengagumi atau mengenal agen dan ingin mendapat persetujuan dari agen
tersebut.
Ada beberapa macam kekuasaan yang bersumber pada suatu hal, antara lain:
a. Kekuasaan juga dapat bersumber pada kedudukan. Kekuasaan yang bersumber
pada kedudukan terbagi kedalam beberapa jenis, yaitu sebagai berikut :
1) Kekuasaan formal atau legal Termasuk dalam jenis ini adalah komandan
tentara , kepala dinas, presiden atau perdana menteri, dan sebagainya yang
mendapat kekuasaannya karena ditunjuk dan/atau diperkuat dengan peraturan atau
perundangan yang resmi.
2) Kendali atas sumber dan ganjaran Majikan yang menggaji karyawannya,
pemilik sawah yang mengupah gurunya, kepala suku atau kepala kantor yang
dapat memberi ganjaran kepada anggota atau bawahannya, dan sebagainya
memimpin berdasarkan sumber kekuasaan jenis ini.
3) Kendali atas hukuman Ganjaran biasanya terkait dengan hukuman sehingga
kendali atas ganjaran biasanya juga terkait dengan kendali atas hukuman,
walaupun demikian, ada kepemimpinan yang bersumbernya hanya kendali atas
hukuman saja. Kepemimpinan jenis ini adalah kepemimpinan yang berdasarkan
atas rasa takut. Contohnya preman-preman yang memunguti pajak dari pemilik-
pemilik tokok.
4) Kendali atas informasi Informasi adalah ganjaran positif bagi yang
memerlukannya. Oleh karena itu, siapa yang menguasai informasi, ia dapat
menjadi pemimpin.
5) Kendali ekologi Sumber kekuasaan ini juga dinamakan perekayasaan situasi
(situasional engineering). Contohnya, kendali atau penepatan jabatan, seorang
atasan, atau manajer. b. Kekuasaan yang bersumber kepada keperibadian
1) Keahlian atau keterampilan Pada shalat jamaah dalam agama Islam, yang
dijadikan pemimpin shalat (imam) adalah yang paling fasih membaca ayat AL-
Quran.
2) Persahabatan atau kesetiaan Sifat dapat bergaul, setia kawan atau setia pada
kelompok dapat menjadi sumber kekuasaan sehingga seorang dianggap sebagai
pemimpin. Ibu-ibu ketua kelompok arisan, misalnya dipilih karena memiliki sifat
pribadi yang jenis ini.
3) Karisma Ciri kepribadian yang menyebabkan timbulnya kewibawaan pribadi
dari pemimpin juga merupakan salah satu sumber kekuasaan dalam proses
kepemimpinan.
c. Kekuasaan yang bersumber pada politik
1) Kendali atas proses perbuatan keputusan
Dalam organisasi, ketua menetukan apakah suatu keputusan akan dibuat dan
dilaksakan atau tidak. Kepemimpinan seorang presiden juga bersumber pada
kekuasaan politik karena sebuah undang-undang yang sudah disetujui parlemen
baru berlaku jika sudah mendapat tanda tangan.
2) Koalisi
Kepemimpinan atas dasar sumber kekuasaan politik di tentukan juga atas hak dan
kewenangan untuk membuat kerja sama dengan kelompok lain.
3) Partisipsi
Pemimpin mengatur partisipasi anggotanya, siapa yang boleh berpartisipasi,
dalam bentuk apa tiap orang itu berpartisipasi, dan sebagainya.
4) Institusional
Pemimpin agama menikahkan pasangan suami istri, menentukan terbentuknya
keluarga baru. Notaries atau hakim menetapkan berdirinya suatu yayasan atau
perusahaan baru.
2. Politik
Politik Menurut Penelitian Paramita Politik berasal dari Bahasa Yunani “politeia”
yang berarti kiat memimpin kota (polis). Secara prinsip, politik merupakan upaya
untuk ikut berperan serta dalam mengurus dan mengendalikan urusan masyarakat.
Menurut Arsitoteles, politik adalah usaha warga negara dalam mencapai kebaikan
bersama atau kepentingan umum. Politik juga dapat diartikan sebagai proses
pembentukan kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses
pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Dari definisi yang bermacam-
macam tersebut, konsep politik dapat dibatasi menjadi :
1. Politik sebagai kepentingan umum
Politik merupakan suatu rangkaian asas (prinsip), keadaan dan jalan, cara, serta
alat yang akan digunakan untuk mencapai tujuan tertentu, atau suatu keadaan
yang kita kehendaki disertai dengan jalan, cara, dan alat yang akan kita gunakan
untuk mencapai keadaan yang kita inginkan itu. Politik dalam pengertian ini
adalah tempat keseluruhan individu atau kelompok bergerak dan masing-masing
mempunyai kepentingan atau idenya sendiri.
2. Politik dalam arti kebijaksanaan
Politik dalam arti kebijaksanaan (policy) adalah penggunaan pertimbangan -
pertimbangan tertentu yang dianggap lebih menjamin terlaksananya suatu usaha,
cita-cita, keinginan atau keadaan yang kita kehendaki. Kebijaksanaan adalah suatu
kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik
dalam usaha memilih tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan-tujuan
itu. Politik memfokuskan pada pengguna kekuasaan untuk memengaruhi
pengambilan keputusan dalam organisasi. Politik dalam organisasi adalah
berkenan dengan perilaku politik yang terdiri dari aktivitas yang tidak tidak perlu
merupakan bagian dari peran formal individual, tetapi memengaruhi atau berusaha
memengaruhi distribusi kelebihan dan kekuranga dalam organisasi.
Politik ialah seni dan ilmu dalam mencapai keberhasilan secara konstitutisional
atau nonkonstitutional. Selain itu, politik juga memiliki pengertian dari sudut
pandang yang bervariasi, antara lain:
a) Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan
bersama (teori klasik Aristoteles)
b) politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan
negara
c) Politik adalah aktivitas yang dilaksanakan untuk memperoleh dan
mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat.
d) politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan
kebijakan publik.
“Politik keorganisasian adalah serangkaian tindakan yang secara formal tidak
diterima dalam suatu organisasi dengan cara mempengaruhi orang lain untuk
mencapai tujuan individu” (Greenberg dan Baron, 1997). Perlu adanya beberapa
kunci dalam memahami politik, yaitu: kekuasaan politik, legitimasi, sistem
politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses politik, dan seluk beluk tentang
partai politik.
a. Perilaku Politik dalam Organisasi
Konteks politik dalam organisasi berkaitan dengan sistem pemerintahan dan
kenegaraan yang berdampak pada perusahaan, serta tidak mengacu pada sistem
kekuasaan parlemen. Politik dalam organisasi lebih mengarah pada cara seseorang
mengejar kekuasaan melalui penanaman pengaruh di kalangan pegawai.
Kekuasaan dalam memiliki dan mempertahankan suatu kedudukan, melakukan
interaksi vertikal dengan atasan serta membuat kebijakan normatif dan
operasional. Pemerolehan kekuasaan biasanya bertujuan untuk mendapatkan
legalitas kepemimpinan formal dimana para anggota akan menghormatinya. Akan
tetapi, anggota tersebut hanya menghormati posisinya sebagai pemimpin, bukan
karena integritas perilaku kepemimpinannya. Orangorang yang ikut serta dalam
ranah politik selalu dikategorikan sebagai individu yang mengandalkan kekuatan
politik dalam menyelesaikan tugasnya. Namun saat kekuasaannya telah diperoleh,
belum tentu ia mau berinteraksi dengan pendukungnya atau sering disebut dengan
lupa dan melupakan. Individu seperti ini berkarakter plin-plan, oportunis,
melakukan pekerjaan yang menguntungkan diri sendiri, serta kurang
memperhatikan kebutuhan lingkungan kerja, teman, pegawai dan perusahaannya.
Lalu apa bedanya dengan orang yang bukan “politikus” yaitu mereka yang lebih
tekun pada proses produksi? John C. Maxwell (The 360 Degree Leader; 2005)
mengungkapkan “orang-orang yang mengandalkan pada pertumbuhan produksi
dicirikan oleh kebergantungan pada bagaimana mereka berkembang; fokus pada
apa yang mereka kerjakan; senang menjadi karyawan yang berkinerja dengan
lebih baik ketimbang pada tampilan; mengerjakan hal-hal yang pokok; bekerja
untuk pengabdian; berkembang secara bertahap; dan keputusan berbasis prinsip-
prinsip tertentu. Sementara, mereka yang tergolong orang-orang ‘politikus’
dicirikan oleh; kebergantungan pada siapa yang mereka tahu tentang dirinya;
fokus pada apa yang mereka katakan; tampilan dinilai lebih hebat ketimbang
kinerja; mengerjakan sesuatu untuk meraih popularitas; berharap untuk diberikan
posisi yang lebih tinggi secara instan walau di luar kompetensinya; dan keputusan
yang diambil berbasis pada opini. Dalam praktiknya ada orang-orang tertentu
yang begitu bergantung pada sang atasan. Biasanya mereka tergolong pada posisi
lingkaran dalam. Semacam klik orang-orang dekat dengan atasan. Setiap individu
dalam lingkungan ini cenderung berkarakter penjilat”. Karena cirinya yang
oportunis, mereka berharap bisa memperoleh jabatan tertentu yang akan membuat
mereka semakin sombong dan angkuh. Namun, pada kenyataannya akan muncul
kejadian yang berlawanan yang mana para bawahan akan merasa dendam saat
atasan tidak memenuhi jabatan yang mereka harapkan meskipun berbagai macam
cara telah ditempuh. Saat itulah, sebagian dari mereka yang bernasib “gagal” akan
menjelek-jelekkan atasannya.
b. Taktik Memainkan Politik dalam Organisasi Kepemimpinan
Dalam memahami elemen politik organisasi, membahas strategi yang
diaplikasikan anggota atau subunit untuk menambah kesempatannya
memenangkan permainan politik, terdapat beberapa cara yang bisa dilakukan
untuk meraih kekuasaan dalam mencapai tujuan, antara lain:
a) Meningkatkan ketidakmampuan mengganti. Ketika hanya ada satu
orang/subunit yang mahir menyelesaikan pekerjaan dalam organisasi, maka
subunit tersebut mempunyai ketidakmampuan untuk mengganti.
b) Dekat dengan manajer yang berkuasa. Pendekatan dengan manajer yang
memiliki kekuasaan.
c) Membangun koalisi. Berkoalisi dengan subunit lain yang mempunyai
kebutuhan yang berbeda dapat meraih kekuasaan untuk menyelesaikan konflik
sesuai dengan keinginannya.
d) Mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Mengendalikan agenda dan
menghadirkan ahli dari luar merupakan dua cara untuk mengatur proses
pembuatan keputusan supaya penggunaan kekuasaan terlihat legal dan sesuai
kebutuhan organisasi.
e) Menyalahkan atau menyerang pihak lain. Manajer akan menyalahkan pihak lain
yang dilihat sebagai pesaing bila terdapat sesuatu yang salah dan ia tidak bisa
menerima kegagalannya.
f) Memanipulasi informasi. Manajer menahan informasi, memberikan informasi
kepada orang lain secara selektif dan mengganti informasi untuk melindungi diri.
g) Menciptakan dan menjaga image yang baik. Taktik positif yang sering
dilakukan adalah menjaga citra yang baik dalam organisasi tersebut. Cara ini
meliputi berpenampilan menarik, sopan, berhubungan baik dengan setiap orang,
membuat kesan bahwa mereka dekat dengan pihak-pihak penting dan sejenisnya.
Organisasi tidak terlepas dari pimpinan yang mana ia mempunyai hal yang
istimewa dibandingkan anggota organisasi, dan ini menjadi sebuah penilaian dari
para anggotanya. Kelebihan ini diperoleh dari pendidikan dan pengalaman
sehingga tidak setiap orang memilikinya. pemimpin harus ahli dalam
menyelesaikan pekerjaannya. Ia harus memberdayakan dan memberikan
anggotanya hak secara maksimal. Semua rencana dilaksanakan sesuai teknis yang
telah disepakati. Itulah sulitnya seorang pimpinan yang menjadi tumpuan dan
harapan bawahannya.
c. Etika dalam politik keorganisasian
Pembahasan politik organisasi tidaklah lengkap tanpa berbicara tentang etika
berpolitik dalam organisasi. Pertimbangan etis haruslah merupakan suatu kriteria
pengontrol dalam perilaku politik untuk mempengaruhi pihak lain. Etik adalah
standar moral apakah suatu perilaku baik atau buruk menurut norma
masyarakat.14 Perilaku politik yang etis adalah perilaku yang bermanfaat untuk
individu dan organisasi, sedangkan perilaku politik yang tidak etis adalah perilaku
yang bermanfaat untuk individu tetapi melukai organisasi.14 Setidaknya terdapat
tiga kriteria untuk menilai apakah cara kita bertindak etis atau tidak etis yaitu
prinsip utilitarianisme, hak dan keadilan. Prinsip utilitarianisme mengajarkan
bahwa keputusan yang kita ambil haruslah ímemberikan manfaat terbesar untuk
jumlah orang terbesarí. Pandangan demikian menekankan pada kinerja kelompok
(kinerja organisasi). Dengan kata lain, pengambilan keputusan adalah dalam
rangka efisiensi dan produktivitas organisasi, bukan untuk mengambil keuntungan
sepihak. Prinsip íhakí menekankan bahwa setiap individu mempunyai kebebasan
untuk mengemukakan pendapat dan berbicara, sebagaimana diatur dalam Piagam
Hak Asasi Manusia. Prinsip íkeadilaní mengisyaratkan individu untuk
memberlakukan dan menegakkan aturanaturan secara adil dan tidak berat sebelah
sehingga terdapat distribusi manfaat dan biaya yang pantas.15 Tampak bahwa
ketiga kriteria penilaian etis dan tidak etis tersebut bersifat bersaing (trade-off),
satu kriteria dapat saling melemahkan atau meniadakan kriteria lainnya. Misalnya,
dalam rangka peningkatan efisiensi dan produktivitas organisasi, perusahaan
memecat 10% karyawan yang kurang produktif. Dalam pandangan utilitarianisme,
keputusan ini bermanfaat untuk jumlah terbanyak, namun boleh jadi mengabaikan
hak-hak individu (hak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan) dan rasa
keadilan (adanya perlakukan diskriminatif yaitu adanya pemecatan sebagian kecil
karyawan). Dalam melakukan tindakan politik, siapapun aktornya (bisa manajer
atau staf) haruslah berpedoman pada tiga kriteria etis tadi. Perilaku politik dalam
îkelompok cara mempengaruhi dengan menebar rasa takutî, misalnya menusuk
dari belakang, mengintimidasi, mengkambinghitamkan, mengganggu,
mengancam, menakut-nakuti, meremehkan, menyepelekan, menyalahkan,
melemahkan, mengaburkan, memperdayai, menipu, merayu, menghambat,
mengalihkan, membuat sedih, membuat kecil hati, menghalangi, menyiasati dan
merampas hak adalah perilaku politik yang kurang atau tidak etis. Siapapun
orangnya akan îsakit hatiî bila ditusuk dari belakang, dikambinghitamkan,
disepelekan, diremehkan, diperdayai dan tindakan sejenisnya. Perilaku politik
dalam îkelompok cara mempengaruhi dengan azas manfaatî dan îkelompok cara
mempengaruhi dengan kehormatanî merupakan perilaku politik yang etis dan
dapat diterima semua pihak. Hasil perilaku politik berdasarkan azas manfaat
adalah komitmen dan konsensus, sehingga perilaku politik demikian (meski
bersifat situasional) adalah etis dan dapat diterima semua pihak. Selanjutnya,
perilaku politik berdasarkan asas kehormatan menduduki tataran tertinggi bila
dilihat dari tingkat íkeetisaní-nya. Perilaku politik berdasarkan azas kehormatan
mampu menanamkan ideologi dan cara hidup kepada pihak lain. Perilaku politik
berdasarkan azas kehormatan banyak ditunjukkan oleh para pemimpin besar
dunia. Tokoh Mahatma Gandhi, misalnya, mampu mempengaruhi lawan dan
kawan karena prinsip hidup yang dipegangnya yaitu kesederhanaan dan kejujuran.
Dalam Sopiah (2008: 103) Apakah suatu tindakan politik dalam organisasi itu
baik atau buruk? Untuk mengetahui suatu tindakan baik atau buruk maka kita
dapat memanfaatkan tiga panduan moral berikut:
a. Memerankan sifat utilarian (berguna semua kalangan): apakah taktik politik
tersebut sudah mengcakup kebaikan yang besar untuk masyarakat? Jika lebih
menguntungkan individu atau golongan tertentu saja dan tidak bermanfaat bagi
orang banyak maka perilaku politik itu tidaklah etis.
b. Menghormati hak-hak individu: apakah taktik itu menindas hak-hak legal dan
moral individu? Jika aktivitas politik itu mengancam hak privasi orang laIn,
kebebasan berbicara, hak bekerja atau hak-hak lain maka jangan diterapkan
kecuali jika hal tersebut mungkin menguntungkan lebih banyak kalangan. Sebagai
contoh, jika seorang eksekutif senior yang berkompeten menolak untuk berbagai
peluang kesejahteraan dan kepuasan dijadikan justifikasi untuk melakukan
pelanggaran, misalnya melanggar privasi pimpinan.
c. Menghargai persamaan hukum: apakah aktivitas politik menyuguhkan
kejujuran kepada semua pihak atau individu? Jika perilaku politik memberikan
keuntungan kepada siapa yang lebih baik dengan mengorbankan yang lain dengan
mendapat yang lebih buruk maka aktivitas tersebut merupakan hal yang tidak etis.
Sebagai contoh, merupakan tindakan tidak etis bagi seorang manager untuk
menganbil kredit secara personal untuk sebuah proyek dan menerima keuntungan
finansial yang dihasilkan dari perilaku tersebut.
d. Jenis-Jenis Kegiatan Politik dalam Organisasi
Dalam Sopiah (2008: 103) Ada berbagai macam jenis kegiatan politik di dalam
organisasi, antara lain:
a. Menyerang atau menutup mata terhadap pihak lain
Kemungkinan bentuk hubungan yang paling langsung dan menutup mata terhadap
pihak lain. Hal ini mencakup kecenderungan pihak lawan memberikan citra yang
buruk di mata para pembuat keputusan. Memang tidak seluruh tindakan menutup
mata itu buruk. Sebuah taktik yang cerdik dilakukan ketika anggota atau
kelompok dalam organisasi memutuskan hubungan sebagai jalan keluar yang
diambil dalam situasi yang kurang menguntungkan atau menggunakan alasan-
alasan sehingga orang mempersepsikan bahwa sumber permasalahan berasal dari
pihak eksternal perusahaan. Seorang karyawan bisa menjelaskan ke pimpinan
bahwa laporan terlambat karena kehilangan dukungan dari unit kerja yang lain
atau kondisi lain yang berada di bawah kendalinya. Dengan kata lain, karyawan
itu mencoba untuk membuat alasan yang menunjukkan bahwa penyebab masalah
bukanlah dirinya.
b. Seleksi dalam mendistribusikan informasi
Informasi merupakan sebuah alat politik dan juga sumber kekuasaan. Individu
atau kelompok dalam organisasi yang memiliki posisi strategis dapat mengatur
distribusi informasin untuk membentuk berbagai persepsi, membatasi potensi
prestasi kerja pihak lain dan meningkatkan kekuasaannya.
c. Mengendalikan saluran informasi
Lewat kekuatan legitimasi, sejumlah individu atau kelompok dapat mengontrol
interaksi di antara para karyawan, termasuk topik diskusi mereka. Seorang
eksekutif boleh jadi mengecilkan hati karyawan yang berada pada unit kerja lain
melalui penbicaraan langsung satu sama lain sebab karyawan itu mungkin akan
membayakan kekuasaan dan status dalam pekerjaannya. Sama halnya dengan
pemimpin-pemimpin organisasi yang mengorganisasikan agenda pertemuan guna
menambahkan ketertarikan para karyawan. Jika para pemimpin ingin menghidari
sebagian keputusan dalam suatu topik penbicaraan, mereka mungkin akan
menempatkan masalah itu dekat dengan agenda organisasi yang lebih besar
sehingga organisasi tidak memperhatikannya karena menganggapnya sebagai
masalah kecil sementara perhatian sedang tertuju pada masalah besar yang sedang
bergulir saat itu.
d. Membentuk koalisi
Koalisi merupakan sebuah kelompok informal yang dibentuk guna mempengaruhi
orang-orang yang ada di luar kelompok dengan kekuatan para anggotanya. Sebuah
koalisi biasanya terbentuk ketika dua atau lebih anggota organisasi sepakat atas
atau tujuan tertentu yang bila mana sendiri maka ia kurang mampu untuk
mewujudkannya, seperti mendapatkan sumber dukungan dari sistem jaringan
yang baru, misalnya. Koalisi merupakan sebuah taktik politik karena merupakan
pengumpulan kekuasan dari beberapa individu atau kelompok dalam organisasi
demi mencapai tujuan-tujuan tertentu.
e. Managing impressions
Setiap individu kelompok dalam organisasi dapat menunjukkan siapa dia
sesungguhnya atau image seperti apa yang ingin dia dapatkan dari linkungannya,
dengan mengungkapkannya lewat cara berbicara, bersikap dan bertindak. Sebagai
contoh , si A yang memakai jas akan mendapat image yang berbeda dengan
seseorang yang tutur katanya kasar dan keras akan dipersepsi lain dengan orang
yang tutur katanya lembut dan halus.
e. Praktik Politik dalam Organisasi
Setiap aktor termasuk manajer menggunakan taktik dan strategi untuk
mempengaruhi aktor lain dengan menggunakan sumber kekuasaan yang dimiliki.
Secara deskriptif, beberapa taktik yang dipakai oleh para aktor adalah sebagai
berikut:
1). Membentuk koalisi dengan pihak lain untuk meningkatkan dukungan dan
sumber daya
2). Menciptakan suasana (seremoni dan simbol) untuk membentuk persepsi dan
perilaku orangorang sesuai dengan peran dan fungsinya
3). Mentransformasikan kepentingan kita menjadi kepentingan pihak lain dengan
mengubah persepsi dan tindakan pihak lain
4). Memperluas jumlah pemain yang terlibat dalam suatu isu yang menjadi
kepentingan kita untuk mendapatkan perhatian yang lebih luas
5). Melaksanakan negosiasi dan tawar-menawar dengan pihak lain yang
bersinggungan dengan kepentingan kita untuk mendapatkan kompromi
6). Memilih waktu yang tepat untuk setiap tindakan agar situasi menguntungkan
kita (manajer).
Sarana aktivitas politik untuk saling mempengaruhi antar aktor dalam organisasi
adalah melalui komunikasi. Hubungan antara komunikasi, penggunaan sumber
kekuasaan, menanamkan pengaruh, dan pemenangan kepentingan dapat
diabstraksikan sebagaimana skema pada Gambar 1. Lee dalam bukunya The
Power Principle, membagi proses mempengaruhi (proses berkuasa) menjadi tiga
macam yaitu:
(i) mempengaruhi dengan paksaan (rasa takut),
(ii) mempengaruhi berdasarkan manfaat (tukar-menukar), dan
(iii) mempengaruhi berdasarkan prinsip.
Mempengaruhi dengan paksaan menghasilkan efek rasa takut; mempengaruhi
berdasarkan manfaat menghasilkan efek kewajaran; selanjutnya mempengaruhi
berdasarkan prinsip akan menghasilkan efek rasa hormat. Mempengaruhi orang
dengan rasa takut meliputi pendekatan keras dan pendekatan lunak. Cara-cara
dengan pendekatan keras, misalnya: menindas, memaksa, mengendalikan,
menusuk dari belakang, mengkambinghitamkan, mengintimidasi, mengganggu,
mengancam, menakut-nakuti, meremehkan, menyepelekan, menyalahkan dan
melemahkan. Sementara itu, cara-cara pendekatan lunak, misalnya: mengaburkan,
memperdayai, menipu, merayu, menghambat, mengalihkan, membuat sedih,
membuat kecil hati, menghalangi, menyiasati dan merampas hak Cara-cara
mempengaruhi orang dengan pendekatan rasa takut (paksaan), baik pendekatan
lunak maupun pendekatan keras akan menghasilkan kendali yang bersifat
sementara dan reaktif. Efek yang muncul akibat mempengaruhi dengan paksaan
adalah permusuhan, pertengkaran, oposisi, ketergantungan, balas dendam,
pengendalian sementara, sabotase, kepatuhan terpaksa, hubungan menang-kalah,
hasilhasil sementara, bahkan pemberontakan. Di samping cara mempengaruhi
dengan menebar rasa takut, banyak dari kita mempengaruhi orang lain dengan
cara memberi dan menerima, bertukar, berdagang, dan berusaha melakukan
tukarmenukar yang adil (asas pertukaran manfaat). Dengan demikian,
mempengaruhi berdasarkan azas manfaat pada dasarnya adalah ìmenemukan
kesepakatan antar kedua belah pihak yang saling menguntungkanî. Konsesi yang
dipertukarkan dapat berupa uang, informasi, keahlian tertentu atau akses terhadap
sumber daya. Sumber-sumber kekuasaan berdasarkan azas pertukaran manfaat
adalah kekuasaan memberi imbalan, kekuasaan berdasarkan posisi, kekuasaan
berdasarkan keahlian, kekuasaan terhadap informasi, kekuasaan terhadap sumber
daya, kekuasaan berdasarkan peluang, dan kekuasaan berdasarkan koneksi. Apa
yang kita lakukan dalam mempengaruhi orang lain berdasarkan azas pertukaran
manfaat yaitu:
(i) membuat kesepakatan,
(ii) tawar-menawar,
(iii) berdebat,
(iv) mengadakan pertukaran,
(v) konsensus,
(vi) saling mengalah,
(vii) memperebutkan,
(viii) bertengkar, dan
(ix) berkompromi.
Apa yang kita peroleh dari cara mempengaruhi berdasarkan azas manfaat adalah
pola interaksi yang bersifat fungsional dan wajar (tanpa rasa takut). Namun
demikian, pola hubungan berdasarkan manfaat bersifat sementara dan bersyarat,
artinya bila situasi berubah dan manfaat tidak didapatkan lagi maka kekuasaan
akan menghilang (menguap).9 Cara ketiga untuk mempegaruhi orang lain adalah
berdasarkan prinsip kehormatan. Prinsipprinsip kekuasaan berdasarkan
kehormatan diantaranya adalah persuasif, sabar, lembut, menerima, bermurah hati,
mengasihi, mengajari, mendisiplinkan, bersikap konsisten dan hidup berintegritas.
Hasil-hasil yang diperoleh dari kekuasaan berdasarkan prinsip kehormatan adalah
kemitraan, sinergi, peningkatan kapasitas, pengendalian internal yang positif,
penguasaan diri, perilaku etis, kesalingtergantungan, proaktivitas, kepercayaan,
solusi menang-menang, kesepakatan kemitraan, dan pola hubungan jangka
panjang yang memuaskan.9 Perhatikan ungkapan mutiara berikut: îKekuasaan
bisa dipandang sebagai íkekuasaan denganí ketimbang íkekuasaan atasí, dan
kekuasaan dapat digunakan untuk membangkitkan kompetensi dan kooperasi,
bukannya dominansi serta pengendalianî Anne L Barstow (Dikutip dari Lee9 ).
3. Pemberdayaan dalam Organisasi
Richard Carver (Clutterbuck 2003:3), managing director coverdale Organization,
mendefinisikan pemberdayaan sebagai upaya mendorong dan memungkinkan
individu-individu untuk mengemban tanggung jawab pribadi atas upaya mereka
memperbaiki cara mereka melaksanakan pekerjaan-pekerjaan mereka dan
menyumbang pada pencapaian tujuan-tujuan organisasi. Hal itu menuntut
diciptakannya suatu budaya yang mendorong orang-orang di semua tingkat untuk
merasa mereka bisa menghasilkan perubahan dan membantu mereka mendapatkan
kpercayaan diri dan ketrampilan-ketrampilan untuk menghasilkan perubahan-
perubahan itu. Bowen dan Lawler dalam artikelnya “The empowerment of service
workers:what, why, how, and when,”Sloan Management Review, Spring 1992,
volume 33 no.3., menyebut bahwa pemberdayaan bukanlah :
a.Delegasi.
David Oates menggariskan perbedaan antara delegasi dan pemberdayaan.
”Delegasi,” katanya, ” dilakukan oleh manajer. Pemberdayaan, jika berjalan
dengan baik, dilakukan oleh bawahan.” Jack Furrer, direktur pendidikan
manajemen di perusahaan farmasi multinasional Ciba-Geigy di Swiss itu,
sependapat : ”seringkali delegasi sama dengan dumping. Kadang-kadang ia lebih
positif dan berupa suatu keseimbangan antara pengarahan dan otonomi. Tetapi
biasanya ia masih tidak memiliki unsur dukungan seperti yang dilibatkan oleh
pemberdayaan.”
b. Tanggung Jawab.
Tanggung awab sendiri bukanlah pemberdayaan, kata Paul Evans, profesor
perilaku organisasional di sekolah bisnis Perancis INSEAD. ” pemberdayaan
bukanlah sekedar masalah menyodorkan tanggung jawab lebih besar di suatu
organisasi,” katanya. ” adalah goblok dan gila untuk melakukan hal itu pada
orang-orang yang tidak memiliki ketrampilan-ketrampilan dan kompetensi-
kompetensi untuk memegang kendali atas pekerjaan mereka.” John Nevin, CEO
Firestone, ”Jika Anda ingin membuat gila seseorang, cara paling mudah untuk
melakukannya adalah dengan memberi rasa tanggung jawab yang dalam, tetapi
tanpa otoritas.”Meskipun demikian, Evans dari INSEAD lebih menyukai istilah
Perancis ”Responsabilization” daripada ”empowerment.” yang disebut belakangan
itu, katanya, ”mengandung ciri keamerika-amerikaan yang paling jelek. Jika orang
harus menggunakan istilah itu, saya lebih suka menggunakan istilah Perancisnya,
yang tidak begitu emotif dan menerumuskan.”
c. Trik Pemangkasan ongkos.
”Apakah orang-orang diberdayakan untuk mengembangkan bisnisnya atau mereka
diminta untuk memangkas ongkos-ongkos dan membuahkan keuntungan-
keuntungan jangka pendek?” tanya Bernard Taylor dari Henley Management
College. ”Orang-orang tidak bodoh,” katanya:
Mereka membutuhkan suatu visi mengenai masa depan dan suatu jaminan bahwa
pekerjaannya masih akan tetap ada dalam beberapa tahun mendatang. Ini
menuntut komitmen untuk mengembangkan bisnis. Tetapi sekarang ini
perusahaan-perusahaan mengalami masalah besar dalam memotivasi karyawan
mereka dan membujuk mereka agar membangun komitmen. Itu terjadi karena
serikat-serikat buruh sudah dibuat tidak berdaya, restrukturisasi besar-besaran
telah mengakibatkan PHK besar-besaran, perusahaan-perusahaan diperdagangkan
seperti komoditas, dan para manajer serta karyawan tidak tahu dari menit yang
satu ke menit berikutnya apakah mereka masih memiliki pekerjaan.
Pemberdayaan seringkali diperkenalkan dalam konteks mentalitas pendudukan
masa perang.
Dalam proses pemberdayaan yaitu mengenalkan kondisi-kondisi yang
membangkitkan perasaan tidak berdaya. Dalam organisasi manusia terkadang
merasa tidak berdaya ketika mereka tidak memiliki akses kepada informasi yang
mempengaruhi kesejahteraan dan pekerjaan mereka.
Konsep pemberian kekuasaan atau pemberdayaan ini, memiliki beberapa dimensi.
Conger dan Kanungo menyatakan pendapatnya bahwa pemberdayaan dapat
ditinjau dalam arti rasional dan motivasional. 
Pertama, aspek rasional menegaskan kepada masalah pembagian kekuasan antara
manajer dan bawahan. Ada usaha untuk melonggarkan hilarkhi dan menekankan
pemecahan masalah secara bersama-sama. 
Kedua, aspek motivasional yang merujuk kepada kebutuhan hakiki suatu
keyakinan dan kemampuan pribadi. Dengan teknik ini, pegawai akan merasa
memiliki kekuasaan. Jadi pemberdayaan dalam arti motivasional adalah
mempercayai kemampuan setiap orang yang meliputi kebutuhan dan hak setiap
orang untuk merasakan bahwa dirinya mampu berprestasi dan
efektif. Berdasarkan hal diatas tampak adanya hubungan yang erat antara
pemberdayaan dan kinerja. Pengambilan keputusan menyangkut dan berhubungan
erat dengan kinerja. Diberdayakan dalam organisasi berarti mengetahui
argumentasi yang diterima serta cara-cara yang digunakannya. Dalam hal ini,
berarti kita tidak bisa lepas dari praktek komunikasi dalam organisasi meskipun
terkadang atau cenderung diabaikan dalam kekuasaan. bagian penting
pemberdayaan adalah pengenalan kondisi kondisi yang membangkitkan persaan
tidak berdaya.  Hal ini saat tidak ada  informasi. Ini menunjukan bahwa
pentingnya informasi sebagai suatu sumber kekuasaan. Konsep pemberdayaan
juga tidak menyarankan seseorang mengerjakan apapun yang dipikirkannya.
Memungkinkan orang lain untuk menggunakan kemampuannya adalah
pemberdayaan.
a. Komunikasi dan pelaksanaan kekuasaan 
Komunikasi dalam suatu organisasi harus menceriminkan penggunaan kekuasaan
yang bijaksana. Seperti yang diungkapkan oleh Boulding (1989), bahwa
mempertahankan kekuasaan mungkin bergantung pada pengetahuan kapan untuk
menggunakan kekuasaan itu. Kekuasaan yang dilaksanakan secara bijaksana
terkadang sama sekali tidak digunakan, seperti; seorang manajer mendelagasikan
otoritas kepada bawahannya untuk melakukan suatu tugas, komunikasi harus
mendukung, yaitu setidaknya manajer memberikan sebuah memo, atau
merincikan tugas apa yang harus dilaksanakan atau dikerjakan.
Komunikasi dengan menempatkan posisi orang lain lebih rendah adalah suatu
wujud pelaksanaan kekuasan. Ini mengisyaratkan suatu hubungan yang
memaksakan dominasi tanpa sepengetahuan orang yang melakukannya, dan
bahkan tidak diketahui dan disadari oleh orang tersebut.
Banyak isu gender (bahasa, seksis, bahasa seksual) yang merupakan isu dari pada
kekuasaan. Sesuatu yang tampak tidak salahnya bagi seseorang, dapat saja
dipandang sebagai penindasan oleh orang lain. Misalnya seperti
istilah freshman dapat saja menimbulkan suatu pertentangan. Itu dikarenakan kata
tersebut khusus untuk seorang pria sehingga mengabaikan keberadaan kaum
wanita. Meskipun begitu, sebenarnya istilah ini sudah dulu ada dan tidak
menyangkut jenis kelamin lagi.
Dalam komunikasi yang penting adalah “penciptaan pesan”, bahasa tidak saja
sekedar masalah kecermatan politis. Masalah persamaan lebih penting daripada
gagasan kecermatan politis. Diberdayakan dalam organisasi berarti mengetahui
argumentasi yang diterima serta cara-cara yang diterima untuk menggunakanya.
Dalam hal ini, berarti kita tidak dapat lepas dari praktek komunikasi dalam
organisasi meskipun dalam hal ini praktek komunikasi sering diabaikan. Hal yang
tidak kalah pentingnya dalam bahasan pemberdayaan adalah masalah pengenalan
kondisi yang membangkitkan perasaan tidak berdaya. Dalam organisasi manusia
akan merasa tidak berdaya apabila mereka tidak memiliki akses terhadap
informasi yang mempengaruhi pekerjaan dan kesejahteraan mereka. Sebagai
contoh struktur birokrasi memiliki kondisi yang mengarah pada rasa tidak
berdaya. Ambiguitas peranan, harapan terhadap peranan yang berlebihan serta
konflik juga merupakan faktor konstektual yang dapat menciptakan
ketidakberdayaan.
b. pentingnya pemberdayaan
Meski istilah ”empeworment”dalam konteks manajemen relatif belum lama
dikenal, tetapi embrio lahirnya empowerment dalam teori manajemen sudah lama
dikenalkan. Eksperimen Hawthorne di Westinghouse tahun 1920an,
misalnya,ditunjukkan bahwa produktivitas meningkatkan ketika staf merasa
bahwa mereka diberi perhatian. Setelah perang dunia II,tentara-tentara
pendudukan memasang para direktur di perusahaan-perusahaan Jerman, tetapi
mengecam keras gagasan untuk melakukan hal yan sama di negeri mereka
sendiri.Lebih jauh Kernaghan (2003:17) menyebut bahwa baru pada 1960-an, dan
yang merupakn tamparan yang bisa dimengerti terhadap pendekatan waktu dan
gerak yang populer dalam dekade sebelumnya, gagasan tentang keterlibatan kerja
yang lebih besar benar-benar mengemuka. Pada titik itulah sejumlah ilmuwan
manajemen, terutama Smith dan McGregor, Drucker, dan Likert, mulai
mempertanyakan peranan orang-orang di tempat kerja baru yang serba otomatis
itu. Hal itu mengarah pada konsep job enrichment bahwa suatu peran kerja yang
lebih bervariasi bisa membuahkan motivasi dan produktivitas yang lebih besar,
meskipun gerak-gerak repetitif mungkin merupakan cara kerja yang secara teknis
paling efisien. Di Skandinavia selama 1960-an dan 1970-an Einar Torsrud yang
berpikiran merdeka itu beserta kolega-koleganya di Arbedspsykologisk Institute
di Oslo mendorong perusahaan-perusahaan untuk bereksperimen dengan
kelompok-kelompok kerja semi otonom. Pada 1970-an, kemajuan-kamajuan
teknis dalam peralatan mesin mementingkan untuk mempromosikan konsep-
konsep seperti group technology, dimana produksi difokuskan pada ”sel-sel” di
mana tugas-tugas besar ditangani oleh para operator yang mempunyai aneka
ketrampilan. Pada saat yang sama, sejumlah wiraswastawan radikal Eropa,
misalnya Houni yang dari Jerman itu, memberi para karyawan hak untuk
menyeleksi manajer-manajer mereka sendiri dan, akhirnya, kepemilikan atas
usaha-usaha mereka sendiri.Lingkaran-lingkaran kualitas, yang diimpor dari
Jepang itu, membuka mata orang-orang barat terhadap sumbangan potensial yang
bisa diberikan oleh orang-orang di tingkat operator, dan wawasan ini dipertegas
oleh popularitas Total Quality Management.
Pemberdayaan, dalam segala bentuknya, berkembang pelan dari semua ide ini.
Meskipun demikian, dalam 1980-an trend-trend di dunia bisnis mulai menegaskan
pentingnya melakukan pendelegasian secara lebih luas dan mendelegasikan
pekerjaan yng lebih bernilai. Telah muncul kebutuhan untuk:

 Membuat orgaisasi-organisasi lebih tanggap terhadap pasar.


 Men-delayer(memangkas tingkat-tingkat struktural) organisasi-organisasi untuk
mejadikan mereka lebih responsif dan cost effective.
 Mengusahakan agar karyawan-karyawan dari berbagai disiplin berkolaborasi
dengan supervisi yang minimal dengan jalan berkomunikasi secara horizontal.
Bukannya secara vertikal hierarki
 Mengusahakan agar para CEO dan manajemen puncak, melangkah surut dan
melakukan pekerjaan yang lebih bersifat strategis
 Menyadap semua sumber-sumber yang bisa membantu mencapai dan
meningkatkan competitiveness
 Memenuhi harapan-harapan yang lebih tinggi dari angkatan kerja yang
pendidikannya semakin membaik
Michael Osbaldeston, chief executive Ashridge Management College,
menegaskan di depan peserta konferensi tahun 1993 mengapa ia menganggap
pemberdayaan telah menjadi begitu penting akhir-akhir ini:
 Kecepatan perubahan yang semakin tinggi, turbulensi lingkungan, cepatnya
respon persaingan dan akselerasi permintaan-permintaan pelanggan menuntut
kecepatan dan fleksibilitas tanggapan yang tidak sudah tidak cocok dengan cara
kerja organisasi dengan model kontrol dan komando gaya lama itu.
 Organisasi-organisasi sendiri tengah berubah. Akibat dari
downsizing(perampingan), delayering(pemangkasan hierarki struktural), dan
desentralisasi berarti bahwa metode-metode kuno pencapaian koordinasi dan
kontrol tidak lagi sesuai. Upaya mencapai kinerja dalam situasi dan kondisi baru
ini menuntut agar staff mengemban tanggung jawab yang jauh lebih besar.
 Organisasi-organisasi menuntut kerja yang lebih lintas fungsi(cross functional),
kerja sama lebih padu di antara bidang-bidang, integrasi lebih baik dalam
proses-proses jika organisasi yang bersangkutan ingin memenuhi kebutuhan-
kebutuhan pelanggan. Kerja sama seperti itu bisa dicapai lewat pemberdayaan.
 Bakat manajerial yang benar-benar bagus semakin dipandang langka dan mahal.
Menggunakannya untuk supervisi langsung terhadap staff yang mampu
mengelola diri sendiri justru menambah kesulitan-keslitan yang sudah ada. Di
pihak lain, pemberdayaan memungkinkan bakat manajerial untuk lebih
difokuskan pada tantangan-tantangan eksternal dan bukan pada problem solving
internal.
 Pemberdayaan bisa mengungkapkan sumber-sumber bakat manajerial, yang
dulunya tidak dikenali, dengan menciptakan situasi dan kondisi dimana bakat
bisa tumbuh subur.
 Staff tidak lagi disiapkan untuk menerima sistem-sistem kontrol dan komando
yang kuno itu. Semakin luasnya ketersediaan pendidikan, penekanan lebih besar
pada pengembangan sepanjang hidup, dan tujuan kepastian keamanan kerja dan
peningkatan yang mantap telah menyumbang pada situasi di mana pekerjaan
dinilai berdasarkan kesempatan-kesempatan pengembangan yang ditawarkan,
bukan sebagai pekerjaan itu sendiri. Organisasi-organisasi yang gagal
memenuhi aspirasi-aspirasi ini tidak akan memperoleh kinerja yang mereka
tuntut dan staf terbaik mereka akan terus-menerus dibuat tak berdaya.
c. Pemberdayaan Karyawan
Pemberdayaan karyawan difokuskan ke karyawan, tingkat terbawah dalam
setiap organisasi. Jika dalam organisasi tradisional, karyawan tidak
diperhitungkan dalam pembagian kekuasaan (power distribution), dengan
pemberdayaan karyawan, kekuasaan justru digali dari dalam diri
karyawanPemberdayaan karyawan adalah pemberian wewenang kepada karyawan
untuk merencanakan, mengendalikan, dan membuat keputusan tentang pekerjaan
yang menjadi tanggung jawabnya, tanpa harus mendapatkan otorisasi secara
eksplisit dari manajer di atasnya. Jika di dalam pendelegasian wewenang,
kekuasaan diberikan oleh manajemen puncak kepada para manajer di bawahnya
(bukan kepada karyawan), dalam pemberdayaan karyawan, kekuasaan digali dari
dalam diri setiap karyawan melalui proses pemberdayaan karyawan (employee
empowerment). Pemberian wewenang oleh manajemen kepada karyawan
dilandasi oleh keberdayaan karyawan yang dihasilkan dari proses pemberdayaan
yang dilaksanakan oleh manajemen terhadap karyawan.Oleh karena
pemberdayaan karyawan dilaksanakan dengan menggali potensi yang terdapat di
dalam diri karyawan, maka pemberdayaan berarti pengembangan kekuasaan,
bukan sekadar pendistribusian kekuasaan yang telah ada dan yang telah dimiliki
oleh manajemen.Dengan kata lain, pemberdayaan karyawan memberikan
keleluasaan kepada karyawan untuk melakukan perencanaan dan pengambilan
keputusan atas pekerjaan yang menjadi tanggung jawab mereka. Sedangkan
pendelegasian wewenang memberikan kekuasaan yang telah dimiliki oleh
manajemen tingkat atas untuk didistribusikan ke manajemen di
bawahnya.Pemberdayaan pada dasarnya merupakan pelepasan atau pembebasan,
bukan pengendalian energi manusia sebagaimana yang dilaksanakan dalam
pendelegasian wewenang. Keyakinan Dasar yang Melandasi Pemberdayaan
Karyawan Pemberdayaan karyawan hanya akan terwujud jika dilandasi oleh tiga
keyakinan dasar berikut ini:
a. Subsidarity. Prinsip subsidiarity mengajarkan bahwa badan yang lebih
tinggi kedudukannya tidak boleh mengambil tanggung jawab yang dapat
dan harus dilaksanakan oleh badan yang berkedudukan lebih rendah.
Dengan kata lain, mencuri tanggung jawab orang merupakan suatu
kesalahan karena keadaan ini akhirnya menjadikan orang tersebut tidak
terampil.
b. Karyawan pada dasarnya baik. Inti pemberdayaan karyawan adalah
keyakinan bahwa orang pada dasarnya baik. Pemberdayaan karyawan
dapat dipandang sebagai pemerdekaan, karena dengan pemberdayaan,
manajer tidak lagi menggunakan pengawasan, pengecekan, verifikasi, dan
mengatur aktivitas orang yang bekerja dalam organisasi. Manajer
melakukan pemberdayaan dengan memberikan pelatihan dan teknologi
yang memadai kepada karyawan, memberikan arah yang benar, dan
membiarkan karyawan untuk mengerjakan semua yang dapat dikerjakan
oleh mereka.
Oleh karena konsep pemberdayaan dimulai dari keyakinan bahwa
orang pada dasarnya ingin mengerjakan pekerjaan baik, manajer tidak
perlu lagi menerapkan metode guna membujuk karyawan untuk
mengerahkan usaha mereka. Manajer harus memastikan bahwa karyawan
memiliki pengetahuan dan teknologi yang diperlukan untuk pekerjaan
mereka, dan manajer harus mendukung usaha karyawan dengan
menghilangkan hambatan apa pun yang mencegah terwujudnya kinerja
unggul.
c. Trust-based relationship. Pemberdayaan karyawan menekankan aspek
kepercayaan yang diletakkan oleh manajemen kepada karyawan. Dari
pemberdayaan karyawan, hubungan yang tercipta antara manajemen
dengan karyawan adalah hubungan berbasis kepercayaan (trust-based
relationship) yang diberikan oleh manajemen kepada karyawan, atau
sebaliknya kepercayaan yang dibangun oleh karyawan melalui kinerjanya.
Dalam pendelegasian wewenang, manajer tingkat atas memiliki wewenang karena
posisinya (position-basedpower)dan kemudian mendelegasikan sebagian
wewenangnya kepada manajer yang lebih rendah posisinya.Manajer yang lebih
rendah ini juga menerima wewenang karena posisinya, sehingga dia pun
memperoleh position-basedpower. Sedangkan di dalam pemberdayaan karyawan,
karyawan memperoleh wewenang bukan berdasarkan posisinya, namun karena
kinerjanya (performance-based power).Tanpa kinerja, karyawan tidak akan
mampu menumbuhkan kepercayaan dalam diri manajemen, sehingga trust-based
relationship tidak akan dapat terwujud.
d. Pemberdayaan dari Sudut Pandang Manajer
Di dalam organisasi masa depan, yang di dalamnya knowledge workers
dominan dalam penciptaan produk dan jasa dengan menggunakan
smarttechnology, manajer perlu memandang karyawan sebagai sumber daya yang
secara optimum mampu memberikan kontribusi di dalam perwujudan visi
organisasi. Agar dapat optimum, manajer perlu mengubah mindset mereka di
dalam memandang karyawan, agar pas dengan smarttechnology yang digunakan
oleh organisasi, serta karakteristik pekerja dan pekerjaan mereka.
Menurut Mulyadi (2001: 162)Keyakinan dasar yang perlu dimiliki oleh
para manajer untuk mewujudkan mindset pemberdayaan karyawan adalah:
a). Karyawan adalah manusia. Manajer harus memandang sisi manusia dalam diri
karyawan, bukan hanya dari sisi pekerjaannya, karenakaryawan adalah orang
yang usahanya sangat menentukan sukses suatu perusahaanyang membuat
produk dan menyediakan jasa bagi customers.Setiap orang dipandang memiliki
kemampuan untuk memahami dan memberikan kontribusi dalam mewujudkan
visi perusahaan. Manajer harus memandang karyawannya sebagai orang dewasa
yang pantas untuk memikul tanggung jawab yang lebih besar atas pekerjaannya,
atas pekerjaan kelompoknya, dan akhirnya atas sukses perusahaan secara
keseluruhan.
b). Orang pada dasarnya baik.Inti pemberdayaan karyawan adalah keyakinan
bahwa orang pada dasarnya baik.Sebagai manusia yang berakal sehat dan
makhluk yang berpikir, orang memiliki kecenderungan alami untuk berhasil
dalam pekerjaannya.Manajer melakukan pemberdayaan dengan memberikan
pelatihan dan teknologi yang memadai kepada karyawan, memberikan arah
yang benar, dan membiarkan karyawan untuk mengerjakan semua yang dapat
dikerjakan oleh mereka. Manajer harus memastikan bahwa karyawan memiliki
pengetahuan dan teknologi yang diperlukan untuk pekerjaan mereka, dan ia
harus mendukung usaha karyawan dengan menghilangkan hambatan apa pun
yang mencegah terwujudnya kinerja unggul.
c). Birokrasi membunuh inisiatif. Satu aspek organisasi yang paling merusak
pemberdayaan adalahberjenjangnya tingkat manajerial.Dalam pemberdayaan
karyawan, tanggung jawab atas pekerjaan dikembalikan ke tangan
karyawan.Dengan demikian karyawan memperoleh motivasi yang lebih besar
terhadap pekerjaan mereka, karena mereka bertanggung jawab atas pekerjaan
mereka, dan organisasi memperoleh penghematan signifikan dengan
penghilangan jenjang manajemen yang tidak menambah nilai bagi
customer.Manajer harus mengidentifikasi aspek organisasi meskipun
kelihatannya efisien, mengajari karyawan untuk tidak mengerjakan, tidak
mencoba, dan tidak peduli tentang pekerjaan mereka.

d). Tugas manajer adalah menyediakan pelatihan, teknologi, dan dukungan bagi
karyawan. Manajer harus melihat karyawan yang memiliki kesempatan yang
harus dikembangkan dan diperluas untuk tujuan pemberian layanan kepada
customers”. Manajer bertanggung jawab untuk menyediakan teknologi memadai
dan pelatihan bagi karyawan untuk memungkinkan mereka mengerjakan apa
yang dapat mereka kerjakan. Di samping itu, manajer harus memberikan
dukungan selama proses perubahan karyawan dalam memikul tanggung jawab
baru ini. Jika manajer tidak memiliki kesediaan untuk menerima kesalahan dan
kegagalan, karyawan akan cenderung kembali ke cara kerja lama yang telah
dikenal sebelumnya.
Dalam banyak hal boleh jadi pemberdayaan adalah suatu hal yang dirasa
sulit oleh suatu organisasi.Pemberdayaan karyawan tentunya dapat menimbulkan
suatu perubahan secara besar –besaran dalam struktur yang telah diterapkan
selama ini. Organisasi harus bisa menghilangkan kendala –kendala yang dapat
mencegah macetnya pemberdayaan, seperti birokrasi yang bertele – tele serta
pengambilan keputusan yang kurang pas.Sebuah pemberdayaan adalah upaya
membongkar dan membangun kembali struktur suatu oraganisasi ataupun
perusahaan mulai dari nol.
Clutterbuck (2003:47)terdapat struktur – struktur pemberdayaan yang pas
untuk dibangun yaitu:
1. The Bull’s Eye
Menempatkan pelanggan di tengah dan membangun organisasi diseputar
kebutuhan – kebutuhan mereka. Mengesampingkan gagasan tentang hirarki,
dan sebagai gantinya menempatkan peran-peran sesuai dengan arti pentingnya
bagi custumer.
2. The Amoeba
Secara konstan mengubah bentuk eksternal dengan membelah diri menjadi
unit – unit kecil yang baru.
3. The Star
Teradopsi oleh organisasi – organisasi yang melayani sejumlah kecil
pelanggan yang sangat penting.Organisasi ini seakan menjadi organisasi
klien/custumer mereka, seringkali bekerja di tempat custumer dan membangun
organisasi-organisasi mereka di seputar kebutuhan-kebutuhan custumer.
4. Organisasi Boundaryless (Nirbatas)
Organisasi begitu responsive kepada pelanggan. Begitu responsivnya seakan
batas-batas antara custumer dan organisasi menjadi begitu kabur sampai tidak
ada artinya.
5. Organisasi Chemical Soup
Dalam struktur yang relatif masih langka ini, tim-tim berevolusi untuk proyek-
proyek spesifik, kemudian luruh menjadi kombinasi-kombinasi baru sesuai
dengan kebutuhan.
Snyder (1994:112) menyebut bahwauntuk mewujudkan paradigma
pemberdayaan karyawan, perlu ditanamkan personal values dalam diri para
manajer yang pas dengan paradigma tersebut, dengan menjunjung tinggi nilai-
nilai:
a. Kejujuran.
Manajer dan karyawan harus mengatakan keadaan dan kondisi yang
sebenarnya antar kedua belah pihak. Manajer juga harus memberikan
informasi yang dimilikinya kepada karyawan untuk memungkinkan karyawan
mengambil keputusan secara efektif. Dalam pemberdayaan karyawan,
karyawanlah yang diberi tanggung jawab untuk pengambilan keputusan.
Dengan menggunakan akses ke data yang sama, menggunakan alat analisis
yang sama, dan melakukan analisis yang sama sehingga keputusan bisa di
ambil. Hal ini sangat berbeda dengan manajemen tradisional. Pengambilan
keputusan sertapemikiran dilaksanakan oleh manajer, pembicaraan
dilaksanakan oleh supervisor, dan pelaksanaan dilakukan oleh karyawan
b. Kerendahan hati.
Pemberdayaan karyawan berarti pemberian tanggung jawab lebih besar
kepada karyawan untuk mengambil keputusan.Dengan demikian, dapat terjadi
inisiatif karyawan jauh lebih baik dibandingkan yang dilakukan oleh
manajer.Kerendahan hati untuk mengakui kinerja karyawan harus merupakan
suatu nilai yang dijunjung tinggi oleh manajer, jika pemberdayaan karyawan
dikehendaki berhasil dalam suatu organisasi.Tugas manajer adalah membuat
karyawan yang berada di bawah wewenangnya menjadi terkenal karena
kinerjanya.Tugas ini hanya dapat dilakukan oleh manajer yang memiliki
kerendahan hati.
e. Pemberdayaan Karyawan Dari sudut Pandang karyawan.
Dari sudut karyawan, pemberdayaan karyawan berkaitan dengan
bagaimana karyawan dipercaya oleh manajer untuk mengambil keputusan tentang
pekerjaan yang menjadi tanggung jawab karyawan. Gambar di bawah ini
melukiskan building blocks kultur organisasi yang berlandaskan pada mindset
pemberdayaan karyawan ditinjau dari sudut pandang karyawan. Selanjutnya
Snyder (1994:104) menyebut bahwa untuk dapat dipercaya oleh manajer, perlu
dibangun keyakinan dasar dan nilai dasar dalam diri karyawan, yaitu:
a. Kepercayaan (trust) yang tumbuh dalam diri manajer terhadap
karyawan.
Pemberdayaan karyawan hanya akan terwujud jika karyawan dapat
dipercaya oleh manajer. Oleh karena itu, karyawan perlu menanamkan
keyakinan dalam dirinya bahwa ia dapat merencanakan,
mengimplementasikan rencana, dan mengendalikan implementasi rencana
pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya atau tanggung jawab
kelompoknya jika manajer mempercayai (trust) karyawan.
b. Kepercayaan manajer terhadap karyawan tumbuh karena kompetensi
dan karakter yang dibangun dalam diri karyawan.
Kompetensi dimiliki oleh karyawan jika ia berkemampuan untuk
menggunakan knowledge. Keunggulan suatu bisnis dibandingkan dengan
bisnis lainnya terletak pada knowledgeataukemampuansumber daya
manusianya dalam menerapkan informasi yang berkaitan dengan sain
(science), teknik, sosial, ekonomi, dan manajerial ke dalam pekerjaan dan
kinerja mereka knowledge bukan merupakan sumber daya bisnis, namun
merupakan sumber daya sosial, yang tidak dapat dipertahankan
kerahasiaannya untuk jangka panjang. Oleh karena itu, personel harus
senantiasa meng-update dan meningkatkan knowledge mereka agar organisasi
tempat mereka bekerja memiliki keunggulan dibandingkan dengan
pesaingnya.Dengan demikian, untuk mempertahankan posisiunggul organisasi
mereka, personel harus menjadi life-long learners.
Sedangkan nilai dasar yang perlu dijunjung tinggi oleh karyawan agar ia
dapat dipercaya oleh manajer dan teman sekerja lain dalam tim kerja adalah:
a. Kejujuran.Kejujuran adalah kemampuan orang untuk mengatakan suatu
kenyataan sebagaimana adanya,yangmembutuhkan keberanian jiwa, karena
seringkali adanya dampak yang tidak menguntungkan bagi karyawan. Untuk
membangun kepercayaan dengan manajer dan teman sekerja, kejujuran
merupakan nilai yang harus dijunjung tinggi.
b. Keberanian.Keberanian adalah keteguhan hati dalam mempertahankan
pendirian, keyakinan, prinsip, visinya.Nilai keberanian perlu dijunjung tinggi
karyawan untuk memacu karyawan dalam mengemban tanggung jawab
pengambilan keputusan atas pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya.Di
samping itu, kreativitas penerapan pengetahuan memerlukan nilai keberanian
dalam diri karyawan untuk mengungkapkan dan mengimplementasikannya.
c. Integritas. Integritas adalah kemampuan orang untuk mewujudkan apa yang
telah diucapkan atau janjikan oleh orang tersebut menjadi suatu kenyataan,dalam
situasi apa pun. Karyawan perlu menjunjung tinggi integritas, dengan cara
mewujudkan semua komitmen yang telah mereka sanggupi ke dalam tindakan
nyata.
Jika karyawan telah menjanjikan sesuatu kepada customer, dan meskipun untuk
merealisasikan komitmen kepada customer tersebut, ia harus mengorbankan
sumber daya tertentu, dan ia tetap teguh dengan komitmen yang telah dijanjikan
kepada customer, terlepas dari sumber daya yang harus dikorbankan, ia adalah
karyawan yang menjunjung tinggi integritas dalam memenuhi komitmennya
kepada customer. Customerakan memilih berhubungan dengan perusahaan yang
karyawannya menjunjung tinggi integritas, karena hanya orang yang berintegritas
pantas dijadikan partner dalam bekerja.
d. Mental berlimpah.Mental berlimpah (abundant mentality) adalah kemampuan
jiwa seseorang dalam menerima keberhasilan, kelebihan, keberuntungan, dan
penghargaan yang diperoleh orang lain. Mental berlimpah sangat diperlukan,
karena karyawan bekerja dalam tim kerja (teamwork), yang bersama dengan
karyawan lain bahu-membahu memenuhi kebutuhan customer. Perwujudah nilai
mental berlimpah antara lain: (1) ringan hati untuk memberikan selamat atas
keberhasilan rekan sekerja, (2) menghindarkan diri dari sikap
merendahkanprestasi kerja rekan sekerja, (3) membiasakan diri melihat “the
bright side of everyone and everything”.
e.Kesabaran dalam mewujudkan visi.Kesabaran adalah kekuatan hati orang
untuk menerima kelainan yang terjadi terhadap dirinya dalam jangka waktu
panjang, menyalurkan semangat secara ajeg dan tekun sampai terwujudnya visi
yang telah dirumuskan. Kesabaran dalam mewujudkan visi merupakan nilai yang
perlu dijunjung tinggi oleh karyawan.
Pemberdayaan merupakan tantangan berat bagi para manajer dan
supervisor. Karena mereka dilatih untuk memecahkan masalah dan memberikan
keputusan. Semua pimpinan tentunya setuju bahwa sebuah pemberdayaan adalah
vital bagi peningkatan efisiensi bisnis dan kualitas.Banyak diantara manajer
mengkhawatirkan potensi pemberdayaan dapat menciptakan sebuah anarki dan
mereka berupaya menciptakan batas – batas sebuah pemberdayaan. Terdapat
anggapan bahwa sebuah pemberdayaan tidak akan dapat memecahkan sebuah
masalah, atau pemberdayaan tidak akan dapat berjalan dalam setiap situasi. Dalam
beberapa hal, pemberdayaan memang tidak cocok untuk diterapkan, para manajer
telah menyadari hal tersebut. Hingga tidak jarang jika manajer harus mengambil
resiko dengan membiarkan orang – orangnya membuat keputusan.
Ketika sebuah organisasi mengalami sebuah perampingan dan orang –
orang lini depan mengambil tanggung jawab besar, maka dalam hal ini yang akan
cenderung menjadi pihak terdepak adalak manajer menengah. Namun
sesungguhnya pemberdayaan tidak selalu mengancam eksistensi manajer dan
supervisor, sebaliknya mereka semakin dibutuhkan oleh perusahaan yang
diberdayakan, hanya saja peranan mereka harus berubah secara dinamis.
Seorang manajer yang memberdayakan harus menjadi seseorang konselor
atau penasihat bagi tim dan individu – individu pada suatu perusahaan. Tugas
manajer bukan dikaitkan dengan pemecahan masalah atau mencari jawaban –
jawaban, melainkan tugas seorang manajer adalah membantu orang – orang
memahami dengan jelas bagaimana mereka mengelola suatu situasi.Tugas
manajer bukanlah memberikan perintah, namun mengartikulkasikan tujuan –
tujuan atau visi bersama dan mendorrong karyawan untuk bersama – sama
meraihnya.
Manajer harus mendefinisikan tujuan – tujuan tim dengan jelas dan
memberikan umpan balik secara konstan. Penting bagi manajer untuk melakukan
intervensi bagaimana sebuah pekerjaan dilakukan. Manajer harus mempunyai
perhatian pribadi dalam mengembangkan karir karyawan dengan jalan
memastikan mereka mengetahui dan menyadari kesempatan – kesempatan dan
mendorong mereka agar meraih kesempatan – kesempatan yang ada.
BAB IX
Pengambilan Keputusan
Proses utama dalam mengelola tugas organisasi adalah proses pengambilan
keputusan. Proses pengambilan keputusan melibatkan pemilihan dari berbagai
alternatif tindakan. Proses pengambilan keputusan merupakan aktivitas yang
fundamental dalam organisasi. Setiap orang menghadapi dan melaksanakan
keputusan dalam setiap aspek kehidupan. Siswa lulusan SLTA menentukan
pilihan fakultas yang cocok dengan bakatnya, para pencari kerja mencoba
memilih berbagai instansi yang membuka lowongan kerja, karyawan mencoba
menentukan berapa ia harus berproduksi dibawah sistem insentif yang baru
misalnya. Dengan demikian setiap keputusan memiliki fundamental. Pertama,
pengambil keputusan menghadapi beberapa alternatif pilihan berkaitan dengan
tindakan yang akan diambil. Kedua, berbagai kemungkinan hasil atau akibat dapat
terjadi, tergantung pada alternatif tindakan mana yang akan diambil. Ketiga,
masing-masing alternatif memiliki peluang untuk berhasil dan gagal. Keempat,
pengambil keputusan harus menentukan nilai, manfaat dari hasil yang
kemungkinan dicapai. George R.Terry dan Brinckloe menyebutkan “dasardasar
pendekatan dari pengambilan keputusan yang dapat digunakan yaitu :
1. Intuisi : pengambilan keputusan yang didasarkan atas intuisi atau perasaan
memiliki sifat subjektif sehingga mudah terkena pengaruh. Pengambilan
keputusan berdasarkan intuisi ini mengandung beberapa keuntungan dan
kelemahan.
2. Pengalaman : pengambilan keputusan berdasarkan pengalaman memiliki
manfaat bagi pengetahuan praktis, karena pengalaman seseorang dapat
memperkirakan keadaan sesuatu, dapat diperhitungkan untung ruginya terhadap
keputusan yang akan dihasilkan. Orang yang memiliki banyak pengalaman tentu
akan lebih matang dalam membuat keputusan akan tetapi, peristiwa yang lampau
tidak sama dengan peristiwa yang terjadi kini.
3. Fakta : pengambilan keputusan berdasarkan fakta dapat memberikan keputusan
yang sehat, solid dan baik. Dengan fakta, maka tingkat kepercayaan terhadap
pengambilan keputusan dapat lebih tinggi, sehingga orang dapat menerima
keputusan-keputusan yang dibuat itu dengan rela dan lapang dada.
4. Wewenang : pengambilan keputusan berdasarkan wewenang biasanya
dilakukan oleh pimpinan terhadap bawahannya atau orang yang lebih tinggi
kedudukannya kepada orang yang lebih rendah kedudukannya. Pengambilan
keputusan berdasarkan wewenang ini juga memiliki kelebihan dan kekurangan.
5. Logika/Rasional : pengambilan keputusan yang berdasarkan logika ialah suatu
studi yang rasional terhadap semua unsur pada setiap sisi dalam proses
pengambilan keputusan. Pada pengambilan keputusan yang berdasarkan rasional,
keputusan yang dihasilkan bersifat objektif, logis, lebih transparan, konsisten
untuk memaksimumkan hasil atau nilai dalam batas kendala tertentu, sehingga
dapat dikatakan mendekati kebenaran atau sesuai dengan apa yang diinginkan.
Pada pengambilan keputusan secara logika terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan, yaitu :
• Kejelasan masalah
• Orientasi tujuan : kesatuan pengertian tujuan yang ingin dicapai
• Pengetahuan alternatif : seluruh alternatif diketahui jenisnya dan konsekuensinya
• Preferensi yang jelas : alternatif bisa diurutkan sesuai kriteria
• Hasil maksimal: pemilihan alternatif terbaik didasarkan atas hasil ekonomis
yang maksimal.
1. Elemen-elemen Dasar Dalam Proses Pengambilan Keputusan
Elemen-elemen dasar dalam proses pengambilan keputusan meliputi: penetapan
tujuan, mengidentifikasi permasalahan, mengembangkan berbagai alternatif
solusi, evaluasi dan memilih sebuah alternatif, melaksanakan keputusan dan
evaluasi, pengendalian dan tindakan koreksi.
1). Menetapkan tujuan
Tanpa penetapan tujuan, pengambilan keputusan tidak bisa menilai alternatif atau
memilih suatu tindakan. Keputusan pada tingkat individu, tujuan ditentukan oleh
masing-masing orang sesuai dengan sistem nilai seseorang. Pada tingkat
kelompok dan organisasi tujuan ditentukan oleh pusat kekuasaan melalui diskusi
kelompok, konsensus bersama, pembentukan kualisi dan berbagai macam proses
mempengaruhi.
2). Mengidentifikasi permasalahan
Permasalahan merupakan kondisi di mana ada ketidaksamaan antara kenyataan
yang terjadi dengan apa yang diharapkan. Permasalahan dalam organisasi dapat
berupa rendahnya produktivitas, adanya konflik disfungsional, biaya operasional
yang terlalu tinggi, perputaran tenaga kerja yang tinggi, banyaknya produk yang
ditolak konsumen dan lain sebagainya. Keputusan yang efektif memerlukan
adanya identifikasi yang tepat atas penyebab permasalahan. Bila penyebab
timbulnya permasalahan tidak dapat diidentifikasi dengan cepat, maka
permasalahan yang ada tidak dapat diselesaikan dengan baik. Ada tiga kesalahan
yang sering terjadi dalam mengidentifikasi permasalahan yaitu: mengabaikan
permasalahan yang ada, memusatkan perhatian pada gejala dan melindungi diri.
a. Mengabaikan permasalahan, Kadangkala sulit untuk menentukan kapan suatu
situasi dianggap cukup jelek sebagai suatu permasalahan riil yang harus mendapat
pemecahan. Dua orang pimpinan tidak sependapat dalam memandang suatu
situasi tertentu sebagai suatu permasalahan yang serius dan perlu mendapat
perhatian. Hal tersebut memerlukan ketrampilan manajerial tertentu.
b. Pemusatan pada gejala Gejala dari suatu permasalahan adalah merupakan
indikasi yang nampak dan seringkali keliru, bukan merupakan penyebab
permasalahan yang sebenarnya. Efektifitas suatu keputusan sangat ditentukan oleh
seberapa jauh penyebab satu permasalahan dapat diidentifikasi dengan benar.
c. Melindungi diri Informasi yang mengancam harga diri kita sebagai pimpinan
sering kali diabaikan atau disembunyikan. Pimpinan mencoba melindungi diri
dengan merusak informasi. Misalnya, banyaknya karyawan yang keluar dari
organisasi karena pimpinan terlalu otoriter atau suasana kerja yang tertekan,
pimpinan tidak mau menyadari atau tidak mau menerima bahwa mereka penyebab
permasalahan yang sesungguhnya.
3). Mengembangkan berbagai alternatif
solusi Setelah permasalahan diidentifikasi, kemudian dikembangkan serangkaian
alternatif untuk menyelesaikan permasalahan. Organisasi harus mengkaji berbagai
informasi baik internal maupun eksternal organisasi untuk mengembangkan
serangkaian alternatif yang diharapkan dapat memecahkan permasalahan yang
terjadi. Proses pengambilan keputusan yang rasional mengharuskan pengambilan
keputusan untuk mengkaji semua alternatif pemecahan masalah yang potensial.
Akan tetapi dalam kenyataannya seringkali terjadi bahwa proses pencarian
alternatif pemecahan masalah seringkali terbatas.
4). Penilaian dan pemilihan alternatif Alternatif yang terbaik adalah yang ada
hubungannya dengan sasaran atau tujuan yang hendak dicapai. Bidang ilmu
statistik dan riset operasi merupakan model yang baik untuk menilai berbagai
alternatif yang telah dikembangkan. Alat dan proses pengambilan keputusan yang
tepat tergantung pada sejumlah pengetahuan yang tersedia dan kondisi yang
berkaitan dengan keputusan yang akan diambil. Ada tiga kondisi proses
pengambilan keputusan yang dapat diidentifikasi, yaitu ; kepastian, ketidakpastian
dan resiko.
a. Kepastian
Pengambil keputusan memiliki pengetahuan yang pasti tentang hasil dari masing-
masing alternatif karena kondisi yang akan timbul sudah diketahui. Melakukan
keputusan investasi dengan menyimpan uang di bank dalam bentuk deposito
berjangka merupakan contoh dari kondisi yang pasti, karena bunga bank sudah
pasti dan bank menjaminnya.
b. Ketidakpastian
Keputusan yang dibuat dalam kondisi ketidakpastian jika mengambil keputusan
tidak mengetahui dan tidak dapat memperkirakan kemungkinan bahwa kondisi
tertentu akan terjadi. Dalam kondisi ketidakpastian pengambil keputusan
menggunakan intuisi atau perkiraan dalam pemilihan alternatif.
c. Resiko
Jika pengambilan keputusan berada di bawah kondisi resiko, maka pengambil
keputusan akan menetapkan kemungkinan hasil dari masing-masing alternatif.
Banyak model matematika dan statistik yang tersedia untuk membantu
pengambilan keputusan yang berada pada kondisi kepastian dan resiko.
5). Melaksanakan keputusan
Keberhasilan penerapan keputusan yang diambil oleh manajer atau pimpinan
organisasi, bukan semata-mata tanggung jawab dari pimpinan organisasi akan
tetapi komitmen dari bawahan untuk melaksanakannya juga menjadi peranan
penting. Dalam mengevaluasi dan memilih alternatif suatu keputusan seharusnya
juga mempertimbangkan kemungkinan penerapan dari keputusan tersebut.
Betapapun baiknya suatu keputusan apabila keputusan itu sulit diterapkan maka
keputusan tersebut juga tidak ada artinya. Pengambilan keputusan di beberapa
organisasi adalah mereka yang tidak terlibat dengan operasional harian, mereka
membuat keputusan berkaitan dengan tujuan yang ideal dan hanya sedikit
mempertimbangkan penerapan operasionalnya.
6). Evaluasi dan pengendalian dan tindakan koreksi.
Setelah keputusan diterapkan, pengambil keputusan tidak begitu saja menganggap
bahwa hasil yang diinginkan akan tercapai. Mekanisme sistem pengendalian dan
evaluasi perlu dilakukan agar apa yang diharapkan dari keputusan tersebut dapat
terealisir. Penilaian didasarkan atas sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan.
Tujuan yang bersifat khusus dan mudah diukur dapat mempercepat pimpinan
untuk menilai keberhasilan keputusan tersebut. Jika keputusan tersebut kurang
berhasil, dimana permasalahan masih ada, maka pengambil keputusan perlu untuk
mengambil keputusan kembali atau melakukan tindakan koreksi. Masing-masing
tahap dari proses pengambilan keputusan perlu dipertimbangkan dengan hati-hati
termasuk dalam penetapan sasaran dan tujuan.
2. Jenis-Jenis Keputusan
Dalam menganalisis keputusan yang diambil dalam organisasi, Herbert Simon
dalam McShane and Glinow (2008), membedakan dua jenis keputusan yaitu
keputusan yang diprogram (programed decisions) dan keputusan yang tidak
diprogram (nonprogramed decisions).
1). Keputusan yang diprogram
Keputusan ini merupakan keputusan bersifat rutin dan dilaksanakan secara
berulang-ulang sehingga dapat dikembangkan suatu prosedur tertentu. Keputusan
yang diprogram terjadi jika permasalahan terstruktur dengan baik dan orang-orang
tahu bagaimana memecahkannya. Permasalahan ini umumnya agak sederhana dan
solusinya relatif mudah. Contoh di perguruan tinggi seperti, keputusan tentang
pembimbingan KRS, penyelenggaraan ujian semester, pelaksanaan wisuda dan
lain sebagainya.
2). Keputusan yang tidak diprogram
Keputusan yang tidak diprogram adalah keputusan baru, tidak terstruktur dan
tidak dapat diperkirakan sebelumnya. Tidak dapat dikembangkan prosedur
tertentu untuk menangani masalah tersebut, apakah karena permasalahannya
belum pernah terjadi atau karena permasalahannya sangat komplek dan penting.
Keputusan yang tidak diprogram dan tidak terstruktur dengan baik, apakah karena
kondisi saat itu tidak jelas, metode untuk mencapai hasil yang diinginkan tidak
diketahui atau adanya ketidaksamaan tentang hasil yang diinginkan. Keputusan ini
memerlukan penanganan yang khusus dan proses pemecahan masalah dengan
intuisi dan kreativitas. Teknik pengambilan keputusan kelompok biasanya
dilakukan untuk keputusan yang tidak diprogram. Sebab keputusan yang tidak
diprogram umumnya bersifat unik dan kompleks dan tanpa kriteria yang jelas, dan
biasanya dilingkari oleh kontroversi dan manuver politik. Idealnya pimpinan atau
manajer pada tingkat puncak seharusnya memegang tanggung jawab dan
mengambil keputusan yang tidak diprogram.
Akan tetapi banyak manajer pada tingkat puncak terlalu banyak
menggunakan waktunya untuk keputusan yang diprogram yang sebenarnya dapat
dilakukan oleh manajer pada tingkat bawah dalam organisasi, dan manajer tingkat
puncak seharusnya lebih banyak menggunakan waktunya untuk merenungkan
keputusan yang tidak diprogram. Herbert Simon dalam McShane and Glinow
(2008), mengemukakan prinsip penting dalam proses pengambilan keputusan
organisasi yang disebut “Gresham’s law of planing.” Hukum ini mengemukakan
bahwa aktivitas yang terprogram cenderung mengganti aktivitas yang tidak
terprogram. Jika tugas pemimpin meliputi pengambilan keputusan diprogram dan
tidak diprogram, mereka lebih cenderung menekankan atau lebih berorientasi
pada keputusan yang diprogram dengan mengabaikan keputusan yang tidak
diprogram. Oleh karenanya manajer perlu mengidentifikasi keputusan yang mana,
termasuk keputusan yang diprogram sehingga dapat dikembangkan suatu
prosedur.
Jenis keputusan organisasi dikategorikan berdasarkan jumlah waktu yang
dibutuhkan untuk mengambil keputusan tersebut, bagian mana organisasi harus
dapat melibatkan dalam mengambil keputusan dan pada bagian organisasi mana
keputusan tersebut difokuskan. Secara khusus terdapat dua jenis keputusan, antara
lain: • Keputusan Rutin : Keputusan yang sifatnya rutin dan berulang-ulang serta
biasanya telah dikembangkan untuk mengendalikannya. • Keputusan tidak Rutin :
Keputusan yang diambil pada saat-saat khusus dan tidak bersifat rutin.
3. Faktor-Faktor Individu Dalam Proses Pengambilan Keputusan
Dalam kenyataannya pengambilan keputusan yang dilakukan oleh seseorang tidak
sistimastis seperti proses yang dikemukakan sebelumnya. Keputusan individu
dalam organisasi biasanya dilakukan untuk permasalahan-permasalahan yang
tidak kompleks. Pengambilan suatu keputusan individu dipengaruhi oleh tiga
faktor utama yaitu : nilai individu, kepribadian dan kecendrungan dalam
pengambilan resiko.
1). Nilai individu
Nilai individu pengambil keputusan merupakan keyakinan dasar yang digunakan
seseorang jika ia dihadapkan pada permasalahan dan harus mengambil suatu
keputusan. Nilai – nilai ini telah tertanam sejak kecil melalui suatu proses belajar
dari lingkungan keluarga dan masyarakat.
2). Kepribadian Dalam mengambil keputusan, seseorang juga dipengaruhi oleh
faktor psikologis seperti kepribadian. Dua variabel utama kepribadian yang
berpengaruh terhadap keputusan yang dibuat, yakni: idiologi versus kekuasaan
dan emosional versus objektivitas.
a. Idiologi versus kekuasaan Beberapa keputusan yang diambil memiliki idiologi
tertentu, yang berarti keputusannya dipengaruhi oleh suatu filosofi atau suatu
perangkat prinsip tertentu. Sementara orang lain mendasarkan keputusannya pada
sesuatu yang secara politis akan meningkatkan kekuasaannya secara pribadi.
b. Emosional versus objektivitas Kadangkala keputusan yang diambil dipengaruhi
oleh emosionalnya. Emosional dapat berupa kecenderungan kepribadian
seseorang atau emosional yang berasal dari kebutuhan akan perlindungan.
Emosional dapat mempengaruhi cara suatu permasalahan dianalisis, jenis
informasi dan alternatif yang dipertimbangkan dalam proses pengambilan
keputusan. Informasi yang objektif diabaikan dan keputusan hanya didasarkan
kepada perasaan saja. Sedangkan pengambilan keputusan yang lebih objektif
dimana mereka menghindari adanya kekeliruan persepsi tentang permasalahan
maupun informasi yang berkaitan dengannya. Contoh, keputusan tentang
penerimaan pegawai dan ada tiga calon yang ikut seleksi dan yang dibutuhkan
hanya satu. Dari hasil tes menunjukkan, calon pegawai A dan B yang memenuhi
persyaratan yang ditentukan, maka pengambilan keputusan yang emosional akan
menerima calon pegawai C, karena masih saudara.
3). Kecenderungan dalam pengambilan resiko.
Ada seseorang yang senang mengambil keputusan dengan resiko dan ada yang
tidak senang dengan resiko dan ada juga yang netral terhadap resiko. Orang yang
senang terhadap resiko akan berbeda dalam mengevaluasi serangkaian alternatif
maupun memilih suatu alternatif dengan mereka yang tidak senang dengan resiko.
Keputusan dalam investasi misalnya, orang senang dengan resiko akan memilih
investasi yang memberikan hasil besar walaupun resikonya juga besar. Sedang
mereka yang takut akan resiko akan memilih alternatif investasi yang resiko
kegagalannya rendah sekalipun hasilnya rendah.
4. Keputusan Kelompok
Metode yang umum untuk membuat keputusan organisasi adalah dilakukan oleh
kelompok, terlebih-lebih untuk keputusan organisasi yang penting dan kompleks.
Kelompok dutugaskan untuk mengambil keputusan dapat berbentuk panitia, tim,
gugus tugas, komite dan yang sejenisnya.
1). Keputusan individu VS kelompok
Meningkatnya penggunaan kelompok dalam proses pengambilan keputusan
karena didasari suatu asumsi tentang proses pengambilan keputusan yang
dilakukan oleh kelompok. Sebagian besar orang berpendapat bahwa pengambilan
keputusan dengan kelompok lebih akurat dari keputusan individu. Kelompok
terdiri dari beberapa orang yang dianggap memiliki pandangan dan pengetahuan
yang lebih luas dari pada seorang atau individu sehingga keputusan yang diambil
akan lebih akurat. Keputusan kelompok diharapkan menghasilkan komitmen dan
penerimaan yang lebih besar dari anggota kelompok. Keputusan kelompok sesuai
dengan nilai-nilai demokrasi. Walaupun pendapat orang pada umumnya
menganggap bahwa keputusan kelompok lebih unggul dari keputusan individu,
akan tetapi keputusan kelompok kadangkala bias, karena pendapat hanya
didominasi oleh satu atau dua orang saja dan memerlukan waktu yang lama dalam
proses pengambilan keputusan. Keunggulan atau superioritas keputusan kelompok
tidak bersifat universal. Perbandingan antara keputusan individu dengan
kelompok memerlukan kriteria seperti: akurasi keputusan, kreativitas, komitmen,
penerimaan serta waktu dan biaya.
2). Pengaruh Kelompok dalam pengambilan keputusan Kehadiran orang lain
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap diri seseorang dalam proses
pengambilan keputusan. Sekalipun kombinasi usaha dari beberapa orang yang
tergabung dalam keputusan kelompok seharusnya akan meningkatkan kemahiran,
perhatian dan mengingat informasi yang relevan. Studi tentang pengambilan
keputusan kelompok menemukan bahwa dinamika kelompok seringkali
menghalanginya dari suatu keputusan yang baik.
5. Teknik Pengambilan Keputusan Kelompok
Pengumpulan dan penyebaran informasi atau menyediakan informasi kepada
manajer memerlukan waktu, usaha dan biaya, akan tetapi pengorbanan tersebut
tidak sia-sia, apabila dengan informasi tersebut keputusan menjadi lebih efektif
dan cepat. Ada tiga teknik proses pengambilan keputusan kelompok yang
diharapkan dapat membantu organisasi membuat keputusan yang efektif, melalui
peningkatan kreativitas penyampaian gagasan oleh para pengambil keputusan.
Teknik tersebut meliputi; brainstorming, teknik delphi dan teknik kelompok
nominal.
1). Teknik brainstorming Tujuan dari teknik brainstorming adalah meningkatkan
kreativitas dalam diskusi kelompok dengan menciptakan lingkungan yang
merangsang munculnya gagasan baru.
2). Teknik Delphi Teknik ini dikembangkan oleh pekerja pada Rand Corporation
sebagai suatu metode mengkombinasikan informasi dan wawasan dari para
peserta pengambil keputusan dengan menghilangkan kelemahan dari interaksi
tatap muka. Teknik Delphi memiliki dua keunggulan utama yaitu, (1) karena
orang yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan tidak berhadapan muka,
tidak terpengaruh oleh seseorang yang mendominasi dan terhindar dari bias yang
disebabkan oleh kepribadian seseorang. (2) teknik Delphi memiliki kemampuan
untuk mengkombinasikan antara keahlian, pengalaman, dan kearifan dari individu
tanpa mengorbankan waktu dan biaya untuk menghadiri rapat pada tempat
tertentu. Sedangkan kelemahan dari teknik Delphi meliputi waktu dan motivasi.
Mengumpulkan informasi dan menyampaikannya kepada para ahli dan
mengumpulkan revisinya memakan waktu yang banyak. Oleh karena tidak
berhadap-hadapan kadangkala ahli yang terlibat menangguhkan tanggapannya dan
lamanya senjang waktu antara masing-masing proses cenderung menurunkan
antusias untuk berpartisipasi.
3). Teknik kelompok nominal. Teknik ini menggabungkan antara konsep
brainstorming dengan teknik Delphi. Kalau dalam teknik brainstorming orang-
orang yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan duduk bersama-sama
dalan suatu ruangan, sedangkan dalam teknik Delphi proses penentuan dan
evaluasi alternatif dimaksudkan untuk melindungi adanya bias pendapat seseorang
karena didominasi oleh salah seorang peserta. Karena kelompok nominal
menyediakan suatu bentuk yang lebih terstruktur dari gagasan yang memenuhi
syarat dan menilainya, maka teknik ini efektif untuk kelompok yang agak besar.
Dari hasil studi yang dilakukan di negara barat menunjukkan, bahwa teknik
Delphi dan teknik kelompok nominal lebih efektif dari pengambilan keputusan
secara tradisional.
6. Proses Pengambilan
Keputusan Proses pengambilan keputusan diartikan sebagai tahapan yang
dilakukan oleh pembuat keputusan dalam memilih alternatif yang disediakan.
Langkah sistematis yang perlu dilakukan dalam mengambil keputusan yaitu:
1. Pengambilan keputusan : Proses penyelesaian masalah yang menghalangi
pencapaian tujuan. Agar masalah dapat dipecahkan, terlebih dahulu harus dikenali
apa masalahnya.
2. Mencari alternatif pemecahan : Setelah masalah dikenali, selanjutnya mencari
alternatif yang mungkin dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi. Dalam
mencari alternatif hendaknya tidak memikirkan masalah efisiensi dan efektivitas.
Yang terpenting adalah mengumpulkan sebanyak-banyaknya alternatif, dan
setelah alternatif terkumpul, barulah disusun berurutan dari yang paling
diinginkan sampai yang tidak diinginkan.
3. Memilih alternatif: Setelah alternatif tersusun, selanjutnya dilakukan pilihan
alternatif yang dapat memecahkan masalah dengan cara yang paling efektif dan
efisien. Sebelum menjatuhkan pilihan pada sebuah alternatif, ajukan pertanyaan
untuk tiap-tiap alternatif.
4. Pelaksanaan alternatif : Setelah alternatif terpilih, tibalah saatnya untuk
melaksanakan alternatif tersebut dalam bentuk tindakan yang pelaksanaannya
harus berdasarkan rencana, agar tujuan memecahkan masalah dapat tercapai.
5. Evaluasi : Setelah alternatif dilaksanakan, proses pengambilan keputusan
belumlah selesai. Pelaksanaan alternatif harus terus diobservasi, apakah hal ini
berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Bila langkah-langkah pelaksanaan telah
dilakukan dengan benar tetapi hasil yang dicapai tidak maksimal, sudah waktunya
untuk mempertimbangkan kembali pemilihan alternatif lainnya. Tidak
maksimalnya hasil yang dicapai mungkin terjadi karena pengaruh negatif
potensial benar-benar terjadi, atau mungkin pengaruh negatif yang tadinya tidak
diperkirakan.
7. Gaya Pengambilan Keputusan
Seorang pemimpin/manajer menggunakan gaya pengambilan keputusan dalam
membuat keputusannya. Robert dan Angelo (2007) menjelaskan “gaya
pengambilan keputusan merupakan kombinasi mengenai bagaimana individu
mempresepsikan dan memahami stimuli dan cara umum dimana ia memilih untuk
informasi”. Peneliti mengembangkan suatu model gaya pengambilan keputusan
dalam dua dimensi: Orientasi nilai yaitu seberapa tinggi pengambilan keputusan
memfokuskan diri pada memperhatikan tugas dan teknik atau memperhatikan
orang dan masyarkakat ketika mengambil keputusan. Toleransi kepada ambiguitas
merujuk pada seberapa besar kebutuhan untuk struktur atau pengawasan dalam
hidupnya. Jika kedua dimensi tersebut digabungkan, maka terwujudlah empat
gaya pengambilan keputusan, yakni:
1. Gaya membuat keputusan direktif. Orang dengan gaya mengambil keputusan
direktif mempunyai toleransi untuk ambiguitas dan berorientasi memerhatikan ke
arah tugas dan teknikal ketika mengambil keputusan.
2. Gaya mengambil keputusan analitikal. Gaya mengambil keputusan ini
mempunyai toleransi untuk ambiguitas dan karakteristiknya cenderung untuk
terlalu menganalisis interaksi. Orang dengan gaya ini senang untuk
mempertimbangkan lebih banyak informasi dan alternatif daripada gaya
pengambilan keputusan direktif.
3. Gaya mengambil keputusan konseptual. Orang dengan gaya mengambil
keputusan konseptual mempunyai toleransi untuk ambiguitas dan cenderung
untuk memfokuskan pada orang atau aspek sosial dari situasi kerja.
4. Gaya mengambil keputusan behavioral. Gaya mengambil keputusan ini paling
berorientasi pada orang. Orang yang mempunyai gaya pengambilan keputusan ini
dapat bekerja baik dengan orang yang menyenangi interaksi sosial dimana
pendapat dikemukakan dan dipertukarkan secara terbuka.
8. Pengaruh Pengambilan Keputusan yang Efektif bagi Kemajuan
Organisasi
Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Usman, Husaini (2013 : 312) “kemajuan
suatu organisasi dipengaruhi oleh cara pemimpin dalam mengambil keputusan”.
Telah dilakukan beberapa penelitian yang searah dengan pendapat Usman (2013)
tersebut. Juliyanti, Mohammad Isa Irawan, dan Imam Mukhlash (2011)
melakukan penelitian tentang Pemilihan Guru Berprestasi Menggunakan Metode
AHP-TOPSIS. Penelitian tersebut menghasilkan temuan yaitu “suatu sistem
pengambilan keputusan dapat membantu proses pemilihan berdasarkan kriteria-
kriteria yang ditentukan sehingga bisa dilakukan proses perhitungan yang lebih
efektif dan efesien”. Penelitian senada dilakukan oleh Budiono (2014), tentang
Pengaruh Komunikasi Organisasi, Kecerdasan Emosi dan Pengambilan
Keputusan terhadap Implementasi Peran Kepemimpinan Kepala SD menemukan
beberapa temuan yaitu:
“1) Terdapat pengaruh positif dan signifikan pada kecerdasan emosi yang dimiliki
dan direalisasikan kepala sekolah terhadap implementasi peran kepemimpinan;
2) Pengambilan keputusan memiliki pengaruh yang positif dan signifikan
terhadap implementasi peran kepemimpinan sekolah dasar. Dengan kata lain,
adanya pengambilan keputusan dapat mempengaruhi kinerja seseorang dalam
suatu organisasi/lembaga”.
Disamping itu, sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rebekka
Rismayanti (2016) “apapun gaya partisipasi pengambilan keputusan akan menjadi
tepat ketika pemimpin benar-benar memikirkan tujuan yang paling tepat dari
suatu proses pengambilan keputusan, memperhatikan betul referensi informasi
yang diperoleh secara komprehensif, serta mempertimbangkan kondisi yang
terjadi sebelum mengambil suatu keputusan. Ketiga hal ini diperlukan agar gaya
partisipasi dapat dipilih secara tepat sehingga keputusan yang diambil tidak
menimbulkan kesalahpahaman, melainkan dapat memberikan manfaat bagi kedua
belah pihak yang melakukan proses komunikasi secara bisnis”. Pengambilan
keputusan sangat esensial dalam menghasilkan keputusan yang baik yang
dilakukan dengan langkah-langkah sistematis antara lain menentukan dasar
pemikiran, pengidentifikasian alternatif-alternatif, alternatifalternatif dilihat dari
sudut tujuan yang mau dicapai dan pemilihan suatu alternatif, yaitu suatu
pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan merefleksikan proses melalui
cara untuk menyelesaikan suatu masalah. Suatu ilmu perilaku organisasi sangat
penting untuk kita pelajari salah satunya yaitu lebih dulu mengetahui pengertian
dari organisasi tersebut. Untuk lebih mengembangkan wawasan kita tentang
materi ini perlu untuk mengembangkan dengan tetap mencari serta membaca
referensi-referensi lain.

BAB X
Evaluasi, Umpan Balik, Penghargaan
1. Evaluasi
Evaluasi adalah tahap proses penilaian dari hasil kinerja perusahaan yang
sesungguhnya merupakan implementasi strategi yang diterapkan perusahaan
dibandingkan dengan kinerja yang diharapkan. Para manajer di semua level
menggunakan informasi hasil kinerja untuk melakukan tindakan perbaikan dan
memecahkan masalah. Walaupun evaluasi merupakan elemen akhir yang utama
dari manajemen strategis, elemen itu juga dapat menunjukkan secara tepat
kelemahankelemahan dalam implementasi strategi sebelumnya dan mendorong
proses keseluruhan untuk dimulai kembali. Agar evaluasi dan pengawasan efektif,
manajer harus mendapatkan umpan balik yang jelas, tepat waktu, dan tidak bias
dari orang-orang bawahannya yang ada dalam hirarki perusahaan. Berdasarkan
hasil kinerja, manajemen harus melakukan penyesuaian terhadap perumusan
strategi atau implementasi strategi. Dengan mendasarkan pada kerangka proses
perumusan strategi maka dengan kerangka yang sama dapat dibuat evaluasi
apakah suatu strategi yang telah disusun akan dan masih cocok untuk mencapai
tujuan yang akan datang. Sangat tidak mungkin untuk menunjukkan bukti bahwa
sebuah strategi telah optimal atau bahkan menjamin ia akan bekerja dengan baik,
yang bisa dilakukan adalah mengevaluasinya untuk melihat kemungkinan
terjadinya kesalahan. Proses Evaluasi Strategi diawali dengan menentukan apa
yang akan diukur. Manajer Puncak dan manajer operasional perlu menetapkan
proses implementasi danh asil-hasil yang akan dipantau dan dievaluasi. Beberapa
faktor internal dan eksternal dapat menghambat perusahaan untuk mencapai
tujuan jangka panjang dan tujuan tahunannya. Secara eksternal, tindakan para
pesaing, perubahan permintaan, perubahan teknologi, perubahan ekonomi,
perpindahan demografi dan tindakan pemerintah dapat menghambat pencapaian
tujuan organisasi. Secara internal, strategi yang tidak efektif mungkin dipilih atau
implementasinya yang buruk mungkin dilakukan. Oleh karena itu, kegagalan
untuk mencapai tujuan mungkin saja bukan merupakan hasil dari pekerjaan
manajer dan pegawai yang tidak memuaskan Atas dasar itulah, Sukanto
menuturkan bahwa proses yang ditempuh di dalam melaksanakan evaluasi, adalah
(1) di dahului dengan perencanaan strategi, dilihat falsafah, visi, misi dan tujuan
badan usaha,
(2) melihat lingkungan luar maupun dalam, mengkaji baik kesempatan dan
ancaman yang timbul, masa baik dan masa buruk,
(3) melihat efektivitas formulasi dan impelementasi straegi,
(4) melihat kualitas produk, pelayanan, inovasi, pangsa pasar, dan lain-lain, serta
(5) melihat pada standar-standar ROI, ROA,
ROE perkembangan dan di “benchmark” dengan yang lain (kuantitatif). Evaluasi
strategi adalah tahap proses penilaian dari hasil kinerja yang sesungguhnya
merupakan implementasi strategi yang diterapkan manajer dibandingkan dengan
kinerja yang diharapkan. Para manajer di semua level menggunakan informasi
hasil kinerja untuk melakukan tindakan perbaikan dan memecahkan masalah.
Walaupun evaluasi merupakan elemen akhir yang utama dari manajemen
strategis, elemen itu juga dapat menunjukkan secara tepat kelemahan-kelemahan
dalam implementasi strategi sebelumnya dan mendorong proses keseluruhan
untuk dimulai kembali. Agar evaluasi dan pengawasan efektif, manajer harus
mendapatkan umpan balik yang jelas dan tepat waktu dari bawahannya yang ada
dalam hirarki perusahaan. Berdasarkan hasil kinerja, manajemen harus melakukan
penyesuaian terhadap perumusan strategi atau implementasi strategi. Dengan
mendasarkan pada kerangka proses perumusan strategi maka dengan kerangka
yang sama dapat dibuat evaluasi apakah suatu strategi yang telah disusun akan
dan masih cocok untuk mencapai tujuan yang akan datang. Sangat tidak mungkin
untuk menunjukkan bukti bahwa sebuah strategi telah optimal atau bahkan
menjamin ia akan bekerja dengan baik, yang bisa dilakukan adalah
mengevaluasinya untuk melihat kemungkinan terjadinya kesalahan.
Ada empat standar yang bisa dipakai untuk mengevaluasi keberhasilan sebuah
strategi, yaitu:
1. Konsistensi sebuah strategi seharusnya membuat tujuan dan kebijakan yang
konsisten. Konflik organisasi dan perbedaan antar departemen merupakan gejala-
gejala ketidakpastian manajemen, namun masalah-masalah tersebut juga
menunjukkan sinyal adanya ketidak konsistenan strategis. Terdapat tiga panduan
untuk membantu menunjukkan apakah masalah organisasi merupakan hasil dari
ketidak konsistenan dalam strategi: Jika masalah manajerial terus berlanjut
meskipun telah terjadi pergantian personel dan jika masalah tersebut cenderung
lebih berbasis isu ketimbang berbasis manusia, maka strategi mungkin tidak
konsisten. Jika keberhasilan satu departemen dalam organisasi memiliki arti, atau
diintrepretasikan sebagai kegagalan departemen lain, maka strategi mungkin tidak
konsisten. Jika masalah dan isu kebijakan selalu dibawa ke atas untk mendapatkan
pemecahan,makastrategi mungkin tidak konsisten.
2. Konsonan mengacu pada kebutuhan penyusunan strategi untuk menilai satu
rangkaian trendan juga tren individual dalam mengevaluasi strategi. Suatu strategi
harus mewakili respons yang adaptif pada lingkungan eksternal dan pada
perubahan kritis yang terjadi di dalamnya. Kesulitan dalam menyesuaikan antara
faktor internal dan eksternal utama dalam perumusan strategi perusahaan adalah
disebabkan oleh sebagian besar tren yang merupakan hasi interaksi dengan tren
lainnya. Sebagai contoh menjamurnya tempat penitipan anak terjadi karena hasil
kombinasi berbagai tren yang meliputi meningkatnya tingkat pendidikan ratarata,
meningkatnya inflasi, dan meningkatnya jumlah wanita dalam angkatan kerja.
Meskipun tren ekonomi tunggal atau tren demografis mungkin muncul dengan
stabil untuk beberapa tahun, terdapat gelombang perubahan yang terjadi di tingkat
interaksi.
3. Kelayakan tes akhir dari suatu evaluasi strategi adalah kelayakan yaitu
mengenai “Bisakah strategi dicapai dengan sumber daya fisik, manusia, dan
keuangan yang ada dalam perusahaan?”
Sumber daya keuangan dari suatu bisnis paling mudah untuk dihitung dan
biasanyamerupakan keterbatasan pertama saat strategi dievaluasi. Hal tersebut
kadang terlupakan, namun demikian, pendekatan inovatif pada keuangan biasanya
dimungkinkan. Mekanisme seperti anak perusahaan, pengaturan,
penjualanpeminjaman kembali, dan mengikat jaminan pabrik dengan kontrak
jangka panjang telah digunakan secara efektif untk mendapatkan posisi kunci
dalam industri yang sedang berkembang. Keunggulan suatu strategi harus
memfasilitasi pembuatan dan/atau pemeliharaan dari sebuah keunggulan
kompetitif dalam area aktifitas yang terpilih. Keunggulan kompetitif biasanya
merupakan hasil dari superoritas dalam satu dari tiga area berikut ini:
(1) sumber daya,
(2) keahlian,
(3) posisi.
Posisi juga dapat digunakan dalam peranyang menentukan di strategi perusahaan.
Sekali diperoleh, posisi yang bagus dapat dipertahankan artinya untuk
mendapatkan posisi tersebut lawan membutuhkan biaya yang sangat besar
sehingga tidak berani melakukan serangan dalam skala besar. Keunggulan dari
segi posisi biasanya terpelihara secara otomatis selama faktor internaldan
lingkungan utama yang mendasarinya tetap stabil. Karkteristik utama dari
posisiyang bagus adalah ia memungkinkan perusahaan untuk meraih keunggulan
dari kebijakan yang tidak memberi keunggulan bagi lawan diposisi yang sama.
Oleh karena itu, dalam mengevaluasi strategi, organisasi harus memeriksa
karakteristik dari keunggulan posisional yang berkaitan dengan strategi yang
dipilih. Prinsip Pelaksanaan Pengawasan dan Evaluasi Pelaksanaan pengawasan
dan evaluasi dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
(1) kejelasan tujuan dan hasil yang dicapai dari monitoring dan evaluasi;
(2) pelaksanaan dilakukan secara obyektif
(3) dilakukan oleh petugas yang memahami konsep,teori, proses serta
berpengalaman dalam melaksanakan pengawasan dan evaluasi agar hasilnya sahih
dan handal
(4) pelaksanaan dilakukan secara transparan, sehingga pihak bersangkutan
mengetahui hasilnya dan hasilnya dapat dilaporkan kepada stakeholders (pihak
berkepentingan/ pihak berkewenangan) melalui berbagai cara.
(5) melibatkan berbagai pihak yang dipandang perlu dan berkepentingan secara
proaktif (partisipatif)
(6) pelaksanaannya dapat dipertanggungjawabkan secara internal maupun
eksternal (akuntabel),
(7) mencakup seluruh obyek agar dapat menggambarkan secara utuh kondisi dan
situasi sasaran monitoring dan evaluasi yang komprehensip
(8) pelaksanaan dilakukan sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan dan
padasaat yang tepat agar tidak kehilangan momentum yang sedang terjadi
(9) dilakukan secara berkala dan berkelanjutan
(10) berbasis indikator kinerja, dan
(11) dilakukansecara efektif dan efisien, artinya target monitoring dan evaluasi
dicapai dengan menggunakan sumberdaya yang ketersediaannya terbatas dan
sesuai dengan yang direncanakan.
Pengawasan dan evaluasi strategi juga sangat membantu, karena dengan
pengawasan dan evaluasi akan membantu dalam proses implementasi strategi agar
sesuai dengan rumusan strategi yang telah dirumuskan, proses utama evaluasi
strategi adalah menentukan apa yang harus diukur, melakukan pengukuran atas
kinerja aktual serta membandingkan kinerja aktual dengan standart yang telah
dibuat. Ada tiga krakter utama agar suatu evaluasi tidak berlangsung sia-sia yaitu
economical, aspek yang bermakna, dan tepat waktu. Pengawasan utama adalah
kinerja keuangan, beberapa model pengukuran kontemporer bisa menggunakan
pengukuran yang mendorong kinerja dimana hal ini meliputi prespektif
pelanggan, prespektif bisnis internal, prespektif inovasi dan pembelajaran, serta
prespektif financial.
2. Umpan Balik (Feed Back)
Manajer puncak dan manajer operasional perlu menetapkan proses implementasi
dan hasil-hasil yang akan dipantau dan dievaluasi. Beberapa faktor internal dan
eksternal dapat menghambat perusahaan untuk mencapai tujuan jangka panjang
dan tujuan tahunannya. Secara eksternal, tindakan para pesaing, perubahan
permintaan, perubahan teknologi, perubahan ekonomi, perpindahan demografi
dan tindakan pemerintah dapat menghambat pencapaian tujuan organisasi. Secara
internal, strategi yang tidak efektif mungkin dipilih atau implementasinya yang
buruk mungkin dilakukan. Oleh karena itu, kegagalan untuk mencapai tujuan
mungkin saja bukan merupakan hasil dari pekerjaan manajer dan pegawai yang
tidak memuaskan. Seluruh anggota organisasi perlu mengetahui hal ini untuk
mendorong timbulnya dukungan mereka terhadap aktivitas evaluasi strategi.
Organisasi berusaha secepat mungkin saat dimana strategi mereka tidak efektif.
Peluang dan ancaman eksternal serta kekuatan dan kelemahan internal yang
mewakili prinsip dasar strategi yang sedang dipakai harus terus menerus
dimonitor untuk mewaspadai perubahan. Apakah faktor-faktor tersebut akan
berubah bukanlah hal penting untuk ditanyakan, namun yang lebih penting adalah
kapan dan bagaimana ia berubah.
Umpan balik merupakan proses yang penting dalam organisasi. Armstrong (2009)
menyatakan bahwa umpan balik terhadap individu mengenai bagaimana mereka
bekerja adalah salah satu hal yang penting dalam manajemen kinerja. Umpan
balik adalah penyediaan informasi tentang bagaimana kinerja mereka dalam hal
hasil, kejadian, insiden. kritis, dan perilaku signifikan. Umpan balik bisa menjadi
positif jika memberi tahu orang bahwa mereka telah melakukan sesuatu dengan
baik, konstruktif jika memberi saran bagaimana melakukan sesuatu dengan lebih
baik, dan negatif jika mengatakan bahwa mereka telah melakukan sesuatu dengan
buruk (Armstrong, 2009). Umpan balik memperkuat perilaku efektif dan
menunjukkan di mana dan bagaimana perilaku perlu diubah. Manajemen kinerja
memiliki karakteristik suatu sistem karena menyediakan informasi untuk
ditampilkan (umpan balik) kepada orang-orang dalam pekerjaan mereka, yang
membantu mereka memahami seberapa baik kinerjanya dan seberapa efektif
perilaku mereka. Individu dapat didorong untuk memahami ukuran kinerja yang
tersedia agar dapat mereka gunakan untuk memberi umpan balik kepada diri
sendiri dan mengembangkan rencana mereka untuk meningkatkan ataupun
perbaikan kinerja. Namun, akan selalu ada kebutuhan terhadap para manajer,
rekan kerja dan, kadang-kadang, penasihat internal atau eksternal untuk
memberikan umpan balik berdasarkan pengamatan dan pemahaman mereka
sendiri. Jika terdapat kesalahan dalam penilaian, mereka harus diperlakukan
sebagai kesempatan untuk belajar sehingga tidak terulang di masa depan.
Manajemen kinerja berbasis bukti bergantung pada umpan balik yang
mengandalkan fakta bukan opini. Ini mengacu pada hasil, kejadian, insiden kritis,
dan perilaku signifikan yang memengaruhi kinerja dengan cara tertentu. Umpan
balik harus disajikan dengan cara yang memungkinkan individu mengenali dan
menerima sifat faktualnya. Lee (2005) juga menunjukkan bahwa walaupun
banyak orang rancu pada keduanya, umpan balik dan penilaian berbeda secara
fundamental. Umpan balik berbasis informasi, sedangkan dasar penilaian adalah
penghakiman atau evaluasi. Selanjutnya, umpan balik adalah kegiatan yang
sedang berlangsung, sedangkan penilaian bersifat periodik dan berbasis kejadian
(tahunan). Menurut Apruebo (2005:99),“Feedback is information that
athleteswould receivefrom coach/trainer or environment regardingthe levelof their
motorskill orperformance. It servesasa groun dwork fortheathletes learning
development”. Umpan balik menurut Apruebo lebih menekankan kepada aktivitas
latihan berkenaan dengan informasi dari pelatih terkait dengan tingkat motorskill
atau penampilan atletnya sebagai dasar dalam mengembangkan penampilan atlet.
Rink dan Judit E (1985:34) mengemukakan “Feedback is sensory information that
aperson receivesasa result of a response”. Umpan balik yang disampaikan oleh
Rink menyatakan bahwa umpan balik lebih bersifat umum dan dimaknai dengan
sensori informasi yang diterima oleh seseorang sebagai hasil respon atas informasi
yang diterima. Menurut Rusli Lutan (1988:300), “Umpan balik adalah
pengetahuan yang diperoleh berkenaan dengan sesuatutugas, perbuatan atau
respons yang telah diberikan”. Berdasarkan beberapa hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa umpan balik (feedback) adalah sebuah informasi yang
berhubungan dengan kemampuan manajemen dan pekerja untum semakin
meningkatkan kompetensi yang dimiliki oleh manajemen dan pekerja, dalam hal
konteks manajerial dalam pengelolaan karyawan untuk menjalankan
pekerjaannya. Infromasi yang dimaksud adalah berkaitan dengan apa yang sudah
dilakukan, bagaimana hasilnya, dan apa yang harus dilakukan untuk
memperbaikinya.
Richard Rumelt menemukan empat standar yang bisa dipakai untuk mengevaluasi
keberhasilan sebuah strategi, yaitu:
1. Konsistensi
Sebuah strategi seharusnya membuat tujuan dan kebijakan yang konsisten.
Konflik organisasi dan perbedaan antardepartemen merupakan gejala-gejala
ketidakpastian manajemen, namun masalah-masalah tersebut juga menunjukkan
sinyal adanya ketidak konsistenan strategis. Terdapat tiga panduan untuk
membantu menunjukkan apakah masalah organisasi merupakan hasil dari
ketidakkonsistenan dalam strategi:
 Jika masalah manajerial terus berlanjut meskipun telah terjadi pergantian
personel dan jika masalah tersebut cenderung lebih berbasis isu ketimbang
berbasis manusia, maka strategi mungkin tidak konsisten.
 Jika keberhasilan satu departemen dalam organisasi memiliki arti, atau
diintrepretasikan sebagai kegagalan departemen lain, maka strategi mungkin tidak
konsisten.
 Jika masalah dan isu kebijakan selalu dibawa ke atas untk mendapatkan
pemecahan, maka strategi mungkin tidak konsisten.
2. Konsonan
Mengacu pada kebutuhan penyusunan strategi untuk menilai satu rangkaian tren
dan juga tren individual dalam mengevaluasi strategi. Suatu strategi harus
mewakili respons yang adaptif pada lingkungan eksternal dan pada perubahan
kritis yang terjadi didalamnya. Kesulitan dalam menyesuaikan antara faktor
internal dan eksternal utama dalam perumusan strategi perusahaan adalah
disebabkan oleh sebagian besar tren yang merupakan hasi interaksi dengan tren
lainnya. Sebagai contoh menjamurnya tempat penitipan anak terjadi karena hasil
kombinasi berbagai tren yang meliputi meningkatnya tingkat pendidikan rata-rata,
meningkatnya inflasi, dan meningkatnya jumlah wanita dalam angkatan kerja.
Meskipun tren ekonomi tunggal atau tren demografis mungkin muncul dengan
stabil untuk beberapa tahun, terdapat gelombang petubahan yang terjadi di tingkat
interaksi.
3. Kelayakan
Tes akhir dari suatu evaluasi strategi adalah kelayakan yaitu mengenai “Bisakah
strategi dicapai dengan sumber daya fisik, manusia, dan keuangan yang ada dalam
perusahaan?” Sumber daya keuangan dari suatu bisnis paling mudah untuk
dihitung dan biasanya merupakan keterbatasan pertama saat strategi dievaluasi.
Hal tersebut kadang terlupakan, namun demikian, pendekatan inovatif pada
keuangan biasanya dimungkinkan. Mekanisme seperti anak perusahaan,
pengaturan, penjualan-peminjaman kembali, dan mengikat jaminan pabrik dengan
kontrak jangka panjang telah digunakan secara efektif untk mendapatkan posisi
kunci dalam industri yang sedang berkembang. Hal yang kurang dapat
diperhitungkan secara kuantitatif, namun juga biasanya bersifat lebih kaku,
membatasi pilihan strategis yaitu disebabkan oleh kemampuan individu atau
organisasi. Ketika mengevaluasi suatu strtaegi, penting untuk memeriksa apakah
organisasi tersebut telah menunjukkan adanya kemampuan, kompetensi, keahlian,
dan bakat dimasa lalu yang dibutuhkan untuk menjalankan strategi yang dipilih.
4. Keunggulan
Suatu strategi harus memfasilitasi pembuatan dan/ atau pemeliharaan dari sebuah
keunggulan kompetitif dalam area aktifitas yang terpilih. Keunggulan kompetitif
biasanya merupakan hasil dari superoritas dalam satu dari tiga area berikut ini:
(1) sumber daya,
(2) keahlian,
(3) posisi.
Posisi juga dapat digunakan dalam peran yang menentukan di strategi perusahaan.
Sekali diperoleh, posisi yang bagus dapat dipertahankan artinya untuk
mendapatkan posisi tersebut lawan membutuhkan biaya yang sangat besar
sehingga tidak berani melakukan serangan dalam skala besar. Keunggulan dari
segi posisi biasanya terpelihara secara otomatis selama faktor internal dan
lingkungan utama yang mendasarinya tetap stabil. Karkteristik utama dari posisi
yang bagus adalah ia memungkinkan perusahaan untuk meraih keunggulan dari
kebijakan yang tidak memberi keunggulan bagi lawan di posisi yang sama. Oleh
karena itu, dalam mengevaluasi strategi, organisasi harus memeriksa karakteristik
dari keunggulan posisional yang berkaitan dengan strategi yang dipilih.18 Umpan
balik diberikan ketika memang diperlukan, pada situasi dimana pegawai/karyawan
“terbuka” untuk menerimanya, dan sebaiknya pada saat atau sedini mungkin
setelah proses pembelajaran berlangsung. Agar umpan balik berlangsung efektif,
dosen harus mampu membangun dialog dengan pimpinan dan bawahan
(karyawan) dalam suasana yang positif. Oleh karena itu, pimpinan dan karyawan
perlu membangun pemahaman dan komunikasi yang baik, sikap saling
menghargai dan percaya. Umpan balik perlu diberikan tertutup secara individual,
jika memungkinkan, terutama jika umpan balik akan banyak membahas tentang
hal negatif dari performa pegawai/karyawan. Dosen perlu menghindari pemberian
umpan balik negatif di hadapan orang lain selain pegawai/karyawan yang
bersangkutan, terutama pasien. Serta fokuskan pembahasan pada sikap atau
tingkah laku pegawai/karyawan, dan bukan pada personalitasnya. Gunakan kata
‘saya’ dan berikan pendapat mengenai sikap atau tingkah laku pegawai/karyawan
yang perlu diperbaiki secara spesifik. Saat melakukan anamnesis tadi karyawan
berada pada posisi berdiri sedangkan pasien dalam posisi duduk. Posisi berdiri
menunjukkan posisi lebih berkuasa, dan hal ini dapat membawa ketidaknyamanan
bagi bawahan, daripada mengatakan pimpinan tampak menunjukkan sikap
superioritas terhadap karyawan.
1. Fungsi Umpan Balik
Banyak ahli menyampaikan fungsi umpan balik dalam berbagai versi sesuai
konteksnya. Fungsi feedback salah satunya adalah untuk menyampaikan motivasi,
reinforcement (Harsono,1988:89) atau punishment (Rusli Lutan, 1988; Apruebo,
2005). Penjelasan yang terjadi tentang kemampuan karyawan, apabila
keunggualan dan kelemahan karyawan dibandingkan dengan karyawan yang lain,
akan dapat membuat karyawan memacu ririnya untuk melakukan yang terbaik
dari yang bisa dilakukannya. Kondisi kemampuan yang dimiliki karyawan akan
menjadi sebuah daya untuk mendorong jika manajer dapat menyampaikan pesan
dengan tepat. Hal itu dapat dilakukan melalui pemberian stimulus kerja agar
karyawan semakin rajin bekerja. Dalam konteks manajerial produksi, umpan balik
juga sebagai penguatan atas tindakan atau perilaku yang sudah dilakukan
karyawan. Jika perilaku karyawan itu sesuai dengan harapan manajer maka hal itu
harus diperkuat untuk tetap dipelihara. Sebaliknya jika perilaku itu tidak sesuai
dengan harapan manajer maka harus ada hukuman (punishment) agar perilaku itu
tidak terjadi dan terulang kembali, dan perilaku itu mengarah pada tindakan yang
sesuai dengan harapan manajer atau perusahaan. Menurut Apruebo (2005:100)
umpan balik juga merupakan penguatan (reinforcement). Apruebo menyatakan
bahwa “Reinforcement means any event that increase the probability that
aparticular responsewillre occurunder similar consequences”. Reinforcement
merupakan pemberian penguatan atas aktivitas yang telah dilaksanakan, sehingga
kegiatan tersebut mampu dipertahankan dan memberikan respon yang sama pada
kegiatan berikutnya bahkan dapat meningkat. Penghargaan kepada karyawan
dapat diberikan berupa ungkapanungkapan pujian, sehingga tidak selalu
memberikan dalan bentuk benda sebagai reward.
2. Berbagai Macam Umpan Balik (Feedback)
Umpan balik menurut Apruebo (2005) dibagi menjadi dua macam yakni umpan
balik intrinsik dan umpan balik ektrinsik. Intrinsic feedback atau umpan balik
intrinsik berhubungan tentang pengukuran nilai kepada individu tersebut
mengenai karakter, sifat, kegiatan yang biasa diambilnya dan juga mengenai
bagaimana kapabilitas yang dimilikinya. Contoh saja ketika melakukan suatu
tugas, kegiatan yang dilaksanakan cocok terhadap apa yang diperintahkan atau
tidak, terselesaikankah semua serangkaian kegiatan tersebut, kemudian bagaimana
yang dirasakan ketika menggunakan peralatan atau mengukur tentang keseluruhan
pekerjaan yang sistematis dengan susunan kegiatan yang harus dilaksanakan. Di
sisi lain untuk pengertian dari umpan balik ekstrinsik yang muncul selain dari
dalam individu tersebut. Contoh perbaikan yang berasal dari bos terhadap
kegiatan yang telah dilaksanakan, celaan dari teman sekantor. Feedback menurut
Butler (1996 dalam Apruebo 2005) bisa berbentuk pengetahuan terhadap akibat,
pengukuran secara objektif, pengendalian diri, penilaian dan memutar kembali
video. Pendapat yang lain mengenai macam bentuk umpan balik dikemukakan
oleh Adang Suherman (1998:124) sebagai berikut :
1. General dan Specific Feedback, General feedback atau umpan balik secara
general contohnya berhubungan terhadap kegiatan secara general. Umpan balik
umum dipakai dengan tujuan dapat meningkatkan pembelajaran bagi karyawan
agar bisa lebih baik. Umumnya umpan balik diberikan dalam bentuk kata,
misalnya : baik, keren, menakjubkan. Pemberian kata tersebut masih terlihat
general, akibatnya belum bisa memberikan pengetahuan yang khusus kepada
pegawai agar dapat meningkat kapabilitas dan bersikap lebih terampil. Specific
feedback ini menimbulkan pegawai memiliki pengetahuan terhadap apa yang
seharusnya dia laksanakan. Umpan balik ini dikasihkan kepada pegawai yang
sadar dengan perbuatan salah yang telah dilakukannya namun tidak mengetahui
bagaimana cara mengatasinya.
2. Congruent dan Incongruent feedback, Congruent feedback merupakan umpan
balik yang fokus terhadap kegiatan karyawan yang sedang dikerjakan karyawan.
Sedangkan yang berhubungan dengan bagian detail dari pekerjaan itu, disebut
sebagai incongruent feedback.
3. Simple Feedback, Simple feedback yaitu umpan balik yang memperhatikan
pada sisi ketrampilan di suatu waktu. Simple feedback terdiri dari beberapa
keywords yang menunjukkan kegiatan akhir dan dilakukan berkali-kali terhadap
kegiatan yang sedang dilakukan. Manfaat diterapkannya simple umpan balik yaitu
bos atau pimpinan dapat dengan gampang dan detail untuk menyampaikan
feedbacks disebabkan lebih focus pada suatu bagian tertentu dan lebih mudah pula
pegawai untuk belajar dan mencoba menerapkan perbaikan yang diterima agar
pekerjaan dapat terselesaikan dengan sempurna serta pegawai dapat selalu
mengaplikasikannya terhadap pekerjaan yang dilakukannya.
4. Positif, Netral, dan Negatif Feedback. Jenis umpan balik yang lain
dikemukakan oleh Suherman (1998:126) yaitu umpan balik positif, umpan balik
netral, dan umpan balik negatif. Ketiga jenis umpan balik ini paling sering
dijumpai dalam kegiatan pekerjaan karyawan dalam lingkungan perusahaan.
Umpan balik positif adalah umpan balik yang diungkapkan dengan kata-kata
bagus, menyenangkan, pintar, menarik, dan hebat. Umpan balik netral adalah
umpan balik yang tidak merujuk secara khusus kepada karyawan yang melakukan
kesalahan, tetapi secara netral mengingatkan kepada seluruh karyawan yang
sedang melakukan pekerjaan tersebut. Umpan balik negatif adalah lawan dari
umpan balik positif. Meskipun jarang dianjurkan, karena dikhawatirkan akan
merusak kepercayaan diri karyawan, tetapi pemberian negatif feedback dapat
dilakukan dengan cara implisit (tidak langsung); diberikan pada karyawan yang
tidak mengerti setelah beberapa kali diberikan umpan balik; diberikan pada
karyawan yang tidak memperhatikan penjelasan atasan atau manajernya.
Pemberian jenis umpan balik harus disesuaikan dengan kebutuhan karyawan.
Kebutuhan karyawan terkait dengan tingkat perkembangan psikososial karyawan.
Pemberian umpan balik yang sesuai dengan kebutuhan karyawan dapat
mengurangi dampak negatif tersebut. Fungsi umpan balik adalah membantu
karyawan untuk menilai penampilan yang tidak dapat dilihat dan dirasakan oleh
dirinya sendiri (Suherman,1998). Fungsi umpan balik yang lain yang paling sering
digunakan adalah sebagai alat untuk memotivasi karyawan. Dalam ungkapan yang
singkat Rink (1985:35) mengemukakan “Feedback often serves as motivational
function”. Ungkapan yang sama dikemukakan oleh Rink (1985:34), “Feedback
servethree functions: (1) informing, (2) reinforcing, dan (3) motivating.
Maksudnya umpan balik itu memiliki tiga fungsi yaitu pemberitahuan atau
informasi, penguatan, dan motivasi.
5. Umpan balik Sistem Pakar, Cara lain adalah dengan menggunakan sistem
umpan balik sistem pakar. Sistem ini dibangun dengan mengekstrak pengetahuan
yang relevan dari pakar manusia dan menghasilkan 'aturan praktis' untuk
menangani situasi tertentu (Armstrong, 2009). Sistem pakar memberikan panduan
kepada para manajer tentang bagaimana menghadapi berbagai jenis orang dan
situasi yang akan mereka hadapi saat melakukan tinjauan kinerja yang melibatkan
pemberian umpan balik.
3. Penghargaan
Penghargaan (Reward) adalah ganjaran, hadiah, atau imbalan. Dalam konsep
manajamen penghargaan (reward) merupakan salah satu alat untuk meningkatkan
motivasi para karyawan, metode ini bisa juga mengasosiasikan perbuatan dan
kelakuan seseorang dengan perasaan bahagia senang dan biasanya akan membuat
mereka melakukan suatu perbuatan yang berulang-ulang, selain motivasi
penghargaan (reward) juga bertujuan agar seseorang menjadi giat lagi usahanya
untuk memperbaiki dan meningkatkan prestasi yang telah dapat dicapainya.
Menurut Kreitner dan Kinichi (2014) dalam sistem penghargaan (reward)
organisasi, ada 3 kriteria umum antara lain sebagai berikut:
a. Prestasi hasil. Hasil yang nyata dari prestasi individu, kelompok atau organisasi
kuantitas atau kualitas prestasi.
b. Prestasi tindakan dan perilaku Dalam bentuk kerja tim kerjasama, pengambilan
risiko, kreativitas.
c. Pertimbangan selain prestasi
Menurut kebiasaan atau menurut kontrak, dimana jenis pekerjaan, sifat pekerjaan,
persamaan, ketekunan, tingkat dalam hirarki dan sebagainya diberi penghargaan.
Menurut Ivancevich dkk (2010) Tujuan utama dari program penghargaan
(Reward) yang diberikan pada tiap individu mempunyai alasan dan tujuan khusus.
Tujuan diberikannya penghargaan (reward) adalah:
a. Menarik orang yang memiliki kualifikasi untuk bergabung dengan organisasi
b. Mempertahankan karyawan agar terus datang untuk bekerja
c. Memotivasi karyawan untuk mencapai tingkat kinerja yang tinggi.
Penghargaan (reward) diklasifikasikan ke dalam dua kategori luas: ekstrinsik dan
intrinsik. Suatu penghargaan (reward) intrinsik didefinisikan sebagai penghargaan
(reward) yang diatur sendiri oleh seseorang. Hal tersebut menyediakan perasaan
puas atau terima kasih, sering kali pekerjaan dilakukan dengan baik. Suatu
penghargaan (reward) ekstrinsik, datang dari luar orang tersebut. Menerima pujian
dari supervisor merupakan penghargaan (reward) ekstrinsik, yaitu datang dari luar
orang lain terhadap orang tersebut. Baik penghargaan (reward) intrinsik atau
ekstrinsik sama-sama memiliki nilai tersendiri.
Menurut Ivancevich dkk (2010) penghargaan (reward) tersebut dapat dibagi ke
dalam 2 bagian, yaitu:
a. Penghargaan Ekstrinsik
1. Gaji dan Upah, Upah biasanya berhubungan dengan tarif gaji per jam yang
kerap digunakan bagi pekerja-pekerja produksi dan pemeliharaan. Sedangkan gaji
pada umumnya berlaku untuk tarif bayaran mingguan, bulanan atau tahunan
terlepas dari lamanya jam kerja yang kerap digunakan bagi karyawan-karyawan
staf profesional.
2. Tunjangan Karyawan, Tunjangan finansial utama karyawan dikebanyakan
organisasi kesempatan untuk berpartisipasi dalam rencana pensiun merupakan
penghargaan yang bernilai. Tunjangan karyawan seperti dana pensiun, perawatan
di rumah sakit, dan liburan, pada umumnya merupakan hal yang tidak
berhubungan dengan kinerja karyawan, akan tetapi didasarkan pada senioritas
atau catatan kehadiran.
3. Promosi Bagi banyak karyawan, promosi tidak sering terjadi, beberapa
karyawan tidak pernah mengalaminya selama karir mereka.Manajer menjadikan
penghargaan (reward) promosi sebagai usaha untuk menempatkan orang yang
tepat pada pekerjaan yang tepat.Kriteria yang sering kali digunakan untuk meraih
keputusan promosi adalah senioritas. Kinerja jika diukur dengan akurat, sering
kali memberikan pertimbangan yang signifikan dalam alokasi penghargaan
(reward) promosi.
b. Penghargaan Intrinsik
1. Penyelesaian (Completion), Kemampuan memulai dan menyelesaikan suatu
pekerjaan atau proyek merupakan hal yang penting bagi sebagian orang. Orang-
orang ini menilai apa yang mereka sebut sebagai penyelesaian tugas. Beberapa
orang memiliki kebutuhan untuk menyelesaikan tugas, dan efek penyelesaian
tugas seseorang merupakan suatu bentuk penghargaan (reward) bagi dirinya
sendiri. Kesempatan yang memungkinkan orang seperti ini menyelesaikan
tugasnya dapat memiliki motivasi efek yang kuat.
2. Pencapaian (Achievement), Pencapaian merupakan penghargaan (reward) yang
muncul dalam diri sendiri, yang diperoleh ketika seseorang meraih suatu tujuan
yang menantang.Mc Clelland menemukan bahwa terdapat perbedaan individual
ketika seseorang mencapai pencapaian.Sebagian orang mencari sasaran yang sulit
sementara yang lainnya cenderung untuk mencari sasaran yang umum dan mudah.
3. Otonomi (Autonomy), Sebagian orang menginginkan pekerjaan yang
memberikan hak untuk mengambil keputusan dan bekerja tanpa diawasi dengan
ketat. Perasaan otonomi dapat dihasilkan dari kebebasan melakukan apa yang
diangggap terbaik oleh karyawan dalam suatu situasi tertentu. Pada pekerjaan
yang terstruktur dan terkendali oleh manajemen, sulit untuk menciptakan tugas
yang mengarah pada otonomi.
4. Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth), Pertumbuhan pribadi dari setiap orang
merupakan pengalaman yang unik. Seseorang yang mengalami pertumbuhan
semacam itu bisa merasakan perkembangan dirinya dan bisa melihat bagaimana
kemampuannya dikembangkan. Dengan mengembangkan kemampuan, seseorang
mampu memaksimalkan atau setidaknya memuaskan potensi
keterampilan.Sebagian orang sering kali merasa tidak puas dengan pekerjaan dan
organisasi mereka jika tidak diizinkan atau didorong untuk mengembangkan
keterampilan mereka.
DAFTAR PUSTAKA

Badu , Syamsu Q , Novianty Djafri, Kepemimpinan dan Perilaku


Organisasi, Gorontalo : Ideas Publishing, 2017.

Bernhard Tewal, Adolfina, Merinda Ch. H. Pandowo, Hendra N. Tawas,


PERILAKU ORGANISASI, Manado : CV. PATRA MEDIA GRAFINDO, 2017.
http://repo.unsrat.ac.id/2299/1/full_buku.pdf. Diakses pada tanggal 1 November
2022

Eneng Iviq Hairo Rahayu , Suhardoyo, Iwan, UMPAN BALIK SISTEM


PAKAR SEBAGAI PENILAIAN KINERJA KARYAWAN PADA PT.
MULTISTRADA ARAH SARANA, TBK, 2019.
file:///C:/Users/Asus/Downloads/3211-10579-1-PB.pdf. Diakses pada Tanggal 1
November 2022

Gibson. Ivancevich. Donnelly. 1997. Organisasi, Perilaku, Struktur,


Proses: (Jijid 2; Edisi Kedelapan). Jakarta: Binarupa Aksara.

Susilo, Heru, MEMBANGUN PEMBERDAYAAN KARYAWAN DALAM


ORGANISASI,
https://www.academia.edu/10221703/pemberdayaan_perilaku_organisasi_.
Diakses pada tanggal 1 November 2022

Jovan Enos Rudi, Kekuasaan dan Pemberdayaan dalam Organisasi, 2013.


https://enosrudy-enru.blogspot.com/2013/07/kekuasaan-dan-pemberdayaan-
dalam.html. Diakses pada tanggal 1 November 2022

Kartono, Kartini. 1998. Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta: Graffindo.

Kusmana Danandjaya, Perilaku Individu Dalam Organisasi, 2020.


http://jurnal.uinbanten.ac.id/index.php/jlpn/article/view/3734/2749. Diakses pada
tanggal 1 November 2022

Mulyana, Deddy. 2005. Komunikasi Organisasi ; strategi Meningkatkan


kinerja Perusahaan. Bandung : Rosdakarya
Mutakallim, PENGAWASAN, EVALUASI DAN UMPAN BALIK
STRATEJIK, 2016. file:///C:/Users/Asus/Downloads/3489-Article%20Text-7447-
1-10-20170924.pdf. Diakses pada tanggal 1 November 2022

Nawawi, H. 2003. Kepemimpinan Mengefektifkan Organisasi.


Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Robbins, S.P. 2003. Perilaku Organisasi. Jilid 2. (Edisi 9). Jakarta: Indeks
Kelompok Gramedia.

Sari, Nur Aini Nilam, Makalah perilaku Organisasi : Persepsi.


https://www.academia.edu/10169745/Makalah_Perilaku_Organisasi_Persepsi.
Diakses pada tanggal 1 November 2022

Supartha , Wayan Gede , Sintaasih , Desak Ketut, Pengantar Perilaku


Organisasi: Teori, Kasus, dan Aplikasi Penelitian, Dendapasar : CV. Setia Bakti,
2017. https://id.b-ok.asia/book/5998584/995719/ Diakses pada tanggal 1
November 2022

Tuala, Riyuzen Praja, BUDAYA ORGANISASI DAN KEPEMIMPINAN


DILEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM, Bandar Lampung: Pusaka Media, 2017

Wijaya, Candra, Perilaku Organisasi, Medan : Lembaga Peduli


Pengembangan Pendidikan Indonesia (LPPPI), 2016.

Yani, David Ahmad, PENGARUH PENGHARGAAN DAN BUDAYA


ORGANISASI TERHADAP KINERJA KARYAWAN PADA PT. WIDYA
PRATAMA PERKASA. https://media.neliti.com/media/publications/470578-
none-9580ca4a.pdf. Diakses pada Tanggal 1 November 2022

Yukl, G. 1998. Kepemimpinan Dalam Organisasi (Leadership in


Organizations). Jakarta: Prenhallindo.

Anda mungkin juga menyukai