Anda di halaman 1dari 4

Nama : Amartyanto

NIM : D1A019046

MK : Hukum Acara Perdata

PELAKSANAAN FINAL OLEH PENEGAK HUKUM


TERHADAP PUTUSAN HUKUM YANG BERSIFAT
TETAP SETELAH TERJADI UPAYA HUKUM DALAM
HUKUM ACARA PERDATA

Putusan Pengadilan dinyatakan berkekuatan hukum tetap jika;

A. Dalam Putusan Perkara Perdata


Peninjauan kembali dalam perkara perdata diatur dalam UU No. 14
Tahun 1984 tentang Mahkama Agung yang selanjutnya diubah
menjadi dengan UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dalam Pasal 67
UU No.14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah UU No. 5 Tahun
2004 tentang Mahkamah Agung menyatakan sebagai berikut :

”Permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata yang telah


memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan hanya berdasarkan
alasan-alasan sebagai berikut:
a) apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu
muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus
atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana
dinyatakan palsu;
b) apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang
bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat
ditemukan;
c) apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih
dari pada yang dituntut;
d) apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa
dipertimbangkan sebab-sebabnya;
e) apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang
sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama
tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan
yang lain;
f) apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau
suatu kekeliruan yang nyata.”

Selanjutnya, Pasal 69 UU No.14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah


UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung menyatakan :

“Tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali yang


didasarkan atas alasan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 67 adalah
180 (seratus delapan puluh) hari untuk :

a) yang disebut pada huruf a sejak diketahui kebohongan atau tipu


muslihat atau sejak putusan Hakim pidana memperoleh kekuatan
hukum tetap, dan telah diberitahukan kepada para pihak yang
berperkara;
b) yang disebut pada huruf b sejak ditemukan surat-surat bukti, yang
hari serta tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah
dan disahkan oleh pejabat yang berwenang;
c) yang disebut pada huruf c, d, dan f sejak putusan memperoleh
kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak
yang berperkara;
d) yang tersebut pada huruf e sejak sejak putusan yang terakhir dan
bertentangan itu memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah
diberitahukan kepada pihak yang berperkara.”

B. Eksekusi Putusan Yang Berkekuatan Hukum Tetap (Inkracht).


Putusan yang berkekuatan hukum tetap adalah putusan Pengadilan
Negeri yang diterima oleh kedua belah pihak yang berperkara, putusan
perdamaian, putusan verstek yang terhadapnya tidak diajukan verzet
atau banding; putusan Pengadilan Tinggi yang diterima oleh kedua
belah pihak dan tidak dimohonkan kasasi; dan putusan Mahkamah
Agung dalam hal kasasi. Menurut sifatnya ada 3 (tiga) macam
putusan, yaitu:
1) Putusan declaratoir;
2) Putusan constitutief;
3) Putusan condemnatoir;

1) Putusan Declaratoir
Putusan deklarator atau deklaratif (declatoir vonnis) adalah
pernyataan hakim yang tertuang dalam putusan yang
dijatuhkannya. Pernyataan itu merupakan penjelasan atau
penetapan tentang sesuatu hak atau titel maupun status. Pernyataan
itu dicantumkan dalam amar atau diktum putusan.
Misalnya, putusan yang menyatakan ikatan perkawinan sah,
perjanjian jual beli sah, hak pemilikan atas benda yang
disengketakan sah atau tidak sah sebagai milik penggugat,
penggugat tidak sah sebagai ahli waris atau harta yang diperkarakan
adalah harta warisan penggugat yang berasal dari harta peninggalan
orang tuanya. Jadi, putusan deklarator berisi pernyataan atau
penegasan tentang suatu keadaan atau kedudukan hukum.

2) Putusan constitutief
Putusan konstitutif (constitutief vonnis) adalah putusan
yang memastikan suatu keadaan hukum, baik yang bersifat
meniadakan suatu keadaan hukum maupun yang menimbulkan
keadaan hukum baru.

Misalnya, putusan perceraian, merupakan putusan yang


meniadakan keadaan hukum, yakni tidak ada lagi ikatan antara
suami dan istri, sehingga putusan itu meniadakan hubungan
perkawinan yang ada dan berbarengan dengan itu timbul keadaan
hukum baru kepada suami dan istri sebagai janda dan duda.

Sebenarnya, hampir tidak ada batas antara putusan deklaratif


dengan konstitutif. Misalnya, putusan konstitutif yang menyatakan
perjanjian batal. Pada dasarnya, amar yang berisi pembatalan
perjanjian adalah bersifat deklaratif, yakni berisi penegasan
hubungan hukum atau keadaan yang mengikat para pihak dalam
perjanjian itu tidak sah dan oleh karena itu perjanjian itu dinyatakan
batal.

3) Putusan Kondemtator
Putusan kondemnator (condemnatoir) adalah putusan yang memuat
amar yang menghukum salah satu pihak yang berperkara. Putusan
yang bersifat kondemnator merupakan bagian yang tidak terpisah
dari amar deklaratif atau konstitutif.

Oleh karena itu dapat dikatakan amar kondemnator adalah asesor


(tambahan) dengan amar deklarator atau konstitutif, karena amar
tersebut tidak dapat berdiri sendiri tanpa didahului amar deklaratif
yang menyatakan bagaimana hubungan hukum di antara para pihak.
Sebaliknya amar yang bersifat deklaratif dapat berdiri sendiri tanpa
amar putusan kondemnator.
Oleh karena itu, amar putusan kondemnator:
a) Merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah dengan amar
deklaratif, sehingga amar deklarator merupakan conditio
sine qua non atau merupakan syarat mutlak untuk
menjatuhkan putusan kondemnator;
b) Penempatan amar deklarator dalam putusan yang
bersangkutan, mesti ditempatkan mendahului amar
kondemnator.

Sebagai contoh, dalam sengketa harta warisan di antara para ahli


waris. Amar kondemnator yang menghukum tergugat menyerahkan
dan melakukan pembagian harta warisan, harus didahului amar
deklarator yang menyatakan penggugat dan tergugat adalah ahli
waris, dan objek perkara adalah harta warisan pewaris serta
penguasaan tergugat adalah tanpa hak.

Tanpa didahului amar deklarator seperti itu, hakim tidak mungkin


menjatuhkan amar kondemnator yang menghukum tergugat
menyerahkan harta tersebut untuk selanjutnya menghukum mereka
melakukan pembagian harta warisan.

Suatu putusan yang hanya berisi amar deklarator tanpa dibarengi


amar kondemnator tidak besar manfaatnya, karena putusan yang
seperti itu tidak efektif menyelesaikan sengketa.

Selain itu, putusan demikian mengakibatkan tidak tuntasnya


sengketa, karena tanpa amar kondemnator, pelaksanaan atas
pemenuhan putusan tidak dapat dipaksakan melalui eksekusi,
apabila tergugat tidak mau melaksanakan putusan secara sukarela.

Anda mungkin juga menyukai