Anda di halaman 1dari 9

Nama : Jasmine Dama Felia

Nim : 010001900289
Tanggal : 17 Juni 2020
MataPelajaran : Logika Hukum

1. (a)​ Argumentasi hukum


Hal y yang dilakukan oleh Ustad Maheer itu termasuk dalam ajakan melakukan
tindakan perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran
terhadap undang-undang dan sangat memprovokasi ucapannya sangat provokatif.
Ustadz tersebut mengajak jamaahnya untuk membunuh Abu Janda atas dasar
ketidaksukaannya terhadap Abu Janda. Hal ini adalah tindakan delik dapat dipidana
atas Pasal 55 ayat 2 KUHP. Ucapan pembelaan yang diucapkan oleh Abu Janda
juga terdapat unsur penghinaan atas suatu agama, yang mana ia mengatakan
bahwa teroris menganut suatu agama dan agama itu adalah Islam. Abu Janda dapat
terjerat beberapa pidana dengan Pasal 156 KUHP jo. Pasal 28 ayat (2) UU ITE
berdasarkan ucapannya tersebut.

(b) Seperti domino effect, setiap ucapan buruk yang diucapkan oleh
seseorang terhadap orang lain pasti dipicu oleh suatu hal buruk yang dilakukan atau
diucapkan oleh orang yang dituju tersebut sehingga dapat menimbulkan hal-hal
seperti demikian. Seperti yang kita tahu bahwa memang Abu Janda kerap
menimbulkan kontroversi atas ucapan-ucapannya yang kurang menggenakkan dan
dapat menyinggung orang lain, maka itu menyenyebabka ia memicu orang lain
melakukan atau menyampaikan perkataan buruk.

(d) Bagi Ustadz Maheer, ia dapat terjerat ​Pasal 55 ayat (2) KUHP yang
berbunyi “mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesautu,denagn
menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan ancaman atau
penyesatan atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja
menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan”.
Sedangkan, Abu Janda dapat dipidana ​Pasal 156 KUHP berbunyi, "Barang
siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau
penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam
dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak
Rp 4.500​” juga Pasal 28 ayat (2) UU ITE “dengan sengaja dan tanpa hak
menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau
permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku,
agama, ras, dan antargolongan (SARA)”.
2. (a) ​Jelaskan kerangka Analitis tentang Legal Reasoning

● ​Reasoning melalui contoh


Pola dasar legal reasoning adalah reasoning melalui contoh. Namun dalam
pelaksanaannya terdapat beberapa hal yang menjadi bahan perdebatan di antara
pada ahli hukum terutama di negara yang menganut case law (common law).
Pembatasan terhadap kebebasan para Hakim untuk tidak keluar dari contoh legal
reasoning yang di peroleh dari pengadilan terdahulu. Hal ini oleh para ahli hukum di
Amerika Serikat sebagai membatasi kebebasan para hakim untuk menggunakan
kemampuannya untuk melihat kasus yang di adilinya. Akibat doktrin yang kaku ini
para hakim seakan kehilangan kebebasannya untuk mencari perbedaan di dalam
suatu kasus dengan kasus-kasus yang sudah diputuskan terdahulu. Dalam
perkembangan teori hukum para ahli mengharapkan bahwa hakim tidak hanya
berupaya melihat kasus melalui “mata” para pendahulunya, akan tetapi juga harus
dapat melihat kasus yang diadilinya melalui matanya sendiri. Di negara yang yang
menganut sistem hukum common law seperti Amerika Serikat dan Inggris juga
terjadi perdebatan mengenai penerapan legal reasoning yang didasarkan pada
doktrin “stare decisis” yang mewajibkan para hakim untuk tetap mengacu kepada
preseden dari kasus terdahulu. Di Inggris, Prof. Montrose misalnya telah
menyatakan secara explisit bahwa dalam kerangka analitis reasoning melalui
contoh, pandangan kebanyakan hakim di Inggris, terutama pada dekade akhir-akhir
ini, adalah bahwa praktek peradilan Inggris modern membatasi kebebasan hakim
Inggris untuk mengesampingkan reasoning yang diajukan oleh pengadilan
terdahulu. Sementara Mr. Cross menyatakan keberatannya bahwa akibat dari
penerapan doktrin preseden tersebut secara kaku adalah bahwa hakim-hakim sering
harus melihat hukum melalui mata para pendahulunya. Selanjutnya ia mengatakan
bahwa ia tidak sepakat bahwa tugas hakim di Amerika hanya untuk melihat hukum
sebagai suatu yang tetap secara keseluruhan, dan menurutnya melihat hukum
melalui matanya sendiri dan bukan melalui mata para pendahulunya tidak akan
membawa kepada pola yang secara dominan merupakan penolakan dari reasoning
yang diajukan oleh hakim terdahulu atau membuat perbedaan apabila tidak terdapat
alasan untuk membedakan peristiwa yang terjadi.

● ​Reasoning Kasus per Kasus


Legal reasoning yang telah tersusun melalui kasus yang sudah diputuskan oleh
hakim terdahulu diikuti oleh hakim yang mengadili kasus yang terjadi sesudahnya
dengan kegiatan mencari dan membangun legal reasoning secara kasus per kasus.
Jadi meskipun telah terjadi suatu kasus yang sejenis berkali-kali, namun dalam
menyusun argumentasi di dalam opininya, hakim harus mendasarkan legal
reasoning secara khusus untuk setiap kasus tertentu.
(b) ​Legal Reasoning Dalam Penyusunan Konsep Hukum?

Ada berbagai pihak yang menyatakan keberatannya bahwa analisis legal reasoning
ini terlalu banyak menekankan kepada perbandingan antara suatu kasus dengan
kasus yang lainnya dan sedikit sekali penekanan kepada penciptaan konsep-konsep
hukum (legal concepts). Memang benar bahwa persamaan antara suatu kasus
dengan kasus lain adalah terlihat dalam susunan kata-kata, dan ketidakmampuan
untuk mengungkapkan kesamaan atau perbedaan akan menghambat perubahan
hukum. Kata-kata yang ditemukan di dalam suatu putusan kasus di masa lalu
mempunyai ketetapannya sendiri dan mengendalikan keputusan yang telah diambil
itu.

Dalam penyusunan konsep hukum berdasarkan legal reasoning ini terjadi lingkaran
konsepsi hukum sebagai berikut
● Tahap yang pertama adalah penciptaan konsep hukum yang terjadi yaitu
dengan membandingkan suatu kasus dengan kasus-kasus yang lain
● Tahap yang kedua adalah periode di mana konsep tersebut sedikit
banyaknya menjadi suatu yang tetap, meskipun reasoning melalui contoh
terus berlangsung untuk mengklasifikasikan hal-hal yang ada di luar dan di
dalam konsep tersebut.
● Tahap ketiga adalah tahap di mana terjadi keruntuhan konsep tersebut,
apabila reasoning melalui contoh kasus telah bergerak ke depan dan
membuktikan bahwa ketetapan yang dibuat melalui kata-kata tidak lagi
diperlukan, dan dimulai lagi penciptaan konsep hukum yang baru, dan
kemudian mengalami reasoning kembali, demikian seterusnya yang terjadi
sebagai suatu lingkaran yang tak terputus.

(c)​ Peranan Interpretasi dalam Legal Reasoning​ ?


Pentingnya peranan interpretasi ini timbul dari berbagai dasar di antaranya, bahwa
interpretasi merupakan suatu sarana yang harus digunakan untuk mencari
penyelesaian, atau setidaknya untuk mencari jawaban yang dapat disampaikan
terhadap suatu problem ketidakpastian bahasa dalam menentukan pengertian
perundang-undangan. Jika suatu kata atau kalimat di dalam perundang-undangan
tidak mempunyai arti yang tepat dan karena itu tidak dapat dijadikan suatu dasar
hukum melalui proses legal reasoning, maka haruslah ada pihak yang menjadi
penafsirnya yang memberi arti melalui proses interpretasi. Ada beberapa jenis
penafsiran yang ada dalam sistem hukum di Indonesia, yaitu

a. Penafsiran penambah
Akan tetapi terdapat pula pendapat yang menyatakan bahwa penafsiran terhadap
undang-undang diperlukan, yaitu apabila teks undang-undang mengandung arti
yang samar-samar, penafsiran yang utama ada di dalam penjelasan undang-undang
itu sendiri.

b. Penafsiran pelengkap
Kelengkapan yang dituju di bidang hukum tidak mungkin keseluruhannya ditentukan
oleh undang-undang, Untuk itu diperlukan pencapaian untuk sampai kepada
pengertian undang-undang yang sesungguhnya sehingga benar-benar dimengerti
bagaimana undang-undang tersebut berfungsi dalam kehidupan. Ilmu hukum bukan
suatu sistem yang tertutup melainkan merupakan sistem yang terbuka bagi
pertimbangan-pertimbangan baru. Suatu penafsiran pelengkap didapatkan melalui
suatu penelitian di lapangan, untuk mendapat informasi tambahan bagi suatu
penafsiran yang tepat, karena mustahil bagi pembuat undang-undang untuk
memikirkan semua situasi yang dapat muncul.

c.Penafsiran budaya
penafsiran budaya, yaitu penafsiran perkara/ kasus di bawah pengaruh keyakinan
suatu masyarakat tertentu yang bukan bersifat politis akan tetapi bersifat sosial etis,
yang menentukan apakah suatu perkara/ kasus atau masalah merupakan hal yang
layak di masyarakat tertentu. Keberatan terhadap teori ini adalah bahwa keyakinan
sosial etis sudah ada sebelum adanya ketentuan hukum atau argumen-argumen
yuridis yang cocok. Oleh karena itu, keyakinan-keyakinan sosial etis itu harus
digabungkan dengan argumen yuridis murni, agar dapat menjadi argumen yang
meyakinkan, dengan demikian argumen tersebut tidak subjektif lagi, dan menjadi
penafsiran yuridis yang lay
3. (a)​ Peranan Koherensi dalam Legal Reasoning
Dalam penafsiran hukum berbicara dengan satu suara dengan integritas
mengharuskan adanya nilai yang mempunyai hubungan yang relevan dengan
kenyataan hukum, dalam arti bahwa ia mempunyai peranan dalam memandu hakim
untuk mencapai suatu keputusan yang adil. Harus diperhatikan pula bahwa
ketentuan-ketentuan hukum seperti doktrin preseden, argumen dari analogi, dan
keharusan memperlakukan suatu kasus sama seperti kasus sebelumnya tampaknya
diperkuat melalui beberapa penjelasan tentang koherensi.

(b) ​Preseden dan analogi dalam Legal Reasoning

Analogi sebagai argumen dalam legal reasoning adalah bahwa suatu kasus
harus diperlakukan dengan suatu cara tertentu karena dengan cara itu pula
kasus yang serupa telah diperlakukan. Argumen dengan analogi ini menjadi
tambahan bagi doktrin preseden dalam dua hal yaitu :
● analogi digunakan apabila fakta-fakta dalam suatu kasus tidak masuk
dalam ratio suatu preseden, untuk dapat digabungkan hasilnya dalam
kasus yang sama.
● analogi digunakan apabila fakta- fakta dalam suatu kasus masuk ke
dalam ratio suatu preseden, sebagai dasar untuk membedakan kasus
yang sedang ditangani dari preseden yang ada.

(c) ​Teori Kebenaran

Terdapat tiga teori untuk menakar kebenaran hukum, yaitu korespondensi,


koherensi dan pragmatisme. Kebenaran hukum tersebut lebih cenderung dinilai
sesuai dengan persepsi sudut pandangan masing-masing, kebenaran hukum akan
dinilai sesuai dengan standart ukuran yang ada pada dirinya

● Teori Korespondensi (The Correspondence Theory of Thruth) memandang


bahwa kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan tentang sesuatu
dengan kenyataan sesuatu itu sendiri.
● Teori Koherensi/Konsistensi (The Consistence/Coherence Theory of Truth)
memandang bahwa kebenaran ialah kesesuaian antara suatu pernyataan
dengan pernyataan-pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu diketahui,
diterima dan diakui sebagai benar.
● Teori Pragmatis (The Pragmatic Theory of Truth) memandang bahwa
“kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan
tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis” dengan kata lain, “suatu
pernyataan adalah benar jika pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis
dalam kehidupan manusia”

(d) ​Penalaran hukum


adalah penerapan prinsip berpikir lurus dalam memahami prinsip, aturan, data,
fakta, dan proposisi hukum. Dalam penarikan kesimpulan secara valid dari berbagai
data, fakta, persoalan, dan proposisi hukum yang ada. Maka istilah ‘legal reasoning’
sejatinya tidak menunjukkan bentuk penalaran lain di luar logika, melainkan
penerapan asas-asas berpikir dari logika dalam bidang hukum itu sendiri. Dalam arti
ini tidak ada penalaran hukum tanpa logika (sebagai ilmu tentang kaidah berpikir
yang tepat dan valid) tidak ada penalaran hukum di luar logika. Penalaran hukum
dengan demikian harus dipahami dalam pengertian ‘penalaran (logika) dalam
hukum.
4. (a) ​Jelaskan kesalahan / kesesatan logika ( fallacy )

Falasi berasal dari fallacia atau falaccy dalam bahasa Yunani dan Latin yang
berarti ‘sesat pikir’. Falasi didefinisikan secara akademis sebagai kerancuan
pikir yang diakibatkan oleh ketidakdisiplinan pelaku nalar dalam menyusun
data dan konsep, secara sengaja maupun tidak sengaja.

Kesesatan adalah kesalahan yang terjadi dalam aktivitas berfikir karena


penyalahgunaan bahasa dan relevansi (materi). Kesesatan (fallacy)
merupakan bagian dari logika yang mempelajari beberapa jenis kesesatan
penalaran sebagai lawan dari argumentasi logis. Kesesatan karena
ketidaktepatan bahasa antara lain disebabkan oleh pemilihan terminologi
yang salah sedangkan ketidaktepatan relevansi bisa disebabkan oleh
pemilihan premis yang tidak tepat atau ​proses penyimpulan premis yang
tidak tepat.

​(b) ​Kesesatan formal & kesesatan material


Kesesatan formal adalah kesesatan yang dilakukan karena bentuk (forma)
penalaran yang tidak tepat atau tidak sahih. Kesesatan ini terjadi karena
pelanggaran terhadap prinsip-prinsip logika mengenai term dan proposisi dalam
suatu argumen.
Kesesatan material adalah kesesatan yang terutama menyangkut isi (materi)
penalaran. Kesesatan ini dapat terjadi karena faktor bahasa (kesesatan bahasa)
yang menyebabkan kekeliruan dalam menarik kesimpulan, dan juga dapat teriadi
karena memang tidak adanya hubungan logis atau relevansi antara premis dan
kesimpulannya (kesesatan relevansi). Setiap kata dalam bahasa memiliki arti
tersendiri, dan masing-masing kata itu dalam sebuah kalimat mempunyai arti yang
sesuai dengan arti kalimat yang bersangkutan. Maka, meskipun kata yang
digunakan itu sama, tetapi dalam kalimat yang berbeda, kata tersebut dapat
bervariasi artinya. Ketidakcermatan dalam menentukan arti kata atau arti kalimat itu
dapat menimbulkan kesesatan penalaran.

(c)​ Induksi & deduksi dalam legal reasoning


Induksi ​adalah cara berpikir untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum dari
kasus-kasus yang bersifat individual. Penalaran ini dimulai dari
kenyataan-kenyataan yang bersifat khusus dan terbatas dan diakhiri dengan
pernyataan yang bersifat umum. Secara singkat dapat dikatakan bahwa “Proses
berpikir induksi adalah berdasarkan proposisi khusus ke proposisi umum”. ​Contoh :
Besi dipanaskan memuai, Seng dipanaskan memuai , Emas dipanaskan
memuai. kesimpulan : Jadi, semua logam jika dipanaskan memuai.
Induksi merupakan cara berpikir di mana ditarik kesimpulan umum dari berbagai
kasus yang bersifat individual, selain itu metode induksi ialah cara penanganan
terhadap suatu objek tertentu dengn jalan menarik kesimpulan yang bersifat umum
atau bersifat lebih umum berdasarkan atas pemahaman atau pengamatan terhadap
sejumlah hal yang bersifat khusus.

Deduksi adalah kegiatan berpikir yang merupakan kebalikan dari penalaran induksi.
Deduksi adalah cara berpikir dari pernyataan yang bersifat umum menuju
kesimpulan yang bersifat khusus atau dengan kata lain “Proses berpikir deduksi
adalah berdasarkan proposisi umum ke proposisi khusus”. Logika deduksi
merupakan cara berpikir dimana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik
kesimpulan yang bersifat khusus, selain itu metode deduksi ialah cara penanganan
terhadap sesuatu objek tertentu dengan jalan menarik kesimpulan mengenai hal-hal
yang bersifat umum.

Deduksi proses penarikan kesimpulan yang bertolak dari proposisi universal sebagai
premis untuk sampai pada konklusi atau kesimpulan berupa proposisi universal,
partikular, atau singular.

5. (a) ​Validitas argumen

Validitas Argumen adalah premis-premis yang diikuti oleh suatu kesimpulan yang berasal
dari premis-premisnya dan bernilai benar. Jadi, validitas dapat dibedakan dengan
kebenaran dan kesimpulan. Jika satu atau lebih premis-premis salah, maka kesimpulan dari
argumen tersebut juga salah. Validitas juga dapat diartikan tidak mungkin kesimpulan yang
salah diperoleh dari premis-premis yang benar .

CONTOH VALIDITAS ARGUMEN

1. Semua mamalia adalah hewan berkaki empat


Semua manusia adalah mamalia
Dengan demikian, Semua manusia adalah hewan berkaki empat
Contoh diatas adalah argumen yang valid, tetapi dengan premis pertama yang bernilai
salah. Argumen tersebut tetap dianggap valid karena kesimpulannya tetap mengikuti
premis-premisnya.

2. Ada jenis makhluk hidup berkaki dua


Semua manusia adalah makhluk hidup
Dengan demikian, Semua manusia berkaki dua
Contoh diatas adalah argumen valid dan juga menghasilkan kesimpulan yang benar
karena mengikuti premis-premisnya.
jadi , ​apa yang disampaikan oleh Ali Baharsyah sebenarnya merupakan bentuk dari
kritikan atas sikap Presiden yang terlihat seperti tidak memprioritaskan upaya
pengurangan penyebaran virus corona dan memang dinilai kurang baik. Apalagi
selama ini penanganan penyebaran virus Corona di Indonesia sangat tidak efektif,
itu yang dapat disayangkan dari tindakan Presiden. Namun, meskipun Indonesia
merupakan negara demokrasi, ucapan kritik tetap harus sesuai dengan
norma-norma kemanusiaan, tidak sepatutnya seseorang berbicara kasar dan
menghina seorang kepala negara apalagi dapat dilihat dimuka umum. Hal ini, diatur
dalam Pasal 137 ayat (1) KUHP.

(B)​ Bagan wigmore


Metode Bagan Wigmore dikemukakan oleh Anderson dan Twinning (1991)
untuk kepentingan pendidikan hukum. Bagan wigmore dibuat agar kasus dan fakta
hukum yang terungkap dapat dipetakan dengan menggunakan nomor sehingga
dapat dilihat dengan mudah apakah bukti dan fakta hukum memadai untuk membuat
suatu keputusan apakah terdakwa benar terbukti bersalah secara sah dan
meyakinkan atau tidak.

Langkah-Langkah Penyusunan Bagan


a. Clarification of standpoint (Why is the chart being constructed), yaitu penjelasan
tentang pernyataan utama yang ingin dibuktikan atau statement dari sebuah kasus
b. The formulation of Ultimate Probanda, yaitu pembentukan tujuan akhir
pembuktian
c. The formulation of Penultimate Probanda, yaitu pembentukan unsur-unsur
pembuktian dari tindakan pidana yang sesuai dengan KUHP
d. The formulation of theory/ choice of preposition (Interm Probanda), yaitu
pembentukan dari toeri atau pilihan preposisi
e. Key List, pengungkapan daftar fakta
f. Chart, yaitu penyusunan bagan
g. Complete Analysis, yaitu penyampaian analasia selengkapnya

Sebagai contoh kasus pencurian yang dilakukan oleh X, oleh karena itu X dihukum
berdasarkan KUHP

Ultimate Probanda: X Mencuri Oleh Karena Itu X Dihukum Berdasarkan KUHP (1)
Penultimate Probanda (Unsur-Unsur Pembuktian Mencuri Sesuai Dengan KUHP):
- Barang milik orang lain (2)
- Dengan maksud untuk dimiliki (3)
- Secara melawan (4)
Key List. Penyampaian daftar fakta dari peristiwa pencurian yang dilakukan oleh X
(C) ​Pasal-pasal yang dilanggar tersangka
Barang siapa menyiarkan, mempertunjukan, atau menempelkan di muka umum
tulisan atau lukisan yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden,
dengan maksud supaya isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui oleh umum,
diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 137 ayat 1 kuhp

Anda mungkin juga menyukai