Anda di halaman 1dari 43

MAKALAH FIQIH MAWARIS

Dosen Pembimbing: Syamsul Amri M. Ag.

Disusun Oleh:
Haris Andika Arbi (0701193137)
Zul Attoriq(0701192086)
M. Chairul Azmi(0701192087)

PROGRAM STUDI ILMU KOMPUTER


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, yang melimpahkan rahmat
dan karunia-Nya disertai selawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW beserta
sahabatnya . Atas petunjuk dan lindungannyalah akhirnya kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah yang berjudul “Makalah FIQIH MAWARIS”. Penulisan
makalah ini merupakan salah satu tugas yang diberikan dalam mata kuliah Ushul
Fiqih di fakultas Sains dan Teknologi.
Dalam Penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan baik
pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki.
Untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan
makalah ini, khususnya kepada Dosen kami yang telah memberikan tugas dan
petunjuk kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini.

Medan, 04 November 2020

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................1
DAFTAR ISI...........................................................................................................2
BAB I - PENDAHULUAN....................................................................................4
A. Latar Belakang............................................................................................4
B. Rumusan Masalah.......................................................................................6
C. Tujuan Penulisan........................................................................................7
BAB II - PEMBAHASAN.....................................................................................8
A. Pengertian....................................................................................................8
B. Sumber Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia....................................10
1. Dalil-dalil yang bersumber dari al-Qur’an..............................................10
2. Dalil-dalil yang bersumber dari as-Sunnah.............................................11
C. Rukun, Syarat, Dan Azas–Azas Hukum Kewarisan.............................12
1. Rukun Kewarisan....................................................................................12
2. Syarat Kewarisan.....................................................................................14
3. Azas – Azas Hukum Kewarisan..............................................................18
D. Sebab dan Penghalang Kewarisan..........................................................24
1. Sebab-sebab Mendapatkan Warisan........................................................24
2. Penghalang Kewarisan............................................................................26
E. Derajat Ahli Waris....................................................................................31
1. Ashhabul furudh......................................................................................31
2. Ashabat nasabiyah...................................................................................31
3. Dikembalikan ke Ashhabul Furudh.........................................................31
4. Uulul Arhaam/kerabat.............................................................................32
5. Tambahan hak waris bagi suami atau istri..............................................32
6. Ashabah karena sebab.............................................................................32
7. Orang yang diberi wasiat lebih dari sepertiga harta pewaris..................32
8. Baitulmal (kas negara)............................................................................33
F. Pembagian Waris......................................................................................33
1. Ashhabul Furudh yang Berhak Mendapat Setengah...............................33
2. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Seperempat............................34
3. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Seperdelapan.........................34
4. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Bagian Dua per Tiga.............35
5. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Bagian Sepertiga...................36
6. Asbhabul Furudh yang Mendapat Bagian Seperenam............................37
BAB III – KESIMPULAN, SARAN, PENUTUP..............................................38
A. Kesimpulan................................................................................................38
B. Saran...........................................................................................................38
C. Penutup......................................................................................................39
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................40
LAMPIRAN..........................................................................................................37
 Diagram Waris.png.....................................................................................37
 Tabel Ahli Waris dan Bagian Waris KHI.pdf.............................................37
 Kompilasi Hukum Islam.pdf.......................................................................37
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Proses perjalanan kehidupan manusia adalah lahir, hidup dan mati. Semua
tahap itu membawa pengaruh dan akibat hukum kepada lingkungannya, terutama
dengan orang yang dekat dengannya. Baik dekat dalam arti nasab atau keturunan
atau kerabat maupun dalam arti lingkungan.
Kelahiran membawa akibat timbulnya hak dan kewajiban bagi dirinya dan
orang lain serta timbulnya hubungan hukum antara dia dengan orang tua, kerabat
serta masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
Demikian juga dengan kematian seseorang membawa pengaruh dan akibat
hukum kepada diri, keluarga, masyarakat dan lingkungan sekitarnya, selain itu,
kematian tersebut menimbulkan kewajiban orang lain bagi dirinya (si mayit) yang
berhubungan dengan pengurusan jenazahnya. Dengan kematian timbul pula akibat
hukum lain secara otomatis, yaitu adanya hubungan ilmu hukum yang
menyangkut hak para keluarganya (ahli waris) terhadap seluruh harta
peninggalannya.
Adanya kematian seseorang mengakibatkan timbulnya cabang ilmu hukum
yang menyangkut bagaimana cara penyelesaian harta peninggalan kepada
keluarganya yang dikenal dengan nama Hukum Waris. Dalam syari’at Islam ilmu
tersebut dikenal dengan nama Ilmu Mawaris, Fiqih Mawaris, atau Faraidh.
Di negara kita hukum waris yang berlaku secara nasional belum terbentuk,
dan hingga kini ada 3 (tiga) macam hukum waris yang berlaku dan diterima oleh
masyarakat Indonesia, yakni hulum waris yang berdasarkan hukum Islam, hukum
Adat dan hukum Perdata Eropa (BW), hal ini adalah akibat warisan hukum yang
dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda untuk Hindia Belanda dahulu.
Dalam praktek kehidupan sehari-hari, persoalan waris sering kali menjadi
krusial yang terkadang memicu pertikaian dan menimbulkan keretakan hubungan
keluarga. Penyebab utamanya ternyata keserakahan dan ketamakan manusia, di
samping karena kekurang-tahuan pihak-pihak yang terkait mengenai hukum
pembagian waris.

4
Hukum waris Islam merupakan bagian dari Syariat Islam yang sumbernya
diambil dari Al-Qur'an dan Hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
merupakan separuh pengetahuan yang dimiliki manusia sebagaimana ditegaskan
Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Mengkaji dan mempelajari
hukum waris Islam berarti mengkaji separuh pengetahuan yang dimiliki manusia
yang telah dan terus hidup di tengah-tengah masyarakat muslim sejak masa awal
Islam hingga abad pertengahan, masa kini serta di masa yang akan datang.
Hukum Kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang
berkenaan dengan peralihan hak dan atau kewajiban atas harta kekayaan
seseorang setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya. Dengan demikian,
dalam hukum kewarisan ada tiga unsur pokok yang saling terkait yaitu pewaris,
harta peninggalan, dan ahli waris. Kewarisan pada dasarnya merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari hukum, sedangkan hukum adalah bagian dari aspek
ajaran Islam yang pokok.1
Hukum Kewarisan Islam bukanlah spesial untuk laki-laki atau perempuan
saja, tetapi untuk kedua-duanya sesuai dengan peran masing-masing selaku insan
Allah Subhanallahu wa Ta’ala yang telah menciptakan manusia terdiri dari laki-
laki dan perempuan.2 Dengan kata lain, kaum laki-laki memiliki hak dan
kewajiban atas kaum perempuan, dan kaum perempuan juga memiliki hak dan
kewajiban atas kaum laki-laki. Sesuai dengan firman Allah:

‫ۗ  ٰۤي َا يُّهَا النَّا سُ اِنَّا َخلَ ْق ٰن ُك ْم ِّم ْن َذ َك ٍر َّواُ ْن ٰثى َو َج َع ْل ٰن ُك ْم ُشعُوْ بًا َّوقَبَٓائِ َل لِتَ َعا َرفُوْ ا‬
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. (Q.S.al-Hujurat: 13).
Waris merupakan salah satu kajian dalam Islam yang dikaji secara khusus
dalam lingkup fiqih mawaris. Pengkhususan pengkajian dalam hukum Islam
secara tidak langsung menunjukkan bahwa bidang waris merupakan salah satu
bidang kajian yang penting dalam ajaran Islam. Bahkan dalam al-Qur’an,
permasalahan mengenai waris dibahas secara detail dan terperinci. Hal tersebut
tidak lain adalah untuk mencegah terjadinya sengketa antara anggota keluarga
terkait dengan harta peninggalan anggota keluarga yang telah mati.
Indonesia sebagai negara yang telah lama merdeka dan berdaulat sudah tentu
mendambakan adanya hukum waris sendiri yang berlaku secara nasional (seperti
halnya hukum perkawinan dengan UU Nomor 1 Tahun 1974), yang sesuai dengan
bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila dan sessuai pula dengan aspirasi
yang benar-benar hidup di masyarakat. Karena itu mengingat bangsa Indonesia
mayoritas beragama Islam, tentunya mengharapkan berlakunya hukum Islam di
Indonesia, termasuk hukum warisnya bagi mereka yang beragama Islam, maka
sudah selayaknya penyusunan hukum waris nasional tentang ketentuan-ketentuan
pokok hukum waris Islam dimasukkan ke dalamnya, dengan memperhatikan pula
pola budaya atau adat yang hidup di masyarakat yang bersangkutan. Oleh sebab
itu, sangat penting kita perlu mengetahui hukum kewarisan yang ada di Indonesia.

B. Rumusan Masalah

1. Mencari dan memahami pegertian ilmu waris dan hal yang berkaitan
dengannya dari berbagai sumber dan pendapat.
2. Mencari dan memahami berbagai macam ilmu waris yang ada di
Indonesia dan juga cara pelaksanaannya.
3. Mencari sumber ilmu hukum waris baik yang berasal dari Al-Qur’an,
Hadits maupun UU yang ada di indonesia.
4. Mengetahui cara pelaksanaan ilmu hukum waris di indonesia dengan
agama dan suku yang beragam.
5. Contoh dan penyelesaian dari beberapa model kasus Hukum Kewarisan
Islam ?
C. Tujuan Penulisan

1. Supaya kita mengetahui dengan jelas siapa orang yang memang berhak
untuk mendapatkan dan menerima akan harta warisan yang ditinggalkan
terdahulunya.
2. Supaya bisa menentukan dalam pembagian harta warisan dengan cara
yang adil dan tentunya juga benar.
3. Supaya terhindar dari yang namanya perselisihan karena perebutan harta
warisan peninggalan pemiliknya terdahulu yang di karenakan aturan
dalam pembagian yang tidak jelas.
4. Supaya beban dan juga tanggung jawab si mayit menjadi ringan dengan
adanya aturan dalam ilmu fiqh mewarisi ini. Sehingga tidak ada pihak-
pihak yang merasa dirugikan antara satu dengan yang lainnya. Sebab
dalam pembagian harta warisan tersebut merupakan yang terbaik dalam
pandangan Allah Subhanallahu wa Ta’ala dan manusia.
5. Menyelamatkan harta orang yang meninggal dari pengambil alihan oleh
orang yang tidak bertanggungjawab.
6. Memahami asas-asas Hukum Kewarisan Islam.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Kata waris berasal dari bahasa Arab yaitu warasa-yurisu-warisan yang
berarti berpindahnya harta seseorang kepada seseorang setelah meninggal dunia.
Adapun dalam al-Quran ditemukan banyak kata warasa yang berarti
menggantikan kedudukan, memberi atau menganugerahkan, dan menerima
warisan. Sedangkan al-miras menurut istilah ulama’ ialah berpindahnya hak
kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup
baik yang ditinggalkan itu berupa harta, tanah, atau apa saja yang berupa hak
milik legal secara syar’i.4
Dalam literatur hukum Islam ditemui beberapa istilah untuk menamakan
hukum kewarisan Islam seperti: faraid, fiqih mawaris, dan hukum al-mawaris.
Menurut Mahally, lafaz faraid merupakan jamak (bentuk umum) dari lafaz
faridah yang mengandung arti mafrudah, yang sama artinya dengan muqadarah
yaitu sesuatu yang ditetapkan bagiannya secara jelas. Di dalam ketentuan
kewarisan Islam yang terdapat dalam al-Quran, lebih banyak terdapat bagian yang
ditentukan dibandingkan bagian yang tidak ditentukan. Oleh karena itu hukum ini
dinamakan dengan faraid. Kewarisan (al-miras) yang disebut faraid berarti bagian
tertentu dari harta warisan sebagaimana telah diatur dalam al-Quran dan al-Hadits.
Jadi, pewarisan adalah perpindahan hak dan kewajiban tentang kekayaan
seseorang yang telah meninggal dunia terhadap orang-orang yang masih hidup
dengan bagian-bagian yang telah ditetapkan.

Penggunaan kata hukum awalnya mengandung arti seperangkat aturan yang


mengikat dan menggunakan kata Islam dibelakang mengandung arti dasar hukum
yang menjadi rujukan, dengan demikian dengan segala titik lemahnya, hukum
kewarisan Islam dapat diartikan dengan seperangkat peraturan tertulis berdasarkan
wahyu Allah dan sunnah Nabi tentang hal ikhwal peralihan harta atau berwujud
harta dari yang telah mati kepada yang masih hidup, yang diakui dan diyakini
berlaku mengikat untuk semua yang beragama Islam. Dalam kompilasi hukum
Islam dijelaskan pula mengenai pengertian hukum kewarisan, yaitu hukum yang
mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,
dan menentukan siapa saja yang berhak menjadi ahli waris dan masing-masing
bagiannya.
Prof. T.M. Hasby As-Shid dalam bukunya hukum islam yang berjudul fiqh
mawaris (Hukum Waris Islam) telah memberikan pemahaman tentang pengertian
hukum waris menurut islam ialah:

"Ilmu yang dengan dia dapat diketahui orang-orang yang menjadi ahli waris
dalam islam, orang yang tidak dapat mewarisi harta warisan menurut islam,
kadar yang diterima oleh masing-masing ahli waris dalam islam serta cara
pengambilannya"

Syariat Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan
adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik
laki-laki maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga
menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia
kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan
antara laki-laki dan perempuan, besar atau kecil.
Al-Qur’an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang
berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian
yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap
pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau
bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu.
Oleh karena itu, Al-Qur’an merupakan acuan utama hukum dan penentuan
pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari hadits
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan ijma’ para ulama sangat sedikit.
Dapat dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit sekali ayat Al-
Qur’an yang merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum waris
ini. Hal demikian disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk kepemilikan
yang legal dan dibenarkan AlIah Subhanallahu wa Ta’ala. Di samping bahwa
harta merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi individu maupun
kelompok masyarakat.

B. Sumber Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia


Kewarisan Islam memiliki sumber-sumber hukum yang menjadi dalil atau
dasar sebagai penguat hukum kewarisan tersebut. Diantara sumber-sumber hukum
kewarisan dalam Islam diantaranya adalah, sebagai berikut7:
1. Dalil-dalil yang bersumber dari al-Qur’an.
2. Dalil-dalil yang bersumber dari as-Sunnah.
3. Dalil-dalil yang bersumber dari ijma’ dan ijtihad para ulama’.

1. Dalil-dalil yang bersumber dari al-Qur’an.


Ayat-ayat Al-Qur’an yang secara langsung mengatur kewarisan tersebut
antara lain sebagai berikut:

- Surat an-Nisa’ ayat 7

َ ‫ان َوٱأْل َ ْق َرب‬


‫ُون ِممَّا َق َّل‬ َ ‫ان َوٱأْل َ ْق َرب‬
ِ َ‫ُون َولِل ِّن َسٓا ِء َنصِ يبٌ ِّممَّا َت َر َك ْٱل ٰ َولِد‬ ِ َ‫ال َنصِ يبٌ ِّممَّا َت َر َك ْٱل ٰ َولِد‬
ِ ‫لِّلرِّ َج‬
‫ِم ْن ُه أَ ْو َك ُث َر ۚ َنصِ يبًا َّم ْفرُوضًا‬

Artinya : “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan
ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula)
dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau
banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”8

Garis hukum kewarisan pada ayat diatas (Q.S. An-Nisa’: 7) adalah sebagai
berikut:
a. Bagi anak laki-laki ada bagian warisan dari harta peninggalan ibu
bapaknya.

b. Bagi aqrabun (keluarga dekat) laki-laki ada bagian warisan dari harta
peninggalan aqrabun (keluarga dekat yang laki-laki atau
perempuannya).
c. Bagi anak perempuan ada bagian warisan dari harta peninggalan ibu
bapaknya.
d. Bagi aqrabun (keluarga dekat) perempuan ada bagian warisan dari
harta peninggalan aqrabun (keluarga dekat yang laki-laki atau
10
perempuannya)
e. Ahli waris itu ada yang menerima warisan sedikit, dan ada pula yang
banyak, pembagian tersebut ditentukan oleh Allah Subhanallahu wa
Ta’ala.

2. Dalil-dalil yang bersumber dari as-Sunnah.


Hadits Nabi Muhammad yang secara langsung mengatur tentang
kewarisan adalah sebagai berikut :
- Hadist Nabi dari Abdullah Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Sunan
Tirmidzi:

Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il telah menceritakan
kepada kami Wuhaib telah menceritakan kepada kami Ibnu Thawus dari
ayahnya dari Ibnu 'Abbas dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Berikanlah bagian fara`idh (warisan yang telah ditetapkan)
kepada yang berhak, maka bagian yang tersisa bagi pewaris lelaki yang
paling dekat (nasabnya)."

11
C. Rukun, Syarat, Dan Azas–Azas Hukum Kewarisan

1. Rukun Kewarisan

A. Al-Muwarrits;
Muwarrits berasal dari bahasa Arab (‫ َﻮ ُﻤ اﻟ‬x‫ )ﱢرث‬yang sering diartikan
sebagai pewaris, yaitu orang memberikan harta warisan. Dalam sistem hukum
waris Islam, muwarrits adalah orang yang meninggal dunia dalam keadaan
beragama Islam, baik meninggal dunia secara haqiqy (sejati) maupun hukmy
(menurut putusan hakim), yang meninggalkan

harta warisan dan ahli waris yang masih hidup. Hal ini sesuai dengan
KHI Pasal 171 huruf b yaitu: “Pewaris adalah orang yang pada saat
meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan
Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan”.
Istilah pewaris secara khusus dikaitkan dengan suatu proses pengalihan hak
atas harta dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada keluarganya
yang masih hidup. Seseorang yang masih hidup dan mengalihkan haknya
kepada keluarganya tidak dapat disebut pewaris, meskipun pengalihan itu
dilakukan pada saat menjelang kematiannya. Dan harta yang dibagi waris
haruslah milik sendiri, bukan milik instansi atau negara. Sebab instansi atau
negara bukanlah termasuk pewaris.

B. Al-Warits;
Warits (‫ )اﻟﻮارث‬sering diterjemahkan sebagai ahli waris, yaitu orang
yang berhak mewarisi karena mempunyai sebab-sebab untuk mempusakai,
seperti adanya ikatan kekerabatan (nasab), pernikahan atau lainnya.
Sedangkan pengertian ahli waris menurut KHI Pasal 171 huruf c yaitu: “Ahli
waris adalah orang pada saat pewaris meninggal dunia mempunyai hubungan
darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak
terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris”.

Berdasarkan KHI Pasal 172, ahli waris yang dipandang beragama


Islam disini adalah mereka yang dapat diketahui dari Kartu Identitas atau
pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir
atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau
lingkungannya. Termasuk dalam pengertian ini adalah bayi yang masih dalam

12
kandungan. Meskipun masih berupa janin, apabila dapat dipastikan hidup
melalui gerakan (kontraksi) atau cara lainnya, maka bagi si janin tersebut
mendapatkan harta warisan. Hanya saja jumhur ulama mensyaratkan bayi
tersebut dilahirkan dalam keadaan hidup. Sebab di kala ia masih dalam
kandungan, walaupun sudah dianggap hidup, namun ia bukan hidup yang
sebenarnya (di dunia).

C. Al-Mauruts (Tirkah);
Di kalangan ahli faraid, istilah mauruts (ُ‫ )روث ْﻮ َﻤ اﻟ‬lebih dikenal dengan
nama tirkah atau harta peninggalan, yakni harta benda yang ditinggalkan oleh
si mati yang bakal dipusakai oleh para ahli waris
setelah diambil untuk biaya perawatan, melunasi hutang-hutang dan
melaksanakan wasiat. Namun menurut KHI, antara harta warisan dengan
harta peninggalan memiliki perbedaan. Tidak semua harta peninggalan
menjadi harta warisan yang dapat diwariskan kepada ahli waris, melainkan
semua harta warisan baik berupa benda maupun hak-hak harus bersih dari
segala sangkut paut dengan orang lain. KHI Pasal 171 huruf d menyebutkan,
“Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang
berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak- haknya”, dan pada Pasal
171 huruf e, “Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta
bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai
meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan
pemberian untuk kerabat”.
Secara garis besar, mauruts atau tirkah dibagi menjadi 4 (empat), yaitu:
- Tirkah yang berupa nilai kebendaan, baik berupa benda maupun sifat.
Seperti benda bergerak, benda tetap, piutang, denda wajib.
- Tirkah yang berupa hak-hak kebendaan, seperti hak monopoli untuk
menarik hasil jalan tol, hak cipta, dan lainnya.
- Tirkah yang berupa hak yang bukan kebendaan, seperti hak khiyar dan
hak memanfaatkan barang yang diwasiatkan.
- Tirkah yang berupa benda yang bersangkutan dengan hak orang lain,
seperti benda yang digadaikan oleh muwarrits, mahar yang belum
diserahkan, pembelian yang barangnya belum diterima.
Dalam tirkah, KHI telah mengatur adanya harta bersama atau hasil serikat

13
yang akan dibagi rata sebelum diwariskan kepada ahli waris. Sebagaimana
diatur dalam instruksi presiden RI No. 1 tahun 1991 pada Undang-undang
Kompolasi Hukum Islam bab XIII pasal 85, 87, 88-97. Misalnya, harta
bersama milik suami istri. Bila suami meninggal, maka harta itu harus dibagi
dua terlebih dahulu untuk memisahkan mana yang milik suami dan mana
yang milik istri. Barulah harta yang milik suami itu dibagi waris. Sedangkan
harta yang milik istri, tidak dibagi waris karena bukan termasuk harta
warisan.

2. Syarat Kewarisan
Pada dasarnya pusaka-mempusakai atau pewarisan berfungsi untuk
menggantikan kedudukan dalam memiliki harta benda antara orang yang
telah meninggal dunia dengan orang yang ditinggalkan. Oleh sebab itu, agar
terjadi pusaka-mempusakai dalam hukum Islam terdapat syarat- syarat
kewarisan. Bilamana salah satu dari syarat tersebut tidak terpenuhi, maka
tidak akan terjadi pewarisan. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
A. Meninggalnya Muwarrits.
Meninggalnya pewaris mutlak harus dipenuhi, karena seseorang baru
disebut pewaris setelah dia meninggal dunia. Yang berarti jika seseorang
memberikan hartanya kepada ahli waris ketika dia masih hidup itu bukan
waris, melainkan hibah (pemberian). Dan di dalam waris-mewaris kelak harta
benda yang yang sudah diberikan tersebut tidak termasuk diperhitungkan.
Untuk meninggal atau matinya seseorang yang dimaksud disini, para ulama
membaginya menjadi tiga macam, yakni:
1) Mati haqiqi (sejati).
Mati haqiqi adalah kematian yang dapat disaksikan oleh panca indra
dan dapat dibuktikan dengan alat pembuktian, dimana unsur kehidupan
telah lepas dari jasad seseorang tanpa membutuhkan keputusan hakim.
2) Mati hukmy (menurut putusan hakim).
Mati hukmy adalah seseorang yang oleh hakim ditetapkan telah
meninggal dunia, meski jasadnya tidak ditemukan, baik pada hakikatnya
orang tersebut masih hidup maupun dalam dua kemungkinan antara hidup
dan mati. Misalnya, seorang yang hilang (mafqud) di dalam medan
perang atau saat bencana alam, lalu secara hukum formal dinyatakan kecil

14
kemungkinannya masih hidup dan kemudian ditetapkan bahwa yang
bersangkutan telah meninggal dunia. Dalam putusan kematian ini, para
ulama berselisih pendapat tentang waktu mulai boleh diputuskan
kematian si mafqud.

Imam Hanafi berpendapat bahwa si mafqud boleh diputuskan kematiannya oleh hakim
apabila sudah tidak ada seorang pun dari kawan sebayanya yang masih hidup.
- Imam Maliki berpendapat kematian si mafqud boleh diputuskan oleh hakim
setelah 70 tahun dari kepergiannya.
- Imam Syafi’i dan Syafi’iyah berpendapat agar si mafqud tersebut mencapai
usia 90 tahun beserta usia sewaktu bepergiannya (hilangnya).
- Imam Hambali dan Hambaliyah menetapkan usia 90 tahun sebagai batasan
boleh dihukumi meninggal. Selain itu beliau menetapkan seseorang yang
mendapatkan malapetaka, seperti ikut perang, dll., maka hakim memutuskan
batasan bagiannya adalah 4 tahun.
3) Mati taqdiri (menurut dugaan).
Mati taqdiri merupakan kematian seseorang yang didasarkan pada
dugaan keras. Misalnya seorang ibu hamil dipukul perutnya atau dipaksa
minum racun, maka kematian bayi tersebut diduga keras akibat pemukulan
atau terkena racun.
B. Hidupnya Warits di Saat Meninggalnya Muwarrits.
Ahli waris merupakan pengganti untuk menguasai warisan yang
ditinggalkan oleh pewaris, perpindahan hak tersebut diperoleh melalui jalan
kewarisan. Ahli waris yang akan menerima harta warisan disyaratkan ia
hidup pada saat muwarrits-nya meninggal dunia. Hidup yang dimaksud
adalah hidup secara hakiki. Kepastian hidup si ahli waris ini sangatlah
penting. Sebab ada beberapa ahli waris yang masih diragukan hidupnya,
seperti orang hilang (mafqud), anak dalam kandungan ataupun ahli waris
yang meninggal bersamaan dengan si muwarrits.
Masalah orang hilang atau mafqud tergantung pada putusan hakim.
Apabila ia dinyatakan meninggal dunia sebelum meninggalnya muwarrits,
maka tidak ada persoalan dengan hal tersebut. Karena mereka yang
meninggal dunia sebelum meninggalnya muwarrits tidak dapat dikatakan
sebagai ahli waris. Dan apabila keputusan hakim menyatakan bahwa ia masih
hidup sebelum meninggalnya muwarrits, maka kewarisan yang menjadi

15
bagiannya ditahan terlebih dahulu sampai batas yang ditentukan. Dan apabila
di kemudian hari ia muncul dalam keadaan hidup, maka warisan yang
menjadi bagiannya tersebut diserahkan sesuai dengan ketentuan hukum waris
masing- masing. Namun jika sampai batas yang ditentukan ia tidak hadir
juga, maka warisan yang menjadi bagian si mafqud tersebut dapat diberikan
kepada ahli waris lainnya.
Mengenai masalah anak dalam kandungan, ia berhak mendapatkan harta
warisan apabila ia lahir dalam keadaan hidup. Tetapi apabila ia lahir dalam
keadaan meninggal dunia sesudah meninggalnya muwarrits dan diduga
meninggalnya karena dipukul atau dianiaya, maka menurut ulama Hanafiyah
ia berhak menerima apa yang diwasiatkan untuknya dan memiliki diyatnya,
serta menghalang- halangi ahli waris lainnya apabila ia lahir dalam keadaan
hidup. Sedangkan menurut golongan Maliki dan Syafi’i, bayi dalam
kandungan tersebut dianggap hidup atas diyatnya saja, dan diyat inilah yang
akan diwarisi oleh ahli warisnya. Madzab Robi’ah dan Al- Laits berpendapat
bayi dalam kandungan itu tidak menerima harta warisan dan tidak pula
mewariskannya kepada orang lain, sebab tidak dapat dipastikan ia itu hidup
waktu pemukulan atas ibunya dan tidak pula dapat ditentukan meninggalnya
disebabkan pemukulan itu.29 Dan diyat untuknya hanya akan dimiliki oleh
ibunya sendiri. Dewasa ini kemajuan ilmu kedokteran dapat memberikan
bantuan dalam mengatasi masalah tersebut.

Selain orang hilang (mafqud) dan bayi dalam kandungan ialah ahli waris
yang meninggal bersamaan dengan si muwarrits. Hal seperti ini oleh
kalangan fuqaha digambarkan seperti orang yang sama-sama meninggal
dalam suatu kecelakaan kendaraan, kebakaran, tertimpa puing atau
tenggelam. Para fuqaha menyatakan, mereka adalah golongan orang yang
tidak dapat saling mewarisi harta yang mereka miliki ketika masih hidup. Dan
jika keduanya mempunyai harta benda, maka harta benda tersebut akan
diwarisi oleh ahli warisnya yang masih hidup.30
Dalam kasus lain, misal seorang anak yang telah meninggal terlebih
dahulu dari ayahnya, tidak akan mendapatkan warisan. Meski anak itu telah
memiliki istri dan anak. Istri dan anak itu tidak mendapatkan warisan dari
mertua atau kakek mereka. Sebab suami atau ayah mereka meninggal lebih
dulu dari kakek. Jalan keluar dari masalah ini ada tiga kemungkinan.
16
- Pertama, dengan wasiyah wajibah, yaitu si kakek berwasiat semenjak
masih hidup agar cucu dan menantunya diberikan bagian harta. Bukan
dengan jalan warisan, melainkan dengan cara wasiat.
- Kedua, bisa juga dengan cara kesepakatan di antara para ahli waris untuk
mengumpulkan harta dan diberikan kepada saudara ipar atau kemenakan
mereka.
- Ketiga, dengan cara hibah, yaitu si kakek sejak masih hidup telah
menghibahkan sebagian hartanya kepada cucunya atau menantunya, sebab
dikhawatirkan nanti pada saat membagi warisan, cucu dan menantunya
tidak akan mendapat apa-apa.

C. Diketahuinya Pertalian antara Warits dengan Muwarrits dan Tidak Adanya


Penghalang (Hijab) untuk Mewarisi.
Agar seseorang dapat mewarisi harta orang yang meninggal dunia, maka
haruslah diketahui secara pasti jelas hubungan antara keduanya, termasuk
jumlah bagian masing-masing, seperti hubungan suami- isteri, hubungan
orangtua-anak dan hubungan saudara, dan sebagainya. Sehingga pembagi
mengetahui dengan pasti jumlah bagian yang harus diberikan kepada masing-
masing ahli waris. Sebab dalam hukum waris perbedaan jauh-dekatnya
kekerabatan akan membedakan jumlah yang diterima.

Misalnya, kita tidak cukup hanya mengatakan bahwa seseorang adalah


saudara sang pewaris. Akan tetapi harus dinyatakan apakah ia sebagai saudara
kandung, saudara seayah, atau saudara seibu. Mereka masing-masing
mempunyai hukum bagian, ada yang berhak menerima warisan karena sebagai
ahlul furudh, ada yang karena ashabah, ada yang terhalang hingga tidak
mendapatkan warisan (mahjub), serta ada yang tidak terhalang.
Terhalangnya seseorang menjadi pewaris bisa disebabkan karena perbudakan,
pembunuhan, berlainan agama dan berlainan negara. Mengenai hijab tersebut
akan diterangkan pada bagian lain.
Dengan syarat di atas diharapkan, para ahli waris berupaya untuk tidak
melakukan hal-hal yang sekiranya dapat menolaknya untuk menerima harta
peninggalan si pewaris.

17
3. Azas – Azas Hukum Kewarisan
Dalam penjelasan pasal 49 huruf b UU No. 3 Tahun 2006 dijelaskan bahwa
yang dimaksud dengan Waris adalah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli
waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing
ahli waris dan pelaksanaan pembagian harta peninggalan tersebut serta
penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang
menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris. Dari hal-hal
tersebut di atas maka dalam pelaksanaan pembagian waris tidak dapat
dipisahkan dengan azas- azas hukum waris Islam yang meliputi :
A. Azas Integrity
Integrity artinya : Ketulusan hati, kejujuran, keutuhan. Azas ini mengandung
pengertian bahwa dalam melaksanakan Hukum Kewarisan dalam Islam
diperlukan ketulusan hati untuk mentaatinya karena terikat dengan aturan yang
diyakini kebenarannya. Hal ini juga dapat dilihat dari keimanan seseorang untuk
mentaati hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala, apalagi penjelasan umum angka 2
alinea keenam Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
memberi hak opsi kepada para pihak untuk bebas menentukan pilihan hukum
waris mana yang akan dipergunakan dalam menyelesaikan pembagian waris,
telah dinyatakan dihapus oleh UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU
No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Penghapusan tersebut berarti telah
membuka pintu bagi orang Islam untuk melaksanakan hukum waris Islam dengan
kaffah yang pada ahkirnya ketulusan hati untuk mentaati hukum waris secara
Islam adalah pilihan yang terbaik, landasan kesadarannya adalah firman Allah
Subhanahu wa Ta'ala surat Ali Imran ayat 85 :

Artinya: “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali- kali
tidak- lah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat

18
termasuk orang-orang yang rugi.”

19
B. Azas Ta 'abbudi
Ta 'abbudi artinya : penghambaan diri. Yang dimaksud azas Ta'abbudi adalah
melaksanakan pembagian waris secara hukum Islam adalah merupakan bagian dari
ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang akan berpahala bila ditaati seperti
layaknya mentaati pelaksanaan hukum-hukum Islam lainnya. Ketentuan demikian
dapat kita lihat, setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan tentang hukum
waris secara Islam sebagaimana dijelaskan dalam surat an-Nisa' ayat 11 dan 12,
kemudian dikunci dengan ayat 13 dan 14 :

Artinya: “(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah.


Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya
kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka
kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.”

Artinya : “Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan


melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke
dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang
menghinakan.”

C. Azas Hukukul Maliyah


Hukukul Maliyah artinya : hak-hak kebendaanYang dimaksud dengan Hukukul
Maliyah adalah hak-hak kebendaan, dalam arti bahwa hanya hak dan kewajiban
terhadap kebendaan saja yang dapat diwariskan kepada ahli waris, sedangkan hak dan
kewajiban dalam lapangan hukum kekeluargaan atau hak-hak dan kewajiban yang
bersifat pribadi seperti suami atau istri, jabatan, keahlian dalam suatu ilmu dan yang
semacamnya tidak dapat diwariskan. Kewajiban ahli waris terhadap pewaris diatur
dalam
Kompilasi Hukum Islam pasal 175 yang berbunyi :
- Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai;
- Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan termasuk
kewajiban pewaris maupun menagih piutang;
- Menyelesaikan wasiat pewaris;
- Membagi harta warisan diantara anti waris yang berhak

D. Azas Hukukun Thabi’iyah


Hukukun Thabi’iyah artinya : hak-hak dasar. Pengertian hukukun thabi’iyah adalah
hak-hak dasar dari ahli waris sebagai manusia, artinya meskipun ahli waris itu seorang
bayi yang baru lahir atau seseorang yang sudah sakit menghadapi kematian sedangkan
ia masih hidup ketika pewaris meninggal dunia, begitu juga suami istri yang belum
bercerai walaupun sudah pisah tempat tinggalnya, maka dipandang cakap untuk
mewarisi. Hak-hak dari kewarisan ini ada empat macam penyebab dan seagama.
Hubungan keluarga yaitu hubungan antar orang yang mempunyai hubungan darah
(genetik) baik dalam garis keturunan lurus ke bawah (anak cucu dan seterusnya)
maupun ke samping (saudara).

Kebalikan dari ketentuan tersebut, hukum Islam menentukan beberapa macam


penghalang kewarisan yaitu Murtad, membunuh dan hamba sahaya, sedangkan dalam
Kompilasi Hukurn Islam penghalang kewarisan kita jumpai pada pasal 173 yang
berbunyi: “Seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim
yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena : dipersalahkan
telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris;
dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah
melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau
hukuman yang lebih berat”.
E. Azas Ijbari
Ijbari artinya : keharusan, kewajiban.Yang dimaksud Ijbari adalah bahwa dalam
hukum kewarisan Islam secara otomatis peralihan harta dari seseorang yang telah
meninggal dunia (pewaris) kepada ahli warisnya sesuai dengan ketetapan Allah
Subhanahu wa Ta’ala tanpa digantungkan kepada kehendak seseorang baik pewaris
maupun ahli waris. Unsur keharusannya (ijbari/compulsory) terutama terlihat dari segi di
mana ahli waris (tidak boleh tidak) menerima berpindahnya harta pewaris kepadanya
sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan oleh Allah. Oleh karena itu orang setelah ia
meninggal dunia kelak, karena dengan kematiannya, secara otomatis juga dilihat dari
segi yang lain yaitu :
-. Peralihan harta yang pasti terjadi setelah orang meninggal dunia.
-. Jumlah harta sudah ditentukan untuk masing-masing ahli waris.
-. Orang-orang yang akan menerima harta warisan itu sudah ditentukan dengan
pasti yakni mereka yang mempunyai hubungan darah dan perkawinan.
F. Azas Bilateral
Azas ini mengandung makna bahwa seseorang menerima hak kewarisan dari
kedua belah pihak yaitu dari kerabat keturunan laki- laki dan dari kerabat
keturunan perempuan. Azas bilateral ini dapat dilihat dalam al-Qur'an surat an-
Nisa' ayat 7.

G. Azas Individual
Azas ini menyatakan bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi pada masing
masing ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Dalam pelaksanaannya
seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian dibagi-
bagikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya menurut kadar bagian
masing-masing. Azas Individual ini dapat dilihat dalam al-Qur'an surat an-Nisa'
ayat 7, 8, 33.
H. Azas Keadilan yang Berimbang
Azas ini mengandung pengertian bahwa harus ada keseimbangan antara hak
yang diperoleh seseorang dari harta warisan dengan kewajiban atau beban biaya
kehidupan yang harus ditunaikannya. Laki-laki dan perempuan misalnya,
mendapat bagian yang sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-
masing (kelak) dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Seorang laki-laki
menjadi penanggung jawab dalam kehidupan keluarga, mencukupi keperluan
hidup anak dan isterinya sesuai (QS.2:233) dengan kemampuannya.
Surat Al-Baqarah ayat 233 :

Artinya : “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun


penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah
memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang
tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu
menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan
warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum
dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada
dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain,
maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut
yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha
Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Tanggung jawab tersebut merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan,
terlepas dari persoalan apakah isterinya mampu atau tidak, anak-anaknya
memerlukan bantuan atau tidak. Berdasarkan keseimbangan antara hak yang
diperoleh dan kewajiban yang harus ditunaikan, sesungguhnya apa yang diperoleh
seseorang laki-laki dan seorang perempuan dari harta warisan manfaatnya akan
sama mereka rasakan.

I. Azas Kematian
Makna azas ini adalah bahwa kewarisan baru muncul bila ada yang
meninggal dunia. Ini berarti kewarisan semata-mata sebagai akibat dari
kematian seseorang. Menurut ketentuan hukum Kewarisan Islam, peralihan
harta seseorang kepada orang lain yang disebut kewarisan terjadi setelah orang
yang mempunyai harta itu meninggal dunia, artinya harta seseorang tidak dapat
beralih kepada orang lain (melalui pembagian harta warisan) selama orang yang
mempunyai harta itu masih hidup, dan segala bentuk peralihan harta-harta
seseorang yang masih hidup kepada orang lain, baik langsung maupun yang
akan dilaksanakan kemudian sesudah kematiannya, tidak termasuk ke dalam
kategori kewarisan menurut hukum Islam.
Dengan demikian, kewarisan Islam adalah kewarisan yang menurut Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (BW) disebut kewarisan abiIntestato dan tidak
mengenal kewarisan atas dasar wasiat yang disebut testamen.
J. Azas Membagi Habis Harta Warisan
Membagi habis semua harta peninggalan sehingga tidak tersisa adalah azas
dari penyelesaian pembagian harta warisan. Dari menghitung dan menyelesaikan
pembagian dengan cara : Menentukan siapa yang menjadi Ahli waris dengan
bagiannya masing-masing, membersihkan/memurnikan harta warisan seperti
hutang dan Wasiat, sampai dengan melaksanakan pembagian hingga tuntas.

D. Sebab dan Penghalang Kewarisan


Harta peninggalan orang yang meninggal dunia adalah tidak serta merta dapat
dibagi oleh orang yang hidup, kecuali ada sebab-sebab yang menghubungkan
penerima dengan orang yang mati.
1. Sebab-sebab Mendapatkan Warisan
Ada beberapa ketentuan yang menyebabkan seseorang memiliki hak
untuk saling mewarisi. Beberapa ketentuan tersebut terdiri atas tiga sebab,
yaitu:
• Nasab atau kekerabatan.
Hubungan ini dikenal juga dengan nasab hakiki, yaitu hubungan keluarga
atau orang yang mewarisi dengan orang yang diwarisi. Seperti kedua orang
tua, anak, saudara, paman, dan seterusnya. Hal ini ditegaskan dalam ayat
yang artinya, “orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan itu
sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan
kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu.” (Q.S. al- Anfal:75).
• Perkawinan yang terjadi dengan akad yang sah.

Hubungan perkawinan sebagai penyebab pewarisan sebagaimana termuat


dalam surah an-Nisa’ ayat 11, adalah perkawinan yang sah menurut agama,
yaitu perkawinan yang telah memenuhi syarat dan rukun seperti yang diatur
dalam ajaran Islam, baik sudah dipergauli atau belum pernah dipergauli,
disamping itu, perkawinan itu tidak dianggap fasid (rusak) oleh Pengadilan
Agama, karena perkawinan yang fasid menurut sari’ah adalah perkawinan
yang tidak sah.33 Oleh karena itu, bila salah seorang mati di antara suami-
istri maka mereka saling mewarisi. Tidak termasuk dalam hal ini hubungan
yang disebabkan perzinahan, walaupun adanya hubungan badan antara
pezina, mereka tidak dapat saling mewarisi, dan anak yang dilahirkan akibat
perzinahan tidak mendapatkan warisan dari bapaknya, tapi akan
mendapatkan dari ibunya. Perkawinan itu dalam posisi:

• Pemberi waris meninggal dalam keadaan perkawinan masih utuh–tidak dalam


perceraian yang ba’in shugra’-. Dalam posisi ini suami-istri dapat saling mempusakai,
yaitu berakhirnya perkawinan semata mata dengan matinya salah seorang suami- istri.
• Perkawinan telah teputus, tetapi antara suami dan istri masih dalam iddah (masa
tunggu yang dibolehkan suami kembali kepada istri dengan tidak membuat
akad baru), yang itu disebut dengan thalaq raj’iy, yaitu masa dimana suami
dapat merujuk kepada istri tanpa membuat akad baru, saksi, wali dan tanpa izin
istri tersebut. Dari itu, apabila pada saat itu salah seorang mati, maka mereka
dapat saling mewarisi. Akan tetapi bila waktu iddah telah habis kemudian salah
seroang meninggal maka hak saling mewaris telah habis dengan sebab iddah
tersebut telah habis.
• Memerdekakan budak.

Hukum ini mungkin terjadi pada zaman dahulu di zaman perbudakan. Dalam
fikih islam hubungan ini diistilahkan dengan wala’. Seseorang yang telah
memerdekakan budak, jika budak itu telah merdeka dan memiliki kekayaan jika
ia mati yang membebaskan budak berhak mendapatkan warisan. Akan tetapi,
jika yang mati adalah yang membebaskannya, budak yang telah bebas tersebut
tetap tidak berhak mendapat warisan. Sebagaimana hadits berbunyi, ”Hak
wala’ itu hanya bagi orang yang telah membebaskan hamba sahayanya.”(H.R.
Bukhari dan Muslim).
Keberadaan perbudakan ini nampaknya sudah tidak ada lagi di muka bumi,
sehingga keberadaan wala’ sebagai penyebab mendapat warisan dengan
sendiri tidak ada lagi.
• Islam.
Seorang muslim yang meninggal dunia namun tak memiliki ahli waris yang
memiliki sebab-sebab di atas untuk bisa mewarisinya maka harta
tinggalannya diserahkan kepada baitul maal untuk dikelola demi
kemaslahatan umat Islam.
2. Penghalang Kewarisan.
Penghalang waris adalah sesuatu yang dapat menghalangi Ahli
Waris untuk mendapatkan hak warisnya (baik secara keseluruhan ataupun
sebagian besarnya), meskipun telah terpenuhi padanya sebab-sebab waris.
Pada awalnya seseorang sudah berhak mendapat warisan tetapi oleh
karena ada suatu keadaan tertentu berakibat dia tidak mendapat harta
warisan.
Penghalang Waris secara garis besar terbagi menjadi dua:
• Penghalang Waris Pertama
Penghalang dalam bentuk sifat/kriteria tertentu yang dapat menghalangi
Ahli Waris dari jatah warisnya secara keseluruhan. Penghalang jenis ini
bisa menimpa seluruh Ahli Waris tanpa terkecuali 36, yang dalam Ilmu al-
Faraidh dikenal dengan istilah Mawani’ul Irtsi (Penghalang-Penghalang
Waris).
Adapun rincian Penghalang-Penghalang Waris jenis ini adalah sebagai
berikut:
• Perbudakan:
Seorang yang berstatus budak tidaklah bisa mewarisi, karena dia dan
hartanya menjadi milik tuannya. Tidak adanya hak milik bagi
seseorang merupakan penghalang syari baginya untuk mendapatkan
harta waris. Jika si budak tersebut mendapatkan harta waris, maka
harta waris itu akan menjadi milik tuannya, padahal si tuan tersebut
bukan bagian dari Ahli Waris si mayit. Atas dasar itulah, jika seorang
mayit Muslim meninggalkan seorang anak Muslim yang berstatus
budak dan seorang cucu Muslim dari kalangan merdeka, maka yang
mewarisi hartanya adalah sang cucu walaupun ada bapaknya.

Mengapa? Karena si bapak statusnya masih budak dan budak tidak


bisa mewarisi, sedangkan sang cucu dari kalangan merdeka.
• Pembunuhan:
Pembunuhan yang dilakukan terhadap pemilik harta waris
(Muwarrits): Jika seorang Ahli Waris membunuh Muwarrits-nya,
maka si pembunuh tersebut TIDAK BERHAK mendapatkan harta
waris darinya.
Gambaran kasusnya adalah seorang anak (Ahli Waris)
membunuh bapaknya (pemilik harta waris), maka si anak tersebut
tidak berhak mendapatkan harta waris yang ditinggalkan bapaknya. Di
antara hikmah dari ketentuan di atas adalah mencegah bermudahannya
Ahli Waris dari perbuatan keji tersebut, hanya karena untuk
mendapatkan harta waris.
Hal ini didasarkan kaidah fikih yang berbunyi: “Orang yang
menyegerakan sesuatu sebelum waktunya, maka diberi sanksi untuk
tidak mendapatkannya".
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah
mengatakan: “Dan setiap orang yang menyegerakan sesuatu yang
diharamkan, maka hendaknya ia dicegah.”
Kaidah ini adalah kaidah yang sudah maruf yang seringkali
digunakan oleh para ulama. Di antara contoh penerapan kaidah ini
adalah:
– Barang siapa yang membunuh orang yang (sebenarnya bisa)
mewariskan harta kepadanya, maka ia tidak mendapatkan
warisannya. Hal ini dikarenakan ia telah menyegerakan sesuatu sebelum
waktunya.
– Orang yang minum khamer (minuman keras) ketika di dunia, maka
ia tidak akan minum khamer ketika di Akhirat kelak. Padahal
khamer di Akhirat itu tidak memabukan. Hal ini sebagaimana yang
telah dijelaskan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam.
– dan seterusnya.
Membunuh pewaris berarti menyegerakan kematian si pewaris dengan
maksud untuk segera mendapat warisannya. Akan tetapi justru hukum
melarang apa yang ingin disegerakannya yaitu dengan tidak diberikan
hak mendapat warisan kepadanya.
Lalu apakah setiap jenis pembunuhan dapat menghalangi seseorang
dari jatah warisnya? Para ulama berbeda pendapat dalam permasalahan ini.
Namun menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
rahimahullah dan Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah,
bahwa pembunuhan yang menyebabkan terhalangnya seseorang dari jatah
warisnya adalah pembunuhan yang bersifat Bighairil Haq (tidak dibenarkan
secara syari), yaitu pembunuhan yang mengakibatkan Qishash, membayar
Diyat (Tebusan), atau membayar kafarah, seperti misalnya:
a) Pembunuhan dengan sengaja (Qatlul ‘Amd),
b)Pembunuhan semi sengaja (Syibhul ‘Amd)
contohnya seseorang memukul orang lain dengan menggunakan
sandal, kemudian mati. Disebut semi sengaja, karena di satu sisi sengaja
memukul orang tersebut, namun di sisi lain tidak berniat untuk
membunuhnya dan
c) Pembunuhan karena kekeliruan (Khatha’an)
contohnya seseorang membidikkan tembakan ke arah rusa, namun
ternyata tembakan tersebut justru mengenai orang yang kebetulan sedang
melintas di jalan tidak jauh dari rusa tersebut, hingga mati. Disebut keliru
karena tidak ada niatan untuk membunuhnya, dan tidak ada upaya sama
sekali untuk melakukan sesuatu terhadap orang tersebut.38

Dikecualikan darinya adalah pembunuhan Bil Haq (dengan cara


yang dibenarkan secara syari), misalnya seorang eksekutor yang ditugasi
Waliyul Amr (Pemerintah) untuk mengeksekusi seorang pembunuh
sebagai bentuk qishash (balasan bunuh) baginya, seseorang yang
membela diri hingga mengakibatkan terbunuhnya si pelaku aniaya
tersebut, dll.
• Perbedaan Agama:
Perbedaan agama antara pemilik harta waris (Muwarrits) dengan
Ahli Warisnya. Gambaran kasusnya: Si mayit yang meninggalkan harta
waris adalah seorang Muslim, sedangkan Ahli Warisnya non-Muslim
(kafir). Atau sebaliknya, si mayit yang meninggalkan harta waris adalah
seorang non-Muslim (kafir), sedangkan Ahli Warisnya seorang Muslim.
Menurut Jumhur (Mayoritas) Ulama, masing- masingnya tidak bisa
saling mewarisi. Karena secara tinjauan syari, hubungan di antara
mereka telah terputus.
Dalilnya adalah firman Allah ta’ala kepada Nabi Nuh alaihisalam:
“Allah berfirman: ‘Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk
keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya
(perbuatan) dia adalah perbuatan yang tidak baik’.” Q.S Hud: 46
Demikian pula sabda Rasulullah: “Tidaklah seorang Muslim mewarisi
seorang non-Muslim (kafir) dan tidak pula seorang non- Muslim (kafir)
mewarisi seorang Muslim.” [HR. Al-Bukhari no. 6383 dan Muslim no.
1614, dari hadits Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu)39
Namun apabila si Ahli Waris yang tadinya kafir kemudian masuk
Islam sebelum harta dibagi, maka si Ahli Waris yang mualaf ini berhak
mendapatkan warisan. Jadi apabila pada waktu Muwarrits meninggal
dunia ada ahli waris yang berbeda agama, kemudian sebelum harta
warisan dibagi-bagi si Ahli Waris masuk Islam, maka dia berhak
mendapat warisan.
• Wanita yang sudah ditalak (raj’i) habis masa iddahnya.
• Wanita yang ditalak tiga (Talak Bain Qubro) tidak bisa rujuk lagi.
• Anak angkat.
Sifatnya dua arah: Orang tua angkat tidak bisa mewarisi dari anak
angkatnya, demikian pula sebaliknya, anak angkat tidak bisa mewarisi
dari orang tua angkatnya.
• Ibu tiri dan bapak tiri.
• Anak Lian.
Lian adalah sumpah seorang suami untuk meneguhkan tuduhannya
bahwa istrinya telah berzina dengan laki-laki lain. Sumpah itu dilakukan
suami karena istrinya telah menyanggah tuduhan suaminya itu,
sementara suami sendiri tidak memiliki bukti-bukti atas tuduhan zinanya.
• Anak hasil zina.

• Penghalang Waris Kedua


Penghalang dalam bentuk Ahli Waris yang berposisi lebih kuat.
Artinya keberadaan Ahli Waris yang secara posisi lebih kuat itu bisa
menyebabkan terhalangnya Ahli Waris tertentu untuk mendapatkan hak
warisnya, baik secara keseluruhan ataupun sebagian besarnya. Proses
penghalangan ini dalam Ilmu al-Faraidh dikenal dengan istilah Hajb.
Seorang yang terhalang dari harta warisnya disebut Mahjub, sedangkan
penghalangnya disebut Hajib.
Penghalang jenis ini terbagi menjadi dua:
• Hajb Hirman (menghalangi secara keseluruhan). Jika penghalangnya
dari jenis pertama ini, maka dapat menghalangi seorang Ahli Waris
dari jatah warisnya secara keseluruhan. Penghalang jenis ini bisa
menimpa semua Ahli Waris kecuali enam orang; bapak, ibu, anak lelaki,
anak perempuan, suami, dan istri.
• Hajb Nuqshan (menghalangi dari jatah waris yang terbesar). Jika ada
penghalang dari jenis kedua ini, maka dapat menghalangi seorang Ahli
Waris dari jatah warisnya terbesar, sehingga ia bergeser dari jatahnya
yang besar kepada jatahnya yang lebih sedikit.
Penghalang jenis ini terbagi menjadi tujuh macam:
a) Menghalangi Ahli Waris tertentu dari jatah waris tertentu (Fardh)
dengan menggesernya kepada jatah waris tertentu (Fardh) yang lebih
sedikit. Misalnya, bergesernya suami dari jatah waris ½ kepada ¼.
Demikian pula bergesernya satu orang istri atau lebih dari jatah waris
¼ kepada 1/8.
b) Menghalangi Ahli Waris tertentu dengan menggesernya dari suatu
Tashib kepada Tashib yang lebih sedikit. Misalnya, saudara
perempuan sekandung dan saudara perempuan sebapak yang bergeser
dari Ashabah Ma’al Ghair kepada Ashabah Bil Ghair.
c) Menghalangi Ahli Waris tertentu dengan menggesernya dari jatah
waris tertentu (Fardh) kepada Tashib yang lebih sedikit. Misalnya,
bergesernya jatah waris ½ dari para pemiliknya kepada Ashabah Bil
Ghair.
d) Menghalangi Ahli Waris tertentu dengan menggesernya dari Tashib
kepada jatah waris tertentu (Fardh) yang lebih sedikit. Misalnya,
bergesernya bapak dan kakek dari Tashib kepada jatah waris tertentu
(Fardh).
e) Saling berserikat dalam jatah waris tertentu (Fardh). Misalnya,
berserikatnya para istri pada jatah waris ¼ dan 1/8, berserikatnya para
pemilik jatah waris 1/3 dan juga para pemilik jatah waris 2/3 pada
jatah tersebut.
f) Saling berserikat dalam Tashib tertentu, seperti berserikatnya Ashabah
pada suatu harta secara utuh atau pada apa yang tersisa dari Ashhabul
Furudh.

g) Saling berserikat dalam masalah ‘aul (masalah ‘aul adalah masalah


berlebihnya jumlah jatah/saham Ahli Waris di atas jumlah Ashlul
Mas’alah (Asal masalah), saat proses penghitungan), di mana masing-
masingnya mendapatkan jatah yang lebih (di atas kertas), namun
dalam praktik nyatanya tidak demikian.40

E. Derajat Ahli Waris


Antara ahli waris yang satu dan lainnya ternyata mempunyai perbedaan
derajat dan urutan. Berikut ini akan disebutkan berdasarkan urutan dan derajatnya:
1. Ashhabul furudh.
Golongan inilah yang pertama diberi bagian harta warisan. Mereka adalah
orang-orang yang telah ditentukan bagiannya dalam Al-Qur'an, As-
Sunnah, dan ijma'.
2. Ashabat nasabiyah.
Setelah ashhabul furudh, barulah ashabat nasabiyah menerima bagian.
Ashabat nasabiyah yaitu setiap kerabat (nasab) pewaris yang menerima
sisa harta warisan yang telah dibagikan. Bahkan, jika ternyata tidak ada
ahli waris lainnya, ia berhak mengambil seluruh harta peninggalan.
Misalnya anak laki-laki pewaris, cucu dari anak laki-laki pewaris, saudara
kandung pewaris, paman kandung, dan seterusnya.
3. Dikembalikan ke Ashhabul Furudh
Penambahan bagi ashhabul furudh sesuai bagian (kecuali suami istri).
Apabila harta warisan yang telah dibagikan kepada semua ahli warisnya
masih juga tersisa, maka hendaknya diberikan kepada ashhabul furudh
masing-masing sesuai dengan bagian yang telah ditentukan. Adapun suami
atau istri tidak berhak menerima tambahan bagian dari sisa harta yang ada.
Sebab hak waris bagi suami atau istri disebabkan adanya ikatan
pernikahan, sedangkan kekerabatan karena nasab lebih utama
mendapatkan tambahan dibandingkan lainnya.
4. Uulul Arhaam/kerabat
Mewariskan kepada kerabat. Yang dimaksud kerabat di sini ialah kerabat
pewaris yang masih memiliki kaitan rahim; tidak termasuk ashhabul
furudh juga 'ashabah. Misalnya, paman (saudara ibu), bibi (saudara ibu),
bibi (saudara ayah), cucu laki-laki dari anak perempuan, dan cucu
perempuan dari anak perempuan. Maka, bila pewaris tidak mempunyai
kerabat sebagai ashhabul furudh, tidak pula 'ashabah, para kerabat yang
masih mempunyai ikatan rahim dengannya berhak untuk mendapatkan
warisan.
5. Tambahan hak waris bagi suami atau istri.
Bila pewaris tidak mempunyai ahli waris yang termasuk ashhabul furudh
dan 'ashabah, juga tidak ada kerabat yang memiliki ikatan rahim, maka
harta warisan tersebut seluruhnya menjadi milik suami atau istri.
Misalnya, seorang suami meninggal tanpa memiliki kerabat yang berhak
untuk mewarisinya, maka istri mendapatkan bagian seperempat dari harta
warisan yang ditinggalkannya, sedangkan sisanya merupakan tambahan
hak warisnya. Dengan demikian, istri memiliki seluruh harta peninggalan
suaminya. Begitu juga sebaliknya suami terhadap harta peninggalan istri
yang meninggal.
6. Ashabah karena sebab.
Yang dimaksud para 'ashabah karena sebab ialah orang-orang yang
memerdekakan budak (baik budak laki-laki maupun perempuan).
Misalnya, seorang bekas budak meninggal dan mempunyai harta warisan,
maka orang yang pernah memerdekakannya termasuk salah satu ahli
warisnya, dan sebagai 'ashabah. Tetapi pada masa kini sudah tidak ada
lagi.
7. Orang yang diberi wasiat lebih dari sepertiga harta pewaris.
Yang dimaksud di sini ialah orang lain, artinya bukan salah seorang dan
ahli waris. Misalnya, seseorang meninggal dan mempunyai sepuluh anak.
Sebelum meninggal ia terlebih dahulu memberi wasiat kepada semua atau
sebagian anaknya agar memberikan sejumlah hartanya kepada seseorang
yang bukan termasuk salah satu ahli warisnya. Bahkan mazhab Hanafi
dan Hambali berpendapat boleh memberikan seluruh harta pewaris bila
memang wasiatnya demikian.
8. Baitulmal (kas negara).
Apabila seseorang yang meninggal tidak mempunyai ahli waris ataupun
kerabat --seperti yang saya jelaskan-- maka seluruh harta peninggalannya
diserahkan kepada baitulmal untuk kemaslahatan umum.

F. Pembagian Waris
Jumlah bagian yang telah ditentukan Al-Qur'an ada enam macam, yaitu
setengah (1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua per tiga (2/3), sepertiga
(1/3), dan seperenam (1/6). Pembagiannya secara rinci, siapa saja ahli waris yang
termasuk ashhabul furudh dengan bagian yang berhak ia terima.
1. Ashhabul Furudh yang Berhak Mendapat Setengah
Ashhabul furudh yang berhak mendapatkan separo dari harta waris
peninggalan pewaris ada lima, satu dari golongan laki-laki dan empat lainnya
perempuan. Kelima ashhabul furudh tersebut ialah suami, anak perempuan,
cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan, dan
saudara perempuan seayah. Rinciannya seperti berikut:
• Seorang suami berhak untuk mendapatkan separo harta warisan, dengan
syarat apabila pewaris tidak mempunyai keturunan, baik anak laki-laki
maupun anak perempuan, baik anak keturunan itu dari suami tersebut ataupun
bukan. Dalilnya adalah firman Allah: "... dan bagi kalian (para suami)
mendapat separo dari harta yang ditinggalkan istri-istri kalian, bila mereka
(para istri) tidak mempunyai anak ..." (QS. an-Nisa': 12)
• Anak perempuan (kandung) mendapat bagian separo harta peninggalan
pewaris, dengan dua syarat:
• Pewaris tidak mempunyai anak laki-laki (berarti anak perempuan tersebut
tidak mempunyai saudara laki-laki).
• Apabila anak perempuan itu adalah anak tunggal.
Dalilnya adalah firman Allah: "dan apabila ia (anak perempuan) hanya
seorang, maka ia mendapat separo harta warisan yang ada". (QS.an-
Nisa’:12)
Bila kedua persyaratan tersebut tidak ada, maka anak perempuan pewaris
tidak mendapat bagian setengah.
• Cucu perempuan keturunan anak laki-laki akan mendapat bagian
separo, dengan tiga syarat:
• Apabila ia tidak mempunyai saudara laki-laki (yakni cucu laki- laki dari
keturunan anak laki-laki).
• Apabila hanya seorang (yakni cucu perempuan dari keturunan anak laki-
laki tersebut sebagai cucu tunggal).
• Apabila pewaris tidak mempunyai anak perempuan ataupun anak laki-laki.
• Saudara kandung perempuan akan mendapat bagian separo harta warisan,
dengan tiga syarat:
• Ia tidak mempunyai saudara kandung laki-laki.
• Ia hanya seorang diri (tidak mempunyai saudara perempuan).
• Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakek, dan tidak pula mempunyai
keturunan, baik keturunan laki-laki ataupun keturunan perempuan.
• Saudara perempuan seayah akan mendapat bagian separo dari harta
warisan peninggalan pewaris, dengan empat syarat:
a. Apabila ia tidak mempunyai saudara laki-laki.
b. Apabila ia hanya seorang diri.
c. Pewaris tidak mempunyai saudara kandung perempuan.
d. Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakak, dan tidak pula anak, baik anak
laki-laki maupun perempuan.
2. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Seperempat
Adapun kerabat pewaris yang berhak mendapat seperempat (1/4) dari
harta peninggalannya hanya ada dua, yaitu suami dan istri.
Rinciannya sebagai berikut:
Seorang suami berhak mendapat bagian seperempat (1/4) dari harta
peninggalan istrinya dengan satu syarat, yaitu bila sang istri mempunyai
anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak laki-lakinya, baik anak atau cucu
tersebut dari darah dagingnya ataupun dari suami lain (sebelumnya).
Hal ini berdasarkan firman Allah berikut: "... Jika istri-istrimu itu
mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya". (QS.an-Nisa': 12)
• Seorang istri akan mendapat bagian seperempat (1/4) dari harta peninggalan
suaminya dengan satu syarat, yaitu apabila suami tidak mempunyai
anak/cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya ataupun dari rahim istri
lainnya.
Ketentuan ini berdasarkan firman Allah berikut: "...Para istri memperoleh
seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai
anak ...". (QS.an-Nisa': 12)
3. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Seperdelapan
Dari sederetan ashhabul furudh yang berhak memperoleh bagian
seperdelapan (1/8) yaitu istri. Istri, baik seorang maupun lebih akan
mendapatkan seperdelapan dari harta peninggalan suaminya, bila suami
mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya atau dari
rahim istri yang lain.
Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: "... Jika kamu
mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang
kamu tinggalkan sesudah dipenuh, wasiat yang kamu buat atau (dan)
sesudah dibayar utang-utangmu ...". (QS.an-Nisa': 12)
4. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Bagian Dua per Tiga
Ahli waris yang berhak mendapat bagian dua per tiga (2/3) dari harta
peninggalan pewaris ada empat, dan semuanya terdiri dari wanita:
• Dua anak perempuan (kandung) atau lebih.
• Dua orang cucu perempuan keturunan anak laki-laki atau lebih.
• Dua orang saudara kandung perempuan atau lebih.
• Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih.
Ketentuan ini terikat oleh syarat-syarat seperti berikut:

Dua anak perempuan (kandung) atau lebih itu tidak mempunyai saudara laki-laki, yakni
anak laki-laki dari pewaris.
Dalilnya firman Allah berikut: "... dan jika anak itu semuanya perempuan
lebih dari dua, maka bagi mereka dua per tiga dari harta yang
ditinggalkan ..." (QS.an-Nisa': 11)
Ada satu hal penting yang mesti kita ketahui agar tidak tersesat dalam
memahami hukum yang ada dalam Kitabullah. Makna "fauqa itsnataini"
bukanlah 'anak perempuan lebih dari dua', melainkan 'dua anak perempuan
atau lebih', hal ini merupakan kesepakatan para ulama. Mereka bersandar
pada hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari dan Imam Muslim yang mengisahkan vonis Rasulullah
terhadap pengaduan istri Sa'ad bin ar-Rabi' r.a.41
Hadits tersebut sangat jelas dan tegas menunjukkan bahwa makna ayat
itsnataini adalah 'dua anak perempuan atau lebih'. Jadi, orang yang
berpendapat bahwa maksud ayat tersebut adalah "anak perempuan lebih dari
dua" jelas tidak benar dan menyalahi ijma' para ulama. Wallahu a'lam.
a. Dua orang cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki akan
mendapatkan bagian dua per tiga (2/3), dengan persyaratan sebagai berikut:
1) Pewaris tidak mempunyai anak kandung, baik laki-laki atau perempuan.
2) Pewaris tidak mempunyai dua orang anak kandung perempuan.
3) Dua cucu putri tersebut tidak mempunyai saudara laki-laki.

b. Dua saudara kandung perempuan (atau lebih) akan mendapat bagian sebagai berikut:
1)Bila pewaris tidak mempunyai anak (baik laki-laki maupun perempuan),
juga tidak mempunyai ayah atau kakek.
2)Dua saudara kandung perempuan (atau lebih) itu tidak mempunyai saudara
laki-laki sebagai 'ashabah.
3)Pewaris tidak mempunyai anak perempuan, atau cucu perempuan dari
keturunan anak laki-laki.
Dalilnya adalah firman Allah: "... tetapi jika saudara perempuan itu dua
orang, maka bagi keduanya dua per tiga dari harta yang ditinggalkan oleh
yang meninggal ..." (QS.an-Nisa': 176)

c. Dua saudara perempuan seayah (atau lebih) akan mendapat bagian dua per
tiga dengan syarat sebagai berikut:
1)Bila pewaris tidak mempunyai anak, ayah, atau kakek.
2)Kedua saudara perempuan seayah itu tidak mempunyai saudara laki-laki
seayah.
3)Pewaris tidak mempunyai anak perempuan atau cucu perempuan dari
keturunan anak laki-laki, atau saudara kandung (baik laki-laki maupun
perempuan).
5. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Bagian Sepertiga
Adapun ashhabul furudh yang berhak mendapatkan warisan sepertiga
bagian hanya dua, yaitu ibu dan dua saudara (baik laki-laki ataupun
perempuan) yang seibu.
Seorang ibu berhak mendapatkan bagian sepertiga dengan syarat:
• Pewaris tidak mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak laki-
laki.
• Pewaris tidak mempunyai dua orang saudara atau lebih (laki-laki maupun
perempuan), baik saudara itu sekandung atau seayah ataupun seibu.
Dalilnya adalah firman Allah: "... dan jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya
mendapat sepertiga...". (QS.an-Nisa': 11)

6. Asbhabul Furudh yang Mendapat Bagian Seperenam


Adapun asbhabul furudh yang berhak mendapat bagian seperenam (1/6) ada
tujuh orang. Mereka adalah :
• ayah,
• kakek asli (bapak dari ayah),
• ibu,
• cucu perempuan keturunan anak laki-laki,
• saudara perempuan seayah,
• nenek asli,
• saudara laki-laki dan perempuan seibu.
BAB III
KESIMPULAN, SARAN, PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan makalah ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1. Harta warisan adalah harta yang dalam istilah fara’id dinamakan Tirkah
(peninggalan) merupakan sesuatu atau harta kekayaan oleh yang
meninggal, baik berupa uang atau materi lainya yang dibenarkan oleh
syariat Islam untuk diwariskan kepada ahli warisnya.dan dalam
pelaksanaanya atau apa-apa yang yang ditinggalkan oleh yang meninggal
harus diartikan sedemikian luas sehingga mencakup hal-hal yang ada
pada bagiannya. Kebendaan dan sifat-sifatnya yang mempunyai nilai
kebendaan. Hak-hak kebendaan dan hak-hak yang bukan kebendaan dan
benda-benda yang bersangkutan dengan hak orang lain.
2. Pentingnya pembagian warisan untuk orang-orang yang ditinggalkan
dengan seadil-adilnya sudah diatur dalam Islam, mencegah terjadinya
konflik antar ahli waris dan menghindari perpecahan ukhuwah
persaudaraan antar sesama keluarga yang masih hidup. Pembagian
tersebut sudah di atur dalam al-Quran dan al-Hadits, namun ada beberapa
ketentuan yang di sepakati menggunakan Ijma’ dengan seadil-adilnya.

B. Saran
Adapun saran-saran yang dapat penulis berikan adalah sebagai berikut :
1. Waris merupakan hal penting di dalam hukum Islam karena sering
menimbulkan perselisihan, sebagai umat yang beragama Islam untuk
mecegah perpecahan dalam tali persaudaraan, sebaiknya gunakanlah
pembagian waris sesuai dengan hukum Islam.
2. Sebagai masyarakat yang hidup di zaman modern, sebaiknya kita lebih
menggali informasi dengan mengikuti perkembangan zaman karena
pentingnya masalah seperti warisan, informasi yang di dapatkan
masyarakat bisa bermanfaat bagi orang lain seperti informasi mengenai
upaya seperti apa apabila seorang Khuntsa ingin mendapatkan kejelasan
status kewarisannya.
Serta mengingat keterbatasan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki
oleh penyusun, maka untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendasar dan
luas lagi disarankan kepada pembaca untuk membaca referensi-referensi lain yang
lebih baik. Dalam makalah ini penyusun berkeinginan memberikan masukan
kepada pembaca agar terus mempelajari dan mengkaji ilmu berkaitan dengan
hukum, terutama Hukum Kewarisan Islam khususnya.

C. Penutup
Syukur Alhamdulillah kepada sang Kholiiqul 'alam yaitu Allah Subhanahu
wa Ta’ala yang memberikan petunjuk dan rahmatNya sebagai ucapan rasa syukur
penulis dapat menyelesaikan tugas ini, walaupun masih banyak kekurangan dan
kelemahan dalam penulisan. Namun penulis berharap dengan karya ini dapat
memberikan manfaat bagi penulis dan umumnya bagi pembaca.
Untuk itu penulis berharap kritik serta sarannya dari ibu Dosen, karena beliau
adalah sebagai sumber ilmu bagi penulis.
Wallahu a’lam bish-shawabi
DAFTAR PUSTAKA

https://quran.kemenag.go.id/ tentang al-Quran


digital https://id.wikipedia.org tentang hadits
http://nashislam.com/ tentang hadits
https://store.lidwa.com/get/ tentang hadits
https://muslim.or.id/ tentang hadits
https://islamweb.net/en/ tentang hadits
http://www.academia.edu/Documents tentang ilmu waris

41
42

Anda mungkin juga menyukai