Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

MAKSUD UTAMA TAFSIR DAN SEBAB-SEBAB KEKELIRUAN


DALAM TAFSIR
Disusun untuk memenuhi tugas pada Mata Kuliah Tafsir 1

Dosen Pengampuh :

Islamiyah M.Ag
Nama Anggota:

Abdul wasi’ Smg (211924)


Fattahul Rahman (211824)

PRODI ILMU AL QURAN DAN TAFSIR


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
SULTAN ABDURRAHMAN KEPRI.

TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kita Rahmat dan
Nikmat-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini, Sholawat dan
Salam tidak lupa kita hanturkan kepada junjungan alam Nabi Muhammad
S.A.W. Tidak lupa pula penyusun ucapkan terimakasih kepada Ibu Islamiyah
M,Ag selaku dosen pembimbing mata kuliah Tafsir 1. Penyusun berharap
makalah ini dapat menambah pengetahuan serta wawasan terhadap “Maksud
Utama dan Sebab-sebab Kekeliruan Dalam Tafsir”.
Penyusun menyadari makalah ini tidak di susun semaksimal mungkin,
tentu masih ada kekurangan yang tidak di sengaja. Maka dari itu penyusun
harapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah
ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Tanjungpinang, 17, 09,2023


DAFTAR TAFSIR
BAB 1

PENDAHULUAN
BAB II

PEMBAHASAN

A. Maksud Utama Tafsir

Para ulama menganggap tafsir memegang peranan penting karena tanpa


penafsiran, pesan Al-Quran sebagai pedoman umat manusia tidak dapat berfungsi
secara maksimal. Oleh karena itu, keberadaan tafsir harus diapresiasi dengan
menjaga dan melestarikan khazanah tafsir yang ada, serta upaya-upaya baru dalam
aspek pendekatan tafsir Al-Quran yang harus diakui dan diterima perlu dilakukan.

Urgensi atau yang lebih dikenal dengan urgensi penafsiran berkaitan dengan
posisi, sistem, tujuan dan prioritasnya,serta hubungannya dengan kapasitas
pragmatis, utilitarian, dan pragmatis. Posisi tafsir dapat dipahami sebagai kunci
representatif untuk membuka makna rahasia Al-Quran. Kedudukan ini dalam
sistem pendidikan Islam berperan sebagai sarana (tariqah) untuk mencapai tujuan
yang diinginkan dalam memahami makna Al-Qur'an, yaitu memperoleh mutiara
dan batu mulia seperti simbol yang mempunyai makna tertinggi.

Pemahaman ini menjadi panduan kokoh untuk mencapai kebahagiaan sejati.


Oleh karena itu, keterampilan apa pun yang diarahkan pada hal-hal profanik
(duniawi) atau eskatologis (ukhrawi) bergantung langsung pada keseimbangan
dalam memahami makna yang terkandung dalam kalamullah sebagai sumber
utama fikih tentang kehidupan1.

Beberapa ulama yang dikutip oleh Abd. Lathif antara lain Ahmad al-Syirbasyi
menyatakan bahwa kedudukan penafsiran tergantung pada dokumen atau materi
yang ditafsirkan, karena dokumen penafsiran adalah kitab suci Al-Quran
mempunyai kedudukan yang mulia, Al-Zarkasyi mengatakan bahwa tindakan
tersebut adalah yang terbaik yang dicapai oleh akal manusia dan daya refleksinya
yang tinggi adalah kegiatan mengungkap rahasia-rahasia yang terkandung dalam

1
.Manna Khalil Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an, diterjemahkan oleh Mudzakir AS, Studi
Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, hal. 461
wahyu Tuhan dan mengungkap penafsiran yang benar berdasarkan pemahaman
yang benar dan tepat.2

Pendapat yang lain disampaikan al-Raghib al-Ashfahaniy bahwa karya yang


termulia ialah buah kesanggupan menafsirkan dan mentakwilkan Al-Qur`an.
Sementara penulis Tafsir al-Mishbah, M. Quraish Shihab, mengatakan
pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur`an melalui penfsiran-penafsirannya
mempunyai peranan yang sangat besar bagi maju-mundurnya umat.Sekaligus
penafsiran-penafsiran itu menjadi tolok ukur perkembangan serta corak
pemikiran mereka.

Sementera itu, Abd. Muin Salim menyebut ada dua fungsi tafsir Al-Qur`an:
pertama, fungsi epistemologis, yakni sebagai metode pengetahuan terhadap
ayat-ayat Al-Qur`an yang informatif, dan kedua, pendayagunaan norma-norma
kandungan Al-Qur`an melalui tafsir.3

Tafsir adalah ilmu syari’at yang paling agung dan paling tinggi
kedudukannya. Tafsir merupakan ilmu yang paling mulia objek pembahasan dan
tujuannya, serta dibutuhkan. Objek pembahasannya adalah kalamullah yang
merupakan sumber segala hikmah dan tambang segala keutamaan. Tujuan
utamanya untuk dapat berpegang pada tali yang kokoh dan mencapai
kebahagiaan hakiki. Sedangkan kebutuhan terhadapnya sangat mendesak karena
segala kesempurnaan agamawi dan duniawi haruslah sejalan dengan syara’,
sedang kesejalanan ini sangat bergantung pada pengetahuan tentang kitab Allah.4

Menurut hemat penulis, urgensi tafsir pada saat ini sangat dibutuhkan di
Tengah masyarakat modern, karena kampanye kebebasan berpikir, berekspresi,
dan berbuat semakin gencar dilakukan oleh kelompok liberal. Kondisi diperparah
dengan tersedianya media massa dan media social tanpa batas, yang menjangkau

2
. Achmad Muchammad, Tafsir: Pengertian, Dasar, dan Urgensinya . Jurnal Pendidikan dan
Kebudayaan, Volume 3, Nomor 2,. Hal : 108
3
Suryadilaga, M. Alfatih, dkk. Metodologi Ilmu Tafsir,cetakan ke-III, Yogyakarta: Teras, 2010,
hal 34-35
4
al-Zarkashiy, al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an;( Lebanon: Dar alKutub al-Ilmiyah, 2011) , Juz I,
hal,13
seluruh manusia di berbagai belahan dunia. Masyarakat sangat membutuhkan
penafsiran-penafsiran ayat Al-Qur’an yang lebih segar, untuk mengaktifkan
fungsi Al-Qur’an itu sendiri sebagai hudan (petunjuk) atau adz-dzikr (pengingat),
agar tidak terjerumus pada kesesatan dan melampaui batas.

B. Sebab-Sebab Kekeliruan Dalam Penafsiran

Kekeliruan dalam penafsiran sudah menjadi suatu problem dalam


kehidupan beragama. Kekeliruan penafsiran Al-Qur'an bisa terjadi, dan sering kali
interpretasi yang salah dapat memiliki dampak yang signifikan. Faktor-faktor
yang mengakibatkan kekeliruan dalam penafsiran antara lain adalah:

1. Subjektivitas mufasir
2. Kekeliruan dalam menerapkan metode atau kaidah
3. Kedangkalan dalam ilmu-ilmu alat
4. Kedangkalan pengetahuan tentang materi uraian (pembicaraan) ayat
5. Tidak memperhatikan konteks, baik asbab al-nuzul, hubungan
antar ayat, maupun kondisi sosial masyarakat. Tidak memperhatikan
siapa pembicara dan terhadap siapa pembicaraan ditujukan.5

Hampir sama dengan apa yang dikemukakan Quraish, Rachmat


Syafei yang dikutip Ghazali dan Gunawan, Syafei menyebutkan secara
umum terdapat beberapa kesalahan atau kekeliruan dalam menafsirkan Al-
Quran. Di antaranya oleh hal-hal berikut

1. Mufasir menyalahi beberapa persyaratan sebagaimana telah


disebutkan di atas. Misalnya, seorang mufasir tidak mengetahui
nasikh mansukh, tidak menguasai bahasa Arab dan ilmu lainnya
2. Seorang mufasir berbicara tentang suatu masalah, tetapi ia
sendiri tidak mengerti masalah tersebut. Misalnya, ketika
menafsirkan ayat "kaanan Naasu Ummatan Waadidatan"ayat ini
sangat berkaitan dengan masalah sosiologi. Dengan demikian,
penafsirannya tidak cukup dengan satu pendekatan saja, tetapi
dilakukan dengan berbagai macam pendekatan (multi
approach), dan tidak mungkin dilakukan dengan seorang
mufasir saja
3. Adanya unsure subjektivitas dari orang yang menafsirkan al-Quran

5
Dede Ahmad Ghazali dan Heri Gunawan,Studi Islam Suatu Pengantar Dengan
Pendekatan Interdisipliner, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015), hlm. 105-106
4. Kesalahan dalam metode pendektan (al-Khata fi al-Manhaj), ini
diakui oleh Ibn Rusyd bahwa ada masalah dalam al-Quran
yang didekati oleh pendekatan yang tidak pada tempatnya.
5. Kesalahan dalam melihat mutakalim (yang berbicara) dan
mukhatab (yang diajak bicara6

Lebih lanjut Ghazali menjelaskan pangkal kesalahan terletak pada pemahaman


lafadz atau kalam hal tersebut memeiliki dua bentuk seperti berikut :

1. Menafsrikan makna dari pengertian-pengertian di mana lafadz-lafadz al-


Quran itu dibawanya pada pengertian yang sesuai dengan keyakinannya.
2. Penafsiran al-Quran semata-mata menurut bahasa (orang Arab) tanpa
memerhatikan pembicaraan al-Quran yang kepadanya al-Quran itu
diturunkan, serta berbicara kepadanya dengan memakai al-Quran itu juga.7

Baidan secara tersirat menjelaskan dalam bukunya mengenai faktor-faktor


penyebab terjadi kesalahan dalam penafsiran al-Quran. Baidan berargumen hal ini
disebabkan kepribadian mufasir, sehingga sikap subjektif terjadi. Sebagaimana
yang saya kemukakan menganai pendapat Baidan menganai kepribadian mufasir
ada tiga, maka Baidan mengemukakan bahwa penyebab kesalahan dalam
penafsiran adalah antonim dari keempat hal tersebut.Pertama, yaitu orang yang
tidak ikhlas dalam beramal, maka itu artinya mencari keuntungan pribadi atau
golongan ataupun yang lain, sikap seperti ini jelas akan menghasilkan penafsiran
yang tendensius merusak tatanan yang sudah baik atau malah menimbulkan
kegaduhan ditengah masyarakat. Baidan menegaskan terjadinya berbagai
penyimpangan dalam penafsiran berawal dari tidak adanya keikhlasan dan
ketulusan seseorang dalam penafsiran.8

Kedua, Kuatnya pengaruh aliran yang mendominasi pemikiran mufasir


sehingga ia senantiasa berusaha mengerahkan seluruh kemampuan dan daya
pikirnya dalam menafsirkan ayat al-Quran supaya cocok dengan paham yang
dianutnya. Dalam ungkapan lain, para penganut suatu aliran tertentu cenderung
berupaya menundukkan al-Quran dibawah pemikiran mereka; bukan sebaliknya.
Dari itu kelompok seperti ini tidak segan-segan memanipulasi makna yang
dikandung oleh suatu ayat, bahkan tanpa malu sedikitpun mereka memberikan
makna atas suatu ayat berdasarkan aliran yang dianut oleh mereka.9

6
Ghazali dan Gunawan, Studi Islam Suatu, hlm 121
7
ibid
8
Nashruddin Baidan, Rekonstruksi Ilmu Tafsir, (Jakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa,
2000), h. 107
9
Ibid h,42
Ketiga, Mufasir tidak tidak sadar bahwa yang dikajinya adalah firman Allah,
bahkan menyamakannya dengan kalam manusia. Jika kondisi ini terjadi maka
kemungkinan keliru dalam memahami dan menafsirkan al-Quran semakin besar.10

Dari kajian yang kami dapati dapat ditarek kesimpulan bahwa sebab
kekeliruan dalam penafsiran ialah sebagai berikut :

1. Perbedaan tafsir ulama, terdapat berbagai mazhab dalam Islam, dan


setiap mazhab memiliki tafsirnya sendiri. Hal ini dapat menyebabkan
perbedaan dalam penafsiran terutama terkait dengan hukum dan
praktek ibadah.11
2. Keterbatasan manusia, penafsiran Al-Qur'an adalah usaha manusia
yang rentan terhadap kesalahan. Tafsir yang lebih baik memerlukan
ilmu yang mendalam dan akal sehat.
3. Ketidaksepakatan interatif, terdapat berbagai pandangan dalam dunia
Islam, dan kadang-kadang tidak ada konsensus tentang makna suatu
ayat.

BAB III

10
Ibid, h 43-44
11
Mazhab adalah pendekatan hukum dalam Islam yang memandu penafsiran dan praktik.
Penting untuk memahami perbedaan mazhab dalam penafsiran.
PENUTUP

A. Kesimpulan
Urgensi atau yang lebih dikenal dengan urgensi penafsiran
berkaitan dengan posisi, sistem, tujuan dan prioritasnya,serta hubungannya
dengan kapasitas pragmatis, utilitarian, dan pragmatis. Posisi tafsir dapat
dipahami sebagai kunci representatif untuk membuka makna rahasia Al-
Quran. Beberapa ulama yang dikutip oleh Abd. Lathif antara lain Ahmad
al-Syirbasyi menyatakan bahwa kedudukan penafsiran tergantung pada
dokumen atau materi yang ditafsirkan, karena dokumen penafsiran adalah
kitab suci Al-Quran mempunyai kedudukan yang mulia, Al-Zarkasyi
mengatakan bahwa tindakan tersebut adalah yang terbaik yang dicapai
oleh akal manusia dan daya refleksinya yang tinggi adalah kegiatan
mengungkap rahasia-rahasia yang terkandung dalam wahyu Tuhan dan
mengungkap penafsiran yang benar berdasarkan pemahaman yang benar
dan tepat.
Objek pembahasannya adalah kalamullah yang merupakan sumber
segala hikmah dan tambang segala keutamaan. Tujuan utamanya untuk
dapat berpegang pada tali yang kokoh dan mencapai kebahagiaan hakiki.
Sedangkan kebutuhan terhadapnya sangat mendesak karena segala
kesempurnaan agamawi dan duniawi haruslah sejalan dengan syara’,
sedang kesejalanan ini sangat bergantung pada pengetahuan tentang kitab
Allah.Kekeliruan penafsiran Al-Qur'an bisa terjadi, dan sering kali
interpretasi yang salah dapat memiliki dampak yang signifikan.
B. Saran

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat


banyak kekurangan, oleh karena itu kami sebagi penyusun mengharapkan
kritikan dan saran yang dapat membangun dan meningkatkan literasi kta.
Sekian, terima kasih.
Daftar Pustaka

Manna Khalil Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an, diterjemahkan oleh


Mudzakir AS, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an.
Achmad Muchammad, Tafsir: Pengertian, Dasar, dan Urgensinya . Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan, Volume 3, Nomor 2.
Suryadilaga, M. Alfatih, dkk. Metodologi Ilmu Tafsir,cetakan ke-III, Yogyakarta:
Teras, 2010.
al-Zarkashiy, al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an;( Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
2011)
Baidan, Nashruddin. Wawasan Baru Ilmu Tafsir, cetakan keII, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2011.
Ghazali, Dede Ahmad dan Heri Gunawan. Studi Islam Suatu Pengantar Dengan
Pendekatan Interdisipliner, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015

Anda mungkin juga menyukai