Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

SYARAT SYARAN PENAPSIR

Di Susun Guna Memenuhi Tugas

Mata kuliah Tafsir

Dosen :

H. Ahmad Zubairin, Lc. MA

Oleh:

Ahmad Hudori

Diki Rahman

Agus Kurniawan

PROGRAM SETUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

ASY-SYUKRIYYAH

CIPONDOH TANGERANG
2019

1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Daftar isi :

1. Pendahuluan
A. Latar belakang masalah
2. Pembahasan
A. Pengertian mufasir
B. Syarat – Syarat Penafsiran Al Qur’an
C. Syarat Syarat mufasir
D. Etika dan adab mufasir dalam menafsirkan Al Qur’an
E. Ilmu Ilmu yang harus dimiliki mufasir
3. Penutup
A. Kesimpulan
B. Saran
C. Daftar Pusaka

2
BAB I

PENDAHULUAN

Kita Tahu, Bahwa Tafsir Merupakan Salah Satu Jalan Untuk Memahami Kitab Yang Diturunkan
Allah Kepada Nabi Muhammad SAW Yang Tercinta. Sangat Mustahil Seseorang Akan Paham Al-Quran
Secara Kamil Kalau Tidak Tahu Tentang Tafsir. Serangan Terhadap Al-Quran Pun Beramai-Ramai
Dilakukan Oleh Para Orientalis Barat. Mereka Berusaha Untuk Mengkritisi Serta Meragukan Otentisitas
Dan Kesakralan Al-Quran. Kita Tentu Tidak Akan Heran Jika Orang Yang Melakukan Penyerangan
Terhadap Al-Quran Tersebut Berasal Dari Golongan Yahudi Dan Kristen. Akan Tetapi, Menjadi Sangat
Tragis Dan Ironis Jika Penyerangan Itu Juga Dilakukan Oleh Kalangan Yang Menyatakan Dirinya Sebaga
Muslim;Bahkan Berkembang Dari Dan Di Perguruan Tinggi Negeri Yang Memakai Embel-Embel Islam.
Ajakan Untuk Melakukan Penafsiran Ulang (Reinterpretasi) Terhadap Al-Quran Semakin Sering
Terdengar. Penafsiran Ulang Tersebut Terutama Dilakukan Terhadap Ayat-Ayat Yang Dipandang Tidak
Lagi Relevan Dengan Konteks Zaman Ini Atau Dapat Menimbulkan Problem Dengan Penganut Agama
Lain. Akan Tetapi, Apakah Setiap Orang Memiliki Otoritas Untuk Menafsirkan Al-Quran? Lantas,Siapakah
Yang Memiliki Otoritas Untuk Menafsirkan Al-Quran Dan Apa Saja Yang Harus Dipenuhi Olehnya? Tulisan
Ini Mencoba Untuk Menjelaskannya
Ajakan Untuk Melakukan Penafsiran Ulang (Reinterpretasi) Terhadap Al-Quran Semakin Sering
Terdengar. Penafsiran Ulang Tersebut Terutama Dilakukan Terhadap Ayat-Ayat Yang Dipandang Tidak
Lagi Relevan Dengan Konteks Zaman Ini Atau Dapat Menimbulkan Problem Dengan Penganut Agama
Lain. Akan Tetapi, Apakah Setiap Orang Memiliki Otoritas Untuk Menafsirkan Al-Quran? Lantas,Siapakah
Yang Memiliki Otoritas Untuk Menafsirkan Al-Quran Dan Apa Saja Yang Harus Dipenuhi Olehnya?
Setelah Meyakini Sepenuhnya Bahwa Al-Quran Betul-Betul Dari Allah;Sedikitpun Tidak Ada
Campur Tangan Pihak Luar, Termasuk Malaikat Jibril Dan Nabi Muhammad SAW, Maka Seseorang Akan
Termotivasi Secara Kontinu Untuk Mepelajarinya Agar Diperoleh Pemahaman Yang Benar Sesuai Dengan
Yang Dimaksud Allah Di Dalam Kitab-Nya Itu. Guna Mendapatkan Pemahaman Yang Demikian Mau Tidak
Mau,Dia Harus Memiliki Apa Yang Disebut Dengan Ilmu Tafsir. Tampa Pengusaan Ilmu Itu Seseorang
Akan Menghadapi Kesukaran Yang Luar Biasa Dalam Menafsirkan Firman Suci Semacam Al-Quran
Tersebut, Dan Tidak Mustahil Dia Akan Keliru Dalam Memaknai Sebuah Teks, Karena Itulah Rasul
Mengancam Siksa Api Neraka Bagi Yang Berani Menafsirkan Al-Quran Tampa Penguasaan Ilmunya.[1]
Adapun Syarat Dan Kepribadian Mufassir Membahas Tentang Hal-Hal Yang Berkaitan Tentang
Syarat-Syarat Dari Seseorang Mufasir Dan Etika Serta Kepribadiannya Yang Harus Dimiliki Oleh
Seseorang Mufasir, Dimana Mufassir Harus Menafsirkan Al-Quran Seobjektif Mungkin.
Mufassir Adalah Orang Yang Menafsirkan Al-Quran, Ia Memiliki Peran Penting Bahkan Turut
Menetukan Bagi Pemasyarakatan Al-Quran. Untuk Itu, Mufassir Perlu Memiliki Persyaratan, Kepribadian
Dan Ilmu-Ilmu Tertentu Yang Harus Dimiliki Oleh Seorang Mufassir.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Mufassir
Secara bahasa mufassir adalah bentuk isim fail dari kta fassara yg artiya menafsirkan atau
menjelaskan. Kemudian di ikutkan wazan isim fa’il Mufa’ilun menjadi mufassir yg artinya orang
yg menafsirkan, mengomentari, interpretasi.
Sedang kan menurut istilah, mufassir adalah orang yg memiliki kapabilitas sempurna yg
denganya. Ia mengetahui maksud alla ta’ala dalam al-Quran sesuai dengan kemampuanya. Ia
melatih dirinya diatas mahnaj para mufassir dengan mengetahui banyak pendapat mengenai
tafsir Kitabullah. Selain itu, ia menerapkan tafsir tersebut baik dengan mengajarkanya atau
melukisnya.
Abu Muhammad FH. Menjelaskan dalam kamus istilah agama islam,mufassir adalah orang
yg menerangkan mana ayat-ayat yg terdapat dalam al-Quran.

B. Syarat – Syarat Penafsiran Al Qur’an

Para ulama banyak membahaskan syarat-syarat penafsiran Al Qur’an sebelumditafsirkan


seperti al-suyuti melalui kitabnya, at-itqan fi Ulim Al Qur’an, syeikh ibn taimiyah dalam
mukadimah fi usul al tafsir,ibn al-qayyim dalam al-tibyan aqsam Al Qur’an, al zarkasyi dalam al
burhan, al zurqani dalam anahil al-irfan dan ramai lg ulama

Menafsirkan Al Qur’an merupakan amanah yang berta dan besar. Sehubungsn denga itu,
bukan sembarang orang yang mampu untuk memikul amanah yang besar ini. Oleh itu,sesiapa
sahaja yang ingin mentafsirkan al-quran , Hendaklah memenuhi syarat-syarat tertentu agar
terhindar dari pada melakukan kesilapan ketika mentafsirkan ayat-ayat al-quran. Antara syarat-
syarat tersebut adalah seperti yang berikut

4
C. Syarat-Syarat Mufassir

Menafsirkan Al-Quran Merupakan Amanah Yang Berat. Oleh Karena Itu, Tidak Setiap
Orang Memiliki Kemampuan Untuk Mengemban Amanah Tersebut. Siapa Saja Yang Ingin
Menafsirkan Al-Quran Harus Memenuhi Syarat-Syarat Tertentuy. Adanya Persyaratan Ini
Merupakan Suatu Hal Yang Wajar Dalam Semua Bidang Ilmu, Demikian Juga Halnya Dengan
Tafsir Al-Quran, Syarat Yang Ketet Mutlak Diperlukan Agar Tidak Terjadi Kesalahan Atau
Kerancuan Dalam Penafsiran. Sebelum Mengemukakan Syarat-Syarat Yang Harus Dipenuhi Oleh
Seorang Mufassir Maka Terlebih Dahulu Kami Paparkan Arti Kata Syarat Dan Mufassir Itu
Sendiri.

Syarat Secara Kebahasaan, Dalam Bahasa Arab Asy-Syarathu Yang Artinya Adalah Janji
Atau Suatu Yang Dimustikan[2]. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, Syarat Adalah Tuntunan Atau
Permintaan Yang Harus Dipenuhi, Segala Sesuatu Yang Perlu Atau Harus Ada[3]. Sedangkan
Mufassir Menurut Husain Bin Ali Bin Husain Al-Harby Adalah Sebagai Berikut. “Mufassir Adalah
Orang Memiliki Kapabilitas Sempurna Yang Dengannya Ia Mengetahui Maksud Allah Ta’ala
Dalam Al-Quran Sesuai Dengan Kemapuannya Ia Melatih Dirinya Di Atas Manhaj Para Mufassir
Dengan Mengetahui Banyak Pendapat Mengenai Tafsir Kitabullah”*4+.

Adapun Syarat-Syarat Seorang Menjadi Mufassir Menurut Manna’ Al-Qahan Adalah Sebagai
Berikut:

1. Sehat Akidahnya

Akidah Mempunyai Peranan Yang Sangat Besar Terhadap Jiwa Pemiliknya. Ketika Ia Mempunyai
Akidah Yang Melenceng, Tentu Saja Ia Akan Menafsirkan Al-Qur’an Dengan Berbagai
Penyimpangan, Yang Nantinya Akan Merusak Pemahaman Akan Al-Qur’an Itu Sendiri.

2. Terlepas Dari Hawa Nafsu

Tidak Menggunakan Hawa Nafsu Yang Mendorongnya Untuk Menyokong Mazhabnya.

3. Mula-Mula Menafsirkan Al-Qur’an Dengan Al-Qur’an Pula.


4. Mengambil Tafsir Itu Dari Sunnah.
5. Apabila Tidak Ada Disunnah, Maka Dikembalikan Keperkataan Sahabat.

5
6. Apabila Tidak Ada Tafsir Dalam Al-Qur’an, Dan Tidak Ada Pula Pada Sunnah, Tidak Ada Pula
Pada Perkataan Sahabat, Maka Dikembalikan Pada Tabi’in.
7. Mengetahui Bahasa Arab Dan Cabang-Cabangnya

Al-Quran Itu Diturunkan Dalam Bahasa Arab. Memahaminya Itu Ialah Dengan Menerangkan
Mufradat-Mufaradat Dan Lafazh-Lafazh. Inilah Yang Dijadikan Dalil Untuk Menempatkannya.

8. Mengetahui Dasar-Dasar Ilmu Yang Berhubungan Dengan Al-Qur’an.

Dan Menurut Sebagian Ulama Yang Lain Sebagai Berikut:

Syekh Muhammad Hussein Adz-Dazahabi: Syarat Bagi Seorang Mufassir Adalah


Menguasai Ilmu Nahwu, Ilmu Sharaf, Ilmu Lughah, Ilmu Isytiqaq, Ilmu Ma’ani, Ilmu Bayaan, Ilmu
Badi’ Ilmu Qira’at, Ilmu Kalam, Ilmu Ushul Fiqih, Ilmu Qashah, Ilmu Nasikh Mansukh, Ilmu Hadits
Dan Ilmu Mauhibah (Ilmu Dikarunia Dari Allah)

Khalid Al-Sabt: Syarat Bagi Seorang Mufassir (Yang Hampir Semuanya Mengenai Bahasa
Arab) Yaitu Harus Mengetahui Fiqh Lughah, Hukum Kalimah, Ilmu Bayaan, Ma’ani Dan Badi’
Mubham Dan Mufasshal, ‘Am Dan Khas, Ilmu Kalam, Dan Ilmu Qira’at.

Imam As-Suyuti: Dalam Kitab “Al-Itqan” Menyebutkan Beberapa Jenis Ilmu Yang
Diperlukan Dalam Menafsirkan Al-Qur’an. (Akan Dijelaskan Pada Pembahasan Yang Berbeda).

Persyaratan Fisik Dan Psikis (Kejiwaan) Seperti Yang Umum Berlaku Pada Dunia
Keilmuan Lainnya Ialah Bahwa Mufassir Harus Orang Yang Dewasa (Baligh) Dan Berakal Sehat,
Anak Kecil Dan Orang Gila Tidak Bisa Diambil Penafsirannya. Kemudian Secara Psikis. Seorang
Mufasir Juga Mempunyai Etika-Etika Penafsiran Yang Lazim Dikenal Dengan Sebutan Adab Al-
Mufassir Yaitu Harus Sehat I’tiqadnya, Bagus Niatnya, Lurus Tujuan/Maksudnya, Baik
Akhlaknya, Dan Patut Diteladani Amal Perbuatannya.[6]

Syarat Lain Yang Tidak Kurang Pentingnya Ialah Beragama Islam (Muslim). Orang Kafir
Tidak Dibenarkan Menafsirkan Al-Qur’an, Karena Dia Tidak Mempunyai Kepentingan Apapun
Dengan Al-Qur’an. Karenanya, Tidaklah Mengherankan Jika Hingga Dewasa Ini, Tidak Ada
Satupun Orientalis Yang Menafsirkan Al-Qur’an Dalam Konteksnya Yang Utuh Dan Menyeluruh.

6
Salah Satu Syarat Penting Untuk Mufassir Adalah Mengetahui Biografi Nabi Saw. Setiap
Penafsiran Tidak Boleh Menyimpang, Apalagi Bertentangan Dengan Apa Yang Digasislan Nabi
Saw. Apabila Hal Itu Terjadi, Maka Penafsiran Tersebut Harus Ditolak. Salah Satu Upaya Untuk
Menghindarkan Terjadinya Penyimpangan Tersebut Ialah Dengan Mengetahui Biografi Nabi
Saw Karena Biografi Beliau Tidak Dapat Dipisahkan Dari Al-Qur’an, Meskipun Bisa Dibedakan.
Dengan Demikian Dapat Dikatakan Kehidupan Beliau Merupakan Personifikasi Bagi Pemahaman
Al-Qur’an Sehingga Dapat Dilihat Wujud Pengalaman Oleh Umat Dalam Perilaku Dan Aktifitas
Keseharian Rasul Allah; Baik Secara Individual, Berkeluarga, Maupun Bermasyarakat Dan
Berbangsa.

Dalam Mengkaji Biografi Nabi Saw Sekaligus Akan Terbicarakan Situasi Dan Kondisi Yang
Dihadapi Beliau Semasa Hidupnya; Baik Di Rumah Tangga, Di Tengah Masyarakat, Maupun
Hubungan Diplomatik Antara Sesama Bangsa Di Dunia, Dan Sebagainya. Kajian Serupa Ini
Berkaitan Erat Dengan Masalah-Masalah Sosikultural Suatu Bangsa. Jika Begitu, Maka Tidaklah
Salah, Bila Rasyid Ridha Menjadikan Pengetahuan Tentang Situasi Dan Kondisi Kehidupan Umat
Manusia Sebagai Salah Satu Syarat Yang Harus Dipenuhi Oleh Seorang Mufassir.[7]

D. Etika Dan Adab Mufassir Dalam Menafsirkan Al-Qur’an

Dalam Kamus Al-Munawwir, Adab Mempunyai Arti Aturan, Tata Krama Atau
Kesopanan.[8] Sedangkan Dalam Kamus Bahasa Indonesia Adb Sendiri Mempunyai Arti Budi
Pekerti Yang Halus Dan Akhlak Yang Baik.[9] Dengan Demikian Dapat Diartikan Bahwa Adab
Yaitu Tingkah Laku Yang Baik. Sedangkan Adab Mufassir Diartikan Dengan Tingkah Laku Seorang
Yang Hendak Menafsirkan Ayat-Ayat Al-Qur’an Dengan Kata Lain Seorang Mufassir Boleh
Menafsirkan Ayat-Ayat Al-Qur’an Apabila Mempunyai Adab Yang Telah Ditentukan Oleh Para
Ulama’.

Al-Qur’an Adalah Kalamullah Yang Diturunkan Oleh Malaikat Jibril Sebagai Mu’jizat. Al-
Qur’an Adalah Sumber Ilmu Bagi Kaum Muslimin Yang Merupakan Dasar-Dasar Hukum Yang
Mencakup Segala Hal, Baik Aqidah, Ibadah, Etika,Mu’amalah, Dan Sebagainya. Seorang
Mufassir Tidak Cukup Hanya Menguasai Ilmu-Ilmu Yang Berkenaan Dengan Tafsir Saja,
Melainkan Ia Pun Dituntut Untuk Melakukannya Dengan Dibarengi Hati Yang Jernih, Yaitu
Ikhlas, Niat Yang Baik Dan Takwa Kepada Allah Swt.

7
Al-Zarkasyi Mengemukakan Pendapatnya Dalam Kitab Al-Burhan: “Ketahuilah Bahwa
Memahami Makna Wahyu Ilahi Tidak Akan Berhasil Dan Tidak Akan Mendapatkan Rahasianya
Apabila Di Dalam Hatinya Ada Kesombongan, Hawa Nafsu, Cinta Dunia, Melakukannyademi
Perbuatan Dosa, Tidak Mengetahui Hakekat Iman, Mengambil Pandangan Orang Lain Tanpa
Dilandasi Ilmu, Atau Cenderung Menggunakan Akalnya, Ini Semua Adalah Penghalang Yang
Harus Disingkirkan Dari Dalam Diri Seorang Mufassir.

Berikut Etika Yang Harus Dimiliki Oleh Seorang Mufassir Dalam Menafsirkan Al-Qur’an;

1. Baik Hati Dan Tujuannya. Bahwa Segala Pekerjaan Itu Dimulai Dengan Niat. Ilmu Syariat
Yang Lebih Diutamakan Menganjurkan Berbuat Makruf Guna Untuk Kebaikan Islam.
Mensucikan Niat Duniawi Untuk Menutupi Kesalahan-Kesalahannya Terhadap Allah.
Memanfaatkan Dengan Ilmu Dalam Hal Ini Membuahkan Keikhlasan.
2. Baik Akhlaknya, Ahli-Ahli Tafsir Itu Berdiri Diatas Budi Pekerti Yang Baik Dan Terpuji.
Jangan Sampai Bertingkah Laku Yang Keterlaluan, Selain Dari Itu Menjadi Contoh
Tauladan Bagi Orang Banyak Dalam Segi Akhlak Dan Moral.
3. Mengingat Perintah Allah Dan Beramal. Ilmu Yang Diterima Dari Orang-Orang Yang
Beramal Itu Hasilnya Akan Berlipat Ganda.
4. Meniliti Dan Memeriksa Al-Qur’an Dan Hadits. Jangan Berbicara Atau Menulis, Selain
Dari Apa Yang Telahditetapkan Oleh Para Peneliti, Sehingga Dengan Demikian Dia Akan
Terhindar Dari Kesalahan Dalam Kata-Kata Dan Salah Tulis.
5. Bersikap Rendah Hati Dan Lemah Lembut
6. Bersikap Terus Terang Dalam Kebenaran.
7. Jangan Ceroboh. Hendaklah Berbiacar Yang Pelan, Sehingga Dapat Dimengerti Dan Jelas
8. Mendahulukan Orang Yang Lebih Pantas Darinya.
9. Adanya Persiapan Yang Baik Dan Metode Yang Baik Untuk Di Pergunakan Dalam
Membuat Tafsir.
Tafsirnya Dimulai Dengan Menyebutkan Sebab-Sebab Turunnya Ayat, Sudah Sudah Itu
Mufradat, Sudah Itu Menjelaskan Duduk Persoalannya, Susunan Hurufnya,
Menerangkan Arti Itu Semua Secara Umum Dan Menghubungkannya Dengan Kehidupan
Umum Orang Yang Hidup Pada Masanya. Sudah Itu Mengambil Kesimpulan-Kesimpulan
Dan Hukum-Hukumnya, Juga Menyebutkan Hal-Hal Yang Bersesuaian Dengan Mengikat
Diantara Ayat-Ayat Permulaan Dengan Kemudian.

8
Termasuk Adab Yang Harus Diperhatikan Oleh Mufassir Adalah Ia Wajib Menghindari
Perkara-Perkara Berikut Ketika Menafsirkan Al-Qur’an:

1. Terlalu Berani Menjelaskan Perkara Yang Allah Ta’ala Dalam Firman-Nya Padahal Tidak
Mengetahui Tata Bahasa Dan Pokok-Pokok Syariat Serta Tidak Terpenuhi Ilmu-Ilmu Yang
Baru Boleh Menafsirkan Jika Menguasainya.
2. Terlalu Jauh Membicarakan Perkara Yang Hanya Di Ketahui Oleh Allah Ta’ala, Seperti
Perkara-Perkara Mutasyabihat. Seorang Mufassir Tidak Boleh Terlalu Berani
Membicarakan Sesuatu Yang Ghaib Setelah Allah Ta’ala Menjadikannya Sebagai Salah
Satu Rahasia-Nya Dan Hujjah Atas Hamba-Hamba-Nya.
3. Mengikut Hawa Nafsu Dan Anggapan Baik (Istihsan).
4. Tafsir Untuk Menetapkan Madzhab Yang Rusak Dengan Menjadikan Madzhab Tersebut
Sebagai Landasan, Sementara Tafsir Mengikutinya. Akibatnya,Seseorang Akan
Melakukan Takwil Sehingga Memalingkan Makna Ayat Sesuai Dengan Akidahnya Dan
Mengembalikannya Pada Madzhabnya Dengan Segala Cara.
5. Tafsir Dengan Memastikan Bahwa Maksud Allah Begini Dan Begini Tanpa Landasan Dalil.
Perbuatan Ini Dilarang Secara Syari’i Berdasarkan Firman Allah Ta’ala,

“Dan (Janganlah) Mengatakan Terhadap Allah Apa Yang Tidak Kalian Ketahui.” (Q.S. Al-Baqarah:
169).

Adapun Kepribadian Mufassir Adalah Sebagai Berikut:

1. Ikhlas

Setelah Mufassir Bebas Dari Paham Yang Atau Aliran Yang Akan Membelokannya Dari
Jalan Yang Benar Maka Ia Harus Meluruskan Niatnya. Artinya, Dia Menafsirkan Al-Qur’an
Semata-Mata Karena Allah, Tidak Didorong Oleh Motivasi Kepentingan Diri Pribadinya,
Keluarganya, Maupun Golongannya. Karena Itu Dia Selalu Menafsirkan Al-Qur’an Apa Adanya.
Artinya Dia Tidak Mau Dipengaruhi Oleh Pihak Lain; Bahkan Termasuk Oleh Dirinya Sendiri. Dia
Tidak Peduli Apakah Orang Lain Menerima Atau Menolak Penafsirannya Karena Dia Menyadari
Bahwa Al-Qur’an Ialah Pedoman Abadi Bagi Umat Dalam Menjalani Hidup Dalam Dan
Kehidupan Mereka Di Bumi Ini, Demi Meraih Kebahagiaan Dunia Akhirat.

9
2. Netral

Yang Dimaksud Netral Dalam Kajian Ini Ialah Mufassir Tidak Boleh Memihak Kepada
Pendapat Siapa Pun Kecuali Al-Qur’an Dan Hadits. Untuk Mewujudkan Sikap Netral, Mufassir
Dituntut Mengkosongkan Pikirannya Dari Segala Bentuk Ajaran Dan Aliran Serta Pendapat-
Pendapat Yang Akan Menggangu Pada Waktu Menafsirkan Ayat-Ayat Al-Qur’an.

3. Sadar

Mufassir Harus Sadar Bahwa Yang Sedang Dikajinya Firman Allah, Bukan Kalam Manusia,
Dan Bukan Pula Kalam Mahluk Lain Seperti Malaikat, Jin, Dan Lain-Lain. Apabila Kondisi Ini Tidak
Disadari Oleh Mufassir, Maka Kemungkinan Keliru Dalam Memahami Dan Menafsirkan Al-
Qur’an Semakin Besar.

Selain Menyadari Posisi Kitab Al-Qur’an Yang Demikian Sakral Serta Merupakan Firman
Langsung Dari Allah, Maka Seorang Mufassir Juga Harus Selalu Sadar Bahwa Penafsirannya Akan
Dijadikan Tuntunan Oleh Umat, Sehingga Bila Ia Salah Atau Sengaja Melakukan Kesalahan,
Maka Berarti Dia Telah Tersesat Dan Menyesatkan Orang Lain.

4. Ilmu Mawhibah

Ilmu Mawhibah Dapat Diartikan Pengetahuan Pemberian Atau Hibah Dari Allah. Akan
Tetapi, Apakah Allah Akan Memberikan Tanpa Usahaseperti Layaknya Hibah? Tentu Tidak, Al-
Suyuthi Medefiniskan Ilmu Ini Dengan “Ilmu Yang Diwariskan Allah Kepada Orang Yang
Mengamalkan Ilmu Yang Diperolehnya”. Inilah Katanya Yang Diisyaratkan Nabi Dengan
Hadisnya Yang Artinya (Barang Siapa Mengamalkan Ilmu Yang Diperolehnya, Niscaya
Diwariskan Allah Kepadanya Ilmu Yang Belum Diketahuinya.

Jadi Yang Dimaksud Dengan Ilmu Mawhibah Ialah Pengetahuan Yang Didapat Setelah Bekerja
Dan Berusaha Maksimal Dalam Mengamalkan Ilmu Yang Sudah Ada.[11]

E. Ilmu-Ilmu Yang Harus Dimiliki Mufassir

Imam Jalaluddin As-Sayuthy Dalam Bukunya Al-Itqan Menyebutkan Lima Belas Syarat Untuk
Menjadi Mufassir, Yaitu:

1. Ilmu Bahasa/Ilmu Lughat: Ilmu Bahasa Sangat Penting Dalam Menafsirkan Al-Quran,
Guna Untuk Menegetahui Kosakata Penjelasan Mufradat-Mufradat (Perbendaharaan
Kata). Jadi Tidak Cukup Dalam Menafsirkan Al-Quran Kalau Hanya Sekedar Mengetahui
Ilmu Bahas Secara Mudah. Ada Kalanya Suatu Lafadz Mengandung Makna Musytarak
(Makna Ganda) Sekiranya Hanya Mengetahui Salah Satu Dari Pengertian Kata
Sedangkan Yg Lain Tidak Di Ketahui, Padahal Makna Yg Lain Itu Dimaksud.

10
2. Ilmu Nahwu: Ilmu Ini Sangat Penting Sekali, Karna Ilmu Ini Menyingkap Tentag
Perubahan Makna Dan Mempunyai Pengertian Yg Lain Karna Perubahan I’rabnya.Semua
Bentuk I’rab Benar-Benar Dikuasai Agar Dapat Di Tentukan Makna Yg Dimaksud Dalam
Susunan Kalimat Yg Berbentuk Berdasarkan I’rabnya. Ilmu Nahwu Sangat Penting
Karena Susunan Kata-Katanya Dapat Diketahui Dengan Jalan Pembentukan Kata Dab
I’rab Suatu Kalimat.
3. Ilmu Sharaf: Seorang Mufassir Yang Diketahui Tentang Ilmu Sharaf, Berarti Ia Dapat
Mengerti Tentang Pembentukan Kalimat, Timbangan Kata, Sighat Kata Dan Sifat Kata-
Kata. Bila Diketahui Kata-Kata Yg Sulit,Lalu Segera Di Kembalikan Pada Akar Katanya
Serta Pengertianya. Seorang Yg Tidak Mengetahui Ilmu Sharaf Dalam Menafsirkan Al-
Quran Niscaya Akan Terdapat Kekalahan, Kekeliruan Dalam Menafsirkan Al-Quran.
4. Pengetahuan Tentang Istiqaq (Akar Kata), Istiqaq Di Sebut Juga Dengan Ilmu Etimologi
Yaitu Ilmu Tentang Asal Usul Kata. Ilmu Ini Digunakan Untuk Mengetahui Dasar
Pembentukan Akar Kata Yg Melahirkan Akar Kata Yg Serumpun Dengan Pengertian Yg
Berlainan. Umpamanya Setiap Kata Benda Yg Berasal Dari Kata Yg Berbeda Tentu
Mengandung Makna Yg Berbeda Juga.
5. Ilmu Balaghah (Retorika, Metafora). Ilmu Balaghah Terbagi Menjadi Tiga Macam Yaitu
Ilmu Ma’ani, Ilmu Bayan, Dan Ilmu Badi’
6. Ilmu Al-Ma’any, Yaitu Ilmu Yang Berkaitan Dengan Susunan Kalimat Dari Sisi
Pemaknaannya.
7. Ilmu Al-Bayan, Yaitu Ilmu Yang Berkaitan Dengan Perbedaan Makna Dari Sisi Kejelasan
Atau Kesamarannya.
8. Ilmu Al-Badi’, Yaitu Ilmu Yang Berkaitan Dengan Keindahan Susunan Kalimat.
9. Ilmu Al-Qira’at, Yang Dengannya Dapat Diketahui Makna Yang Berbeda-Beda Sekaligus
Membantu Dalam Menetapkan Salah Satu Dari Aneka Kemungkinan Makna.
10. Ilmu Ushul Ad-Din, Karena Dalam Al-Qur’an Ada Ayat-Ayat Yang Lafazhnya
Mengesankan Kemustahilannya Dinisbatkan Kepada Allah.
11. Ilmu Ushul Al-Fiqih, Yaitu Landasan Dalam Meng-Istinbath-Kan/Menetapkan Hukum
Yang Dikandung Oleh Ayat.
12. Asbab An-Nuzul, Karena Dengannya Dapat Diketahui Konteks Ayat Guna Kejelasan
Maknanya.
13. Nasekh Dan Mansukh, Yakni Ayat-Ayat Yang Telah Dibatalkan Hukumnya,Sehingga
Dapat Diketahui Yang Mana Yang Masih Berlaku.
14. Fiqih/Hukum Islam.
15. Hadits-Hadits Nabi Yang Berkaitan Dengan Penafsiran Ayat.

11
16. ‘Ibn Al-Mauhibah, Yakni Sesuatu Yang Dianugerahkan Allah Kepada Seseorang Sehingga
Menjadikannya Berpotensi Menjadi Mufassir. Itu Bermula Dari Upaya Membersihkan
Hati, Meluruskan Akidah, Atau Apa Yang Diistilahkan Oleh Sementara Ulama Dengan
Shihhat Al-Aqidahh/Lurusnya Akidah.[12]

Dari Beberapa Pendapat Di Atas Dapat Disimpulkan Bahwa Syarat Bagi Seorang Mufassir
Adalah:

1. Mengetahui Bahasa Arab Dan Kaidah-Kaidah Bahasa(Ilmu Tata Bahasa, Sintaksis,


Etimologi, Dan Morfologi), Ilmu Retorika (Ilmu Ma’ani, Ilmu Bayan, Dan Ilmu Badi’), Ilmu
Ushul Fiqh (Khas, ‘Am, Mujmal, Dan Mufasshal). Tanpa Memahami Secara Mendalam
Tentang Bahasa Al-Qur’an, Maka Besar Kemungkinan Bagi Seorang Mufassir Akan
Melakukan Penyimpangan (Distrosi) Dan Kesalahan Interpretasi. Jika Seseorang Tidak
Dapat Memahami Makna Ayat, Kosa Kata Dan Idiom Secara Literal Maka Ia Akan
Terjerumus Kepada Kesalahan Dan Menyebabkan Terjadinya Penafsiran Yang
Kontroversial.
2. Mengetahui Pokok-Pokok Ulum Al-Quran, Seperti Ilmu Qira’at, Ilmu Asbabun Nuzul,
Ilmu Nasikh Mansukh, Ilmu Muhkam Mutasyabih, Ilmu Makkai Madani, Ushul Tafsir,
Ilmu Qashah Al-Qur’an Ilmu Ijaz Al-Qur’an, Ilmu Amtsa Al-Qur’an. Tanpa Mengetahui
Kesemuanya Itu Seorang Mufassir Tidak Akan Dapat Menjelaskan Arti Dan Maksud Ayat
Dengan Baik Dan Benar.

3. Mengetahui Ilmu Sains Dan Teknologi Untuk Bisa Bersaing Dan Menemukan Teori-Teori
Baru Yang Terkandung Dalam Al-Qur’an.
4. Mengetahui Hadits-Hadits Nabi Dan Segala Macam Aspeknya. Karena Hadits-Hadits
Itulah Yang Berperan Sebagai Penjelas Terhadap Al-Qur’an, Sebagaimana Keterangan
Surat Al-Nahl:44.
5. Mengetahui Hal Ihwal Manusia Dan Tabi’atnya, Terutama Dari Orang-Orang Arab Pada
Masa Turunnya Al-Qur’an, Agar Mengerti Keselerasan Hukum-Hukum Al-Qur’an Yang
Diturunkan Untuk Mengatur Perbuatan-Perbuatan Mereka.

Hazim Sa’id Al-Haidarmenambahkan, Untuk Mendapatkan Penafsiran Yang Berkualitas, Selain


Menguasai Ilmu-Ilmu Tersebut Mufassir Juga Harus Memahami Cabang-Cabang Ilmu
Pengetahuan Yang Mendalam Dan Menyeluruh, Sebagaimana Berikut Ini:

12
1. Memaham Watak Dan Rasa Terminology Yg Benar, Yg Sering Di Gunakan Dalam Al-
Quran Berdasarkan Atas Pemakaian Para Ahli Bahasa.
2. Ilmu Tentang Prosedur Yg Indah (Pendekatan Sastra Yg Di Pakai Dalam Praktik Al-Kalam
(Kefasihan Berbicara Dan Penerapanya ).
3. Pengetahuan Tentang Ilmu-Ilmu Humaniro,Filsafat Ketuhanan, Prosedur Dalam Evolusi
Bangsa-Bangsa Bersama Perbedaan-Perbedaanya, Baik Dalam Kekuatan,
Kelemahan,Iman,Kufur,Maupun Kekerasan Dan Kelembutan.
4. Pengetahuan Tentang Hidayah Al-Quran Untuk Manusia. Berkaitan Dengan Hal Ini
Sahabat Umar Bin Khatab Berkata: “Kebaikan Islam Tidak Akan Jelas Jika Seorang Tidak
Paham Tentang Kehidupan Jahiliyyah.”
5. Pengetahuan Tentang Biografi Nabi Muhammad Saw Dan Para Sahabatnya Terkait
Dengan Pengetahuan Dan Amaliah Dalam Urusan Agama Maupun Keduniaan.

Selain Harus Menguasai Ilmu-Ilmu Di Atas, Seorang Mufassir Harus Memperhatikan Manhaj
Yang Ditempuh Dalam Menafsirkan Al-Qur’an. Imam Jalaluddin As-Suyuthi Menyatakan,”Siapa
Yang Ingin Menafasirkan Al-Qur’an Yang Maha Mulia Maka Pertama Kali Ia Harus Mencari
Tafsirannya Dari Al-Qur’an. Ayat Yang Bermakna Global Pada Suatu Tempat Ditafsirkan Dengan
Ayat Pada Tempat Lain Dan Ayat Yang Ringkas Pada Suatu Tempat Diperluas Penjelasannya
Dengan Ayat Pada Tempat Yang Lainnya. Apabila Tidak Menemukannya Dari As-Sunnah, Maka
Ia Harus Mengembalikannya Kepada Pendapat Para Sahabat Karena Mereka Lebih Mengetahui
Penafsiran Al-Qur’an. Sebab, Merekalah Yang Menyaksikan Konteks Dan Kondisi Pada Saat
Turunnya Ayat. Selain Itu, Mereka Juga Diberikan Kekhususan Berupa Pemahaman Yang
Sempurna, Ilmu Yang Shahih, Dan Amal Yang Shalih. Ketika Terjadi Kontradikasi Antar Pendapat
Para Sahabat, Amak Harus Dikembalikan Kepada Pendapat Yang Paling Kuat Dalilnya. Misalnya
Perbedaan Pendapat Mereka Mengenai Makna-Makna Huruf Hija’ (Alphabet), Maka Harus
Dikembalikan Pada Pendapat Orang Yang Menyatakan, Maknanya Adalah Qasam (Sumpah).”

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa seorang mufasir tidak bisa
menafsirkan Al Qur’an sekehendak hatinya, dia tidak boleh terpengaruh dari orang lain
,atau pun golongan tertentu. Karena Al Qur’an adalah dari allah langsung tidak ada
camput tangan dari mahluk, malaikat, jin, bahkan dari nabih Muhammad SAW sekalipun
dalam pembuatannya, sehingga seorang mufasir harus mempunyai syarat syarat yang
harus dia laksanakan, dan mempunyai etika serta kepribadian yang baik, dan ilmu ilmu
yang harus dikuasai oleh seorang mufasir.

Al-qur’an merupakan kitab suci bagi umat islam. Kesucian itu harus dijaga oleh
umat islam itu sendiri. Kesucian al-qur’an termasuk di dalamnya adalah mensucikan
makna dari ayat itu sendiri agar terjaga dari penyimpangan yang disebabkan oleh
penafsiran yang salah. Penafsiran yang salah bisa terjadi karena dalam menafsirkan suatu
ayat hanya bertujuan untuk menguatkan pendapat atau paham dan hawa nafsunya.

Tidak setiap orang mempunyai kemampuan untuk menafsirkan ayat al-qur’an,


akan tetapi orang alim dan yang punya adab kepribadian alim yang diperbolehkan.

Selain syarat diatas untuk menjadi seorang mufassir harus memiliki ilmu yang
berkaitan dengan menafsirkan al-qur’an diantaranya bahasa arab, nahwu, sharaf,
balaghoh dan sebagainya.

14
B. Saran

Demikian yang dapat kami sajikan dalam makalah ini. Mungkin masih banyak
kekurangan yang perlu dibenahi. Kami membuka lebar pintu kritik dan saran bagi yang
berkenan, untuk pembenahan makalah ini. Sehingga kesalahan yang ada dapat dibenahi,
serta menjadi pelajaran untuk pembuatan makalah yang lebih sempurna lagi.

Kesalahan dalam belajar adalah sesuatu yang wajar dan maklum. Tetapi perlu adanya
perbaikan sehingga kesalahan yang sama tidak terulang lagi. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat khususnya bagi penulis, umumnya bagi semua yang berkenan menelaah
tulisan kami ini. Sekian, terima kasih.

C. Daftar Pusaka
1. Al- Dzahabi, Muhammad Hussein at- Tafsir wa al Mufassirun, Beirut Maktabah AL
wahabah,2000

15

Anda mungkin juga menyukai