Anda di halaman 1dari 64

Abdul Majid Zainul Mala

Tokoh-tokoh
PERAWI HADIS

Tokoh-tokoh Perawi Hadis i


Tokoh-tokoh
PERAWI HADIS
Penulis
Abdul Majid Zainul Mala

Penyelaras Akhir
Tim Editor CV. Ghyyas Putra

Design dan Tata Letak


Tim Design PT. Aneka Ilmu

Edisi
Tahun 2010

Penerbit
CV. Ghyyas Putra
Villa Ngalian Permai II Blok N/10 Semarang
Telp. (024) 7604735

ISBN
978 – 979 – 048 – 933 – 2

Hak Cipta Dilindungi Oleh Undang-Undang

ii Tokoh-tokoh Perawi Hadis


Kata Pengantar

Alhamdulillah, dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah


swt. bahwa atas karunia-Nya dan pertolongan-Nya penyusunan buku
ini dapat selesai dalam waktu singkat, disela-sela kesibukan menjalani
aktiftas keseharian di sekolah.
Posisi penting hadis sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah
Al-Quran. Oleh karena itu para ulama memberikan perhatian yang
serius di dalam memelihara keotentikan, keaslian, dan kesahihan hadis
Nabi Muhammad saw. Berbagai disiplin ilmu yang berhubungan dengan
pemeliharaan sabda Nabi itu terus dikembangkan oleh para ulama hadis
dari masa ke masa sesuai dengan tantangan zaman.
Selanjutnya dengan rendah hati saya benar-benar mengharapkan
tegur, sapa, dan koreksi, mungkin perbaikan dari segenap pembaca
yang arif dan atas segalanya, sebelumnya saya ucapkan terima kasih
yang tidak terhingga.
Demikian juga ucapan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu berhasilnya usaha ini, terutama kepada penerbit yang
telah sudi menerbitkannya. Semoga Allah memberikan balasannya.
Akhirnya saya berdo’a semoga Allah akan selalu meridai amal dan usaha
kita, dan memberikan petunjuk hidayat-Nya, sehingga amal usaha kita
ini akan membawa manfaat.
Penulis

Tokoh-tokoh Perawi Hadis iii


Daftar Isi

Kata Pengantar ........................................................ iii


Daftar Isi .................................................................. iv

Imam Ahmad (164 - 241 H/ 780 – 855 M).............. 1


Imam Bukhari ......................................................... 12
Imam Muslim (204 – 261 H) .................................... 36
Abu Dawud (202 – 275 H / 817 – 889 M) ................ 45
Al-Nasa’i ................................................................. 48
At-Tirmizi (209 – 279 H/ 824 – 894 M) .................... 55
Imam Ibn Majah (209 – 273 H)............................... 58

Daftar Pustaka ......................................................... 60

iv Tokoh-tokoh Perawi Hadis


Imam Ahmad (164 - 241 H/ 780 – 855 M)

Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Ahmad bin Hambal


Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal As-Syaibani r.a. nasabnya
bersambung sampai Rasulullah saw. pada diri Nizar bin Ma’d bin ‘Adnan,
yang berarti bertemu nasab pula dengan Nabi Ibrahim a.s. Lahir di
Bagdad Iraq pada bulan Robi’ul Awal 164 H/ November 780 M. Dikenal
dengan Ibnu Hambal. Ia dibesarkan dan dididik di Bagdad pada tahun
164 H, dan dikebumikan pada tahun 241 H, kunniyahnya bernama Abu
Abdullah, sedang laqabnya adalah Imam Ahlu sunnah wal jama’ah.
Ketika beliau masih dalam kandungan, orang tua beliau pindah dari kota
Marwa tempat tinggal sang ayah ke kota Bagdad. Di kota itulah beliau
dilahirkan. Ayah beliau, Muhammad, meninggal dalam usia muda, 30
tahun, ketika beliau baru berumur 3 tahun.

Masa Menuntut Ilmu


Imam Ahmad tumbuh dewasa sebagai seorang anak yatim.
Ibunya, Shafiyyah binti Maimunah, berperan penuh dalam mendidik
dan membesarkan beliau. Untungnya, sang ayah meninggalkan dua
rumah untuk mereka, satu ditempati sendiri, dan satunya disewakan
dengan harga sangat murah. Dalam hal ini, keadaan beliau sama dengan

Tokoh-tokoh Perawi Hadis 1


keadaan syaikhnya, Imam Syafi’i, yang yatim dan miskin, tetapi tetap
mempunyai semangat yang tinggi. Keduanya juga memiliki ibu yang
mampu mengantar mereka kepada kemajuan dan kemuliaan.
Beliau mendapatkan pendidikan pertamanya di Bagdad. Setamatnya
menghafal Al-Qur’an dan mempelajari ilmu-ilmu bahasa Arab di al-Kuttan
saat berusia 14 tahun, beliau melanjutkan pendidikannya ke ad-Diwan.
Perhatian beliau saat itu tengah tertuju pada keinginan mengambil
hadis dari para perawinya. Orang pertama tempat mengambil hadis
adalah Al-Qadhi Abu Yusuf, murid/rekan Imam Abu Hanifah. Pada usia
16 tahun, Imam Ahmad mulai tertarik untuk menulis hadis. Beliau
melakukan mulazamah kepada syaikhnya, Hasyim bin Basyir bin Abu
Hazim Al-Wasithy hingga syaikhnya wafat, dan telah belajar lebih dari
300.000 hadis.
Pada umur 23 tahun, beliau mulai mencari hadis ke Bashrah,
Hijaz, Yaman, dan kota lain. Selama di Hijaz, beliau banyak mengambil
hadis dan faidah dari Imam Syafi’i, bahkan Imam Syafi’i sendiri amat
memuliakan Imam Ahmad dan menjadikan beliau sebagai rujukan dalam
mengenal kesahihan sebuah hadis. Demikianlah ketekunan beliau,
sampai-sampai beliau baru menikah di usia 40 tahun. Seseorang pernah
berkata kepada beliau, “Wahai Abu Abdillah, Anda telah menjadi imam
kaum muslimin.”
Beliau menjawab, “Bersama mahbarah (tempat tinta) hingga ke
maqbarah(kubur). Aku akan tetap menuntut ilmu sampai aku masuk
liang kubur.” Beliau senantiasa seperti itu, menekuni hadis, memberi fatwa,
dan sebagainya. Banyak ulama yang pernah belajar kepada beliau, semisal
kedua putranya, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Abu Zur’ah, dan lain-lain.

2 Tokoh-tokoh Perawi Hadis


Penghormatan Ulama lain kepada Beliau
Imam Syafi’i pernah mengusulkan kepada Khalifah Harun ar-Rasyid
pada hari-hari akhir hidup khalifah, agar mengangkat Imam Ahmad
menjadi qadhi di Yaman, tetapi Imam Ahmad menolaknya, dan berkata
kepada Imam Syafi’i, “Saya datang kepada Anda untuk mengambil ilmu,
tetapi Anda malah menyuruh saya menjadi qadhi untuk mereka.” Pada
masa khalifah setelahnya, Imam Syafi’i juga mengusulkan hal yang sama,
lagi-lagi Imam Ahmad menolaknya.
Abdul Wahhab al-Warraq berkata, “Aku tidak pernah melihat
orang seperti Ahmad bin Hambal.” Orang-orang bertanya, “Dalam hal
apakah dari ilmu dan keutamaannya yang engkau pandang dia melebihi
yang lain?” Al-Warraq menjawab, “Dia seorang yang jika ditanya tentang
60.000 masalah, dia akan menjawabnya dengan berkata, ‘Telah dikabarkan
kepada kami’, atau ‘Telah disampaikan hadis kepada kami.”

Keteguhan di Masa Penuh Cobaan


Telah menjadi keniscayaan bahwa kehidupan seorang mukmin
tidak akan lepas dari ujian dan cobaan, terlebih lagi seorang alim yang
berjalan di atas jejak para nabi dan rasul. Dan Imam Ahmad termasuk
di antaranya. Beliau mendapat cobaan dari tiga orang khalifah Bani
Abbasiyah 16 tahun lamanya.
Di masa kekhalifahan Al-Makmun, ahlul-bid’ah dari golongan
Mu’tazilah yang dipimpin Ibnu Abi Daud mendapat angin segar. Mereka
leluasa menyebarkan pemahaman sesatnya (semisal pengingkaran
terhadap sifat-sifat Allah, termasuk sifat kalam), sehingga khalifah Al-
Makmun kemudian memaksa kaum muslimin, khususnya ulama mereka,
untuk meyakini bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Padahal, pada masa
khalifah sebelumnya, Harun ar-Rasyid dan Al-Amin, pendapat tentang
kemakhlukan Al-Qur’an telah ditindak tegas.

Tokoh-tokoh Perawi Hadis 3


Untuk memaksa kaum muslimin tersebut, Al-Makmun sampai
mengadakan ujian. Dan selama itu, tidak terhitung orang yang telah
dipenjara, disiksa, dan bahkan dibunuhnya. Meski begitu, tidak terhitung
pula jumlah ulama yang menolak pendapat bahwa Al-Qur’an adalah
makhluk, termasuk di antaranya Imam Ahmad. Beliau tetap konsisten
bahwa Al-Qur’an itu kalamullah, bukan makhluk. Al-Makmun bahkan
sempat memerintahkan bawahannya agar membawa Imam Ahmad dan
Muhammad bin Nuh ke hadapannya di kota Thursus. Kedua ulama itu pun
akhirnya digiring ke Thursus dalam keadaan terbelenggu. Muhammad
bin Nuh meninggal dalam perjalanan sebelum sampai ke Thursus,
sedangkan Imam Ahmad dibawa kembali ke Bagdad dan dipenjara
disana karena telah sampai kabar tentang kematian Al-Makmun (tahun
218). Disebutkan bahwa Imam Ahmad tetap mendoakan kebaikan untuk
Al-Makmun.
Sepeninggal Al-Makmun, kekhalifahan berpindah ke tangan
putranya, Al-Mu’tashim. Khalifah ini tetap berpegang pada kemakhlukan
Al-Qur’an. Imam Ahmad dikeluarkannya dari penjara dan dipertemukan
dengan Ibnu Abi Duad dan kawan-kawan. Mereka mendebat beliau
tentang kemakhlukan Al-Qur’an, tetapi beliau mampu membantahnya
dengan bantahan yang tidak dapat mereka bantah. Akhirnya beliau
dicambuk sampai tidak sadarkan diri lalu dimasukkan kembali ke dalam
penjara dan mendekam disana selama sekitar 28 bulan. Selama itu
beliau salat dan tidur dalam keadaan kaki terbelenggu. Selama itu pula,
setiap harinya Al-Mu’tashim mengutus orang untuk mendebat beliau,
tetapi jawaban beliau tetap sama, tidak berubah. Akhirnya, bertambah
kemarahan Al-Mu’tashim. Dia mengancam dan memaki-maki beliau,
dan menyuruh bawahannya mencambuk lebih keras dan menambah
belenggu di kaki beliau. Semua itu diterima Imam Ahmad dengan penuh
kesabaran dan keteguhan bak gunung yang kokoh menjulang.

4 Tokoh-tokoh Perawi Hadis


Pada akhirnya, beliau dibebaskan dari penjara. Beliau dikembalikan
ke rumah dalam keadaan tidak mampu berjalan. Setelah luka-lukanya
sembuh dan badannya telah kuat, beliau kembali menyampaikan
pelajaran-pelajarannya di masjid sampai Al-Mu’tashim.
Selanjutnya, Al-Watsiq diangkat menjadi khalifah. Al-Watsiq
melarang Imam Ahmad keluar berkumpul bersama orang-orang.
Akhirnya, Imam Ahmad terpaksa selalu berada di rumah, tidak keluar
darinya, bahkan untuk keluar mengajar atau menghadiri salat berjama’ah.
Dan itu dijalani kurang lebih lima tahun, yakni sampai Al-Watsiq wafat
tahun 232.
Sesudah Al-Watsiq wafat, Al-Mutawakkil menggantikannya. Selama
dua tahun masa pemerintahannya, ujian tentang kemakhlukan Al-Qur’an
masih dilangsungkan. Tetapi, pada tahun 234, khalifah menghentikan
ujian tersebut. Khalifah mengumumkan ke seluruh wilayah tentang
larangan atas pendapat kemakhlukan Al-Qur’an dan ancaman hukuman
mati bagi yang melibatkan diri dalam hal itu. Khalifah juga memerintahkan
kepada para ahli hadis untuk menyampaikan hadis-hadis tentang sifat
Allah. Maka, bergembiralah orang-orang. Mereka memuji-muji khalifah
atas keputusannya tersebut dan melupakan kejelekan-kejelekannya.
Demikianlah gambaran ringkas ujian yang dilalui oleh Imam
Ahmad. Terlihat bagaimana sikap agung beliau yang tidak akan
diambil kecuali oleh orang-orang yang penuh keteguhan lagi ikhlas.
Beliau bersikap seperti itu jusrtu ketika sebagian ulama berpaling dari
kebenaran. Dan dengan keteguhannya, maka madzhab Ahlussunnah pun
dinisbatkan kepadanya karena beliau sabar dan teguh dalam membela
kebenaran. Ali bin Al Madiniy berkata dalam menggambarkan keteguhan
Imam Ahmad, “Allah telah mengokohkan agama ini lewat dua orang
laki-laki, tidak ada ketiganya. Yaitu, Abu Bakar Ash-Shiddiq pada Yaumur

Tokoh-tokoh Perawi Hadis 5


Riddah (saat banyak orang murtad pada awal-awal pemerintahannya)
dan Ahmad bin Hambal pada Yaumul Mihnah.”
Menjelang wafatnya, beliau jatuh sakit selama sembilan hari.
Mendengar sakitnya, orang-orang pun berdatangan ingin menjenguk.
Mereka berdesak-desakan di depan pintu rumahnya, sampai-sampai
sultan menempatkan orang untuk berjaga di depan pintu. Akhirnya,
pada permulaan hari Jumat, tanggal 12 Rabiul Awwal 241 H, beliau
menghadap Rabbnya. Sekitar 700-800 ribu orang mengantar jenazah
beliau (bahkan ada yang mengatakan sejuta). Semuanya menunjukkan
bahwa sangat banyaknya mereka yang hadir pada saat itu demi
menunjukkan penghormatan dan kecintaan mereka kepada beliau.
Beliau pernah berkata ketika masih sehat, “Katakan kepada ahlu bid’ah,
bahwa perbedaan antara kami dan kalian adalah (tampak pada) hari
kematian kami.”
Mengembara mencari ilmu menyusuri negeri Mekah, Madinah,
Basrah, Rayyi, Syam, Yaman. Pada tahun 187 H bertemu dengan Imam
Syafi’i di Hijjaz, darinya banyak ilmu yang di peroleh, diantaranya Fiqih,
Usul Fiqih dan Hadis, sedang di Basrah beliau mengambil hadis secara
langsung kepada Sufyan bin ‘Aynah, sedang guru pertamanya dalam
hadis adalah Hasyim bin Basyir bin Abi Khazim seorang ahli hadis
terkemuka pada masanya, mempelajari fiqih mazhab Hanafi melalui
Qodi Abu Yusuf. Guru-guru yang lain beliau adalah Ibrahim Ibn sa’ad,
Jarir bin Abdul Hamid, Yahya bin Qatan, Ismail bin A’laih, Walid ibnu
Muslim, Mu’tamar bin Sulaiman, Waqi’ ibnu Namir, Abdur Razaq dan
sebagainya.
Sejak kecil perhatiannya kepada ilmu begitu besar sehingga tiada
waktu tanpa belajar dan sibuk untuk mencari hadis sehingga beliau
baru menikah setelah umur 40 tahun dan itupun untuk menghindari

6 Tokoh-tokoh Perawi Hadis


fitnah, jadi tidak diragukan lagi bahwa ilmu yang beliau punya begitu
luas dan terpercaya kefalidannya, terbukti begitu banyak sumbangsih
beliau untuk perkembangan keilmuan Islam, penjagaan beliau terhadap
kemurnian agama Islam, dan pembukuan hadis. Karena pengembaraan
yang begitu panjang, Imam Ahmad baru dapat mengajarkan hadis setelah
berumur 40 tahun, Abdullah bin Ahmad putra beliau menceritakan
bahwa ayahnya tidak akan berbicara kecuali yang tertera dalam kitab-
kitab, beliau mengajarkan hadis dengan membacakan kitabnya meskipun
beliau sudah hafal di luar kepala untuk menghindari kesalahan dalam
meriwayatkan hadis, dan juga tidak akan berfatwa kecuali atas permintaan
yang mendesak, beliau menggunakan Al-Qur’an, hadis Nabi saw. dan atsar
sebagai rujukan.
Beliau tidak membukukan mazhabnya karena tidak suka menu-
liskan sesuatu yang berkenaan dengan pendapat dan fatwanya, tapi
perhatian beliau terpusat penuh pada pembukuan Sunnah Nabi saw.
para muridnyalah seperti Al-Khuraqi yang menulis fatwa-fatwa beliau.
Kehidupannya begitu sederhana dan zuhud, karakternya berwibawa,
teguh pendirian dan penyabar, terlihat ketika masa khalifah Ma’mun
beliau memilih dihukum dari pada mengakui Al-Qur’an adalah makhluk.
Beliau merupakan ulama yang memiliki wawasan luas, gagasan cerdas,
namun tetap tawadu’. Imam Syafi’i berkata tentangnya “Ahmad adalah
seorang murid yang ahli dalam ilmu hadis, fiqih, bahasa, dan Al-Qur’an,
orangnya sederhana, zuhud, dan wara.”
Ia belajar pada Yazid bin Harun dan Yahya bin Said sampai
umurnya 19 tahun di Bagdad. Pada waktu Imam Syafi’i memberikan
kuliah di Bagdad ia ikut menghadiri perkuliahan. Dalam kuliah Imam
Syafi’i memerintahkannya untuk memperdalam ilmu Hadis disamping
ilmu Kalam dan ilmu Fiqih.

Tokoh-tokoh Perawi Hadis 7


Ibnu Hambal lebih menonjal sebagai ahli hadis dari pada ahli
teologi dan hukum. Ia sangat dekat dengan hadis, sehingga orang
menjulukinya sebagai imam ahli hadis. Dalam pemikiran hukum Islam
Ibnu Hambal sangat berpegang pada Sunnah Rasulullah sebagai sumber
hukum kedua setelah Al-Qur’an. Menurutnya sunnah merupakan
tafsiran dari Al-Qur’an dan hukum-hukumnya, dan antara Al-Qur’an dan
Sunnah tidak terdapat sama sekali.
Ia menolak pendapat orang-orang yang berpegang teguh pada
makna lahiriah dari Al-Qur’an dan mengabaikan Sunnah. Dalam hal
ini ia mengatakan “Sesungguhnya Allah mengutus Nabi Muhammad
saw. dengan agama yang benar, sebagai pengganti agama-agama lain
yang sudah menyimpang. Allah swt. menurunkan kitab Al-Qur’an
kepadanya yang berisi petunjuk dan cahaya untuk orang-orang yang
mengamalkannya. Dan dijadikannya pula rasul-Nya sebagai orang
yang lebih tahu menjelaskan kehendak-Nya dalam kitab tersebut, baik
menjelaskan kata-kata yang bersifat umum, yang membatalkan dan
dibatalkan maupun menafsirkan maksud-maksud-Nya. Sahabat-sahabat
yang menerima langsung hadis dari Rasulullah dan menyaksikan
penerapannya adalah orang-orang yang lebih mengetahui Sunnah
Rasulullah dan Al-Qur’an, sehingga mereka berhak dinilai sebagai
orang-orang yang lebih tahu tentang tafsir dan maksud Al-Qur’an
sesudah Rasulullah. Ibnu Hambal adalah murid Imam Syafi’i yang
mempunyai mazhab sendiri, yang berbeda dengan mazhab gurunya.
Dalam mazhabnya hanya wahyu Allah dan Sunnah Rasulullah saja yang
menjadi sumber hukum. Pernyataan di atas tidaklah berarti Ibnu Hambal
menolak sama sekali Ijma dan Qiyas. Ia dapat menerima ijma dan qiyas
tetapi pada kadar yang sedikit sekali dan begitu juga halnya dengan
mashalih al-mursalat dan sadd al-Jarai. Kalau diurut sumber-sumber
hukum yang digunakan Ibnu Hambal adalah sebagai berikut.

8 Tokoh-tokoh Perawi Hadis


1. Al-Qur’an.
2. Sunnah dan hadis.
3. Fatwa-fatwa sahabat.
4. Ijma’.
5. Qiyas.
6. Mashalih al-Mursalat.
7. Sadd al-jarai.
Dalam Mahjabnya menggunakan hadis dhaif apabila tidak ada
dalil lain dengan syarat hadis tersebut tidak bertentangan dengan
kaidah-kaidah agama atau hukum yang berdasarkan kepada hadis
sahih. Sedangkan sumber ketiga dan ketujuh hanya dipergunakan
dalam keadaan terpaksa. Ibnu Hambal juga sangat teliti tentang hadis-
hadis tentang masalah halal dan haram, baik matan maupun sanadnya,
dan mempermudah persyaratan hadis-hadis jika menyangkut masalah
dorongan untuk berbuat baik. Dalam hal ini ia mengatakan ”Apabila kami
menerima hadis-hadis Rasulullah mengenai halal dan haram, sunnah dan
hukum-hukum kami teliti dengan cermat baik matan maupun sanadnya.
Tetapi kalau kami menerima hadis mengenai keutamaan amal ibadat
atau hal-hal yang bukan menyangkut masalah hukum kami permudah
persyaratannya.”
Banyak orang yang menimba ilmu dari beliau, di antaranya Imam
Bukhari, Imam Muslim, Abu Dawud, serta putra beliau sendiri yaitu
Shaleh dan Abdullah. Tulisan beliau yang populer yang kini sampai
pada kita adalah Al Musnad Ibnu Hambal, merupakan salah satu kitab
referensi dalam disiplin ilmu hadis yang selalu dibutuhkan oleh umat
Islam. Kitab ini berisi 30 ribu hadis yang telah dipilih Imam Ahmad
yang mana sebelumnya terdapat 750 ribu hadis, memuat tujuh ratus
perawi dari golongan sahabat laki-laki dan sekitar seratus dari golongan
perempuan. Penyebutan perawi disusun secara abjad seperti kamus

Tokoh-tokoh Perawi Hadis 9


dari yang berawalan Alif sampai Ya. Derajat hadis dalam kitab Musnad
(sahih, hasan, daif, dan lain-lain) masih bercampur. Metode penulisan
seperti ini digunakan pada abad ke-3 Hijriyah, yaitu menuliskan hadis
berdasarkan perawinya bukan berdasarkan tema sebagaimana yang
digunakan dalam penulisan kitab Sahih Bukhari dan Sahih Muslim.
Sepeninggal beliau, putranya Abdullah dan sebagian muridnya
menambahkan beberapa hadis yang mereka dengar langsung dari
beliau yang belum sempat tertulis. Syaih Ahmad Albana mensyarahkan
kitab Musnad ini dan diberi nama Fathu Robbani, kemudian As-Sya’ati
mensyarahkan lagi kitab ini menjadi kitab Bulughul Amani min Asraril
Fathir Robbany. Syaih Ahmad Muhammad Syakir juga mensyarahkan
kitab Musnad hingga menjadi 15 jilid.

Karangan-karangan Imam Ahmad


1. As-sunnah.
2. Al Wara’ wal Iman.
3. Al Masail (jawaban beliau atas pertanyaan-pertanyaan muridnya).
4. Muhtasyar fi usuluddin.
5. Fadhailsahabah.
6. Al’ilal wa Ma’rifatu Arrrijal.
7. Al Aqidah.
8. Syair.
9. Syair ‘an khudzu’ lillah.
10. Syiir ‘an Maut wa Yaumil Qiyyamah.
11. Kitab As-shalah.
12. Az-zuhdu.
13. As Sunnah Al-Kubro.
14. Al Musnad.

10 Tokoh-tokoh Perawi Hadis


Beliau menikah pada usia 40 tahun dengan Abasyah binti Fadl
dan dikaruniai seorang putra bernama Saleh. Karena istrinya meninggal,
kemudian Imam Ahmad menyunting seorang wanita bernama Raihanah
juga dikaruniai seorang putra bernama Abdullah. Setelah Raihanah
meninggal, beliau menikah lagi kemudian mempunyai seorang putri
bernama Zainab serta si kembar bernama Hasan dan Husain namun
mereka meninggal beberapa menit setelah dilahirkan, kemudian istrinya
hamil lagi dan melahirkan Muhammad. Anak bungsunya yang bernama
Said lahir lima hari sebelum beliau meninggal.
Menjelang wafatnya, beliau jatuh sakit selama sembilan hari.
Mendengar sakitnya, orang-orang pun berdatangan ingin menjenguk.
Mereka berdesak-desakan di depan pintu rumahnya, sampai-sampai
sultan menempatkan orang untuk berjaga di depan pintu. Akhirnya,
pada permulaan hari Jumat, tanggal 12 Rabiul Awwal 241 H, beliau
menghadap Rabbnya. Sekitar 700-800 ribu orang mengantar jenazah
beliau (bahkan ada yang mengatakan sejuta). Semuanya menunjukkan
bahwa sangat banyaknya mereka yang hadir pada saat itu demi
menunjukkan penghormatan dan kecintaan mereka kepada beliau.
Beliau pernah berkata ketika masih sehat, “Katakan kepada ahlu bid’ah,
bahwa perbedaan antara kami dan kalian adalah (tampak pada) hari
kematian kami.”
Imam Ahmad wafat diusianya yang ke 77, pada malam Jumat
bertepatan tanggal 12 Rabiul Awal pada tahun 241 H, dimakamkan di
Bagdad, Iraq terdapat sekitar 800 ribu laki-laki dan 60 ribu perempuan
pelawat jenazah.

Tokoh-tokoh Perawi Hadis 11


Imam Bukhari

Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail


bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari Al Ju’fi. Beliau lahir pada hari
Jumat, di Bukhara, Uzbekistan pada tanggal 13 Syawwal tahun 194 H/21
Juli 810 M. Kakeknya bernama Bardizbeh, turunan Persi yang masih
beragama Zoroaster. Tapi orang tuanya, Mughoerah, telah memeluk
Islam di bawah asuhan Al-Yaman el-Ja’fiy. Beliau lebih terkenal dengan
sebutan Imam Bukhari. Imam Bukhari berasal dari keluarga ulama
yang saleh. Ayahnya, Ismail, seorang ulama hadis yang pernah berguru
kepada Imam Malik bin Anas, salah seorang pendiri mazhab fiqih yang
empat, dan juga kepada Hammad ibn Zaid.
Sewaktu kecil Al Imam Al Bukhari buta kedua matanya. Pada suatu
malam ibu beliau bermimpi melihat Nabi Ibrahim a.s. yang mengatakan,
“Sesungguhnya Allah telah mengembalikan penglihatan kedua mata
putramu karena seringnya engkau berdoa.” Ternyata pada pagi harinya
sang ibu menyaksikan bahwa Allah telah mengembalikan penglihatan
kedua mata putranya.
Ketika berusia sepuluh tahun, Al Imam Al Bukhari mulai menuntut
ilmu, beliau melakukan pengembaraan ke Balkh, Naisabur, Rayy, Bagdad,
Bashrah, Kufah, Mekah, Mesir, dan Syam. Guru-guru beliau banyak sekali

12 Tokoh-tokoh Perawi Hadis


jumlahnya. Di antara mereka yang sangat terkenal adalah Abu ‘Ashim
An-Nabiil, Al Anshari, Makki bin Ibrahim, Ubaidaillah bin Musa, Abu Al
Mughirah, ‘Abdan bin ‘Utsman, ‘Ali bin Al Hasan bin Syaqiq, Shadaqah
bin Al Fadhl, Abdurrahman bin Hammad Asy-Syu’aisi, Muhammad bin
‘Ar’arah, Hajjaj bin Minhaal, Badal bin Al Muhabbir, Abdullah bin Raja’,
Khalid bin Makhlad, Thalq bin Ghannaam, Abdurrahman Al Muqri’,
Khallad bin Yahya, Abdul ‘Azizi Al Uwaisi, Abu Al Yaman, ‘Ali bin Al Madini,
Ishaq bin Rahawaih, Nu’aim bin Hammad, Al Imam Ahmad bin Hanbal, dan
sederet imam dan ulama ahlul hadis lainnya.
Al Imam Al Bukhari sangat terkenal kecerdasannya dan kekuatan
hafalannya. Beliau dikaruniai otak yang sangat cerdas. Pemikirannya
tajam dan hafalannya kuat. Kecerdasan dan Ketajaman pemikirannya
serta kekuatan hafalannya sudah terlihat sejak masa kanak-kanak.
Ulama hadis ini mewarisi ketakwaan ayahnya. Minatnya terhadap
dunia keilmuan sudah terbentuk sejak kecil. Ayahnya merupakan tokoh
idolanya sekaligus guru pertamanya. Ia harus berpisah dengan ayahnya
tercinta untuk selamanya sejak usia lima tahun.
Imam Bukhari bertekad untuk mengikuti jejak sang ayah. Dalam
usia sepuluh tahun sudah banyak menghafal hadis. Hari-harinya
disibukkan dengan belajar hadis. Dalam usia 16 tahun pemuda Bukhari
sudah hafal di luar kepala hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Ibn
Mubarak al-Waqi. Ia pun sudah memahami madhab fiqih “ahl al-Ra’yi.”
Beliau pernah berkata, “Saya hafal seratus ribu hadis sahih, dan saya juga
hafal dua ratus ribu hadis yang tidak sahih.” Pada kesempatan yang lain
belau berkata, “Setiap hadis yang saya hafal, pasti dapat saya sebutkan
sanad (rangkaian perawi-perawi)-nya.”
Beliau juga pernah ditanya oleh Muhamad bin Abu Hatim Al
Warraaq, “Apakah engkau hafal sanad dan matan setiap hadis yang

Tokoh-tokoh Perawi Hadis 13


engkau masukkan ke dalam kitab yang engkau susun (maksudnya: kitab
Sahih Bukhari)?” Beliau menjawab, ”Semua hadis yang saya masukkan
ke dalam kitab yang saya susun itu sedikit pun tidak ada yang samar bagi
saya.”
Anugerah Allah kepada Al Imam Al Bukhari berupa reputasi di
bidang hadis telah mencapai puncaknya. Tidak mengherankan jika para
ulama dan para imam yang hidup sezaman dengannya memberikan
pujian (rekomendasi) terhadap beliau. Berikut ini adalah sederet pujian
(rekomendasi) termaksud.
Muhammad bin Abi Hatim berkata, “Saya mendengar Ibrahim
bin Khalid Al Marwazi berkata, “Saya melihat Abu Ammar Al Husein bin
Harits memuji Abu Abdillah Al Bukhari, lalu beliau berkata, “Saya tidak
pernah melihat orang seperti dia. Seolah-olah dia diciptakan oleh Allah
hanya untuk hadis.”
Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah berkata, “Saya
tidak pernah melihat di kolong langit seseorang yang lebih mengetahui
dan lebih kuat hafalannya tentang hadis Rasulullah saw. dari pada
Muhammad bin Ismail (Al Bukhari).” Muhammad bin Abi Hatim berkata,
“Saya mendengar Abu Abdillah (Al Imam Al Bukhari) berkata, “Para
sahabat ‘Amr bin ‘Ali Al Fallaas pernah meminta penjelasan kepada saya
tentang status (kedudukan) sebuah hadis. Saya katakan kepada mereka,
“Saya tidak mengetahui status (kedudukan) hadis tersebut.” Mereka
jadi gembira dengan sebab mendengar ucapanku, dan mereka segera
bergerak menuju ‘Amr. Lalu mereka menceriterakan peristiwa itu kepada
‘Amr. ‘Amr berkata kepada mereka, “Hadis yang status (kedudukannya)
tidak diketahui oleh Muhammad bin Ismail bukanlah hadis.”
Al Imam al-Bukhari mempunyai karya besar di bidang hadis
yaitu kitab beliau yang diberi judul Al Jami’ atau disebut juga Ash-

14 Tokoh-tokoh Perawi Hadis


Shahih atau Sahih Al Bukhari. Para ulama menilai bahwa kitab Sahih
Al Bukhari ini merupakan kitab yang paling sahih setelah kitab suci Al-
Qur’an. Hubungannya dengan kitab tersebut, ada seorang ulama besar
ahli fikih, yaitu Abu Zaid Al Marwazi menuturkan, “Suatu ketika saya
tertidur pada sebuah tempat (dekat Ka’bah) di antara Rukun Yamani dan
Maqam Ibrahim. Di dalam tidur saya bermimpi melihat Nabi saw. Beliau
berkata kepada saya, “Hai Abu Zaid, sampai kapan engkau mempelajari
kitab Asy-Syafi’i, sementara engkau tidak mempelajari kitabku? Saya
berkata, “Wahai Baginda Rasulullah, kitab apa yang Baginda maksud?”
Rasulullah menjawab, “Kitab Jami’ karya Muhammad bin Ismail.” Karya
Al Imam Al Bukhari yang lain yang terkenal adalah kita At-Tarikh yang
berisi tentang hal-ihwal para sahabat dan tabi’in serta ucapan-ucapan
(pendapat-pendapat) mereka. Di bidang akhlak beliau menyusun kitab
Al Adab Al Mufrad. Dan di bidang akidah beliau menyusun kitab Khalqu
Af’aal Al Ibaad.
Ketakwaan dan keshalihan Al Imam Al Bukhari merupakan sisi
lain yang tak pantas dilupakan. Berikut ini diketengahkan beberapa
pernyataan para ulama tentang ketakwaan dan keshalihan beliau agar
dapat dijadikan teladan.
Abu Bakar bin Munir berkata, “Saya mendengar Abu Abdillah Al
Bukhari berkata, “Saya berharap bahwa ketika saya berjumpa Allah, saya
tidak dihisab dalam keadaan menanggung dosa ghibah (menggunjing
orang lain).”
Abdullah bin Sa’id bin Ja’far berkata, “Saya mendengar para ulama
di Bashrah mengatakan, “Tidak pernah kami jumpai di dunia ini orang seperti
Muhammad bin Ismail dalam hal ma’rifah (keilmuan) dan keshalihan.”
Sulaim berkata, “Saya tidak pernah melihat dengan mata kepala
saya sendiri semenjak enam puluh tahun orang yang lebih dalam

Tokoh-tokoh Perawi Hadis 15


pemahamannya tentang ajaran Islam, lebih wara’ (takwa), dan lebih
zuhud terhadap dunia daripada Muhammad bin Ismail.”
Al Firabri berkata, “Saya bermimpi melihat Nabi saw. di dalam
tidur saya.” Beliau bertanya kepada saya, “Engkau hendak menuju ke
mana?” Saya menjawab, “Hendak menuju ke tempat Muhammad bin
Ismail Al Bukhari.” Beliau berkata, “Sampaikan salamku kepadanya!”
Imam Bukhari pernah ditanya oleh seseorang, “Bagaimana mulanya
engkau berkecimpung dalam bidang hadis ini? Maka beliau mengatakan,
saya diilhami untuk menghafal hadis ketika saya bersama dengan
para penulis hadis. Berapa usiamu pada waktu itu? Dia menjawab 10
tahun, atau kurang. Saya lalu keluar dari kelompok para penulis itu dan
selanjutnya saya selalu menemani ad-Dakhili dan ulama lainnya. Ketika
saya telah berkecimpung di bidang ini saya telah hafal Ibnul Mubarak dan
Waqi’. Saya lalu pergi ke Mekah bersama ibu dan saudaraku , sesudah
selesai berhaji, saudaraku lalu mengantarkan ibuku pulang, sedangkan saya
memperdalam dan mematangkan diri dalam bidang hadis.”
Imam Bukhari selanjutnya berkelana ke berbagai daerah seperti
Nisabur, Bagdad, Bashrah, Kufah, Mekah, Madinah, Syam dan Mesir
untuk mendapatkan hadis dari sejumlah ulama. Beliau menulis kitabnya
yang bernama Tarikh di masjid Nabawi, sejumlah buku yang memuat
nama-nama rijal (Orang).
Imam Bukhari pada waktu kecil pernah mendatangi para ulama
yang sedang bersama para muridnya, karena beliau masih kecil beliau malu
memberi salam pada mereka. Suatu ketika beliau ditanya oleh seorang
alim, “Berapa hadis yang sudah kau tulis hari ini? Imam Bukhari menjawab,
“Dua.” Orang-orang yang ada di sekitarnya mentertawakannya. Alim
itu pun berkata, “Kalian jangan menertawakannya, boleh jadi suatu
hari kalian akan ditertawakannya.”

16 Tokoh-tokoh Perawi Hadis


Beliau berkata, “Suatu kali saya bersama Ishak ibnu Rahawaih,
lalu ada sejumlah temanku yang berkata kepadaku, alangkah baiknya
kalau sekiranya engkau kumpulkan sunnah Nabi saw. dalam sebuah
kitab yang singkat. Hal tersebut mengena dalam hatiku, maka saya mulai
mengumpulkannya dalam kitab ini (Kitab Sahih Bukhari).”
Beliau berkata, kitab ini saya pilihkan dari 600 ribu hadis. Beliau
juga berkata, tidaklah aku tulis satu hadis dalam kitab ini kecuali saya
wudlu/mandi dan salat dua rekaat. Imam Bukhari berkata, saya menulis
hadis dari 1000 orang alim atau lebih. Tidak ada satu pun hadis yang ada
padaku kecuali kusebutkan isnadnya.
Imam Bukhari adalah ahli hadis yang termasyhur di antara para
ahli hadis sejak dulu hingga kini bersama dengan Imam Ahmad, Imam
Muslim, Abu Dawud, Tirmizi, An-Nasai, dan Ibnu Majah. Bahkan dalam
kitab-kitab Fiqih dan Hadis, hadis-hadis beliau memiliki derajat yang
tinggi. Sebagian menyebutnya dengan julukan Amirul Mukminin fil
Hadis (Pemimpin kaum mukmin dalam hal Ilmu Hadis). Dalam bidang
ini, hampir semua ulama di dunia merujuk kepadanya.
Tempat beliau lahir kini termasuk wilayah Rusia, yang waktu itu
memang menjadi pusat kebudayaan ilmu pengetahuan Islam sesudah
Madinah, Damaskus, dan Bagdad. Daerah itu pula yang telah melahirkan
filosof-filosof besar seperti al-Farabi dan Ibnu Sina. Bahkan ulama-
ulama besar seperti Zamachsari, al-Durdjani, al-Bairuni dan lain-lain,
juga dilahirkan di Asia Tengah. Sekalipun daerah tersebut telah jatuh
di bawah kekuasaan Uni Sovyet (Rusia), namun menurut Alexandre
Benningsen dan Chantal Lemercier Quelquejay dalam bukunya “Islam in
the Sovyet Union” (New York, 1967), pemeluk Islamnya masih berjumlah
30 milliun. Jadi merupakan daerah yang pemeluk Islamnya nomor lima
besarnya di dunia setelah Indonesia, Pakistan, India, dan Cina.

Tokoh-tokoh Perawi Hadis 17


Keluarga dan Guru Imam Bukhari
Bukhari dididik dalam keluarga ulama yang taat beragama.
Dalam kitab As-Siqat, Ibnu Hibban menulis bahwa ayahnya dikenal
sebagai orang yang wara’ dalam arti berhati-hati terhadap hal-hal yang
hukumnya bersifat syubhat (ragu-ragu), terlebih-lebih terhadap hal-hal
yang sifatnya haram. Ayahnya adalah seorang ulama bermadzhab Maliki
dan merupakan murid dari Imam Malik, seorang ulama besar dan ahli
fiqih. Ayahnya wafat ketika Bukhari masih kecil.
Perhatiannya kepada ilmu hadis yang sulit dan rumit itu sudah
tumbuh sejak usia 10 tahun, hingga dalam usia 16 tahun beliau sudah
hafal dan menguasai buku-buku seperti “al-Mubarak” dan “al-Waki.”
Bukhari berguru kepada Syekh Ad-Dakhili, ulama ahli hadis yang masyhur
di Bukhara. Pada usia 16 tahun bersama keluarganya, ia mengunjungi
kota suci Mekah dan Madinah, dimana di kedua kota suci itu beliau
mengikuti kuliah para guru-guru besar ahli hadis. Pada usia 18 tahun
beliau menerbitkan kitab pertamanya “Qudhaya ash-Shahabah wat
Tabi’ien” (Peristiwa-peristiwa Hukum di zaman Sahabat dan Tabi’in).
Bersama gurunya Syekh Ishaq, beliau menghimpun hadis-hadis
sahih dalam satu kitab, dimana dari satu juta hadis yang diriwayatkan
oleh 80.000 perawi disaring lagi menjadi 7275 hadis. Diantara guru-guru
beliau dalam memperoleh hadis dan ilmu hadis antara lain adalah Ali bin
Al-Madini, Ahmad bin Hanbali, Yahya bin Ma’in, Muhammad bin Yusuf
Al-Faryabi, Maki bin Ibrahim Al-Bakhi, Muhammad bin Yusuf al-Baykandi
dan Ibnu Rahwahih. Selain itu ada 289 ahli hadis yang hadisnya dikutip
dalam kitab Sahih-nya.

Kejeniusan Imam Bukhari


Bukhari diakui memiliki daya hafal tinggi, yang diakui oleh
kakaknya Rasyid bin Ismail. Kakak sang Imam ini menuturkan, pernah

18 Tokoh-tokoh Perawi Hadis


Bukhari muda dan beberapa murid lainnya mengikuti kuliah dan ceramah
cendekiawan Balkh. Tidak seperti murid lainnya, Bukhari tidak pernah
membuat catatan kuliah. Ia sering dicela membuang waktu karena tidak
mencatat. Namun Bukhari diam tak menjawab.
Suatu hari, karena merasa kesal terhadap celaan itu, Bukhari
meminta kawan-kawannya membawa catatan mereka, kemudian beliau
membacakan secara tepat apa yang pernah disampaikan selama dalam
kuliah dan ceramah tersebut. Tercenganglah mereka semua, lantaran
Bukhari ternyata hafal di luar kepala 15.000 hadis, lengkap dengan
keterangan yang tidak sempat mereka catat.
Ketika sedang berada di Bagdad, Imam Bukhari pernah didatangi
oleh 10 orang ahli hadis yang ingin menguji ketinggian ilmu beliau.
Dalam pertemuan itu, 10 ulama tersebut mengajukan 100 buah
hadis yang sengaja “diputar-balikkan” untuk menguji hafalan Imam
Bukhari. Ternyata hasilnya mengagumkan. Imam Bukhari mengulang
kembali secara tepat masing-masing hadis yang salah tersebut, lalu
mengoreksi kesalahannya, kemudian membacakan hadis yang benarnya.
Ia menyebutkan seluruh hadis yang salah tersebut di luar kepala, secara
urut, sesuai dengan urutan penanya dan urutan hadis yang ditanyakan,
kemudian membetulkannya. Inilah yang sangat luar biasa dari sang Imam,
karena beliau mampu menghafal hanya dalam waktu satu kali dengar.
Selain terkenal sebagai seorang ahli hadis, Imam Bukhari ternyata
tidak melupakan kegiatan lain, yakni olahraga. Misalnya ia sering belajar
memanah sampai mahir, sehingga dikatakan sepanjang hidupnya,
sang Imam tidak pernah luput dalam memanah kecuali hanya dua kali.
Keadaan itu timbul sebagai pengamalan sunnah Rasul yang mendorong
dan menganjurkan kaum Muslimin belajar menggunakan anak panah
dan alat-alat perang lainnya.

Tokoh-tokoh Perawi Hadis 19


Karya-karya Imam Bukhari
Karyanya yang pertama berjudul “Qudhaya ash-Shahabah wat
Tabi’ien” (Peristiwa-peristiwa Hukum di zaman Sahabat dan Tabi’ien).
Kitab ini ditulisnya ketika masih berusia 18 tahun. Ketika menginjak usia
22 tahun, Imam Bukhari menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci bersama-
sama dengan ibu dan kakaknya yang bernama Ahmad. Di sanalah beliau
menulis kitab “At-Tarikh” (sejarah) yang terkenal itu. Beliau pernah
berkata, “Saya menulis buku ‘At-Tarikh’ di atas makam Nabi Muhammad
saw. di waktu malam bulan purnama.”
Karya Imam Bukhari lainnya antara lain adalah kitab Al-Jami’ ash-
Sahih, Al-Adab al-Mufrad, At-Tharikh as-Shaghir, At-Tarikh Al-Awsat, At-
Tarikh al-Kabir, At-Tafsir Al-Kabir, Al-Musnad al-Kabir, Kitab al ‘Ilal, Raf’ul
Yadain fis Salah, Birrul Walidain, Kitab Ad-Du’afa, Asami As-Sahabah dan Al-
Hibah. Di antara semua karyanya tersebut, yang paling monumental adalah
kitab Al-Jami’ as-Sahih yang lebih dikenal dengan nama Sahih Bukhari.
Dalam sebuah riwayat diceritakan, Imam Bukhari berkata, “Aku
bermimpi melihat Rasulullah saw. seolah-olah aku berdiri di hadapannya,
sambil memegang kipas yang kupergunakan untuk menjaganya.
Kemudian aku tanyakan mimpi itu kepada sebagian ahli ta’bir, ia
menjelaskan bahwa aku akan menghancurkan dan mengikis habis
kebohongan dari hadis-hadis Rasulullah saw. Mimpi inilah, antara lain,
yang mendorongku untuk melahirkan kitab Al-Jami’ As-Sahih.”
Dalam menghimpun hadis-hadis sahih dalam kitabnya
tersebut, Imam Bukhari menggunakan kaidah-kaidah penelitian secara
ilmiah dan sah yang menyebabkan kesahihan hadis-hadisnya dapat
dipertanggungjawabkan. Ia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk
meneliti dan menyelidiki keadaan para perawi, serta memperoleh secara
pasti kesahihan hadis-hadis yang diriwayatkannya.

20 Tokoh-tokoh Perawi Hadis


Imam Bukhari senantiasa membandingkan hadis-hadis yang
diriwayatkan, satu dengan lainnya, menyaringnya dan memilih mana
yang menurutnya paling sahih. Sehingga kitabnya merupakan batu
uji dan penyaring bagi hadis-hadis tersebut. Hal ini tercermin dari
perkataannya : “Aku susun kitab Al-Jami’ ini yang dipilih dari 600.000
hadis selama 16 tahun.”
Banyak para ahli hadis yang berguru kepadanya, di antaranya
adalah Syekh Abu Zahrah, Abu Hatim Tirmizi, Muhammad Ibn Nasr, dan
Imam Muslim bin Al Hajjaj (pengarang kitab Sahih Muslim). Imam Muslim
menceritakan: “Ketika Muhammad bin Ismail (Imam Bukhari) datang
ke Naisabur, aku tidak pernah melihat seorang kepala daerah, para
ulama dan penduduk Naisabur yang memberikan sambutan seperti apa
yang mereka berikan kepadanya.” Mereka menyambut kedatangannya
dari luar kota sejauh dua atau tiga marhalah (100 km), sampai-sampai
Muhammad bin Yahya Az Zihli (guru Imam Bukhari) berkata: “Barang
siapa hendak menyambut kedatangan Muhammad bin Ismail besok
pagi, lakukanlah, sebab aku sendiri akan ikut menyambutnya.”

Penelitian Hadis
Untuk mengumpulkan dan menyeleksi hadis sahih, Bukhari
menghabiskan waktu selama 16 tahun untuk mengunjungi berbagai
kota guna menemui para perawi hadis, mengumpulkan dan menyeleksi
hadisnya. Di antara kota-kota yang disinggahinya antara lain Bashrah,
Mesir, Hijaz (Mekah, Madinah), Kufah, Bagdad sampai ke Asia Barat.
Di Bagdad, Bukhari sering bertemu dan berdiskusi dengan ulama besar
Imam Ahmad bin Hanbali. Dari sejumlah kota-kota itu, ia bertemu
dengan 80.000 perawi. Dari merekalah beliau mengumpulkan dan
menghafal satu juta hadis.

Tokoh-tokoh Perawi Hadis 21


Namun tidak semua hadis yang ia hafal kemudian diriwayatkan,
melainkan terlebih dahulu diseleksi dengan seleksi yang sangat ketat, di
antaranya apakah sanad (riwayat) dari hadis tersebut bersambung dan
apakah perawi (periwayat/pembawa) hadis itu terpercaya dan tsiqqah
(kuat). Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani, akhirnya Bukhari menuliskan
sebanyak 9082 hadis dalam karya monumentalnya Al-Jami’ as-Sahih
yang dikenal sebagai Sahih Bukhari.
Dalam meneliti dan menyeleksi hadis dan diskusi dengan para
perawi tersebut, Imam Bukhari sangat sopan. Kritik-kritik yang ia
lontarkan kepada para perawi juga cukup halus namun tajam. Kepada
para perawi yang sudah jelas kebohongannya ia berkata, “perlu diper-
timbangkan, para ulama meninggalkannya atau para ulama berdiam
dari hal itu” sementara kepada para perawi yang hadisnya tidak jelas ia
menyatakan “Hadisnya diingkari.” Bahkan banyak meninggalkan perawi
yang diragukan kejujurannya. Beliau berkata “Saya meninggalkan 10.000
hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang perlu dipertimbangkan
dan meninggalkan hadis-hadis dengan jumlah yang sama atau
lebih, yang diriwayatan oleh perawi yang dalam pandanganku perlu
dipertimbangkan.”
Banyak para ulama atau perawi yang ditemui sehingga Bukhari
banyak mencatat jati diri dan sikap mereka secara teliti dan akurat.
Untuk mendapatkan keterangan yang lengkap mengenai sebuah hadis,
mencek keakuratan sebuah hadis ia berkali-kali mendatangi ulama atau
perawi meskipun berada di kota-kota atau negeri yang jauh seperti
Bagdad, Kufah, Mesir, Syam, Hijaz seperti yang dikatakan beliau “Saya
telah mengunjungi Syam, Mesir dan Jazirah masing-masing dua kali,
ke Basrah empat kali menetap di Hijaz selama enam tahun dan tidak
dapat dihitung berapa kali saya mengunjungi Kufah dan Bagdad untuk
menemui ulama-ulama ahli hadis.”

22 Tokoh-tokoh Perawi Hadis


Disela-sela kesibukannya sebagai ulama, pakar hadis, ia juga
dikenal sebagai ulama dan ahli fiqih, bahkan tidak lupa dengan kegiatan-
kegiatan olahraga dan rekreatif seperti belajar memanah sampai mahir,
bahkan menurut suatu riwayat, Imam Bukhari tidak pernah luput
memanah kecuali dua kali.

Metode Imam Bukhari dalam Menulis Kitab Hadis


Sebagai intelektual muslim yang berdisiplin tinggi, Imam Bukhari
dikenal sebagai pengarang kitab yang produktif. Karya-karyanya tidak
hanya dalam disiplin ilmu hadis, tapi juga ilmu-ilmu lain, seperti tafsir,
fikih, dan tarikh. Fatwa-fatwanya selalu menjadi pegangan umat sehingga
ia menduduki derajat sebagai mujtahid mustaqil (ulama yang ijtihadnya
independen), tidak terikat pada mazhab tertentu, sehingga mempunyai
otoritas tersendiri dalam berpendapat dalam hal hukum.
Pendapat-pendapatnya terkadang sejalan dengan Imam Abu
Hanifah (Imam Hanafi, pendiri mazhab Hanafi), tetapi terkadang bisa
berbeda dengan beliau. Sebagai pemikir bebas yang menguasai ribuan
hadis sahih, suatu saat beliau bisa sejalan dengan Ibnu Abbas, Atha
ataupun Mujahid dan bisa juga berbeda pendapat dengan mereka.
Di antara puluhan kitabnya, yang paling masyhur ialah kumpulan
hadis sahih yang berjudul Al-Jami’ as-Sahih, yang belakangan lebih
populer dengan sebutan Sahih Bukhari. Ada kisah unik tentang
penyusunan kitab ini. Suatu malam Imam Bukhari bermimpi bertemu
dengan Nabi Muhammad saw. seolah-olah Nabi Muhammad saw.
berdiri dihadapannya. Imam Bukhari lalu menanyakan makna mimpi
itu kepada ahli mimpi. Jawabannya adalah beliau (Imam Bukhari) akan
menghancurkan dan mengikis habis kebohongan yang disertakan orang
dalam sejumlah hadis Rasulullah saw. Mimpi inilah, antara lain yang
mendorong beliau untuk menulis kitab “Al-Jami ‘as-Sahih.”

Tokoh-tokoh Perawi Hadis 23


Dalam menyusun kitab tersebut, Imam Bukhari sangat berhati-
hati. Menurut Al-Firbari, salah seorang muridnya, ia mendengar Imam
Bukhari berkata. “Saya susun kitab Al-Jami’ as-Sahih ini di Masjidil
Haram, Mekah dan saya tidak mencantumkan sebuah hadis pun kecuali
sesudah salat istikharah dua rakaat memohon pertolongan kepada
Allah, dan sesudah meyakini betul bahwa hadis itu benar-benar sahih.”
Di Masjidil Haramlah ia menyusun dasar pemikiran dan bab-babnya
secara sistematis.
Setelah itu ia menulis mukadimah dan pokok-pokok bahasannya
di Rawdah Al-Jannah, sebuah tempat antara makam Rasulullah dan mimbar
di Masjid Nabawi di Madinah. Barulah setelah itu ia mengumpulkan
sejumlah hadis dan menempatkannya dalam bab-bab yang sesuai.
Proses penyusunan kitab ini dilakukan di dua kota suci tersebut dengan
cermat dan tekun selama 16 tahun. Ia menggunakan kaidah penelitian
secara ilmiah dan cukup modern sehingga hadis hadisnya dapat
dipertanggungjawabkan.
Dengan bersungguh-sungguh ia meneliti dan menyelidiki
kredibilitas para perawi sehingga benar-benar memperoleh kepastian
akan kesahihan hadis yang diriwayatkan. Ia juga selalu membandingkan
hadis satu dengan yang lainnya, memilih dan menyaring, mana yang
menurut pertimbangannya secara nalar paling sahih. Dengan demikian,
kitab hadis susunan Imam Bukhari benar-benar menjadi batu uji dan
penyaring bagi sejumlah hadis lainnya. “Saya tidak memuat sebuah hadis
pun dalam kitab ini kecuali hadis-hadis sahih”, katanya suatu saat.
Di belakang hari, para ulama hadis menyatakan, dalam menyusun
kitab Al-Jami’ as-Sahih, Imam Bukhari selalu berpegang teguh pada
tingkat kesahihan paling tinggi dan tidak akan turun dari tingkat tersebut,
kecuali terhadap beberapa hadis yang bukan merupakan materi pokok

24 Tokoh-tokoh Perawi Hadis


dari sebuah bab.
Menurut Ibnu Shalah, dalam kitab Muqaddimah, kitab Sahih
Bukhari itu memuat 7275 hadis. Selain itu ada hadis-hadis yang dimuat
secara berulang, dan ada 4000 hadis yang dimuat secara utuh tanpa
pengulangan. Penghitungan itu juga dilakukan oleh Syekh Muhyiddin An
Nawawi dalam kitab At-Taqrib. Dalam hal itu, Ibnu Hajar Al-Atsqalani
dalam kata pendahuluannya untuk kitab Fathul Bari (yakni syarah atau
penjelasan atas kitab Sahih Bukhari) menulis, semua hadis sahih yang
dimuat dalam Sahih Bukhari (setelah dikurangi dengan hadis yang
dimuat secara berulang) sebanyak 2.602 buah. Sedangkan hadis yang
mu’allaq (ada kaitan satu dengan yang lain, bersambung) namun marfu
(diragukan) ada 159 buah. Adapun jumlah semua hadis sahih termasuk
yang dimuat berulang sebanyak 7397 buah. Perhitungan berbeda di
antara para ahli hadis tersebut dalam mengomentari kitab Sahih Bukhari
semata-mata karena perbedaan pandangan mereka dalam ilmu hadis.

Terjadinya Fitnah
Muhammad bin Yahya Az-Zihli berpesan kepada para penduduk
agar menghadiri dan mengikuti pengajian yang diberikannya. Ia berkata:
“Pergilah kalian kepada orang alim dan saleh itu, ikuti dan dengarkan
pengajiannya.” Namun tak lama kemudian ia mendapat fitnah dari
orang-orang yang dengki. Mereka menuduh sang Imam sebagai orang
yang berpendapat bahwa “Al-Qur’an adalah makhluk.”
Hal inilah yang menimbulkan kebencian dan kemarahan gurunya,
Az-Zihli kepadanya. Kata Az-Zihli : “Barang siapa berpendapat bahwa
lafadz-lafadz Al-Qur’an adalah makhluk, maka ia adalah ahli bid’ah.
Ia tidak boleh diajak bicara dan majelisnya tidak boleh didatangi. Dan
barang siapa masih mengunjungi majelisnya, curigailah dia.” Setelah
adanya ultimatum tersebut, orang-orang mulai menjauhinya.

Tokoh-tokoh Perawi Hadis 25


Sebenarnya, Imam Bukhari terlepas dari fitnah yang dituduhkan
kepadanya itu. Diceritakan, seseorang berdiri dan mengajukan pertanyaan
kepadanya: “Bagaimana pendapat Anda tentang lafal-lafal Al-Qur’an,
makhluk ataukah bukan?” Bukhari berpaling dari orang itu dan tidak mau
menjawab kendati pertanyaan itu diajukan sampai tiga kali.
Tetapi orang itu terus mendesak. Ia pun menjawab: “Al-Qur’an
adalah kalam Allah, bukan makhluk, sedangkan perbuatan manusia
adalah makhluk dan fitnah merupakan bid’ah.” Pendapat yang dikemu-
kakan Imam Bukhari ini, yakni dengan membedakan antara yang
dibaca dengan bacaan, adalah pendapat yang menjadi pegangan para
ulama ahli tahqiq (pengambil kebijakan) dan ulama salaf. Tetapi dengki
dan iri adalah buta dan tuli. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa
Bukhari pernah berkata: “Iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa
bertambah dan bisa berkurang. Al-Quran adalah kalam Allah, bukan
makhluk. Sahabat Rasulullah saw. yang paling utama adalah Abu Bakar,
Umar, Usman, dan Ali. Dengan berpegang pada keimanan inilah aku
hidup, aku mati dan dibangkitkan di akhirat kelak, insya Allah.” Di lain
kesempatan, ia berkata: “Barang siapa menuduhku berpendapat bahwa
lafadz-lafadz Al-Qur’an adalah makhluk, ia adalah pendusta.”

Mengenal Imam Al-Bukhari


Muhammad Ibnu Abi Hatim berkata, “Saya terilham/menghafal
hadis ketika masih dalam asuhan belajar.” Lalu saya bertanya, “Umur
berapakah anda pada waktu itu?” Beliau menjawab, “Sepuluh tahun
atau kurang.” (Riwayat al-Farbari dari Muhammad Ibnu Abi Hatim,
seorang juru tulis al-Imam al-Bukhari).
Suatu ketika al-Imam al-Bukhari tiba di Bagdad. Kehadiran beliau
didengar oleh para ahlul hadis negeri itu. Maka, berkumpullah mereka
untuk menguji kehebatan hafalan beliau tentang hadis.

26 Tokoh-tokoh Perawi Hadis


Syahdan para ulama tersebut sengaja mengumpulkan seratus
buah hadis. Susunan, urutan, dan letak matan serta sanad seratus hadis
tersebut sengaja dibolak-balik. Matan dari sebuah sanad diletakkan
untuk sanad lain, sementara suatu sanad dari sebuah matan diletakkan
untuk matan lain dan begitulah seterusnya. Seratus buah hadis itu
dibagikan kepada sepuluh orang tim penguji, hingga masing-masing
mendapat bagian sepuluh buah hadis.
Maka tibalah ketetapan hari yang telah disepakati. Berbondong-
bondonglah para ulama dan tim penguji itu, serta para ulama dari
Khurasan dan negeri-negeri lain serta penduduk Bagdad menuju tempat
yang telah ditentukan.
Ketika suasana majlis telah menjadi tenang, salah seorang dari
kesepuluh tim penguji mulai memberikan ujiannya. Beliau membacakan
sebuah hadis yang telah dibolak-balik matan dan sanadnya kepada
Imam al-Bukhari. Ketika ditanyakan kepada beliau, al Imam al-Bukhari
menjawab, “Saya tidak kenal hadis itu.” Demikian seterusnya satu
persatu dari kesepuluh hadis penguji pertama itu dibacakan, dan Imam
al-Bukhari selalu menjawab, “Saya tidak kenal hadis itu.”
Beberapa ulama yang hadir saling berpandangan seraya bergumam,
“Orang ini berarti faham.” Akan tetapi ada di kalangan mereka yang
tidak mengerti, hingga menyimpulkan bahwa Imam al-Bukhari terbatas
pengetahuannya dan lemah hafalannya.
Orang kedua maju. Beliau juga melontarkan sebuah hadis yang
telah dibolak-balik sanad dan matannya, yang kemudian dijawab pula,
“Saya tidak kenal hadis itu.” Begitulah, orang kedua ini pun membacakan
sepuluh hadis yang menjadi bagiannya, dan seluruhnya dijawab beliau,
“Saya tidak kenal hadis itu.”

Tokoh-tokoh Perawi Hadis 27


Begitulah selanjutnya orang ketiga, keempat, kelima hingga
sampai orang kesepuluh, semuanya membawakan masing-masing
sepuluh hadis yang telah dibolak-balik matan dan sanadnya. Dan al-
Imam al-Bukhari memberikan jawaban tidak lebih daripada kata-kata,
“Saya tidak kenal hadis itu.”
Setelah semuanya selesai menguji, beliau kemudian menghadap
orang pertama seraya berkata, “Hadis yang pertama anda katakan
begini, padahal yang benar adalah begini, lalu hadis anda yang kedua
anda katakan begini padahal yang benar seperti ini. Begitulah seterusnya
hingga hadis kesepuluh disebutkan oleh beliau kesalahan letak sanad
serta matannya, dan kemudian dibetulkannya kesalahan itu hingga
semua sanad dan matannya menjadi benar kedudukannya.
Demikian pula seterusnya yang dilakukan oleh al-Bukhari kepada
para penguji berikutnya hingga sampai kepada penguji kesepuluh. Maka,
orang-orang pun lantas mengakui serta menyatakan kehebatan hafalan
serta kelebihan beliau. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani mengatakan,
“Yang hebat bukanlah kemampuan al-Bukhari dalam mengembalikan
kedudukan hadis-hadis yang salah, sebab beliau memang hafal, tetapi
yang hebat justru hafalnya beliau terhadap kesalahan yang dilakukan
oleh para penguji tersebut secara berurutan satu persatu hanya dengan
sekali mendengar.”
Imam Bukhari adalah Abu Abdillah, bernama Muhammad bin
Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ja’fi. Kakek moyang
Bardizbah (begitulah cara pengucapannya menurut Ibnu Hajar al-
’Asqalani) adalah orang asli Persia. Bardizbah, menurut penduduk
Bukhara berarti petani. Sedangkan kakek buyutnya, al-Mughirah bin
Bardizbah, masuk Islam di tangan al-Yaman al-Ja’fi ketika beliau datang
di Bukhara. Selanjutnya nama al-Mughirah dinisbatkan (disandarkan)

28 Tokoh-tokoh Perawi Hadis


kepada al-Ja’fi sebagai tanda wala’ kepadanya, yakni dalam rangka
mempraktikkan pendapat yang mengatakan, bahwa seseorang yang
masuk Islam, maka wala’nya kepada orang yang mengislamkannya.
Adapun mengenai kakeknya, Ibrahim bin al-Mughirah, Ibnu Hajar
al-’Asqalani mengatakan, “Kami tidak mengetahui (menemukan) sedikit
pun tentang kabar beritanya.” Sedangkan tentang ayahnya, Ismail bin
Ibrahim, Ibnu Hibban telah menuliskan tarjamah (biografi)-nya dalam
kitabnya ats-Tsiqat (orang-orang yang tsiqah/terpercaya) dan beliau
mengatakan, “Ismail bin Ibrahim, ayahnya al-Bukhari, mengambil
riwayat (hadis) dari Hammad bin Zaid dan Malik. Dan riwayat Ismail
diambil oleh ulama-ulama Irak.” Al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani juga
telah menyebutkan riwayat hidup Ismail ini di dalam Tahdzibut Tahdzib.
Ismail bin Ibrahim wafat ketika Muhammad (al-Bukhari) masih kecil.

Pertumbuhan dan Perkembangannya


Kakaknya yang tertua Rasyid ibn Ismail, menuturkan pernah
Bukhari muda dan beberapa murid lainnya mengikuti ceramah dan
kuliah. Ia dicela oleh rekan-rekannya karena tidak mencatat saat guru
menerangkan. Karena kesal terhadap celaan tersebut. Bukhari muda
menyuruh rekannya untuk membawa catatan mereka tercenganglah
mereka karena Bukhari hafal diluar kepala 15.000 hadis lengkap dengan
keterangan yang tidak mereka catat.
Dengan kelebihannya itu beliau telah menyusun berbagai karya
mengenai Hadis. Sejuta hadis yang ia ketahui dari 80.000 perawi diseleksi
menjadi 7.275 hadis. Menurut Ibn Hajar, ia memilih 9.082 hadis untuk
kitab Sahih Bukhari yang masyhur itu. Perampungan kitab itu memakan
waktu 16 tahun. Kitab ini banyak dijadikan sebagai rujukan oleh umat Islam,
dan dianggap kesahihannya nomor satu setelah Al-Qur’an.

Tokoh-tokoh Perawi Hadis 29


Ketika ayahnya wafat, beliau masih kecil, sehingga beliau besar
dan dibesarkan dalam asuhan ibunya. Beliau mencari ilmu ketika masih
kecil dan pernah menceritakan tentang dirinya seperti disebutkan oleh
al-Farbari dari Muhammad bin Abi Hatim. Muhammad bin Abi Hatim
berkata, “Aku pernah mendengar al-Bukhari mengatakan, “Aku diilhami
untuk menghafal hadis ketika masih dalam asuhan mencari ilmu.” Lalu
aku bertanya, “Berapa umur anda pada waktu itu?” Beliau menjawab,
“Sepuluh tahun atau kurang… dan seterusnya hingga perkataan beliau,
“Ketika aku menginjak umur enam belas tahun, aku telah hafal kitab-
kitab karya Ibnul Mubarak dan Wakil. Dan aku pun tahu pernyataan
mereka tentang Ash-hab (Ahlu) ra’yu.” Beliau berkata lagi, “Kemudian
aku berangkat haji bersama ibuku dan saudaraku, setelah menginjak
usia delapan belas tahun, aku telah menyusun kitab tentang sahabat
dan tabi’in. Kemudian menyusun kitab tarikh di Madinah di samping
kuburan Nabi saw. ketika malam terang bulan.” Beliau melanjutkan
perkataannya, “Dan setiap kali ada nama dalam at-Tarikh tersebut, pasti
aku mempunyai kisah tersendiri tentangnya, tetapi aku tidak menyukai
jika kitabku terlalu panjang.”
Semenjak kecil beliau sibuk menggali ilmu dan mendengarkan
hadis dari berbagai negeri, seperti di negerinya sendiri. Dan beliau telah
beberapa kali mengunjungi Bagdad, hingga penduduk di sana mengakui
kelebihannya dan penguasaannya terhadap ilmu riwayah dan dirayah.
Begitulah, singkatnya beliau telah mengunjungi berbagai kota di
Irak dalam rangka mencari ilmu hadis dari tokoh-tokoh negeri tersebut,
misalnya Bashrah, Balkh, Kufah dan lain-lain. Beliau telah mendengarkan
dan menggali hadis dari sejumlah banyak tokoh pembawa hadis.
Diriwayatkan oleh Muhammad bin Abi Hatim, bahwasanya beliau
berkata, “Aku tidak pernah menulis melainkan dari orang-orang yang
mengatakan bahwa al-Iman adalah ucapan dan tindakan.”

30 Tokoh-tokoh Perawi Hadis


Kitab-Kitab yang Disusun dan Kekaguman Terhadap Al-Bukhari
Yang paling pokok adalah kitab al-Jamius sahih (Sahihul Bukhari)
yaitu kitab hadis tersahih di antara kitab hadis lainnya. Selain itu beliau
menyusun juga kitab al-Adabul Mufrad, Raf’ul Yadain fis Salah, al-Qira’ah
khalfal Iman, Birrul Walidain, at-Tarikh ash-Shagir, Khalqu Af’aalil ‘Ibaad,
adl-Dlu’afa (hadis-hadis lemah), al-Jaami’ al-Kabir, al-Musnad al-Kabir,
at-Tafsir al-Kabir, Kitabul Asyribah, Kitabul Hibab, Asaami as-Sahabah
(Nama-nama para sahabat) dan lain sebagainya.
Menurut Imam Bukhari, sebuah hadis dikatakan sahih jika telah
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.
a. Perawinya harus seorang muslim, sadiq (jujur), berakal sehat, tidak
mudallis (berbohong), menupi dan mengada-ada, tidak mukhtalith
(mencampur adukkan hak dan bathil), nilai-nilai yang utama dan ni-
lai yang rendah, serta bergaul dengan orang-orang jahat dan nilai yang
rendah, serta bergaul dengan orang jahat pada suatu kesempatan,
dan orang-orang baik pada kesempatan lain, ‘adil, dhabit atau kuat
ingatanya, sehat panca indra, tidak suka ragu-ragu, dan memiliki
i’tikad baik dalam meriwayatkan hadis.
b. Sanadnya bersambung sampai kepada Nabi.
c. Matanya tidak syadz (menyimpang dari ajaran agama yang benar)
dan tidak mu’allalah (cacat secara aqli maupun hati nurani).
d. Perawi hadis itu harus mu’ashiroh (satu masa), liqa’ (bertemu lang-
sung/bertatap muka), dan tsubut sima’ihi (mendengar langsung se-
cara pasti dengan gurunya).

Selain itu Imam Bukhari hanya berpegang kepada perawi-perawi


hadis yang memiliki sifat-sifat keutamaan dan perawi-perawi yang
memilik integritas kepribadian dan kualifikasi persyaratan yang tertinggi.

Tokoh-tokoh Perawi Hadis 31


Al-Imam al-Bukhari, merupakan barometer bagi guru-gurunya
dan manusia yang tahu dan hidup pada zamannya maupun sesudahnya.
al-Imam al-Hafizh adz-Dzahabi dan al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani telah
menyebutkan secara khusus tentang pujian dan jasa-jasa beliau dalam
kitabnya masing-masing. Adz-Dzahabi dalam Tadzkiratul Huffaazh dan
Ibnu Hajar dalam Tahdzibut Tahdzib.
Berikut ini beberapa contoh pujian dan kekaguman mereka.
Muhammad bin Abi Hatim mengatakan, bahwa aku mendengar Yahya
bin Ja’far al-Baikundi berkata, “Seandainya aku mampu menambahkan
umur Muhammad bin Ismail (al-Bukhari) dengan umurku, niscaya aku
lakukan sebab kematianku hanyalah kematian seorang sedangkan
kematiannya berarti lenyapnya ilmu.”
Raja’ bin Raja’ mengatakan, “Dia, yakni al-Bukhari, merupakan
satu ayat di antara ayat-ayat Allah yang berjalan di atas permukaan bumi.”
Abu Abdullah al-Hakim dalam Tarikh Naisabur berkata, “Dia
adalah Imam Ahlul hadis, tidak ada seorang pun di antara Ahlul Naql
yang mengingkarinya.”
Seluruh hadis yang termuat di dalamnya adalah hadis-hadis sahih
yang telah tetap dari Rasulullah saw. Bahkan semua Mu’allaqaat dalam
Sahih al-Bukhari dinyatakan sahih oleh para ulama Ahlul hadis. Adapun
contoh pernyataan ulama tentang Sahih al-Bukhari seperti dikatakan
al-Hafizh Ibnu Katsir dalam al-Bidaayah wan Nihaayah, “Para ulama
telah bersepakat menerimanya (yakni Sahihul Bukhari) dan menerima
kesahihan apa-apa yang ada di dalamnya, demikian pula seluruh ahlul
Islam.”
Jadi di samping Sahih Muslim, Sahih al-Bukhari adalah kitab
tersahih nomor dua setelah Al-Qur’an sebagaimana disebutkan dan
disepakati oleh para ulama, di antaranya oleh as-Subakti.

32 Tokoh-tokoh Perawi Hadis


Terusirnya Imam Al-Bukhari dari Bukhara
Ghanjar mengatakan dalam kitab Tarikhnya, “Aku mendengar
Ahmad bin Muhammad bin Umar berkata, “Aku mendengar Bakar bin
Munir mengatakan, “Amir Khalid bin Ahmad Adz-Dzuhail, amir penguasa
Bukhara, mengirim utusan kepada Muhammad bin Ismail, yang isinya,
“Bawalah padaku kitab Jaami’us Sahih dan at-Tarikh supaya aku bisa
mendengar dari kamu.” Maka, berkatalah al-Bukhari kepada utusan
tersebut, “Katakanlah kepadanya bahwa sesungguhnya aku tidak akan
merendahkan ilmu dan aku tidak akan membawa ilmuku itu ke hadapan
pintu para sultan. Apabila dia butuh (jika ilmu itu dikehendaki), maka
hendaknya dia datang kepadaku di masjidku atau di rumahku. Kalau
hal ini tidak menyenangkan wahai sultan, maka laranglah aku untuk
mengadakan majlis ilmu, supaya pada hari kiamat aku punya alasan
di hadapan Allah bahwa aku tidak menyembunyikan ilmu.” Ghanjar
mengatakan, “Inilah yang menyebabkan terjadinya krisis di antara
keduanya.”
Al-Hakim berkata, “Aku mendengar Muhammad bin al-’Abbas adh-
Dhabby mengatakan, “Aku mendengar Abu Bakar bin Abu Amr berkata,
“Perginya Abu Abdillah al-Bukhari dari negeri Bukhara disebabkan Khalid
bin Ahmad Khalifah bin Thahir meminta beliau untuk hadir di rumahnya
supaya membacakan kitab at-Tarikh dan al-Jami’us Sahih kepada anak-
anaknya, tapi beliau menolak. Beliau katakan, “Aku tidak mempunyai
waktu jika hanya orang-orang khusus yang mendengarkannya
(mendengarkan ilmuku). Maka Khalid bin Ahmad meminta tolong
kepada Harits bin Abi al-Warqa` dan lainnya dari penduduk Bukhara
untuk bicara mempermasalahkan mazhabnya. Akhirnya Khalid bin
Ahmad mengusir beliau dari Bukhara.

Tokoh-tokoh Perawi Hadis 33


Demikianlah sekelumit tentang Imam Bukhari, beliau juga pernah
difitnah sebagai orang yang mengatakan, bahwa bacaanku terhadap Al-
Qur’an adalah makhluk. Padahal beliau tidak mengatakan demikian dan
bahkan secara tegas beliau membantah bahwa orang yang membawa
berita tersebut adalah pendusta. Beliau bahkan mengatakan, “Bahwa
Al-Qur’an adalah Kalamullah bukan makhluk, sedangkan perbuatan-
perbuatan hamba adalah makhluk.”

Kelahiran dan Wafatnya


Dilahirkan di Bukhara, sesudah salat Jum’at pada tanggal 13 Syawal
194 H. Saat lahir kondisi bayi Bukhari dalam keadaan buta, kemudian
ibunya memohon kepada Allah agar putranya diberikan pengelihatan,
dan alhamdulillah permohonan tersebut dikabulkan. Beliau dibesarkan
dalam suasana rumah tangga yang ilmiah, tenang, suci dan bersih dari
barang-barang haram. Ayahnya, Ismail bin Ibrahim, ketika wafat seperti
yang diceritakan oleh Muhammad bin Abi Hatim, juru tulis al-Bukhari,
bahwa aku pernah mendengar Muhammad bin Kharasy mengatakan,
“Aku mendengar bahwa Ahid Hafs berkata, “Aku masuk menjenguk
Ismail, bapaknya Abu Abdillah (al-Bukhari) ketika beliau menjelang
wafat, beliau berkata, “Aku tidak mengenal dari hartaku barang satu
dirham pun yang haram dan tidak pula satu dirham pun yang syubhat.”
Bukhari adalah nama pemberian orang tuanya Abu Abdullah
Muhammad ibn Ismail, karena lahir di Bukhara pada 1 Juli 810 M, cucu
seorang Persia yang bernama Bradizbat. Di dunia ini tidak banyak orang
yang diberikan kehebatan daya ingat seperti beliau, konon Bukhari
dapat mengingat sejuta hadis secara terperinci. Ia mempelajari hadis
sejak usia 11 tahun, mengunjungi kota-kota suci pada usia 16 tahun
guna mencari ilmu.

34 Tokoh-tokoh Perawi Hadis


Al-Bukhari wafat di Khartank sebuah desa di negeri Samarkhand,
malam Sabtu sesudah salat Isya’, bertepatan dengan malam Idul fitri,
tahun 256 H dan dikuburkan pada hari Idul Fitri sesudah salat Zuhur.
Beliau wafat dalam usia 62 tahun kurang 13 hari dengan meninggalkan
ilmu yang bermanfaat bagi seluruh kaum muslimin, sebagaimana
dikatakan oleh Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wan Nihayah.
Suatu ketika penduduk Samarkand mengirim surat kepada Imam
Bukhari. Isinya, meminta dirinya agar menetap di negeri itu (Samarkand).
Ia pun pergi memenuhi permohonan mereka. Ketika perjalanannya
sampai di Khartand, sebuah desa kecil terletak dua farsakh (sekitar 10 Km)
sebelum Samarkand, ia singgah terlebih dahulu untuk mengunjungi
beberapa familinya. Namun disana beliau jatuh sakit selama beberapa
hari. Dan Akhirnya meninggal pada tanggal 31 Agustus 870 M (256 H) pada
malam Idul Fitri dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Beliau dimakamkan
selepas Salat Zuhur pada Hari Raya Idul Fitri. Sebelum meninggal dunia,
ia berpesan bahwa jika meninggal nanti jenazahnya agar dikafani tiga
helai kain, tanpa baju dalam dan tidak memakai sorban. Pesan itu
dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat setempat. Beliau meninggal
tanpa meninggalkan seorang anakpun.

Tokoh-tokoh Perawi Hadis 35


Imam Muslim (204 – 261 H)

Imam Muslim dilahirkan di Naisabur, Iran pada tahun 202 H atau


817 M. Imam Muslim bernama lengkap Imam Abu Husain Muslim bin
al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al Qusyairi an Naisaburi. Naisabur,
yang sekarang ini termasuk wilayah Rusia, dalam sejarah Islam kala itu
termasuk dalam sebutan Maa Wara’a an Nahr, artinya daerah-daerah
yang terletak di sekitar Sungai Jihun di Uzbekistan, Asia Tengah. Pada
masa Dinasti Samanid, Naisabur menjadi pusat pemerintahan dan
perdagangan selama lebih kurang 150 tahun. Seperti halnya Bagdad
di abad pertengahan, Naisabur, juga Bukhara (kota kelahiran Imam
Bukhari) sebagai salah satu kota ilmu dan pusat peradaban di kawasan
Asia Tengah. Di sini pula bermukim banyak ulama besar.
Perhatian dan minat Imam Muslim terhadap ilmu hadis memang
luar biasa. Sejak usia dini, beliau telah berkonsentrasi mempelajari hadis.
Pada tahun 218 H, beliau mulai belajar hadis, ketika usianya kurang
dari lima belas tahun. Beruntung, beliau dianugerahi kelebihan berupa
ketajaman berfikir dan ingatan hafalan. Ketika berusia sepuluh tahun,
Imam Muslim sering datang dan berguru pada seorang ahli hadis, yaitu
Imam Ad Dakhili. Setahun kemudian, beliau mulai menghafal hadis Nabi
saw. dan mulai berani mengoreksi kesalahan dari gurunya yang salah
menyebutkan periwayatan hadis.

36 Tokoh-tokoh Perawi Hadis


Selain kepada Ad Dakhili, Imam Muslim pun tak segan-segan
bertanya kepada banyak ulama di berbagai tempat dan negara.
Berpetualang menjadi aktivitas rutin bagi dirinya untuk mencari silsilah
dan urutan yang benar sebuah hadis. Beliau, misalnya pergi ke Hijaz, Irak,
Syam, Mesir dan negara-negara lainnya. Dalam lawatannya itu, Imam
Muslim banyak bertemu dan mengunjungi ulama-ulama kenamaan
untuk berguru hadis kepada mereka. Di Khurasan, beliau berguru kepada
Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Ray beliau berguru kepada
Muhammad bin Mahran dan Abu ‘Ansan. Di Irak beliau belajar hadis
kepada Ahmad bin Hanbal dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz beliau
belajar kepada Sa’id bin Mansur dan Abu Mas ‘Abuzar; di Mesir beliau
berguru kepada ‘Amr bin sawad dan Harmalah bin Yahya, dan ulama ahli
hadis lainnya.
Bagi Imam Muslim, Bagdad memiliki arti tersendiri. Di kota
inilah beliau berkali-kali berkunjung untuk belajar kepada ulama-ulama
ahli hadis. Kunjungannya yang terakhir beliau lakukan pada tahun
259 H. Ketika Imam Bukhari datang ke Naisabur, Imam Muslim sering
mendatanginya untuk bertukar pikiran sekaligus berguru padanya. Saat
itu, Imam Bukhari yang memang lebih senior, lebih menguasai ilmu
hadis ketimbang dirinya.
Ketika terjadi fitnah atau kesenjangan antara Bukhari dan Az Zihli,
beliau bergabung kepada Bukhari. Sayang, hal ini kemudian menjadi
sebab terputusnya hubungan dirinya dengan Imam Az Zihli. Yang lebih
menyedihkan, hubungan tak baik itu merembet ke masalah ilmu, yakni
dalam hal penghimpunan dan periwayatan hadis-hadis Nabi saw.
Imam Muslim dalam kitab sahihnya maupun kitab-kitab lainnya
tidak memasukkan hadis-hadis yang diterima dari Az Zihli, padahal
beliau adalah gurunya. Hal serupa juga beliau lakukan terhadap Bukhari.

Tokoh-tokoh Perawi Hadis 37


Tampaknya bagi Imam Muslim tak ada pilihan lain kecuali tidak memasukkan
ke dalam Kitab Sahihnya hadis-hadis yang diterima dari kedua gurunya itu.
Kendatipun demikian, dirinya tetap mengakui mereka sebagai gurunya.
Imam Muslim yang dikenal sangat tawadhu’ dan wara’ dalam ilmu
itu telah meriwayatkan puluhan ribu hadis. Menurut Muhammad Ajaj Al
Khatib, guru besar hadis pada Universitas Damaskus, Syria, hadis yang
tercantum dalam karya besar Imam Muslim, Sahih Muslim, berjumlah
3.030 hadis tanpa pengulangan. Bila dihitung dengan pengulangan,
katanya, berjumlah sekitar 10.000 hadis. Sementara menurut Imam Al
Khuli, ulama besar asal Mesir, hadis yang terdapat dalam karya Muslim
tersebut berjumlah 4.000 hadis tanpa pengulangan, dan 7.275 dengan
pengulangan. Jumlah hadis yang beliau tulis dalam Sahih Muslim itu
diambil dan disaring dari sekitar 300.000 hadis yang beliau ketahui.
Untuk menyaring hadis-hadis tersebut, Imam Muslim membutuhkan
waktu 15 tahun.
Mengenai metode penyusunan hadis, Imam Muslim menerapkan
prinsip-prinsip ilmu jarh, dan ta’dil, yakni suatu ilmu yang digunakan
untuk menilai cacat tidaknya suatu hadis. Beliau juga menggunakan
sighat at tahammul (metode-metode penerimaan riwayat), seperti
haddasani (menyampaikan kepada saya), haddasana (menyampaikan
kepada kami), akhbarana (mengabarkan kepada saya), akhabarana
(mengabarkan kepada kami), dan qaalaa (ia berkata).
Imam Muslim menjadi orang kedua terbaik dalam masalah ilmu
hadis (sanad, matan, kritik, dan seleksinya) setelah Imam Bukhari. “Di
dunia ini orang yang benar-benar ahli di bidang hadis hanya empat
orang; salah satu di antaranya adalah Imam Muslim,” komentar ulama
besar Abu Quraisy Al Hafizh. Maksud ungkapan itu tak lain adalah ahli-
ahli hadis terkemuka yang hidup di masa Abu Quraisy.

38 Tokoh-tokoh Perawi Hadis


Dalam kasanah ilmu-ilmu Islam, khususnya dalam bidang ilmu
hadis, reputasi Imam Muslim, setara dengan gurunya, Abu Abdillah
Muhammad bin Ismail al-Bukhary al-Ju’fy atau lebih dikenal dengan
nama Imam Bukhari. Hal tersebut sungguh begitu monumental. Sejarah
Islam sangat berhutang jasa kepadanya, karena prestasinya di bidang
ilmu hadis, serta karya ilmiahnya yang luar biasa sebagai rujukan ajaran
Islam, setelah Al-Qur’an. Dua kitab hadis sahih karya Bukhari dan
Muslim sangat berperan dalam standarisasi bagi akurasi akidah, syariah
dan tasawuf dalam dunia Islam.
Melalui karyanya yang sangat berharga, al-Musnad as-Sahih,
atau al-Jami’ as-Sahih, selain menempati urutan kedua setelah Sahih
Bukhari, kitab tersebut memenuhi kasanah pustaka dunia Islam, dan di
Indonesia, khususnya di pesantren-pesantren menjadi kurikulum wajib
bagi para santri dan mahasiswa.
Pengembaraan (rihlah) dalam pencarian hadis merupakan kekuatan
tersendiri, dan amat penting bagi perkembangan intelektualnya. Dalam
pengembaraan ini (tahun 220 H), Imam Muslim bertemu dengan guru-
gurunya, dimana pertama kali bertemu dengan Qa’nabi dan yang lainnya,
ketika menuju kota Mekah dalam rangka perjalanan haji. Perjalanan
intelektual lebih serius, barangkali dilakukan tahun 230 H. Dari satu
wilayah ke wilayah lainnya, misalnya menuju ke Irak, Syria, Hijaz dan
Mesir.
Waktu yang cukup lama dihabiskan bersama gurunya al-Bukhari.
Kepada guru besarnya ini, Imam Muslim menaruh hormat yang luar biasa.
“Biarkan aku mencium kakimu, hai Imam Muhaddisin dan dokter hadis,”
pintanya, ketika di sebuah pertemuan antara Bukhari dan Muslim.
Di samping itu, Imam Muslim memang dikenal sebagai tokoh yang
sangat ramah, sebagaimana al-Bukhari yang memiliki kehalusan budi

Tokoh-tokoh Perawi Hadis 39


bahasa, Imam Muslim juga memiliki reputasi, yang kemudian populer
namanya sebagaimana disebut oleh Adz-Dzahabi dengan sebutan
muhsin dari Naisabur.
Maslamah bin Qasim menegaskan, “Muslim adalah tsaqqat, agung
derajatnya dan merupakan salah seorang pemuka (Imam).” Senada pula,
ungkapan ahli hadis dan fuqaha’ besar, Imam An-Nawawi, “Para ulama
sepakat atas kebesarannya, keimanan, ketinggian martabat, kecerdasan
dan kepeloporannya dalam dunia hadis.”
Salah satu murid Imam Bukhari yang terkenal akan kecerdasannya
ialah Imam Muslim. Nilai himpunan kedua Imam Hadis ini terletak pada
kesahihannya. Al Hajjaj abul Husain al-Khusairi al-Nishapuri, lebih terkenal
sebagai Imam Muslim, lahir di Nishapur pada 202 H (817 M). Dan wafat di
Nasarabad, daerah pinggiran Kota Nishapur pada 261 H (875 M).
Setelah menyelesaikan pendidikannya, Muslim mulai mengum-
pulkan hadis untuk karyanya yang mengesankan itu. Ia melakukan
perjalanan jauh sampai ke Mesir, Suriah dan Irak. Ia meminta nasihat
beberapa tokoh ulama hadis termasuk Imam Ahmad Ibn Hambal.
Sahihnya disusun dari 300.000 hadis. Dalam bukunya yang termasyur,
Sahih Muslim, ia menulis kata pembukaan mengupas secara ilmiah
ilmu-ilmu hadis, Kitabnya yang terdiri atas 52 bab mengupas persoalan
hadis-lima tiang agama, perkawinan, perdagangan, jihad, pengorbanan,
perilaku dan kebiasaan nabi, para sahabat dan yang lainnya.

Kitab Sahih Muslim


Imam Muslim memiliki jumlah karya yang cukup penting dan
banyak. Namun yang paling utama adalah karyanya, Sahih Muslim.
Dibanding kitab-kitab hadis sahih lainnya, kitab Sahih Muslim memiliki
karakteristik tersendiri, dimana Imam Muslim banyak memberikan
perhatian pada ekstraksi yang resmi. Beliau bahkan tidak mencantumkan

40 Tokoh-tokoh Perawi Hadis


judul-judul setiap akhir dari satu pokok bahasan. Di samping itu,
perhatiannya lebih diarahkan pada mutaba’at dan syawahid.
Walaupun dia memiliki nilai beda dalam metode penyusunan
kitab hadis, Imam Muslim sekali-kali tidak bermaksud mengungkap
fiqih hadis, namun mengemukakan ilmu-ilmu yang bersanad. Karena
beliau meriwayatkan setiap hadis di tempat yang paling layak dengan
menghimpun jalur-jalur sanadnya di tempat tersebut. Sementara al-
Bukhari memotong-motong suatu hadis di beberapa tempat dan pada
setiap tempat beliau sebutkan lagi sanadnya. Sebagai murid yang shalih,
beliau sangat menghormati gurunya itu, sehingga beliau menghindari
orang-orang yang berselisih pendapat dengan al-Bukhari.
Kitab Sahih Muslim memang dinilai kalangan muhadisun berada
setingkat di bawah al-Bukhari. Namun ada sejumlah ulama yang menilai
bahwa kitab Imam Muslim lebih unggul ketimbang kitabnya al-Bukhari.
Sebenarnya kitab Sahih Muslim dipublikasikan untuk Abu Zur’ah,
salah seorang kritikus hadis terbesar, yang biasanya memberikan
sejumlah catatan mengenai cacatnya hadis. Lantas, Imam Muslim
kemudian mengoreksi cacat tersebut dengan membuangnya tanpa
argumentasi. Karena Imam Muslim tidak pernah mau membukukan
hadis-hadis yang hanya berdasarkan kriteria pribadi semata, dan hanya
meriwayatkan hadis yang diterima oleh kalangan ulama. Sehingga hadis-
hadis Muslim terasa sangat populis.
Berdasarkan hitungan Muhammad Fuad Abdul Baqi, kitab Sahih
Muslim memuat 3.033 hadis. Metode penghitungan ini tidak didasarkan
pada sistem isnad sebagaimana dilakukan ahli hadis, namun beliau
mendasarkannya pada subyek-subyek. Artinya jika didasarkan isnad,
jumlahnya bisa berlipat ganda.

Tokoh-tokoh Perawi Hadis 41


Antara al-Bukhari dan Muslim
Imam Muslim, sebagaimana dikatakan oleh Prof. Mustafa ‘Adzami
dalam bukunya Studies in Hadith Methodology and Literature, mengambil
keuntungan dari Sahih Bukhari, kemudian menyusun karyanya sendiri,
yang tentu saja secara metodologis dipengaruhi karya al-Bukhari.
Antara al-Bukhari dan Muslim, dalam dunia hadis memiliki kesetaraan
dalam kesahihan hadis, walaupun hadis al-Bukhari dinilai memiliki
keunggulan setingkat. Namun, kedua kitab hadis tersebut mendapatkan
gelar sebagai as-Sahihain.
Sebenarnya para ulama berbeda pendapat mana yang lebih
unggul antara Sahih Muslim dengan Sahih Bukhari. Jumhur Muhadditsun
berpendapat, Sahihul Bukhari lebih unggul, sedangkan sejumlah
ulama Maroko dan yang lain lebih mengunggulkan Sahih Muslim. Hal
ini menunjukkan, sebenarnya perbedaannya sangatlah sedikit, dan
walaupun itu terjadi, hanyalah pada sistematika penulisannya saja, serta
perbandingan antara tema dan isinya.
Al-Hafiz Ibnu Hajar mengulas kelebihan Sahih Bukhari atas
Sahih Muslim, antara lain, karena Al-Bukhari mensyaratkan kepastian
bertemunya dua perawi yang secara struktural sebagai guru dan
murid dalam hadis Mu’an’an; agar dapat dihukumi bahwa sanadnya
bersambung. Sementara Muslim menganggap cukup dengan “kemung-
kinan” bertemunya kedua rawi tersebut dengan tidak adanya tadlis.
Al-Bukhari mentakhrij hadis yang diterima para perawi saqqat
derajat utama dari segi hafalan dan keteguhannya. Walaupun juga
mengeluarkan hadis dari rawi derajat berikutnya dengan sangat selektif.
Sementara Muslim, lebih banyak pada rawi derajat kedua dibanding
Bukhari. Disamping itu kritik yang ditujukan kepada perawi jalur Muslim
lebih banyak dibanding kepada al-Bukhari.

42 Tokoh-tokoh Perawi Hadis


Sementara pendapat yang berpihak pada keunggulan Sahih
Muslim beralasan, sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar, bahwa Muslim
lebih berhati-hati dalam menyusun kata-kata dan redaksinya, karena
menyusunnya di negeri sendiri dengan berbagai sumber di masa
kehidupan guru-gurunya. Beliau juga tidak membuat kesimpulan dengan
memberi judul bab sebagaimana Bukhari lakukan. Dan sejumlah alasan
lainnya.
Namun prinsipnya, tidak semua hadis Bukhari lebih sahih ketim-
bang hadis Muslim dan sebaliknya. Hanya pada umumnya kesahihan
hadis riwayat Bukhari itu lebih tinggi derajatnya daripada kesahihan
hadis dalam Sahih Muslim.
Imam Muslim berhasil menghimpun karya-karyanya, antara lain
seperti: 1) Al-Asma’ wal-Kuna, 2) Irfadus Syamiyyin, 3) Al-Arqaam, 4) Al-
Intifa bi Juludis Siba’, 5) Auhamul Muhadditsin, 7) At-Tarikh, At-Tamyiz,
9) Al-Jami’, 10) Hadis Amr bin Syu’aib, 11) Rijalul ‘Urwah, 12)Sawalatuh
Ahmad bin Hanbal, 13) Thabaqat, 14) Al-I’lal, 15) Al-Mukhadhramin, 16)
Al-Musnad al-Kabir, 17) Masyayikh ats-Tsawri, 18) Masyayikh Syu’bah,
19) Masyayikh Malik, 20) Al-Wuhdan, 21) As-Sahih al-Masnad.
Kitab-kitab nomor 6, 20, dan 21 telah dicetak, sementara nomor
1, 11, dan 13 masih dalam bentuk manuskrip. Sedangkan karyanya
yang monumental adalah Sahih dari judul singkatnya, yang sebenarnya
berjudul, Al-Musnad as-Sahih, al-Mukhtashar minas Sunan, bin-Naqli al-
’Adl ‘anil ‘Adl ‘an Rasulillah.
Kitab ini judul lengkapnya adalah “Al-Musnad al-Mukhtashar min
al Sunan bi Naql al-‘Adl’an Rasulillah.” Secara singkat judul kitab ini kira-
kira berarti “Kitab Hadis Bersanad Sahih yang Ringkas Diriwayatkan oleh
Orang-orang Adil dari Orang yang Adil dari Rasulullah.” Imam Muslim
membutuhkan waktu lima belas tahun untuk menyusun kitab ini.

Tokoh-tokoh Perawi Hadis 43


Sebelum memutuskan untuk menuliskan hadis di dalam buku ini, Imam
muslim terlebih dahulu meneliti dan mempelajari keadaan para perawi,
menyaring-nyaring hadis yang akan diriwayatkan, dan membandingkan
riwayat yang satu dengan riwayat yang lain.
Menurut ‘Ajjaj al-Khatib, “Sahih Muslim” menghimpun hadis
sahih sebanyak 3.030 buah hadis tanpa pengulangan, dan akan menjadi
sepuluh ribu buah dengan pengulangan. Kemungkinan pengulangan itu
tiada lain, karena adanya hadis yang berbicara tentang satu topik dengan
redaksi yang berbeda-beda. Hadis tersebut serupa ini dilihat dari segi
periwayatan, termasuk “riwayat bil-ma’na.” Biasanya berkenaan dengan
hadis af’al, perbuatan Nabi, yang dilaporkan oleh para sahabat dengan
redaksi yang sedikit berbeda-beda.
Sementara itu, menurut Ahmad bin Salamah dan Ibnu Shalah,
Sahih Muslim berisi empat ribu buah hadis tanpa pengulangan; dan
berjumlah dua belas ribu buah hadis dengan pengulangan. Terlepas dari
perbedaan pendapat tentang penghitungan jumlah hadis pada kitab
tersebut, namun yang jelas, hadis yang ditulis Imam Muslim. Di dalam
Sahihnya itu kan merupakan hasil seleksi yang ketat dari tiga ratus ribu
hadis yang berhasil dikumpulkannya.
Imam Bukhari dan Muslim, karena kecermatan, ketelitian,
ketekunan dan kejujurannya di dalam mencari, mengumpulkan dan
menuliskan hadis, maka peringkatnya di antara pemuka-pemuka hadis,
masing-masing berada pada peringkat pertama dan kedua. Imam
Bukhari dan Muslim disebut dengan panggilan kehormatan “Syaikhan”,
“dua guru besar” dalam ilmu hadis.
Imam Muslim wafat pada Ahad sore, pada tanggal 24 Rajab 261 H.
Semoga Allah swt. merahmatinya, mengampuni segala kesalahannya, serta
menggolongkannya ke dalam golongan orang-orang yang sholeh. Amiin.

44 Tokoh-tokoh Perawi Hadis


Abu Dawud (202 – 275 H / 817 – 889 M)

Imam Abu Dawud, nama lengkapnya adalah Sulaiman ibn al-


Asy’asy ibn Ishaq ibn Basyir ibn Syidad ibn Amr ibn Umran al-Azdi al-
Sijistani. Dari namanya, ulama ahli hadis ini terlihat bukan dari bangsa
Arab, sebagaimana juga Imam Bukhari, Muslim dan al-Nasai, melainkan
dari Sijistan, sebuah negeri Muslim di Asia Tengah yang kini termasuk
bekas wilayah Uni Soviet. Abu Dawud lahir pada tahun 202 H./817 M.
Abu Abdullah Syamsuddin Muhammad al-Dzahabi menyebut Abu
Dawud sebagai Sayyid al-Khuffad atau penghulu ilmu hadis yang hafal
ratusan ribu hadis nabi, lengkap matan dan sanadnya. Musa bin Harun,
seorang ulama hadis, menyatakan bahwa Abu Dawud diciptakan di dunia
sebagai seorang ahli hadis dan diakhirat sebagai seorang penghuni surga.
Abu Hatim ibn Hibban al-Basti menyatakan Abu Dawud adalah seorang
pemimpin dunia yang mendalam pengetahuan agamanya, begitu luas
ilmu pengetahuannya, banyak hafalan hadisnya, tekun ibadahnya, saleh
agamanya dan kokoh pendirian kepribadiannya.
Sejak masa kecil Abu Dawud sudah mencintai ilmu dan bergaul
dengan para ulama. Lingkungan telah membentuk minat dan kepribadian
Abu Dawud sejak kecil. Untuk keperluan menuntut ilmu, ia harus
mengembara keluar Sijistan. Mengunjungi para ulama dan belajar hadis

Tokoh-tokoh Perawi Hadis 45


kepada mereka, yang berada diberbagai Dunia Islam. Abu Dawud sejak
usia anak sudah mengembara ke Hijaz, Syiria, Khurasan, dan berbagai
kawasan lainnya yang menjadi pusat ilmu dan kebudayaan pada saat itu.
Rupanya tradisi pengembaraan sudah menjadi keharusan bagi siapa saja
yang hendak mencari ilmu. Lebih-lebih di dalam ilmu hadis, ada keharusan
melacak sanad, meneliti keotentikan matan dan kualifikasi perawi, apakah
memenuhi syarat-syarat yang ditentukan atau tidak.
Abu Dawud sering mengunjungi kota Bagdad, dan menetap lama
di kota metropolitan itu. Atas permintaan Gubernur Bashrah, Saudara
Khalifah al-Muwaffiq, ia diminta menetap di Bashrah, mengajar dan
menulis buku. Abu Dawud memenuhi permintaan Gubernur itu. Hal ini
tidak mengherankan, karena setiap penguasa Muslim berlomba-lomba
mengharumkan daerahnya dengan ilmu. Menjadikan daerahnya “kiblat”
ilmu pengetahuan, senantiasa menjadi program setiap penguasa pada
saat itu. Imam Abu Dawud meninggal dunia di Bashrah pada 16 Syawwal
tahun 275 H/889 M dalam usia 73 tahun.
Abu Dawud disebut-sebut sebagai penganut fiqih mazhab Hambali,
ia memang murid utama Imam Ahmad Ibn Hambal dalam bidang hadis,
bukan dalam bidang fiqih. Sebab itu, ada yang menyebutkan bahwa Abu
Dawud penganut Mazhab Syafi’i. Perbedaan ini karena tidak adanya
informasi yang jelas tentang mazhab fiqih Abu Dawud. Ketidak jelasan
itu, menurut pendapat ketiga, karena Abu Dawud seorang Mujtahid.
Ia membangun Mazhab sendiri. Abu Dawud bukan penganut mazhab
yang ada. Sungguhpun demikian, informasi tertulis yang sampai kepada
kita menegaskan bahwa Abu Dawud menganut mazhab Hambali. Abu
Ishak al-Syairazi dalam Thabaqat al-Fuqaha, dan Qadhi Abu al-Husain
Ibn Qadhi Abu Ya’la dalam Thabaqat al-Hanabilah mencantumkan Abu
Dawud sebagai penganut mazhab Hambali.

46 Tokoh-tokoh Perawi Hadis


Kitab-kitab Abu Dawud
Kitab “Sunan Abu Dawud”, begitu disebut, berbeda dengan
kitab Jami’, Musnad, atau yang lainnya. Kalau Jami’ mencakup semua
tema keagamaan, sedangkan Sunan hanya memuat hadis-hadis yang
berkaitan dengan masalah fiqih saja. Sistematika penulisan hadis di
dalamnya pun biasa mengikuti tema-tema yang lazim dalam susunan
kitab fiqih. Adapun “Musnad“, misalnya Musnad Imam Ahmad Ibn
Hambal, adalah kitab Hadis yang disusun berdasarkan sanad hadis
mata rantai periwayatan hadis dari para sahabat Nabi. Biasanya “Kitab
Musnad” mendahulukan hadis-hadis yang berasal dari sahabat-sahabat
utama. Imam Ahmad Ibn Hambal misalnya, mendahulukan hadis-hadis
yang berasal dari riwayat “sepuluh sahabat Nabi” yang dijamin masuk
surga tanpa “hisab”, penghitungan lebih dahulu.
Kitab “Sunan Abu Dawud”, sebagaimana diterangkan oleh Prof.
Mustafa Azami, disusun ketika beliau berada di Tarsus, sebuah kota kecil
di Irak selama dua puluh tahun. Dari lima ratus ribu hadis yang berhasil
dikumpulkan, Imam Abu Dawud hanya mencantumkan 4.800 buah
hadis di dalam Sunannya. Seleksinya terhadap hadis demikian ketat.
Hadis hasil seleksi itu oleh Imam Abu Dawud dikelompokkan kedalam 35
“kitab” dan sekian ratus “bab.” Masing-masing “kitab” membicarakan
satu tema pokok tertentu, sedangkan setiap “bab” berisi beberapa buah
hadis yang menjelaskan tema pokok itu.
Di dalam “Kitab Sunan” Imam Abu Dawud tidak hanya memuat
hadis sahih, tetapi juga hadis-hadis hasan, dan hadis-hadis dha’if yang
tidak terlalu lemah. Abu Dawud pun mencantumkan hadis-hadis yang
tidak disepakati oleh para ulama hadis untuk ditinggalkan. Adapun
hadis-hadis yang sangat lemah, tetapi dengan penjelasan sebab-sebab
kelemahannya. Hadis-hadis jenis ini, menurut Abu Dawud lebih baik
dari pada pendapat orang semata-mata.

Tokoh-tokoh Perawi Hadis 47


Al-Nasa’i

Imam al-Nasa’i nama lengkapnya adalah Ahmad bin Syu’aib bin


‘Al bin Bahr bin Dinar. Ia mendapat gelar (kunyah) Abu ‘Abdurrahman al-
Nasa’i Menurut al-Suyuthi, ulama ahli hadis ini dilahirkan pada tahun 215
H. di Nasa, sebuah kota di Asia Tengah yang bisa ditempuh selama tujuh
hari perjalanan dari Nisabur, Iran. Kota ini terkenal banyak melahirkan
tokoh-tokoh ulama terpandang, bahkan seorang penyair Parsi terkenal
menyebut dirinya al-Nasa’i. Sejak kecil al-Nasa’i sudah tertarik pada
disiplin ilmu hadis. Dr. Muhammad ‘al-Khathib menyebutkan, pada usia
lima belas tahun, pemuda al-Nasa’i sudah menjelajahi berbagai kota,
pusat ilmu dan peradaban di Dunia Islam, untuk mempelajari “sabda
Nabi” dari ulama-ulama besar pada zamannya. Ia mengunjungi kota-
kota di Hijaz, al-Haramayn, Irak, Mesir, dan Syiria, bahkan pernah lama
menetap di Mesir.
Ketika berada di Mesir inilah, demikian al-Khathib menjelaskan,
Imam al-Nasa’i terkenal kepakarannya dalam ilmu hadis, ia terkenal
keahliannya dalam bidang “al-jarh wa al-ta’dil.” Karena ilmunya yang luas
dan ketakwaannya yang dalam, banyak orang yang menghormatinya.
Setiap kali mereka menyebut namanya, senantiasa diawali oleh gelar
kehormatan, “Al-Imam al-Hafizh Syaikh al-Islam Abu ‘Abdurrahman al-
Nasa’i.” Ia pun termasuk ahli dalam bidang fiqih mazhab Imam Syafi’i.

48 Tokoh-tokoh Perawi Hadis


Di pusat-pusat ilmu itu, al-Nasa’i dengan tekun mengikuti berbagai
perkuliahan (halaqah) tentang hadis, menyimaknya dengan baik, meng-
hafal, dan mempelajari setiap materi perkuliahan tersebut sehingga
memahaminya secara mendalam. Ia pun tidak lupa mencatat nama-
nama guru yang dijumpainya dalam mata rantai sanad hadis yang
diriwayatkannya. Di antara guru-guru beliau yang terkenal adalah sebagai
berikut Qutaybah ibn Sa’ad, Ishaq ibn Ibrahim, Ahmad ibn ‘Abduh, Amr
ibn Ali, Hamid ibn Mas’adah, ‘Imran ibn Musa, ‘Ali ibn Khaysyam, al-Haris
ibn Miskin, Muhammad ibn ‘Abd al-A’la; Muhammad ibn Abdullah ibn
Yazid, ‘Ali ibn Hajr, Muhammad bin Salamah, uhammad ibn Mansur, dan
Ya,qub ibn Ibrahim. Sedangkan di antara murid-murid beliau adalah:
Imam Abu al-Qasim al-Thabrani, Abu ‘Ali al-Husayn ibn ‘Ali al-Hafizh
al-Thabrani, Ahmad ibn ‘Umayr bin Jawsha, Muhammad ibn Ja’far ibn
Qalas, Abu al-Qasim ibn Abi al-‘Aqab, Abu al-Maymun ibn Rasyid, Abu
al-Hasan ibn Khadzlam, Abu Sa’ad al-A’rabi, Abu Ja’far al-Thahawi, dan
Muhammad ibn Harun ibn Syu’aiyb.
Imam al-Nasa’i termasuk salah seorang ulama yang teguh
pendirian, memiliki integritas keperibadian yang kuat, teliti dalam sikap
dan perbuatan. Imam Nasai namanya disejajarkan dengan Abu Dawud,
At-Tirmizi dan Ahmad ibnu Hanbal. Beliau adalah penulis hadis yang
menjadi sumber pokok hukum islam, disamping dua penulis lainnya,
yaitu Bukhari dan Muslim yang kitab-kitab sahihnya menduduki tempat
teratas setelah kitab suci Al-Qur’an Karim. Kitab-kitab dari enam orang
ini disebut kutubus sittah. Bakat An-Nasa’i dalam ilmu hadis telah
ditunjukkannya pada masa remaja. Pada mulanya beliau belajar dan
menghafal Al-Qur’an serta dasar-dasar ke-Islaman lainnya di Nasa’,
tempat kelahirannya yang memang memiliki tokoh-tokoh ilmuwan islam
terkemuka di dunia. Ia berani mengemukakan pendapat, sungguhpun
berakibat fatal bagi dirinya. Sikap inilah yang menyebabkan kematiannya.

Tokoh-tokoh Perawi Hadis 49


Ia meninggal dunia pada tahun 303 H. Kisah kematiannya mencerminkan
keperibadiannya. Ulama ahli hadis ini dianiaya oleh kaum “ektrimis”
Syiria. Mereka tidak puas dengan jawaban Imam al-Nasa’i, ketika beliau
diminta menunjukkan keutamaan Mu’awiyah bin Abi Sufyan dengan ‘Al
ibn Abu Thalib, karena saya tidak mengetahui keutamaan Mu’awiyah,
selain “perutnya tak mengenal kenyang.” Ungkapan ini menggambarkan
keserakahan dan ketamakan Mu’awiyah.
Sebab wafatnya cukup jelas, namun di mana beliau meninggal
dunia diperselisihkan. Dr. Muhammad ‘al-Khathab menyebutkan, Imam
al-Nasa’i meninggalkan Mesir menuju Syiria pada bulan Zulqa’dah tahun
302 H, kemudian meninggal dunia di Ramalah, Palestina pada hari Senin,
13 Shafar 303 Hijriah. Jadi menurut versi ini, setelah beliau dianiaya oleh
kaum “ektrimis” Syiria, beliau masih sempat dibawa ke Ramalah, karena
Imam al-Nasa’i dikenal mempunyai hubungan yang dekat dengan
pemerintah daerah itu. Sedangkan Muhammad Abu Zahrah mempunyai
versi lain tentang tempat wafatnya ahli hadis ini. Menurutnya, dengan
mendasarkan kepada riwayat Imam al-Daruquthni, “ketika Imam al-
Nasa’i dianiaya di Damaskus, beliau diseret dari dalam masjid. Ketika
itu Imam al-Nasa’i berpesan, “bawalah aku ke Mekah!” Maka, mereka
pun membawa sang Imam ke Mekah dan meninggal di kota suci ini.
Beliau dikuburkan di antara Safa dan Marwah. Sementara itu, al-Zahabi
cenderung menyetujui pendapat pertama.

Mengenal Sunan al-Nasa’i


Sunan An-Nasa’i termasuk salah satu di antara “al-Kutub al-Shihah
al-Sittah”, Kitab Hadis Sahih yang Enam. Dua pertama dari “al-Kutub al-
Sittah” tersebut dikenal dengan nama “Kitab al-Sahih” atau “Sahihain”,
yakni Sahih Bukhari dan Sahih Muslim dengan martabat kesahihan yang
berbeda-beda. Sementara itu, empat “al-Kuttub al-Sittah” yang terakhir

50 Tokoh-tokoh Perawi Hadis


dikenal dengan nama “Kitab Sunan”, yakni Sunan Abu Dawud, Sunan
al-Tirmizi, Sunan al-Nasa’i, dan Sunan Ibn Majah. Dr. Muhammad ‘Ijaj al-
Khathib menyebutkan, pengarang “Empat Kitab Sunan” itu dalam kitab
mereka tidak hanya mencatat hadis sahih, melainkan juga beberapa
hadis hasan, bahkan hadis dha’if dengan penjelasan kedha’ifannya.
Adapun penamaan kitab-kitab itu dengan istilah “Sunan” tiada
lain, karena sistimatika penulisan hadis di dalamnya telah dibagi menurut
pokok bahasan kitab-kitab hukum-hukum fiqih, seperti berbagai per-
soalan taharah, salat, zakat,haji dan seterusnya yang bersumber dari
Rasulullah saw. Pendapat para sahabat tidak dimasukkan ke dalam kitab
ini. Juga, tidak memasukkan kisah, sejarah, dan berbagai hadis tentang
keutamaan amal atau “fadhail al-‘aml.”
Sunan al-Nasa’i terbagi dua, Sunan al-Kubra dan Sunan al-Shugra.
Sunan yang kedua disebut “Sunan al-Mujtaba” (Sunan Pilihan), karena
kualitas hadis-hadis yang dimuat di dalam sunan ini hanya hadis-
hadis pilihan. Penulisan Kitab Sunan al-Shugra ini ada latar belakang
sejarahnya. Menurut Dr. Muhammad al-Khathib, ketika Imam al-Nasa’i
memperkenalkan sebuah kitab hadis kepada seorang penguasa kota
Ramalah di Palestina, penguasa itu bertanya kepada Imam al-Nasa’i,
apakah di dalamnya hanya memuat hadis-hadis sahih. “Di dalamnya
ada hadis sahih, hasan, dan yang mendekati keduanya”, jawab al-
Nasa’i. Kemudian penguasa itu berkata: Tulislah kitab hadis yang sahih
saja! “Maka imam al-Nasa’i pun meneliti kembali kualitas hadis yang
terdapat di dalam Sunan al-Kubra. Hasilnya, kitab itu menjadi ramping,
dan dinamakan Sunan al-Shugra karena isinya pilihan, maka dinamai
pula “Sunan al-Mujtaba.”
Kitab Sunan al-Nasa’i yang kini beredar di tengah-tengah kaum
Muslimin adalah kitab Sunan al-Shugra yang diriwayatkan oleh Imam

Tokoh-tokoh Perawi Hadis 51


‘Abdul Karim al-Nasa’i, putra Imam al-Nasa’i sendiri, seorang ahli hadis
yang meninggal pada tahun 344 H.
Jumlah hadis yang terdapat di dalam Kitab Sunan al-Shugra ini
menurut Abu Zahrah sebanyak 5761 buah hadis. Sedangkan sistematika
susunannya sebagaimana dapat kita lihat sekarang, mengikuti lazimnya
sistematika kitab fiqih. Sebagai sebuah ilustrasi, kiranya dapat penulis
sampaikan bahwa jilid satu Sunan al-Shugra ini dimulai dengan “Kitab al-
Thaharah” pembahasan tentang tata cara bersuci, dan ditutup dengan
“Kitab al-Mawaqit” uraian tentang waktu salat.
Kitab ini meskipun menurut pengakuan penulisnya berisi hadis
pilihan dan sahih semuanya, namun menurut para ahli merupakan
kitab sunan setelah Sahihain yang paling sedikit memuat hadis dha’if
dan para rawi yang “majruh.” Hal ini, menurut Muhammad Abu
Syuhbah, merupakan bukti ketelitian dan kecermatan Imam al-Nasa’i
dalam menyusun kitab hadis tersebut. Oleh karenanya para ulama
menempatkan “al-Mujtaba” berada satu tingkat setelah Kitab Sahih
Bukhari dan Muslim. Sejalan dengan penjelasan Muhammad Abu
Syuhbah tersebut, Shubhi al-Shalih mengemukakan bahwa kitab hadis
yang termasuk Thabaqat al-Tsaniyah, berada pada peringkat kedua,
adalah Jami’ al-Tirmizi, Sunan Abi Dawud, Sunan Ahmad Ibn Hambal,
dan Mujtaba al-Nasa’i, semua kitab tersebut tidak sampai pada tingkat
“Sahihain” atau Muwattha’ karya Imam Malik. Namun, suatu hal
yang pasti, pengarangnya tidak bersikap “tasahul” (bersikap longgar
dalam meriwayatkan hadis). Klasifikasi ini tampaknya diterima oleh
muhaddisun (para ahli hadis) yang datang kemudian, sebab di dalam
kitan-kitab tersebut banyak memuat berbagai ilmu dan hukum, kendati
tidak terlepas dari kedha’ifan.

52 Tokoh-tokoh Perawi Hadis


Sedangkan, al-Hafizh Abu al-Fadhal Ibn Thahir sebagaimana
disebutkan oleh Imam al-Laknawi, membagi hadis-hadis di dalam kitab
Abu Dawud dan Imam al-Nasa’i ke dalam tiga kelompok.
Pertama, hadis-hadis sahih yang dikemukakan di dalam “Sahihain.”
Kedua, hadis-hadis sahih dengan persyaratan Imam Bukhari
Muslim. Adapun yang dimaksud dengan persyaratan kedua ulama
hadis tersebut seperti disebutkan oleh Abu ‘Abdullah Ibn Mundah
tiada lain, meriwayatkan hadis dari beberapa orang rawi yang tidak
disepakati keharusan meninggalkan para rowi tersebut. Kesahihan
hadis tersebut dibuktikan dengan “sanad”nya yang “muttashil”, (mata
rantai periwayatannya bersambung), tidak munqothi’ (terputus) dan
tidak juga mursal (hanya sampai kepada sahabat). Maka, hadis-hadis
yang diriwayatkan melalui cara ini termasuk hadis sahih. Hanya saja
metodologi yang dipergunakan oleh Imam al-Nasa’i berbeda dengan
metodologi yang digunakan oleh Imam Bukhari Muslim di dalam
meriwayatkan hadis-hadis itu.
Ketiga, hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Nasa’i di luar
kriteria tersebut. Hanya saja Imam al-Nasa’i menjelaskan ‘illatnya sesuai
dengan pemahaman ahli hadis.
Salah satu prinsip al-Nasa’i dalam periwayatan hadis, seperti
dituturkannya sendiri, “saya tidak pernah meninggalkan seorang perawi
sebelum semuanya sepakat untuk meninggalkannya.” Menurut kesan
al-Hafizh Ab al-Fadhal al-‘Iraqi, prinsip al-Nasa’i dalam periwayatan
hadis tersebut merupakan “suatu madzhab yang longgar.” Sementara
itu, Muhammad bin Sa’ad al-Barudi memberikan penilaian yang lain.
Menurutnya, yang dimaksud dengan “semuanya sepakat” dalam
pernyataan Imam al-Nasa’i di atas adalah “kesepakatan khusus.” Sebab
demikian al-Barudi memberikan alasan, “setiap generasi pengkritik

Tokoh-tokoh Perawi Hadis 53


para perawi hadis tidak keluar dari dua kategori, kelompok garis keras
(mutasyaddid) dan kelompok moderat (mutawassith)’.
Lebih jauh al-Barudi memberikan contoh pada generasi pertama
Syu’bah termasuk kelompok garis keras; sedangkan Sufyan al-Tsawri
termasuk kelompok moderat; pada generasi kedua, Yahya al-Qathan
termasuk garis keras, sedangkan Abdurrahman bin Mahdi berada pada
posisi sebaliknya. Pada generasi ketiga dan keempat, Yahya bin Mu’in
dan Abu Hatim berada pada kelompok garis keras; sedangkan Ahmad
ibn Hambal dan Bukhari berada pada kutub moderat. Abdurrahman bin
Mahdi dinilai “lemah” oleh Yahya al-Qathan, maka rowi itu tidak akan
ditinggalkan”, demikian al-Nasa’i berpendapat. Sebab sudah diketahui
posisi Yahya al-Qathan yang berada pada garis keras.
Imam Abu ‘Abdurrahman al-Nasa’i, termasuk salah seorang ulama
hadis yang telah mencurahkan segala kemampuannya untuk memelihara
keotentikan hadis Nabi. Hanya saja “sikap agak longgar” dalam menilai rowi
hadis, menempatkan dirinya pada peringkat lebih rendah setelah Bukhari
dan Muslim. Indikator kelonggaranya, menurut hemat penulis, terlihat
dari karyanya yang terbagi Sunan al-Kubra dan Sunan al-Shugra. Yang
pertama berisi berbagai hadis yang kualitasnya beragam; sedangkan
yang kedua merupakan hadis pilihan, seperti tercermin pada namanya
al-Mujtaba.

54 Tokoh-tokoh Perawi Hadis


At-Tirmizi (209 – 279 H/ 824 – 894 M)

Ulama hadis ini nama lengkapnya adalah Abu Isa Muhammad


Ibn Isa Ibn Saurah Ibn Musa Ibn al-Dahhak al-Salam, al-Bughawi, al-
Tirmizi. Dilahirkan di kota Turmudz, Iran pada tahun 209 H/824 M. Sejak
masa kecil sudah memiliki hasrat yang besar untuk mempelajari hadis.
Sebab itu mencari ilmu menjadi bagian dari kehidupannya. Ia seperti
juga ulama-ulama yang lain mendapatkan ilmu dan mencari guru tidak
hanya dari satu orang, melainkan dari beberapa orang ulama yang
tersebar di berbagai kawasan Dunia Islam. Merantau dari satu kota ke
kota yang lain, menjadi suatu kehormatan bagi yang ingin mendapatkan
ilmu secara mendalam. Ia mengunjungi beberapa pusat ilmu dan
peradaban di beberapa kota di Hijaz, Irak dan Khurasan. Imam al-Tirmizi
menghabiskan masa tuanya di kota kelahirannya Turmudz. Ia meninggal
dalam keadaan tuna netra pada malam Senin, 13 Rajab 279 H/894 M.
dalam usia 70 tahun.
Imam al-Tirmizi mempunyai guru yang sangat banyak. Diantaranya
adalah Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud dan juga guru mereka. Adapun
murid al-Tirmizi yang terkenal adalah Makhlul ibn Fadhal Muhammad ibn
Muhammad al-Anbar Hammad ibn Syakir, ‘Abd al-Rahman ibn Muhammad
al-Nafsiyyun, al-Haysam ibn Kulaib al-Syasyi Ahmad ibn Yusuf al-Nasafi dan
Abu al-Abbas Muhammad ibn Mahbub al-Mahbubi. Dia pun dikenal sebagai

Tokoh-tokoh Perawi Hadis 55


seorang yang amanah, kuat dan dapat hafalannya. Banyak menulis buku.
Karyanya yang terkenal adalah al-Jami’ atau “Sunan al-Tirmizi.”
“Sunan al-Tirmizi” kitab hadis karya al-Tirmizi termasuk unik. Ada
yang menyebutnya Sunan, lengkapnya Jami’ al-Tirmizi dan Sunan al-
Tirmizi. Keduanya sah, karena masing-masing mempunyai alasan yang
kuat. Disebut al-Jami’, karena temanya tidak hanya soal fiqih, melainkan
mencakup beberapa persoalan yang memenuhi syarat-syarat kitab al-
Jami’. Ada delapan tema yang harus tercantum di dalam “Kitab al-Jami’.
Kedelapan tema itu adalah Aqidah, hukum-hukum fiqih, pemerdekaan
budak, etika makan dan minum, tafsir Al-Quran, sejarah dan biografi
tokoh, safar (berpergian), kejadian-kejadian penting dan, manaqib atau
pujian terhadap perjalanan hidup seseorang.
Selain itu, sebuah kitab hadis bisa saja dinamakan al-Jami’, secara
harfiah berarti menghimpun, apabila mencantumkan hadis-hadis yang
telah termuat dalam kitab-kitab yang sudah ada. Dalam hal ini, kitab al-
Jami’ karya al-Tirmizi termasuk kitab Jami’ dalam pengertian pertama,
sebab di dalamnya membicarakan delapan tema di atas.
Adapan penamaan karya al-Tirmizi ini dengan Sunan al-Tirmizi
karena kitab itu menghimpun hadis-hadis Nabi berdasarkan “bab-bab”
fiqih. Kualitas hadis yang diriwayatkan al-Tirmizi di dalam kitab tersebut
bervariasi dari yang sahih, hasan hingga dha’if (lemah), gharib dan
mu’allal. Hadis gharib adalah hadis yang redaksi matannya menggunakan
kata-kata yang kurang dikenal, sedangkan hadis mu’allal adalah hadis
yang sanad atau perawinya “cacat”, tidak memenuhi persyaratan.
Sungguhpun demikian, al-Tirmizi memiliki keistimewaan yang
mengagumkan ketekunan penyusunannya dalam di dalam menjelaskan
letak cacat atau kekurangan hadis-hadis hasil penelitiannya yang masuk
ke dalam kategori dha’if.

56 Tokoh-tokoh Perawi Hadis


Imam Ibn Majah (209 – 273 H)

Imam ibn Majah nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad


ibn Yazid ibn Majah. Lahir di Quzwiny, Irak pada tahun 209 H. Ibnu
Majah mempunyai anak bernama Abdullah, juga mempunyai saudara
bernama Abu Bakar dan Abdullah. Ibnu Majah mulai belajar pada usia
lima belas tahun. Dan wafat pada tanggal 22 Ramadan tahun 273 H.
Ia hanya berusia 64 tahun. Ibn Majah merupakan satu-satunya penulis
“Kutub al-Sittah”, kitab hadis yang enam, yang lahir di tanah Arab.
Sedangkan lima yang pertama adalah putra-putra terbaik dari Asia
Tengah, negeri-negeri muslim bekas jajahan Uni Soviet dan putra-putra
terbaik dari Iran. Sejak usia 15 tahun, Ibn Majah sudah menekuni hadis
dan belajar kepada tokoh-tokoh ulama pada zaman itu. Ia pun merantau
ke berbagai kota di Dunia Islam, sebagaimana lazimnya “pemburu ilmu”
dalam tradisi Islam.
Imam Ibn Majah, selain terkenal sebagai ulama hadis, juga ahli
di dalam tafsir Al-Quran, dan sejarah kebudayaan Islam. Hal ini terlihat
dari tiga buah karyanya yang masyhur yakni: Sunan Ibn Majah, Tafsir
Al-Qur’an Al-Karim, Sejarah perawi Hadis. Dalam buku terakhir ini, Ibn
Majah mengambil para perawi hadis sejak masa Nabi hingga masanya.
Dari tiga karya Ibn Majah itu yang sampai ke tangan kita hanya yang pertama,
yaitu kitab Sunan Ibn Majah.

Tokoh-tokoh Perawi Hadis 57


Kitab Sunan ini berisi 4241 buah hadis. Menurut penelitian Abu
Muhammad Abdul Mahdi dalam kitab “Metode Takhrij Hadis” sebanyak
3002 buah hadis termuat juga di dalam kitab “Ushul” Karya Ibn Majah
yang lain, sedangkan sisanya merupakan tambahan atas usaha Abu
Abbas Ahmad bin Muhammad al-Bushiri (w. 840 M). Hadis-hadis
tambahan itu dihimpun di dalam kitab tersendiri yang berjudul “Misbah
al-Zujajah fi Zawaid Ibn Majah.” Syaikh Muhammad Fuad al-Baqi’ telah
meneliti hadis-hadis di alam karya terakhir ini. Hasilnya menunjukkan
dari 1339 buah hadis ini, hanya 428 buah hadis yang diriwayatkan oleh
para perawi yang siqah (orang yang jujur dan dapat dipercaya); 199 buah
termasuk hadis hasan, 613 buah hadis yang sanadnya dha’if, sedangkan
99 buah hadis lainnya termasuk hadis yang bersanad sangat lemah atau
munkar, dan didustakan.
Sementara itu, sistematika penulisan hadis di dalam “Sunan
Ibn Majah” mengikuti sistematika penulisan kitab fiqih. Pokok-pokok
masalah yang dibahas lebih banyak dititik beratkan pada aspek-aspek
hukum. Oleh sebab itu, penamaan kitab hadis ini dengan istilah Sunan
tidak ada yang mempersoalkannya. Kitab ini pun dibagi ke dalam
beberapa “kitab”, dalam pengertian bab. Kitab pertama membicarakan
tentang “Itba’ (mengikuti) sunnah Rasulullah, dan kehujjahan Sunnah,
serta kewajiban mengikuti dan mengamalkannya. Secara keseluruhan
Sunan Ibn Majah terdiri atas 37 “kitab” dan dirinci menjadi 1515 “bab.”
Masalah keimanan (aqidah) tidak ditemukan secara khusus
apabila sunan ibn Majah diperbandingkan dengan kitab-kitab hadis
lainnya, khususnya yang termasuk al-khutubu al-khamsah, maka ada
beberapa kekhususan diantaranya sebagai berikut.
Pertama, adalah kitab sunan Ibnu Majah memuat hadis yang
berkategori Zawa’id atas hadis-hadis yang termuat dalam al-Kutubu

58 Tokoh-tokoh Perawi Hadis


al-Khamsah. Maksud hadis Zawaid ialah hadis-hadis yang dimana di
dalamnya hadis yang termuat dalam Sunan Ibn Majah dan tidak terdapat
dalam al-kutub al-Khamsah.
Kedua, adalah menurut Ibnu Hajar al-Asqhalani, jumlah bab
(dalam arti pasal atau sub-sub) selain banyak dan tersusun baik, juga
nampak berbeda dengan bab-bab yang terdapat dalam kitab-kitab hadis
lain. Menurut sunan Ibn Majah, umumnya singkat-singkat tetapi jelas.
Fuad Abdul al-Baqi, kitab sunan ibn Majah terdiri dari 37. Kata Subhi
al-Saleh, susunan bab-bab yang terdapat dalam sunan Ibn Majah, lebih
baik dari semua kitab yang tergabung dalam al-Kutubu al-Khamsah.
Ketiga, Keterangan-keteranan yang termuat dalam kitab Sunan
ibn Majah jelas dan singkat.
Keempat, menurut Ibnu Katsir hadis-hadis yang berstatus zawaid
mudah sekali ditemukan dalam kitab Ibnu Majah.

Orang pertama yang memasukkan Sunan Ibn Majah ke dalam


deretan Kutub al-Sittah adalah Hafizh Abu Fadhl Muhammad ibn Tahir
al-Maqdisi (W. 507 H.) dalam karyanya Athraf al-Kutub al-Sittah. Sunan
ini menempati urutan keenam. Ada juga yang memasukkan kitab “al-
Muwattha” karya Imam Malik dalam urutan keenam dari Kutub al-Sittah
tersebut, bukan Sunan Ibn Majah.

Tokoh-tokoh Perawi Hadis 59


Daftar Pustaka

Abi Zakaria Yahya Ibnu Syarifun Nawawi, Riyadhus Sholihin, Dar Al


kitab Al ‘Arobi. Bairut: 1974
Al Hafid Ibnu Hajar Al ‘Askolami, Bulughul Marom,tt.
Al-Qur’anul Karim, DEPAG RI.
Asmuni Mth, Wakaf, PT. Pustaka Insan Madani, Yogyakarta,
2007.
Ibnu Husein, Pribadi Muslim Ideal. Pustaka Nuun, Semarang,
2004.
Imam al-Bukhari, Shaheh al-Bukhari .Dal Al Fikri Kairo: .t.t.

Majalah Fatawa, vol 05/I/Muharram-Safar 1424H-2003 M


Muhammad Kholis Mu’tasim, La Tansa Ya Muslimun. Alifbata,
Jakarta: 2007.
Muhammad Syakir, Washoyal Aba’ Ilal Abna’, Surabaya, t.t.
Muslim bin Hajjaj, Shaheh Muslim, Dal Al Ihya’ Atturats Al Arobi,
Bairut, 1929.

60 Tokoh-tokoh Perawi Hadis

Anda mungkin juga menyukai