Dalam pasal ini kami ingin menguraikan sesuatu yang terpenting yang bagi peneliti sangat
perlu mencermatinya, agar terungkap tanpa kepalsuan bahwa orang-orang yang menamakan diri
dengan Ahlussunnah, hakikatnya tidak memiliki layak disebut dari sunah Nabi saww. Dikarenakan
mereka atau tepatnya, para pendahulu mereka dari kalangan sahabat dan Khulafah ar-Rasyidin menurut
yang mereka ikuti, dan bertaqarrub pada Allah Swt, dengan jalan mencintai dan berwalikan pada
mereka, telah mengambil peran sebagai perampas sunah Nabi saww, hingga pada tingkat pembakaran
dan pencegahan terhadap penulisannya dan periwayatannya.
Sebagai tambahan dari uraian yang lalu, perlu dibuka tabir penutup persekongkolan tercela
tersebut, yang bersikap angkuh melawan sunah Nabi saww, yang suci dalam mencegah tersebarnya
dan memusnahkannya di masa itu serta menggantikannya dengan bid’ah-bid’ah para penguasa dan
ijtihad mereka serta pendapat-pendapat para sahabat dan penakwilan mereka.
Pertama. Membuat hadis-hadis dusta (palsu) yang menguatkan mazhab mereka dalam
pencegahan terhadap penulisan seluruh sunah Nabi saww, dan hadis-hadis yang mulia. Inilah Imam
Muslim telah meriwayatkan dalam shahihnya berasal dari Haddad bin Khalid al-Azdi, dari Hammam dari
Zaid bin Aslam dari Atha’ bin Yasar dari Abi Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah saww bersabda :
“Janganlah kalian menulis apa yang dariku, dan barangsiapa menulis dariku selain Al-Qur’an, maka
hendaklah menghapusnya, dan riwayatkanlah, hal itu tidak mengapa.”1
Maksud pembuatan hadis tersebut adalah sebagai pembelaan terhadap apa yang telah
diperbuat oleh Abu Bakar dan Umar atas hadis-hadis Nabi saww, yang telah ditulis oleh sebagian
sahabat dan mereka telah mengumpulkannya. Dan hadis itu dibuat di zaman terakhir dari masa Khulafa
ar-Rasyidin, dan para pembuat hadis palsu itu lengah dari beberapa perkara berikut ini :
1. Seandainya shahih ar-Risalah Rasulullah saww, telah mengatakan hadis tersebut niscaya
para sahabat yang menulis dari beliau pasti mentaati perintah beliau dan mereka telah menghapusnya
sebelum Abu Bakar dan Umar memerintahkan pembakarannya setelah beberapa tahun setelah wafat
Nabi Muhammad saww.
2. Seandainya hadis tersebut shahih, niscaya Abu Bakar pada tahap pertama, pasti
menjadikannya dalil, kemudian Umar pada tahap kedua, untuk menguatkan pencegahan keduanya
terhadap penulis hadis-hadis dan penghapusannya, dan pasti para sahabat yang telah terlanjur
menulisnya akan mengemukakan alasan tidak tahu atau lupa.
3. Seandainya hadis tersebut shahih, maka wajib atas Abu Bakar dan Umar untuk
memerintahkan agar mereka menghapus hadis-hadis bukan membakarnya.
4. Seandainya hadis tersebut shahih, maka kaum Muslimin semenjak masa Umar bin Abdul Aziz
sampai masa kita sekarang ini, semuanya berdosa karena mereka telah melanggar larangan Rasulullah
saww, dan paling pokoknya adalah Umar bin Abdul Aziz yang telah memerintahkan para Ulama di
masanya untuk mengumpulkan hadis-hadis dan penulisannya, begitu juga Bukhari Muslim yang telah
mengesahkan hadis tersebut, kemudian mendurhakainya dan menulis beribu-ribu hadis dari Nabi
Muhammad saww.
5. Akhirnya, seandainya hadis tersebut shahih, pasti ia tidak akan terlapaskan dari pintu kota
ilmu,
-----------------------------
yakni ‘Ali bin Abi Thalib yang telah mengumpulkan hadis-hadis Nabi saww, Dalam
lembarannya yang panjangnya 70 hasta, dan dia menamakannya al-Jami’ah. (Pembicaraan ini akan
datang pada gilirannya).
Kedua. Para penguasa Muawiyah telah berusaha menguatkan anggapan bahwa Rasulullah saww, itu
tidak maksum dari kesalahan, dan beliau sebagaimana manusia biasa yang kadang salah dan kadang
benar. Mereka telah meriwayatkan dalam perkara ini hadis-hadis yang banyak. Sedang tujuan
pembuatan hadis-hadis tersebut ialah untuk pengukuhan terhadap paham bahwa Nabi saww, itu
melakukan ijtihad dengan pendapatnya, dan beliau sering keliru yang sebagian beliau serukan pada
sebagian sahabat untuk meluruskan pendapat beliau. Sebagaimana hal itu telah diriwayatkan dalam hal
pengcangkokan kurma, turunnya ayat hijab memintakan ampun buat orang Munafiqin, penerimaan
fidyah tawanan Badar dan lain-lainnya yang telah didakwahkan oleh Ahlussunnah wal Jama’ah dalam
shahih mereka dan yang mereka jadikan keyakinan terhadap shahib ar-Risalah (saww).
Kami katakan kepada Ahlussunnah wal Jama’ah, “Jika demikian itu agama dan aqidah kalian terhadap
Rasulullah saww, maka bagaimana kalian menyeruhkan untuk berpegang pada sunahnya, sedang
sunahnya menurut kalian dan menurut para pendahulu kalian tidaklah maksum, bahkan tidak dikenal
dan tidak tertulis...! *1. Sudah tentu kami akan meolak tuduhan-tuduhan dan kedustaan-kedustaan
tersebut dan membatalkannya berdasarkan dari kitab-kitab kalian sendiri da shahih kalian. *2
Bukhari telah meriwayatkan dalam shahih-nya dari kitab ilmu, bab penulis ilmu
Dari Abu Hurairah, dia berkata, “Tidak ada seorang pun dari sahabat Nabi saww, yang telah
banyak meriwayatkan hadis dari padaku, selain yang diriwayatkan dari Abdullah bin Amr, sesungguhnya
dia dapat menulis sedang aku tidak.” *3
Dari riwayat ini dapat disimpulkan bahwa dari kalangan sahabat Nabi saww ada yang menulis
hadis-hadisnya. Apabila Abu Hurairah meriwayatkan lebih banyak dari 600 hadis dari Nabi saww secara
lisan, maka sesungguhnya Abdullah bin Amr lebih banyak meriwayatkan hadis Nabi saww daripada
dirinya karena dia dapat menulis, dan tidak dapat diragukan bahwa di kalangan para sahabat banyak
yang menulis hadis-hadis dari Nabi saww, sedangkan Abu Hurairah tidak menyebutkan mereka, karena
mereka tidak terkenal dengan periwayatan yang banyak dari Nabi saww. Apabila kita tambahkan mereka
itu dengan Imam ‘Ali bin Abi Thalib yang telah membentangkan dari atas mimbar satu lembaran yang dia
namakan al-Jami’ah (kumpulan), yang telah terkumpul di dalamnya semua yang dibutuhkan umat
manusia dari hadis Nabi saww, dan telah diwariskan kepada para Imam Ahlulbait (salam atas mereka)
dan yang banyak diriwayatkan oleh mereka. Imam Ja’far ash-Shadiq telah berkata, “Sesungguhnya
pada kami satu lembaran yang panjangnya 70 hasta, yang merupakan pendekatan Rasulullah saww,
dan tulisan ‘Ali dengan tangannya, yang tidak ada hal yang halal dan haram, dan tidak ada sesuatu yang
dibutuhkan manusia dan tidak ada satu ketentuan kecuali semuanya telah tercantum di dalamnya
sehingga perkara kecurangan terhadap lalat.”1
------------------------------------------------------------
*1. Karena pengumpulan sunah Nabi tertunda sampai zaman Umar bin Abdul Aziz atau setelahnya,
adapun khalifah sebelumnya telah membakarnya dan mencegah penulisan dan periwayatannya.
*2. Yang anehnya, bahwa Ahlussunnah banyak meriwayatkan hadis dan juga membatalkannya dalam
kitab itu sendiri, dan yang lebih aneh dari itu ialah mereka mengamalkan yang dusta dan meninggalkan
yang shahih.
*3. Shahih Bukhari, I, hal, 36, bab Kitab Ilmu.
Bukhari sendiri telah mengisyaratkan dalam shahih-nya kepada lembaran yang ada pada ‘Ali
itu dalam banyak bab dari kitabnya. Tetapi sebagaimana kebiasaan Bukhari bahwa ia telah memotong
banyak keistimewaan dan kandungannya. Dan bab kitabatul-Ilmi, Bukhari mengatakan, “Dari Syi’bi dari
dari Abu Junafah dia berkata’ Saya bertanya pada ‘Ali, apakah pada kalian ada kitab?’ Dia menjawab,
Tidak, kecuali Kitab Allah Swt, atau pengertian yang saya berikan pada seorang Muslim atau apa yang
ada pada lembaran ini. ‘Saya bertanya, ‘Aapa yang di dalam lembaran itu? Dia menjawab. ‘Akal dan
pemecahan masalah tawanan dan tidak boleh orang Muslim dibunuh lantaran orang kafir.”1
Dari al-A’mas dari Ibrahim at-Taimy dari bapaknya dari ‘Ali, dia berkata, “Tidak ada pada kita
sesuatu pun selain hanyalah Kitab Allah Swt, dan lembaran dari Nabi saww ini.”2
Dari Ibrahim at-Taimy dari bapaknya, dia berkata,”Tidak ada pada kami yang dibaca selain
kitab Allah Swt dan apa yang ada dalam lembaran ini.”3
Dari ‘Ali ra, dia berkata, “Kami tidak menulis dari Rasulullah saww selain Al-Qur’an dan apa
yang ada dalam lembaran ini.” 4
Sebagaimana telah diriwayatkan pula oleh Bukhari dalam bab yang lain:
Dari Ibrahim at-Taimy dari bapaknya, dia berkata, Imam ‘Ali as pernah berkotbah di atas satu
mimbar yang terbuat dari tanah dan dia memegang pedang yang terkait padanya suatu lembaran lalu
dia berkata, “Demi Allah Swt, tidak ada pada kita satu kitab yang dapat dibaca selain kitab Allah Swt dan
apa yang ada dalam lembaran ini.” *1
Dan Bukhari tidak pernah meriwayatkan apa yang disampaikan oleh Imam Ja’far ash-Shadiq bahwa
lembaran tersebut dinamakan al-Jami’ah (kumpulan), sebab telah tekumpul di dalamnya seluruh
keterangan yang halal dan haram, dan terkandung di dalamnya segala yang dibutuhkan oleh manusia
sehingga perkara kecurangan terhadap seekor lalat, dengan pendekatan dari Rasulullah saww dan
tulisan ‘Ali bin Abi Thalib. Bukhari hanyalah meringkas dengan kata-kata bahwa di dalamnya akal dan
penyelesaian tawanan serta tidak boleh orang Muslim dibunuh lantaran orang kafir. Dalam kesempatan
lain, dia menyatakan , ‘Ali telah menentangnya, maka di dalamnya ada gigi Unta, dan di dalamnya kota
Madinah haram.... dan di dalamnya jaminal orang-orang Muslimin satu dan di dalamnya barangsiapa
memerintah suatu umat tanpa seizin penguasanya....”
-----------------------------------------
3. Shahih Bukhari, IV, hal. 67. dan Shahih Muslim, IV, hal. 115.
Apakah akal Abu Hurairah itu lebih besar dari akal ‘Ali bin Aabi Thalib, yang mana ia dapat
menghafal dari Rasulullah seratus ribu hadis tanpa tulisan ...? Sungguh mengherankan, demi Allah Swt,
perihal mereka itu yang mau menerima seratus ribu hadis dari Abu Hurairah yang tidak menyertai Nabi
kecuali hanyalah tiga tahun, sedangkan dia dapat membaca dan menulis, dan mereka menganggap ‘Ali
sebagai pintu kotanya ilmu, yang darinya para sahabat mendapatkan bermacam-macam ilmu dan
pengetahuan, kemudian dia membawa lembaran yang hanya berisi empat hadis itu, yang senantiasa
menyertainya dari semasa hidup Rasulullah saww sampai masa kekhalifahannya, lalu ia membawanya
naik mimbar dan dikaitkan pada pedangnya...? Sungguh besar kata-kata yang keluar dari mulut mereka,
mereka tidak berkata kecuali hanyalah kedustaan.
Atas apa yang diriwayatkan Bukhari itu, cukuplah bagi para peneliti dan cendekiawan, yaitu
ketika dia menyebutkan bahwa di dalamnya akal. Ini adalah merupakan suatu dalil bahwa di dalam
lembaran itu termuat banyak perkara yang mengistimewakan manusia dan pemikiran Islam. Kami tidak
akan menunjukkan dalil bagi apa yang ada dalam lembaran tersebut, penduduk Mekkah itu lebih tahu
terhadap kandungan garis besarnya dan Ahlulbait itu lebih tahu terhadap kandungan garis besarnya dan
Ahlulbait itu lebih tahu terhadap apa yan terkandung di dalamnya, dan mereka telah mengatakan bahwa
di dalamnya terkandung semua apa yang dibutuhkan umat manusia dari hal halal dan haram sampai
perkara kecurangan terhadap lalat.
Tetapi yang kami menghendaki pembahasan para sahabat itu, mereka telah menulis hadis-
hadis Nabi saww. Ucapan Abu Hurairah bahwa Abdullah bin Amr menulis hadis-hadis Nabi saww, dan
perkataan ‘Ali bin Abi Thalib, “Kami tidak menulis dari Rasulullah selain Al-Qur’an dan apa yang ada di
dalam lembaran ini, adalah merupakan dalil yang pasti, bahwa Rasulullah saww, tidak pernah melarang
penulisan hadis-hadisnya selama-lamanya, bahkan sebaliknya yang benar.” Hadis yang diriwayatkan
Muslim dalam Shahih-nya, “Jangan kalian menulis dariku, dan siapa yang menulis dariku selain Al-
Quran, hendaklah menghapusnya,” ini adalah hadis dusta yang telah dibuat oleh para pendukung
Khulafa ar-Rasyidin untuk mengkokohkan dan membenarkan apa yang telah dilakukan Abu Bakar, Umar
dan Utsman dalam pembakaran hadis-hadis Nabi saww, dan pencegahan terhadap tersiarnya sunah.
Perkara yang menambah kemantapan terhadap keyakinan bahwa Nabi saww, tidak pernah melarang
penulisan hadis-hadisnya bahkan beliau memerintahkannya, ialah apa yang telah diucapkan oleh Imam
“Ali, yakni orang yang terdekat dengan Nabi Saww, yaitu “Kami tidak menulis dari beliau selain Al-Qur’an
dan apa yang ada dalam lembaran ini,” Dan juga hadis yang telah dishahihkan oleh Bukhari.
Dan bila ini ditambah dengan ucapan Imam Ja’far ash-Shadiq bahwa lembaran al-Jami’ah itu
adalah merupakan pendekatan Rasulullah dan tulisan ‘Ali, maka berarti bahwa Nabi saww telah
memerintah ‘Ali untuk penulisan itu. Agar tidak ada keraguan yang tersisa dalam diri Anda, wahai para
pembaca yang mulia! Saya tambah dengan riwayat berikut ini : Al-Hakim telah meriwayatkan dalam
Mustadrak-nya, dan Abu Daud dalam Shahih-nya, dan Imam Ahmad dalam Musnad-nya, dan Daramy
dalam sunah-nya, mereka semuanya telah meriwayatkan satu hadis penting sekali tentang kekhususan
Abdullah bin Amr yang disebut oleh Abu Hurairah bahwa ia adalah menulis dari Nabi Saww sebagai
berikut :
Abdullah bin Amr berkata, “Aaku menulis semua yang aku dengar dari Rasulullah saww, maka
orang Quraisy mencegahku dan mereka berkata, ‘Apakah engkau menulis segala sesuatu yang engkau
dapat dari Rasulullah padahal dia adalah seorang manusia yang berbicara dalam situasi marah dan
senang (rela). ‘Abdullah berkata, ”Aku pun menahan diri dari penulis, lalu aku adukan hal itu kepada
Rasulullah saww. Maka beliau mengisyaratkan ke mulut beliau sambil berkata, ‘Tulislah, demi zat yang
diriku berada dalam tangan-Nya, tidaklah keluar darinya yakni mulut Nabi saww selain hanyalah
kebenaran.”*1
Kita perhatikan dari kandungan hadis tersebut bahwa Abdullah bin Amr adalah penulis segala
yang didengar dari Nabi saww, dan Nabi saww pun tidak melarangnya, dan sesungguhnya pelarangan
itu hanya darang dari orang-orang Quraisy, sedang Abdullah bin Amr tidak menjelaskan nama-nama
orang yang telah melarang penulis itu, sebab dalam pelarangan tersebut mengandung pencelaan
terhadap Rasulullah saww, sebagaimana yang tak dapat disembunyikan lagi, maka dia pun
mengarahkan ucapannya bahwa mereka adalah orang-orang Quraisy. Yang dimaksud dengan Quraisy.
Yang dimaksud dengan Quraisy tersebut adalah para pemukanya dari kelompok Muhajirin, yang
menjadi tokohnya Abu Bakar, Umar, Utsman, Abdurrahman bin Auf, Abu Ubaidah, Thalhah dan Zubeir
serta orang-orang yang mengikuti pandangan mereka.
Sebagaimana yang dapat kita perhatikan bahwa pelarangan penulisan terhadap Abdullah
adalah di masa hidup Nabi Saww. Ini adalah hal yang menguatkan dalam persekongkolan buruk tesebut
dan kejahatannya. Kalau tidak begitu, mengapa mereka sengaja melarang Abdullah dari penulisan tanpa
merujuk kepada Nabi saw sendiri? Seperti apa yang dapat dipahami juga dari ucapan mereka,
“Sesungguhnya Rasulullah itu seorang manusia yang berbicara dalam situasi marah dan senang, “
menunjukkan akidah mereka terhadap Nabi saww, sangatlah tercela sampai pada tingkat mereka
meragukan beliau dengan anggapan bahwa beliau itu berkata salah dan menetapkan hukum secara
zalim khususnya ketika marah. Apa yang diucapkan Nabi saww ketika Abdullah bin Amr mengadukan
pada beliau tentang pribadi beliau, lalu beliau bersabda, Tulislah, demi zat yang diriku pada tangan-Nya,
tidaklah keluar darinya selain hanyalah kebenaran”-- beliau sambil mengisyaratkan pada mulut beliau,
ini adalah merupakan satu bukti yang lain bagi pengetahuan Rasul terhadap keraguan mereka tentang
keadilan beliau dan bahwa mereka memungkinkan bagi beliau untuk berbuat salah dan berkata batil.
Maka beliau pun bersumpah dengan atas nama Allah SWT, bahwa tidak pernah keluar dari mulut beliau
kecuali hanyalah kebenaran. Ini adalah merupakan penafsiran yang shahih dari yang telah dinyatakan
dalam firman Allah SWT, Dan dia tidak berbicara karena hawa nafsu, Kecuali wahyu yang telah
diwahyukan.” (QS. Najm:3-4)
Sesungguhnya beliau Saww, adalah maksum dari segala kesalahan dan perkataan yang batil.
Dengan ini maka kami menetapkan bahwa seluruh hadis dan riwayat yang telah dibuat di zaman
Umawiyin dan yang menyimpulkan bahwa beliau tidak maksum adalah tidak shahih sama sekali.
Sebagaimna hadis yang disebutkan, menunjukkan pada kita bahwa pengaruh mereka terhadap diri
Abdullah bin Amr sangat besar sehingga dia menahan diri dari penulisan seperti yang dia nyatakan
sendiri tatkala dia berkata, “Maka aku menahan diri dari penulisan.”
Dan dia tetapkan begitu sehingga datang kesempatan baginya untuk menghadap Rasul sendiri dalam
rangka menghilangkan keraguan yang menyangkut sekitar kemaksuman dan keadilan beliau, dan telah
banyak menjangkit sehingga di hadapan beliau, seperti ucapan mereka kepada Nabi saww secara
terang-terangan, “Apakah engkau Nabi saww yang sebenarnya...?’1 Atau ucapan,”Engkaulah yang
mengaku Nabi ?”2 Atau kata-kata, “Demi Allah, dia tidak karena Allah Swt, dalam pembagian ini.”3 Atau
seperti ucapan ‘Aisyah pada Nabi,” Sesungguhnya Tuhanmu menguatkan hawa nafsumu.”4
-------------------------------------
*1. Mustadak Hakim, I, hal. 105, Sunan Abu Daud, II, hal.126, Sunan Daramy, I, hal.125, dan Musnad
Ahmad, II, hal.162.
Saya menggolongkan yang lainnya itu termasuk ungkapan kata-kata yang tidak layak, yang
menyatakan tentang keraguan terhadap kemaksuman beliau dan tentang akidah mereka bahwa beliau
berbuat durhaka, Zalim, salah dan dusta. Na’udzu billah.
Beliau adalah pemilik budi pekerti mulia yang sangat kasih sayang, yang seringkali
menghapuskan perkara yang meragukan itu dengan sabdanya, “Aku ini hanyalah hamba yang
diperintah.” dan di saat lain beliau bersabda, “Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling
taat pada Allah dan paling takwa,” dan dalam kesempatan lain beliau bersabda .”Demi zat yang diriku
pada tangan-Nya, tidaklah keluar darinya--yakni mulut beliau--selain hanyalah kebenaran ,” dan
kebanyakan yang beliau ucapkan adalah “Semoga Allah Swt, menghasihi saudaraku Musa, dia telah
disakiti lebih banyak dari ini, tetapi ia tetap tabah.
Kalimat-kalimat yang tidak layak itu, yang menodai kemaksuman beliau dan meragukan
kenabian beliau adalah bukan keluar dari orang-orang yang remeh dari orang-orang munafik, tapi justru
sangat disayangkan, ia keluar dari para pemuka sahabat dan dari Ummul Mukminin dan orang-orang
yang menurut Ahlussunnah wal Jama’ah berkedudukan sebagai pemimpin dan contoh teladan yang
baik. La haula wala quwwata illa billahil ‘aliyil azhim.
Sebagain yang dapat menguatkan keyakinan kita, bahwa hadis, “Janganlah kalian menulis
dariku...,” adalah hadis palsu atau dusta, yang tidak memiliki asas-asas keshahihannya dan tidak pernah
diucapkan Rasulullah secara mutlak, yakni bahwa Abu Bakar sendiri telah menulis dari Rasulullah saww
sebagaian hadis-hadis, yang telah ia kumpulkan di masa Nabi kemudian setelah dia memegang
kekhalifahan, segera dia membakarnya demi satu kepentingan yang tidak dapat disembunyikan lagi bagi
para peneliti, Inilah putrinya ‘Aisyah telah berkata,”Bapakku telah mengumpulkan hadis Rasulullah,
jumlahnya 500 hadis, kemudian dia dalam kegelisahaan, lalu saya berkata, dia gelisah karena suatu
pengaduan atau karena sesuatu telah sampai padanya. Maka ketika pagi hari dia berkata, ‘Hai putriku,
bawalah ke sini hadis-hadis yang ada padamu, lalu sayapun datang membawanya, kemudian dia
membakarnya.”*1 Dan juga inilah Umar bin Khathab di masa kekhalifahannya, dia berkhotbah pada
suatu di hadapan umat manusia, dia mengatakan , “Tidak boleh seorang pun yang masih tinggal
padanya kitab kecuali harus membawanya kepadaku, aku akan memeriksanya dengan penilaianku.”
Tidak boleh seorang pun yang masih tinggal padanya kitab kecuali harus membawanya kepadaku, aku
akan memeriksanya dengan penilaianku.” Maka mereka --para sahabat-- mengira bahwa ia akan
memeriksa kandungannya untuk diluruskan agar tidak ada di dalamnya perkara yang saling
bertentangan, lalu mereka menyerahkan kitab-kitab mereka kepadanya, kemudian ia membakarnya
dengan api.*2
Ia pun telah mengirim utusan ke kota-kota untuk memerintahkan siapa yang memiliki sesuatu
tulisan, hendaklah menghapusnya.*3 Itu adalah merupakan bukti terbesar bahwa para sahabat
umumnya memiliki kitab-kitab yang di dalamnya terkumpul hadis-hadis Nabi yang ditulis di masa Nabi,
kemudian semuanya dibakar dengan perintah Abu Bakar pada periode pertama, lalu Umar pada periode
kedua dan dihapus sisa kitab yang masih ada di kota-kota lain dengan perintah Umar di masa
kekhalifahannya.
---------------------------------------------
2. Ucapan ‘Aisyah bin Abu Bakar dalam Ihya’ul Ulum, al-Ghazali, II, hal.29
*1. Kanzul Umal, V, hal. 237, dan Ibnu Katsir dalam Bidayah.
*2. Thabaqat al-Kubra, Ibnu Sa’id, V, hal. 188
Atas dasar ini, maka tidak mungkin bagi kita atau bagi siapa saja yang berakal untuk
membenarkan bahwa Rasulullah telah melarang penulisan hadis setelah kita katahui bahwa
kebanyakan sahabat memiliki kitab-kitab hadis, khususnya lembaran yang senantiasa bersama Imam
‘Ali yang panjangnya 70 hasta dan dia namakan al-Jami’ah, sebab ia mengumpulkan seluruhnya.
Karena penguasa yang memerintah dan politik yang berjalan, kemaslahatannya menghendaki
penghapusan sunah Nabi saww dan pembakarannya serta meniadakan periwayatannya, maka para
sahabat yang menjadi pendukung kekhalifahan tersebut, mereka mematuhi segala perintah itu dan
menjalankannya, sehingga tidak ada yang tersisa pada mereka dan tidak pula pada pengikut mereka
selain hanyalah ijtihad dengan pendapat atau mengikuti sunah Abu Bakar, sunah Umar, sunah Utsman,
Muawiyah, Yazid, Marwan bin Hakam, Abdul Malik bin Marwan, al-Walid bin Abdul Malik, dan sunah
Sulaiman bin Abdul Malik, sampai datangnya masa Umar bin Abdul Aziz. Lalu ia meminta kepada Abu
Bakar al-Huzami untuk menulis baginya apa yang dari hadis Rasulullah atau sunahnya atau sunah Umar
bin khathab.1
Demikian itu nyata bagi kita bahwa penulisan sunah itu tertunda sampai pada situasi yang
memungkinkan dan setelah berlalunya ratusan tahun dalam penghapusan dan pelarangannya, baru kita
dapat melihat penguasa Umawiy yang dianggap adil dan yang digolongkan oleh Ahlussunnah wal
Jama’ah ke dalam Khulafa ar-Rasyidin, memerintahkan pengumpulan sunah Rasulullah saww, dan
sunah Umar bin Khathab, sepertinya Umar bin Khathab itu dianggap sebagai pasangan Muhammad
dalam kerasulan dan kenabiannya. Mengapa Umar bin Abdul Aziz itu tidak mau meminta kepada para
Imam Ahlulbait yang hidup di zamannya untuk memeberikan padanya tulisan dari lembaran al-Jami’ah,
dan mengapa dia tidak menginginkan mereka untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi saww, padahal
mereka adalah orang-orang yang paling tahu tentang hadis datuk mereka daripada selain mereka...?
Para pengamat dan peneliti tentunya mengetahui rahasia itu semua.
Bisakah kemantapan di dapat pada hadis-hadis yang telah dikumpulkan oleh Ahlussunnah wal
Jama’ah dari Umayyah dan para pendukungnya itu, yang mereka adalah merupakan penguasa Quraisy,
sedang kita telah ketahui hakikat Quraisy dan akidahnya terhadap Rasulullah saww, dan sunah beliau
yang suci...? Setelah ini, menjadi jelaslah bahwa penguasa yang memerintah dalam masa-masa
pemerintahannya itu telah melakukan ijtihad dan qias serta musyawarah antara sebagaian mereka. Dan
karena penguasa telah memojokkan Imam ‘Ali dari kebebasan hidup dan telah mengabaikannya, maka
penguasa tidak mempunyai kemampuan memerintah atas dirinya untuk membakar apa yang telah dia
tulis di masa kerasulan dengan pendektean dari Nabi saww, sendiri. ‘Ali bin Abi Thalib tetap masih
memelihara lembaran tersebut yang tekumpul di dalamnya segala yang dibutuhkan manusia sehingga
perkara lalat, dan tatkala ia memegang tampuk kekhalifahan, ia mengaitkannya pada pedangnya dan ia
naik ke atas mimbar untuk berkotbah di hadapan umat manusia dan memperkenalkan pentingnya
lembaran tersebut.
Riwayat tersebut sudah mutawatir (terkenal) dari para Imam Ahlulbait alaihimussalam, bahwa
mereka saling mewarisi lembaran itu, bapak dari datuk, yang besar dari yang terbesar dan mereka
memberi fatwa dalam masalah-masalah yang dibutuhkan oleh umat di masanya dengannya, dari
kalangan orang yang mengikuti bimbingan mereka. Oleh sebab itu Imam Ja’far ash-Shadiq dan Imam
ar-Ridha serta lainnya dari para Imam, mereka selalu menyebut-nyebut kata-kata tersebut dengan
keistimewaannya dan mereka berkata, “Sungguh kami tidak memberi fatwa pada manusia dengan
pendapat kami, seandainya kami berfatwa pada manusia dengan pendapat kami dan keinginan nafsu
kami niscaya kami termasuk orang-orang yang binasa, tetapi itu adalah peninggalan dari Rasulullah
saww.
--------------------------------------------
Pemilik ilmu kami saling mewarisi yang besar dari yang terbesar, dan kami menjaganya sebagaimana
manusia menjaga emas dan perak mereka.”1
Pada kali ini Imam Ja’far Shadiq as berkata, “Hadisku adalah hadis bapakku, hadis bapakku
adalah hadis datukku, hadis datukku adalah hadis Husein, hadis Husein adalah hadis al-Hasan, hadis
al-Hasan adalah hadis Amirul Mukminin, hadis Amirul Mukminin adalah hadis Rasulullah saww, dan
hadis Rasulullah adalah firman Allah Azza wajalla.”2 Dengan ini semua, maka hadis Tsaqalain yang
telah Mutawatir yakni, “Aku tinggalkan pada kalian dua beban berharga yaitu Kitabullah dan
keturunanku, selama kalian berpegang pada keduanya niscaya tidak akan sesat selama-lamanya
setelahku,”3 Ini kebenaran yang tidak ada selainnya kecuali kesesatan, dan itu sunah Nabi saww, yang
shahih tidak ada penjaga dan pemelihara serta penegak selain para Imam yang suci dari Ahlulbait al-
Musthafa al-Mukhtar.
Seperti yang dapat disimpulkan dari sini, bahwa Syi’ah Ahlulbait yang berpegang pada
Ahlulbait yang suci tersebut, mereka itu adalah Ahlussunnah Nabi saww yang sesungguhnya, dan
Ahlussunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang mendakwahkan sesuatu yang tidak layak bagi
mereka dan dakwaan mereka itu tidak berdasarkan hujah dan dalil.
--------------------------------------------------------------------------
Back To Top
Jika kita kecualikan sebagian ulama Ahlussunnah yang moderat yang belaku
jujur dalam penulisannya tentang Syi’ah lantaran keterikatan mereka dengan akhlak
Islam, maka kebanyakan selain mereka ini, baik dimasa dulu atau dimasa sekarang
mereka tetap selalu menulis tentang Syi’ah dengan pola pikiran Umawiyin si pendengki
itu. Anda dapat melihat di setiap lembah mereka di setiap lembah mereka tersesat
pandangan, mengucapkan apa-apa yang tidak mereka pahami, mencaci dan mencela
serta mengeluarkan kata-kata dusta dan tuduhan terhadap Syi’ah Ahlulbait yang mana
mereka itu bersih dari segala tuduhan tersebut, dan mengkafirkan dan menghinanya
dengan bermacam-macam julukan, dengan membebek pada pendahulu mereka yang
dianggap saleh, yakni Muawiyah dan kawan-kawannya yang telah menguasai
kekhalifahan Islam dengan kekuatan dan penindasan, dengan tipu daya dan kelicikan,
dengan pengkhianatan dan kemunafikan.
Di satu saat mereka menulis bahwa Syi’ah itu adalah firqah yang dibina oleh
Abdullah bin Saba’ si Yahudi, dan di saat lain mereka menulis bahwa Syi’ah itu dari
aliran Majusi dan mereka itu adalah para pembangkang yang telah dihinakan Allah,
mereka adalah golongan orang yang paling membahayakan terhadap Islam dari pada
Yahudi dan Nashrani. Dan di buku lain, mereka menulis bahwa Syi’ah itu adalah orang-
orang munafik karena mereka melakukan taqiyah dan mereka orang-orang yang
membolehkan nikah mahram dan menghalalkan mut’ah padahal itu adalah zina.
Sebagian lagi menulis bahwa mereka mempunyai Al-Qur’an yang lain dari Al-Qur’an
kita dan mereka menyembah ‘Ali dan para imam dari anak keturunannya dan
membenci Muhammad dan Jibril dan... dan... dan...
Tidaklah berlalu satu masa kecuali muncul pada kita suatu kitab atau
kumpulan kitab-kitab dari para ulama semacam itu yang mendakwahkan diri
Ahlussunnah wal Jama’ah, dan semuanya mengkafirkan dan menghina terhadap
Syi’ah. Merka tidak mempunyai motif dan tujuan selaian hanyalah untuk
menyenangkan tokoh-tokoh mereka yang memiliki kepentingan menghancurkan umat
dan memecah belah kemudian bertindak untuk menindasnya. Sebagaimana dalam
penulisannya, mereka tidak mempunyai hujah dan dalil selain kefanatikan buta
dankedengian dan kejahilan tercela serta taqlid terhadap para pendahulu tanpa
penelitian, pembahsan dan keterangan. Mereka itu bagaikan burung beo, meniru apa
saja yang mereka dengar dan mencatat yang telah ditulis oleh golongan Nawashib
(yakni kelompok musuh Ahlulbait) yang merupakan ekor Umawiyin, dan orang-orang
yang hidup dengan mengagungkan dan memuliakan Yazid dan Muawiyah. Maka kita
tidak perlu heran terhadap mereka itu, yakni para pengagung Yazid bin Muawiyah jika
mereka mencaci dan mengkafirkan musuh Yazid itu.
Dan bila mendahului mereka yang saleh yakni Yazid dan Muawiyah
melimpahkan emas dan perak kepada para pengikutnya dan pencintanya, dan
membeli jiwa mereka dengannya di masa yang telah lalu, maka milyaaaaran dolar,
istana-istana besar di London dan Paris dan yang dipenuhi dengan karunia harta yang
menarik dari barang-barang yang bagus bentuknya dan khamar, sungguh telah
mampu membeli jiwa, agama, dan negeri mereka di masa sekarang ini.
Seandainya mereka itu benar-benar mengikuti sunah Nabi saww,
sebagaimana yang mereka dakwahkan niscaya mereka mau memperhatikan akhlak
beliau saww yang mulia, dan penghormatan terhadap orang lain betapa pun berbeda
akidah. Bukankah sunah Nabi saww telah menyatakan, “Seorang Muslim terhadap
Muslim yang lainnya bagaikan badan yang satu, bila satu bagian anggota badan sakit
maka seluruh badan merasakan penderitaannya.”
Bukankah Nabi saww telah menjelaskan bahwa, “Cacian terhadap orang-
orang Muslim adalah kefasikan dan pembunuhannya adalah kefakiran?.” Seandainya
para penulsi itu, yang mendakwahkan diri bahwa merek dari golongan Ahlussunnah
wal Jama’ah benar-benar mengetahui sunah Nabi saww, niscaya tidak akan mereka
memperkenankan diri mereka untuk mengkafirkan orang yang telah bersyahadat,
“Tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah Swt, dan
yang mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan da berhajji ke
Baitullah al-Harram, serta menganjurkan yang makruf dan mencegah yang mungkar.”
Dikarenakan mereka itu adalah pengikut sunah Umayah, dan Quraisy maka mereka
berbicara dan menulis dengan akal jahiliyah dan pemikiran kesukuan, serta
permusuhan yang telah berakar. Maka segala sesuatu datang dari asalnya,tak perlu
diherankan dansetiap wadah sesuai dengan isinya.
Bukankah Rasulullah saww, telah bersabda, sebagaimana yang telah
disebutkan dalam Al-Qur’an al-Karim:
teks arab
Katakanlah wahai ahli kitab,marilah menuju kepada kata sepakat antara kami
dan kalian.... (QS. Ali ‘Imran:64)
Jika mereka Ahlussunnah yang sesungguhnya, hendaklah menyeru saudara-
saudaranya dari Syi’ah menuju kata sepakat antara mereka. Kalau Islam telah
menyeru musuh-musuhnya dari Yahudi dan Nashrani menuju kata sepakat untuk
saling memahami dan menjalin persaudaraan, bagaimana terhadap orang-orang yang
menyembah Tuhan yang satu, Nabinya satu, kitabnya satu, Qiblatnya satu dan tempat
kembalinya pun satu... Mengapa ulama Ahlussunnah tidak mau menyeru saudara
mereka dari ulama Syi’ah dan tidak mau duduk bersama mereka untuk mengadakan
penelitian dan mendebat mereka dengan jalan yang sebaik-baiknya serta memperbaiki
akidah mereka, jika memang rusak seperti yang telah mereka dakwahkan...
Mengapa mereka tidak mau menyelenggarakan satu muktamar Islam yang
mengumpulkan ulama kedua kelompok, di mana seluruh permasalahan khilafiah dapat
dikemukakan dan dapat didengar dan disaksikan oleh seluruh kaum Muslimin,
sehingga mereka dapat mengetahui mana yang benar dan mana yang palsu serta
dusta. Terutama Ahlussunnah wal Jama’ah yang merupakan tiga perempat bagian dari
seluruh umat Islam di dunia, dan bagi mereka kemampuan secara materi dan
pengaturan yang berada di tangan para pemegang pemerintahan, yang mana hal itu
mamudahkan bagi mereka, karena mereka memiliki hasil perindustrian.
Karena Ahlussunnah wal Jama’ah selamanya tidak mau melakukan hal serupa
itu, dan tidak mau berhadapan secara ilmiah, sebagaimana yang telah diserukan oleh
kitab allah dalam firmannya, “Katakanlah, tunjukkan bukti kalian jika kalian orang-
orang yang bena.” (QS. al Baqarah:111) Dan firmannya, “Katakanlah, adalah kalian
memiliki ilmu , lalu kalian tunjukkan pada kami, sungguh kalian tidaklah mengikuti
selain hanyalah perkiraaan dan kalian hanyalah berdusta.” (QS. al-An’am: 148)
Oleh sebab itu, Anda lihat mereka selamanya hanyalah bersandar
padacacian, celaan, pengkafiran, pendustaan dan pemalsuan, padahal mereka
mengetahui bahwa hujah dan dalil berada pada lawan mereka yakni Syi’ah. Saya
yakin bahwa mereka itu mengkhawatirkan kebanyakan kaum Muslimin akan menjadi
Syi’ah bila kebenaran itu terungkapkan, sebagimana yang telah terjadi di kalangan
sebagian ulama al-Azhar di Mesir yang telah berkenan untuk mengadakan penelitian
terhadap kebenaran, lalu mereka menyadari dan mengetahuinya, kemudian mereka
membuang apa yang ada pada mereka dari akidah para pendahulu yang saleh.
Kiranya para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah telah menyadri bahwa itu, yang
akan dapat mengancam mereka dengan kemusnahan. Ketika mereka sadar akan
akibat tersebut, maka dibuatlah ketetapan sesama mereka agar melarang para
pengikut mereka dan orang-orang yang bertaqlid pada mereka dari duduk bersama
orang-orang Syi’ah atau berdiskusi dengan mereka atau mengadakan ikatan
pernikahan dengan mereka atau memakan sembelihan mereka. Dari itu dapat
dipahami kedudukan mereka yang sebenarnya, yakni bahwa mereka itu sangat jauh
dari sunah Nabi Saww, dan lebih dekat dengan sunah Bani Umayah yang telah
berusaha dengan gigih untuk menghancurkan umat Muhammad saww dengan
tebusan yang sangat berharga sekalipun. Sebab hari mereka tidak pernah merasa
takut mengingat Allah dan tidak pula terhadap kebenaran yang telah diturunkan,
mereka telah masuk Islam tetapi mereka tidak menyukainya.
Dan inilah yang telah dinyatakan oleh pemimpin mereka yakni Muawiyah, yang
telah membunuh para sahabat pilihan demi memperoleh kekuasaan, dia telah berkata
di awal pemerintahannya, “Aku tidak membunuh kalian lantaran kalian mengerjakan
shalat, berpuasa, dan menunaikan hajji. Aku membunuh kalian hanyalah agar aku
dapat memerintah kalian, dan sungguh Allah telah mengabulkan aku sedang kalian
tidak menyukai.”
Apabila kita kecualikan sebagian orang yang fanatik dari awamnya Syi’ah,
yang menganggap seluruh Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai golongan Nawashib,
maka kebanyakan ulama mereka yang dahulu dan sekarang adalah tetap meyakini
nahwa saudara mereka dari Ahlussunnah wal Jama’ah itu adalah merupakan korban
kedustaan dan tipu daya orang-orang Umawiyah. Sebab mereka berbaik sangka
terhadap para pendahulu yang dianggap saleh dan mengikuti tanpa penelitian dan
pertimbangan, sehingga mereka sesat dari jalan yang lurus dan dijauhkan dari
Tsaqalain (dua peninggalan berharga)--yakni Kitabullah dan keluraga yang suci-- yang
keduanya dapat memelihara orang yang berpegang padanya dari kesesatan dan
menjamin mereka terbimbing ke jalan yang benar.
Maka Anda lihat kebanyakan yang mereka tulis untuk mempertahankan diri
dan memperkenalkan akidah mereka adalah dengan menyerukan kejujuran dan
kesatuan dengan saudara mereka dari Ahlussunnah wal Jama’ah. Sebagaian ulama
Syi’ah di beberapa negara dan kota-kota telah mempersiapkan para pembahas
tentang metode yang tepat guna dalam rangka membentuk satu pengaturan dan
lembaga pengajaran Islam untuk pendekatan antara mazhab-mazhab dan usaha
membentuk persatuan. Sebagian mereka, telah menaruh perhatian serius terhadap
pelurusan al-Azhar asy-Syarif, menara Ilmu dan pengetahuan bagi Ahlussunnah, dan
mereka telah menemui para ulamanya dan mengadakan diskusi dengan mereka
secara baik, seperti yang telah dilakukan oleh Imam Syarafuddin al-Musawi ketika ia
bertemu dengan Imam Salimuddin al-Bisyri. Dari hasil pertemuan dan surat menyurat
itu lahirlah satu kitab yang bagus yang dinamakan al-Muraja’at (Dialog Sunnah--Syi’ah-
red), yang memiliki peranan besar dalam pendekatan pandangan di kalangan umat
Islam. Sebagaimana kesungguhan para ulama Syi’ah telah berhasil di Mesir, maka
Imam Mahmud Syaltut, Multi negara Mesir di saat itu mengeluarkan fatwanya yang
sangat mengesankan dalam pembolehan ibdah dengan mazhab Syi’ah Ja’fari dan fiqih
Syi’ah Ja’fari dijadikan materi pelajaran yang diajarkan di al-Azhar asy-Syarif.
Demikian itulah, kebiasaan Syi’ah dan Ulamanya, khususnya dalam
memperkenalkan para imam Ahlulbait yang suci dan mazhab Ja’far yang merupakan
Islam dengan seluruh maknanya. Mereka telah menulis dalam masalah tersebut
berjilid-jilid dan beberapa keterangan, dan mereka telah menyelenggarakan untuk itu
banyak penerbitan-penerbitan khususnya setelah revolusi Islam di Iran, telah diadakan
muktamar-muktamar di Teheran dengan mengatasnamakan kesatuan Islam, dan
mengatasnamakan pendekatan antara mazhab-mazhab. Semuanya merupakan
seruan yang sesungguhnya untuk menghilangkan permusuhan dan kedengian serta
untuk menambahkan ruh persaudaraan Islam dan penghormatan terhadap sesama
umat Islam.
Setiap tahun muktamar kesatuan Islam itu mengundang para ulama dan
pemikir dari golongan Syi’ah dan sunah, dan mereka hidup berminggu-minggu secara
penuh dibawah naungan persaudaraan yang sebenarnya, mereka makan dan minum,
mengerjakan shalat, berdoa dan saling tukar pandangan dan pemikiran, dan mereka
saling memberi dan menerima. Seandainya muktamar itu tidak berperan selain
melunakkan hati dan pendekatan sesama umat Islam, agar saling mengenal dan
melenyapkan kedengian, niscaya hal itu mengandung kebaikan yang banyak dan
keutamaan yang menyeluruh serta akan datang masanya memetik hasilnya, insya
Allah.
Dan Anda bila memasuki satu rumah dari rumah orang-orang Ssyi’ah yang
biasa, lebih-lebih rumah para ulama dan para pelajar, pasti Anda mendapati di
dalamnya susunan kitab-kitab yang mencakup kitab tulsan Ssyi’ah berdampingan
dengan kitab-kitab tulisan Ahlussunnah wal Jama’ah. Tapi sebaliknya, ahlussunnah wal
Jama’ah jarang Anda dapati disisi ulama mereka kitab Syi’ah satu pun, kecuali hanya
beberapa orang saja. Oleh sebab itu, mereka tidak mengetahui hakikat Syi’ah dan
tidak mengetahui selain hanyalah yang dusta yang ditulis oleh para musuhnya.
Sebagaimana orang Syi’ah biasa, Anda dapati kebanyakannya, mengetahui sejarah
Islam dengan seluruh perputarannya dan sering ia berkumpul untuk menghidupkan
peringatannya. Adapun orang Alim Sunni, Anda dapati sedikit saja yang
memperhatikan sejarah, dan ia menganggapnya termasuk sumber keburukan yang
tidak ia kehendaki mengungkitnya dan menampakkannya bahkan wajib
mengabaikannya dan tidak mengambil perhatian padanya, karena hal itu dapat
menimbulkan buruk sangka terhadap para pendahulu yang saleh. Dikarenakan ia
telah memantapkan diri atau anggapannya dengan keadilan seluruh sahabat dan
kesucian mereka, maka ia tidak mau menerima apa yang telah ditulis oleh sejarah
tentang mereka.
Karena itu semua, Anda lihat ia tidak mau bersandar pada pembicara yang
berdasarkan dalil dan bukti, Anda lihat ia, baik berusaha lari dari pembahasan karena
ia lebih dahulu tahu akan kalah, atau ia akan mengalahkan perasaannya dan
kecondongannya dan mendorong dirinya dalam pembahasan, lalu ia terpengaruh
untuk protes terhadap akidahnya dan akhirnya mengikuti Ahlulbait Nabi saww.
Syi’ah itu adalah Ahlussunnah Nabi saww, karena Imam mereka yang pertama
setelah Nabi saww adalah Imam ‘Ali bin Abi Thalib yang hidup dan bernapas dengan
sunah Nabi saww. Perhatikanlah sikapnya, ketika mereka (para sahabat)
mendatanginya untuk membaiat dirinya sebagai khalifah dengan syarat mengikuti
sunah Syaikhan (yakni Abu Bakar dan Umar) maka ia menjawab, “Aku tidak mau
memerintah kecuali dengan Kitabullah dan sunah Rasulullah saww,” tidak ada
kebutuhan bagi ‘Ali dalam kekhalifahan jika dengan mengabaikan sunah Nabi saww, ia
telah berkata, ”Sesungguhnya kekhalifahan kalian menurutku, bagaikan kotoran
kambing, kecuali jika untuk menegakkan hukum Allah Swt.”
Dan putranya yakni Imam Husein as, telah berkata dengan ucapannya yang
masyhur, yang tetap bergema dalam pendengaran sepanjang zaman yakni, ”Jika
agama Nabi Muhammad saww, tidak akan tegak kecuali dengan kematianku, maka
ambillah diriku wahai pedang-pedang!” Oleh karena itu, maka Syi’ah memandang
saudara-saudaranya dari Ahlussunnah wal Jama’ah dengan pandangan simpatik dan
kasihan, sepertinya mereka itu menginginkan baginya agar mendapat petunjuk dan
keselamatan, sebab menurut mereka nilai petunjuk sesuai dengan yang telah
diriwayatkan secara saleh itu adalah lebih baik dari pada dunia beserta apa yang ada
di dalamnya. Rasulullah telah bersabda kepada Imam ‘Ali ketika beliau mengutusnya
untuk membuka benteng khaibar, “Perangilah mereka sehingga mereka
mengucapkan, ‘Tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad saww
adalah Rasulullah saww, apabila mereka telah mengucapkan itu, berarti telah
terlindungi darimu diri dan hartanya dan perhitungan selanjutnya pada Allah SWT. Jika
Allah SWT, memberi petunjuk satu orang dengan perantaraanmu, niscaya hal itu lebih
baik bagimu dari pada engkau memiliki kuda yang terbagus.”
Sebagaimana yang menjadikan keinginan Imam ‘Ali bin Aabi Thalib hanyalah
satu yakni, membimbing umat manusia dan mengembalikannya kepada Kitabullah dan
sunah Rasul-Nya, maka demikian pula Syi’ahnya sekarang ini, keinginan mereka
adalah untuk mempertahankan diri mereka dari segala tuduhan-tuduhan dan
kedustaan, serta ingin memperkenalkan pada saudaranya Ahlussunnah tentang
hakikat Ahlulbait as danselanjutnya membimbing mereka ke jalan yang lurus.
Syi’ah telah menetapkan untuk berimamkan dua belas dari Ahlulbait as, yang
pertama ‘Ali bin Abi Thalib, kemudian putranya Hasan dan Husein, kemudian sembilan
orang yang maksum dari putra keturunan Husein. Rasulullah telah menetapkan para
imam tersebut berulang kali secara terang dan jelas, beliau telah menyebutkan mereka
dengan nama-namanya dalam sebagian riwayat yang telah diriwayatkan Syi’ah dan
juga dari ulama Sunah.
Sebagian golongan Ahlussunnah sering membantah terhadap riwayat-riwayat
tersebutdengan menganggap heran bagaimana mungkin Rasul saww membicarakan
tentang hal-hal yang masih gaib, belum ada...? Padahal telah disebutkan dalam firman
Allah, “Seandainya aku mengetahui yang gaib niscaya aku telah memperbanyak
kebaikan dan tidak akan menyentuhku keburukan.” (QS. al-A’raf: 188) Sebagai
jawaban terhadap hal itu, kami katakan bahwa ayat yang mulia tersebut tidak
meniadakan bagi Rasul tentang pengetahuannya terhadap yang gaib secara mutlak,
itu hanyalah merupakan bantahan terhadap orang-orang musyrik yang meminta pada
beliau untuk memberitahukan pada mereka tentang waktu terjadinya kiamat, sedang
ketentuan hari kiamat itu, pengetahuannya khusus bagi Allah SWT.
Dalam Al-Qur’an al-Karim telah disebutkan, “Dia yang mengetahui yang gaib
dan Dia tidak menunjukkan yang gaib itu pada seseorang kecuali pada orang yang Dia
ridhai dari pada Rasul...” (QS. al-Jin:26-27) Ini adalah merupakan suatu dalil bahwa
Allah SWT menampakkan kegaiban-Nya kepada para Rasul yang telah dipilih. Sebagai
contoh dari itu ialah ucapan Nabi Yusuf as kepada temannya dalam tahanan, “Tidak
disampaikan padamu berdua makanan yang akan diberikan padamu melainkan aku
telah dapat menerangkan jenis makanan itu, sebelum makanan itu sampai padamu,
yang demikian itu adalah sebagian dari apa yang diajarkan kepadku oleh Tuhanku...”
(QS. Yusuf:37) dan juga firman-Nya, “Maka keduanya menemui seorang dari hamba-
hamba Kami yang Kami berikan padanya ilmu dari sisi kami.”( QS. al-Kahfi:65) Ini
adalah kisah tentang Hidhir yang bertemu dengan Nabi Musa as, yang mengajarkan
ilmu gaib kepada Musa yang tak sabar.
Kaum Muslimin, Syi’ah dan Sunnah tidaklah berselisih tentang Rasulullah
saww, mengetahui yang gaib dan telah dicatat perjalanan hidup beliau yang banyak
dari hal pemberitahuan yang gaib, seperti sabdanya, “Kasihan Ammar, dia akan
dibunuh oleh kelompok durhaka ,” dan juga dalam sabdanya kepada Imam ‘Ali as,
“Orang-orang terakhir disengsarakan oleh orang yang membunuhmu, memukul
kepalamu, lalu darahnya mewarnai janggutmu,” dan sabdanya, “Sesungguhnya
anakku Hasan, dengan Allah SWT, akan mendamaikan dua kelompok besar.” Juga
sabda beliau kepada Abu Dzar bahwa dia akan mati sendirian dalam pengasingan dan
lainnya dari pemberitaan yang banyak. Sebagiannya yang merupakan hadis
termasyhur yang telah diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim serta seluruh periwayat
hadis sebagimana telah disebutkan yakni, “Imam-imam setelahku ada dua belas orang
semuanya dari Quraisy, dan dalam satu riwayat menyatakan, “Semuanya dari Bani
Hasyim.”
Kami telah tetapkan dalam pembahasan terdahulu dari kitab Ma’as Shadiqin
dan Kitab Fas Ali Ahl adz-Dzikr bahwa Ulama Sunnah sediri telah mengisyatkan dalam
shahih mereka kepada hadis tersebut, yang menunjukkan pada keimanan dua belas
dan mereka telah menshahihkannya. Bila ada orang bertanya, mengapa mereka
meninggalkan para imam itu dan mengikuti selain mereka dari kalangan Imam Mazhab
yang empat? Jawabannya yakni : Karena para pendahulu yang saleh seluruhnya
adalah dari kalangan pendukung ketiga Khalifah yang dilahirkan oleh Shaqifah yakni
Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Dan sudah jelas mereka meninggalkan Ahlulbait dan
memusuhi Imam ‘Ali as, dan anak-anaknya, dan mereka telah menghapuskan sunah
Nabi saww dan menggantikannya dengan ijtihad mereka. Hal itu telah menyebabkan
terpecahnya umat menjadi dua golongan sepeninggal Rasul secara langsung. Maka
para pendahulu yang saleh dan yang mengikuti mereka serta berpandangan dengan
pandangan mereka adalah merupakan Ahlussunah wal Jama’ah, dan mereka adalah
yang paling banyak di antara umat itu. Sedang kelompok yang paling sedikit adalah ‘Ali
dan Syi’ahnya yang telah menentang pembaiatan dan tidak mau menerimanya, lalu
mereka menjadi orang-orang yang terbuang dan dikutuk dan mereka Ahlussunnah
menyebutnya dengan nama Rawafidh (para pembangkang).
Lantaran Ahlussunnah wal Jama’ah menjadi orang-orang yang menguasai
perjalanan umat sepanjang beberapa abad, dan para penguasa Bani Umayah serta
penguasa Bani Abbasiyah seluruhnya adalah pendukung dan pengikut ajaran
kekhalifahan binaan Abu Bakar, Umar, dan Utsman serta Muawiyah dan Yazid, maka
ketika kekuasaan kekhalifahan telah hancur dan hilang kehebatannya dan berpindah
ke tangan raja-raja dan orang-orang ‘ajam barulah terdengar pengumpulan sunah Nabi
saww, ketika itu muncullah hadis-hadis tersebut. Telah diusahakan penghapusan dan
penyembunyiannya oleh orang-orang generasi pertama dan mereka tidak mampu
untuk menghapus dan mendustakannya di masa-masa berikutnya, dan hadis-hadis
tersebut tetap tinggal sebagai perkara yang tidak terpahami dan membingungkan
menurut mereka, karena kandungannya bertentangan dengan kenyataan yang telah
terjadi yang mereka percayai.
Dan sebagian mereka berusaha menyesuaikan antara hadis-hadis itu dengan
apa yang telah menjadi kenyataan mereka, lalu mereka menonjolkan diri dengan
kecintaan pada Ahlulbait dan kerelaan terhadap mereka. Maka Anda dapat lihat
mereka itu setiap kali menyebut Imam ‘Ali as mereka mengucapkan, “Karramallahu
wajhahu dan Radhiyallahu anhu,” sehingga dapat mengesankan orang-orang bahwa
mereka bukanlah musuh Ahlulbait Nabi saww. Tidak mungkin bagi seorang Muslim
sehingga yang munafik sekalipun untuk menampakkan permusuhannya terhadap
Ahlulbait Nabi saww, sebab musuh Ahlulbait adalah merupakan musuh Rasulullah
saww, dan itu akan mengelurakan mereka dari agama Islam sebagaimana yang tidak
dapat disembunyikan lagi.
Dan yang dapat kami pahami dari itusemua yakni, bahwa mereka sebenarnya
adalah musuh Ahlulbait Nabi, dan yang kami maksudkan mereka itu ialah para
pendahulu orang shaleh yang menamakan dirinya atau dinamakan oleh para
pendukungnya dengan “Ahlussunnah wal Jama’ah.” Buktinya ialah, Anda lihat mereka
semua bertaqlid pada Mazhab yang empat yang telah dibentuk oleh para Sultan yang
berkuasa--akan kami terangkan sebentar lagi-- dan tidak ada pada mereka satu hukum
agama yang bersandar pada fiqih Ahlulbait atau pada salah seorang Imam yang dua
belas. Dan hakikat telah menetapkan bahwa Syi’ah Imamiyah itulah yang merupakan
Ahlussunnah Muhammadiyah, sebab mereka itu telah mengikat diri dalam seluruh
hukum fiqih mereka pada para Imam Ahlulbait as yang telah mewarisi sunah yang
shahih dari datuk mereka Rasulullah saww dan mereka tidak pernah memasukkan ke
dalamnya pendapat dan ijtihad serta ucapan-ucapan para khalifah.
Maka tetaplah Syi’ah itu sepanjang zaman melaksanakan ibadah berdasarkan
nas-nas dan menolak segala ijtihad yang bertentangan dengan nas. Sebagaimana
mereka meyakini kekhalifahan ‘Ali dan putra-putranya adalah karena Nabi saww telah
menetapkan hal itu, dan mereka ituyang disebut Khulafa ar-Rasul, betapa pun
sebagian mereka tidak mencapai kekhalifahan secara praktis selain Imam ‘Ali as.
Mereka semua menolak dan tidak mau mengakui para penguasa yang saling berbagi
kekhalifahan dari yang pertama kepada yang berikutnya, sebab dasarnya adalah faltah
(ketetapan secara tergesa-gesa yang dipelihara oleh Allah SWT keburukannya, dan
disebabkan kekhalifahan itu berdiri demi menentang dan menolak/melawan Allah SWT
dan Rasul-Nya. Dan semua orang-orang yang datang berikutnya adalah merupakan
kekeluargaan sehingga seseorang tidak menjadi khalifah kecuali dengan ditentukan
oleh khalifah pendahulunya, atau secara pembunuhan dan kudeta serta pemaksaan.
Oleh karena itu Ahlussunnah wal Jama’ah terpaksa mengikuti kepemimpinan
yang baik dan yang durhaka, sebab mereka menerima semua kekhalifahan para
penguasa sehingga yang fasik sekalipun. Berlainan dengan Syi’ah Imamiyah yang
telah menetapkan wajibnya kemaksuman Imam, maka tidak sah keimanan umat dan
kepemimpinan kecuali bagi Imam yang maksum, dan tidak ada di antara umat ini
orang yang maksum selain orang-orang yang telah dibersihkan dari mereka segala
noda oleh Allah SWT, dan disucikan dengan sesuci-sucinya.
1[1]
Lihat Tahdzib at-Tahdzib oleh Ibnu Hajar.
mengatakan tentang Abdullah bin Aun al-Bashari, “Sesungguhnya ia adalah orang
yang terpercaya, ahli ibadah dan keras dalam sunah dan bersikap keras terhadap ahli
bid’ah,” Ibnu Mas’ud telah mengatakan, “Ia adalah seorang Utsmani.” Ia telah
menyebutkan pula bahwa Ibrahim bin Ya’kub al-Jauzjani adalah seorang pengikut
mazhab Hariz bin Utsman ad-Damsiqi yang dikenal dengan penentang Ahlulbait, Ibu
Hayyan menyatakan bahwa ia adalah orang keras dalam sunah.
Dengan ini tahulah kita bahwa penentang dan kebencian terhadap Imam ‘Ali
as dan anak-anaknya, serta pencelaan keluarga Abu Thalib dan kutukkan terhadap
Ahlulbait menurut mereka dianggap kekerasan/keteguhan dalam sunnah, dan kita
telah mengetahui bahwa orang-orang Utsmani adalah golongan penentang dan musuh
Ahlulbait dan mereka orang-orang yang bersikap keras terhadap orang yang
berpimpinan pada Imam ‘Ali as, dan keturunannya. Dan mereka memaksudkan
dengan Ahlu bid’ah itu adalah golongan Syi’ah yang menyatakan keimamahan Imam
‘Ali as, karena menurut mereka itu adalah merupakan suatu bid’ah, yang mana hal itu
bertentangan dengan yang dianut oleh para sahabat, dan Khulafa’ ar-Rasyiddin serta
para pendahulu orang shaleh yang mereka itu telah mengucilkannya dan tidak
mengakui keimamahannya serta ke-washiat-annya.
Saksi sejarah bagi kekuatan dalil tersebut adalah banyak sekali, tetapi apa
yang telah kami sebutkan, cukuplah bagi yang menginginkan pembahasan dan
penelitian, dan kami telah bertekad untuk meringkas sebagaimana biasanya, dan bagi
para pembahas hendaklah dapat mencapai lebih banyak dari itu jika mau. Firman
Aallah SWT, “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh pada kami, niscaya Kami
bimbing mereka itu pada jalan-jalan Kami, dan sesungguhnya Allah itu bersama orang-
orang yang berbuat kebaikan.” (QS. al-Ankabut:69).
“Kemudian kami mewariskan kitab pada orang-orang yang telah kami pilih dari
antara hamba-hamba Kami.” (QS.Fathir:32)
Imam Ja’far ash-Shadiq pernah menyatakan tentang hakikat tersebut sekali
waktu dengan ungkapannya, “Sungguh mengherankan orang-orang itu, mereka
mengatakan bahwa mereka mengambil ilmu seluruhnya dari Rasulullah saww dan
mengamalkannya serta mendapat petunjuk ! Kemudian mereka mengatakan bahwa
kami Ahlulbait tidak mengambil ilmu beliau dan tidak mendapat petunjuk, padahal kami
adalah keluarga dan keturunan beliau, di rumah kamilah wahyu itu diturunkan dan dari
sisi kami ilmu itu keluar kepada manusia, apakah Anda menganggap mereka berilmu
dan mendapat petunjuk sedangkan kami bodoh dan tersesat...?”
Ya, bagaimana Imam ash-Shadiq tidak mengherankan mereka itu yang
mendakwahkan diri telah mengambil ilmu dari Rasulullah saww, padahal mereka
memusuhi Ahlulbait beliau dan pintu ilmunya yang melalui dirinya ilmu itu diberikan,
bagaimana tidak mengherankan penempatan nama Ahlussunnah, padahal mereka
sendiri penentang sunah itu. Dan bila Syi’ah sebagaimana telah disaksikan oleh
sejarah, mereka itu mengistimewakan ‘Ali dan membelanya serta mereka berdiri tegak
menentang musuhnya, memerangi orang yang memeranginya, dan damai dengan
orang yang damai dengannya dan mereka telah mengambil seluruh ilmu darinya.
Maka Ahulussunnah wal Jama’ah itu tidaklah mengikuti dan ingin membinasakannya,
dan mereka telah meneruskan sikap itu terhadap anak keturunan setelahnya dengan
pembunuhan, penjara, dan pengusiran. Mereka telah bertentangan dengannya dalam
kebanyakan hukum dengan dasar mengikuti para pendakwah ilmu pengetahuan yang
mereka itu saling berselisih sesuai dengan pendapat dan ijtihad mereka dalam perkara
hukum Allah, lalu mereka menggantikannya sesuai dengan hawa nafsu dan
kepentingan yang mereka tuju.
Dan bagaimana kita sekarang tidak heran terhadap orang-orang yang
mendakwahkan mengikuti sunah Nabi saww, dan menyetakan sendiri telah
meninggalkan sunah Nabi saww karena ia telah menjadi Syi’ah bagi Syi’ah,*1
bukanlah ini merupakan hal yang mengherankan?
Bagaimana kita tidak heran terhadap orang-orang yang mendakwahkan diri
sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah, sedang mereka merupakan kelompok yang
banyak, seperti pengikut Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hambali yang mereka itu saling
berselisih sebagian dengan lainnya dala hukum-hukum fiqih dan menganggap bahwa
perselisihan itu adalah merupakan suatu rahmat bagi mereka, sehingga dengan
demikian agama Allah SWT menjadi lampiasan hawa nafsu dan pendapat serta
sasaran selera diri mereka. Memang benarlah, bahwa mereka adalah kelompok
terbanyak yang saling berpecah-belah dalam hukum Allah SWT dan Rasul-Nya, tetapi
mereka bersatu dan bersepakat dalam mengesakan kekhalifahan Saqifah yang
durhaka dan bersepakat dalam meninggalkan dan menjauhkan keluarga Nabi saww,
yang Suci.
Bagaimana kita tidak heran terhadap mereka itu yang membanggakan diri
sebagai Ahlussunnah, padahal mereka telah meninggalkan yang berharga yakni
Kitabullah dan keluarga Rasul betapapun mereka sendiri telah meriwayatkan hadis
tersebut dan menshahihkannya...? Sesungguhnya mereka itu tidak berpegang baik
pada Al-Qur’an maupun pada keluarga Rasul, sebab dengan meninggalkan keluarga
Rasul yang suci itu berarti mereka telah meninggalkan Al-Qur’an, karena hadis yang
mulia menetapkannya bahwa Al-Qur’an dan keluarga Rasul itu tidak pernah berpisah
selama-lamanya, sebagaimana Rasulullah telah menyatakan hal itu dengan sabdanya:
--------------------------------------
*1. Sesuai pernyataan Ibnu Taimiyah untuk meninggalkan sunah Nabi saww bila itu
telah menjadi syi’ar bagi Syi’ah, lihat Minhaj as-Sunnah oleh Ibnu Taimiyah,II, hal.
143, dan Syarh al-Mawahib oleh Zargani,V, hal.13.
“Tuhan Yang Maha Halus lagi Maha Sadar telah memberitahukan padaku
bahwa keduanya yakni Aal-Qur’an dan keluarga Rasul tidak akan pernah
berpisah sehingga menemui aku di telaga surga.”1
Dan bagaimana kita tidak heran kepada kaum yang mendakwahkan diri
sebagai Ahlussunnah padahal mereka bersikap menentang terhadap apa yang telah
ditetapkan dalam kitab shahih mereka dari hal perbuatan Nabi saww dan perintahnya
serta larangannya.2
Adapun bila kita meyakini dan membenarkan hadis, “aku tinggalkan pada
kalian Kitabullah dan sunahku, selama kalian berpegang pada keduanya niscaya
kalian tidak akan sesat selama-lamanya.” Sebagaimana yang telah ditetapkan bagi
sebagian Ahlussunnah sekarang ini, maka keheranan itu akan menjadi lebih besar dan
kecelakaan itu akan lebih jelas. Karena justru para tokoh mereka dan imam mereka
itulah orang-orang yang telah membakar sunah yang telah ditinggalkan Rasulullah
saww di kalangan mereka, dan telah mencegah periwayatannya dan penulisannya
sebagaimana yang telah kita ketahui dalam pembahasan terdahulu.
Umar bin khatab sendiri dengan terang-terangan telah menyatakan ucapan,
“Cukup bagi kami Kitabullah,” itu adalah merupakan penolakan yang nyata terhadap
Rasulullah saww, sedangkan orang yang menolak Rasulullah berarti menolak Allah
SWT sebagaimana hal itu tak bisa disembunyikan lagi. Ucapan Umar bin Khathab
tersebut telah diriwayatkan oleh seluruh hadis-hadis shahih Ahlussunnah termasuk di
dalamnya Bukhari dan Muslim. Apabila Nabi saww telah bersabda, “Aku telah
tinggalkan pada kalian Kitabullah dan sunahku, dan kami tidak membutuhkan
sunahmu, dan bila Umar telah berkata dihadapan Nabi saww, “Cukup bagi kami
Kitabullah, maka sesungguhnya Abu Bakar telah menguatkan untuk mewujudkan
pandangan temannya itu lalu ia menyatakan setelah menjadi Khalifah:
Janganlah kalian meriwayatkan suatu hadis dari Rasulullah saww, maka jika
seseorang bertanya pada kalian, katakanlah di antara mereka kita dan kalian
ada Kitabullah, maka halalkanlah apa yang telah dihalalkannya dan
haramkanlah apa yang telah diharamkan .*1
Bagaimana kita tidak heran terhadap kaum yang telah meninggalkan sunah
Nabi saww mereka dan membelakanginya lalu mereka menggantikan kedudukannya
dengan suatu bid’ah yang mereka perbuat yang mana tidak diizinkan oleh Allah SWT,
kemudian mereka menamakan diri dan pengikutnya dengan Ahlussunnah wal
Jama’ah...? Tetapi keheranan tersebut akan musnah ketika kita katahui bahwa Abu
Bakar, Umar, dan Utsman sebenarnya tidak mengenal pemberian nama tersebut
selama-lamanya. Inilah Abu Bakar yang telah menyatakan:
Jika kalian membebani aku dengan sunah Nabi saww, niscaya aku tidak akan
mampu.*2
Bagaimana mungkin Abu Bakar tidak mampu menjalankan sunah Nabi saww?
Apakah sunah beliau itu suatu perkara yang mustahil dilaksanakan.
-----------------------------------
1. Imam Ahmad dalam Musnad-nya, V, hal. 189, dan al-Hakim dalam Mustadark, III,
hal. 148 dan ia menyatakan shahih menurut syarat Bukhari Muslim.
2. Diriwayatkan Bukhari dalam Shahih-nya bahwa Nabi saww melarang shalat tarawih
dalam bulan Ramadhan secara jama’ah dengan sabdanya, “Shalatlah wahai manusia
di rumah-rumah kalian, sesungguhnya seutama-seutama shalat seseorang adalah di
rumahnya selain shalat fardu.” Tetapi Ahlussunnah mengabaikan larangan Nabi saww
dan mereka mengikuti bid’ah Umar bin Khathab.
*1. Tadzkirat al-Huffadz oleh Dzahabi, I, hal. 3.
*2. Lihat Musnad Ahmad bin Hanbal, I, hal. 4
Sehingga Abu bakar tidak mampu? Bagaimana Ahlussunnah bisa mendakwahkan diri
berpegang padanya jika tokoh mereka yang pertama dan pembina mazhab mereka itu
tidak mampu melaksanakan sunah? Bukankah Allah SWT menyatakan, “Pada diri
Rasulullah suatu tauladan yang baik bagi kalian .” (QS. al-Ahzab:21) dan firman-Nya,
“Allah tidak membebani seseorang kecuali semampunya.” (QS. at-Thalaq:7) Dan juga
firman-Nya, “Dan tidak menjadikan suatu kesulitan bagi kalian dalam agama.” (QS. al-
Haj :78)
Apaakah Abu Bakar dan temannya Umar menganggap bahwa Rasulullah telah
menciptakan suatu agama yang bukan diturunkan oleh Allah SWT, lalu beliau
memerintah kaum Muslim ini dengan sesuatu yang tak terangkat dan membebani
mereka dengan kesuliatan? Hal itu tidak mungkin, bahkan yang sering beliau katakan
yakni, “Gembirakanlah dan jangan jadikan mereka lari, mudahkanlah dan jangan
kalian mempersulit, sesungguhnya Allah SWT telah memberi kalian keringanan maka
jangan kalian memberatkan diri kalian sendiri.” Tetapi pengakuan Abu Bakar bahwa ia
tidak mampu melaksanakan sunah Nabi saww itu adalah menguatkan apa yang
menjadi pendapat kami bahwa ia telah melakukan suatu bid’ah yang mampu ia
laksanakan sesuai dengan keinginannya dan sejalan dengan politik yang ia kuasai.
Dan mungkin Umar bin Khathab berpandangan yang lain, bahwa hukum-hukum Al-
Qur’an dan sunah itu tak mampu dilaksanakan, lalu ia sengaja meninggalkan shalat
ketika ia junub sedangkan air tidak didapatinya dan ia berfatwa demikian di saat
kekhalifahannya, sedang orang khusus dan yang umum telah mengetahui hal itu dan
seluruh ahli hadis telah meriwayatkan itu darinya.
Hal itu dikarenakan Umar adalah orang yang gemar banyak bersetubuh dan
dialah yang disinggung oleh firman Allah SWT, “Allah mengetahui bahwa kalian
mengkhianati diri kalian lalu Dia mengampuni kalian.” (Qs. al-Baqarah: 187) Ini
lantaran ia tidak mampu menahan diri dari bersetubuh di waktu puasa, dan
dikarenakan air sangat sedikit maka Umar berpendapat bahwa yang paling mudah
ialah meningalkan shalat dan bersantai-santai sampai ia mendapatkan air yang
mencukupi untuk mandi, ketika itu baru ia kembali mengerjakan shalat.
Adapun Utsman maka ia benar-benar telah mengabaikan sunah Nabi saww
sebagaimana yang telah dikenal, sehingga ‘Aisyah mengeluarkan baju Nabi saww dan
berkata, “Sungguh Utsman telah menghancurkan sunah Nabi saww sebelum baju
beliau sendiri menjadi rusak.” Sehingga ia dicela oleh para sahabat bahwa ia telah
menentang sunah Nabi saww, dan sunah Abu Bakar, Umar dan mereka pun
membunuhnya lantaran itu.
Mengenai Muawiyah, terserah apa yang Anda katakan, tidak mengapa,
sesungguhnya ia telah meninggalkan Al-Qur’an dan sunah adalah dariku dan aku
darinya, siapa yang mencaci ‘Ali sungguh telah mencaciku dan siapa yang mencaciku
sungguh ia telah mencaci Allah SWT,” Kita dapati Muawiyah telah mengarahkan cacian
dan kutukan padanya ia belum merasa cukup dengan itu sehingga ia memerintahkan
seluruh wali-walinya dan para pegawainya untuk mencaci dan mengutuknya, siapa
yang menolak di antara mereka maka ia disingkirkan dan dibunuh.
Dan kita telah mengetahui bahwa Muawiyah itu adalah orang yang telah
menamakan dirinya dan pengikutnya sebagai Ahlussunnah wal jama’ah dalam rangka
menentang penamaan Syi’ah sebagai pengikut kebenaran. Dan sebagian ahli sejarah
meriwayatkan bahwa tahun dimana Muawiyah memegang penuh kekuasaan umat
Islam, setelah mengadakan perjanjian dengan al-Hasan bin ‘Ali Thalib bin Abi Thalib,
maka tahun itu dinamakan tahun jama’ah. Dan keheranan pun akan hilang ketika kita
memahami bahwa kata-kata sunah itu tidak dimaksudkan oleh Muawiyah dan
pengikutnya kecuali hanyalah pengutukan ‘Ali bin Abi Thalib dari atas mimbar-mimbar
Islam pada setiap hari Jumat dan hari Raya.
Apabila Ahlussunnah wal Jama’ah itu merupakan rekayasa Muawiyah bin Abi
Sofyan maka kita memohon pada Allah SWT agar mematikan kita di dalam bid’ah
rafidhi yang telah dibina oleh ‘Ali bin Abi Thalib dan Ahlulbait (salam atas mereka).
Anda tidak usah kaget wahai pembaca yang mulia, bila Ahlul bid’ah dan kesesatan itu
menjadi Ahlussunnah wal Jama’ah sedang imam-imam yang suci dari Ahlulbait itu
menjadi Ahli bid’ah.
Inilah al-Allamah Ibnu Khaldun yang termasuk ulama termasyhur dari
Ahlussunnah wal Jama’ah, ia menyatakannya dengan tegas setelah ia memerinci
mazhab-mazhab jumhur ia mengatakan, “Ahlulbait itu menjadi terasing karena aliran
faham yang mereka adakan dan fiqih yang berlainan dan mereka telah membina
mazhab mereka atas dasar pencacian sebagian sahabat.”1
Wahai pembaca, bukankah saya telah katakan dari semula, seandainya Anda
berbuat sebaliknya niscaya Anda benar/tepat. Maka jika orang-orang fasik dari
kalangan Bani Umayah mereka itu adalah Ahlussunnah dan Ahlulbait itu adalah Ahli
bid’ah seperti yang dikatakan Ibnu Khaldun, maka buat Islam ucapan selamat jalan
dan buat dunia ucapan selamat datang.
---------------------------------------
1. 1. Muqaddaimah Ibnu Khaldun, hal. 494 dalam fasal Ilmu Fiqih.
Yang menunjukkan kita bahwa para Imam Mazhab yang empat dari
Ahlussunnah mereka juga telah menyimpang dari Kitabullah dan sunah Nabi saww
yang mewajibkan atas mereka untuk mengikuti keuarga Nabi saww yang suci ialah kita
tidak mendapati satu orang dari mereka yang memuliakan dan menumpang pada
perahu Ahlulbait dan mengenal imam zamannya. Inilah Abu Hanifah yang pernah
belajar pada Imam Shadiq yang telah termasyhur dengan ucapannya, “Seandainya
tidak karena dua tahun (yakni belajar pada Imam Shadiq) niscaya binasalah Nu’man
(Abu Hanifah).” Kita dapati dia telah menciptakan satu mazhab yang berdiri atas qias
dan beramal dengan dasar pendapat yang berlawanan dengan nas-nas yang jelas.
Dan inilah Malik yang pernah belajar dari Imam Shadiq, dan ucapannya telah
diriwayatkan yakni, “Tidak ada mata yang dapat melihat dan tidak ada telinga yang
dapat mendengar serta pikiran yang melintas akan adanya orang yang lebih pandai
dan lebih berilmu selain dari Ja’far ash-Shadiq.” Kita dapati ia telah menciptakan satu
mazhab dalam Islam dan ia meninggalkan Imam zamannya yang ia sendiri telah
menyatakan bahwa dia lebih berilmu dan lebih pandai dimasanya. Dan ia telah tergoda
oleh para penguasa zhalim Abasiyah dan mereka menamakan dirinya sebagai Imam
Darul Hijrah (Imam Madinah). Maka selain itu Malik menjadi orang yang memiliki
kebesaran dan kekuasaan serta pengaruh dan penghormatan.
Dan juga inilah Syafi’i yang disangkakan bahwa dia mengikuti Ahlulbait, maka
ia telah mengatakan tentang hak mereka dalam bait-bait syairnya yang termasyhur :
Hai Ahlulbait Rasulullah,
mencintai kalian adalah fardu dari Allah,
tersebut dalam Al-Qur’an yang telah diturunkan.
Cukuplah merupakan keagungan karunia bagi kalian,
bahwa orang yang tidak berselawat atas kalian,
tidaklah akan diterima shalatnya.
Sebagaimana pujiannya terhadap Ahlulbait as yang termasuk dalam bait
berikut ini :
Tatkala aku melihat manusia binasa dengan mazhabnya
dalam lautan kedurakaan dan kejahilan, maka atas nama Allah, aku
menumpang bahtera keselamatan, yakni Ahlulbait al-Musthafa, Pengulu para
Rasul. Dan aku pegang erat tali Allah, yaitu mencintai mereka, sebagaimana
telah diperintahkan berpegang pada tali itu.
Dan ucapannya yang termasyhur yakni. “Jika Rafidhi itu adalah mencintai
keluarga Nabi Muhammad saww, maka saksikanlah wahai jin dan manusia bahwa aku
ini adalah Rafidhi.
Jika jin dan manusia menyaksikan bahwa dia Rafidhi, mengapa dia tidak
menolak mazhab-mazhab yang berdiri menentang Ahlulbait, bahkan dia sendiri telah
mengadakan mazhab lain yang menyangkut namanya dan dia meninggalkan para
imam Ahlulbait yang sezamannya...?
Dan inilah Ahmad bin Hanbal yang telah memasukkan ‘Ali ke dalam empat
Khalifah dan yang telah menggolongkan dalam kelompok Rasyidin setelah dulunya
diingkari dan yang telah menulis tentangnya kitab Fadhail dan yang telah termasyhur
ucapannya, “Tidak seorang dari para sahabat yang memiliki keutamaan dengan sanad
yang shahih seperti Imam ‘Ali as.” Tapi dia sendiri telah menciptakan satu mazhab di
dalam Islam yang namanya mazhab Hambali, tetapa pun para ulama dimasanya
menyatakan bahwa dia bukan orang yang faqih. Syekh Abu Zuhrah telah menyatakan,
“Sesungguhnya kebanyakan orang-orang yang terkemuka tidaklah menganggap
Ahmad bin Hanbal termasuk golongan fuqaha, seperti Ibnu Qutaibah padahal dia
adalah orang yang sangat terdekat zamannya dan juga Ibnu Jari at-Thabari dan yang
lainnya.”2[1]
Kemudian datanglah Ibnu Taimiyah, dan ia mengangkat bendera mazhab
Hambali dan ia memasukkan di dalamnya beberapa pandangan baru yang
mengharamkan ziarah kubur dan mendirikan bangunan di atasnya, dan bertawassul
dengan Nabi saww dan Ahlulbaitnya, menurutnya semuanya itu adalah syirik.
Demikian itulah keempat mazhab beserta para Imam mereka dan ucapan-ucapan
yang disandarkan pada mereka tentang hak keluarga suci dari Ahlulbait Nabi saww.
Adapun tentang apakah mereka telah mengatakan perkara yang mereka tidak
laksanakan, dan itu adalah merupakan kemurkaan yang besar di sisi Allah, atau
mereka sebenarnya tidak mengadakan mazhab-mazhab tersebut tapi para
pengikutnya yang dari para pengekor Umawiyah dan Abasiyah adalah yang telah
membina mazhab-mazhab itu dengan bantuan para penguasa zalim, kemudian
mereka menyandarkannya kepada dirinya setelah wafat mereka. Inilah yang insya
Allah akan kita ketahui dalam pembahasan mendatang.
Aapakah kalian tidak heran terhadap mereka para imam itu yang hidup
sezaman dengan para Imam al-Huda dari Ahlulbait, kemudian mereka menyimpang
dari jalannya yang lurus dan tidak mengambil pelita dari cahayanya serta tidak
mengemukakan hadis yang berasal dari datuknya Rasulullah saww, bahkan mereka
mengutamakan Ka’ab seorang pendeta Yahudi dan Abu Hurairah ad-Dausi yang
pribadinya telah dikatakan oleh Amirul Mukminin Imam ‘Ali as, dengan pernyataannya,
“Sesungguhnya orang yang paling dusta pada Rasulullah adalah Abu Hurairah ad-
Dausi.” Sebagaimana hal itu telah dikatakan pula oleh ‘Aisyah binti Abu Bakar.
Dan mereka lebih mengutamakan Abdullah bin Umar orang Nashibi yang
terkenal kebenciannya ia membaiat pemimpin kesesatan al-Hajjaj bin Yusuf. Dan
mereka mengutamakan Amr bin Ash mentrinya Muawiyah dalam kedurhakaan dan
kemunafikan. Apakah Anda tidak heran, bagaimana mereka para imam itu dapat
melapangkan diri mereka hak dalam penentuan syariat agama Allah dengan dasar
2[1]
Kitab Ahmad bin Hambal.
pendapat dan ijtihad mereka sendiri, sehingga mereka merusak sunah Nabi saww
dengan apa yang mereka diada-adakan dengan qias dan kebijaksanaan serta
penutupan pintu syafa’at dan kemaslahatan yang meluas dan yang lainnya yang
merupakan bid’ah mereka yang tidak ada wewenang dari Allah SWT.
Adakah Allah dan Rasul-Nya telah melangkahkan dari penyempurnaan agama
dan membolehkan bagi mereka untuk menyempurnakannya dengan ijtihad mereka
sehingga mereka boleh menghalalkan dan mengharamkan sebagaimana yang mereka
lakukan...? Apakah Anda tidak heran terhadap sebagian kaum Muslim yang
mendakwahkan berpegang pada sunah, bagaimana mereka bertaqlid pada orang-
orang yang tidak menganal Nabi saww dan tidak pula dikenalnya...?
Adakah mereka mempunyai dalil dari Kitabullah atau sunah Rasul-Nya untuk
mengikuti dan bertaqlid pada ke empat Imam pemilik mazhab-mazhab itu? Saya berani
menentang pada bangsa manusia dan jin untuk mendatangkan satu dalil/bukti atas hal
itu dari Kitabullah atau sunah Rasul-Nya. Demi Allah SWT, sekali-kali mereka tidak
akan bisa menunjukkannya walaupun sebagian mereka saling bantu -membantu. Demi
Allah, tidak ada satu dalil pun dalam Kitabullah dan sunah Rasul-Nya selain hanyalah
untuk mengikuti dan bertaqlid pada para imam suci dari keluarga Nabi saww. Adapun
tentang Ahlulbait banyak dalil dan hujjah yang terang serta kebenaran yang nyata.
Maka perhatikanlah wahai orang yang memiliki pandangan. (Qs. al-Hasr:2)
Sesungguhnya ia tidak buta pengelihatan tetapi buta hati yang ada dalam
dada. (QS. al-Haj:46).
Orang yang meneliti kitab-kitab sejarah dan apa yang dicatat oleh para
penghulu, niscaya akan mendapatkan sesuatu yang tidak dapat diragukan bahwa
terbesarnya mazhab-mazhab yang empat di masa itu adalah karena kehendak
penguasa yang memerintah dan pengarahannya, oleh karena itu mendapat pengikut
yang banyak, sebab manusia umumnya mengikut agama penguasa. Sebagaimana
yang didapati oleh peneliti bahwa di sana puluhan mazhab yang telah punah dan
musnah, karena penguasa tidak berkenan padanya, seperti mazhab Auza’i, mazhab
Hasan Bashri, Abu Uyainah, Ibnu Abi Dzuaib, Ssufyan as-Sauri, Ibnu Abi Daud, dan
Laits bin Sa’ad serta lain-lainnya banyak sekali.
Sebagai misalnya, bahwa Laits bin Sa’ad adalah teman akrabnya Malik bin
Anas dan dia lebih berilmu dan lebih faqih darinya sebagaimana yang telah diakui oleh
Syafi’i.*1 Tetapi mazhabnya telah punah dan fiqihnya musnah dan lenyap karena
penguasa tidak berkenan padanya. Dan Ahmad bin Hambal telah menyatakan, “Ibnu
Abi Dzuaib adalah lebih utama dari Malik bin Anas, hanya saja Malik orang yang ketat
pemilihannya tentang rijal.
Bila kita kembali memerinytah sejarah, maka kita dapayi Malik pemilik mazhab
tersebut telah mendekat pada kekuasaan dan pemerintah dan ia menerima mereka
serta berjalan dalam program mereka maka dengan demikian ia menjadi tokoh yang
disegani dan ulama yang mashur, dan berkembanglah mazhabnya dengan jalan
paksaan dan rayuan khususnya di Andalus yang mana muridnya Yahya bin Yahya
telah bekerja di dalam perwalian penguasa Andalus, sehingga ia menjadi orang
terdekat dan ia diberi oleh penguasa pertanggungan jawab dalam penentukan para
hakim, dan tidak ada yang menguasai pengadilan selain kawan-kawannya dari
kelompok Malikiyah.
Demikian pula kita dapati sebab-sebab tersebarnya mazhab Abu Hanifah
setelah wafatnya, yakni bahwa Abu Yusuf dan Syaibani yang keduanya itu adalah
pengikut Abu Hanifah dan orang yang paling setia padanya, keduanya di waktu itu
termasuk orang yang paling dekat dengan Harun Rasyid, Khalifah Abasiyah. Keduanya
itu mempunyai peranan besar dalam pengukuhan kekuasaan penentang dan
pembelaannya, sehingga Harun tidak mengizinkan seseorang untuk menguasai
pengadilan dan fatwa kecuali setelah mendapat kesepakatan keduanya.
Maka kedua orang itu tidak mau mengangkat seorang Qadhi kecuali orang
yang mengikuti mazhab Hanafi, dengan demikian Abu Hanifah menjadilah ulama
terbesar dan mazhabnya menjadi mazhab termasyhur yang fiqihnya diikuti, betapa pun
para ulama di masanya telah mengkafirkannya dan menganggap dirirnya sebagai
orang zindiq, termasuk mereka yang mengkafirkan ialah Imam Ahmad bin Hanbal dan
Abu al-Hasan al-Asy’ari. Begitu juga mazhab Syafi’i telah terbesar dan menjadi kuat
setelah hampir musnah, yang demikian itu setelah dikuatkan oleh penguasa yang
zalim, dan setelah seluruh Mesir tadinya mengikuti Syi’ah di masa Shalahuddin al-
Ayubi yang telah membunuh orang-orang Syi’ah dan menyembelih mereka seperti
menyembelih kambing.
Begitu juga mazhab Hambali, ia tidak akan dikenal jikalau tidak karena
didukung oleh kekuasaan Abasiyah di masa al-Mu’tashim ketika Ibnu Hanbal mau
menarik kembali pendapatnya bahwa Al-Qur’an itu adalah mahluk dan bintangnya
menjadi cemerlang di masa al-Mutawakkil si Nashibi (pembenci Ahlulbait). Dan ia
menjadi kuat dan meluas ketika penguasa penindas memberi bantuan kepada Syekh
Muhammad bin Abdul Wahab di abad yang lalu, dan yang terakhir ini bekerjasama
dengan keluarga Saud dan mereka menguatkannya mazhabnya di Hijaz dan jazirah
Arab.
-------------------------------------------
1. Lihat Manaqib Syaafi’i, hal. 524.
Dan menjadikan mazhab Hambali itu merujuk pada tiga Imam, yang pertama
Ahmad bin Hanbal yang dia sendiri tidak pernah mengaku sebagai seorang ahli fiqih,
ia hanyalah seorang ahli hadis, kemudian Ibnu Taimiyah yang digelari sebagai Syekh
Islam dan Pembaru sunah yang telah dikafirkan oleh pada ulama sezamannya karena
ia telah menghukumkan seluruh kaum Muslimin dengan syirik kerena mereka
bertabarruq dan bertawassul pada Nabi saww, selanjutnya di abad yang lalu datanglah
Muhammad bin Abdul Wahhab yang merupakan boneka ciptaan penindas/penjajah
Inggris di Timur Tengah. Maka yang terakhir ini telah melakukan pembaharuan mazhab
Hambali dengan dasar pengambilan dari fatwa Ibnu Taimiyah, sehingga Ahmad bin
Hambal hanyalah tersebut dalam riwayat, karena mazhab mereka sekarang ini
dinamakan mazhab Wahabi.
Tidak dapat diragukan lagi bahwa tersebarnya mazhab-mazhab itu dan
termasyhurnya serta meningginya kedudukannya adalah karena bantuan dan
pengorbitan para penguasa. Dan juga tidak diragukan lagi bahwa mereka para
penguasa seluruhnya tanpa kecuali adalah memusuhi para imam dari Ahlulbait karena
mereka selamanya berperasangka bahwa para imam itu membahayakan kedudukan
mereka dan dapat menghancurkan kekuasaan mereka. Maka mereka selamanya
berusaha untuk mengucilkannya dari kalangan umat dan menghinakan kedudukannya
serta memusnahkan orang yang mengikutinya.
Maka sangatlah perlu bagi para penguasa itu untuk mengangkat sebagian
ulama yang mendekat pada mereka dan yang berfatwa sesuai dengan peraturan dan
kebenaran mereka. Yang demikian itu demi memenuhi kebutuhan manusia yang
berkelanjutan terhadap pemecahan masalah-masalah syariat. dan tatkala para
penguasa di setiap zaman tersebut tidak mengenal sedikit pun tentang syariat dan
tidak memahami fiqih, maka nama mereka dan mereka menamakan pandangan pada
manusia bahwa politik itu sesuatu yang lain dari agama.
Maka khalifah yang berkuasa itu adalah seorang politikus sedang faqih (ahli
fiqih) itu adalah tokoh agama, sebagaimana hal itu yang dilakukan sekarang ini oleh
seluruh pemerintahan diseluruh negara Islam, sehingga Anda dapat lihat pemerintah
menentukan Negara atau dengan lambang lain yang menyatakan hal itu. Lalu
membebaninya dengan penelitian tentang masalah fatwa, ibadah dan syi’ar agama.
Akan tetapi pada kenyataannya, orang itu boleh berfatwa atau menentukan
hukum kecuali yang sesuai dengan kemauan penguasa dan yang disepakati oleh
pemerintah atau setidak-tidaknya yang tidak bertentangan dengan politik penguasa
dan kebijaksanaan peraturannya. Kenyataan ini sebenarnya telah nampak dari masa
ketiga khalifah yakni Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Mereka betapapun tidak
memisahkan antara agama dan kekuasaan hanya saja mereka itu telah menguasakan
diri mereka sendiri hak membuat syariat sejalan dengan kepentingan kekhalifahan dan
jaminan pengaruhnya serta kelestariannya. Karena para khalifah yang ketiga itu telah
mengalami masa Nabi saww dan persahabatan maka mereka telah mengambil daari
beliau sebagian sunah yang tidak bertentangan dengan politik negara.
Sedang Muawiyah tidaklah masuk Islam kecuali pada tahun kesembilan Hijrah
menurut riwayat masyhur yang tershahih. Maka ia tidak menyertai Nabi saww, kecuali
hanyalah sebentar dan ia tidak mengetahui sunah sesuatu pun yang layak disebutkan.
Sehingga terpaksa ia menentukan Abu Hurairah dan Amr bin Ash serta sebagian
sahabat yang mereka itu dibebani tugas untuk mengelurkan fatwa sesuai dengan apa
yang ia inginkan. Lalu diikuti oleh Bani Umayah dan Bani Abas setelah sunah yang
baik tersebut atau bid’ah hasanah itu, maka seluruh penguasa itu selalu didampingi
oleh Qadhi yang diberi tugas dalam periodenya unutk mentukan para qadhi (hakim)
yang dipandang baik menurutnya bagi kekuasaan dan mereka mau bekerja untuk
mengukuhkan dan membantunya.
Selanjutnya, setelah itu semua, tidak ada keperluan lain kecuali hanyalah agar
Anda mengetahui kedudukan para qadhi itu yang telah mendatangkan kemurkaan
Allah demi mencari keridhaan tuan mereka dan penjamin kesenangan mereka yang
telah mengangkat mereka. Dan setelah itu agar Anda memahami rahasia pengucilan
terhadap para imam yang maksum dari Ahlulbait yang suci, sehingga sepanjang masa-
masa tersebut Anda tidak mendapatkan seorang dari mereka yang telah ditentukan
dan diangkat sebagai qadhi dan diikuti fatwanya.
Dan jika menginginkan tambahan sebagai penguat tentang bagaimana
terbesarnya mazhab sunah yang empat dengan perantara para penguasa tersebut,
maka kita dapat mengambil satu contoh dari antara penyingkapan rahasia mazhab
imam Malik yang terhitung mazhab terbesar dari yang terkenal serta paling meluas
fiqihnya. Malik menjadi terkenal khususnya dengan kitab Muawatha’ yang ia tulis
sendiri dan menurut Ahlussunnah dinyatakan bahwa ia itu adalah merupakan kitab
yang paling shahih setelah kitab Allah SWT dan ada sebagian ulama yang
mengutamakannya dan menggunggulkannya di atas shahih Bukhari.
Kemasyhuran Malik itu sampai melampaui batas sehingga dikatakan, ‘Apakah
boleh difatwakan sedangkan Malik masih ada di Madinah?” dan mereka menjulukinya
dengan Imam Darul Hijrah. Dan kita tidak lewatkan untuk menyebutkan bahwa Malik
telah berfatwah haramnya baiat secara paksa, lalu ia dipukul oleh Ja’far bin
Sulaimaaan yang menjabat wali kota Madina dengan 70 kali pukulan. Inilah yang
dijadikan hujah oleh pengikut Malik bahwa Malik memusuhi penguasa padahal itu
adalah tidak benar, sebab orang yang meriwayatkan ketetapan tersebut adalah orang
yang meriwayatkan hal berikut ini, kepada Anda saya utarakan penjelasan secara
terperinci.
Ibnu Qutaibah telah berkata, “Mereka telah meriwayatkan bahwa tatkala telah
sampai pada Abu Ja’far Manshur berita pemukulan terhadap Malik bin Anas dan apa
yang dilakukan oleh Ja’far bin Sulaiman, ia murka dengan sangat dan menentangnya
serta tidak rela, lalu ia menyingkirkan Ja’far bin Sulaiman dari Maddinah dan
memerintahkan untuk dibawa ke Baqdad untuk dihardik. Kemudian ia meminta kepada
Malik untuk menghadapkan kepadanya di Baghdad, tapi Malik tidak mau dan ia
mengirim surat kepada Abu Ja’far agar memberikan maaf padanya tentang perkara itu
dan ia mengutarakan beberapa alasan kepadanya. Maka Abu Ja’far pun mengirim
surat kepadanya yang isinya, “Berilah aku kesempatan di waktu haji tahun depan insya
Allah, karena aku akan menunaikan haji.”1
Jika Amirul Mukminin Abu Ja’far al-Manshur-khalifah Abasiyah itu telah
mengasingkan anak pamannya Ja’far bin Sulaiman bin al-Abas dari perwalian Madinah
karena memukul Malik, maka hal ini menumbuhkan suatu keraguan dan penelitian.
Sebab pemukulan Ja’far bin Sulaiman terhadap Malik itu tidak lain hanyalah untuk
menguatkan kekhalifahan anak pamannya dan mengukuhkan kekuasaan dan
pemerintahannya, maka seharusnya bagi Abu Ja’far al-Manshur menghargai walinya
itu dan memuliakannya bukan mengasingkan dan merendahkannya untuk
menghadapkannya dengan cara yang hina yakni mengikatnya dengan belenggu,
kemudian khalifah sendiri mengirim surat untuk menyampaikan alasan pada Malik agar
mau merelakan! Sungguh ini sangat aneh!
Dari itu dapat difahami bahwa wali Madinah itu yakni Ja’far bin Sulaiman telah
melakukan perbuatan orang-orang yang bodoh yang tidak mengetahui politik dan
kelicikan sedikit pun. Dan ia tidak mengetahui bahwa Malik itu adalah tiangnya khalifah
dan orang yang ditanamkan di Haramain (Mekah dan Madinah). Kalau tidak demikian
mana mungkin ia akan mengasingkan anak pamannya dari perwalian karena telah
memukul Malik yang sepantasnya mendapat hukuman itu lantaran fatwanya tentang
pengharaman baiat secara paksaan.
Inilah yang terjadi disekitar kita sekarang ini sewaktu sebagian wali-wali negeri
menjatuhkan martabat seseorang dan memenjarakannya demi mengkokohkan
pemerintahan dan keamanannya.
----------------------------------------------------------------
1. Tarikh al-Khulafa’ oleh Ibnu qutaibah, II, hal. 149.
hal itu berlaku terhadap seseorang yang membuka pintu kejatuhannya betapapun itu
dari kerabat tuan menteri atau dari kenalan istri seorang pemimpin. Maka bila terhadap
seorang wali, ia dibebaskan dari jabatannya dan dipanggil untuk suatu kepentingan
lain yang sering kali tidak diketahui oleh wali itu sendiri.
Hal inilah yang mengingatkan diri saya terhadap satu peristiwa yang pernah
terjadi di zaman penjajahan Perancis terhadap negara Tunisia. Kala itu seorang Syeikh
Thariqat Isawiyah dan jama’ahnya memukul tambur dan mengangkat tinggi suaranya
dengan pujian ditengah malam melewati sebagian jalan-jalan sehingga sampai pada
tempat perkumpulannya sebagaimana biasanya. Dan ketika mereka melewati pos
penjagaan polisi Perancis, maka seorang polisi keluar dengan marah, lalu ia
menghancurkan tambur-tambur mereka dan membubarkan jama’ah mereka lantaran
mereka tidak mentaati peraturan untuk menghormati tetangga dan ketenangan setelah
pukul sepuluh malam ke atas. Ketika penguasa kota mengetahui peristiwa tersebut
dan ia sekedudukan wali menurut kita, maka ia pun marah dengan sangat kepada
polisi itu dan memecatnya dari jabatannya serta memberi kesempatan selama tiga hari
padanya untuk meninggalkan kota Qafshah. Kemudian ia memanggil Syekh Thariqah
Isawiyah tersebut untuk mengemukakan alasan kepadanya atas nama pemerintahan
Perancis, dan ia meminta kerelaannya dengan memberi harta yang banyak untuk
membeli tabur-tabur dan peralatan baru dan ia memberikan ganti apa yang telah
dirusakkan. Dan ketika ia ditanya oleh orang-orang terdekatnya, mengapa ia
melakukan yang sedemikan itu? Ia menjawab, bahwa yang lebih baik bagi kita ialah
membiarkan binatang-binatang liar itu memukul tambur dan sibuk dengan
permainannya serta memakan kala jengiking, kalau tidak demikian niscaya mereka
akan memusatkan perhatian mereka pada kita dan akan memangsa kita karena kita
telah merampas hak milik mereka.
Kita kembali pada Imam Malik untuk kita perhatikan riwayatnya sendiri
bagaimana pertemuannya dengan khalifah Abu Ja’far al-Manshur.
Pertemuan Malik dengan
Abu Ja’far Al-Manshur
3[1]
Lihat Tarikh Khulafa’ oleh Ibnu Qutaibah, II, hal.150.