Oleh Kelompok 11 :
Alfi shofiati 193090026
Rizkaf muh.iqbal 193090027
Alhamdulillah segala puji bagi Allah yang telah memudahkan kami dalam menyelesaikan
makalah ini semoga makalah ini bisa memberikan manfaat kepada kita semua adapun isi dari
makalah ini kami mengambil referensi dari internet dan referensi yang lainnya, terima kasih juga
kepada dosen pengampu yang telah memberikan tugas ini kepada kami semoga makalah ini juga
dapat memberikan manfaat kepada kami sebagai penulis makalah ini.
SAMPUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang …………………………………………………………..….…4
B. Rumusan masalah…………………………………………….………..……..…....4
C. Tujuan….…………………………………………………………..……..….………4
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian ifta’, istifta, mufti……………….……………...………………………..5
B. Syarat dan kewajiban mufti.………………………….…………………………….8
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………..…………………...…11
B. Saran……………………………………………………………………………..….13
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pada masa awal perkembangan Islam,Rasulullah SAW.telah menghadapi berbagai persola-
persoalan baru yang menyangkut urusan-urusan keagamaan dan keduniawian,terutama
dikalangan bangsa Arab Makkah.bersamaan dengan itu,Allah menurunkan wahyu
sebagaitanda kemukjizatan Rasulullah SAW.penutup para nabi.
Makna hal terpenting dari wahyu tersebut adalah Rasulullah SAWmengeluarkan fatwa-fatwa
sebagai petunjuk,pedoman dan panduan bagi umat islam dalam memberikan
penjelasan,jawaban dan alternatif terhadap persoalan-persoalan yang mencakupi isu-isu
akidah,sosial,ekonomi,adat,budaya,politik dan lain-lain.dengan demikian,kehidupan terus
berjalandibawah ajaran(hukum-hukum) dan bimbingan Agama Allah.
Seiring dengan perkembangan zaman dan tuntutan kondisi,berbagai persoalan klise ataupun
baru,selalu muncul ditengah-tengah masyarakat.
Umat islam kerap dihadapkan pada kegamangan,setiap kali perubahan zaman terjadi.tak
heran jika selalu muncul pertanyaan,apakah perubahan itu sesuai dengan syari’at islam?
Guna menjawab kegamangan itu,umat membutuhkan sebuah fatwa dari para ulama.fatwa
ibarat setetes air disaat dahaga.fatwa dari sosok alim dianggap menjadi jawaban yang
memberikan jaminan ketenangan dan keyakinan,terutama jika ditinjau dari aspek syariatnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu ifta’, istifta, dan mufti ?
2. Bagaimana syarat dan kewajiban mufti ?
C. Tujuan
Penulisan makalah ini diharapkan dapat menambah keilmuan kita semua mengenai ifta’,
istifta, mufti dan syarat kewajiban dari mufti.
BAB II
PEMBAHASAN
Ifta’ berasal dari kata afta yang artinya memberikan penjelasan. Secara definisi memang
sangat sulit merumuskan arti ifta’ atau fatwa itu. Namun dapat dipahami bahwa ifta’ adalah
usaha memberikan penjelasan tentang hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang yang belum
mengetahuinya.
Istifta hukumnya fardhu kifayah kalau ada orang lain yang bisa memberi fatwa selain dirinya.
Adapun kalau tidak ada orang lain yang bisa memberi fatwa dan masalah yang difatwakan itu
cukup mendesak, maka ia pun berkewajiban memberi fatwa atas peristiwa itu.
Mufti ialah pemberi fatwa. Namun, mufti tidak mengeluarkan fatwanya kecuali apabila
diminta dan persoalan yang diajukan kepadanya adalah persoalan yang bisa dijawabnya sesuai
dengan pengetahuannya. Oleh sebab itu, mufti dalam menghadapi suatu persoalan hukum harus
benar-benar mengetahui secara rinci kasus yang dipertanyakan.
Orang pertama menjabat mufti (pemberi fatwa) di dalam islam ialah Rasulullah SAW. Beliau
memberi fatwa terhadap segala permasalahan yang timbul atau terjadi berdasarkan wahyu dari
Allah yang diturunkan kepadanya.
Rasul di dalam memberi fatwa berdasarkan firman Allah:
فان تنازعتم فى شىء فرد وه الى هللا والسول
Artinya: “kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada
Allah dan Rasul-Nya.” (QS. An-Nisa’: 59)
Selain itu, Rasul juga memberi kesempatan beberapa orang sahabat untuk berfatwa. Ada
sekitar 132 orang yang terdiri atas laki-laki dan perempuan yang bertindak sebagai mufti
(pemberi fatwa) pada masa sahabat. Di antara mufti-mufti yang terkenal ketika itu ialah: Mas’ud,
Aisyah ra., Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Umar.
Menurut pendapat imam atau ahmad bahwa yang menjadi mufti hanyalah yang mempunyai
lima perkara, yaitu:
a. Mempunyai niat dalam memberi fatwa, yakni mencari keridhaan Allah semata.
Karenanya janganlah memberi fatwa untuk mencari kekayaan taupun kemegahan,
atau karena takut kepada penguasa. Telah berlaku sunah Allah yang memberikan
derajat yang tinggi di mata manusia kepada orang yang ikhlas. Kepadanyalah
diberikan nur (cahaya) dan memberikan kehinaan kepada orang yang memberikan
fatwa atas dasar riya.
b. Hendaknya ia mempunyai ilmu, ketenangan, kewibawaan, dan dapat menahan
kemarahan. Ilmu sangat diperlukan dalam memberi fatwa. Orang yang memberi
fatwa tanpa ilmu berarti mencari siksaan Allah.
Mufti harus dapat menahan amarah karena sifat itulah yang menjadi hiasan bagi
ilmunya, sebagaimana mufti sangat memerlukan sifat terhormat dan ketenangan jiwa.
c. Hendaklah mufti itu seorang yang benar-benar menguasai ilmunya, bukan seorang
yang lemah ilmunya, karena apabila dia kurang pengetahuan mungkinlah tidak berani
mengemukakan kebenaran di tempat dia harus mengemukakannya dan mungkin pula
dia nekat mengemukakan pendapat di tempat yang seharusnya dia diam.
d. Hendaklah mufti itu seorang yang mempunyai kecukupan dalam bidang material
bukan seorang yang memerlukan bantuan orang untuk penegak hidupnya. Karena
dengan mempunyai kecukupan itu, dia dapat menolong ilmunya. Sedang apabila dia
memerlukan bantuan-bantuan orang lain, niscaya akan rendahlah pandangan orang
kepadanya.
e. Hendaklah mufti itu mengetahui ilmu kemasyarakatan. Apabila tidak mengetahui
keadaan masyarakat, kemungkinan mufti tersebut menimbulkan kerusakan dengan
fatwa-fatwanya.
Disamping itu, terdapat juga syarat-syarat lain yang harus dimiliki seorang mufti:
1) Fatwanya harus berdasarkan kitab-kitab induk (mu’tabarah) di kalangan para
mujtahid agar fatwa yang dikeluarkan itu dapat diterima dan dipercaya oleh
massanya.
2) Kalau ia meriwayatkan satu pendapat dari seorang mujtahid yang pernah
mengajarnya, atau pernah mendengar seorang ulama berfatwa, maka ia harus
menyebutkan sanad asal orang yang pernah didengar berfatwa itu, supaya ia tidak
membuat suatu kesalahan atau kebohongan.
3) Seorang mufti harus mengerti ilmu perbandingan madzhab dan pendapat-pendapat
madzhab agar bisa menjawab atau menyeleseikan setiap perkara fatwanya tepat pada
sasarannya, dan tidak menimbulkan kesalahan dalam penerimaan fatwanya.
4) Seorang mufti harus mengerti hukum-hukum Al-Quran dan Al-Hadist, nasikh-
mansukh, muffasal-mubayyan, umum, khas, mutlaq-muqayyad, serta semua ilmu
yang berhubungan denga itu menurut yang dibahas dalam ilmu ushulul fiqih.
5) Seorang mufti harus mengerti/mengetahui berbagai macam pendapat ulama’ agar
tidak terjadi kesalah fahaman antara ia dan penerima fatwanya.
6) Seorang mufti haruslah seorang alim yang memiliki kejujuran.
Ibnu Qayyim menambah bahwa seorang mufti haruslah seorang yang alim dan benar
serta bersifat jujur agar dalam memberikan suatu fatwa adil dan jujur pula.
A. Kesimpulan
Ifta’ berasal dari kata afta yang artinya memberikan penjelasan. Secara definisi memang
sangat sulit merumuskan arti ifta’ atau fatwa itu. Namun dapat dipahami bahwa ifta’ adalah
usaha memberikan penjelasan tentang hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang yang belum
mengetahuinya.
Disamping itu, terdapat juga syarat-syarat lain yang harus dimiliki seorang mufti:
1. Fatwanya harus berdasarkan kitab-kitab induk (mu’tabarah) di kalangan para mujtahid
agar fatwa yang dikeluarkan itu dapat diterima dan dipercaya oleh massanya.
2. Kalau ia meriwayatkan satu pendapat dari seorang mujtahid yang pernah mengajarnya,
atau pernah mendengar seorang ulama berfatwa, maka ia harus menyebutkan sanad asal
orang yang pernah didengar berfatwa itu, supaya ia tidak membuat suatu kesalahan atau
kebohongan.
3. Seorang mufti harus mengerti ilmu perbandingan madzhab dan pendapat-pendapat
madzhab agar bisa menjawab atau menyeleseikan setiap perkara fatwanya tepat pada
sasarannya, dan tidak menimbulkan kesalahan dalam penerimaan fatwanya.
4. Seorang mufti harus mengerti hukum-hukum Al-Quran dan Al-Hadist, nasikh-mansukh,
muffasal-mubayyan, umum, khas, mutlaq-muqayyad, serta semua ilmu yang
berhubungan denga itu menurut yang dibahas dalam ilmu ushulul fiqih.
5. Seorang mufti harus mengerti/mengetahui berbagai macam pendapat ulama’ agar tidak
terjadi kesalah fahaman antara ia dan penerima fatwanya.
6. Seorang mufti haruslah seorang alim yang memiliki kejujuran.
B. Saran
Sekian makalah dari kami apabila ada kesalahan dalam penulisan kami memohon maaf.
DAFTAR PUSTAKA
http://ainunnajib1994.blogspot.com/2016/02/makalah-ifta-dan-istifta.html?m=1
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://tujuan2pendidikan.blogspot.co
m/2015/06/pengertian-iftaistifta-dan-
mufti.html%3Fm%3D1&ved=2ahUKEwjczsv824bwAhVIIbcAHf6ZBAcQFnoECAsQAQ&usg
=AOvVaw2OPkRo5m_NjmG_JPJk1-iK&cshid=1618712070528
http://segudangilmu37.blogspot.com/2018/03/penjelasan-antara-fatwa-mufti-mustafti.html?m=1