Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

Ifta’, istifta, mufti disertai syarat dan kewajiban mufti

Mata kuliah : Ushul fiqih 2


Dosen Pengampu:
Dr. H. Abidin, S.Ag., M.Ag

Oleh Kelompok 11 :
Alfi shofiati 193090026
Rizkaf muh.iqbal 193090027

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALU


FAKULTAS SYARIAH
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Alhamdulillah segala puji bagi Allah yang telah memudahkan kami dalam menyelesaikan
makalah ini semoga makalah ini bisa memberikan manfaat kepada kita semua adapun isi dari
makalah ini kami mengambil referensi dari internet dan referensi yang lainnya, terima kasih juga
kepada dosen pengampu yang telah memberikan tugas ini kepada kami semoga makalah ini juga
dapat memberikan manfaat kepada kami sebagai penulis makalah ini.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.


DAFTAR ISI

SAMPUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang …………………………………………………………..….…4
B. Rumusan masalah…………………………………………….………..……..…....4
C. Tujuan….…………………………………………………………..……..….………4
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian ifta’, istifta, mufti……………….……………...………………………..5
B. Syarat dan kewajiban mufti.………………………….…………………………….8
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………..…………………...…11
B. Saran……………………………………………………………………………..….13
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Pada masa awal perkembangan Islam,Rasulullah SAW.telah menghadapi berbagai persola-
persoalan baru yang menyangkut urusan-urusan keagamaan dan keduniawian,terutama
dikalangan bangsa Arab Makkah.bersamaan dengan itu,Allah menurunkan wahyu
sebagaitanda kemukjizatan Rasulullah SAW.penutup para nabi.
Makna hal terpenting dari wahyu tersebut adalah Rasulullah SAWmengeluarkan fatwa-fatwa
sebagai petunjuk,pedoman dan panduan bagi umat islam dalam memberikan
penjelasan,jawaban dan alternatif terhadap persoalan-persoalan yang mencakupi isu-isu
akidah,sosial,ekonomi,adat,budaya,politik dan lain-lain.dengan demikian,kehidupan terus
berjalandibawah ajaran(hukum-hukum) dan bimbingan Agama Allah.
Seiring dengan perkembangan zaman dan tuntutan kondisi,berbagai persoalan klise ataupun
baru,selalu muncul ditengah-tengah masyarakat.
Umat islam kerap dihadapkan pada kegamangan,setiap kali perubahan zaman terjadi.tak
heran jika selalu muncul pertanyaan,apakah perubahan itu sesuai dengan syari’at islam?
Guna menjawab kegamangan itu,umat membutuhkan sebuah fatwa dari para ulama.fatwa
ibarat setetes air disaat dahaga.fatwa dari sosok alim dianggap menjadi jawaban yang
memberikan jaminan ketenangan dan keyakinan,terutama jika ditinjau dari aspek syariatnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu ifta’, istifta, dan mufti ?
2. Bagaimana syarat dan kewajiban mufti ?

C. Tujuan
Penulisan makalah ini diharapkan dapat menambah keilmuan kita semua mengenai ifta’,
istifta, mufti dan syarat kewajiban dari mufti.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Ifta’,Istifta’ dan Mufti

Ifta’ berasal dari kata afta yang artinya memberikan penjelasan. Secara definisi memang
sangat sulit merumuskan arti ifta’ atau fatwa itu. Namun dapat dipahami bahwa ifta’ adalah
usaha memberikan penjelasan tentang hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang yang belum
mengetahuinya.

Sedangkan ciri-cirinya adalah sebagai berikut :


a. Ia adalah usaha memberikan penjelasan.
b. Penjelasan yang diberikan itu adalah tentang hukum syara’ yang diperoleh melalui
hasil ijtihad.
c. Orang yang memberikan penjelasan itu adalah orang yang ahli dalam bidang yang
dijelaskan itu.
d. Penjelasan itu diberikan kepada orang yang bertanya yang belum mengetahui
hukumnya.

Sedangkan Istifta atau Al-Fatwa secara etimologi (bahasa) ialah:


َ ‫اَ ْل َج َواب‬
‫ع َّمايُ ْس ِك ُل مِنَ ْاْل ُم ْو ِر‬
Artinya: “menyeleseikan setiap problem”
Misalnya kalau kita berkata:
‫اِ ْستَ ْفتَيْتُ فَا َ ْفتَانِى ِب َكذَا‬
Artinya: “Aku minta fatwa kepadanya dan ia memberi fatwa begini kepadaku”.
Seperti firman Allah:
‫َويَ ْستَ ْفتُو نك فى النساءقل هللا يفتيكم فيهن‬
Artinya: “Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah Allah memberi
fatwa kepadamu tentng mereka.” (QS. An-Nisa’ : 127)
‫فاستفتهم اهم اشدّ خلقا ام من خلقنا‬
Artinya: “ maka tanyakanlah kepada mereka (musyrik mekah) apakah mereka yang lebih kukuh
kejadiannya atau apa yang telah kami ciptakan itu.” (QS. Saffat : 11)
‫افتونى فى رؤياي‬
Artinya: “terangkanlah kepadaku tentang ta’bir mimpiku itu.” (QS. Yusuf : 43)
Di dalam kitab An-Nihabah dikatakan:
‫ افتاه في المسا لة فيفتيه اذا اجابه‬: ‫يقال‬
Artinya: “misalnya menfatwakan satu masalah (artinya) ia telah memberi fatwa kalau ia telah
menjawab pertanyaan itu.”
‫انّ اربعة تفا ئوا اليه عليه السّالم اي طلبوا منه الفتوا‬
Artinya: “sesungguhnya empat orang minta fatwa kepada rasul SAW. Maksudnya minta
fatwa dari rasul.”
Dan didalam kitab Al-Misbah disebutkan:
‫ الفتوى بالواو بفتح الفاء اع ّم من افتى العالم اذا بيّن الحكم‬: )‫(وفى المصباح‬
Artinya: “kata fatwa dengan imbuhan wau dan fa yang difatahkan bermakna seorang
alim memberi fatwa kalau ia menyeleseikan masalah tentang hukum.”
Sedangkan istifta secara terminologi (istilah) adalah:
‫اْلخبارعن حكم هللا تعالى بمقتضى اْلدلة الشرعية على جهة العموم والشمول‬
Artinya: “ fatwa ialah menyampaikan hukum-hukum Allah berdasarkan dalil-dalil syariah yang
mencakup segala persoalan.”
Adapun hal-hal yang berkaitan dengan masalah fatwa, ibnu al-Qoyyim berpendapat :
a. Seseorang tidak boleh memberikan fatwa dengan cara taklid karena ia dianggap
bukan orang yang berilmu, sedangkan berfatwa tanpa mempunyai ilmu dianggap
haram.
b. Apabila tidak ada orang yang mampu berijtihad dengan pendapat yang paling benar,
memberi fatwa dengan cara taklid diperbolehkan ketika sangat dibutuhkan.

Istifta hukumnya fardhu kifayah kalau ada orang lain yang bisa memberi fatwa selain dirinya.
Adapun kalau tidak ada orang lain yang bisa memberi fatwa dan masalah yang difatwakan itu
cukup mendesak, maka ia pun berkewajiban memberi fatwa atas peristiwa itu.
Mufti ialah pemberi fatwa. Namun, mufti tidak mengeluarkan fatwanya kecuali apabila
diminta dan persoalan yang diajukan kepadanya adalah persoalan yang bisa dijawabnya sesuai
dengan pengetahuannya. Oleh sebab itu, mufti dalam menghadapi suatu persoalan hukum harus
benar-benar mengetahui secara rinci kasus yang dipertanyakan.
Orang pertama menjabat mufti (pemberi fatwa) di dalam islam ialah Rasulullah SAW. Beliau
memberi fatwa terhadap segala permasalahan yang timbul atau terjadi berdasarkan wahyu dari
Allah yang diturunkan kepadanya.
Rasul di dalam memberi fatwa berdasarkan firman Allah:
‫فان تنازعتم فى شىء فرد وه الى هللا والسول‬
Artinya: “kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada
Allah dan Rasul-Nya.” (QS. An-Nisa’: 59)
Selain itu, Rasul juga memberi kesempatan beberapa orang sahabat untuk berfatwa. Ada
sekitar 132 orang yang terdiri atas laki-laki dan perempuan yang bertindak sebagai mufti
(pemberi fatwa) pada masa sahabat. Di antara mufti-mufti yang terkenal ketika itu ialah: Mas’ud,
Aisyah ra., Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Umar.

Imam Asy-Syatibi di dalam kitab Al-Muwafaqat mengatakan:


‫ ادع لى عليّا وادع لى زيدا فكان يستثير هم ث ّم يفصّل‬: ‫انّ عمركان يستثير آصحا به مع فقهه حتّى اذارفعت اليه حا د ثة قال‬
‫ما اتّفقوا عليه‬
Artinya: “sesungguhnya Umar bin Khattab selalu bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya
padahal beliau seorang faqih, sehingga apabila diajukan suatu perkara kepadanya, beliau
selalu berkata panggillah Ali dan Zaid untuk datang kepadaku, lalu Umar bermusyawarah
dengan mereka. Kemudian beliau memutuskan yang mereka sepakati.”

Imam Sya’bi berkata:


‫كانت القضيّة ترفع الى عمر ربّما تأ ّمل في ذلك شهرا ويستثير أصحا به‬
Artinya: “kalau ada kasus yang diajukan kepada Umar kadang-kadang beliau meneliti kasus itu
sebulan lamanya. Dan setelah itu beliu mengajak sahabatnya bermusyawarah.”
Setelah itu menyusul Abu Bakar r.a., Ummu Salamah, Anas bin Malik, Abu Sa’id Al-Kudri, Abu
Hurairah, Abdullah bin Amru bin Ash, Ibnu Zubair, Abu Musa Al-Asyari, Saad bin Abbi
Waqqash, Salman Al-Farisi, Mu’adz bin Jabal, Abdurrahman bin Auf dan Ubadah bin Shamit.
Ibnu Qayyim di dalam Ilamul Mu’aqqin menyatakan bahwa ulama besar dari golongan
tabi’in banyak ditempatkan di negara-negara islam, yaitu di makkah, madinah, kuffah, basrah,
yaman dan syam.
Baik sahabat, tabi’in-tabi’in, maupun ulama-ulama yang ahli ketika itu sangat berhati-hati di
dalam berfatwa kalau mereka belum meneliti lebih dahulu dalil-dalil yang difatwakan itu dari
Al-Quran maupun dari hadist.
Ada diantara mereka yang mengharamkannya, dengan berdasarkan firman Allah:
‫وْلتقولوا لما تصف السنتكم الكذ ب هذا حالل وهذا حرام لتفتروا على ّلّلا الكذ ب انّ الذ ين يفترون على ّلّلا الكذ ب ْليفلحون‬
Artinya: “dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa-apa yang disebut oleh lidahmu secara
dusta “ini halal dan ini haram” untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang mengadakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.”
(QS. An-Nahl : 116)
2. Syarat Dan Kewajiban Mufti

Menurut pendapat imam atau ahmad bahwa yang menjadi mufti hanyalah yang mempunyai
lima perkara, yaitu:
a. Mempunyai niat dalam memberi fatwa, yakni mencari keridhaan Allah semata.
Karenanya janganlah memberi fatwa untuk mencari kekayaan taupun kemegahan,
atau karena takut kepada penguasa. Telah berlaku sunah Allah yang memberikan
derajat yang tinggi di mata manusia kepada orang yang ikhlas. Kepadanyalah
diberikan nur (cahaya) dan memberikan kehinaan kepada orang yang memberikan
fatwa atas dasar riya.
b. Hendaknya ia mempunyai ilmu, ketenangan, kewibawaan, dan dapat menahan
kemarahan. Ilmu sangat diperlukan dalam memberi fatwa. Orang yang memberi
fatwa tanpa ilmu berarti mencari siksaan Allah.
Mufti harus dapat menahan amarah karena sifat itulah yang menjadi hiasan bagi
ilmunya, sebagaimana mufti sangat memerlukan sifat terhormat dan ketenangan jiwa.
c. Hendaklah mufti itu seorang yang benar-benar menguasai ilmunya, bukan seorang
yang lemah ilmunya, karena apabila dia kurang pengetahuan mungkinlah tidak berani
mengemukakan kebenaran di tempat dia harus mengemukakannya dan mungkin pula
dia nekat mengemukakan pendapat di tempat yang seharusnya dia diam.
d. Hendaklah mufti itu seorang yang mempunyai kecukupan dalam bidang material
bukan seorang yang memerlukan bantuan orang untuk penegak hidupnya. Karena
dengan mempunyai kecukupan itu, dia dapat menolong ilmunya. Sedang apabila dia
memerlukan bantuan-bantuan orang lain, niscaya akan rendahlah pandangan orang
kepadanya.
e. Hendaklah mufti itu mengetahui ilmu kemasyarakatan. Apabila tidak mengetahui
keadaan masyarakat, kemungkinan mufti tersebut menimbulkan kerusakan dengan
fatwa-fatwanya.

Disamping itu, terdapat juga syarat-syarat lain yang harus dimiliki seorang mufti:
1) Fatwanya harus berdasarkan kitab-kitab induk (mu’tabarah) di kalangan para
mujtahid agar fatwa yang dikeluarkan itu dapat diterima dan dipercaya oleh
massanya.
2) Kalau ia meriwayatkan satu pendapat dari seorang mujtahid yang pernah
mengajarnya, atau pernah mendengar seorang ulama berfatwa, maka ia harus
menyebutkan sanad asal orang yang pernah didengar berfatwa itu, supaya ia tidak
membuat suatu kesalahan atau kebohongan.
3) Seorang mufti harus mengerti ilmu perbandingan madzhab dan pendapat-pendapat
madzhab agar bisa menjawab atau menyeleseikan setiap perkara fatwanya tepat pada
sasarannya, dan tidak menimbulkan kesalahan dalam penerimaan fatwanya.
4) Seorang mufti harus mengerti hukum-hukum Al-Quran dan Al-Hadist, nasikh-
mansukh, muffasal-mubayyan, umum, khas, mutlaq-muqayyad, serta semua ilmu
yang berhubungan denga itu menurut yang dibahas dalam ilmu ushulul fiqih.
5) Seorang mufti harus mengerti/mengetahui berbagai macam pendapat ulama’ agar
tidak terjadi kesalah fahaman antara ia dan penerima fatwanya.
6) Seorang mufti haruslah seorang alim yang memiliki kejujuran.

Ibnu Qayyim menambah bahwa seorang mufti haruslah seorang yang alim dan benar
serta bersifat jujur agar dalam memberikan suatu fatwa adil dan jujur pula.

Adapun kewajiban-kewajiban mufti adalah:


a. Tidak memberikan fatwa saat keadaan sangat marah, atau sangat ketakutan, karena
sangat gundah, atau dalam keadaan pikiran bimbang karena suatu hal. Karena semua
itu menghilangkan ketelitian dan kebimbangan.
b. Hendaklah dia merasakan sangat berhajat pada pertolongan Allah dan hendaklah dia
memohon pertolongan Allah agar menunjukinya ke jalan yang benar dan
membukakan baginya jalan yang harus ditempuh. Sesudah itu barulah dia meneliti
nash-nash Al-Qur’an, nash-nash Hadist, atsar-atsar para sahabat dan pendapat-
pendapat para ulama. Dan hendaklah dia bersungguh-sungguh untuk menemukan
hukum dari pokoknya sendiri dengan bercermin kepada sikap-sikap yang telah
dilakukan para ulama dahulu.
Bila dia tidak menemukan kebenaran, hendaklah bertobat dan memohon ampun
kepada Allah. Para mufti harus berpegag pada bantuan Allah yang mengilhamkan
kebenaran karena ilmu itu adalah cahaya yang diberikan Allah kepada jiwa seseorang
hamba. Maka cahaya itu tidak diberikan kepada orang durhaka kepada-Nya. Hawa
nafsu dan kemaksiatan merupakan angin badai yang memadamkan cahaya
kebenaran.
c. Berdaya menetapkan hukum dengan yang diridhai Allah dan selalu ingat bahwa dia
harus memutuskan hukum dengan apa yang Allah turunkan, serta dilarang mengikuti
hawa nafsu.
Seorang mufti tidak boleh memberikan fatwa dengan berpegangan pada suatu
pendapat yang pernah dikatan oleh seorang fuqaha tanpa melihat kuat lemahnya
perkataan itu. Dia wajib berfatwa dengan yang lebih kuat dalilnya. Kalau tidak
demikian, berarti dia mengikuti hawa nafsu. Dan janganlah menfatwakan tipu
muslihat untuk menghindari tugas-tugas agama, baik tipu muslihat yang diharamkan
atau dimakruhkan. Dan tidak boleh para mufti berat sebelah dalam memberikan
fatwa. Janganlah dia menfatwakan hukum-hukum yang ringan kepada orang yang
diharapkan dapat memberi bantuan, seperti para penguasa. Umpamanya dalam hal
menjatuhkan talak. Janganlah dia mengatakan talak satu kalau yang menanyakan itu
seorang penguasa dan dikatakan talak tiga kalau yang menanyakan itu orang biasa.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ifta’ berasal dari kata afta yang artinya memberikan penjelasan. Secara definisi memang
sangat sulit merumuskan arti ifta’ atau fatwa itu. Namun dapat dipahami bahwa ifta’ adalah
usaha memberikan penjelasan tentang hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang yang belum
mengetahuinya.

Sedangkan ciri-cirinya adalah sebagai berikut :


a. Ia adalah usaha memberikan penjelasan.
b. Penjelasan yang diberikan itu adalah tentang hukum syara’ yang diperoleh melalui hasil
ijtihad.
c. Orang yang memberikan penjelasan itu adalah orang yang ahli dalam bidang yang
dijelaskan itu.
d. Penjelasan itu diberikan kepada orang yang bertanya yang belum mengetahui hukumnya.

Disamping itu, terdapat juga syarat-syarat lain yang harus dimiliki seorang mufti:
1. Fatwanya harus berdasarkan kitab-kitab induk (mu’tabarah) di kalangan para mujtahid
agar fatwa yang dikeluarkan itu dapat diterima dan dipercaya oleh massanya.
2. Kalau ia meriwayatkan satu pendapat dari seorang mujtahid yang pernah mengajarnya,
atau pernah mendengar seorang ulama berfatwa, maka ia harus menyebutkan sanad asal
orang yang pernah didengar berfatwa itu, supaya ia tidak membuat suatu kesalahan atau
kebohongan.
3. Seorang mufti harus mengerti ilmu perbandingan madzhab dan pendapat-pendapat
madzhab agar bisa menjawab atau menyeleseikan setiap perkara fatwanya tepat pada
sasarannya, dan tidak menimbulkan kesalahan dalam penerimaan fatwanya.
4. Seorang mufti harus mengerti hukum-hukum Al-Quran dan Al-Hadist, nasikh-mansukh,
muffasal-mubayyan, umum, khas, mutlaq-muqayyad, serta semua ilmu yang
berhubungan denga itu menurut yang dibahas dalam ilmu ushulul fiqih.
5. Seorang mufti harus mengerti/mengetahui berbagai macam pendapat ulama’ agar tidak
terjadi kesalah fahaman antara ia dan penerima fatwanya.
6. Seorang mufti haruslah seorang alim yang memiliki kejujuran.

Adapun kewajiban-kewajiban mufti adalah:


1. Tidak memberikan fatwa saat keadaan sangat marah, atau sangat ketakutan, karena
sangat gundah, atau dalam keadaan pikiran bimbang karena suatu hal. Karena semua itu
menghilangkan ketelitian dan kebimbangan.
2. Hendaklah dia merasakan sangat berhajat pada pertolongan Allah dan hendaklah dia
memohon pertolongan Allah agar menunjukinya ke jalan yang benar dan membukakan
baginya jalan yang harus ditempuh. Sesudah itu barulah dia meneliti nash-nash Al-
Qur’an, nash-nash Hadist, atsar-atsar para sahabat dan pendapat-pendapat para ulama.
Dan hendaklah dia bersungguh-sungguh untuk menemukan hukum dari pokoknya sendiri
dengan bercermin kepada sikap-sikap yang telah dilakukan para ulama dahulu.
3. Bila dia tidak menemukan kebenaran, hendaklah bertobat dan memohon ampun kepada
Allah. Para mufti harus berpegag pada bantuan Allah yang mengilhamkan kebenaran
karena ilmu itu adalah cahaya yang diberikan Allah kepada jiwa seseorang hamba. Maka
cahaya itu tidak diberikan kepada orang durhaka kepada-Nya. Hawa nafsu dan
kemaksiatan merupakan angin badai yang memadamkan cahaya kebenaran.
4. Berdaya menetapkan hukum dengan yang diridhai Allah dan selalu ingat bahwa dia harus
memutuskan hukum dengan apa yang Allah turunkan, serta dilarang mengikuti hawa
nafsu.

B. Saran
Sekian makalah dari kami apabila ada kesalahan dalam penulisan kami memohon maaf.
DAFTAR PUSTAKA

http://ainunnajib1994.blogspot.com/2016/02/makalah-ifta-dan-istifta.html?m=1
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://tujuan2pendidikan.blogspot.co
m/2015/06/pengertian-iftaistifta-dan-
mufti.html%3Fm%3D1&ved=2ahUKEwjczsv824bwAhVIIbcAHf6ZBAcQFnoECAsQAQ&usg
=AOvVaw2OPkRo5m_NjmG_JPJk1-iK&cshid=1618712070528

http://segudangilmu37.blogspot.com/2018/03/penjelasan-antara-fatwa-mufti-mustafti.html?m=1

Anda mungkin juga menyukai