Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

SUMBER SUMBER FIQIH MUTTAFAQ DAN SUMBER


MUKHTALAF FIQIH

DOSEN PEMBIMBING:
Dr. Moh Anas Kholish.M.HI. (Studi Fikih)

DISUSUN OLEH:
AHMAT LISTRIANTO MAULLANA ABDILLAH

FAKULTAS SYARIAH
JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH
UIN MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2022
KATA PENGANTAR
Segala puja dan puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan yang maha
mengetahui juga maha kuasa. Shalawat serta salam semoga senantiasa di limpahkan kepada Nabi
Muhammad SAW, yang mana telah membimbing dari jaman kebodohan menuju zaman kebenaran
yakni addinul islam. Pertama tama yang dihormati dosen pembimbing; Dr Moh Anas
Kholish.M.HI. dan tak lupa di ucapkan terimakasih kepada teman sekelompok yang telah
mendukung dan memberi ilmu baru juga informasi mengenai makalah ini.
Makalah ini merupakan tugas yang di berikan dosen kepada anak didiknya supaya bisa
mengetahui dan mempelajari mata kulia yang bersangkutan dengan beliau sehingga anak didiknya
mencari relasi relasi dari berbagai buku dan jornal. Beliau ber keinginan supaya anak didiknya
bertukar pendapat mengenai relasi yang di kumpulkan masing masing anggota kelompok, agar anak
didiknya bisa berfikir luas. Sehubungan dengan tugas tersebut penulis mendapati materi tentang
Sumber sumber fiqih yang muttafaq/otoritatif (AL Qur an, Sunnah, Ijma’, Qiyas) Dan Sumber
sumber fiqih yang mukhtalaf / non-otoritatif (Maslahah Mursalah, Urf, Istihsan, Istishab, Qoul
Shahabi, Syar’u man qoblana) sehingga makalah ini membahas tentang materi tersebut.
Penulis juga menyadari apabila manusia tidak ada yang sempurna, pasti terdapat kelebihan
dan kekuranga dalam masing masing orang, sehingga tidak mustahil jika pembuatan makalah ini
masih banyak kekurangan ataupun terdapat kelebihan dalam makalah. Makadari itu penulis
meminta maaf jika terdapat kekurangan yang ada dalam makalah ini, di harapkan segalah saran dan
keritikan dari berbagai pihak akan di terima dengan lapang dada.
Di buatnya makalah ini muda mudahan bisa bermanfaat bagi teman teman pelajar ataupun
penulis sendiri dan juga sebagai tugas dari dosen pembimbing. Hanya kepada Allah lah tempat
penulis mengadu, mengembalikan permasalahan dan memohon ampun.

Malang, September 2022


Penulis,

Ahmat listrianto M.A


DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL……………………………………………………………………… i
KATA PENGANTAR………………………………………………………………………. ii
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………… iii

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang…………………………………………………………………………
B. Rumusan Masalah……………………………………………………………………..
C. Tujuan Penulisan………………………………………………………………………

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Fiqih Muttafaq……………………………………………………………
1. Al Qur’an…………………………………………………………………….
2. Sunnah……………………………………………………………………….
3. Ijma’…………………………………………………………………………
4. Qiyas………………………………………………………………………..
B. Pengertian Fiqih
Mukhtalaf……………………………………………………………………………
1. Maslahah Mursalah………………………………………………………….
2. Urf…………………………………………………………………………
3. Istihsan ……………………………………………………………………..
4. Istishab………………………………………………………………………
5. Qaul Shahabi…………………………………………………………………
6. Syar’u man qablan……………………………………………………………..

BAB III
PENUTP
A. Kesimpulan
B. Daftar Pustaka
ABSTRAK
Islam adalah agama yang menjadi penutup bagi wahyu sebelumya, ia menjadi hakim bagi
syariat-syariat yang datang sebelumnya. Setiap syariat yang sesuai dengan Islam pada wahyu
sebelumnya akan diteruskan, dan sebaliknya yang bertentangan akan ditolak atau disesuaikan
dengan nilai-nilai dasar Islam. Sumber-sumber fiqh dibedakan menjadi dua, yakni yang disepakati
dan masih diperselisihkan. Ia menjadi bagian dari dalil hukum dalam Islam.
Permasalahan yang kemudian muncul adalah apakah syariat-syariat tersebut bisa
dilaksanakan oleh umat Islam? Atau tidak boleh dilakukan. Artikel ini akan menganalisis hukum-
hukum dalam Islam ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa apabila syariat Islam mengesahkan
dan memperbolehkan setiap sumber-sumber hukum ini, maka umat Islam boleh melaksanakannya.
Namun, jika terdapat laratangan atau syariat tersebut merupakan kekhususan umat-umat terdahulu,
maka umat Islam tidak boleh melakukannya.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Allah telah menerangkan hukum untuk setiap kejadian, sebagian dengan tegas di nashkan,
sedangkan sebagian lagi tidak di nashkan, tetapi hanya diberikan tanda yang menyampaikan ahli
ijtihad dalam menetapkan hukum.
Hukum-hukum fiqh ada yang diambil dari sumber-sumber yang asasi, qath’i subutnya dan
dalalahnya, baik dari Al-Quran maupun Sunnah Mutawatirah.
Sumber-sumber hukum Islam ada yang disepakati (muttafaq) dan ada pula yang masih
diperselisihkan (mukhtalaf) jelasnya terdapat masha dir ashliyah (sumber pokok), yaitu Kitabullah
dan sunnah rasul-Nya. Dan ada mashadir tabi’iyah (sumber yang dipautkan kepada sumber-sumber
pokok) yang disepakati oleh jumhur fuqoha yaitu : ijma’ dan qiyas. Dan ada juga yang diikhtilafi
oleh tokoh-tokoh ahli ijtihad sendiri, yaitu : Istishan, Urf, Maslahah Mursalah, Syar’u man Qablana,
Istishab, dan Qaul Shahabi.
Dari segi lahirnya hukum ke tengah-tengah masyarakat muslimin, maka yang melahirkan
ialah Rasul. Al-Quran disampaikan oleh Rasul, demikian juga Al-Hadits dan Al-Ijma’. Dari sudut
lain kita dapat mengatakan, bahwa dalil-dalil itu ada kalanya naqli, yaitu Kitab, Sunnah, dan Ijma’.
Dihubungkan dengan dalil-dalil naqli ini, uruf, syari’at ummat yang telah lalu dan qaul shahabi.
Kita di waktu berpegang kepada dalil ini tidak lagi membahas dalil-dalilnya. Dan ada kalanya aqli
yaitu : qiyas, istihsan, maslahah mursalah dan syar’u man qoblana
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dan ketertarikan penulis, maka penulis dapat
merumuskan permasalahan pokok yang akan dibahas dalam suatu karya tulis ilmiah,
sebagai berikut:
1. Apa pengertian sumber hukum Muttafaq ?
2. Apa saja yang menjadi sumber hukum Muttafaq ?
3. Apa pengertian sumber hukum yang Mukhtalaf ?
4. Apa saja yang menjadi sumber hukum Muttafaq ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan yang ingin
dicapainya dalam karya tulis ilmiah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui pengertian dari sumber hukum Muttafaq
2. Memahami macam-macam sumber hukum Muttafaq
3. Mengetahui pengertian dari sumber hukum Mukhtalaf
4. Memahami macam-macam sumber hukum Mukhtalaf
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sumber fiqih yang muttafaq


1. Al-Our'an
A. Pengertian Al Qur’an
Secara etimologis, Al-Our'an adalah bentuk mashdar dari kata ga-ra-a (‫)قرأ‬
se-wazan dengan kata fu'lan (‫)فعالن‬, artinya: bacaan; berbicara tentang apa yang
tertulis padanya, atau melihat dan menelaah. Dalam pengertian ini, kata
‫قرأن‬berarti ‫مقروء‬, yaitu isim maf'ul (objek) dari ‫قرأ‬. Hal ini sesuai dengan Firman
Allah dalam surat al-Oiyamah (75): 17-18:
Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan
(membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacanya,
maka ikutilah bacaannya itu.
Kata “Our'an” digunakan dalam arti sebagai nama kitab suci yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW. Bila dilafazkan dengan menggunakan alif-lam
berarti untuk keseluruhan apa yang dimaksud dengan Our'an, sebagaimana
firman Allah dalam surat al-Isra” (17): 9:

Al-Our'an disebut juga Al-Kitab sebagaimana tersebut dalam surat al-Bagarah


(2): 2: artinya
Kitab (Al-Our'an) itu tidak ada keraguan padanya: petunjuk bagi mereka yang
bertakwa.
Arti Al-Our'an secara terminologis ditemukan dalam beberapa rumusan definisi
sebagai berikut:
1. Menurut Syaltut, Al-Our'an adalah: “Lafaz Arabi yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW, dinukilkan kepada kita secara
mutawitir”.Sesungguhnya Al-Our'an ini memberikan petunjuk kepada
(jalan) yang lebih lurus.
2. Al-Syaukani mengartikan Al-Ouran dengan: “Kalam Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., tertulis dalam mushaf,
dinukilkan secara mutawatir”.
3. Definisi Al-Qur'an yang dikemukakan Abu Zahrah ialah: “Kitab yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad”.
4. Menurut al-Sarkhisi, Al-Our'an adalah: “Kitab yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW., ditulis dalam mushaf, diturunkan dengan huruf
yang tujuh yang masyhur dan dinukilkan secara mutawatir”.
5. Al-Amidi memberikan definisi Al-Our'an: “Al-Kitab adalah AlOur'an yang
diturunkan”.
6. Ibn Subki mendefinisikan Al-Our'an: “Lafaz yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW., mengandung mukjizat setiap suratnya, yang beribadah
saat membacanya”.
Dengan menganalisis unsur-unsur setiap definisi di atas dan membandingkan
antara satu definisi dengan lainnya, dapat ditarik suatu rumusan mengenai
definisi Al-Our'an, yaitu: “Lafaz berbahasa Arab yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW., yang dinukilkan secara mutawitir”.
Definisi ini mengandung beberapa unsur yang menjelaskan hakikat Al-Our'an,
yaitu:
1. Al-Ouran itu berbentuk Jafaz. Ini mengandung arti bahwa apa yang
disampaikan Allah melalui Jibril kepada Nabi Muhammad SAW dalam
bentuk makna dan di-lafaz-kan oleh Nabi dengan ibaratnya sendiri tidaklah
disebut Al-Our'an. Umpamanya hadis ibaratnya sendiri tidaklah disebut Al-
Our'an. Umpamanya hadis gudsi atau hadis gauli lainnya. Karenanya tidak ada
ulama yang mengharuskan berwudhu jika hendak membacanya.
2. Al-Our'an itu adalah berbahasa Arab. Ini mengandung arti bahwa Al-Our'an
yang dialihbahasakan kepada bahasa lain atau yang diibaratkan dengan bahasa
lain bukanlah Al-Our'an. Karenanya shalat yang menggunakan terjemahan Al-
Our'an, tidak sah.
3. Al-Our'an itu diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.. Ini mengandung
arti bahwa wahyu Allah yang disampaikan kepada nabi-nabi terdahulu
tidaklah disebut Al-Our'an. Tetapi apa yang dihikayatkan dalam Al-Our'an
tentang kehidupan dan -: syariat yang berlaku bagi umat terdahulu adalah Al-
Our'an.
4. Al-Ouran itu dinukilkan secara mutawitir. Ini mengandung arti bahwa ayat-
ayat yang tidak dinukilkan dalam bentuk mutawitir bukanlah Al-Our'an.
Karenanya ayat-ayat syazzah atau yang tidak mutawatir penukilannya tidak
dapat dijadikan hujah dalam istinbath hukum.

B. Al Qur’an Sebagai sumber hukum


Kedudukan Alquran sebagai Sumber Hukum, Alquran berfungsi sebagai
hakim atau wasit yang mengatur jalannya kehidupan manusia agar berjalan lurus.
Itulah sebabnya ketika umat Islam berselisih dalam segala urusan hendaknya ia
berhakim kepada Alquran. Alquran lebih lanjut memerankan fungsi sebagai
pengontrol dan pengoreksi tehadap perjalanan hidup manusia di masa lalu.
Pada setiap problem itu Alquran meletakkan sentuhannya yang mujarab
dengan dasar-dasar yang umum yang dapat dijadikan landasan untuk langkah-
langkah manusia dan yang sesuai pula dengan zaman. Dengan demikian, Alquran
selalu memperoleh kelayakannya di setiap waktu dan tempat, karena Islam
adalah agama yang abadi
Hukum-hukum dalam Alquran Hukum-hukum yang terkandung di dalam
Alquran itu ada 3 macam, yaitu:
1. hukum-hukum i’tiqadiyah, yakni, hukum-hukum yang berkaitan dengan
kewajiban para mukallaf untuk beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-
Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul Nya dan hari pembalasan.
2. hukum-hukum akhlak; yakni, tingkah laku yang berhubungan dengan
kewajiban mukallaf untuk menghiasi dirinya dengan sifat-sifat keutamaan
dan menjauhkan dirinya dan sifat-sifat yang tercela.
3. hukum-hukum amaliah; yakni, yang berkaitan dengan perkataan, perbuatan,
akad dan muamalah (interaksi) antar sesama manusia. Kategori yang ketiga
inilah yang disebut fiqh Alquran dan itulah yang hendak dicapai oleh Ilmu
ushul fiqh.50
Hukum-hukum amaliah di dalam Alquran itu terdiri atas dua macam, yakni:
1) Hukum ibadat; seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lain sebagainya.
Hukum-hukum ini diciptakan dengan tujuan untuk mengatur hubungan
hamba dengan Tuhan.
2) Hukum-hukum muamalat; seperti segala macam hokum perikatan,
transaksi-transaksi kebendaan, jinayat dan ‘uqubat (hukum pidana dan
sanksi-sanksinya). Hukum-hukum muamalah ini diciptakan dengan
tujuan untuk mengatur hubungan antar sesame manusia, baik sebagai
perseorangan maupun sebagai anggota masyarakat. Hukum-hukum selain
ibadat menurut syarak disebut dengan hukum mu’amalat.
C. Fungsi dan Tujuan Turunnya Al-Our'an
Al-Our'an diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad untuk disampaikan
kepada umat manusia bagi kemaslahatan dan kepentingan . mereka, khususnya umat
Mukminin yang percaya akan kebenarannya. Kemaslahatan itu dapat berbentuk
mendatangkan manfaat atau keberuntungan, maupun dalam bentuk melepaskan
manusia dari kemudaratan atau kecelakaan yang akan menimpanya.

Bila ditelusuri ayat-ayat yang menjelaskan fungsi turunnya Al-Our'an kepada


umat manusia, terlihat dalam beberapa bentuk ungkapan yang di antaranya adalah:
2. Sebagai hudan atau petunjuk bagi kehidupan umat. Fungsi hudan ini banyak
sekali terdapat dalam Al-Our'an, lebih dari 79 ayat, umpamanya pada surat al-
Bagarah (2): 2:
Kitab (Al-Our'an) ini tidak ada keraguan padanya: petunjuk bagi mereka
yang bertakwa.
3. Sebagai rahmat atau keberuntungan yang diberikan Allah . dalam banyak kasih
sayangnya.
Al-Our'an sebagai rahmat untuk 0 63 Bah n ng ha cp Ushul Figh Jilid 1 | umat
ini, tidak kurang dari 15 kali disebutkan dalam Al-Our'an, umpamanya pada
surat Lugman (31): 2-3:
Inilah ayat-ayat Al-Our'an yang mengandung rahmat bagi orangorang
yang berbuat kebaikan.

4. Sebagai furgan yaitu pembeda antara yang baik dengan yang buruk: yang halal
dengan yang haram, yang salah dan yang benar, yang indah dan yang jelek:
yang dapat dilakukan dan yang terlarang untuk dilakukan. Fungsi Al-Our'an
sebagai alat pemisah ini terdapat dalam 7 ayat Al-Our'an. Umpamanya pada
surat al-Bagarah (2): 185:
Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-
Our'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan penjelasan mengenai
petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak”. dan yang batil). N

5. Sebagai mau'izhah (alas ya) atau pengajaran yang akan mengajar dan
membimbing umat dalam kehidupannya untuk mendapatkan kebahagiaan dunia
dan akhirat. Fungsi mau'izhah ini terdapat setidaknya dalam ayat Al-Our'an.
Umpamanya pada surat alKraf (7): 145:
Dan telah Kami tuliskan untuk Musa pada lob-loh (Taurat) segala
sesuatu sebagai pelajaran dan penjelasan bagi segala sesuatu.
6. Sebagai busyra' Yaitu berita gembira bagi orang yang telah berbuat baik kepada
Allah dan sesama manusia. Fungsi busyra” itu terdapat dalam sekitar 8 ayat Al-
Our'an, seperti pada surat al-Nami (27): 1-2:
petunjuk dan berita gembira untuk orang-orang yang beriman.
7. Sebagai “tibyan" atau “mubin” yang berarti penjelasan atau yang menjelaskan
terhadap segala sesuatu yang disampaikan Allah
8. Sebagai mushaddig atau pembenar terhadap kitab yang datang sebelumnya,
9. Sebagai niir atau cahaya yang akan menerangi kehidupan manusia dalam
menempuh jalan menuju keselamatan.
10. Sebagai tafsil, yaitu memberikan penjelasan secara rinci sehingga dapat
dilaksanakan sesuai dengan yang dikehendaki Allah.
Sebagai Syifau al-shudiuir atau obat bagi rohani yang sakit. Al-Our'an untuk
pengobat rohani yang sakit ini adalah dengan petunjuk yang terdapat di
dalamnya, terdapat dalam 3 ayat Al-Our'an, umpamanya dalam surat al-Isra
(17): 82:
Dan Kami turunkan dari Al-Our'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat
bagi orang-orang yang beriman.
11. Sebagai hakim (yaitu sumber kebijaksanaan sebagaimana tersebut dalam surat
Lugman (31):
Inilah ayat-ayat Al-Our'an yang mengandung hikmah. Dengan menganalisis semua
fungsi Al-Our'an yang secara harfiah terdapat dalam Al-Our'an jelaslah bahwa Al-
Our'an itu diturunkan Allah dalam bentuk multifungsi. Memang terdapat pula dalam
ayat-ayat lain yang mengisyaratkan fungsi dari Al-Our'an selain yang disebutkan di
atas. Kesemuanya dapat dirangkum dalam dua hal pokok, yaitu:
1) sebagai “rahmat” yang dikaruniakan Allah kepada umat manusia. Bila
mereka menerima dan mengamalkan keseluruhan isi Al-Our'an, maka akan
mendapatkan kehidupan yang bahagia di dunia dan kesenangan hidup di
akhirat.
2) sebagai “hudan” atau petunjuk. Kata petunjuk ini mengandung arti luas. Ja
dapat berarti petunjuk bagi manusia untuk mengenal Rasul dan membuktikan
kebenaran serta sekaligus menjadi tanda atau identitas kerasulan. Juga
menjadi petunjuk akan
kebenaran Rasul, karena dalam Al-Our'an terdapat daya mukjizat yang menunjukkan
bahwa pembawa Al-Our'an itu adalah betulbetul seorang Rasul. Al-Our'an itu bukan
ciptaannya sendiri, tetapi ciptaan Allah, sedangkan Rasul hanya menyampaikan
Firman. Allah tersebut.
2. Sunah
A. Pengertian Sunah
Sunah secara etimologis adalah jalan yang biasa dilalui atau suatu cara yang
selalu dilakukan, tanpa mempermasalahkan apakah jalan atau cara tersebut
baik atau buruk.52
Sunah atau al-hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
saw. baik berupa qaul (ucapan), fi’il (perbuatan) maupun taqrir (persetujuan)
Nabi saw. Berdasarkan tiga ruang lingkup Sunah yang disandarkan kepada
Rasulullah saw.,
Sunah dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:
1) Sunah qauliyah; ialah sabda Nabi yang disampaikan dalam beraneka
tujuan dan kejadian
2) Sunah fi’liyah; ialah segala tindakan Rasulullah saw..Sebagai contoh
adalah tindakan beliau melaksanakan shalat 5 (lima) waktu sehari
semalam dengan menyempurnakan cara-cara, syarat-syarat dan rukun-
rukunnya, menjalankan ibadah haji, dan sebagainya.
3) Sunah taqririyah; ialah perkataan atau perbuatan sebagian sahabat, baik
di hadapannya maupun tidak di hadapannya, yang tidak diingkari oleh
Rasulullah saw..atau bahkan disetujui melalui pujian yang baik.
Persetujuan beliau terhadap perkataan atau perbuatan yang dilakukan
oleh sahabat itu dianggap sebagai perkataan atau perbuatan yang
dilakukan oleh beliau sendiri
B. Sunnah sebagai sumber hukum ke dua
Sunnah adalah sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Qur’an. Kedudukan
As-Sunnah adalah menafsirkan Al-Qur’an dan menjadi pedoman pelaksanaan
yang autentik terhadap Al Qur’an. Sebagaimana kita ketahui, bahwa didalam
Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang masih mujmal umum, maka ayat-ayat yang
seperti ini masih memerlukan penjelasan yang diberikan oleh Rasulullah
melalui sunnahnya. Karena secara umum fungsi sunnah adalah sebagai penjelas
atau menjelaskan ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an
1. Sunnah sebagai penguat al-Qur’an
2. Sunnah dapat memerinci, menafsirkan kata-kata yang masih global,
membatasi dan mengkhususkan hal-hal yang bersifat umum dalam Al-
Qur’an
3. Sunnah dapat menetapkan dan membentuk hukum baru yang tidak ada
dalam Al-Qur’an.
3. Ijma’
A.Pengertian Ijma‘
Secara etimologi Ijma‘ mengandung dua arti :
a) Ijma‘ dengan arti ‫ الشئ علي العزم‬atau ketetapan hati untuk melakukan sesuatu
atau keputusan berbuat sesuatu. Ijma‘ dalam artian pengambilan keputusan
itu dapat dilihat dalam firman Allah, pada surat Yunus (10): 71
Artinya: “karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah)
sekutu-sekutumu untuk membinasakan ku”
b). Ijma‘ dengan arti “sepakat”. Ijma‘ dalam arti ini dapat dilihat dalam al-Qur’an
surat Yusuf (12):15
Artinya: “maka tatkala mereka membawanya dan sepakat
memasukkannya kedalam sumur.”
Adapun pengertian Ijma‘ dalam istilah teknis hukum atau istilah syar’i
terdapat perbedaan rumusan. Perbedaan itu terletak pada segi siapa yang
melakukan kesepakatan itu.Definisi yang berbeda secara subtantial adalah apa
yang dikemukakan ulama’ Syi’ah. Mereka tidak menitik beratkan pada kata
“semua”. Tetapi cukup pada kelompok atau beberapa orang asalkan kelompok
itu mempunyai wewenang dalam menetapkan hukum. Untuk tujuan ini ulama’
Syi’ah merumuskan definisi ijma‘
C. Ijma’ Sebagai Sumber Hukum Ketiga
Ijma' merupakan sumber hukum yang ketiga setelah Al-guran dan hadis.
Akan tetapi, mazhab AlTw Zhahiriyyah menolak hal tersebut. Alasannya adalah
bahwa ijma' tidak mungkin terjadi dikalagan fugaha karena ketentuan yang ada di
dalam Al-guran dan hadis telah mencakup segala segmen kehidupan manusia.

Syarat-syarat terwujudnya ijma’ menurut Jumhur Ulama adalah sebagai


berikut
1. Bersepakatnya para mujtahid. Kesepakatan bukan mujtahid (orang awam)
tidak diakui sebagai ijma’. Demikian juga, kesepakatan ulama yang belum
mencapai martabat ijtihad fiqhy, sekalipun mereka tergolong ulama besar
dalam disiplin ilmu lain, karena mereka ini tidak mampu mengadakan
mazhar dan istidlal tentang urusan penetapan syara’
2. Bahwa semua mujtahid tersebut bersepakat, tak seorangpun yang
berpendapat lain. Jika satu orang saja yang berpendapat lain, maka ijma’
tidak tersimpul. 5 Nurhayati, 2018: 28
3. Bahwa kesepakatan itu, di antara mujtahid yang ada ketika masalah yang
diperbincangkan dikemukakan dan dibahas, tidak mesti disepakati pula oleh
mujtahid berikutnya, karena jika itu terjadi, maka ijma’ takkan terjadi sampai
kapanpun.
4. Kesepakatan mujtahid itu terjadi setelah Nabi saw. wafat. Jika dikala Nabi
saw. masih hidup, para sahabat bersepakat tentang suatu masalah hukum,
maka tidak merupakan ijma’ syar’i, melainkan merupakan pengakuan Rasul
(Sunnah taqriryah)
5. Kesepakatan itu harus masing-masing mujtahid menyampaikan pendapatnya
dengan jelas pada satu waktu, baik pernyataan pendapat itu secara orang
perorang tanpa berkumpul bersama kemudian semuanya dikumpulkan dan
ternyata sama, maupun masing-masing mereka mengeluarkan pendapatnya di
ruangan yang sama dalam suatu mu’tamar yang berakhir dengan kebulatan
pendapat dimana masing-masingnya menyatakan pemufakatan dan
persetujuan.
6. Kesepakatan mujtahid itu dalam pendapat yang sempurna dalam pleno
lengkap, ataupun masing-masing berkelompok dengan pendapat masing-
masing, maka mereka pun ber ijma’ dalam satu pendapat secara hukum
karena tidak ada pendapat ketiga. Apabila unsur ijma’ itu sudah terwujud di
dalam suatu kesepakatan mujtahid mengenai sesuatu hukum syara’ amaliyah,
seperti kewajiban, keharaman, sah dan batal, maka ijma’ sudah tersimpu

4. Qiyas
A. Pengertian Qiyas
Secara bahasa qiyas berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan
atau menyamakan sesuatu dengan yang lain. Sedangkan pengertian qiyas secara
terminologi terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqh,
sekalipun redaksinya berbeda tetapi mengandunng pengertian yang sama.
B. Rukun Qiyas
a. Rukun-Rukun Qiyas Setiap Qiyas terdiri dari empat rukun sebagai berikut :
1) Al-Ashl; yaitu sesuatu yang hukumnya terdapat dalam nash. Rukun ini biasanya
disebut maqis ‘alaih (yang dipakai sebagai ukuran).
2) Al-far’; yaitu sesuatu yamg hukumnya tidak terdapat di dalam nash dan
hukumnya disamakan kepada al-ashl, biasa disebut juga al maqis (yang diukur).
3) Hukm al-ashl; yaitu hukum syarak yang terdapat nashnya menurut al-ashl dan
dipakai sebagai hukum asal bagi al-far’.
4) Shifat atau ‘illat; yaitu keadaan tertentu yang dipakai dasar bagi hukum ashl,
kemudian al-far’ itu disamakan kepada ashl dalam hal hukumnya.129

C. Macam-Macam Qiya
Macam-macam qiyas dapat ditinjau dari beberapa segi, yaitu dari segi kejelasan,
kekuatan, penyebutan, keserasian ‘illah, dan dari segi metode penemuan ‘illah-nya.
Seperti dikemukakan Wahbah az-Zuhaili, dari segi perbandingan antara ‘illat yang
terdapat pada ashal (pokok tempat meng-qiya>s-kan) dan yang terdapat pada cabang,
qiya>s dibagi menjadi tiga macam:
1. Qiyas Awla, yaitu bahwa ‘illat yang terdapat pada far’u (cabang) lebih utama
daripada ‘illat yang terdapat pada ashal (pokok).
2. Qiyas Musawi, yaitu qiyas dimana ‘illat yang terdapat pada cabang (far’u) sama
bobotnya dengan bobot ‘illat yang terdapat pada ashal (pokok), sehingga hukumnya
juga sama pada al-ash dan al-far’u. Misalnya, ‘illat hukum haram membakar cabang
sama bobot ‘illat haramnya dengan tindakan memakan harta anak yatim yang
diharamkan dalam ayat:
ۖ ‫\ِإن َ ال َ ِذينَ يَْأ ُكلُونَ َأ ْم َوا َل ْاليَتَا َم َٰى ظُ ْل ًما ِإن َ َما يَْأ ُكلُونَ فِي بُطُونِ ِه ْم نَارًا َو َسيَصْ لَوْ نَ َس ِعي ًر‬

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masukke
dalam api yang menyala-nyala (neraka).”
3. Qiyas al-Adna, yaitu qiya>s dimana ‘illat yang terdapat pada far’u (cabang) lebih
rendah bobotnya dibandingkan dengan ‘illat yang terdapat dalam ashal (pokok).

B. Sumber FiqihYang Mukhaf


1. Maslahah Mursalah
A. Pengertian Maslahah Mursalah
Dari segi bahasa, kata al-maslahah adalah seperti lafaz al manfaat, baik artinya
maupun wazan-nya (timbangan kata), yaitu kalimat mashdar yang sama artinya dengan
kalimat ash-shalah, al-manfaat sama artinya dengan al-naf'u dan kata mursalah berarti
lepas. Al-Maslahah sebagai dalil hukum mengadung arti bahwa al maslahah menjadi
landasan dan tolok ukur dalam penetapan hukum. Dengan kata lain, hukum masalah
tertentu ditetapkan sedemikian rupa karena kemaslahatan menghendaki agar hukum
tersebut ditetapkan pada masalah tersebut.
Gabungan dari dua kata tersebut yaitu Al-maslahah al mursalah menurut
istilah, seperti dikemukakan Abdul Wahab Khalaf, berarti "sesuatu yang dianggap
maslahat namun tidak ada ketegasan hukum untuk merealisasikannya dan tidak pula
ada dalil tertentu tang mendukung maupun yang menolaknya", sehingga ia disebut Al-
maslahah al-mursalah (masalah-masalah yang lepas dari dalil khusus).
Maslahah mursalah terdiri dari dua kata yaitu maslahah dan mursalah.
maslahah adalah manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Menurut
imam al Ghazali (mazhab syafi’i) maslahah adalah mengambil manfaat dan menolak
kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’, ia memandang bahwa
suatu kemaslahatan harus sejala dengan tujuan syara’ sekalipun bertentangan dengan
tujuan-tujuan manusia. Alasanya, kemaslahatan manusia tidak selamanya dengan
tujuan-tujuan manusia. Alasanya, kemaslahatan manusia tidak selamanya didasarkan
kepada kehendak syara, tetapi sering didasarkan kepada kehendak hawa nafsu.
Sedangkan mas}lah}ah mursalah :
‫هو كل مصلحة لم ير د في الشرع نص على اعتبار ها او بنو‬
‫عها‬
Al-maslahah al-mursalah artinya mutlak (umum), menurut istilah ulama' usul
adalah kemaslahatan yang oleh syar'i tidak dibuatkan hukum untuk mewujudkannya,
Tidak ada dalil yang menunjukan dianggap atau tidaknya kemaslahatan itu. Ia
disebut mutlak (umum) karena tidak dibatasi oleh bukti dianggap atau bukti disia-
siakan. Artinya bahwa penetapan suatu hukum itu tiada lain kecuali untuk menerapkan
kemaslahatan umat manusia; yakni menarik suatu manfaat, menolak bahaya atau
menghilangkan kesulitan umat manusia

B. Syarat-syarat
Wahhab Khallaf menjelaskan beberapa persyaratan dalam memfungsikan Al-
Maslahah Al-Mursalah, yaitu:
a) Sesuatu yang dianggap maslahat itu haruslah berupa maslahat yang hakiki yaitu
benar-benar akan mendatangkan kemanfaatan atau menolak kemudharatan, bukan
berupa dugaan belaka dengan hanya mempertimbangkan adanya kemanfaatan tanpa
melihat akibat negatif yang ditimbulkannya. Misalnya yang disebut terakhir ini
adalah anggapan bahwa hak untuk menjatuhkan talak itu berada di tangan wanita
bukan lagi ditangan pria adalah maslahat palsu, karena bertentangan dengan
ketentuan syariat yang menegaskan nahwa hak untuk menjatuhkan talak berada
ditangan suami sebagaimana disebut dalam haditht ‫ فذكر‬, ‫عن ابن انّه طلق امرأته وهي حائض‬
‫ مره فليراجعها وهي ط——اهر اوحام——ل )رواه ابن ماجه‬: ‫ ذلك للنبي صلى اهللا عليه وسلم فقال‬Artinya: “Dari
Ibnu Umar sesungguhnya dia pernah menalak istrinya padahal dia sedang dalam
keadaan haid, hal itu diceritakan kepada Nabi SAW. Maka beliau bersabda: Suruh
Ibnu Umar untuk merujuknya lagi, kemudian menalaknya dalam kondisi suci atau
hamil.” (HR. Ibnu Majah)
b) Sesuatu yang dianggap maslahat itu hendaklah berupa kepentingan umum, bukan
kepentingan pribadi.
c) Sesuatu yang dianggap mas}lah}ah itu tidak bertentangan dengan ketentuan yang
ada ketegasan dalam Al-Quran atau Sunnah Rasulullah, atau bertentangan dengan
ijma

Syarat-syarat mashalih al-mursalah menurut Imam al Syathibi ada 3 yaitu :


a. Rasional. Ketika mashalihul mursalah dihadapkan dengan akal, maka akalpun bisa
menerimanya. Dengan syarat ini perkara perkara prinsip (ibadah) tidak masuk
kepada mashlahah mursalah;
b. Sejalan atau sinergi dengan maqhasid syari’ah;
c. Menjaga prinsip dasar (dharuri) untuk menghilangkan adanya kesulitan (raf’ul
haraj).14
2.Urf
A. Pengertian ‘Urf
Kata ‘Urf secara etimologi berarti sesuatu yang dianggap baik dan diterima oleh
manusia.. Sedang menurut istilah usuliyyin (ulama usul fikih), istilah ‘Urf artinya: ‫ما ألفه‬
‫" المجتمع واعت——داه وس——ار علي——ه فى حيات——ه من ق——ول أو فعل‬Sesuatau yang tidak asing lagi bagi satu
masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka
baik berupa perbuatan atau perkataan" .
Adapun ‘urf dalam prespektif Ahmad al-Zarqa’adalah: “Tradisi masyarakat yang
berupa ucapan (qaul) atau perilaku (fi’il)”. Usuliyyin membedakan antara ‘adat dengan
َ ——َ‫“ ر ْم ر ة ر ال م ْن متَ َك ر اأ َل ل َّي ة َع َ ْغي ال‬Sesuatu yang sering
‘urf, Adat diartikan: ‫ق َع—— ْق‬
terjadi tanpa adanya kaitan yang logis”. Keterangan di atas mengandung arti suatu
perilaku yang sering dikerjakan, tidak disebut dengan adat. Hal ini menunjukkan bahwa
adat lebih luas dari pada ‘urf. Adat juga bisa mencakup permasalahan individu,
contohnya tradisi memakan jenis makananyang khusus, atau persoalan yang meliputi
banyak orang, seperti hal yang berberkaitan dengan hasil pendapat yang baik dan yang
jelek. Adat bisa juga ditemukan dari hal yang alami, contohnya di daerah tropis anak
cepat menjadi baligh.

B.Macam-macam Urf
Urf terdiri dari 2 macam, yaitu :
a) Urf shahih, yaitu sesuatu yang saling dikenal oleh manusia dan tidak bertentangan
dengan dalil syara’, juga tidak menghalalkan yang haram dan juga tidak
membatalkan yang wajib, seperti saling mengerti manusia tentang kontrak
pemborongan, atau saling mengerti mereka tentang pembagian mas kawin (mahar)
kepada mahar yang di dahulukan dan yang di akhirkan.
Juga saling mengerti mereka bahwa istri tidak boleh menyerahkan dirinya
kepada suaminya kecuali apabila dia telah menerima sebagian dari maharnya. Dan
suami mengerti mereka pula bahwa sesuatu yang telah diberikan oleh pelamar
(calon suami) kepada calon istri yang berupa perhiasan atau pakaian termasuk
hadiah dan bukan sebagian dari mahar.
b) Urf Fasid, yaitu sesuatu yang saling dikenal manusia, tetapi sesuatu tersebut
bertentangan dengan syara’, atau menghalalkan yang haram dan membatalkan
yang wajib, seperti saling mengerti manusia tentang beberapa perbuatan mungkar
dalam upacara kelahiran anak dan dalam tempat kedukaan. Juga saling mengerti
mereka tentang makan riba dan kontrak judi.

Ditinjau dari bentuknya ada 2 (dua) macam :


a. Al-‘urf al-qaliyah; yaitu kebiasaan yang berupa perkataan, seperti kata lahm
(daging) dalam hal ini tidak termasuk daging ikan;
b. Al-‘urf al-fi’ly; yaitu kebiaasaan yang berupa perbuaatan, seperti perbuatan jual
beli dalam masyarakat tanpa mengucapkan akad jual-beli.140

C. Syarat syarat Urf


Adapun syarat-syarat ‘urf agar dapat diterima sebagai hukum Islam adalah
meliputi :
a. Tidak ada dalil yang khusus untuk suatau masalah baik dalam Alquran atau
Sunah.
b. Pemakian tidak mengankibatkan dikesampingkanya nas syari’at termasuk juga
tidak mengakibatkan masadat, kesulitan atau kesempitan.
c. Telah berlaku secara umum dalam arti bukan hanya dilakukan beberapa orang
saja.141
Selanjutnya berkenaan dengan status atau kualitas ‘urf di mata syarak, ada 2
(dua) macam yaitu ‘urf shahih (benar) dan ‘urf fasid (rusak).142
a. ‘urf shahih; ‘urf shahih adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang yang
tidak bertentangan dengan dalil syarak, tidak menghalalkan yang haram atau
membatalkan yang wajib. 139
Sebagai contoh adalah bentuk perdagangan dengan cara indent atau pesan
sebelumnya, model pembayaran mahar dengan cara kontan atau terhutang,
kebiasaan pemberian hadiah oleh mempelai pria kepada mempelai wanita di luar
mahar, dan lain sebagainya.
b. ‘urf fasid; adalah adat kebiasaan orang-orang yang bertentangan dengan
ketentuan syarak. Sebagai contoh ialah kebiasaan meminum minuman keras
dalam acara-acara hajatan, praktik praktik ribawi-rentenir di kalangan pedagang
lemah untuk memperoleh modal, memperoleh kekayaan dengan cara berjudi
togel, dan lain sebagainya.

3.Istihsan
A.Pengertian Istihsan
Menurut pengertian bahasa Arab, Istihsan adalah menjadikan / menganggap
sesuatu itu baik atau mengikuti sesuatu yang baik secara hissy (lahir) dan ma’nawy.
Dalam pengertian yang hampir sama, al-Sarakhsi memaknai Istihsan sebagai: ‫طلب األ‬
‫ حسان اللتب——اع ال——ذي هومأموربه‬Artinya: “Berusaha mendapatkan yang terbaik untuk diikuti
bagi sesuatu masalah yang diperhitungkan untuk dilaksanakan” Sedangkan menurut
ِ َ‫َمال ُ ْكم ِمث َو ِل ى َو اِل َخال‬
istilah diartikan: ْ ‫ف ِه ْج‬ َ ‫و ُل ُع ُد اَل فِى ِة ْ َم ْسَئ َل ِل ال َع ْن ْ ْ ب فِى اَ ْشبَا َها ى ِ ِه‬
ْ‫ ِه َ اَق‬Artinya: “Berpaling pada sesuatu masalah dari sesuatu hukum yang sama menuju
hukum lain karena ada alasan yang lebih kuat.” Jadi Istihsan adalah berpaling dari qiyas
Khafi atau dari hukum Kulli menuju yang dikecualikan karena ada dalil yang lebih
kuat.
B.Macam - Macam Istihsan
Secara sederhana dapat dikatakan, pada hakikatnya istihsan terdiri dari dua macam yaitu:
istihsan qiyasi dan istihsan istisna’i.
1. Istihsan Qiyasi Istihsan qiyasi ialah suatu bentuk pengalihan hukum dari ketentuan
hukum yang didasarkan kepada qiyas jali kepada ketentuan hukum yang didasarkan
kepada qiyas khafi, karena adanya alasan yang kuat untuk mengalihkan ketentuan
hukum tersebut. Alasan kuat yang dimaksudkan disini adalah kemaslahatan.
2. Istihsan Istisna’i Istihsan istisna’i ialah qiyas dalam bentuk pengecualian dari
ketentuan hukum yang berdasarkan prinsip-prinsip umum, kepada ketentuan hukum
tertentu yang bersifat khusus

C.Kehujjahannya
Pada hakikatnya, Istihsan bukan sumber pembentukan hukum yang tersendiri.
Karena hukum-hukum macam pertama dari dua macam tersebut dalilnya adalah qiyas
khafi yang menang atas qiyas jali lantaran faktor-faktor yang memenangkan, dengan itu
menjadi tentram hati seorang mujtahid, yaitu jalan istihsan. Sedangkan hukum-hukum
macam kedua, diantara macam dalilnya adalah al-mashlahah, yang menurut adanya
pengecualian bagian hukum kulli, yaitu yang diungkapkan sebagai jalan istihsan.
Para Ulama yang menggunakan hujjah istihsan, ialah kebanyakan Ulama
Hanafiyah. Dalil mereka atas kehujjahannya yaitu bahwasanya mengambil dalil dengan
istihsan itu hanyalah istidlal dengan qiyas khafi yang menang atas qiyas jali, atau
kemenangan qiyas atas qiyas lain yang melawaninya dengan dalil yang menuntut
kemenangan ini, atau istidlal dengan maslahah mursalah (kepentingan umum) atas
pengecualian bagian hukum kulli. Semua ini adalah istidlal yang shahih.

4. Istishab
A.Pengrtian Istishab
Dari segi etimologi, istishab berarti meminta kebersamaan (thalab al-mushahabah),
atau berlanjutnya kebersamaan (istimrar ashshuhbah). Sementara menurut istilah
bermakna menetapkan hukum dengan tetap memberlakukan hukum yang ada untuk
saat ini dan yang akan datang, sesuai dengan hukum yang berlaku pada waktu
sebelumnya, sebelum ada dalil yang mengubahnya.

B.Dalil Kehujjahan
al-Istishhab Sebagai dalil syara’, istishab memiliki landasan yang kuat, baik
dari segi syara’ maupun logika. Landasan dari segi syara’ ialah, berbagai hasil
penelitian hukum menujukkan, bahwa suatu hukum syara’ senantiasa berlaku,
selama belum ada dalil yang mengubahnya. Sebagai contoh, syara’ menetapkan
bahwa semua minuman yang memabukkan adalah haram, kecuali jika terjadi
perubahan pada sifatnya; jika sifat memabukkannya hilang, karena berubah menjadi
cuka, misalnya, maka hukumnya juga berubah dari haram menjadi halal.
Demikianlah watak haram syara’, ia tidak akan berubah kecuali jika ada dalil yang
mengubahnya
C.Macam- macam istishab
a.Istishab Istishab adam Ashli (baraah asliyah), yakni terlepas dari tanggung jawab
(terlepas dari suatu hukum) sehingga ada dalil yang menunjukkan kepadanya.
Hukum istishab ini dipandang hujjah. - Istishab atsar yang telah ditunjuki oleh akal
dan oleh syara’ sehingga ada dalil yang menentang dalil telah di pandang ada yang
ditunjuk itu, seperti sang istri tetap dihukumi halal sesudah ada akad perkawinan.
b. Istishab dalil pada hal ada kemungkinan adanya sesuatu yang menentang,
baik yang menentang itu bersifat mukhasish, ataupun bersifat nasikh. Istishab ini
diamalkan. Maka sesuatu dalil yang umum tetap di pandang umum.
Istishab hukum yang telah di ijma’ kan di tempat yang di perselisihkan. Apabila
seseorang karena tidak ada air dan memasuki waktu shalat dengan tayammum, maka
shalatnya sah dengan terdiri dari beberapa macam, yaitu :
c.ijma’ ulama. Jika dia melihat air dalam shalatnya, maka jika kita pakai istishab ini
akan menetapkan shalatnya itu sah.

5. Qaul Shahabi
A. Pengertian
Qaul As-Shahabi Secara bahasa, kata qaul (‫( ق——ول‬adalah mashdar dari qaala
yaquulu qaulan (‫ قال‬- ‫ يقول‬- ‫( قوال‬yang berarti al-kalam yaitu ucapan dan perkataan.
Dan bentuk jamaknya adalah aqwal (‫أقوال‬.( Dan qaul kadang juga diartikan dengan
Artinya: “Semua lafaz yang diucapkan oleh manusia, baik dalam bentuk sempurna
atau tidak.” Sedangkan kata sahahabi (‫( ص——حابي‬dalam bahasa Arab sebagaimana
disebutkan dalam Al-Mishbah Al-Munir, bermakna : ْ ُ‫ر ْؤيَةُ ال ُّ َسةُ ُم َجا َل ْ َوال ُم َعا َش َرة‬
‫ َوال‬Artinya: “Penglihatan, duduk bersama dan bergaul” Dan kata shahabat juga bisa
diartikan sebagai shahabat, kawan atau teman. Dan para ulama mendefinisikan siapa
saja yang dimaksud dengan shahabat Nabi SAW sebagai : َّ Artinya: “Orang yang
bertemu dengan Nabi SAW dalam keadaan mukmin dan meninggalkan dalam
keadaan mukmin.”

B. Kehujjahan
Qaul Ash-Shahabi Wujud dua pandangan yang berbeza mengenai Qaul al
sahabi. Pandangan tersebut menjadi perselisihan dalam kalangan ulama’, sama ada
untuk menerima sebagai hujah atau sebaliknya. Fatwa sahabat yang tidak ada
perselisihan dalam kalangan ulama’ tetapi ulama’ telah berselisih pendapat tentang
pengertian al Sahabi iaitu:
1. al-shahabi ialah orang yang berjumpa dengan Nabi Muhammad s.a.w. serta
beriman dan mati dalam Islam. Pendapat ini dikemukakan oleh ahli hadith,
antaranya Ibn Hajar al-Asqalani dalam bukunya yang berjudul al-Isabah fi
Tamyiz al-Sahabah dan beberapa pendapat dari ahli usul.
2. al-Sahabi ialah orang yang mempunyai hubungan persahabatan yang lama
dengan Nabi Muhammad s.a.w. serta mengikut baginda dalam jangka masa yang
boleh dikatakan Sahib fulan iaitu sahabat pada ‘urf tanpa mengehadkan masa
mengikut pendapat yang lebih sah. Pendapat ini dikemukakan oleh jumhur al-
usuliyyin. Terdapat juga pendapat yang mengehadkan masa sekurang-kurangnya
enam bulan.
Mengikut Said Ibn al-Mussayyab, bahawa seseorang itu tidak dianggap
sebagai sahabat Rasulullah s.a.w. kecuali orang-orang tersebut telah tinggal bersama
Rasulullah selama setahun atau dua tahun atau berperang bersama-sama baginda
s.a.w. dalam satu atau dua peperangan.

C. Macam-Macam Qaul Ash-Shahabi


Dr. Abdul karim Zaedan yang membaginya ke dalam beberapa macam:
1. Perkataan sahabat terhadap hal-hal yang tidak termasuk objek ijtihad. Dalam hal
ini para ulama semuanya sepakat bahwa perkataan sahabat bisa dijadikan hujjah.
Karena kemungkinan sima’ dari Nabi Saw. sangat besar. Sehingga perkataan
sahabat dalam hal ini bisa termasuk dalam kategori As-Sunnah, meskipun
perkataan ini adalah hadith mauquf. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam As-
Sarkhasi dan beliau memberikan contoh perkataan sahabat dalam hal-hal yang
tidak bisa dijadikan objek ijtiha d, seperti, perkataan Ali bahwa jumlah mahar
yang terkecil adalah sepuluh dirham, perkataan Anas bahwa paling sedikit haid
seorang wanita adalah tiga hari sedangkan paling banyak adalah sepuluh hari.
Namun contoh contoh tesebut ditolak oleh beberapa ulama As-Syafi’iyah, bahwa
hal-hal tersebut adalah permasalahan-permaslahan yang bisa dijadikan objek
ijtihad. Dan pada kenyataannya baik jumlah mahar dan haid wanita berbeda-beda
dikembalikan kepada kebiasaan masing-masing.
2. Perkataan sahabat yang disepakati oleh sahabat yang lain. Dalam hal ini
perkataan sahabat adalah hujjah karena masuk dalam kategori ijma‘.
3. Perkataan sahabat yang tersebar di antara para sahabat yang lainnya dan tidak
diketahui ada sahabat yang mengingkarinya atau menolaknya. Dalam hal inipun
bisa dijadikan hujjah, karena ini merupakan ijma‘ sukuti, bagi mereka yang
berpandapat bahwa ijma‘ sukuti bisa dijadikan hujjah.
4. Perkataan sahabat yang berasal dari pendapatnya atau ijtihadnya sendiri. Qaul
as-shahabi yang seperti inilah yang menjadi perselisihan di antara para ulama
mengenai keabsahannya sebagai hujjah dalam fiqh Islam.
Dr. Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqar menambahkan bahwa perkataan
yang berasal dari ijtihad seorang sahabat yang tidak diketahui tersebarnya pendapat
tersebut di antara para sahabat lainnya juga tidak diketahui pula ada sahabat lain
yang menentangnya dan perkataan tersebut tidak bertentangan dengan Al-Qur’an
Usul Fiqh dan As-Sunnah. Pada perkataan sahabat seperti ini para ulama berbeda
pendapat mengenai statusnya.
6. Syar’u Man Qablana
A. Pengertian
Syar’u man qablana adalah syariat yang dibawa para Rasul terdahulu,
sebelum diutus nabi Muhammad saw. yang menjadi petunjuk bagi kaumnya, seperti
syariat nabi Ibrahim AS, syariat nabi Musa AS , syariat nabi Daud AS, syariat nabi
Isa AS dan lain sebaginya. Pada syariat yang diperuntukkan oleh Allah swt. bagi
umat-umat terdahulu, mempunyai asas yang sama dengan syariat yang
diperuntukkan bagi umat Muhammad saw.

B. Macam Macam Syar’u Man Qoblanaya


Terdapat 3 (tiga) macam bentuk syar’u man qablanaya itu :
a. Syariat yang diperuntukan bagi umat yang sebelum kita, tetapi Alquran dan hadis
tidak menyinggungnya, baik membatalkannya atau mentaatkan berlaku bagi umat
Nabi Muhammad saw..
b. Syariat yang diperuntukan bagi umat-umat yang sebelum kita, kemudian
dinyatakan tidak berlaku bagi umat Nabi Muhammad saw.
c. Syariat yang diperuntukan bagi umat yang sebelum kita, kemudian Alquran dan
hadis menerangkan kepada kita.
Mengenai bentuk ketiga, yaitu syariat yang diperuntukkan bagi umat-umat
sebelum kita, kemudian diterangkan kepada kita alquran dan hadits, para ulama
berbeda pendapat. Sebagian ulama Hanafiah, sebagian ulama Mailikiyah, sebagian
ulama Syafiyiah dan sebagian ulama Hanbal berpendapat bahwa syariat itu berlalu
pula bagi umat Muhammad saw.14

C. Kehujjahan
Syar’u man Qablana Para Ulama berbeda pendapat mengenai apakah Syar’u man
qablana menjadi dalil dalam menetapkan hukum bagi umat Nabi Muhammad.
Kaidah Syar’u Man Qablan aini dimasukkan oleh Al-Ghazali ke dalam empat kaidah
yang tidak disepakati oleh para ulama Ushul.13 Pendapat tersebut dikelompokkan
menjadi :
a. Jumhur ulama Hanafiyah dan Hanabilah juga sebagian Syafi’iyah dan Malikiyah
serta ulama kalam Asy’ariyah dan Mu’tazilah berpendapat bahwa hukum-hukum
syar’u man qablana dalam bentuk yang ketiga tersebut tidak berlaku bagi umat
Nabi Muhammad saw
b. Sebagian sahabat Abu Hanifah, sebagian ulama Malikiyah, sebagian sahabat
Imam Syafi’i dan imam Ahmad dalam salah satu Riwayat mengatakan bahwa
hukum-hukum yang disebutkan dalam Al-Qur’an atau sunnah Nabi, meskipun
tidak diarahkan untuk umat Nabi Muhammad saw.
D. Hukum syar’u Man Qablana
Pembagian dan Hukum Syar’u Man Qablana Syar’u man qablana dapat
dikelompokkan menjadi tiga bagian:
1. Syariat yang telah disyariatkan kepada umat sebelum Rasulullah dan juga
ditetapkan kepada umat Rasulullah SAW. Contoh : syariat untuk
puasa,qisas,haji,dan lainya.
2. Syariat yang disyariatkan kepada umat sebelum Rasulullah dan tidak disyariatkan
lagi kepada umat Muhammad SAW. Contoh : hal ini adalah syariat yang pernah
ada di masa Nabi Musa tentang pembunuhan, yaitu “dosa orang jahat tidak akan
terhapus selain membunuh dirinya sendiri” dan tentang najis, yaitu “pakaian
yang terkena najis itu tidak suci kecuali harus dipotong bagian yang terkena najis
tersebut. Tipe syariat ini telah disepakati para ulama untuk tidak digunakan lagi
karena dalam syariat islam, telah ada ketentuan tata cara penyelesaian
pembunuhan dengan membayar diyat (denda) dan cara menyucikan barang yang
terkena najis.
3. Syariat yang terdahulu termaktub dalam al qur’an, akan tetapi tidak dinyatakan
secara jelas dalam syariat Nabi Muhammad SAW, bahwa syariat terdahulu itu
wajib diikuti umat islam atau tidak, maka para ulama berbeda pendapat, beberapa
perbedaan ulama tersebut adalah: Jumhur ulama yang terdiri dari kebanyakan
ulama hanafiyah, sebagian ulama malikiyah dan sebagian syafi’iyah, Usul Fiqh
menetapkan bahwa hukum tersebut harus dipakai, sebab hukum tersebut telah
diberikan kepada umat sekarang dengan kisahnya. Sebagian ulama yang lain
menyatakan tidak wajib diamalkan alasan yang dikemukakan adalah, apabila
hukum tersebut wajib,maka tentunya ada perintah yang jelas dicantumkan dalam
al qur’an.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sumber-sumber hukum dalam islam sangatlah penting, karena hal ini merupakan sumber
utama dalam menentukan sebuah hukum yang melandasi kehidupan seorang muslim. Perbedaan
cara pandang tentang akal menjadikan perbedaan pendapat di kalangan jumhur fuqoha dengan
kelompok mu’tazilah sehingga jelas menjadikannya berbeda dalam memandang tentang sebuah
permasalahan hukum karena berbeda dalam memandang sumber utama hukum Islam. Dari
permasalahan tersebut, menjadikan umat Islam harus mempelajari Al-Qur’an dan As-Sunnah
sebagai sumber utama hukum Islam agar tidak hanya meyakini tentang sumber utama hukum
Islam namun juga memahaminya.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, 2008 Ushul Fikih
Dr. Moh. Bahrudin, M. Ag,2019 Ilmu Ushul Fikih
Dr. H. Darmawan, SHI, MHI. 2020 Ushul Fikih
Dr. H. Sapiudin Shidiq, M. Ag, 2011 Ushul Fikih
Artikel Dan Jourjal

Anda mungkin juga menyukai