Anda di halaman 1dari 193

PEREKONOMIAN

INDONESIA

Dr. Saparuddin M
BAB PEMBANGUNAN EKONOMI DAN
1 PERTUMBUHAN EKONOMI

Saparuddin M

1.1. PEMBANGUNAN EKONOMI


Proses pembangunan pada dasarnya bukanlah sekedar fenomena ekonomi semata.
Pembangunan tidak sekedar ditunjukkan oleh prestasi pertumbuhan ekonomi yang dicapai
oleh suatu negara, namun lebih dari itu pembangunan memiliki perspektif yang luas.
Beberapa ahli ekonomi seperti Schumpeter dan Hicks, telah menarik perbedaan yang lebih
lazim antara istilah perkembangan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi. Perkembangan
ekonomi mengacu pada masalah negara terbelakang sedang pertumbuhan mengacu pada
masalah negara maju.
Perkembangan menurut Schumpeter adalah perubahan spontan dan terputus-putus
dalam keadaan stasioner yang senantiasa mengubah dan mengganti situasi keseimbangan
yang ada sebelumnya, sedang pertumbuhan adalah perubahan jangka panjang secara
perlahan dan mantap yang terjadi melalui kenaikan tabungan dan penduduk. Hicks
mengemukakan, masalah negara terbelakang menyangkut pengembangan sumber-sumber
yang tidak ada atau belum dipergunakan, kendati penggunaannya telah cukup dikenal,
sedang masalah negara maju terkait pada pertumbuhan. Kamus Ekonomi Everyman
membuat pembedaan di atas lebih eksplisit bahwa umumnya perkembangan ekonomi berarti
pertumbuhan ekonomi. Lebih khusus, istilah itu tidak dipergunakan untuk menggambarkan
tindakan kuantitatif perekonomian yang sedang berkembang (seperti laju kenaikan di dalam
pendapatan nyata per kapita) tetapi perubahan ekonomi, sosial atau perubahan lain yang
yang mengarah kepada pertumbuhan. Pertumbuhan lalu dapat diukur dan objektif, ia
menggambarkan perluasan tenaga-tenaga kerja, modal, volume perdagangan dan konsumsi.
Perkembangan ekonomi dapat dipergunakan untuk menggambarkan faktor-faktor penentu
yang mendasari pertumbuhan ekonomi, seperti perubahan dalam teknik produksi, sikap
masyarakat dan lembaga-lembaga. Perubahan tersebut dapat menghasilkan pertumbuhan
ekonomi. (Jhingan; 1994).
Dalam pembangunan ekonomi, modal memegang peranan yang penting. Menurut teori
ini, akumulasi modal ini akan menentukan cepat atau lambatnya pertumbuhan ekonomi yang
terjadi pada suatu negara. Modal tersebut diperoleh dari tabungan yang dilakukan
masyarakat. Adanya akumulasi modal yang dihasilkan dari tabungan, maka pelaku ekonomi
dapat menginvestasikannya ke sektor riil, dalam upaya untuk meningkatkan penerimaannya.
Akumulasi modal dan investasi sangat bergantung pada perilaku menabung masyarakat,
sementara disisi lain kemampuan menabung masyarakat ditentukan oleh kemampuan
menguasai dan mengeksplorasi sumberdaya yang ada. Artinya bahwa orang yang mampu
menabung pada dasarnya adalah kelompok masyarakat yang menguasai dan mengusahakan
sumber-sumber ekonomi, yaitu para pengusaha dan tuan tanah. Pekerja merupakan satu-
satunya pelaku ekonomi yang tidak memiliki kemampuan menabung karena mereka tidak
mampu menguasai dan mengusahakan sumber-sumber ekonomi yang ada. Menurut Adam
Smith, proses pertumbuhan ekonomi akan terjadi secara simultan dan memiliki hubungan
keterkaitan satu dengan yang lain. Timbulnya peningkatan kinerja pada suatu sektor akan
meningkatkan daya tarik bagi pemupukan modal, mendorong kemajuan teknologi,
meningkatkan spesialisasi, dan memperluas pasar. Hal ini akan mendorong pertumbuhan
ekonomi semakin pesat. (Kuncoro; 2000).
Menurut Smith (Abdul Hakim, 2000;64) mengatakan bahwa variabel penentu proses
produksi suatu negara dalam menghasilkan output total ada tiga, yaitu : 1) sumber daya alam
yang tersedia (masih diujudkan sebagai faktor produksi ‘tanah’), 2) sumber daya manusia
(jumlah penduduk), dan 3) stok barang kapital yang ada. Menurutnya sumber daya alam yang
tersedia merupakan bahan baku utama dari kegiatan produksi suatu perekonomian dan
jumlahnya terbatas. Proses produksi dalam rangka memenuhi kebutuhan ekonomi manusia
akan terus berjalan sepanjang sumber daya alam masih tersedia. Sumber daya manusia
dalam arti angkatan kerja, input dalam proses produksi berperan aktif dalam proses
pertumbuhan ekonomi. Jumlahnya akan terus bertambah atau berkurang sesuai dengan yang
dibutuhkan dalam proses produksi. Stok kapital juga memegang peran yang sangat penting
dalam menentukan cepat lambatnya proses pertumbuhan output. Besar kecilnya stok kapital
dalam perekonomian pada saat tertentu akan sangat menentukan kecepatan pertumbuhan
ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi didefiniskan sebagai penjelasan mengenai faktor-faktor yang
menentukan kenaikan output per kapita dalam jangka panjang, dan penjelasan mengenai
bagaimana faktor-faktor tersebut berinteraksi satu sama lain, sehingga terjadi proses
pertumbuhan. (Boediono; 1999). Pertumbuhan ekonomi adalah salah satu indikator yang
amat penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada
suatu negara. Pertumbuhan ekonomi menunjukkan sejauhmana aktivitas perekonomian akan
menghasilkan tambahan pendapatan masyarakat pada suatu periode tertentu. Karena pada
dasarnya aktivitas perekonomian adalah suatu proses penggunaan faktor-faktor produksi
untuk menghasilkan output, maka proses ini pada gilirannya akan menghasilkan suatu aliran
balas jasa terhadap faktor produksi yang dimiliki oleh masyarakat. Dengan adanya
pertumbuhan ekonomi maka diharapkan pendapatan masyarakat sebagai pemilik faktor
produksi juga akan turut meningkat. (Susanti, dkk; 2000).
Todaro (2000) menjelaskan bahwa ada tiga faktor atau komponen utama dalam
pertumbuhan ekonomi dari setiap bangsa, yaitu :
1. Akumulasi Modal, yang meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru yang
ditanamkan pada tanah, peralatan fisik dan sumbersaya manusia.
2. Pertumbuhan penduduk, yang beberapa tahun selanjutnya dengan sendirinya
membawa pertumbuhan angkatan kerja
3. Kemajuan teknologi.
Akumulasi modal (capital accunulation) terjadi apabila sebagian dari pendapatan
ditabung dan diinvestasikan kembali dengan tujuan memperbesar output dan pendapatan.
Akumulasi modal akan menambah sumberdaya baru (contohnya, pembukaan tanah-tanah
yang semula tidak digunakan) atau meningkatkan kualitas sumberdaya (misalnya, perbaikan
sistim irigasi, pengadaan pupuk, pestisida).
Todaro (2000) menjelaskan bahwa akumulasi modal (Capital Accumulation) terjadi
apabila sebagian pendapatan ditabung dan diinvestasikan kembali dengan tujuan
memperbesar output dan pendapatan dikemudian hari. Pengadaan pabrik baru, mesin-mesin,
peralatan dan bahan baku meningkatkan stok modal secara fisik suatu negara (yakni nilai riil
netto atas seluruh barang modal produktif secara fisik) dan hal itu jelas memungkinkan akan
terjadinya peningkatan output dimasa-masa mendatang. Investasi dalam pembinaan
sumberdaya manusia juga meningkatkan kualitasnya sehingga pada akhirnya akan membawa
dampak positif yang sama terhadap angka produksi, bahkan akan lebih besar lagi mengingat
terus bertambahnya jumlah manusia.
Pendidikan formal, program pendidikan dan pelatihan dalam kerja atau magang, kursus-
kursus dan aneka pendidikan infomal lainnya perlu diefektifkan untuk mencetak tenaga-
tenaga terdidik dan sumberdaya manusia yang terampil melalui investasi langsung dalam
pembangunan.
Menurut Dr Singer (Jhingan; 1994) pembentukan modal terdiri dari barang yang nampak
seperti pabrik, alat-alat dan mesin, maupun barang yang tidak nampak seperti pendidikan
bermutu tinggi, kesehatan, tradisi ilmiah dan penelitian. Untuk memahami bagaimana
akumulasi modal dan perubahan teknologi dapat menggerakkan perekonomian, maka model
pertumbuhan neo-klasik yang diperkenalkan oleh Robert Solow menggambarkan suatu
perekonomian dimana output merupakan hasil kerja dari dua jenis input, yaitu modal dan
tenaga kerja. (Samuelson; 1995)
Investasi (sebagai salah satu komponen penting dari AD) merupakan suatu faktor
krusial bagi kelangsungan proses pembangunan ekonomi (Sustainable Development), atau
pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Pembangunan ekonomi melibatkan kegiatan-kegiatan
produksi disemua sektor ekonomi, dan untuk kegiatan pembangunan itu diperlukan dana
untuk membiayainya yang disebut dana investasi. (Tambunan;2001).
Sebagian negara sedang berkembang yang tidak mempunyai tabungan dalam negeri
yang cukup untuk membiayai pertumbuhan ekonomi umumnya menutup kesenjangan
pembiayaan dengan mencari sumber-sumber dari luar negeri. Berdasarkan sifatnya, arus
modal asing yang harus dibayar kembali disebut tabungan luar negeri. Tabungan luar negeri
meliputi tabungan resmi ke sektor pemerintah (Official Saving) dan tabungan swasta (Private
Saving). Sebagian besar tabungan resmi berwujud konsesional, artinya dapat berupa hibah
(Grants) atau pinjaman lunak (Soft Loans), yang biasanya berbunga rendah dengan jangka
waktu 5 tahun. Bank dunia (1992) mengklasifikasikan total utang luar negeri menjadi : utang
jangka pendek, utang jangka panjang, dan penggunaan kredit IMF. Utang yang jangka
panjang dapat dirinci menurut jenis utangnya, yaitu : utang swasta yang tidak dijamin oleh
pemerintah (Private nonguaranteed debt), utang pemerintah, dan utang swasta yang dijamin
oleh pemerintah (Public and publicy guarantee debt). Utang swasta yang nonguaranteed debt
merupakan utang yang dilakukan oleh debitur swasta, dimana utang tersebut tidak dijamin
oleh institusi pemerintah. Dilain pihak, utang pemerintah adalah utang yang dilakukan oleh
suatu institusi pemerintah, termasuk pemerintah pusat, departemen, dan lembaga pemerintah
yang otonom. Utang yang publicly guaranteed merupakan utang yang dilakukan swasta
namun dijamin pembayarannya oleh suatu lembaga pemerintah.(Kuncoro; 2000)
Tambunan (2001) dijelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi sangat ditentukan pada
ketersediaan dan kualitas dari faktor-faktor produksi seperti SDM, kapital, teknologi, bahan
baku, entrepreneurship, dan energi. Pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh faktor internal
yang dapat dibedakan antara lain faktor ekonomi dan faktor non ekonomi khususnya politik
dan sosial sedangkan faktor eksternal didominasi oleh faktor-faktor ekonomi seperti
perdagangan internasional dan pertumbuhan ekonomi kawasan atau dunia.
Kindleberger (1983) berpendapat bahwa : “Gowth and development are often used
synonymously in economic discussion and this usage is entirely accetable. But where two
words exist, there is a point in seeking to draw a distinction between them. Implicit in general
usage, and explicit in what follow, economic growth means more output and changes in the
technician and institutional arrangements by which it is produced. Growth may well imply not
only more, but also more inputs and more effeciency an increase in output per unit of output.
Development goes beyond these to imply changes in the structure of output and in the
allocation of inputs by sectore”.
Sedangkan pendapat Chenery (dalam Panetto; 1990) mengatakan bahwa : “Economic
development can be veewed as set of interrelated changes in the structure of an economy
that are required for its continued growth. They involve the composition of demand,
production, and employment as well as the external structure of trade and capital flows”.
Proses pembangunan dilihat sebagai perubahan struktural ditandai dengan perubahan
yang bersifat multi dimensional yaitu suatu perubahan dari konstelasi ekonomi yang
mengalami stagnasi kearah perimbangan-perimbangan keadaan yang sudah mengandung
gerak kekuatan dinamika dalam perkembangannya. Perubahan struktural menyangkut
perubahan-perubahan pada struktur dan komposisi produk nasional, pada kesempatan kerja
produktif, pada ketimpangan antar sektor, antar daerah dan antar golongan masyarakat, pada
kemiskinan dan kesenjangan antara golongan berpendapatan rendah dan tinggi

1.2. PERTUMBUHAN EKONOMI


Pertumbuhan ekonomi adalah proses dimana terjadi kenaikan produk nasional bruto riil
atau pendapatan nasional riil. Jadi perekonomian dikatakan tumbuh atau berkembang bila
terjadi pertumbuhan outputriil. Definisi pertumbuhan ekonomi yang lain adalah bahwa
pertumbuhan ekonomi terjadi bila ada kenaikan output perkapita. Pertumbuhan ekonomi
menggambarkan kenaikan taraf hidup diukur dengan output riil per orang.
Secara singkat, pertumbuhan ekonomi dapat diartikan sebagai proses kenaikan output
per kapita dalam jangka panjang. Dalam pengertian itu terdapat tiga aspek yang perlu
digarisbawahi, yaitu proses, output per kapita, dan jangka panjang. Pertumbuhan sebagai
proses, berarti bahwa pertumbuhan ekonomi bukan gambaran perekonomian pada suatu
saat. Pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan output per kapita, berarti harus memperhatikan
dua hal, yaitu output total (GDP) dan jumlah penduduk, karena output per kapita adalah
output total dibagi dengan jumlah penduduk. Aspek jangka panjang, mengandung arti bahwa
kenaikan output per kapita harus dilihat dalam kurun waktu yang cukup lama ( 10, 20, atau 50
tahun, bahkan bisa lebih lama lagi). Kenaikan output per kapita dalam satu atau dua tahun
kemudian diikuti penurunan bukan pertumbuhan ekonomi.
Teori pertumbuhan ekonomi pada dasarnya adalah suatu “ceritera” logis mengenai
bagaimana proses pertumbuhan terjadi. Teori ini menjelaskan dua hal, yaitu (1) mengenai
faktor-faktor apa yang menentukan kenaikan output per kapita dalam jangka panjang, dan (2)
mengenai bagaimana faktor-faktor tersebut berinteraksi satu sama lain sehingga terjadi
proses pertumbuhan. Satu hal yang perlu diingat bahwa dalam ilmu ekonomi tidak hanya
terdapat satu teori pertumbuhan, tetapi terdapat banyak teori pertumbuhan. Sampai sekarang
tidak ada suatu teori pertumbuhan yang bersifat menyeluruh dan lengkap dan merupakan
satusatunya teori pertumbuhan yang baku. Para ahli ekonomi mempunyai pandangan yang
tidak selalu sama mengenai pertumbuhan ekonomi. Pandangan para ahli tersebut sering
dipengaruhi oleh keadaan atau peristiwa-pewristiwa yang terjadi pada zaman mereka hidup
dan oleh ideologi yang mereka anut.

Pertumbuhan Ekonomi dan Kenaikan Produktivitas


Sementara negara-negara miskin berpenduduk padat dan banyak hidup pada taraf
batas hidup dan mengalami kesulitan menaikkannya, beberapa negara maju seperti Amerika
Serikat dan Kanada, negara-negara Eropa Barat, Australia, Selandia Baru, dan Jepang
menikmati taraf hidup tinggi dan terus bertambah.Pertambahan penduduk berarti
pertambahan tenaga kerja serta berlakunya hukum Pertambahan Hasil yang Berkurang
mengakibatkan kenaikan output semakin kecil, penurunan produk rata-rata serta penurunan
taraf hidup. Sebaliknya kenaikan jumlah barang-barang kapital, kemajuan teknologi, serta
kenaikan kualitas dan keterampilan tenaga kerja cenderung mengimbangi berlakunya hukum
Pertambahan Hasil yang Berkurang. Penyebab rendahnya pendapatan di negara-negara
sedang berkembang adalah berlakunya hukum penambahan hasil yang semakin berkurang
akibat pertambahan penduduk sangat cepat, sementara tak ada kekuatan yang mendorong
pertumbuhan ekonomi berupa pertambahan kuantitas dan kualitas sumber alam, kapital, dan
kemajuan teknologi.
Permintaan Agregratif dan Pertumbuhan Ekonomi
Pada gambar ini dianggap bahwa tingkat PNN kesempatan kerja penuh pada thaun
1998 A sebesar 26 trilyun rupiah dan skedul permintaan agregratifnya adalah C+I+C1 hingga
tingkat PNN kesempatan kerja penuh dapat dicapai karena sama dengan tingkat pendapatan
keseimbangannya.Misalkan terjadi pertumbuhan kapasitas produksi akibat adanya
pertambahan sumber-sumber pertumbuhan ekonommi hingga tingkat PNN kesempatan kerja
penuh pada tahun berikutnya yaitu pada tahun 1998 B menjadi 27 trilyun rupiah atau kenaikan
sebesar kira-kira 4% dalam output riil.Agar potensi produksi total dapat direalisasikan maka
permintaan agregratif harus naik dengan laju pertumbuhan yang cukup untuk memelihara
tingkat kesempatan kerja penuh.Karenanya permintaan agregratif harus bergeser keatas
menjadi C+I+C2. Bila tidak atau naik secara lebih kecil maka kenaikan kapasitas produksi tak
dapat direalisasikan dan dimanfaatkan.Gambar ini menunjukkan aspek penciptaan
pendapatan oleh komponen pengeluaran investasi neto.
Teori dan Model Pertumbuhan Ekonomi
Dalam zaman ahli ekonomi klasik, seperti Adam Smith dalam buku karangannya yang
berjudul An Inguiry into the Nature and Causes of the Wealt Nations, menganalisis sebab
berlakunya pertumbuhan ekonomidan factor yang menentukan pertumbuhan ekonomi.
Setelah Adam Smith, beberapa ahli ekonomi klasik lainnya seperti Ricardo, Malthus, Stuart
Mill, juga membahas masalah perkembangan ekonomi.

A. Teori Inovasi Schum Peter


Pada teori ini menekankan pada faktor inovasi enterpreneur sebagai motor penggerak
pertumbuhan ekonomi kapitalilstik.Dinamika persaingan akan mendorong hal ini.

B. Model Pertumbuhan Harrot-Domar


Teori ini menekankan konsep tingkat pertumbuhan natural.Selain kuantitas faktor
produksi tenaga kerja diperhitungkan juga kenaikan efisiensi karena pendidikan dan
latihan.Model ini dapat menentukan berapa besarnya tabungan atau investasi yang diperlukan
untuk memelihar tingkat laju pertumbuhan ekonomi natural yaitu angka laju pertumbuhan
ekonomi natural dikalikan dengan nisbah kapital-output.
Teori Modern hanya akan dibahas teori Harrod-Domar. Kedua ekonom ini menekankan
pentingnya peranan investasi (I). Mereka berpendapat bahwa investasi (I) mempunyai
pengaruh terhadap permintaan agregat (Z) melalui proses multiplier, dan mempunyai
pengaruh terhadap penawaran agregat (S) melalui pengaruhnya terhadap kapasitas produksi.
Investasi (I) dapat diartikan sebagai tambahan stok kapital ( K). Jadi I = K.
Hubungan antara stok kapital (K) dan output total potensial (QP) dapat dirumuskan sebagai :
QP = hK
Dimana h , menunjukkan berapa unit output yang dapat dihasilkan dari setiap unit kapital.
Koefisien ini disebut output-capital ratio, dan kebalikannya 1/h adalah capital output ratio.
Hubungan antara K dan QP tersebut bersifat proporsional. Oleh karenanya, K/QP = K/QP =
1/h. K/QP disebut incremental capital-output ratio (ICOR). Dari hubungan ini, selanjutnya
dapat dikatakan bahwa penambahan kapasitas tersebut akan meningkatkan output potensial
sebesar,
QP = h K = h I
Besar nilai h tergantung pada keadaan masing-masing negara, tetapi secara umum berkisar
antara 0,25-0,50. Misalnya, nilai h di suatu negara 0,5 maka ini berarti bahwa investasi (I)
Rp.2 juta diharapkan dapat menghasilkan output per tahun sebesar Rp.1 juta.

C. Model Input-Output Leontief.


Model ini merupakan gambaran menyeluruh tentang aliran dan hubungan antarindustri.
Dengan menggunakan tabel ini maka perencanaan pertumbuhan ekonomi dapat dilakukan
secara konsisten karena dapat diketahui gambaran hubungan aliran input-output antarindustri.
Hubungan tersebut diukur dengan koefisien input-output dan dalam jangka pendek/menengah
dianggap konstan tak berubah .

D. Model Pertumbuhan Lewis


Model ini merupakan model yang khusus menerangkan kasus negar sedang
berkembang banyak(padat)penduduknya.Tekanannya adalah pada perpindahan kelebihan
penduduk disektor pertanian ke sektor modern kapitalis industri yang dibiayai dari surplus
keuntungan.

E. Model Pertumbuhan Ekonomi Rostow


Model ini menekankan tinjauannya pada sejarah tahp-tahap pertumbuhan ekonomi serta
ciri dan syarat masing-masing. Tahap-tahap tersebut adalah tahap masyarakat tradisional,
tahap prasyarat lepas landas, tahap lepas landas, ahap gerakan ke arah kedewasaan, dan
akhirnya tahap konsimsi tinggi.
F. Teori Pertumbuhan Adam smith

Untuk mewakili bahasan teori Klasik, dalam bab ini hanya dibahas teori dari Smith.
Menurut Smith terdapat dua aspek utama dari pertumbuhan ekonomi, yaitu :
a. pertumbuhan output (GDP) total, dan
b. pertumbuhan penduduk.

Pertumbuhan Output
Sistem produksi nasional suatu negara terdiri dari tiga unsur pokok, yaitu :
a. Sumberdaya alam ( = faktor produksi tanah)
b. Sumberdaya manusia ( = jumlah penduduk), dan
c. Stok kapital yang tersedia.
Sumberdaya alam merupakan faktor pembatas ( = batas atas) dari pertumbuhan
ekonomi. Selama sumberdaya alam belum sepenuhnya dimanfaatkan maka yang memegang
peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi adalah sumberdaya manusia (tenaga kerja)
dan stok kapital. Namun, jika sumberdaya alam telah dimanfaatkan sepenuhnya ( dieksploitir)
atau dengan kata lain batas atas daya dukung sumberdaya alam telah dicapai maka
pertumbuhan ekonomi akan berhenti.
Sumberdaya manusia atau jumlah penduduk dianggap mempunyai peranan yang pasif
di dalam pertumbuhan output. Artinya, jumlah penduduk akan menyesuaikan diri dengan
kebutuhan tenaga kerja di suatu masyarakat. Misalnya, kebutuhan tenaga kerja pada suatu
saat mencapai 1 juta orang, tetapi pada saat itu hanya tersedia 900.000 orang, maka jumlah
penduduk akan cenderung meningkat sampai mencapai 1 juta orang. Jadi, berapapun tenaga
kerja yang dibutuhkan akan dapat terpenuhi. Dengan demikian, faktor tenaga kerja bukan
kendala di dalam proses produksi nasional.
Faktor kapital merupakan faktor yang aktif dalam pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu
akumulasi kapital sangat berperanan dalam proses pertumbuhan ekonomi. Umtuk
menjelaskan bagaimana peranan akumulasi kapital dalam proses pertumbuhan, Smith
mengajukan sebuah teori yang sangat terkenal, yaitu mengenai spesialisasi dan pembagian
kerja. Stok kapital (K) mempunyai dua pengaruh terhadap tingkat output total (Q), yaitu
pengaruh langsung dan pengaruh tak langsung. K berpengaruh langsung terhadap Q karena
pertambahan K ( yang diikuti pertambahan tenaga kerja, L) akan meningkatkan Q. Secara
matematis, dapat ditulis : Q = f (K,L). Pengaruh tidak langsung dari K terhadap Q adalah
berupa peningkatan produktivitas per kapita melalui dimungkinkannya spesialisasi dan
pembagian kerja (specialization and devision of labor) yang lebih tinggi. Makin besar kapital
(K) yang digunakan, makin besar kemungkinan dilakukan spesialisasi dan pembagian kerja,
dan selanjutnya akan meningkatkan produktivitas per pekerja. Peningkatan produktivitas
tersebut bersumber dari tiga hal, (1) dengan spesialisasi akan meningkatkan ketrampilan
setiap pekerja dalam bidang pekerjaannya, (2) dengan sistem pembagian kerja akan
menghemat waktu dari waktu ketika pekerja beralih dari macam pekerjaan yang satu ke
pekerjaan yang lain, dan (3) ditemukannya mesin-mesin yang mempermudah dan
mempercepat pekerjaan.
Dari penjelasan di atas, dapat diartikan bahwa peningkatkan stok kapital (K) secara
terus menerus dengan menganggap tenaga kerja (L) selalu terpenuhi, juga akan diikuti oleh
peningkatan output total (Q) terus menerus sampai mencapai batas atas sumberdaya alam. Di
sini proses pertumbuhan ekonomi berhenti. Tahap di mana proses pertumbuhan ekonomi
telah berhenti disebut posisi stasioner (stationary state). Pada posisi ini, semua proses
pertumbuhan berhenti: pertumbuhan kapital berhenti, pertumbuhan penduduk berhenti,
pertumbuhan output berhenti.

Pertumbuhan Penduduk
Menurut Smith, penduduk meningkat apabila tingkat upah yang berlaku lebih tinggi
daripada tingkat upah subsistensi, yaitu tingkat upah yang hanya dapat untuk memenuhi
kebutuhan sekedar untuk hidup ( upah pas-pasan). Jika tingkat upah lebih tinggi daripada
tingkat upah subsistensi maka banyak penduduk melaksanakan perkawinan relatif muda
sehingga jumlah kelahiran meningkat dan akhirnya jumlah penduduk bertambah. Sekarang
faktor apakah yang menentukan tingkat upah? Tingkat upah ditentukan oleh jumlah
permintaan tenaga kerja. Apabila permintaan tenaga kerja lebih tinggi dari penawaran tenaga
kerja (jumlah penduduk) maka tingkat upah akan tinggi. Dan sebaliknya, jika permintaan
tenaga kerja lebih rendah dari penawaran tenaga kerja maka tingkat upah akan rendah.

1.3. NEGARA BERKEMBANG DAN FAKTOR PERTUMBUHANNYA


A. Ciri-ciri negara sedang berkembang
1. Tingkat pendapatan rendah,sekitar US$300 perkapita per tahun.
2. Jumlah penduduknya banyak dan padat perkilo meter perseginya.
3. Tingkat pendidikan rakyatnya rendah dengan tingkat buta aksara tinggi.
4. Sebagian rakyatnya bekerja disektor pertanian pangan secara tak
produktif,sementara hanya sebagian kecil rakyatnya bekerja disektor industri.Produktifitas
kerjanya rendah.
5. Kuantitas sumber-sumber alamnya sedikit serta kualitasnya rendah.Kalau mempunyai
sumber-sumber alam yang memadai namun belum diolah atau belum dimanfaatkan.
6. Mesin-mesin produksi serta barang-barang kapital yang dimiliki dan digunakan hanya kecil
atau sedikit jumlahnya.
7. Sebagian besar dari mereka merupakan negara-negara baru diproklamasikan
kemerdekaannya dari penjajahan kira-kira satu atau dua dekade.

B. Transisi kependudukan
Yang mencerminkan kenaikan taraf hidup rakyat di suatu negara adalah besarnya
tabungan dan akumulasi kapital dan laju pertumbuhan penduduknya. Laju pertumbuhan yang
sangat cepat di banyak negara sedang berkembang nampaknya disebabkan oleh fase atau
tahap transisi demografi yang dialaminya. Negara-negara sedang berkembang mengalami
fase transisi demografi di mana angka kelahiran masih tinggi sementara angka kematian telah
menurun. Kedua hal ini disebabkan karena kemajuan pelayanan kesehatan yang menurun
angka kematian balita dan angka tahun harapan hidup. Ini terjadi pada fase kedua dan ketiga
dalam proses kependudukan. Umumnya ada empat tahap dalam proses transisi, yaitu:
Tahap 1: Masyarakat pra-industri, di mana angka kelahiran tinggi dan angka kematian tinggi
menghasilkan laju pertambahan penduduk rendah;
Tahap 2: Tahap pembangunan awal, di mana kemajuan dan pelayanan kesehatan yang lebih
baik menghasilkan penurunan angka kelahiran tak terpengaruh karena jumlah
penduduk naik.
Tahap 3: Tahap pembangunan lanjut, di mana terjadi penurunan angka kematian balita,
urbanisasi, dan kemajuan pendidikan mendorong banyak pasangan muda berumah
tangga menginginkan jumlah anak lebih sedikit hingga menurunkan angka
kelahiran. Pada tahap ini laju pertambahan penduduk mungkin masih tinggi tetapi
sudah mulai menurun;
Tahap 4: Kemantapan dan stabil, di mana pasangan-pasangan berumah tangga
melaksanakan pembatasan kelahiran dan mereka cenderung bekerja di luar rumah.
Banyaknya anak cenderung hanya 2 atau 3 saja hingga angka pertambahan neto
penduduk sangat rendah atau bahkan mendekati nol.

C. Faktor penggerak pertumbuhan ekonomi dalam menanggulangi kemiskinan

Dua hal esensial harus dilakukan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi adalah,
pertama sumber-sumber yang harus digunakan secara lebih efisien. Ini berarti tak boleh ada
sumber-sumber menganggur dan alokasi penggunaannya kurang efisien.Yang kedua,
penawaran atau jumlah sumber-sumber atau elemen-elemen pertumbuhan tersebut haruslah
diusahakan pertambahannya.Elemen-elemen yang memacu pertumbuhan ekonomi tersebut
adalah sebagai berikut.
1. Sumber-sumber Alam
Elemen ini meliputi luasnya tanah, sumber mineral dan tambang, iklim, dan lain-lain.
Beberapa negara sedang berkembang sangat miskin akan sumber-sumber alam,
sedikitnya sumber-sumber alam yang dimiliki meruoakan kendala cukup serius.
Dibandingkan dengan sedikitnya kuantitas serta rendahnya persediaan kapital dan
sumber tenaga manusia maka kendala sumber alam lebih serius.
2. Sumber-sumber Tenaga Kerja
Masalah di bidang sumber daya manusia yang dihadapi oleh negara-negara sedang
berkambang pada umumnya adalah terlalu banyaknya jumlah penduduk,
pendayagunaannya rendah, dan kualitas sumber-sumber daya tenaga kerja sangat
rendah.
3. Kualitas Tenaga Kerja yang Rendah
Negara-negara sedang berkembang tak mampu mengadakan investasi yang memadai
untuk menaikkan kualitas sumber daya manusia berupa pengeluaran untuk memelihara
kesehatan masyarakat serta untuk pendidikan dan latihan kerja.
4 . Akumulasi Kapital
Untuk mengadakan akumulasi kapital diperlukan pengorbanan atau penyisihan konsumsi
sekarang selama beberapa decade. Di negara sedang berkembang, tingkat pendapatan
rendah pada tingkat batas hidup mengakibatkan usaha menyisihkan tabungan sukar
dilakukan. Akumulasi kapital tidak hanya berupa truk, pabrik baja, plastik dan sebagainya;
tetapi juga meliputi proyek-proyek infrastruktur yang merupakan prasyarat bagi
industrialisasi dan pengembangan serta pemasaran produk-produk sektor pertanian.
Akumulasi kapital sering kali dipandang sebagai elemen terpenting dalam pertumbuhan
ekonomi. Usaha-usaha untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi dilakukan dengan
memusatkan pada akumulasi kapital. Hal ini karena, pertama, hampir semua negara-
negara berkembang mengalami kelangkaan barang-barang kapital berupa mesi-mesin
dan peralatan produksi, bangunan pabrik, fasilitas umum dan lain-lain. Kedua,
penambahan dan perbaikan kualitas barang-barang modal sangat penting karena
keterbatasan tersedianya tanah yang bisa ditanami.

D. Peranan penting pemerintah dalam pertumbuhan ekonomi

1. Beberapa negara sedang berkembang mengalami ketidak stabilan sosial, politik, dan
ekonomi. Ini merupakan sumber yang menghalangi pertumbuhan ekonomi. Adanya
pemerintah yang kuat dan berwibawa menjamin terciptanya keamanan dan ketertiban
hukum serta persatuan dan perdamaian di dalam negeri. Ini sangat diperlukan bagi
terciptanya iklim bekerja dan berusaha yang merupakan motor pertumbuhan ekonomi.
2. Ketidakmampuan atau kelemahan setor swasta melaksanakan fungsi entreprenurial
yang bersedia dan mampu mengadakan akumulasi kapital dan mengambil inisiatif
mengadakan investasi yang diperlukan untuk memonitori proses pertumbuhan.
3. Pertumbuhan ekonomi merupakan hasil akumulasi kapital dan investasi yang dilakukan
terutama oleh sektor swasta yang dapat menaikkan produktivitas perekonomian. Hal
ini tidak dapat dicapai atau terwujud bila tidak didukung oleh adanya barang-barang
dan pelayanan jasa sosial seperti sanitasi dan program pelayanan kesehatan dasr
masyarakat, pendidikan, irigasi, penyediaan jalan dan jembatan serta fasilitas
komunikasi, program-program latihan dan keterampilan, dan program lainnya yang
memberikan manfaat kepada masyarakat.
4. Rendahnya tabungan-investasi masyarakat (sekor swasta) merupakan pusat atau
faktor penyebab timbulnya dilema kemiskinan yang menghambat pertumbuhan
ekonomi. Seperti telah diketahui hal ini karena rendahnya tingkat pendapatan dan
karena adanya efek demonstrasi meniru tingkat konsumsi di negara-negara maju olah
kelompok kaya yang sesungguhnya bias menabung.
5. Hambatan sosial utama dalam menaikkan taraf hidup masyarakat adalah jumlah
penduduk yang sangat besar dan laju pertumbuhannya yang sangat cepat. Program
pemerintahlah yang mampu secara intensif menurunkan laju pertambahan penduduk
yang cepat lewat program keluarga berencana dan melaksanakan program-program
pembangunan pertanian atau daerah pedesaan yang bisa mengerem atau
memperlambat arus urbanisasi penduduk pedesaan menuju ke kota-kota besar dan
mengakibatkan masalah-masalah social, politis, dan ekonomi.
6. Pemerintah dapat menciptakan semangat atau spirit untuk mendorong pencapaian
pertumbuhan ekonomi yang cepat dan tidak hanya memerlukan pengembangan faktor
penawaran saja, yang menaikkan kapasitas produksi masyarakat, yaitu sumber-
sumber alam dan manusia, kapital, dan teknologi;tetapi juga faktor permintaan luar
negeri. Tanpa kenaikkan potensi produksi tidak dapat direalisasikan.

E. Strategi pertumbuhan ekonomi


1. Industrialisasi Versus Pembangunan Pertanian
Pembangunan pertanian bersifat menggunakan teknologi padat tenaga kerja dan secara
relatif menggunakan sedikit kapital; meskipun dalam investasi pada pembuatan jalan, saluran
dan fasilitas pengairan, dan pengembangan teknologinya. Kenaikan produktivitas sektor
pertanian memungkinkan perekonomian dengan menggunakan tenaga kerja lebih sedikit
menghasilkan kuantitas output bahan makanan yang sama. Dengan demikian sebagian dari
tenaga kerja dapat dipindahkan ke sektor industri tanpa menurunkan output sector pertanian.
Di samping itu pembangunan atau kenaikkan produktivitas dan output total sektor pertanian
akan menaikan pendapatan di sektor tersebut.

2. Strategi Impor Versus Promosi Ekspor


Stategi industrialisasi via substitusi impor pada dasarnya dilakukan dengan membangun
industri yang menghasilkan barang-barang yang semula diimpor. Alternatif kebijakan lain
adalah strategi industrialisasi via promosi ekspor. Kebijakan ini menekankan pada
industrialisasi pada sektor-sektor atau kegiatan produksi da dalam negeri yang mempunyai
keunggulan komparatif hingga dapat memproduksinya dengan biaya rendah dan bersaing
dengan menjualnya di pasar internasional. Strategi ini secara relatif lebih sukar dilaksanakan
karena menuntut kerja keras agar bisa bersaing di pasar internasional.

3. Perlunya Disertivikasi
Usaha mengadakan disertivikasi bagi negara-negara pengekspor utama minyak dan gas
bumi merupakan upaya mempertahankan atau menstabilkan penerimaan devisanya.

1.4. ASPEK HUBUNGAN EKONOMI INTERNASIONAL DALAM PERTUMBUHAN


EKONOMI
A. Perluasan Perdagangan
Negara-negara maju telah berkembang merupakan sumber atau pensupplai barang-
barang kapital. Di samping itu mereka juga merupakan pasar yang luas dan cukup besar yang
membeli ekspor hasil-hasil pertanian, pertambangan, bahan mentah, ataupun barang-barang
manufaktur oleh negara-negara sedang berkembang. Penurunan harga di pasar dunia akan
bahan-bahan mentah produk pertanian ataupun hasil pertambangan akan sama seperti
halnya turunnya harga minyak bumi ataupun harga tembaga di pasaran internasional.
B. Aliran Penanaman Modal (Investasi) Asing
Aliran kapital atau investasi asing dari luar negeri baik oleh sector pemerintah maupun
swasta asing dapat merupakan suplemen atau pelengkap bagi usaha pemecahan lingkaran
setan kemiskinan. Penanaman modal asing banyak bergerak di sektor eksplorasi sumber
alam berupa pertambangan, kehutanan, perikanan, dan juga di sektor manufacturing. Swasta
asing yang melakukan investasi umumnya merupakan perusahaan besar multinasional.
C. Bantuan Luar Negeri Berupa Hadiah dan Pinjaman
Bantuan asing bisa diberikan secara langsung atau melalui lembaga keuangan
internasional. Contoh bantuan langsung berupa hadiah atau pinjaman yang diberikan oleh
US-AID (United State Agency for International Development), suatu lembaga bantuan luar
negeri pemerintah Amerika Serikat, atau dari badan-badan luar negeri yang serupa dari
negara-negara maju telah berkembang lainnya.

1.5. PEMBANGUNAN SEIMBANG DAN TIDAK SEIMBANG

Pembangunan seimbang itu diartikan pula sebagai keseimbangan pembangunan di


berbagai sektor, misalnya industri dan sektor pertanian, sektor luar negeri dan sektor
domestik, dan antara sektor produktif dan sektor prasarana. Pembangunan seimbang ini
biasanya dilaksanakan dengan maksud untuk menjaga agar proses pembangunan tidak
menghadapi hambatan – hambatan dalam: (i) memperoleh bahan baku, tenaga ahli, sumber
daya energi dan fasilitas-fasilitas untuk mengangkut hasil-hasil produksi ke pasar, dan (ii)
memperoleh pasar untuk barang-barang yang telah dan akan diproduksikan.
Sementara itu analisa Lewis (dalam Arsyad, 1992 : 257-259), menunjukkan bahwa
perlunya pembangunan seimbang yang ditekankan pada keuntungan yang akan diperoleh
dari adanya saling ketergantungan yang efisien antara berbagai sektor, yaitu antara sektor
pertanian dan sektor industri. Menurut Lewis, akan timbul banyak masalah jika usaha
pembangunan hanya dipusatkan pada satu sektor saja. Tanpa adanya keseimbangan
pembangunan antara berbagai sektor akan menimbulkan adanya ketidakstabilan dan
gangguan terhadap kelancaran kegiatan ekonomi sehingga proses pembangunan terhambat.
Lewis, menggunakan gambaran dibawah ini untuk menunjukkan pentingnya upaya
pembangunan yang menjamin adanya keseimbangan antara sektor industri dan sektor
pertanian. Misalnya di sektor pertanian terjadi invasi dalam teknologi produksi bahan pangan
untuk memenuhi kebutuhan domestik, implikasinya yang mungkin timbul adalah : (i) terdapat
surplus di sektor pertanian yang dapat dijual ke sektor non pertanian, (ii) produksi tidak
bertambah berarti tenaga kerja yang digunakan bertambah sedikit dan jumlah pengangguran
tinggi, dan (iii) kombinasi dari kedua keadaan tersebut.
Jika saja industri mengalami perkembangan yang pesat, maka sektor-sektor tersebut
akan dapat menyerap kelebihan produksi bahan pangan maupun kelebihan tenaga kerja.
Tetapi tanpa adanya perkembangan di sektor industri, maka nilai tukar (Term of Trade) sektor
pertanian akan memburuk sebagai akibat dari kelebihan produksi tenaga kerja, dan akan
menimbulkan akibat yang depresif terhadap pendapatan di sektor pertanian. Oleh sebab itu di
sektor pertanian tidak terdapat lagi perangsang untuk mengadakan investasi baru dan
melakukan inovasi. Jika pembangunan ekonomi ditekankan pada industrialisasi dan
mengabaikan sektor pertanian maka akan menimbulkan masalah yang pada akhirnya akan
menghambat proses pembangunan ekonomi. Masalah kekurangan barang pertanian akan
terjadi dan akan mengakibatkan kenaikan barang-barang tersebut. Jika sektor pertanian tidak
berkembang, maka sektor industri juga tidak berkembang, dan keuntungan sektor industri
hanya merupakan bagian yang kecil saja dari pendapatan nasional. Oleh karenanya tabungan
maupun investasi tingkatnya akan tetap rendah. Berdasarkan pada masalah-masalah yang
mungkin akan timbul jika pembangunan hanya ditekankan pada salah satu sektor pertanian
saja, maka Lewis menyimpulkan bahwa pembangunan haruslah dilakukan secara bersamaan
di kedua sektor tersebut.
Hirschman dan Streeten (dalam Arsyad, 1992: 262 – 270) mengemukakan teori
pembangunan tidak seimbang adalah pola pembangunan yang lebih cocok untuk
mempercepat proses pembangunan di negara sedang berkembang. Pola pembangunan tidak
seimbang ini, menurut Hirschman, berdasarkan pertimbangan sebagai berikut: (i) secara
historis pembangunan ekonomi yang terjadi coraknya tidak seimbang, (ii) untuk mempertinggi
efisiensi penggunaan sumber-sumber daya yang tersedia, dan (iii) pembangunan tidak
seimbang akan menimbulkan kemacetan atau gangguan-gangguan dalam proses
pembangunan yang akan menjadi pendorong bagi pembangunan selanjutnya.
Dengan demikian pembangunan tidak seimbang akan mempercepat pembangunan
ekonomi pada masa yang akan datang. Persoalan pokok yang dianalisis Hirschman dalam
teori pembangunan tidak seimbang adalah bagaimana untuk menentukan proyek yang harus
didahulukan pembangunannya, dimana proyek-proyek tersebut memerlukan modal dan
sumber daya yang tersedia, agar penggunaan berbagai sumber daya yang tersedia tersebut
bisa menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang maksimal.
Cara pengalokasian sumber daya tersebut dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu cara pilihan
pengganti (substitution choice) dan cara pilihan penundaan (postpoinment choice). Cara yang
pertama merupakan suatu cara pemilihan proyek yang bertujuan untuk menentukan apakah
proyek A atau proyek B yang harus dilaksanakan. Sedangkan cara yang kedua merupakan
suatu cara pemilihan yang menentukan urutan proyek yang akan dilaksanakan yaitu
menentukan apakah proyek A atau proyek B yang harus didahulukan.
Berdasarkan prinsip pemilihan proyek di atas, Hirschman menganalisis masalah alokasi
sumber daya antara sektor prasarana atau Social Overhead Capital (SOC) dengan sektor
produktif yang langsung menghasilkan barang-barang yang dibutuhkan masyarakat atau
DirectlyProductive Activities (DPA).
Ada 3 (tiga) cara pendekatan yang mungkin dilakukan dalam mengembangkan sektor
prasarana dan sektor produktif, yaitu: (i) pembangunan seimbang antara kedua sektor
tersebut, (ii) pembangunan tidak seimbang, dimana pembangunan sektor prasarana lebih
ditekankan, dan (iii) pembangunan tidak seimbang, dimana sektor produktif lebih ditekankan.
Kegiatan ekonomi akan mencapai efisiensi yang optimal jika (i) sumber-sumber daya
dialokasikan antara sektor DPA dan sektor SOC sedemikian rupa sehingga dengan sumber
daya sejumlah tertentu bisa dicapai tingkat produksi yang maksimum, (ii) untuk suatu tingkat
produksi tertentu, jumlah seluruh sumber daya yang digunakan di sektor DPA dan sektor SOC
jumlahnya minimum. Di kebanyakan negara sedang berkembang, program pembangunan
sering lebih ditekankan pada pembangunan prasarana untuk mempercepat pembangunan
sektor produktif.

1.6. AGENDA MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN RAKYAT


Sebagaimana digariskan dalam RPJMN 2004-2009, agenda meningkatkan
kesejahteraan rakyat diarahkan pada pencapaian 5 (lima) sasaran pokok, yaitu (i)
menurunnya persentase jumlah penduduk miskin dari 16,6 persen pada tahun 2004 menjadi
8,2 persen pada tahun 2009, dan berkurangnya pengangguran terbuka dari 9,5 persen pada
tahun 2003 menjadi 5,1 persen pada tahun 2009; (ii) berkurangnya kesenjangan
pembangunan antar wilayah; (iii) meningkatnya kualitas manusia; (iv) membaiknya mutu
lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam; serta (v) meningkatnya kuantitas dan
kualitas infrastruktur penunjang pembangunan.
Dalam upaya pencapaian sasaran-sasaran pokok tersebut, hingga tahun keempat
pelaksanaan RPJMN (2004 – 2008), masih dijumpai berbagai masalah dan tantangan yang
dihadapi dalam agenda meningkatkan kesejahteraan rakyat, diantaranya, yaitu:

Pertama, Membangun dan Menyempurnakan Sistem Perlindungan Sosial Khususnya


Bagi Masyarakat Miskin.

Tantangan ini muncul, terutama karena dalam kaitannya dengan upaya menurunkan
jumlah penduduk miskin, upaya pembangunan dan penyempurnaan sistem perlindungan
sosial merupakan masalah penting yang perlu diperhatikan dan direspon dengan baik. Akses
masyarakat, terutama masyarakat miskin terhadap pelayanan dasar, meliputi pendidikan,
kesehatan, perumahan, serta air minum dan sanitasi dasar masih terbatas. Selain itu, jumlah
penduduk yang rentan untuk jatuh miskin, baik karena guncangan ekonomi maupun karena
bencana alam masih cukup besar.
Kecenderungan harga-harga kebutuhan pokok, dan harga Bahan Bakar Minyak (BBM),
sangat berpengaruh terhadap daya beli masyarakat miskin. Kesemuanya ini merupakan
masalah yang harus ditangani, agar efektivitas penurunan jumlah penduduk miskin dapat
ditingkatkan.

Kedua, Menyempurnakan dan Memperluas Cakupan Program Pembangunan Berbasis


Masyarakat dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.

Tantangan ini mengemuka, terutama karena upaya penurunan jumlah penduduk miskin
masih terkendala dengan belum meratanya upaya pembangunan yang dilakukan, dimana
pembangunan masih dominan dilakukan di perkotaan dan di pulau Jawa. Di lain pihak,
sebesar 63,5 persen dari jumlah penduduk miskin tinggal di perdesaan, dan persentase
kemiskinan di luar Pulau Jawa, terutama Nusa Tenggara, Maluku dan Papua lebih tinggi
dibanding di Pulau Jawa. Di samping itu, pelaksanaan program pembangunan masih bersifat
parsial dan belum terfokus. Kemandirian masyarakat dalam proses pembangunan berbasis
masyarakat juga masih sangat terbatas. Kelompok masyarakat berpendapatan rendah pada
umumnya tidak memiliki jaminan yang cukup untuk mengakses kredit/pembiayaan perbankan,
meskipun mereka memiliki usaha yang layak secara ekonomi untuk dibiayai. Terbatasnya
dukungan terhadap perkembangan usaha masyarakat kelompok miskin menyebabkan
lambatnya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dikeluarkannya program Kredit Usaha
Rakyat (KUR), yaitu percepatan penyaluran kredit/pembiayaan yang berasal dari sumber
dana perbankan dengan dukungan penjaminan untuk kredit usaha mikro, kecil dan menengah
(UMKM) dan koperasi (Inpres 06/2007) merupakan langkah bijak yang ditempuh Pemerintah.
Namun demikian, efektivitas penyaluran KUR dan pendampingannya merupakan tantangan
yang harus ditangani secara tepat untuk mendukung upaya perkuatan usaha dan peningkatan
pendapatan masyarakat. Oleh karena itu, tantangan lain yang dihadapi adalah memperkuat
usaha masyarakat berpendapatan rendah.

Ketiga, Memperkuat Usaha Masyarakat Berpendapatan Rendah.


Tingkat pendapatan masyarakat sangat tergantung pada ketersediaan dukungan bagi
perkembangan usaha mereka. Dukungan yang dibutuhkan terkait dengan jaminan lokasi
usaha, prasarana dan sarana fisik perekonomian yang memadai, akses terhadap sumber
daya, dan peningkatan kapasitas masyarakat dalam mengembangkan dan mengelola usaha.
Dukungan usaha masyarakat yang terbatas menimbulkan permasalahan berupa tingkat
pendapatan yang rendah, akses terhadap pelayanan sosial, ekonomi dan politik yang
terbatas, kewirausahaan, dan kapasitas pengelolaan usaha yang rendah, serta arah kebijakan
pembangunan kewilayahan yang masih berorientasi pada “inward looking” sehingga
menghambat berkembangnya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru. Kelompok masyarakat
berpendapatan rendah tersebut pada umumnya tidak memiliki jaminan yang cukup untuk
mengakses kredit/pembiayaan perbankan, meskipun mereka memiliki usaha yang layak
secara ekonomi untuk dibiayai. Kondisi tersebut mendorong dikeluarkannya program kredit
usaha rakyat (KUR) yang diberikan kepada UMKM dan koperasi yang memiliki usaha yang
produktif yang layak untuk dibiayai namun belum menjadi nasabah bank. Besarnya
kredit/pembiayaan UMKM dan koperasi menjangkau kebutuhan kelompok masyarakat
berpendapatan rendah (kredit di bawah Rp5,0 juta) dan kelompok masyarakat yang usahanya
terus berkembang (kredit Rp5,0 juta - Rp500,0 juta).

Keempat, Meningkatkan Akses dan Kualitas Pendidikan.


Tantangan ini timbul karena salah satu unsur pelayanan dasar yang diperlukan
masyarakat adalah pendidikan. Permasalahan utama yang dihadapi bidang pendidikan
adalah masih diperlukannya peningkatan akses, pemerataan, dan kualitas pendidikan
terutama pada jenjang pendidikan dasar. Hal ini ditunjukkan antara lain dengan masih belum
optimalnya peningkatan angka partisipasi kasar (APK) SMP/MTs/sederajat yang baru
mencapai 92,52 persen pada tahun 2007, dan masih adanya kesenjangan pencapaian APK
yang cukup tinggi antardaerah, antarkota dan desa, serta antarpenduduk kaya dan miskin.
Permasalahan lain yang dihadapi di bidang pendidikan adalah besarnya jumlah lulusan
SMP/MTs yang karena alasan ekonomi tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya,
dan belum optimalnya pencapaian angka buta aksara penduduk usia 15 tahun ke atas. Di
samping itu, lembaga pendidikan dinilai belum sepenuhnya mampu memenuhi tuntutan
masyarakat akibat ketersediaan pendidik berkualitas belum memadai, persebarannya belum
merata, dan kesejahteraan guru dan dosen yang masih terbatas; serta ketersediaan sarana
dan prasarana pendidikan serta fasilitas pendukung kegiatan pembelajaran yang belum
mencukupi. Oleh karena itu, tantangan yang dihadapi adalah meningkatkan akses dan
kualitas pendidikan.

Kelima, Meningkatkan Kualitas Kesehatan.


Hal ini terutama karena, selain pendidikan, kesehatan juga merupakan unsur penting
yang menjadi indikator dan sekaligus merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat
kesejahteraan masyarakat. Beberapa permasalahan yang dihadapi dalam kaitannya dengan
aspek kesehatan antara lain: (i) kesehatan ibu dan anak perlu terus ditingkatkan, yang
ditunjukkan dengan masih tingginya angka kematian ibu melahirkan dan angka kematian anak
balita; (ii) masalah gizi utama terus memerlukan penanganan intensif, seperti kurang energi
protein pada ibu hamil, bayi, dan balita, serta berbagai masalah gizi lain seperti anemia gizi
besi, gangguan akibat kurang yodium, kurang vitamin A dan kurang zat gizi mikro lainnya; (iii)
penyakit menular masih cukup tinggi, antara lain ditunjukkan dengan masih tingginya jumlah
penderita malaria, penderita TB, demam berdarah, diare, kasus penyakit flu burung pada
manusia, dan jumlah kumulatif kasus HIV dan AIDS; (iv) akses terhadap pelayanan kesehatan
bagi penduduk miskin dan penduduk daerah tertinggal, terpencil, perbatasan, dan daerah
bencana masih perlu ditingkatkan; (v) jumlah dan distribusi tenaga kesehatan masih terbatas,
khususnya di daerah tertinggal, terpencil dan perbatasan; (vi) ketersediaan obat dan
pemanfaatan obat generik, serta pengawasan terhadap obat, makanan dan keamanan
pangan masih perlu ditingkatkan; serta (vii) perlunya disusun peraturan perundang-undangan
untuk mendukung pelayanan kesehatan seperti peraturan perundang-undangan tentang
rumah sakit, obat, psikotropika, dan SDM kesehatan. Oleh karena itu, tantangan yang
dihadapi adalah meningkatkan kualitas kesehatan.

Keenam, Mengendalikan Pertumbuhan Penduduk.


Tantangan ini muncul karena hasil Supas 2005 menunjukkan bahwa terdapat
kecenderungan peningkatan total fertility rate (TFR) di beberapa daerah, baik di daerah yang
TFR-nya masih di atas rata-rata nasional (Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo) maupun di beberapa daerah yang TFR-
nya sudah berada pada tingkat replacement level, yaitu TFR kurang dari 2,1 (DKI Jakarta, D.I.
Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali). Di samping itu, berdasarkan distribusi kelompok
pengeluaran keluarga, TFR pada kelompok termiskin lebih tinggi dari TFR pada kelompok
terkaya. Hal ini selanjutnya akan berdampak pada lambatnya peningkatan kesejahteraan
masyarakat kelompok miskin. Oleh karena itu, tantangan yang dihadapi adalah
mengendalikan pertumbuhan penduduk.

Ketujuh, Meningkatkan Pelayanan Infrastruktur di Desa Sesuai Standar Pelayanan


Minimum (SPM).

Tantangan ini mengemuka, terutama karena upaya peningkatan pelayanan


infrastruktur, khususnya di perdesaan juga merupakan masalah serius yang harus dicermati
dan diselesaikan dengan segera. Masalah tersebut pada umumnya berkaitan dengan masih
rendahnya akses masyarakat miskin terhadap pelayanan sumber daya air, transportasi,
energi, kelistrikan, pos dan telematika, kebutuhan perumahan dan prasarana-sarana
permukiman, seperti jaringan air minum, jaringan air limbah, persampahan, dan jaringan
drainase. Meskipun telah dan terus dilakukan upaya peningkatan pelayanan infrastruktur,
namun masih diperlukan berbagai upaya lanjutan dalam rangka meningkatkan pelayanan
infrastruktur perdesaan sesuai dengan standar pelayanan minimum. Oleh karena itu,
tantangan yang dihadapi adalah meningkatkan pelayanan infrastruktur di desa sesuai standar
pelayanan minimum (SPM).

Kedelapan, Meningkatkan Akses Masyarakat Perdesaan pada Lahan.

Tantangan ini muncul, terutama karena dalam upaya mendorong peningkatan


kesejahteraan masyarakat, masalah lain yang dihadapi adalah terbatasnya akses masyarakat
terhadap lahan, terutama masyarakat perdesaan. Di samping masih terjadi ketidakadilan dan
ketimpangan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T),
maraknya sengketa dan konflik pertanahan juga turut menghambat akses masyarakat
perdesaan pada lahan. Oleh karena itu, tantangan yang dihadapi adalah meningkatkan akses
masyarakat perdesaan pada lahan.

Kesembilan, Memperkuat Lembaga Masyarakat dan Pemanfaatan Kelembagaan


Pemerintah Desa.

Dalam kaitannya dengan upaya penguatan lembaga masyarakat dan pemanfaatan


kelembagaan pemerintah daerah, dijumpai adanya dua masalah pokok, yaitu: (i) masih
lemahnya kelembagaan ekonomi dan organisasi perdesaan yang berbasis masyarakat untuk
menggerakkan sistem perekonomian dan memperkuat modal sosial, dan (ii) masih lemahnya
pelaksanaan prinsip-prinsip good governance oleh pemerintah desa, khususnya dalam
menciptakan inisiatif-inisiatif pengembangan perekonomian desa dan pelayanan masyarakat.
Oleh karena itu, tantangan yang dihadapi adalah memperkuat lembaga masyarakat dan
pemanfaatan kelembagaan pemerintah desa.

Kesepuluh, Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Yang Stabil, Berdaya Tahan, dan


Berkualitas.

Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat tidak terlepas dari adanya


pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat secara berkelanjutan, perekonomian yang
berkualitas, dan perekonomian yang stabil dan tahan menghadapi berbagai gejolak dan
tekanan. Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan perekonomian semakin baik, namun
kondisi tersebut masih perlu ditingkatkan. Oleh karena itu, tantangan yang dihadapi ke depan
adalah mendorong pertumbuhan ekonomi yang stabil, berdaya tahan, dan berkualitas.

Kesebelas, Meningkatkan Daya Tarik Investasi, Ekspor Nonmigas, serta Pariwisata.


Dalam rangka meningkatkan daya tarik investasi, hal-hal yang masih menjadi
permasalahan antara lain berkaitan dengan kualitas pelayanan publik dalam pengurusan
perijinan, jumlah dan kualitas infrastruktur, insentif fiskal dan non fiskal guna meningkatkan
daya saing usaha nasional; kualitas dan produktivitas tenaga kerja; peningkatan koordinasi;
promosi di dalam dan luar negeri; dan pengembangan potensi investasi di daerah.
Dari sisi ekspor, permasalahan dan tantangan yang harus dihadapi antara lain berkaitan
dengan: (i) meningkatkan diversifikasi pasar ekspor nonmigas, agar tidak bertumpu pada
empat pasar ekspor tradisional (Jepang, Amerika Serikat, Singapura, dan Uni Eropa) yang
pangsanya sekarang masih sebesar sekitar 50 persen; (ii) meningkatkan diversifikasi produk
ekspor, agar pertumbuhan utama ekspor nonmigas Indonesia tidak hanya ditopang oleh
ekspor komoditas primer yang relatif bernilai tambah lebih rendah dan harganya cenderung
lebih berfluktuasi; (iii) perlu disempurnakannya proses penyederhanaan prosedur ekspor agar
dapat mengurangi ekonomi biaya tinggi dan mempercepat waktu penyelesaian dokumen
ekspor-impor; (iv) masih besarnya hambatan nontarif di pasar ekspor, baik tradisional maupun
nontradisional; serta (v) masih terbatasnya ketersediaan dan kualitas infrastruktur yang
mendukung kelancaran arus barang ekspor.
Dari sisi pariwisata, untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan, berbagai masalah
dan tantangan yang masih harus dihadapi adalah: (i) belum optimalnya kesiapan destinasi
pariwisata, yang dicerminkan antara lain dari belum memadainya sarana dan prasarana
menuju destinasi pariwisata; (ii) belum optimalnya pemasaran pariwisata, dan masih adanya
berbagai peraturan daerah yang menghambat pengembangan pariwisata; serta (iii) belum
mapannya kemitraan antar-pelaku pariwisata, yang disebabkan terutama oleh belum
optimalnya kerja sama pelaku ekonomi, sosial, budaya dengan pelaku pariwisata dan
masyarakat, serta rendahnya daya saing sumber daya manusia (SDM) pariwisata. Dengan
berbagai permasalahan tersebut, maka tantangan yang dihadapi adalah meningkatkan daya
tarik investasi, ekspor nonmigas, serta pariwisata.

Keduabelas, Meningkatkan Kemajuan Sektor Industri.


Hal ini terutama karena sektor industri merupakan salah satu motor penggerak yang
cukup penting dalam perekonomian. Permasalahan yang dihadapi sektor industri antara lain:
(i) ketergantungan yang tinggi terhadap impor, baik berupa bahan baku, bahan penolong,
barang setengah jadi dan komponen; (ii) keterkaitan antara sektor industri hulu dan sektor
industri hilir dengan sektor ekonomi lainnya yang relatif masih lemah; (iii) struktur industri
hanya didominasi beberapa cabang yang tahapan proses industri dan penciptaan nilai
tambahnya pendek; (iv) ekspor produk industri didominasi oleh hanya beberapa cabang
industri; (v) lebih dari 60 persen kegiatan sektor industri berada di Jawa; dan (vi) masih
lemahnya peranan kelompok industri kecil dan menengah sebagai industri pendukung. Di
samping itu, kondisi permesinan di beberapa kelompok industri perlu diperbaharui agar tetap
kompetitif di pasar internasional. Oleh karena itu, tantangan yang dihadapi adalah
meningkatkan kemajuan sektor industri.

Ketigabelas, Memperluas Kesempatan Kerja.


Tantangan ini mengemuka, terutama karena terdapat sejumlah permasalahan yang
dihadapi di bidang ketenagakerjaan, diantaranya yaitu: (i) masih tingginya jumlah
pengangguran terbuka secara absolut pada Februari 2008, yaitu mencapai 9,4 juta atau 8,46
persen dari angkatan kerja; dan (ii) masih rendahnya daya serap pekerja formal, dimana
pekerja informal mencakup 70,0 persen dari jumlah pekerja keseluruhan. Tantangan ini diikuti
dengan pentingnya mendorong perkembangan industri padat pekerja, pemberdayaan usaha
mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang banyak menyerap tenaga kerja informal;
pengembangan program pemberdayaan masyarakat yang banyak menyerap tenaga kerja;
serta peningkatan kualitas pelayanan TKI yang akan bekerja di luar negeri.

Keempatbelas, Meningkatkan Produktivitas dan Akses UKM kepada Sumberdaya


Produktif.
Tantangan ini muncul, terutama karena disadari bahwa peranan UKM dalam
perekonomian cukup penting, mengingat jumlahnya mendominasi pergerakan perekonomian
di Indonesia. Namun demikian, upaya peningkatan UKM menghadapi kendala, antara lain
adalah lambatnya peningkatan produktivitas UKM sehingga menyebabkan terjadinya
kesenjangan yang masih lebar antara pelaku UKM dengan pelaku usaha besar. Masih
rendahnya tingkat produktivitas UKM tersebut selain disebabkan oleh rendahnya kualitas dan
kompetensi kewirausahaan sumber daya manusia, juga disebabkan oleh besarnya biaya
transaksi dalam kegiatan usaha, dan keterbatasan kepada akses sumber permodalan,
produksi, teknologi dan pemasaran. Keadaan ini menjadi penghambat kemajuan UKM dalam
meningkatkan kapasitas dan daya saing produk. Oleh karena itu, tantangan yang dihadapi
adalah meningkatkan produktivitas dan akses UKM kepada sumberdaya produktif.
Kelimabelas, Pengamanan Pasokan Bahan Pokok.
Tantangan ini mengemuka, terutama karena pada akhir tahun 2007 dan awal tahun
2008, beberapa bahan kebutuhan pokok masyarakat di beberapa daerah, cukup sulit
diperoleh dan harganya meningkat tajam, sehingga cukup memberatkan masyarakat
berpenghasilan rendah. Hal ini terutama sebagai imbas dari kecenderungan naiknya harga
pangan dunia di pasar internasional, mengingat sebagian kebutuhan pangan merupakan
produk impor. Berkaitan dengan itu, permasalahan dan tantangan yang dihadapi adalah: (i)
meningkatkan penyediaan bahan pokok kebutuhan masyarakat dengan meningkatkan
produksi, impor (apabila diperlukan), dan menyempurnakan sistem distribusi bahan pokok,
baik yang didukung oleh sistem transportasi darat, laut maupun udara; (ii) melakukan
pemantauan intensif dan evaluasi seksama, termasuk terhadap sistem distribusi dan stok
bahan pokok untuk menjaga kelancaran pasokan dan meredam terjadinya lonjakan harga
bahan pokok secara berarti, serta dapat menghindari terjadinya penimbunan dan
penyelewengan distribusi yang mengurangi ketersediaannya didukung oleh stok pemerintah
untuk beras maupun nonberas yang memadai; serta (iii) meningkatkan koordinasi kebijakan
ekonomi makro, serta koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah, seperti
sasaran inflasi, kebijakan tarif ekspor dan impor, serta kebijakan subsidi khususnya BBM,
TDL, pertanian dan suku bunga dalam upaya stabilisasi harga pangan. Kesemuanya di atas
bermuara pada tantangan pengamanan pasokan bahan pokok.

Keenambelas, Peningkatan Ketahanan Pangan Nasional.


Tantangan ini muncul terutama karena ketahanan pangan dalam negeri dinilai masih
rentan, mengingat pertumbuhan produksi pangan, khususnya beras masih belum stabil,
bahkan pada beberapa tahun terakhir rata-rata pertumbuhan produksinya masih lebih rendah
dari pertumbuhan penduduk. Selain itu, ketahanan pangan masyarakat masih belum didukung
dengan peningkatan akses rumah tangga terhadap pangan. Meskipun akhir-akhir ini produksi
pangan sudah meningkat secara signifikan, tetapi permasalahan pangan, khususnya masalah
distribusi pangan di beberapa lokasi yang terisolir masih saja terjadi. Oleh karena itu, upaya
untuk mendorong peningkatan produk pangan pokok perlu terus ditingkatkan. Di samping itu,
akses pangan di tingkat rumah tangga masih perlu terus dilakukan, agar terbangun ketahanan
pangan dan ketahanan gizi rumah tangga, sehingga kasus rawan pangan di tingkat rumah
tangga semakin jarang terjadi. Dengan permasalahan pokok tersebut, maka tantangan yang
dihadapi adalah Peningkatan Ketahanan Pangan Nasional, melalui penguatan kemampuan
produksi pangan dalam negeri, perbaikan sistem distribusi dan tata niaga pangan,
pengembangan sistem insentif yang mampu mempertahankan lahan-lahan produktif dalam
memproduksi bahan pangan, serta perbaikan diversifikasi pola konsumsi pangan masyarakat.

Ketujuhbelas, Meningkatkan Kualitas Pertumbuhan Pertanian, Perikanan dan


Kehutanan.
Tantangan ini mengemuka, karena pembangunan pertanian masih menghadapi
sejumlah kendala, seperti antara lain: (i) masih rendahnya penguasaan teknologi pengolahan
produk pertanian yang berakibat pada rendahnya nilai tambah produk pertanian; dan (ii) relatif
belum optimalnya pemanfaatan industri hasil pertanian, yang ditunjukkan oleh tingkat utilisasi
industri hasil pertanian yang belum optimal. Sementara itu, peningkatan produksi perikanan
juga masih mengalami beberapa kendala yang disebabkan oleh: (i) belum kondusifnya iklim
usaha perikanan yang terkait dengan permodalan dan investasi, baik di pusat maupun di
tingkat daerah, serta belum memadainya kegiatan penyuluhan, pendampingan teknologi,
kelembagaan, dan lemahnya pengawasan; (ii) belum memadainya sarana dan prasarana
pengolahan dan pemasaran perikanan, terutama yang berada di daerah, dan (iii) menurunnya
frekwensi operasi nelayan melaut, meningkatnya biaya input pembudidaya ikan/udang, serta
meningkatnya biaya pengadaan sarana dan prasarana perikanan baru sebagai dampak dari
naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri. Di sisi lain terjadi pula penurunan
kuantitas dan kualitas perikanan tangkap yang diakibatkan oleh: (i) kegiatan illegal fishing
yang dilakukan oleh kapal asing dan kapal yang tidak memiliki ijin penangkapan; (ii) praktek
penangkapan dan budidaya ikan yang tidak menggunakan kaidah keberlanjutan masih sering
terjadi; serta (iii) kerusakan sumber daya pesisir terutama terumbu karang, hutan bakau,
padang lamun, estuaria, dan pulau-pulau kecil akibat pengaruh limbah yang berasal dari
daratan dan eksploitasi manusia yang berlebihan juga belum dapat secara optimal ditangani.

Kedelapanbelas, Meningkatkan Kapasitas Mitigasi dan Adaptasi Terhadap Perubahan


Iklim Global.

Tantangan ini timbul, terutama karena perubahan iklim global yang terjadi akhir-akhir ini
sangat berpengaruh terhadap ketahanan pangan, sumber daya air dan energi, karena adanya
bencana alam seperti banjir dan kekeringan, perubahan musim tanam, serta peningkatan
suhu dan pasang air laut yang ekstrem yang menyebabkan ketidakpastian nelayan untuk
melaut. Berkaitan dengan hal tersebut, tantangan yang dihadapi untuk meningkatkan
kapasitas mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim global di antaranya adalah: (i)
melengkapi dan lebih mengakuratkan pendataan dan permodelan iklim regional untuk
Indonesia untuk memudahkan para perencana pembangunan dan pelaksana pembangunan
mengantisipasi dampak terjadinya perubahan iklim; (ii) memperbaiki pengintegrasian
tindakan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, termasuk pengurangan risiko bencana ke
dalam perencanaan pembangunan nasional dan daerah; (iii) meningkatkan dan
menyeragamkan kepedulian dan pemahaman masyarakat dan aparat pemerintah, sehingga
pembangunan yang dilakukan sejalan dengan tujuan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim
pengurangan risiko bencana; serta (iv) meningkatkan koordinasi antarlembaga dalam
menangani perubahan iklim pengurangan risiko bencana dengan memanfaatkan struktur
institusi yang telah ada.

Kesembilanbelas, Dukungan Peningkatan Daya Saing Sektor Riil.


Tantangan muncul, karena disadari bahwa sektor riil merupakan motor penggerak dalam
perekonomian. Oleh sebab itu, kemampuan dan daya saing rektor riil perlu untuk terus
senantiasa ditingkatkan. Permasalahan pokok yang dihadapi berkaitan dengan peningkatan
daya saing sektor riil antara lain adalah masih kurangnya dukungan prasarana dan sarana
dasar, seperti sarana dan prasarana sumber daya air air dan industri, transportasi, energi,
kelistrikan, pos dan telematika, serta permukiman yang menunjang sektor industri,
perdagangan, kawasan pariwisata, dan pusat pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu,
tantangan yang dihadapi adalah dukungan peningkatan daya saing sektor riil.

DAFTAR PUSTAKA

Agus Suroso, 1995, Peranan Lembaga Keuangan Formal dan Non-Formal dalam
Pengembangan Industri Kecil (Suatu Survey di Provinsi Jawa Tengah), Disertasi
Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung.

Alex S. Nitisemo, 1990, Manajemen Personalia, Cetakan III, Ghalia, Indonesia

Baltagi, Badi H, 2001, Econometric Analysis of Panel Data, Secon Edition, New York, John
Willey & Son, Ltd.

Becker, G.S. 1965. A Theory of Allocation of Time. Economic Journal, 299 (75): 493–517.

Chenery, Hollis. and Moises Syrquin (1975), Patterns of Development, 1950-1970, Oxford
University Press, London.
Dawam Rahardjo, 1996, Faktor-faktor Keuangan yang Mempengaruhi Usaha Kecil dan
Menengah di Indonesia, dalam aspek-aspek Finansial Usaha Kecil dan Menengah
(Studi Kasus Asean), LP3ES, Jakarta.

Gary, Dessler, 1997, Manajemen Sumberdaya Manusia, Edisi Bahasa Indonesia Jilid I, PT,
Prenhallindo, Jakarta.

Hailuddin, 2006, Faktor-Faktor Internal dan Eksternal yang Mempengaruhi Akses Industri
Kecil Manufaktur terhadap Perkreditan Lembaga Keuangan Perbankan (Studi
pada Industri Kecil di Lombok Nusa Tenggara Barat) Pascasarjana Universitas
Padjadjaran, Bandung

Hsio, Cheng, 1995, Analysis of Panel Data, Reprinted-5th, Econometric Society Monographs
No. 11, New York. Cambridge University Press.

Hubeis, M. 1997. Manajemen Industri Kecil Profesional di Era Globalisasi Melalui


Pemberdayaan Manajemen Industri. Orasi Ilmiah. Institut Pertanian Bogor.

Jhingan, ML, 1994. Perencanaan Ekonomi Pembangunan, Rajawali Grafindo Persada,


Jakarta.

Karjadi Mintaroem, Nurtjahja Moegni, Imam Syafi'I, 2002. Analisis Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Pertumbuhan Industri Kecil Di Wilayah Segitiga Industri Di Jawa
Timur, Unair Jawa Timur, Unair Jawa Timur

Lincolin Arsyad, 1999, Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Daerah, BPFE,


Yogyakarta.

Lipsey, R.G, P.O. Steiner and D.D. Purvis. 1993. Economics. Tenth Edition. Harper & Row.
Terjemahan. Bina Aksara, Jakarta.

Mudrajat Kuncoro, 2000, Ekonomi Pembangunan, Akademi Manajemen Perusahaan YKPN

Mitsuhiro Hayashi, 2000 Development of SMEs in the Indonesian Economy School of


Economics, Faculty of Economics and Commerce, Australian National University

Nelson, Robert., 2001, Economics as Religion. University Park PA, The Pennsylvania State
University Press.

Pindyck, R. S. and D. L. Rubinfeld. 1991. Econometric Models and Economic Forcasts. Third
Edition. McGraw-Hill Inc, New York.

Ranis, Gustav. 2004. Human Development And Economic Growth. Economic Growth Center
Yale University. Center Discussion Paper No. 887 Salvatore, Dominick. 2001.
Managerial Economic. New York: Fordham University

Riana Panggabean, 2002, Membangun Paradigma Baru dalam Mengembangkan UKM, Dep.
Kemetrian Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah, Jakarta

Samuelson P.A, 1995, Makro Ekonomi, Gelora Aksara, Jakarta.


Schumpeter, J.A. (1934), The Theory of Economic Development, Cambridge, MA: Harvard
University Press

Singh, I., L. Squire and J. Strauss. 1986. Agricultural Household Models: Extension,
Application and Policy. The John Hopkins University Press, Baltimore.

Sondang P. Siagian, 1997, Manajemen Sumberdaya Manusia, Gunung Agung, Jakarta.

Tati Suhartati J. 2003. Teori Ekonomi Mikro, Salemba Empat Jakarta

Tulus Tambunan, M. dan B. White. 1991. Perkembangan dan Permasalahan Industri Rotan di
Indonesia Pasca Larangan Ekspor dengan Kasus Industri Rotan Tegalwangi, Jawa
Barat. Kerjasama Pusat Studi Pembangunan Institut Pertanian Bogor dan Instititut
of Social Studies the Hague, Bogor. Thomas, R.L. 1997. Modern Econometrics an
Introduction. Addison Wesley

Todaro, Michael P. 2000. Pembangunan Ekonomi. Penerjemah: Aris Munandar. Edisi Kelima.
PT. Bumi Aksara. Jakarta

Yuyun Wirasasmita, 2000, Micro Economic Aspects of Small Scale Tradisional Family
Enterprise, Wacana Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Seni Guru Besar Universitas
Padjadjaran, Bandung.
BAB KONSEP DAN ANALISIS SISTEM NERACA
2 INDONESIA

Erwinda W S, Shinta K D, Tri Handayani

Perkembangan perekonomian global yang cepat dan dinamis sangat mempengaruhi


kondisi perekonomian nasional. Fluktuasi harga komoditi utama dan krisis keuangan yang
memicu krisis ekonomi global telah memberikan tekanan pada perekonomian nasional
sehingga mengganggu pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi sebagaimana yang
direncanakan. Meskipun pertumbuhan ekonomi secara rata-rata selama periode 2005—
2008 mencapai 5,9 persen, pencapaian tersebut dilalui dalam kondisi yang cukup berat.
Lonjakan harga minyak mentah di pasar internasional telah memaksa Pemerintah untuk
menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi beberapa kali sehingga
meningkatkan laju inflasi. Dengan tingginya inflasi, fundamental ekonomi tereduksi karena
tidak saja membuat biaya produksi menjadi lebih mahal tetapi juga melemahkan daya beli
masyarakat. Padahal, daya beli masyarakat merupakan faktor dominan dalam menopang
perekonomian nasional selama ini. Dalam beberapa tahun ke depan, pengaruh eksternal
tersebut masih akan mewarnai perjalanan pembangunan ekonomi Indonesia.
Pada tahun 2009, penurunan ekonomi global secara signifikan menyebabkan
volume perdagangan dunia mengalami kontraksi. Setelah mengalami ekspansi rata-rata 8,1
persen selama lima tahun terakhir, pada tahun 2008 pertumbuhan volume perdagangan
dunia menurun tajam menjadi 4,1 persen. Indikasi merosotnya volume perdagangan dunia
ini antara lain tercermin dari penurunan tajam pada Baltic Dry Index yang merupakan
barometer volume perdagangan dunia. Bagi Indonesia dampak negatif yang langsung
dirasakan adalah penurunan atau perlambatan pertumbuhan perdagangan dan investasi.
Namun dengan fundamental ekonomi yang kuat, kinerja perekonomian nasional tidak
sampai mengalami pertumbuhan negatif yang dialami sebagian besar negara di dunia.
Transmisi dampak krisis ekonomi global ke perekonomian Indonesia masuk melalui
dua jalur, yakni jalur finansial (financial channel) dan jalur perdagangan (trade channel).
Dampak krisis melalui jalur finansial dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung.
Dampak secara langsung terjadi apabila suatu bank atau institusi keuangan di Indonesia
membeli aset-aset yang bermasalah (toxic assets) dari perusahaan penerbit yang mengalami
kesulitan likuiditas di luar negeri. Dampak lainnya adalah terjadinya penarikan dana dari
Indonesia oleh investor asing yang mengalami kesulitan likuiditas (deleveraging). Selain itu,
juga bisa terjadi melalui aksi pemindahan portofolio investasi berisiko tinggi ke risiko lebih
rendah (flight to quality). Sementara dampak tidak langsung jalur finansial terjadi melalui
munculnya hambatan-hambatan terhadap ketersediaan pembiayaan ekonomi. Dampak
melalui jalur perdagangan muncul melalui melemahnya kinerja ekspor impor yang pada
gilirannya berpengaruh pada sektor riil dan berpotensi memunculkan risiko kredit bagi
perbankan. Hal tersebut juga berpotensi Ketahanan fundamental ekonomi Indonesia mulai
menghadapi ujian sejak pertengahan tahun 2007. Di tengah derasnya arus krisis ekonomi
global saat itu, ekonomi Indonesia masih mampu untuk melaju dan tumbuh 6,3 persen.
Kemudian, pada tahun 2008 ekonomi Indonesia juga masih berekspansi pada tingkat 6,1
persen. Terjaganya stabilitas ekonomi makro dan kepercayaan pasar menjadi faktor
kunci keberhasilan Pemerintah dalam mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi pada
level yang cukup tinggi.
Meskipun sinyal pemulihan ekonomi global akan mulai jelas terlihat pada tahun 2010,
bukan berarti pelaksanaan pembangunan ekonomi nasional pada tahun 2010 bebas dari
berbagai tantangan. Tantangan pelaksanaan pembangunan ekonomi tahun 2010 akan
cukup berat, baik yang berasal dari sisi global maupun domestik.
II. Neraca Pendapatan Nasional

Pendapatan nasional adalah merupakan jumlah seluruh pendapatan yang diterima


oleh masyarakat dalam suatu negara selama satu tahun.

Tujuan dan manfaat perhitungan pendapatan nasional


a. Tujuan mempelajari pendapatan nasional :
1. Untuk mengetahui tingkat kemakmuran suatu Negara
2. Untuk memperoleh taksiran yang akurat nilai barang dan jasa yang dihasilkan
masyarakat dalam satu tahun
3. Untuk membantu membuat rencana pelaksanaan program pembangunan yang
berjangka.
b. Manfaat mempelajari pendapatan nasional
1. Mengetahui tentang struktur perekonomian suatu Negara
2. Dapat membandingkan keadaan perekonomian dari waktu ke waktu antar daerah atau
antar propinsi
3. Dapat membandingkan keadaan perekonomian antar Negara
4. Dapat membantu merumuskan kebijakan pemerintah.

2.1. Metode Perhitungan Pendapatan Nasional

a. PDB/GDP (Produk Domestik Bruto/Gross Domestik Product)


Produk Domestik Bruto adalah jumlah produk berupa barang dan jasa yang
dihasilkan oleh unit-unit produksi di dalam batas wilayah suatu Negara selama satu
tahun. Dalam perhitungannya, termasuk juga hasil produksi dan jasa yang dihasilkan
oleh perusahaan/orang asing yang beroperasi diwilayah yang bersangkutan.

b. PNB/GNP (Produk Nasional Bruto/Gross Nasional Product)

PNB adalah seluruh nilai produk barang dan jasa yang dihasilkan masyarakat
suatu Negara dalam periode tertentu, biasanya satu tahun, termasuk didalamnya
barang dan jasa yang dihasilkan oleh masyarakat Negara tersebut yang berada di
luar negeri.

GNP = GDP – Produk netto terhadap luar negeri

c. NNP (Net National Product)

NNP adalah jumlah barang dan jasa yang dihasilkan oleh masyarakat dalam
periode tertentu, setelah dikurangi penyusutan (depresiasi) dan barang pengganti
modal.

NNP = GNP – Penyusutan

d. NNI (Net National Income)

NNI adalah jumlah seluruh penerimaan yang diterima oleh masyarakat setelah
dikurangi pajak tidak langsung (indirect tax)

NNI = NNP – Pajak tidak langsung


e. PI (Personal Income)
PI adalah jumlah seluruh penerimaan yang diterima masyarakat yang benar-
benar sampai ke tangan masyarakat setelah dikurangi oleh laba ditahan, iuran
asuransi, iuran jaminan social, pajak perseorangan dan ditambah dengan transfer
payment.

PI = (NNI + transfer payment)


– (Laba ditahan + Iuran asuransi + Iuran jamsos + Pajak perseorangan )

f. DI (Disposible Income)

DI adalah pendapatan yang diterima masyarakat yang sudah siap


dibelanjakan oleh penerimanya.

DI = PI – Pajak langsung

2.1.1. Perhitungan Pendapatan Nasional

Metode Produksi
Pendapatan nasional merupakan penjumlahan dari seluruh nilai barang dan jasa
yang dihasilkan oleh seluruh sector ekonomi masyarakat dalam periode tertentu

Y = [(Q1 X P1) + (Q2 X P2) + (Qn X Pn) ……]

Metode Pendapatan
Pendapatan nasional merupakan hasil penjumlahan dari seluruh penerimaan (rent,
wage, interest, profit) yang diterima oleh pemilik factor produksi adalam suatu negara
selama satu periode.

Y=r+w+i+p

Metode Pengeluaran
Pendapatan nasional merupakan penjumlahan dari seluruh pengeluaran yang
dilakukan oleh seluruh rumah tangga ekonomi (RTK,RTP,RTG,RT Luar Negeri) dalam
suatu Negara selama satu tahun.

Y = C + I + G + (X – M)

Contoh perhitungan adalah sebagai berikut :

Faktor saving : S = -40+0,3 Y


Faktor Impor : M = 20 + 0,2 Y
Pengeluaran investasi : I = 280
Ekspor : X = 100

a. pendapatan nasional ekuilibrium

I  X  S0  M 0
Y
SM
280  100  40  20
Y
0,3  20

b. Saving Ekuilibrium

S = -40 + 0,3 Y
= -40 + 0,3 x 800
= -40 + 240 = 200

c. Impor Ekuilibrium

M = C + I + X- M
800 = C + 280 + 100 – 180
C = 800-200 = 600

Dengan cara lain

C =Y–S
= 800- 200 = 600

2.1.2. Analisis Pendapatan Nasional pada sistem perekonomian tertutup sederhana.

Pendapatan nasional adalah merupakan jumlah seluruh pendapatan yang diterima


oleh masyarakat dalam suatu negara selama satu tahun. Hubungan timbal balik antara nilai
pada neraca pembayaran luar negeri suatu negara dengan tingkat pandaapatan nasionalnya.
Hubungan ini dapat diterangkan dengan menggunakan analisis pendapatan nasional.
Diantara berbagai macam pendekatan analisis pendapatan nasional yang dapat
dipergunakan untuk menerangkan hubungan timbal balik antara tingkat pendapatan nasional,
terdapat system perekonomian dua sektor.

Pendekatan Angka Pengganda dan IS-LM

1. Pendekatan angka pengganda luar negeri atau foreign trade multiplier approach. Model
analisis ini hanya memperhatikan satu pasar atau sektor saja, yaiXupasar komoditi, yang
biasa disebut juga sektor nyata atau real sector, sektor pengeluaran atau expenditure
sector. Lebih lanjut model angka pengganda perdagangan luar negeri ini dapat dibedakan
antara:
o Model angka pengganda tanpa pantulan
o Model angka pengganda dengan pantulan
2. Pendekatan IS-LM. Pendekatan IS-LM ini di samping memperhatikan sektor nyata juga
memperhatikan sektor moneter atau pasar uang. Macam pendekatan ini akan diuraikan
secara singkat, menggunakan anggapan bahwa pembaca sudah mengetahui analisis IS-
LM untuk perekonomian tertutup Untuk perekonomian terbuka kesamaan antara
pendapatan nasional, output nasional dan pengeluaran total nasional tidak lagi berlaku.
Kesamaan antara pendapatan nasional dengan output nasional masih tetap berlaku
selama jumlah pendapatan modal yang dibayar oleh penduduk negara tersebut kepada
para investor asing sama dengan jumlah pendapatan yang diterima penduduk negara
tersebut yang berasal dari penanaman modalnya di luar negeri. Keadaan perekonomian
seperti inilah yang kita pakai sebagai landasan dalam menerangkan analisis pendapatan
nasional untuk perekonomian kita.
Model anlalisis dengan variabel investasi dan tabungan
Analisis keuangan pemerintah biasanya mencakup 4 aspek sebagai berikut, yaitu :

1. Operasi keuangan pemerintah dalam hubungan dengan defisit / surplus anggaran dan
sumber-sumber pembiayaannya;
2. Dampak operasi keuangan pemerintah terhadap kegiatan sektor riil melalui pengaruhnya
terhadap Pengeluaran Konsumsi dan Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto
(PMTDB) pemerintah;
3. Dampak rupiah operasi keuangan pemerintah atau pengaruh operasi keuangan
pemerintah terhadap ekspansi bersih pada jumlah uang yang beredar;
4. Dampak Valuta Asing operasi keuangan pemerintah atau pengaruh operasi keuangan
pemerintah terhadap aliran devisa masuk bersih.

Terdapat sumber data untuk memperkirakan Investasi dan Tabungan Nasional, yaitu :

 Data Produk Domestik Bruto atas dasar harga berlaku menurut penggunaan
 Neraca Arus Dana yang digunakan oleh tim gabungan BPS, Bank Indonesia, dan
Departemen Keuangan.

Hubungan antara pertumbuhan ekonomi, inflasi dan pengangguran


Salah Satu masalah jangka pendek dalam ekonomi yaitu inflasi, pengangguran dan
neraca pemba-yaran. Inflasi (inflation) adalah terdapat sumber data untuk memperkirakan
Investasi dan Tabungan Nasional, yaitu Dampak Valuta Asing operasi keuangan pemerintah
Teori yang menganalisa bagian yang menyangkut pada system pemerintahan.
Didasarkan pada fakta itulah A.W. Phillips mengamati hubungan antara tingkat inflasi
dan tingkat pengangguran. Dari hasil pengamatannya, ternyata ada hubungan yang erat
antara inflasi dengan tingkat pengangguran, dalam arti jika inflasi tinggi, maka pengangguran
akan rendah. Hasil pengamatan Phillips ini dikenal dengan kurva philips.

Kurva Philip

Masalah utama dan mendasar dalam tenaga kerja di Indonesia adalah masalah upah
yang rendah dan tingkat pengangguran yang tinggi. Hal tersebut disebabkan karena,
pertambahan tenaga kerja baru jauh lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan lapangan
kerja yang dapat disediakan setiap tahunnya. Pertumbuhan tenaga kerja yang lebih besar
dibandingkan dengan ketersediaan lapangan kerja menimbulkan pengangguran yang tinggi.
Pengangguran merupakan salah satu masalah utama dalam jangka pendek yang selalu
dihadapi setiap negara. Karena itu, setiap perekonomian dan negara pasti menghadapi
masalah pengangguran, yaitu pengangguran alamiah (natural rate of unemployment).
Kurva Phillips di Indonesia dapat digambarkan dengan menggunakan data tingkat inflasi
tahunan dan tingkat pengangguran yang ada. Data digunakan adalah data dari tahun 1980
hingga tahun 2005. Berdasarkan hasil pengamatan dengan data yang ada, maka kurva
Phillips untuk Indonesia terlihat seperti gambar berikut :

Kurva Phillips untuk Indonesia

A.W. Phillips menggambarkan bagaimana sebaran hubungan antara inflasi dengan


tingkat pengangguran didasarkan pada asumsi bahwa inflasi merupakan cerminan dari
adanya kenaikan permintaan agregat. Dengan naiknya permintaan agre-gat, maka sesuai
dengan teori permintaan, jika permintaan naik maka harga akan naik. Dengan tingginya harga
(inflasi) maka untuk memenuhi permintaan tersebut produsen meningkatkan kapasitas
produksinya dengan menambah tenaga kerja (tenaga kerja merupakan satu-satunya input
yang dapat meningkatkan output). Akibat dari peningkatan permintaan tenaga kerja maka
dengan naiknya harga-harga (inflasi) maka, pengangguran berkurang.
Menggunakan pendekatan A.W.Phillips dengan menghubungkan antara pengangguran
dengan tingkat inflasi untuk kasus Indonesia kurang tepat. Hal ini didasarkan pada hasil
analisis tingkat pengangguran dan inflasi di Indonesia dari tahun 1980 hingga 2005, ternyata
secara statistik maupun grafis tidak ada pengaruh yang signifikan antara inflasi dengan tingkat
pengangguran.

Perekonomian Nasional
Tekanan eksternal sebagai dampak dari terjadinya krisis global telah
mengakibatkan perlambatan pada pertumbuhan perekonomian Indonesia tahun 2008.
Setelah mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi sebesar 6,3 persen pada tahun 2007,
perekonomian Indonesia melambat menjadi 6,1 persen pada tahun 2008. Dari sisi penggunaan,
konsumsi rumah tangga menjadi sumber utama pertumbuhan diikuti oleh ekspor dan
investasi. Sedangkan dari sisi sektoral pertumbuhan tersebut didominasi oleh
pertumbuhan sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor listrik, gas, dan air bersih,
serta sektor keuangan.
Konsumsi rumah tangga yang mempunyai peran sekitar 60 persen dalam
pembentukan PDB tumbuh sebesar 5,3 persen, meningkat dibandingkan tahun 2007
yang tumbuh sebesar 5,0 persen. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga disumbangkan
oleh konsumsi makanan sebesar 4,3 persen dan konsumsi bukan makanan sebesar 6,2
persen. Kebijakan Pemerintah meningkatkan belanja sosial dan pemberian kompensasi
kenaikan harga BBM dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT) mengurangi penurunan daya
beli masyarakat.
Penguatan konsumsi rumah tangga ditunjukkan oleh peningkatan indikator-
indikator konsumsi, antara lain penerimaan PPN, penjualan mobil-motor, konsumsi listrik, dan
kredit konsumsi. PPN dalam negeri dan PPN impor dalam tahun 2008 masing-masing
tumbuh sebesar 14,2 persen dan 44,7 persen. Sementara itu, pertumbuhan penjualan motor dan
mobil masing-masing mencapai 32,6 persen dan 39,3 persen. Indikator konsumsi dari sisi
moneter, seperti kredit konsumsi tumbuh sebesar 33,4 persen.
Pengeluaran konsumsi Pemerintah selama tahun 2008 tumbuh sebesar 10,4 persen,
lebih tinggi dibandingkan tahun 2007 yang hanya tumbuh sebesar 3,9 persen. Pertumbuhan
ini didorong oleh kenaikan belanja barang yang meningkat sebesar 22,6 persen sedangkan
belanja pegawai justru melambat menjadi 4,5 persen.
Investasi merupakan sumber ketiga pertumbuhan PDB dari sisi penggunaan. Selama
tahun 2008, investasi mencatat pertumbuhan sebesar 11,7 persen, lebih tinggi dibanding
tahun 2007 yang tumbuh sebesar 9,4 persen. Pertumbuhan investasi yang peranannya dalam
PDB mencapai 27,6 persen, didorong oleh
tingginya investasi jenis alat angkutan dari luar
GRAFIK II.5
PERTUMBUHAN PDB TAHUN 2005 - 2008 negeri sebesar 41,4 persen
7% 6.3% 6.1% Pertumbuhan ekspor pada tahun 2008
6% 5.7% 5.5%

5%
mencapai 9,5 persen atau lebih tinggi dibanding
4% tahun 2007 yang mencapai 8,5 persen yang
3% didukung oleh tumbuhnya ekspor barang
2%
sebesar 8,7 persen dan ekspor jasa sebesar
1%

0%
17,5 persen. Meningkatnya pertumbuhan
2005 2006 2007 2008 ekspor barang ini terutama disebabkan oleh
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) meningkatnya permintaan komoditi seperti Crude
Palm Oil (CPO), minyak bumi dan barang
pertambangan. Peranan ekspor menempati
urutan kedua setelah konsumsi rumah tangga
dalam PDB yaitu sebesar 29,8 persen.
Pertumbuhan impor mencapai 10,0 persen pada tahun 2008 atau lebih tinggi dibanding tahun
2007 sebesar 8,97 persen.
Sektor industri pengolahan tumbuh sebesar 3,7 persen menurun dibandingkan
tahun sebelumnya yang tumbuh sebesar 4,7
persen. Menurunnya pertumbuhan sektor ini GRAFIK II.6
SUMBER-SUMBER PERTUMBUHAN EKONOMI
terkait dengan terjadinya krisis global yang 2005 - 2008
menyebabkan turunnya permintaan produk- 20%
2005 2006 2007 2008
produk domestik terutama industri makanan, 16%

minuman, dan tembakau, kertas dan barang


12%
cetakan, semen dan barang galian bukan
(yoy)

logam, serta logam dasar besi dan baja. 8%

Sektor industri pengolahan memberikan 4%


peranan tertinggi terhadap PDB yakni
0%
sebesar 27,9 persen. Kons. RT Kons. Pem. PMTB Ekspor Impor
Sumber: BPS
TABEL
DISTRIBUSI PDB ATAS HARGA BERLAKU
Sektor 2007 2008
Pertanian 13,7% 14,4%
Pertambangan 11,2% 11,0%
Industri Pengolahan 27,1% 27,9%
Listrik, Gas, dan Air Bersih 0,9% 0,8%
Bangunan 7,7% 8,5%
Perdagangan, Hotel dan 14,9% 14,0%
Pengangkutan
Restoran dan Komunikasi 6,7% 6,3%
Keuangan 7,7% 7,4%
Jasa-jasa 10,1% 9,8%
Sumber: BPS

Sementara itu, sektor perdagangan tumbuh sebesar 7,2 persen, lebih rendah
dibandingkan dengan pertumbuhan tahun 2007 yang sebesar 8,4 persen. Mengurangi
penurunan daya beli masyarakat dan cenderung tingginya suku bunga ikut
mendorong penurunan pertumbuhan sektor ini. Sektor perdagangan memberikan
peranan terbesar kedua dalam PDB, yaitu sebesar 14,0 persen yang berasal dari peranan
subsektor perdagangan besar dan eceran sebesar 11,1 persen, subsektor restoran sebesar
2,5 persen, dan subsektor hotel sebesar 0,4 persen. Sedangkan kontribusinya terhadap
pertumbuhan PDB mencapai 1,2 persen.
Sektor pertanian menunjukkan pertumbuhan yang meningkat dibandingkan
tahun sebelumnya, yaitu dari 3,4 persen pada tahun 2007 menjadi 4,8 persen pada tahun
2008. Peningkatan ini terutama disebabkan oleh meningkatnya pertumbuhan subsektor
tanaman bahan makanan khususnya padi. Berbagai program dan kebijakan telah
diluncurkan Pemerintah untuk mendukung pertumbuhan sektor pertanian, antara lain
kenaikan harga pembelian gabah dan beras, penggunaan benih varietas unggul melalui
program peningkatan produksi beras nasional (P2BN), perbaikan distribusi pupuk, perbaikan
sistem irigasi, dan perbaikan usaha pasca panen.
Tajamnya kenaikan harga minyak internasional telah mendorong Pemerintah untuk
meningkatkan harga BBM. Namun kondisi ini tidak terlalu berpengaruh secara signifikan
terhadap tingkat penyerapan tenaga kerja Indonesia. Kuatnya fundamental ekonomi
nasional yang disertai dengan terjaganya stabilitas ekonomi serta didukung oleh
pertumbuhan sektor industri mampu mendorong peningkatan permintaan terhadap tenaga
kerja. Hal ini pada gilirannya dapat memperluas kesempatan kerja.

2.2. ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA (APBN)

Anggaran secara umum : Rencana kegiatan keuangan yang berisi perkiraan belanja yang
diusulkan dalam satu periode dan sumber pendapatan yang diusulkan untuk membiayai
belanja tersebut

Penganggaran : Aktivitas mengalokasikan sumberdaya keuangan yang terbatas untuk


pembiayaan Negara yang cenderung tanpa batas.

Dalam penganggaran perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :


a. Kondisi perekonomian
b. Struktur politik
c. Prioritas pembelanjaan
Dasar Hukum Anggaran :
a. Konstitusi suatu Negara
b. Undang-undang tentang anggaran setiap tahun
c. Peraturan pelaksanaan

Fungsi anggaran :
a. Pedoman pengelolaan Negara
b. Alat prioritas
c. Alat negosiasi politik

Klasifikasi Anggaran, berdasarkan :


a. Objek
b. Organisasi
c. Fungsi
d. Sifat/Karakter
e. Kehematan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia

Siklus APBN

a. Perencanaan oleh Presiden


b. Persetujuan oleh DPR dengan pertimbangan DPD
c. Pengesahan oleh Presiden
d. Pelaksanaan oleh Presiden
e. Pengawasan/Pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
f. Pertanggung jawaban :
- Diajukan oleh Presiden
- Disetujui oleh DPR
- Disahkan oleh Presiden

Bentuk Anggaran
a. Sebelum tahun 2000 berbentuk huruf T (T Account)
b. Tahun 2000 dan sesudahnya berbentuk huruf I (I Account)

Manfaat Anggaran
a. Alokasi, membagi sumber daya dana secara tepat
b. Distribusi, memeratakan pendapatan masyarakat
c. Stabilisasi, menjaga stabilisasi nasional dan pertumbuhan ekonomi

Prinsip penyusunan anggaran


a. Keterbukaan
b. Periodik
c. Pembebanan Anggaran Pengeluaran
d. Fleksibilitas
e. Preabel
f. Kecermatan
g. Kelengkapan dan Universalitas
h. Komprehensif
i. Terinci
j. Berimbang
k. Berkesinambungan
l. Kenaikan
Fungsi dan Peran APBN

 APBN sebagai alat mobilisasi dana investasi, APBN di negara-negara sedang


berkembang adalah sebagai alat untuk memobilisasi dana investasi dan bukannya
sebagai alat untuk mencapai sasaran stabilisasi jangka pendek. Oleh karena itu
besarnya tabungan pemerintah pada suatu tahun sering dianggap sebagai ukuran
berhasilnya kebijakan fiskal Baik pengeluaran maupun penerimaan pemerintah
mempunyai pengaruh atas pendapatan nasional. Pengeluaran pemerintah dapat
memperbesar pendapatan nasional (expansionary), tetapi penerimaan pemerintah
dapat mengurangi pendapatan nasional (contractionary).

 APBN sebagai alat Stabilisasi Ekonomi,

a. Pemerintah menentukan beberapa kebijaksanaan di bidang anggaran belanja


dengan tujuan mempertahankan stabilitas proses pertumbuhan dan pembangunan
ekonomi. Anggaran belanja dipertahankan agar seimbang dalam arti bahwa
pengeluaran total tidak melebihi penerimaan total
b. Tabungan pemerintah diusahakan meningkat dari waktu ke waktu dengan tujuan
agar mampu menghilangkan ketergantungan terhadap bantuan luar negeri sebagai
sumber pembiayaan pembangunan.
c. Basis perpajakan diusahakan diperluas secara berangsur-angsur dengan cara
mengintensifkan penaksiran pajak dan prosedur pengumpulannya.
d. Prioritas harus diberikan kepada pengeluaran-pengeluaran produktif
pembangunan, sedang pengeluaran-pengeluaran rutin dibatasi. Subsidi kepada
perusahaan-perusahaan negara dibatassi.
e. Kebijaksanaan anggaran diarahkan pada sasaran untuk mendorong pemanfaatan
secara maksimal sumber-sumber dalam negeri

 Dampak APBN terhadap Perekonomian

Cara untuk menggolongkan pos-pos penerimaan dan pengeluaran yang masing-


masing menghasilkan tolok ukur yang berbeda mengenai dampak APBN nya.

Ada empat tolok ukur dampak APBN, yaitu :

1. Saldo Anggaran Keseluruhan

Konsep ini ingin mengukur besarnya pinjaman bersih pemerintah dan didefinisikan
sebagai :

G – T = B = Bn + Bb + Bf

Catatan :
G = Seluruh pembelian barang dan jasa (didalam maupun luar negeri),
pembayaran transer dan pemberian pinjaman bersih.
T = Seluruh penerimaan, termasuk penerimaan pajak dan bukan pajak
B = Pinjaman total pemerintah
Bn = Pinjaman pemerintah dari masyarakat di luar sektor perbankan
Bb = Pinjaman pemerintah dari sektor perbankan
Bf =Pinjaman pemerintah dari luar negeri

- Jika Pemerintah tidak mengeluarkan obligasi kepada masyarakat, maka saldo


anggaran keseluruhan menjadi :
G – T – B = Bb + Bf
- APBN dicatat demikian rupa sehingga menjadi anggaran berimbang :
G–T–B=0

Sejak APBN 2000 saldo anggaran keseluruhan defisit dibiayai melalui:


a. Pembiayaan Dalam Negeri :
-Perbankan Dalam Negeri
-Non Perbankan Dalam Negeri
b. Pembiayaan Luar Negeri Bersih
-Penarikan pinjaman luar negeri (bruto)
-Pembayaran cicilan pokok utang luar negeri

2. Konsep Nilai Bersih

Defisit menurut konsep nilai bersih adalah saldo dalam rekening lancar APBN.
Konsep ini digunakan untuk mengukur besarnya tabungan yang diciptakan oleh
sektor pemerintah, sehingga diketahui besarnya sumbangan sektor pemerintah
terhadap pembentukan modal masyarakat.

3. Defisit Domestik
• Saldo anggaran keseluruhan tidak merupakan tolok ukur yang tepat bagi
dampak APBN terhadap pereknomian dalam negeri maupun terhadap neraca
pembayaran.
• Bila G dan T dipecah menjadi dua bagian (dalam negeri dan luar negeri)
G = Gd + Gf
T = Td + Tf, maka persamaan (2) di atas menjadi
(Gd – Td) + (Gf – Tf) = + Bf
(Gd – Td) = dampak langsung putaran pertama terhadap PDB
(Gf – Tf) = dampak langsaung putaran pertama terhadap neraca pembayaran

4. Defisit Moneter

 Konsep ini banyak digunakan dikalangan perbankan Indonesia terutama


angka-angka yang mengukur defisit anggaran belanja ini diterbitkan oleh Bank
Indonesia (sebagai data mengenai “faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah
uang beredar”). Defisit dikur sebagai posisi bersih (netto) pemerintah terhadap
sektor perbankan : G – T – Gf – Gb Karena Bn = 0

 Di dalam konsep ini bantuan luar negeri dianggap sebagai penerimaan,


diperlakukan sebagai pos yang tidak mempengaruhi posisi bersih. Bantuan luar
negeri tidak dilihat fungsinya sebagai sumber dana bagi kekurangan
pembiayaan pemerintah, tetapi sebagai pos pengeluaran yang langsung
dikaitkan dengan sumber pembiayaannya

2. Struktur dan Susunan APBN

 Pendapatan Negara dan Hibah


1. Penerimaan Pajak
2. Penerimaan Bukan Pajak (PNBK)
 Belanja Negara
1. Belanja pemerintah pusat
2. Anggaran Belanja untuk Daerah

 Keseimbangan Primer Perbedaan Statistik

1. Surplus/ Defisit Anggaran


2. Pembiayaan

3. Prinsip-prinsip Dalam APBN

 Prinsip Anggaran APBN


 Prinsip Anggaran dinamis
 Prinsip Anggaran Fungsional

Penyusunan APBN 2010 mengacu pada ketentuan yang tertuang dalam Undang-
undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dengan berpedoman kepada
Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2010, Kerangka Ekonomi Makro, dan Pokok-pokok
Kebijakan Fiskal tahun 2010 sebagaimana telah disepakati dalam pembicaraan pendahuluan
antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia tanggal 17 Juni 2009
yang lalu.
Selanjutnya, siklus dan mekanisme APBN meliputi: (a) tahap penyusunan RAPBN
oleh Pemerintah; (b) tahap pembahasan dan penetapan RAPBN dan RUU APBN menjadi
APBN dan UU APBN dengan Dewan Perwakilan Rakyat; (c) tahap pelaksanaan APBN; (d)
tahap pemeriksaan atas pelaksanaan APBN oleh instansi yang berwenang antara lain
Badan Pemeriksa Keuangan; dan (e) tahap pertanggungjawaban pelaksanaan APBN. Siklus
APBN 2010 akan berakhir pada saat Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP)
disahkan oleh DPR pada 6 bulan setelah berakhirnya tahun anggaran.

Asumsi Dasar APBN 2010


Proyeksi perekonomian nasional pada tahun 2010 akan sangat dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Pertama, seberapa dalam dan lama krisis perekonomian global akan
berlangsung. Kedua, efektifitas kerjasama global dalam mengatasi krisis dunia,
yaitu dengan: (1) membersihkan toxic asset/pinjaman bermasalah di perbankan dan
mengembalikan fungsi bank; (2) melakukan rekapitulasi/ penambahan modal pada lembaga
keuangan/perbankan; (3) memperbaiki regulasi sektor keuangan (hedge fund, off balance
sheet, produk derivatif, standar akuntansi, dan tax heavens); (4) kebijakan stimulus fiskal
yang dilakukan negaranegara di dunia; dan (5) penambahan alokasi pendanaan mitigasi
krisis ke negara-negara berkembang serta menambah modal lembaga keuangan
internasional (IFIs). Ketiga, efektivitas langkah-langkah kebijakan yang ditempuh
Pemerintah untuk mengatasi dan memulihkan perekonomian nasional pada tahun 2009
dan 2010.
Berdasarkan pada prediksi perkembangan krisis perekonomian dunia pada tahun 2009
serta pemulihan di tahun 2010, asumsi ekonomi makro Indonesia dalam tahun 2010
adalah sebagai berikut. Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2010 sekitar 5,5 persen.
Sasaran tersebut didukung oleh perkiraan kenaikan konsumsi rumah tangga, investasi, dan
ekspor. Impor barang dan jasa juga meningkat seiring dengan meningkatnya aktivitas produksi
dan pendapatan masyarakat yang mendorong peningkatan impor bahan baku, barang
modal serta kebutuhan konsumsi domestik. Tingkat inflasi diperkirakan sekitar 5,0 persen.
Faktorfaktor yang memengaruhi target inflasi antara lain: (1) pemulihan ekonomi global
dan kecenderungan kenaikan harga komoditi; (2) nilai tukar relatif stabil didukung oleh
peningkatan perdagangan dan arus modal masuk; serta (3) terjaganya pasokan dan arus
distribusi barang. Harga minyak mentah (ICP) diperkirakan rata-rata US$65 per barel.
Perkiraan tersebut didasarkan dengan mulai pulihnya kondisi perekonomian global,
sehingga mendorong peningkatan permintaan minyak, dan perkiraan stabilnya supply
minyak mentah negaranegara OPEC dan Non-OPEC. Dengan pengoptimalan sumur-sumur
minyak yang ada dan upaya Pemerintah untuk memperbaiki kemampuan produksi minyak,
maka volume lifting minyak mentah diperkirakan akan mencapai 0,965 juta barel per hari.

TABEL
ASUMSI EKONOMI MAKRO 2009-2010
2009
Dok. 2010
Indikator Ekonomi
APBN Stimulus APBN-P APBN

1. Pertumbuhan Ekonomi (%) 6,0 4,5 4,3 5,5


2. Inflasi (%) 6,2 6,0 4,5 5,0
3. NilaiTukar (Rp/US$) 9.400 11.000 10.500 10.000
4. Suku Bunga SBI -3 Bulan (%) -3,75 7,5 7,5 6,5
5. Harga Minyak ICP (US$) 80,0 45,0 61,0 65,0
6. Lifting Minyak (juta barel/hari) 0,960 0,960 0,960 0,965
Sumber: Departemen Keuangan

2.2.1. Sasaran APBN 2010


Tema pembangunan dalam tahun 2010 adalah “Pemulihan Perekonomian Nasional
dan Pemeliharaan Kesejahteraan Rakyat”. Dalam upaya mewujudkan tema
pembangunan tersebut, Pemerintah menghadapi berbagai masalah dan
tantangan, antara lain (1) menanggulangi kemiskinan, (2) meningkatkan akses
dan kualitas pendidikan, (3) meningkatkan akses dan kualitas kesehatan, (4)
meningkatkan kualitas pelayanan publik, (5) meningkatkan kinerja dan kesejahteraan PNS,
(6) menguatkan kapasitas Pemerintah daerah, (7) memantapkan pencegahan korupsi dan
meningkatkan kualitas penanganan korupsi, (8) meningkatkan kemampuan pertahanan
dan industri strategis pertahanan, (9) meningkatkan daya tarik investasi dan daya saing
ekspor, (10) merevitalisasi pertanian, perikanan, kehutanan dan industri manufaktur, (11)
meningkatkan ketahanan pangan, (12) meningkatkan rehabilitasi dan konservasi SDA,
serta (13) memantapkan politik dan hukum.
Untuk menghadapi masalah dan tantangan tersebut, guna mewujudkan tema
pembangunan dalam tahun 2010, telah ditetapkan prioritas pembangunan nasional dalam
Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2010 sebagai berikut. Pertama, pemeliharaan
kesejahteraan rakyat, serta penataan kelembagaan dan pelaksanaan sistem perlindungan sosial.
Kedua, peningkatan kualitas sumber daya manusia. Ketiga, pemantapan reformasi birokrasi
dan hukum, serta pemantapan demokrasi dan keamanan nasional. Keempat, pemulihan
ekonomi yang didukung peningkatan kualitas pengelolaan sumber daya alam dan
kapasitas penanganan perubahan iklim.
Dengan memperkirakan terjadi perbaikan perekonomian dunia dalam tahun 2010,
serta dalam rangka mendukung sasaran utama mengurangi jumlah penduduk miskin,
maka RAPBN 2010 direncanakan akan berada pada tingkat defisit 1,6 persen terhadap
PDB. Target defisit dalam tahun 2010 tersebut mengalami penurunan dibandingkan tahun 2009
yang diperkirakan mengalami defisit 2,4 persen terhadap PDB. Untuk mengamankan target
defisit (Grafik II.53) dalam tahun 2010, pendapatan negara diharapkan akan dapat ditingkatkan,
khususnya dari perpajakan dan PNBP. Belanja negara akan terus diefisienkan dan diefektifkan
untuk mendukung program-program pembangunan tahun 2010, dengan tetap
memperhatikan perbaikan administrasi serta mempertahankan stimulus fiskal.

2.2.2. Kebijakan Fiskal 2010


GRAFIK
APBN 2010 merupakan APBN transisi ke PERKEMBANGAN DEFISIT APBN 2001-2009 DAN
APBN 2010
0.0
Pemerintahan dan DPR hasil Pemilihan
-0.5
Umum tahun 2009. RAPBN 2010 disusun

% thd PDB
-1.0
dalam rangka “Pemulihan Perekonomian
-1.5
Nasional dan Pemeliharaan
-2.0
Kesejahteraan Rakyat” sesuai dengan tema
-2.5
Rencana Kerja Pemerintah tahun 2010.
-3.0
Sejalan dengan tema pembangunan tersebut, APBN-P
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 APBN
maka pokok-pokok kebijakan fiskal tahun Sumber: Departemen Keuangan 2010

2010 diarahkan untuk : (1)


meneruskan/meningkatkan seluruh program
kesejahteraan rakyat (PNPM, BOS,
Jamkesmas, Raskin, PKH dan berbagai subsidi
lainnya); (2) melanjutkan program stimulus fiskal melalui pembangunan infrastruktur,
pertanian dan energi, serta proyek padat karya; (3) mendorong pemulihan dunia usaha,
termasuk melalui pemberian insentif perpajakan dan bea masuk; (4) meneruskan reformasi
birokrasi; (5) memperbaiki alutsista; serta (6) menjaga anggaran pendidikan minimal 20,0
persen dari APBN.
Dalam tahun 2010, rencana pendapatan negara dan hibah direncanakan sebesar
Rp949,7 triliun atau mengalami kenaikan 4,9 persen dari APBN-P 2009. Kenaikan
rencana pendapatan negara tersebut diharapkan akan didukung oleh kenaikan
penerimaan perpajakan. Dalam tahun 2010, target penerimaan perpajakan sebesar Rp742,7
triliun (12,3 persen terhadap PDB) yang berarti meningkat Rp90,8 triliun atau 13,9 persen dari
APBN-P 2009. Sejalan dengan target penerimaan perpajakan di tahun 2010 tersebut akan
dilakukan beberapa langkah kebijakan pajak yang diantaranya meliputi : (1) penurunan tarif
PPh Badan dari 28,0 persen menjadi 25,0 persen sesuai amanat Amendemen UU PPh; (2)
pemberian fasilitas PPh Badan untuk perusahaan masuk bursa sebesar 5,0 persen dari tarif
normal; (3) kebijakan pajak ditanggung Pemerintah (DTP) antara lain dalam bentuk subsidi
pajak PPN dan bea masuk untuk sektor tertentu, serta insentif fiskal dalam upaya memacu
kegiatan usaha hulu migas; (4) pelaksanaan amendemen Undang-undang PPN; serta (5)
melanjutkan reformasi dan modernisasi administrasi pajak.
Di bidang kepabeanan dan cukai, kebijakan yang akan ditempuh di tahun 2010,
diantaranya dalam bentuk : (1) pemberian fasilitas kepabeanan dengan tarif nominal most
favorable nation (MFN) 7,5 persen, common effective preferential tariff (CEPT) 2,0
persen, ASEAN-Korea 2,6 persen, ASEAN-China 3,8 persen, dan Indonesia-Jepang 4,0
persen; (2) pemberian insentif dalam rangka mendukung kebijakan perdagangan dan
industri;
Di bidang PNBP, kebijakan yang akan ditempuh di tahun 2010 diantaranya
adalah:
(1) meningkatkan produksi sumber daya alam yang didukung dengan insentif fiskal;
(2) mengembangkan energi baru dan terbarukan sebagai energi alternatif; (3) meningkatkan
fungsi pelayanan pada PNBP K/L; (4) melakukan penyempurnaan peraturan mengenai
tarif PNBP pada K/L, serta (5) menerapkan kebijakan pay out ratio penarikan dividen BUMN
sebesar 5,0 persen hingga 55,0 persen, terkecuali untuk BUMN dengan akumulasi rugi, sektor
asuransi, kehutanan, dan perkebunan.
Belanja Pemerintah pusat dalam tahun 2010 direncanakan sebesar Rp725,2 triliun,
atau mengalami peningkatan Rp33,7 triliun atau 4,9 persen dari APBN-P 2009.
Peningkatan tersebut terutama dari peningkatan belanja pegawai, barang, dan modal
sejalan dengan kenaikan anggaran belanja K/L. penurunan Rp0,3 triliun atau 0,2 persen
dari APBN-P 2009. Selain perbaikan kebijakan subsidi secara umum, maka secara khusus
juga akan dilakukan beberapa kebijakan subsidi secara lebih spesifik sebagai berikut.
Di bidang subsidi BBM dalam tahun 2010 akan ditempuh kebijakan : (1) melakukan
penyesuaian harga jual eceran BBM dalam negeri mendekati harga keekonomian dengan
mempertimbangkan dampaknya terhadap daya beli masyarakat dan kemampuan keuangan
negara; (2) membatasi pengguna BBM bersubsidi, hanya pada sektor rumah tangga, usaha
kecil (termasuk petani omprongan tembakau), usaha perikanan, nelayan, transportasi dan
pelayanan umum; (3) melanjutkan program konversi penggunaan minyak tanah ke LPG ; (4)
mendistribusikan BBM bersubsidi dengan sistem tertutup dan lebih tepat sasaran; (5)
melakukan pengawasan lebih ketat terhadap jumlah volume BBM bersubsidi yang
didistribusikan kepada masyarakat, diikuti kegiatan penindakan bagi penyalahgunaan serta
melakukan pengaturan/revitalisasi tata niaga BBM yang diikuti aktivitas penindakan dan
pencegahannya; serta (6) memanfaatkan energi alternatif lainnya, seperti gas, batubara,
panas bumi, air, dan bahan baku nabati.
Di bidang subsidi listrik, kebijakan yang akan ditempuh di tahun 2010,
diantaranya: (1) memberikan subsidi listrik sepanjang tarif dasar listrik (TDL) yang ditetapkan
Pemerintah masih lebih rendah dari biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik; (2)
penghematan pemakaian listrik melalui penurunan losses dan penerapan tarif non subsidi
untuk pelanggan 6.600 VA ke atas; serta (3) melakukan diversifikasi energi primer di
pembangkitan tenaga listrik, melalui optimalisasi penggunaan gas, penggantian high speed
diesel (HSD) menjadi marine fuel oil (MFO), peningkatan penggunaan batubara, serta
pemanfaatan biofuel dan panas bumi.

2.2.3. Kebijakan Alokasi


Kebijakan alokasi dalam APBN 2010 dilakukan Pemerintah terutama melalui
pengalokasian anggaran belanja negara dalam penyediaan barang dan jasa secara
langsung guna mendukung program-program pembangunan yang telah ditetapkan dalam
RKP 2010. Hal tersebut ditempuh antara lain dalam bentuk pengeluaran untuk bidang pendidikan,
kesehatan, pembangunan infrastruktur, peningkatan kualitas pertumbuhan pertanian,
perikanan, perkebunan, pertahanan dan keamanan, serta pengeluaran untuk transfer ke
daerah.
Guna mendukung strategi pembangunan tahun 2010, yaitu peningkatan kesejahteraan
rakyat dan pengurangan kemiskinan, kebijakan pengalokasian pengeluaran di bidang
pendidikan akan difokuskan pada: (1) peningkatan kualitas wajib belajar pendidikan dasar
sembilan tahun yang merata, (2) peningkatan akses, kualitas, dan relevansi pendidikan
menengah dan tinggi, (3) peningkatan kualitas dan revelansi pendidikan
nonformal, serta 4) peningkatan profesionalisme dan kesejahteraan pendidik.
Pengalokasian APBN untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi diantaranya
melalui:
(1) peningkatan daya tarik investasi, (2) penguatan daya saing ekspor dan pariwisata,
(3) revitalisasi industri manufaktur, (4) revitalisasi pertanian, perikanan, dan kehutanan,
(5) peningkatan produktivitas dan kompetensi tenaga kerja, serta (6) peningkatan produktivitas
dan akses usaha kecil dan menengah (UKM) kepada sumber daya produktif.

2.2..4. Kebijakan Stabilisasi


Kebijakan stabilisasi diarahkan untuk mendorong tetap terjaganya stabilitas ekonomi
dengan mengupayakan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Belanja negara dapat digunakan
untuk melakukan stabilisasi perekonomian nasional agar tetap dapat berjalan sesuai arah
yang telah direncanakan dan memiliki daya tahan terhadap fluktuasi/gejolak perekonomian
yang dipengaruhi baik oleh faktor internal maupun eksternal.
Untuk mencapai stabilitas ekonomi maka arah kebijakan fiskal yang ditempuh
Pemerintah pada 2010 antara lain dengan: (1) meningkatkan ketahanan pangan, (2)
meningkatkan stabilitas harga dan pengamanan pasokan bahan pokok, (3) melakukan
pengelolaan APBN yang berkelanjutan (fiscal sustainability), serta (4) meningkatkan
ketahanan dan daya saing dan sektor keuangan.

2.3. Neraca Pembayaran

A. Definisi Neraca Pembayaran

Neraca pembayaran adalah suatu pembukuan yang menunjukkan aliran pembayaran


yang dilakukan dari negara-negara lain ke dalam negeri, dan dari dalam negeri ke negara-
negara lain. Neraca pembayaran adalah suatu catatan aliran keuangan yang menunjukkan
nilai traksaksi perdagangan dan aliran dana yang dilakukan di antara suatu egara lain dalam
suatu tahun tertentu. Suatu neraca pembayaran dapat dibedakan kepada dua bagian yang
utama, yaitu neraca berjalandan neraca modal. Pembayaran-pembayaran yang dilakukan
tersebut meliputi (i) penerimaan dari ekspor dan pembayaran untuk impor barang dan jasa; (ii)
aliran masuk penanaman modal asing dan pembayaran penanaman modal ke luar negeri;
dan (iii) aliran ke luar dan lairan masuk modal jangka pendek (seperti mendepositkan uang di
luar negeri).
Dua neraca penting dalam suatu neraca pembayaran adalah neraca perdagangan dan
neraca keseluruhan. Neraca perdagangan menunjukkan perimbangan di antara ekspor dan
impor. Sedangkan neraca keseluruhan menunjukkan perimbangan di antara keseluruhan
aliran pembayaran ke luar negeri dan keseluruhan aliran penerimaan dari luar negeri. Defisit
neraca pembayaran berarti pembayaran ke luar negeri melebihi penerimaan dari luar negeri.
Salah satu faktor penting yang menimbulkan defisit tersebut.
Defisit dalam neraca pembayaran menimbulkan beberapa akibat buruk terhadap
kegiatan dan kestabilan ekonomi negara. Defisit sebagai akibat impor yang berlebihan akan
mengakibatkan penurunan dalam negeri dengan barang impor. Harga valuta asing akan
meningkat dan menyebabkan harga-harga barang impor bertambah mahal. Kegiatan ekonomi
dalam negeri yang menurun mengurangi kegairahan pengusaha-pengusaha untuk melakukan
penanaman modal dan membangun kegiatan usaha baru.
Neraca pembayaran memberikan beberapa informasi penting mengani hubungan
ekonomi di antara satu negara dengan negara-negara asing. Neraca pembayaran akan
memberikan informasi mengenai nilai dan perkembangan ekspor dan impor. Ekspor dan
impor adalah kegiatan yang selalu dilakukan setiap negara dan sampai di mana peranan
kegiatan tersebut dalam perekonomian dapat diamati dari perkembangan neraca
pembayaran. Defisit dalam neraca pembayaran, yang disebabkan oleh impor yang melebihi
ekspor, mengurangi tingkat kegiatan ekonomi di dalam negeri dan masalah pengangguran
yang lebih serius akan dihadapi.
Neraca keseluruhan yang negatif, dan dinamakan defisit neraca pembayaran, berarti
mutasi-mutasi keungan ke luar negeri adalah lebih banyak dari yang diterima dari luar negeri.
Disamping dapat menunjukkan besarnya defisit yang dialami dalam suatu waktu tertentu, dari
neraca pembayaran dapat juga dilihat sebab-sebab yang menimbulkan defisit tersebut.
Mungkin sebabnya adalah impor yang lebih besar dari ekspor. Disamping itu ia dapat
disebabkan pula oleh pengaliran modal yang terlalu besar ke luar negeri.
Neraca pembayaran mengukur transaksi ekonomi yang terjadi antar-negara baik
barang maupun jasa, baik asset riil maupun reset finanisal, ataupun pembayaran transfer
karena neraca ini mencerminkan volume transaksi yang terjadi selama periode waktu tertentu,
biasanya satu tahun, maka neraca pembayaran mengukur aliran atau flow. Beberapa
transaksi yang termasuk dalam neraca pembayaran tidak menggunakan pembayaran dalam
bentuk uang. Sebagai contoh, jika masalah Time mengirim mesin press cetak ke cabangnya
di Australia, tidak terjadi pembayaran dalam bentuk uang; tetapi karena telah terjadi transaksi
ekonomi antar negara, maka transaksi ini harus dimasukkan dalam neraca pembayaran.

B. Ciri-ciri Neraca Pembayaran

Sebagai suatu neraca pembukuan, neraca pembayaran dapat dibedakan kepada dua
bagian: passive dan aktiva. Dalam bagian passive di catat transaksi-transaksi yang
menyebabkan negara itu melakukan pembayaran ke negara-negara lain. Dan dalam bagian
aktiva dicatatkan transaksi-transakit yang menyebabkan negara itu menerima pembayaran
dari negara lain. Selanjutnya suatu neraca pembayaran dibedakan pula menjadi dua jenis
pembukuan, yaitu transaki berjalan atau current account dan lalu lintas modal atau capital
account.

1. Transaksi berjalan. Dalam transaksi berjalan atau current account dicatat transaksi-
transaksi berikut:

a. Ekspor dan impor barang-barang. Ia dinamakan juga dengan istilah


perdagangan nyata.
Transaksi ini meliputi hasil-hasil sector pertanian, barang-barang produksi industri,
neraca (yaitu perbedaan di antara ekspor dan impor) dari perdagangan tampak
yaitu perdagangan dalam barang-barang tampak dinamakan neraca perdagangan.
Apabila nilai neraca itu positif berarti ekspor barang melebihi impornya. Sebaliknya
apabila negatif maka impor barang melebihi ekspornya.

b. Ekspor dan impor jasa-jasa. Transaksi ini dikenal sebagai perdagangan tak nyata.
Yang termasuk dalam golongan ini adalah transaksi-transaksi dalam kegiatan
pengangkutan, kegiatan perjanalan luar negeri, pendapatan dari investasi modal,
dan beberapa kegiatan jasa lainnya.

Nilai neraca suatu negara positif bila neraca tersebut lebih banyak menjual jasa-
jasanya ke luar negeri dan membelinya dari negara-negara lain. Nilanya negatif
bila negara itu lebih banyak membeli jasa pihak-pihak luar dan menjual jasanya ke
luar negeri.

c. Pembayaran pindahan atau transfer onilateral

Transaksi ini meliputi pembayaran dimana penerimanya tidak perlu membayar


dalam bentuk uang atau jasa.

Contoh: bantuan bahan makanan Amerika Serikat ke penderita kelaparan di


Aprika. Mengirimkan uang untuk membiayai perbelanjaan anak-anak bersekolah di
luar negara merupakan contoh lainnya.

2. Lalu lintas modal. Neraca lalu lintas modal atau Capital account mencatat dua golongan
transaksi: (i) aliran modal pemerintah, dan (2) aliran modal swasta.

a. Aliran modal pemerintah. Ini biasanya berupa pinjaman dan bantuan dari negara-
negara asing yang diberikan kepada pemerintah atau badan-badan pemerintah.
Misalnya pinjaman untuk membangun irigasi termasuk dalam golongan transaksi
ini.
b. Aliran modal swasta Ia dibedakan dalam tiga jenis, yaitu investasi langsung,
investasi portfolio dan amortasi. Investasi langsung adalah investasi untuk
mengembangkan perusahaan-perusahaan. Investasi portfolio adalah investasi
dalam bentuk membeli saham-saham di negara lain. Amortisasi adalah pembelian
kembali saham-saham atau kekayaan lain yang pada masa lalu telah dijual kepada
penduduk negara-negara lain.

C. Neraca Pembayaran Indonesia

Susunan neraca pembayaran ini dapat di bedakan menjadi 3 golongan mutasi


keuangan, yaitu transaksi berjalan, transaksi modal, dan selisih perhitungan.

1. Transaksi berjalan

Memberikan gambaran tentang nilai transaksi yang diakibatkan oleh kegiatan perdagangan
barang dan jasa. Dengan demikian data yang di tunjukkan menggambarkan nilai barang
(seperti karet, minyak, hasil industri manufaktur) dan jasa (seperti pelancongan) yang di
perdagangkan.

2. Transaksi modal

Transaksi ini dibedakan menjadi dua kelompok nilai neto aliran modal kepada pemerintah dan
nilai neto aliran swasta.

3. Selisih perhitungan

Nilai selisih perhitungan meningkat dari US$ 701 juga menjadi lebih dari US$ 3,8 milyar.
Pertambahan ini menggambarkan aliran modal yang tak dicatat semakin meningkat.

Neraca Keseluruhan

Neraca keseluruhan menggambarkan jumlah aliran neto yang di catat di ketiga kelompok
transaksi, yaitu transaksi berjalan, transaksi modal dan selisih perhitungan.Sebagai contoh:
Aliran modal bukan saja memerlukan kestabilan ekonomi dan prospek keteguhan sector
moneter, tapi juga bergantung kepada kestabilan politik dan sosial masyarakat, seterusnya
neraca perdagangan yang bertambah baik memerlukan perkembangan ekspor yang pesat.

Neraca Berjalan
Neraca berjalan mencatat traksaksi-transaksi berikut:
a. ekspor dan impor barang tampak
b. ekspor dan impor jasa (atau barang tak tampak)
c. pembayaran pindahan neto ke luar negeri

Nilai Ekspor dan Impor Barang Tampak


Traksaksi ini meliputi hasil-hasil sektor pertanian, barang-barang produksi industri, dan
barang-barang yang diproduksikan oleh sektor pertambangan dan berbagai jenis ekspor dan
impor barang tampak lainnya. Neraca (yaitu perbedaan di antara ekspor dan impor) dari
perdagangan dalam barang-barang tamak, dinamakan neraca perdagangan. Apabila nilai
neraca itu positif, ia berarti bahwa ekspor barang-brang tampak adalah melebihi
impornya.Sebaliknya apabila ia negative, ma ia berarti bahwa impor melebihi ekspor.
Nilai Ekspor dan impor Barang-Barang Tak Tampak
Trasaksi ini meliput pembayaran biaya pengangkutan dan asuransi dari barang-barang
tampak yang diekspor tau diimpor, perbelanjaan para pelancong, dan pendapatan investasi
(yang meliputi keutungan, bunga atas modal yang diinvestasikan, dan dividen). Neraca
perdagangan tak tampak yaitu nilai bersih ekspor dan impor jasa-jasa, dinamakan neraca
jasa. Nilai neraca jasa sesuatu negara, yang positif berarti negara tersebut lebih banyak
menjual jasa-jasanya ke luar negeri dari membelinya dari negara-negara lain.

Pembayaran Pindahan
Ini meliputi pembayaran pindahan yang dilakukan oleh pihak pemerintah maupun
pihak swasta. Transaksi ini meliputi pembayaran di mana penerimanya tidak perlu
“membayar” dalam bentuk uang atau jasa. Contoh-contoh dari pembayaran pindahan adalah
bantuan uang suatu Negara Arab Afghanistan.

Neraca Modal
Neraca Modal meliputi dua golongan transaksi, yaitu aliran modal jangka panjang dan
aliran modal keuangan swasta
a. Aliran Modal Jangka Panjang: meliputi jenis aliran modal yaitu aliran modal resmi dan
investasi angsung oleh pihak swasta ke negara-negara lain. Aliran modal resmi adalah
pinjman dan pembayaran di antara badan-badan pemerintah di sesuatu negara
dengan negara-negara lain. Sedangkan investasi langsung swasta adalah penanaman
modal langsung, yaitu investasi berupa mendirikan perusahaan-perusahaan terutama
perindustrian. Modal yang di belanjakan diperoleh dari negara asal perusahaan
tersebut. Perbedaan di antara modal jangka panjang yang diterima dari luar negeri
dengan modal jangka panjang yang dibayarkan ke luar negeri dinamakan neraca
modal jangka panjang.

Neraca Pembayaran Selalu Seimbang


Yang menyebabkan neraca pembayaran yang selau seimbang adalah
ketidakseimbangan dalam neraca berjalan dan neraca modal akan diseimbangkan
oleh perubahan cadangan valuta asing yang dmiliki oleh bank sentral.

Kinerja Neraca Pembayaran 2010


Kinerja neraca pembayaran dalam tahun 2010 diperkirakan masih cukup bagus
yang ditopang oleh perbaikan kinerja ekspor dan aliran modal masuk, walaupun pada saat
yang sama impor juga diperkirakan menguat. Perbaikan kinerja ekspor terkait dengan
kembalinya ekonomi dunia ke jalur pertumbuhan positif. Sejalan dengan itu volume
perdagangan dunia dan harga produk ekspor diprediksi meningkat dengan laju pertumbuhan
yang cukup tinggi sehingga berdampak positif terhadap prospek ekspor nonmigas. Sementara
peningkatan impor terutama disebabkan oleh meningkatnya kegiatan ekonomi dan investasi
yang juga cukup tinggi. Kondisi keuangan global yang semakin pulih dan membaiknya
ekonomi domestik diharapkan dapat mendorong naiknya arus modal masuk ke dalam
negeri.
Membaiknya kondisi neraca pembayaran yang tercermin pada peningkatan cadangan
devisa diharapkan mampu mendukung stabilitas dan pertumbuhan ekonomi domestik.
Cadangan devisa dalam tahun 2010 diperkirakan mencapai US$72.965 juta, atau
meningkat dibandingkan posisi pada tahun sebelumnya. Peningkatan cadangan devisa ini
bersumber dari surplus transaksi berjalan dan neraca modal dan finansial.
DAFTAR PUSTAKA

 Soesastro, Hadi, dkk. 2005. Pemikiran dan permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam
setengah abad terakhir. Jakarta : Kanisius (Anggota IKAPI)
 Utama, Priyo, dkk. 1999. Ekonomi Indonesia dalam krisis dan Transisi Politik. Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama.
 Anwar, Moh. Arsjad, dkk. 1988. Ekonomi Indonesia Masalah dan prospek 1988/1989.
Jakarta : Universitas Indonesia (UI Press)
 Oppusungu, H.M.T. 1988. Mitos Ekonomi Statistik Indonesia. Jakarta : Universitas
Indonesia (UI-Press)
 Djiwandono, J. Soedrajad. 2001. Mengelola Bank Indonesia dalam masa krisis. Jakarta :
Pustaka LP3ES.
 Sukirno, sadono. 2004. Makroekonomi Teori pengantar. Jakarta: PT Raja Grafind Persada
 Nota Keuangan dan RAPBN 2010 Departemen Keuangan RI
BAB TRANFORMASI STRUKTURAL
3 PEREKONOMIAN INDONESIA

Febri Antono, Handar Apriyatna, Panji Susilo, Gina Febri

Proses transformasi struktural merupakan bagian perubahan pertumbuhan ekonomi


di negara dunia ketiga. Proses transformasi setiap negara berbeda-beda, tergantung dari
kondisi negara masing-masing. Proses Transformasi struktural terjadi dengan adanya
perubahan pola perekonomian pertanian tradisional menuju perekonomian industri yang lebih
modern. Proses ini biasa terjadi di negara-negara sedang berkembang (NSB), seperti
Indonesia, India, China, dan sebagainya.
Pada masa Orde Baru, Indonesia mengalami transformasi struktural. Banyak
kebijakan-kebijakan yang mendukung penciptaan industrialisasi mulai dari Rencana Urgensi
Ekonomi (RUE) hingga Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).
Sebelum membahasa lebih lanjut mengenai transformasi yang terjadi di Indonesia,
alangkah baiknya kita untuk membahas teori-teori transformasi struktural. Selanjutnya, akan
dibahas teori-teori dari Arthur Lewis dan Hollis B. Chenery mengenai trnasformasi struktural.

A. Model Perubahan Struktural


Teori-teori perubahan struktural (structural-change theory) merupakan teori yang
memusatkan pada perubahan struktur perekonomian pada NSB dari pola perekonomian
pertanian tradisional ke pola industri yang lebih modern.
Aliran pendekatan perubahan struktural ini didukung oleh ekonom-ekonom yang
sangat terkemuka seperti W. Arthur Lewis yang termasyur dengan model teoritisnya tentang
“surplus tenaga kerja dua sektor” (two sector surplus labor) dan Hollis B. Chenery yang sangat
terkenal dengan analisis empirisnya tentang “pola-pola pembangunan” (patterns of
development).

1. Teori Pembangunan Lewis


W. Arthur Lewis merupakan ekonom besar dan penerima hadiah nobel pada
pertengahan dekade 1950-an. Model dua sektor Lewis telah terkenal sebagai teori yang
membahas proses pembangunan di NSB yang mengalami kelebihan penawaran tenaga kerja
selama akhir dasawarsa 1960-an dan 1970-an.
Dalam model pembangunan Lewis, perekonomian yang terbelakang terdiri dari dua
sektor, yakni: (1) sektor tradisional, dan (2) sektor industri perkotaan. Sektor tradisional,
yaitu sektor pedesaan subsisten yang berkelebihan penduduk dan ditandai dengan
produktivitas marjinal tenaga kerja sama dengan nol, ini merupakan situasi yang
memungkinkan Lewis untuk mendefinisikan kondisi surplus tenaga kerja (labor surplus)
sebagai suatu fakta bahwa sebagian tenaga kerja tersebut ditarik dari sektor pertanian dan
sektor itu tidak akan kehilangan outputnya sedikit pun. Sektor industri perkotaan modern
yang tingkat produktivitasnya tinggi dan menjadi tempat penampungan tenaga kerja yang
ditransfer sedikit demi sedikit dari sektor subsisten.
Model Lewis ini lebih ditujukan pada terjadinya proses transfer tenaga kerja serta
pertumbuhan output dan peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor modern. Transfer
tenaga kerja dan pertumbuhan kesempatan kerja dimungkinkan karena adanya perluasan
output pada sektor modern. Adapun kecepatan terjadinya perluasan output ditentukan oleh
tingkat investasi di bidang industri dan akumulasi modal secara keseluruhan di sektor modern.
Peningkatan investasi dimungkinkan karena adanya kelebihan keuntungan sektor modern dari
selisih upah, dengan asumsi bahwa kapitalis tersebut bersedia melakukan investasi kembali
dari seluruh keuntungannya. Kemudian tingkat upah di sektor industri dianggap konstan,
jumlahnya ditetapkan melebihi tingkat rata-rata upah di sektor pertanian subsisten tradisional.
Lewis mengasumsikan bahwa tingkat upah di daerah perkotaan minimal 30 persen lebih tinggi
dari rata-rata pendapatan di pedesaan yang memaksa para pekerja pindah ke daerah
perkotaan.
Proses pertumbuhan yang berkelanjutan (self-sustaining growth) di sektor modern dan
perluasan tenaga kerja diasumsikan terjadi terus-menerus sampai surplus tenaga kerja
di pedesaan habis diserap di dalam sektor industri. Selanjutnya tambahan pekerja dapat
ditarik dari sektor pertanian dengan biaya yang lebih tinggi karena hal ini akan menyebabkan
berkurangnya produksi makanan karena penurunan rasio tenaga kerja-tanah berarti bahwa
produk marjinal dari labor pedesaan tidak lagi sama dengan nol. Kemudian kurva penawaran
labor tersebut menjadi ber-slope positif karena tingkat upah mengalami peningkatan terus
menerus. Transformasi struktural dari perekonomian dengan sendirinya akan menjadi suatu
kenyataan dan perekonomian itu akan beralih dari sektor pertanian tradisional pedesaan
ke sektor industri perkotaan yang modern.

2. Perubahan Struktural dan Pola-pola Pembangunan


Pada teori analisis pembangunan (patterns of development analysis) fokus
masalahnya sama seperti model yang disusun Lewis, yaitu memusatkan pada tahapan
mengubah struktur ekonomi, industri, dan kelembagaan secara bertahap pada NSB, yang
mengalami transformasi dari pertanian tradisional ke industri modern.
Pada teori ini menyatakan bahwa peningkatan tabungan (S) dan investasi (I)
merupakan syarat yang harus dipenuhi, dan pola ini pun mensyaratkan bahwa selain
akumulasi modal (S + I) untuk pengadaan sumber daya fisik maupun sumber daya manusia,
diperlukan juga suatu rangkaian perubahan yang saling berkaitan dalam struktur
perekonomian negara yang bersangkutan. Perubahan-perubahan bersifat struktural ini
melibatkan seluruh fungsi ekonomi termasuk transformasi produksi dan perubahan komposisi
permintaan konsumen, perdagangan internasional dan sumber daya, serta perubahan dalam
faktor-faktor sosio-ekonomi seperti urbanisasi yang sama dilakukan dalam model Lewis,
pertumbuhan dan sebaran/distribusi penduduk di negara yang bersangkutan.
Model perubahan struktural ini disusun oleh Hollis B. Chenery. Chenery mengadakan
penelitian untuk menyelidiki pola-pola pembangunan di sejumlah negara Dunia Ketiga kurun
waktu pasca perang. Dalam penelitiannya yang berhaluan empiris, Chenery melakukan
penelitian secara cross sectional (antar negara pada periode tertentu) dan time series
(secara khusus meliputi sejumlah negara tertentu sepanjang kurun waktu yang cukup
panjang).
Penelitian yang dilakukan Chenery (1979) tentang transformasi struktur produksi
menunjukkan bahwa sejalan dengan peningkatan pendapatan per kapita, perekonomian
suatu negara akan bergeser dari yang semula mengandalkan sektor pertanian menuju sektor
indusri. Kemudian Chenery membuat pengelompokkan negara sesuai dengan proses
perubahan struktural yang dialami berdasarkan tingkat pendapatan per kapita penduduknya.
Negara yang tingkat pendapatannya kurang dari $600 dikelompokkan ke dalam NSB (negara
sedang berkembang). Pada tingkat pendapatan per kapita $600 - $3000 digolongkan sebagai
negara dalam fase transisi pembangunan.
Peningkatan peran sektor industri dalam perekonomian sejalan dengan peningkatan
pendapatan per kapita yang terjadi di suatu negara, berhubungan erat dengan akumulasi
kapital dan peningkatan sumber daya manusia (human capital). Pada saat proses perubahan
struktural, akan terjadi perubahan suatu tingkat konsumsi terhadap bahan makanan,
khususnya jika dilihat dari permintaan domestik. Penurunan permintaan terhadap bahan
pangan beralih terhadap permintaan barang-barang nonkebutuhan pangan, peningkatan
investasi, dan peningkatan anggaran belanja pemerintah, yang mengalami peningkatan dalam
struktur GNP yang ada. Sedangkan di sektor perdagangan internasional, terjadi perubahan
pada peningkatan nilai ekspor dan impor. Sepanjang perubahan struktural berlangsung maka
terjadi pula substitusi impor, yang selanjutnya peningkatan ekspor.
Sedangkan di sisi tenaga kerja, akan terjadi proses yang sama pada teori Lewis, yakni
terjadi urbanisasi pekerja dari desa menuju industri di perkotaan, meskipun pergeseran masih
tertinggal (lag) dibandingkan proses strukturalnya. Dengan keberadaan lag inilah, sektor
pertanian akan berperan penting dalam meningkatkan penyediaan tenaga kerja, baik pada
awal maupun akhir proses transformasi struktural. Produktivitas tenaga kerja di sektor
pertanian yang rendah lambat laun akan mulai meningkat dan memiliki produktivitas yang
sama dengan pekerja di sektor industri pada masa transisi. Dengan demikian, produktivitas
tenaga kerja dalam perekonomian secara menyeluruh akan mengalami peningkatan.

B. Fase Pembangunan di Indonesia


Pada bagian pertama, telah dijelaskan berbagai teori tentang perubahan struktural.
Selanjutnya, akan dipaparkan fase-fase pembangunan di Indonesia yang berhubungan
dengan transformasi struktural, karena Indonesia termasuk negara sedang berkembang.
Pembangunan yang telah dilakukan oleh pemerintahan Orba dapat diklasifikasikan
dalam empat fase. Pertama, menciptakan iklim yang baik untuk meningkatkan permintaan
konsumen, meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang cepat, dan memberikan kesempatan
bagi invesatasi asing maupun domestik. Kedua, fase terkait dengan adanya booming harga
minyak bumi tahun 1973 – 1981 dan ditandai dengan dibangunnya banyak industri. Ketiga,
fase ini diakhiri pada tahun 1985, dimana kebijakan pemerintah yang memacu industri
kemudian membawa Indonesia ke masalah Internasional. Keempat, pemerintah mengubah
investasi pemerintah, campur tangan pemerintah, dan indsutri substitusi impor menjadi
investasi swasta yang berorientasi pasar dan bersifat promosi ekspor.
Perubahan-perubahan kebijakan tersebut dari masa Soeharto hingga SBY-JK, dapat
dilihat dalam Gambar 2.1. selanjutnya, akan diuraikan satu persatu dari dari perkembangan
industri di Indonesia sesuai masanya.
Periode Periode Boom Periode Periode Periode Krisis Pemulihan dan
Jenis Rehabilitasi Minyak (1973 Penurunan Penurunan dan Pemulihan Pengembangan
Kebijaka dan Stabilisasi – 1981) Harga Minyak Harga Minyak (1997 – 2004) (2005 – 2009)
n (1967 – 1972) (1982 – 1985) (1986 - 1996)

Pengembangan Industri  Pengemban  Pengemban  Revitalisas  Revitalisasi


Substitusi Impor gan Industri gan Industri i konsolidasi,
Industri Substitusi Substitusi konsolidasi dan
Impor Impor , dan rekstrukturi
dengan dengan rekstruktu sasi
Pendalama Pendalama risasi industri.
n& n& industri.
pemantapa pemantapa  Pengemban
n struktur n struktur gan
industri. industri. industri
berkeungg
 Pengemba  Pengemban ulan
ngan gan industri kompetitif
industri melalui dengan
melalui penguasaan pendekata
penguasaa teknologi di n Kluster.
n teknologi beberapa
di beberapa bidang
bidang (pesawat
(pesawat terbang,
terbang, mesin,
mesin, perkapalan)
perkapalan)
 Pengemban
gan industri
orientasi
ekspor.

Orientasi Inward-Looking Outward- Inward and Outward -


Looking Looking

Sumber: Kuncoro (2007: 83)

Gambar. Perkembangan Kebijakan Industri Nasional

Periode Sampai 1966


Pada era ini, pemerintah berorientasi ke dalam (inward-looking) dalam
mengembangkan strategi industri. Fokusya dititikberatkan pada BUMN sektor manufaktur,
yang didukung dengan kucuran kredit perbankan, subsidi, dan valas. Namun, minimnya
cadangan devisa nasional menyebabkan pemerintah menerapkan kontrol devisa, sehingga
terjadi kelangkaan bahan baku dan suku cadang impor untuk sektor manufaktur.
Selanjutnya, banyak terjadi nasionalisasi perusahaan domestik dan nasionalisasi
perusahaan asing. Pada akhir tahun 1952, Kabinet Wilopo mengambil keputusan untuk
menasionalisasikan perusahaan listrik swasta Belanda. Pada tahun 1953, pemerintah
menasionalisasikan De Javasche Bank (Java Bank) dan diganti nama menjadi Bank
Indoenesia. Bukan hanya perusahaan asing yang dinasionalisasikan, pemerintah juga
menasionalisasikan perusahaan penerbangan Garuda Indonesian Airways dimana
kepemilikan sebelumnya adalah gabungan pemerintah Indonesia dengan perusahaan
penerbangan Belanda KLM. Maksud dari menasionalisasikan perusahaan-perusahaan
tersebut adalah agar pemerintah dapat mengatur pengendalian tanpa adanya campur tangan
asing, khususnya pada BI untuk kemandirian Indonesia dalam pengendalian peredaran uang
dan kredit yang merupakan unsur pokok kedaulatan sebuah negara.
Pemerintah membuat Rencana Urgensi Ekonomi (RUE), yang bertujuan
mengembangkan industri manufaktur modern yang dikuasai dan dikendalikan oleh orang
Indonesia. RUE ini merupakan upaya untuk mencapai kemandirian ekonomi. Menurut RUE,
hendaknya pembangunan industri dibiayai oleh pemerintah terlebih dahulu, kemudian
diserahkan ke pihak swasta atau penggabungan pihak swasta dengan pemerintah. Namun,
RUE gagal dilaksanakan oleh Kabinet Natsir, dan kabinet-kabinet selanjutnya. Sehingga pada
tahun 1956, RUE digantikan Rencana Pembangunan Lima Tahun Pertama (REPELITA I)
yang disusun oleh Biro Perancang Negara di bawah pimpinan Djuanda.
Pada tahun 1950, pemerintah membuat program Ekonomi Benteng untuk menyaingi
ekonomi Belanda. Program ini dilakukan melalui wiraswasta pribumi yang tangguh dan
menempatkannya pada sektor ekonomi yang penting, yaitu perdagangan impor, dibawah
kendali nasional. Dalam pelaksanaan program ini, pengusaha pribumi diberikan lisensi impor,
untuk memupuk modal dan kemudian melakukan diversifikasi ke sektor usaha lainnya.
Meskipun terbilang berhasil dalam segi pengendalian nasional terhadap barang impor yang
ditandai lebih dari 70% barang impor dikuasai oleh pribumi, program ini pun menyimpan
kelemahan. Kelemahannya yaitu ada pihak-pihak yang menerima lisensi yang kemudian
menjual lisensi tersebut kepada pihak nonpribumi terutama etnis tionghoa, akibatnya hal ini
dimanfaatkan oleh pemburu rente untuk mengambil keuntungan jangka pendek.
Pada masa Soekarno, Indonesia masih tergolong negara tertinggal dalam hal
pembangunan (least developing country). Perekonomian mengalami stagnasi akibat inflasi
yang tinggi, lalu ketidakstabilan politik membuat dunia bisnis terganggu. Investasi di bidang
industri sangat kecil dan sebagian besar tidak terselesaikan.

Periode 1966 – 1985


Pada masa ini, pemerintahan telah jatuh ke tangan Orba, dibawah kepemimpinan
Jenderal Soeharto. Pemerintah melakukan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan sektor
manufaktur. Dan prioritas utama pada pengembangan sektor swasta, di mana promosi
banyak dilakukan untuk menarik investor asing masuk ke Indonesia. Dan adanya
penghapusan subsidi pada perusahaan pemerintah, yang menghasilkan barang baku dan
suku cadang mudah ditemukan.
Indonesia mencapai pertumbuhan rata-rata 6,7 persen per tahun selama nyaris tiga
dekade. Hampir tidak ada negara besar yang mencapai prestasi seperti itu. Apa yang
kemudian membuat Indonesia begitu menonjol pada kurun waktu tersebut? Hal demikian tidak
dapat dilepaskan dari peran pemerintah dan sekelompok ekonom yang dijuluki ‘mafia
Barkeley’ dan duduk di pemerintahannya serta peran faktor endowment dalam proses
trnasformasi struktural pada masa itu.
Terjadi inflasi tinggi mencapai 650 persen, dan utang luar negeri mencapai US$ 2,5
miliar, tingkat pertumbuhan ekonomi relatif rendah, serta masalah-masalah ekonomi lainnya
pada awal masa pemerintahan Orba. Melihat masalah-masalah tersebut, ekonomi Orba
mengupayakan tahap rehabilitasi perekonomian yang bertujuan terbatas. Tahap ini mencakup
upaya mengurangi tingkat kenaikan harga sebagai yang utama, dan upaya memenuhi
kebutuhan yang paling mendasar yakni beras untuk rakyat.
Setelah tercapainya tingkat ekonomi yang relatif stabil yaitu dalam waktu lebih dari dua
tahun sejak lahirnya Orba dalam tahun 1966, pemerintah menetapkan REPELITA I sejak
bulan April 1969, untuk periode 1969/70 – 1973/74.
Strategi dasar REPELITA I ini diarahkan pada pencapaian stabilisasi nasional
(ekonomi dan politik) dan pertumbuhan ekonomi, serta menitik beratkan pada sektor pertanian
dan industri yang menunjang sektor pertanian. Mengapa REPELITA I menitikberatkan pada
hal-hal tersebut?
Ditempatkannya stabilasi dan pertumbuhan ekonomi sebagai strategi REPELITA I,
dikarenakan keadaan ekonomi yang stabil merupakan syarat penting bagi berhasilnya
pelaksanaan REPELITA. Dan pertimbangan untuk menitikberatkan pembangunan pada sektor
pertanian dan industri yang menunjang sektor pertanian, didasarkan pertimbangan berikut.
Indonesia merupakan negara agraris, yang sebagian besar penduduknya (65-75
persen) bermata pencharian di bidang pertanian (termasuk kehutanan, perikanan,
peternakan, dan perkebunan). Sumber daya ini memberikan sumbangan terbesar baik kepada
penerimaan devisa dan lapangan kerja, mengingat pada sektor pertanian masih memiliki
kapasitas lebih yang belum banyak dimanfaatkan. Maka pertanian pada saat itu memimpin
dalam kegiatan ekonomi, dan pertanian diharapkan dapat menarik dan mndorong sektor-
sektor kegiatan ekonomi lainnya, antara lain sektor industri yang menunjang sektor pertanian
seperti pabrik pupuk, seta sarana lainnya seperti angkutan, dan jalan yang menunjang.
Selanjutnya, pada 1 April 1974, REPELITA II dibentuk untuk periode 1974/75-1978/79.
REPELITA II diarahkan pada perluasan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha,
pembagian pendapatan dan hasil-hasil yang lebi merata, peningkatan laju pertumbuhan
ekonomi daerah-daerah, penyempurnaan dan peningkatan fasilitas pendidikan, kesehatan,
perumahan rakyat, dan sebagainya. Apabila kita melihat Tabel 2.1, kita dapat membandingka
hasil yang dicapai selama REPELITA I dan II.

Tabel
Perkembangan Beberapa Hasil Sejak REPELITA I, II
Kegiatan REPELITA I REPELITA II
(1969/70-1973/74) (1974/75-1978/79)
1. Prod. Pangan/Beras
(rata-rata per tahun, juta 14 16,5
ton)
2. Pertumbuhan Ekonomi
Dari 3% selama 1960/68 naik
(pertumbuhan GDP/rata- 7,2%
menjadi 6,7%
rata per tahun)
3. Pendapatan rata-rata
Dari U$ 80 naik menjadi U$
penduduk per tahun U$ 300
170
(income per capita)
4. Ekspor:
(dalam U$ juta) 1969 : 384 1978/79 : 7.374
a. Migas : 1973/74: 1.708
b. Non-Migas 5.084 14.255
(jumlah seluruh) (jumlah seluruh)

5. Tabungan Pemerintah 1969/79 : 27,2 1974/75 : 737,6


(dalam milyar rupiah) 1973/74 : 254,4 1978/79 : 522,4
(Sumber: Djamin, 1984:50)

Walaupun pertumbuhan ekonomi selam REPELITA II tidak dapat mencapai


sasarannya karena banyaknya tantangan-tantangan yang dihadapi, tetapi bila kita ikuti
perkembangan pembangunan selama REPELITA II dabandingkan dengan REPELITA I,
banyaklah sudah hasil-hasil yang telah dicapai. Namun demikian, masih dirasakan oleh
masyarakat kurang adanya keseimbangan pertumbuhan ekonomi antara daerah maupun
sektor yang mengakibatkan kurang adanya kesempatan kerja (employment opportunities),
kurang adanya kesempatan untuk memperoleh pendpatan (distribusi pendapatan yang tidak
merata), kesempatan untuk berusaha khususnya bagi golongan ekonomi lemah, dirasakan
masih adanya daerah-daerah yang tidak cukup mempunyai fasilitas pendidikan, fasilitas
kesehatan, fasilitas peradilan dan sebagainya, yang kesemuanya ini dapat pula
mempengaruhi kestabilan nasional (Djamin, 1984:65).
Dengan adanya permasalahan yang tidak dapat dituntaskan pada masa REPELITA II,
pada bulan Maret 1978, REPELITA III terbentuk untuk periode 1979/80-1983/84. Tujuan
pembangunan ekonomi lebih luas. Modal pertumbuhan, dan stabilitas merupakan tujuan
pokok pembangunan. Tujuan paling penting dalam industri adalah melindungi pengusaha
yang lemah secara ekonomi, promosi pembangunan ekonomi, pembangunan industri yang
broad based, dan promosi ekspor yang padat karya.

Periode Penurunan Harga Minyak (1986 – 1996)


Pada bulan Maret 1984, ditetapkan REPELITA IV untuk periode 1984/85-1988/89.
Tujuan jangka panjang dalam sektor industri, yaitu agar setara dengan sektor pertanian.
Tujuan pokok jangka menengah adalah menciptakan lapangan kerja, promosi ekspor,
subtitusi impor, pembangunan wilayah, dan pengolahan sumber daya alam domestik. Dalam
jangka pendek, prioritasnya lebih pada industri mesin, industri barang antara, dan industri
penyedia input pertanian atau pengolahan output pertanian.
Pada periode penurunan harga minyak mulai 1986, pemerintah masih berprioritas
menguatakan struktur industri. Setidaknya, ada tiga fokus pengembangan kebijakan industri di
Indonesia. Fokus pertama adalah pengembangan industri substitusi impor dengan
pendalaman dan pemantapan struktur industri. Fokus kedua adalah pengembangan industri
melalui penguasaan teknologi di beberapa bidang (pesawat terbang, mesin, dan perkapalan).
Terakhir, fokus ketiga adalah pengembangan industri beroreintasi ekspor (Kuncoro, 2007: 88).

Periode Krisis dan Pemulihan (1997-2004)


Pada periode krisis tahun 1997, sektor industri di Indonesia tampak besar terkena
imbasnya. Pada saat itu, perkonomian indonesia berorientasi pad inward dan outward-looking.
Dengan adanya krisis ini, membuat pertumbuhan sektor industri manufaktur menurun jauh.
Selama tahun 1996, industri manufaktur tumbuh hampir 12%, tetapai sesaat setelah krisis
sekitar tahun 1998, pertumbuhan industri manufaktur mengalami penurunan hingga -11,4%.
Sejak krisis ekonomi Asia sampai dengan tahun 2005, pertumbuhan sektor industri
manufaktur hanya meningkat dengan laju satu digit. Kita bisa melihat tabel 2.2 untuk
membanding pertumbuhan industri manufaktur setelah krisis 1997.

Tabel
Pertumbuhan PDB dan Sektor Industri Manufaktur Indonesia, 1997-2005 (%)
Sektor Ekonomi 199 1998 1999 200 2001*) 2002 2003** 2004** 2005
7 0 ) )
PDB 4,7 - 0,8 4,9 3,8 4,3 4,9 4,9 5,6
13,1
Sektor industri 5,3 - 3,9 6,0 3,3 5,9 5,3 6,4 4,6
manufaktur 11,4
Industri Migas -2,0 3,7 6,8 -1,7 -6,2 2,5 0,6 12,9
Industri Nonmigas 6,3 - 3,5 7,0 4,9 6,4 5,4 10,6
13,1
*) Mulai 2001 atas dasar harga konstan 2000
**) Angka Sementara
(Sumber: Kuncoro, 2007: 91)
Periode Pemulihan dan Pengembangan (2005-2009)
Pada tahun 2005 – 2009 merupakan masa pemulihan dan pengembangan
pertumbuhan industri di Indonesia setelah krisis. Revitalisasi, konsolidasi, dan rekstrukturisasi
industri masih menjadi salah satu fokus kebijakan industri. Sementara itu, pemerintah pun
meprioritaskan pengembangan industri berkeunggulan kompetitif dengan pendekatan kluster
(Kuncoro, 2007: 91)
Industrialisasi di Indonesia sama dengan India dan China, yaitu tidak memiliki
pengalaman industrialisasi yang panjang dan belum cukup memiliki sektor permodalan yang
baik, tetapi cukup sukses dalam melakukan transformasi ke industri yang bersifat outward-
inward. Mengapa hal ini terjadi? Dikarenakan Indonesia memiliki SDA yang potensi besar
seperti Migas dan Produk-Produk lainnya yang masih menjadi bahan mentah, meskipun
Ekspor Indonesia besar dalam segi kuantitas, tetapi tidak dapat menghasilkan pendapatan
yang lebih, karena industri Indonesia belum mempunyai pengalaman panjang untuk mengolah
semua SDA menjadi barang ekspor siap pakai,
Ada beberapa hal penting dalam membahas industri di Indonesia, yaitu:
 Industri Indonesia beragam, mulai dari industri pertambangan besar hingga
industri kecil rumah tanga.
 Industri Indonesia terbagi menjadi dua bagian besar, yakni sektor Migas dan
Non Migas.

C. Analisis PDB terhadap Penyerapan Tenaga Kerja


Besar kecilnya Produk Domestik Bruto dipengaruhi beberapa hal, salah satu ialah
penyerapan tenaga kerja di masing-masing sektor. Mari kita lihat tabel dibawah berikut yang
menunjukkan tabel PDB 4 sektor.

Data di atas merupakan data PDB 4 Sektor. Sektor Primer terdiri dari sektor pertanian
dan pertambangan. Sektor Manufaktur terdiri dari sektor industri pengolahan. Sektor Utiliti
terdiri dari sektor Listrik, Bangunan dan Pengangkutan. Sektor Jasa terdiri dari sektor
perdagangan, keuangan dan jasa-jasa.
Agar kita dapat melihat kontribusi setiap sektor pada masa Inward and Outward
Looking, maka kita harus membuat persentase setiap sektor dari masing-masing tahun.
Jika kita perhatikan grafik transformasi di atas, sektor Primer yang terdiri dari pertanian
dan pertambangan semakin lama menurun dan di ikuti oleh sektor manufaktur. Pada kasus
kali ini, sektor pertanian lebih kecil kontribusinya terhadap perekonomian daripada sektor
industri manufaktur. Hal ini dikarenakan pemerintah lebih fokus terhadap sektor industri dari
orientasi Inward-Looking hingga Inward and Outward Looking. Salah satu kebijakan yang
mempengaruhi sektor industri manufaktur adalah substitusi impor.
Tapi, mengapa sektor manufaktur semakin lama menurun? Hal ini disebabkan oleh
banyak hal, seperti krisis finansial, kurangnya infrastruktur yang mendukung, kurangnya
investasi di bidang industri manufaktur. Tetapi transformasi struktural ini akan diikuti oleh
perubahan sistem pertanian tradisional ke sistem pertanian bertaraf industri. Tetapi di
Indonesia sendiri, sistem pertanian bertaraf industri atau modern masih sedikit dari sisi
kuantitasnya sehingga tidak berpengaruh besar terhadap kontribusi perekonomian.
Meskipun sektor industri manufaktur lebih besar daripada sektor primer yaitu pertanian,
namun jika dilihat dari jumlah tenaga kerja lebih besar sektor pertanian. Mengapat kontribusi
sektor pertanian tidak lebih besar dibandingkan sektor industri manufaktur, padahal dari sisi
kuantitas tenaga kerja lebih besar sektor pertanian?
Hal ini disebabkan karena sektor pertanian masih menggunakan sistem tradisional,
sehingga tidak berpengaruh terhadap pendapatan jika jumlah tenaga kerjanya banyak. Jika
semakin banyak petani tetapi lahan pertanian semakin kecil, maka pendapatan pun semakin
kecil dan tidak efisien lagi. Tetapi lain halnya dengan industri manufaktur, mereka dituntut
untuk berproduksi dengan efesien agar tidak kalah saing sehingga pendapatan pun lebih
besar.
Dari kasus tersebut, kita berharap ke depan agar pertanian tetap mengejar
kontribusinya terhadap sektor industri manufaktur dengan menggunakan sistem pertanian
industri/modern. Dan transformasi struktural ini tidak akan hanya berlaku dari pertanian ke
industri saja tetapi juga dari pertanian tradisional ke pertanian modern.

DAFTAR PUSTAKA
Ardnt, H. W. 1991. Pembangunan Ekonomi Indonesia Penerjemah: Ari Basuki dan Budiawan.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Djamin, Zulkarnain. 1984. Pembangunan Ekonomi Indonesia Sejak Repelita Pertama.


Jakarta: FE-UI.

Kuncoro, Mudrajad. 2007. Ekonomika Industri Indonesia menuju negara industri baru 2030.
Yogyakarta: ANDI.
BAB PROSES DEMOGRAFI:
4 KEMISKINAN DAN PENGANGGURAN

Aprilia, Reni S, Ismi H, Hana R K

Demografi merupakan studi ilmiah tentang kependudukan, utamanya yang


berkaitan dengan jumlah/size penduduk, struktur serta perkembangannya (Kamus United
Nations Multilingual Demographic). Istilah ini pertama kali dipakai untuk pertama kalinya
oleh Achille Guilard dalam karangannya yang berjudul “Elements de Statistique Humaine
on Demographic Compares” pada tahun 1885.

Kata demografi berasal dari bahasa Yunani yang berarti ‘Demos´ adalah rakyat atau
penduduk dan ‘Grafein’ adalah menulis. Jadi Demografi adalah tulisan-tulisan atau
karangan-karangan mengenai rakyat atau penduduk.

Donald J. Bogue di dalam bukunya yang berjuduk ‘Principles of Demography’ memberikan


definisi Demografi sebagai berikut:

“Demografi adalah ilmu yang mempelajari secara statistic dan matematik tentang
besar, komposisi dan distribusi penduduk dan perubahan-perubahannya sepanjang
masa melalui bekerjanya 5 komponen demografi yaitu (Kelahiran (Fertilitas),
Kematian (Mortalitas), Perkawinan, Migrasi dan Mobilitas Sosial”.

Philip M. Hauser & Dudley Duncan: demografi mempelajari tentang jumlah, persebaran
territorial dan komposisi penduduk serta perubahan-perubahanya dan sebab-sebab
perubahan tersebut.

Sedangkan menurut D.V. Glass: Demography is generally limited to studies of human


population as influenced by demographic processes: fertility, mortality and
migration.

Jadi dapat disimpulkan bahwa demografi adalah ilmu yang mempelajari keadaan
perubahan-perubahan penduduk, meliputi kelahiran, kematian, migrasi sehingga
menghasilkan suatu keadaan dan komposisi penduduk menurut umur dan jenis kelamin
tertentu.

Dinamika Penduduk

Pertumbuhan penduduk adalah merupakan keseimbangan yang dinamis antara


kekuatan-kekuatan yang menambah dan kekuatan-kekuatan yang mengurangi jumlah
penduduk. Jadi, pertumbuhan penduduk di akibatkan oleh 4 komponen yaitu: kelahiran
(fertilitas), kematian (mortalitas), in-migration (migrasi masuk) dan out-migrastion (migrasi
keluar). Selisih antara kelahiran dan kematian disebut “reproductive change” (perubahan
reproduktif) atau ‘natural increase’ (pertumbuhan alamiah). Selisih antara ‘in-migration’ dan
‘out migration’ disebut “net-migration” atau migrasi neto. Jadi pertumbuhan penduduk
hanya dipengaruhi oleh 2 cara, yaitu: melalui perubahan reproduksi dan migrasi neto.
Pertumbuhan penduduk tersebut dapat dinyatakan dengan formula sebagai berikut:

Pt = Po + (B – D) + (Mi – Mo)

Dimana : Po : jumlah penduduk pada waktu terdahulu (tahun dasar)


Pt : jumlah penduduk pada waktu sesudahnya
B : kelahiran yang terjadi pada jangka waktu antara kedua kejadian tersebut
D : jumlah kematian yang terjadi pada jangka waktu antara kedua kejadian
tersebut
Mo : migrasi keluar pada jangka waktu antara kedua kejadian
Mi : migrasi masuk pada jangka waktu antara kedua kejadian

Beberapa Ukuran Dasar Demografi

1. Fertilitas

Dalam pengertian demograsi, fertilitas adalah kemampuan riil seorang wanita untuk
melahirkan, yang dicerminkan dalam jumlah bayi yang dilahirkan.
Beberapa ukuran dasar fertilitas yang sering dugunakan dengan dua macam
pendekatan adalah:

a. Angka Kelahiran Kasar (Crude Birth Rate)

B = banyaknya kelahiran pada tahun tertentu


P = jumlah penduduk pada pertengahan tahun
k = 1000

Misal:

Banyaknya kelahiran di Jakarta pada tahun 2010 adalah 365.760 orang bayi.
Banyaknya penduduk Jakarta pada pertengahan tahun 9.588.198 orang.

Maka:

b. Angka Kelahiran Menurut Umur (ASFR)

Yaitu banyaknya kelahiran tiap seribu wanita pada kelompok umur tertentu.

x = umur wanita dalam kelompok umur 5 tahunan (15-19, 20-14,….,45-49)


Bx = jumlah kelahiran dari wanita kelompok umur x
Pfx = jumlah wanita pada kelompok umur x

Tabel 1
Perhitungan ASFR, DKI Jakarta 2000
ASFR tiap 1000
Umur Wanita Penduduk Wanita Kelahiran
wanita
15 – 19 264.960 15.840 60
20 – 24 208.080 41.040 197
25 – 29 200.880 50.400 251
30 – 34 163.440 49.680 304
35 – 39 151.200 18.000 119
40 – 44 110.160 7.200 65
45 – 49 66.960 720 11
c. Angka Fertilitas Total (Total Fertility Rate)

x = kelompok umur 5 tahunan, dimulai dari 15 – 29

Misal: Dari tabel 1,

TFR = 5(60+197+251+304+119+65+11)

= 5 x 1007

= 5035 per 1000 wanita usia 15 – 49 tahun atau

TFR = 5,035 untuk tiap wanita usia 15 – 19 tahun

Ini berarti, setiap wanita di Jakarta pada tahun 2000 rata-rata akan mempunyai
anak sebanyak 5 orang di akhir masa reproduksinya.

2. Mortalitas (Kematian)

Beberapa angka Kematian yang sederhana antara lain:

a. Angka Kematian Kasar (Crude Death Rate)

Ialah jumlah kematian pada tahun tertentu dibagi dengan jumlah penduduk pada
pertengahan tahun tersebut.

D = jumlah kematian
P = jumlah penduduk pada pertengahan tahun
k = 1000

Contoh: Negara A pada 31 Desember 2000 penduduknya 550 jiwa dan 650 jiwa
pada 31 Desember 2001. Jadi penduduk pada pertengahan tahun2001 adalah
Apabila terdapat 15 A pada Negara A selama tahun 2010, maka
per seribu. Jadi di Negara A pada tahun 2001 rata-rata
terdapat 25 kematian per 1000 penduduk.

b. Angka Kematian menurut Umur (Age Specific Death Rate)

Angka ini menyatakan banyaknya kematian pada kelompok umur tertentu per 1000
penduduk dalam kelompok umur tertentu.

Dx = jumlah kematian dalam kelompok umur x (x = 0 – 14, 15 – 19, dst)


Px = jumlah penduduk kelompok x
k = 1000
3. Migrasi

Migrasi sering diartikan sebagai perpindahan penduduk yang relative permanen dari
suatu daerah ke daerah lain. Orang yang melakukan migrasi disebut migran.

4. Angka Pertumbuhan Penduduk (Population Growth Rate ‘r’)

Angka Pertumbuhan Penduduk ® menunjukkan rata-rata pertambahan penduduk per


tahun pada periode/ waktu tertentu, dan bisaanya dinyatakan dengan persen.

Beberapa macam ukuran angka pertumbuhan penduduk:

a. Pertumbuhan Geometri: Pt = Po . (1 + r)n

Pt = banyaknya penduduk pada tahun akhir


Po = jumlah penduduk pada tahun awal
r = angka pertumbuhan penduduk
n = lamanya waktu antara Po dan Pt

b. Pertumbuhan eksponensial: Pt = Po . ern


e = angka eksponensial 2,71828

Teori-teori Kependudukan dan Pertumbuhan Penduduk dan Pembangunan Ekonomi

Perkembangan manusia pada beribu-ribu tahun yang lalu sangat lambat tetapi
kemudian bergerak dengan cepat. Gejala pertumbuhan penduduk yang cepat ini dikenal
dengan istilah “Population Explosion” atau dikenal dengan Peledakan Penduduk.
Pertumbuhan penduduk yang makin cepat ini dapat dimengerti apabila kiita melihat
adanya penemuan Penicilin pada tahun 1930 dan program kesehatan masyarakat yang
makin meningkat sejak tahun 1960-an. Dengan perkembangan teknologi obat-obatan maka
angka kematian menurun sedangkan angka kelahiran masih tetap tinggi sehingga
membuat selisih antara kedua angka tersebut semakin besar. Dengan kata lain
pertumbuhan penduduk makin cepat.
Pertumbuhan penduduk yang makin cepat tersebut, mengundang banyak masalah.
Tetapi ini tidak berarti pada zaman dahulu masalah penduduk belum ada. Dengan
munculnya tulisan Malthus pada akhir abad ke 18, masalah penduduk mempunyai angin
baru dalam literatur-literatur ekonomi. Sedangkan pada zaman sebelum Malthus pun
masalah penduduk sudah banyak dibicarakan, tetapi belum terarah. Seperti halnya dengan
filosof-filosof Cina yang memasalahkan jumlah optimum penduduk yang bekerja pada
tanah pertanian. Mereka merumuskan suatu proporsi yang ideal antara luas dan tanah
dengan jumlah penduduk.
Sedangkan Malthus melihat perpacuan antara pertambahan penduduk dan
makanan dengan mengikuti deret ukur dan deret hitung. Malthus berpendapat bahwa
penduduk berkembang secara deret ukur, sementara produksi bahan makanan
berkembang mengikuti deret hitung. Sehingga, menurut Malthus, dimasa depan akan
terdapat kekurangan bahan makanan karena pertumbuhan produksi pangan tidak akan
sanggup menyamai pertumbuhan penduduk. Tetapi Malthus mempunyai kelemahan atas
pendapatnya tersebut karena tidak melihat peranan teknologi, perkembangan social
ekonomi, dan perkembangan penduduk sendiri (yang menurut Malthus akan dua kali lipat
dalam 25 tahun), perkembangan alat kontrasepsi, dan sebagainya. Perkembangan
penemuan-penemuan baru di bidang teknologi, meluasnya pengetahuan dan tingkat
pendidikan merupakan salah satu pengerem pertumbuhan penduduk seperti yang
diramalkan Malthus. Lee menyebut ini sebagai positive check dari teori Malthus. Sementara
menurut Lee ada pengerem lain yang disebut preventive check, yaitu melalui penundaan
perkawinan sampai mereka memilki cukup kemampuan keuangan untuk membangun
keluarga. Sedangkan Kuznets melihat bahwa pertumbuhan penduduk yang cepat akan
mendorong perubahan ekonomi yang tampak dalam penyempurnaan teknologi yang
mengarah pada pembangunan ekonomi serta keercayaan akan penguasaan terhadap
lingkungan sekitar yang mengarah pada perobahan kelembagaan. Perubahan social
ekonomi ini akan nyata tampak dalam bidang pertanian. Menurut Boserup, pertumbuhan
penduduk akan memaksa petani bekerja lebih giat dan emnggunakan tanah secara
intensive. Jadi, jelas bahwa ketakutan yang dibayangkan Malthus tidak begitu mengerikan
seperti yang diramalkannya.
Pada tahun-tahun terakhir ini, masalah sosial dan ekonomi telah membawa kearah
makin dekatnya perhatian diberikan pada hubungan antara demografi, sosio ekonomi dan
faktor-faktor lainnya ke dalam dua pendekatan, yatiu:
1. Besar (size), komposisi dan distribusi penduduk akan mempengaruhi kegiatan-
kegiatan social dan ekonomi masyarakat.
2. Keadaan ekonomi dan lingkungan akan menentukan tingkAat dan pola kelahiran,
mortalitas dan migrasi.

Jumlah penduduk atau besarnya dikaitkan dengan pertumbuhan pendapatan


perkapita suatu Negara yang secara kasar menggambarkan kemajuan perekonomian
Negara tersebut.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa jumlah penduduk yang besar akan
menguntungkan bagi pembangunan ekonomi. Sebaliknya ada pula pendapat yang
menganggap justru jumlah penduduk yang sedikitlah yang dapat mempercepat proses
pembangunan ekonomi kea rah yang lebih baik. Di samping itu ada pula pendapat yang
mengatakan bahwa jumlah penduduk harus seimbang degan jumlah sumber-sumber
ekonominya. Jumlah penduduk tidak boleh terlampau sedikit juga tidak boleh terlampau
banyak. Inilah teori penduduk optimum.
Komposisi penduduk dalam arti demografi adalah komposisi penduduk berdasarkan
umur dan jenis kelamin. Kedua variable tersebut sangat mempengaruhi pertumbuhan
penduduk di masa mendatang. Misalnya dalam suatu Negara terdapat penduduk umur tua
(lebih dari 45 tahun) lebih banyak), maka dapat diharapkan bahwa Negara tersebut
mempunyai angka kelahiran yang rendah dan angka kematian yang tinggi, sehingga
mengakibatkan pertumbuhan penduduk yang rendah. Demikian pula ketidakseimbangan
antara jumlah penduduk pria dan wanita yang akan berpengaruh terhadap angka kelahiran.
Ketidakseimbangan itu akan berpengaruh pula terhadap keadaan social, ekonomi dan
keluarga.

Laju Pertumbuhan Penduduk di Indonesia

Secara nasional, laju pertumbuhan penduduk Indonesia per tahun selama sepuluh
tahun terakhir adalah sebesar 1,49 persen. Laju pertumbuhan penduduk Provinsi Papua
adalah yang tertinggi dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia, yaitu
sebesar 5,46 persen.
Bila dilihat menurut pulau atau kelompok kepulauan, provinsi dengan laju pertumbuhan
penduduk tertinggi dan terendah adalah sebagai berikut:

(1) Sumatera
Provinsi Kepulauan Riau merupakan provinsi dengan laju pertumbuhan penduduk
tertinggi, yaitu sebesar 4,99 persen. Sementara itu, provinsi yang memiliki laju
pertumbuhan penduduk terendah adalah Provinsi Sumatera Utara, yaitu sebesar
1,11 persen.
(2) Jawa
Provinsi yang memiliki laju pertumbuhan penduduk tertinggi adalah Provinsi Banten,
yaitu sebesar 2,79 persen. Sedangkan provinsi dengan laju pertumbuhan penduduk
terendah adalah Provinsi Jawa Tengah, yaitu sebesar 0,37 persen.
(3) Bali-Nusa Tenggara
Provinsi Bali memiliki laju pertumbuhan penduduk tertinggi, yaitu sebesar 2,15
persen. Sedangkan provinsi dengan laju pertumbuhan penduduk terendah adalah
Provinsi Nusa Tenggara Barat, yaitu sebesar 1,17 persen.
(4) Kalimantan
Provinsi Kalimantan Timur merupakan provinsi dengan laju pertumbuhan penduduk
tertinggi, yaitu sebesar 3,80 persen. Sementara itu, provinsi yang memiliki laju
pertumbuhan penduduk terendah adalah Provinsi Kalimantan Barat, yaitu sebesar
0,91 persen.
(5) Sulawesi
Provinsi Sulawesi Barat memiliki laju pertumbuhan penduduk tertinggi, yaitu sebe-
sar 2,67 persen. Sedangkan provinsi dengan laju pertumbuhan penduduk terendah
adalah Provinsi Sulawesi Selatan, yaitu sebesar 1,17 persen.
(6) Maluku-Papua
Provinsi yang memiliki laju pertumbuhan penduduk tertinggi adalah Provinsi Papua,
yaitu sebesar 5,46 persen. Sedangkan provinsi dengan laju pertumbuhan penduduk
terendah adalah Provinsi Maluku Utara, yaitu sebesar 2,44

Laju pertumbuhan penduduk


2000-2010

Sumber:BPS
Tren Jumlah Penduduk Indonesia

Penduduk Indonesia terus bertambah dari waktu ke waktu. Ketika pemerintah Hindia
Belanda mengadakan sensus penduduk tahun 1930 penduduk nusantara adalah 60,7 juta
jiwa. Pada tahun 1961, ketika sensus penduduk pertama setelah Indonesia merdeka,
jumlah penduduk sebanyak 97,1 juta jiwa. Pada tahun 1971 penduduk Indonesia sebanyak
119,2 juta jiwa, tahun 1980 sebanyak 146,9 juta jiwa, tahun 1990 sebanyak 178,6 juta jiwa,
tahun 2000 sebanyak 205,1 juta jiwa, dan pada tahun 2010 sebanyak 237,6 juta jiwa.

Sumber: BPS

Persentase Distribusi Penduduk menurut Pulau 1971-2010

1971 1980 1990 2000 2010


SUMATERA 17,62 19,07 20,44 21,02 21,31
JAWA 63,89 62,12 60,23 58,93 57,49
DKI JAKARTA 3,85 4,43 4,62 4,06 4,04
JAWA BARAT 18,16 18,68 19,81 17,36 18,11
JAWA TENGAH 18,37 17,27 15,97 15,17 13,63
DI 2,09 1,87 1,63 1,52 1,45
YOGYAKARTA
JAWA TIMUR 21,43 19,87 18,20 16,89 15,78
BANTEN 3,93 4,48
NUSA 5,56 5,40 5,27 5,34 5,50
TENGGARA
KALIMANTAN 4,33 4,58 5,09 5,49 5,80
SULAWESI 7,16 7,08 7,01 7,23 7,31
MALUKU dan 1,44 1,76 1,96 2,00 2,60
PAPUA
INDONESIA 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Sumber: BPS
Jumlah Penduduk Menurut Provinsi
dan Jenis Kelamin
Laki-Laki + Sex
Provinsi Laki-Laki Perempuan
Perempuan Ratio
(1) (2) (3) (4) (5)
[11] Aceh 2 243 578 2 242 992 4 486 570 100
[12] Sumatera Utara 6 479 051 6 506 024 12 985 075 100
[13] Sumatera Barat 2 404 472 2 441 526 4 845 998 98
[14] Riau 2 854 989 2 688 042 5 543 031 106
[15] Jambi 1 578 338 1 510 280 3 088 618 105
[16] Sumatera Selatan 3 789 109 3 657 292 7 446 401 104
[17] Bengkulu 875 663 837 730 1 713 393 105
[18] Lampung 3 905 366 3 690 749 7 596 115 106
[19] Bangka Belitung 634 783 588 265 1 223 048 108
[21] Kepulauan Riau 864 333 821 365 1 685 698 105
[31] DKI Jakarta 4 859 272 4 728 926 9 588 198 103
[32] Jawa Barat 21 876 572 21 145 254 43 021 826 103
[33] Jawa Tengah 16 081 140 16 299 547 32 380 687 99
[34] DI Yogyakarta 1 705 404 1 746 986 3 452 390 98
[35] Jawa Timur 18 488 290 18 987 721 37 476 011 97
[36] Banten 5 440 783 5 203 247 10 644 030 105
[51] Bali 1 961 170 1 930 258 3 891 428 102
[52] Nusa Tenggara Barat 2 180 168 2 316 687 4 496 855 94
[53] Nusa Tenggara Timur 2 323 534 2 355 782 4 679 316 99
[61] Kalimantan Barat 2 243 740 2 149 499 4 393 239 104
[62] Kalimantan Tengah 1 147 878 1 054 721 2 202 599 109
[63] Kalimantan Selatan 1 834 928 1 791 191 3 626 119 102
[64] Kalimantan Timur 1 868 196 1 682 390 3 550 586 111
[71] Sulawesi Utara 1 157 559 1 108 378 2 265 937 104
[72] Sulawesi Tengah 1 349 225 1 284 195 2 633 420 105
[73] Sulawesi Selatan 3 921 543 4 111 008 8 032 551 95
[74] Sulawesi Tenggara 1 120 225 1 110 344 2 230 569 101
[75] Gorontalo 520 885 517 700 1 038 585 101
[76] Sulawesi Barat 581 284 577 052 1 158 336 101
[81] Maluku 773 585 757 817 1 531 402 102
[82] Maluku Utara 529 645 505 833 1 035 478 105
[91] Papua Barat 402 587 358 268 760 855 112
[94] Papua 1 510 285 1 341 714 2 851 999 113
INDONESIA 119 507 580 118 048 783 237 556 363 101
Sumber: BPS

Masalah Kependudukan Masa Depan

Di antara persoalan-persoalan kependudukan di masa depan antara lain:

1. Penduduk masa depan akan semakin tinggi pendidikan yang ditamatannya.


Konsekuensinya adalah semakin besar ‘the rising demand’, perintaan-permintaan
baru yang beragam dan kualitasnya dari masyarakay luas, yang harus dipenuhi
pemerintah. Ketidakmampuan menangkap permintaan yang meningkat itu bisa
menimblkan ketidak stabilan social yang akan menjadi sumber keresahaan dalam
masyarakat.
2. Penduduk yang semakin ‘manula’ karena angka harapan hidup meningkat. Dengan
banyaknya lansia, perlu disikapi masalah keluarga dan sosia yang akan timbul.
3. Penduduk yang tinggal di daerah perkotaan akan semakin banyak urbanisasi yang
merupakan momok koa-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, dan
sebagainya, akan menyebar pada kota-kota kelas menengah seperti Semarang,
Malang, Palembang dan banyak lagi lainnya. Persoalan slum, kepadatan,
kemacetan, kesempatan kerja, dan berbagai ‘persoalan kota besar’ lainnya akan
merambah pada kota-kota tersebut. Bukan mustahil akan bermunculan berbagai
‘urban poor consortium’ yang pasti akan memusingkan kepala para pengelola
pemerintah kota yag bersangkutan.
4. Mobilitas penduduk semakin tinggi. Pergerakan penduduk dari daerah ke daerah
lain akan lebih intensif dimasa depan. Semakin banyak penduduk yang bertempat
tinggal tinggal diluar kota, dengan tepat kerja di dalam kota. Sementara dengan
adanya arus globalisasi, tidak mustahil terjadi banyak mobilitas antar Negara. Maka
menjadi tanggung jawab pemerintah masa depan dan nasib angkatan kerja dalam
negeri sendiri bila dari sekarang tidak diantisipasi sungguh-sungguh kemungkinan
perkembangan ini.
5. Masih tingginya pertumbuhan angkatan kerja. Dengan jumlah penduduk yang masih
tinggi dengan usia harapan hidup yang terus meningkat, sudah dapat diperkirakan
semakin banyak pencari kerja. Sementara lapangan kerja yang tersedia amat
terbatas, karena krisis ekonomi dan social serta kerusuhan bernuansa politis yang
belum juga berakhir, mengakibatkan tidak terjadi investasi sehingga kesempatan
kerja bisa tertutup.

KEMISKINAN

Kesenjangan ekonomi atau ketimpangan dalam distribusi pendapatan antara


kelompok masyarakat berpendapatan tinggi dan kelompok masyarakat berpendapatan
rendah serta tingkat kemiskinan atau jumlah orang yang berada di bawah garis kemiskinan
(poverty line) merupakan dua masalah besar di banyak negara-negara berkembang
(LDCs), tidak terkecuali di Indonesia.
Menurut Reitsma dan Kleinpenning, 1985:30), kemiskinan adalah ketidakmampuan
untuk memenuhi kebutuhan seseorang, baik yang mencakup material maupun nonmaterial.
Menurut Cochran, Mayer, Carr & Cayer (1990) menggambarkan bahwa definisi
kemiskinan relative lebih diarahkan untuk membandingkan kondisi miskin seseorang dalam
kaitannya dengan rata-rata kondisi miskin orang lain dalam masyarakat.
Menurut Wikipedia, Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan
untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan , pakaian , tempat berlindung,
pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh
kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan
merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan
komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang
lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan.

Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup:

 Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-


hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini
dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.
 Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan,
dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk
pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan,
karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada
bidang ekonomi.
 Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna
"memadai" di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi
di seluruh dunia.
Dari berbagai sudut pandang tentang pengertian kemiskinan, pada dasarnya bentuk
kemiskinan dapat dikelompokkan menjadi tiga pengertian, yaitu:

1. Kemiskinan Absolut. Seseorang dikategorikan termasuk ke dalam golongan miskin


absolut apabila hasil pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan, tidak cukup
untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum, yaitu: pangan, sandang, kesehatan,
papan, dan pendidikan.
2. Kemiskinan Relatif. Seseorang yang tergolong miskin relatif sebenarnya telah hidup di
atas garis kemiskinan tetapi masih berada di bawah kemampuan masyarakat
sekitarnya.
3. Kemiskinan Kultural. Kemiskinan ini berkaitan erat dengan sikap seseorang atau
sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya
sekalipun ada usaha dari pihak lain yang membantunya.

Ada dua kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa terjadi, yaitu:

1. Kemiskinan alamiah. Kemiskinan alamiah terjadi akibat sumber daya alam yang
terbatas, penggunaan teknologi yang rendah, dan bencana alam. Contohnya dulu di
daerah Gunung Kidul yang tanahnya/alamnya sangat miskin sehingga penduduknya
banyak yang miskin. Kemiskinan ini hanya dapat di atasi dengan bantuan dari luar
daerah.
2. Kemiskinan buatan. Kemiskinan ini terjadi karena lembaga-lembaga yang ada di
masyarakat membuat sebagian anggota masyarakat tidak mampu menguasai sarana
ekonomi dan berbagai fasilitas lain yang tersedia hingga mereka tetap miskin.

Masalah kemiskinan merupakan masalah Sumber Daya manusia (SDM). Setidak-


tidaknya terdapat dua masalah utama dalam pengembangan SDM. Pertama, masih
belum berkembangnya (under development) SDM. Hal ini terlihat dari rendahnya
tingkat pendidikan, konsumsi gizi masih rendah dan penyediaan fasilitas-fasilitas
kehidupan yang layak masih belum memadai. Dengan demikian, kemampuan untuk
memproduksi barang dan jasa masih rendah. Kedua, masih belum dimanfaatkannya
seluruh keterampilan dan kemampuan SDM secara optimal.

Perkembangan Tingkat Kemiskinan di Indonesia 1996–2010

Perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin pada periode 1996-2010


tampak berfluktuasi dari tahun ke tahun meskipun terlihat adanya kecenderungan menurun
pada periode 2000-2005 (Tabel 8.1). Pada periode 1996-1999 jumlah penduduk miskin
meningkat sebesar 13,96 juta karena krisis ekonomi, yaitu dari 34,01 juta (17,47 persen)
pada tahun 1996 menjadi 47,97 juta (23,43 persen) pada tahun 1999.
Pada periode 1999-2002 terjadi penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 9,57
juta orang, yaitu dari 47,97 juta orang (23,43 persen) pada tahun 1999 menjadi 38,40 juta
orang (18,20 persen) pada tahun 2002. Penurunan jumlah penduduk miskin juga terjadi
pada periode 2002-2005 sebesar 3,3 juta orang, yaitu dari 38,40 juta orang (18,20 persen)
pada tahun 2002 menjadi 35,10 juta orang (15,97 persen) pada tahun 2005.
Akan tetapi pada periode 2005-2006 terjadi pertambahan jumlah penduduk miskin
sebesar 4,20 juta orang, yaitu dari 35,10 juta orang pada tahun 2005 menjadi 39,30 juta
orang pada tahun 2006. Akibatnya persentase penduduk miskin juga meningkat dari 15,97
persen menjadi 17,75 persen.
Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2007 sebesar 37,17 juta
orang (16,58 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada bulan Maret 2006 yang
berjumlah 39,30 juta orang (17,75 persen), berarti jumlah penduduk miskin turun sebesar
2,13 juta orang. Meskipun demikian, persentase penduduk miskin pada Maret 2007 masih
lebih tinggi dibandingkan keadaan Februari 2005, di mana persentase penduduk miskin
sebesar 15,97 persen.
Tiga tahun berikutnya, jumlah penduduk miskin juga mengalami penurunan menjadi
34,96 juta orang (15,42 persen) pada Maret 2008, 32,53 juta orang (14,15 persen) pada
Maret 2009, dan 31,02 juta orang (13,33 persen) pada maret 2010. Selama tiga tahun ini,
jumlah penduduk miskin mengalami penurunan sebesar 3,94 juta orang atau sekitar 2,09
persen.
Selama tiga tahun ini, jumlah penduduk miskin mengalami penurunan sebesar 3,94
juta orang atau sekitar 2,09 persen.

Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia


Menurut Daerah 1996–2010
Tahun Jumlah Penduduk Miskin (juta Persentase Penduduk Miskin
orang)

Kota Desa Kota+Desa Kota Desa Kota+Desa

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

1996 9, 42 24,59 34,01 13,39 19,78 17,47

1998 17,60 31,90 49,50 21,92 25,72 24,23

1999 15,64 32,33 47,97 19,41 26,03 23,43

2000 12,30 26,40 38,70 14,60 22,38 19,14

2001 8,60 29,30 37,90 9,76 24,84 18,41

2002 13,30 25,10 38,40 14,46 21,10 18,20

2003 12,20 25,10 37,30 13,57 20,23 17,42

2004 11,40 24,80 36,10 12,13 20,11 16,66

2005 12,40 22,70 35,10 11,68 19,98 15,97

2006 14,49 24,81 39,30 13,47 21,81 17,75

2007 13,56 23,61 37,17 12,52 20,37 16,58

2008 12,77 22,19 34,96 11,65 18,93 15,42

2009 11,91 20,62 32,53 10,72 17,35 14,15

2010 11,10 19,93 31,02 9,87 16,56 13,33

Sumber: Diolah dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas)

Perkembangan Tingkat Kemiskinan Maret 2009 dan Maret 2010

Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2010 sebesar 31,02 juta orang
(13,33 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2009 yang berjumlah
32,53 juta orang (14,15 persen), berarti jumlah penduduk miskin berkurang 1,51 juta orang.
Sementara itu, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan turun lebih besar daripada
daerah perdesaan. Selama periode Maret 2009 - Maret 2010, penduduk miskin di daerah
perkotaan berkurang 0,81 juta orang, sementara di daerah perdesaan berkurang 0,69 juta
orang (Tabel 8.2). Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan
tidak banyak berubah dari Maret 2009 ke Maret 2010. Pada Maret 2009, sebagian besar
(63,38 persen) penduduk miskin berada di daerah perdesaan begitu juga pada Maret 2010
yang sebesar 64,23 persen. Penurunan jumlah dan persentase penduduk miskin selama
periode Maret 2009-Maret 2010 tampaknya berkaitan dengan faktor-faktor berikut:

a. Selama periode Maret 2009-Maret 2010 inflasi umum relative rendah, yaitu sebesar
3,43 persen.

b. Rata-rata upah harian buruh tani dan buruh bangunan masingmasing naik sebesar
3,27 persen dan 3,86 persen selama periode Maret 2009-Maret 2010.

c. Produksi padi tahun 2010 (hasil Angka Ramalan/ARAM II) mencapai 65,15 juta ton
GKG, naik sekitar 1,17 persen dari produksi padi tahun 2009 yang sebesar 64,40
juta ton GKG.

d. Sebagian besar penduduk miskin (64,65 persen pada tahun 2009) bekerja di sektor
pertanian. NTP (Nilai Tukar Petani) naik 2,45 persen dari 98,78 pada Maret 2009
menjadi 101,20 pada Maret 2010.

e. Perekonomian Indonesia Triwulan I 2010 tumbuh sebesar 5,7 persen terhadap


Triwulan I 2009, sedangkan pengeluaran konsumsi rumah tangga meningkat
sebesar 3,9 persen pada periode yang sama.

Garis Kemiskinan, Jumlah, dan Persentase Penduduk Miskin


Menurut Daerah, Maret 2009 dan Maret 2010
Garis Kemiskinan (Rp/Kapita/Bln) Jumlah Persentase
Daerah/
Makanan Bukan Total Penduduk Penduduk
Tahun
Makanan Miskin (juta) Miskin
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Perkotaan
Maret 2009 155 909 66 214 222 123 11,91 10,72
Maret 2010 163 077 69 912 232 989 11,10 9,87
Pedesaan
Maret 2009 139 331 40 503 179 835 20,62 17,35
Maret 2010 148 939 43 415 192 354 19,93 16,56
Perkotaan+Pedesaan
Maret 2009 147 339 52 923 200 262 32,53 14,15
Maret 2010 155 615 56 111 211 726 31,03 13,33
Sumber: Diolah dari data Susenas Panel Maret 2009 dan Maret 2010

Perubahan Garis Kemiskinan Maret 2009–Maret 2010

Garis Kemiskinan dipergunakan sebagai suatu batas untuk menentukan miskin atau
tidaknya seseorang. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata
pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan. Selama Maret 2009-2009
menjadi Rp. 211.726,- per kapita per bulan pada Maret 2010 (Tabel 8.2). Dengan
memperhatikan komponen Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari Garis Kemiskinan
Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM), terlihat bahwa peranan
komoditi makanan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan
(perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Pada Maret 2009 sumbangan GKM
terhadap GK sebesar 73,6 persen, dan sekitar 73,5 persen pada Maret 2010. Pada Maret
2010, komoditi makanan yang memberi sumbangan terbesar pada Garis Kemiskinan
adalah beras yaitu sebesar 25,20 persen di perkotaan dan 34,11 persen di perdesaan.
Rokok kretek filter memberikan sumbangan terbesar ke dua kepada Garis Kemiskinan
(7,93 persen di perkotaan dan 5,90 persen di perdesaan). Komoditi lainnya adalah gula
pasir (3,36 persen di perkotaan dan 4,34 persen di perdesaan), telur ayam ras (3,42 persen
di perkotaan dan 2,61 di perdesaan), mie instan (2,97 persen di perkotaan dan 2,51 persen
di perdesaan), tempe (2,24 persen di perkotaan dan 1,91 persen di perdesaan), bawang
merah (1,36 persen di perkotaan dan 1,66 persen di perdesaan), kopi (1,23 persen di
perkotaan dan 1,56 persen di perdesaan), dan tahu (2,01 persen di perkotaan dan 1,55
persen di perdesaan). Untuk komoditi nonmakanan, biaya perumahan dan listrik
mempunyai peranan yang cukup besar terhadap Garis Kemiskinan. Biaya perumahan
menyumbang peranan sebesar 8,43 persen di perkotaan dan 6,11 persen di perdesaan.
Sedangkan, biaya listrik menyumbang andil sebesar 3,30 persen di perdesaan dan 1,87
persen di perkotaan. Selain itu, biaya angkutan menyumbang 2,48 persen di perkotaan dan
1,19 persen di perdesaan. Sedangkan, biaya pendidikan menyumbang andil 2,40 persen di
perkotaan dan 1,16 persen di perdesaan.

Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan

Persoalan kemiskinan bukan hanya sekedar berapa jumlah dan persentase


penduduk miskin. Dimensi lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat kedalaman dan
keparahan dari kemiskinan. Selain harus mampu memperkecil jumlah penduduk miskin,
kebijakan kemiskinan juga sekaligus harus bisa mengurangi tingkat kedalaman dan
keparahan dari kemiskinan. Pada periode Maret 2009—Maret 2010, Indeks Kedalaman
Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) menurun. Indeks
Nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di
daerah perdesaan masih tetap lebih tinggi daripada perkotaan, sama seperti tahun 2009.
Pada Maret 2010, nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) untuk perkotaan hanya 1,57
sementara di daerah perdesaan mencapai 2,80. Nilai Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)
untuk perkotaan hanya 0,40 sementara di daerah perdesaan mencapai 0,75. Dapat
disimpulkan bahwa tingkat kemiskinan di daerah perdesaan lebih buruk dari daerah
perkotaan.

Dengan melihat potret kemiskinan yang terjadi di Indonesia, pentingnya mendapat


perhatian agar kondisi kehidupan masyarakat menjadi lebih layak. Alasan penting
kemiskinan perlu ditanggulangi, yaitu :

1. Kemiskinan merupakan kondisi yang kurang beruntung karena bagi kaum miskin akses
terhadap perubahan politik dan institusional sangat terbatas.
2. Kemiskinan merupakan kondisi yang cenderung menjerumuskan orang miskin ke
dalam tindak kriminal.
3. Bagi pembuat kebijaksanaan, kemiskinan itu sendiri juga mencerminkan kegagalan
kebijaksanaan pembangunan yang telah diambil pada masa lampau.

Ada tiga pilar utama strategi pengurangan kemiskinan, yakni :

1. pertumuhan ekonomi yang berkelanjutan dan yang prokemiskinan


2. Pemerintahan yang baik (good governance)
3. Pembangunan sosial

Untuk mendukung strategi tersebut diperlukan intervensi-intervensi pemerintah yang


sesuai dengan sasaran atau tujuan yang bila di bagi menurut waktu yaitu :

a. Intervensi jangka pendek, terutama pembangunan sektor pertanian dan ekonomi


pedesaan
b. Intervensi jangka menengah dan panjang
 Pembangunan sektor swasta
 Kerjasama regional
 APBN dan administrasi
 Desentralisasi
 Pendidikan dan Kesehatan
 Penyediaan air bersih dan Pembangunan perkotaan

PENGANGGURAN

Istilah penganggur yang merupakan terjemahan dari unemployed dapat diartikan


sebagai lawan kata dari employed atau bekerja. Namun, agar dapat disebut penganggur
harus aktif mencari pekerjaan, sehingga lebih layak dikategorikan sebagai pencari kerja.
Pada umumnya, orang menunjuk bahwa penyebabnya adalah karena
ketidakseimbangan (imbalance) antara penawaran tenaga kerja dengan permintaan tenaga
kerja. Sebagian yang menawarkan tenaganya mencari pekerjaan dan berhasil
memperolehnya tergolong bekerja (employ), sisanya yang tidak dapat atau belum
smemperolehnya digolongkan sebagai penganggur, asal masih terus mencari pekerjaan.
Luasnya pengangguran ini mencerminkan baik-buruknya perekonomian. Indeks yang
dipakai adalah tingkat pengangguran yang merupakan presentase jumlah orang yang
sedang mencari pekerjaan terhadap jumlah orang yang menawarkan tenaga kerjanya atau
dirumuskan sebagai:

PencariKerja
IP   100
Angka tan Kerja

Semakin tinggi tingkat pengangguran menunjukkan makin lebih buruk perekonomian.


Seorang analisis perlu mengetahui beberapa hal:

(a) Jumlah orang yang dikategorikan menganggur,


(b) Tingkat pengangguran,
(c) Profil mereka yang menganggur, dan
(d) Dinamika pengangguran.
BAGAN PENDUDUK DAN TENAGA KERJA

PENDUDUK

(Total Population)

Penduduk Dalam Usia Kerja Penduduk Diluar Usia


(Working Age Population): Kerja
Tenaga Kerja (Manpower)

Bibawah Usia Kerja Diatas Usia Kerja:


Pensiun, dsb

Angkatan Kerja (Labor Bukan Angkatan Kerja (Not


Force) in the Labor Force)

Ibu Rumah
Sekolah Tangga Lain-lain

Bekerja Mencari Pekerjaan/Menganggur


(Employed) (Unemployed)

Bekerja Penuh Setengah Menganggur


(FullyEmployed) (Underemployed)

Setengah Penganggur Kentara Setengah Penganggur Tidak Kentara


(Visible Underemployed) (Invisible or DisguisedUnderemployed)

Setengah Penganggur Setengah Penganggur


Setengah Penganggur
Menurut Pendapatan Menurut Pendidikan dan Lain-lain
Menurut Produktivitas
(Income) Jenis Pekerjaan
Penyebab, Dampak dan Cara Mengatasi Pengangguran

Banyak aspek yang terkait dengan persoalan pengangguran. Kita dapat


mengeksplorasinya dari beberapa sisi, diantaranya : faktor penyebab, dampak, dan cara
mengatasi pengangguran.

Penyebab Pengangguran

Sebelum dicari pemecahannya, sangat penting dianalisis beberapa faktor yang


menyebabkan terjadinya pengangguran itu sendiri. Secara teoritis, pengangguran dapat
terjadi karena beberapa sebab, diantaranya :

a. Perubahan Struktural.
Seperti disebutkan Reynolds, Masters dan Moser (1986:269) jenis pengangguran ini
terjadi karena mismatch (tak sepadan/ ketidakcocokan) antara kualifikasi pekerja yang
membutuhkan pekerjaan dengan persyaratan yang diinginkan. Hal ini biasanya terjadi
karena adanya perubahan struktur ekonomi. Struktur ekonomi dapat diamati dari
dominasi kontribusi sektoral terhadap produksi nasional (regional) maupun dalam
pemberian kesempatan kerja. Bila sektor industri memberikan kontribusi paling besar
terhadap PDB dibanding dengan sektor lainnya, maka struktur perekonomian tersebut
adalah industri, atau sebaliknya (Sadono Sukirno, 1985). Katakanlah dalam suatu
negara atau daerah terjadi pergeseran struktur ekonomi dari sektor pertanian ke
industri. Dampak selanjutnya, adalah dibutuhkannya kualifikasi tenaga kerja yang
cocok di sektor industri. Ketika persyaratan ini tidak terpenuhi (mismatch), maka
tenaga kerja yang ada menjadi tidak terpakai, kecuali terjadi penyesuaian kualifikasi
seperti yang dibutuhkan.

b. Pengaruh Musim.

Kegiatan ekonomi masyarakat sering terpengaruh oleh irama musim. Ada masa
“ramai” sehingga banyak permintaan tenaga kerja dan ada masa kegiatan mengendur,
dalam periode satu tahun. Selama kegiatan mengendur terjadi pengangguran dan
akan terpecahkan secara otomatis bila tiba masa ramai kembali. Pada saat menunggu
datangnya masa yang lebih ramai, oleh pencacah ia akan dicatat sebagai penganggur.

Contoh yang paling klasik seperti di sektor pertanian. Pada saat penyiapan lahan untuk
ditanami dan dilanjutkan ke penanaman, mungkin dibutuhkan tenaga kerja yang
banyak. Namun, pada saat tanaman tumbuh, tenaga yang dibutuhkan menyusut
drastis karena permintaan tenaga kerja terbatas pada pemeliharaan saja dan juga
pada masa panen. Namun, pada saat menanam benih kembali, maka permintaan
tenaga kerja secara besar-besaran meningkat lagi. Irama kegiatan ini diulang-ulang
sehingga menjadi rutin setiap tahun. Dalam hal ini iklim alam berlaku. Perubahan
musim terjadi bukan hanya di sektor pertanian saja, tetapi sering pula terjadi pada
sektor lain, akibat perilaku manusia seperti, pada musim liburan dan tahun baru,
misalnya, suasana sektor jasa transportasi dan pariwisata menjadi sangat sibuk (full
employed) dibanding dengan hari-hari biasa. Demikian pula pada saat menjelang,
sedang dan setelah bulan Suci Ramadhan, nampak permintaan terhadap barang dan
jasa meningkat (demand for good) yang selanjutnya akan membawa dampak otomatis
terhadap permintaan tenaga kerja (derived demand) di sektor yang bersangkutan.

c. Adanya Hambatan (pengangguran friksional)


Dimana bertemunya pencari kerja dan lowongan kerja. Jenis pengangguran ini
biasanya terjadi karena hambatan teknis (misalnya waktu dan tempat). Sering terjadi
pencari kerja tidak memiliki informasi yang lengkap tentang lowongan kerja yang ada.
Sehingga mereka kehilangan kesempatan untuk memenuhi lowongan kerja tersebut.
Mungkin juga karena situasi kerja (tempat) yang ditempati tidak cocok dengan
harapan si pencari kerja, sehingga membuat pudarnya semangat kerja. Pilihannya
adalah lebih baik tidak bekerja, karena lingkungan kerja tidak kondusif lagi.
Pengangguran jenis ini bisa juga terjadi karena perkembangan (dinamika) ekonomi
yang terus-menerus berubah, sehingga membawa dampak terhadap permintaan
tenaga kerja yang dinamis pula. Artinya pada situasi demikian sangat dibutuhkan
tenaga kerja yang mampu mengikuti perubahan jaman dengan cepat serta mampu
melakukan adaptasi keahlian terhadap tuntutan lingkungan eksternal yang dinamis
tersebut. Bila situasi ini tidak bisa diikutinya, maka ia akan kehilangan kesempatan
kerja.

d. Rendahnya Aliran Investasi.


Investasi merupakan komponen aggregate demand yang mempunyai daya ungkit
terhadap perluasan kesempatan kerja. Melalui mekanisme efek multiplier, perubahan
investasi membawa dampak terhadap kenaikan output (pendapatan).

Terdapat beberapa besaran (pengeluran otonom, seperti halnya investasi) yang


mempunyai dampak terhadap meningkatnya output yaitu pengeluaran konsumsi
otonom, investasi otonom, pengeluaran pemerintah dan ekspor (Gordon, 1993).
Secara otomatis meningkatnya output akan membutuhkan sumberdaya untuk proses
produksi (modal, tenaga kerja dan input lainnya). Dengan demikian permintaan tenaga
kerja akan meningkat ketika terjadi peningkatan dalam pengeluaran otonom tadi.

Hubungan antara kenaikan output dengan permintaan tenaga kerja (penyerapan


tenaga kerja) dapat dijelaskan dengan konsep elastisitas penyerapan tenaga kerja
(Payaman J. Simanjuntak, 1985 : 82) :

Dapat ditulis dalam bentuk lain menjadi :

%ΔL = Eks (%ΔQ)

Keterangan :

Eks = koefisien elastisitas penyerapan tenaga kerja


L = tenaga kerja yang digunakan
Q = output (PDB atau dapat pula PDRB)

Elastisitas penyerapan tenaga kerja mencerminkan persentase perubahan tenaga kerja


yang terserap sebagai akibat perubahan laju pertumbuhan ekonomi (LPE = %ΔQ). Bila
koefisien Eks semakin besar (misalnya lebih besar dari satu atau elastis), ini berarti
persentase kenaikan tenaga kerja yang terserap adalah lebih besar dibanding dengan laju
pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Kondisi inilah yang sangat diharapkan, karena pola
hubungan sedemikian mencerminkan kegiatan ekonomi yang pada karya (labor intensive).
Artinya perubahan kesempatan kerja sangat peka (sensitif) terhadap perubahan laju
pertumbuhan ekonomi (economic growth rate).

Rumus di atas dapat pula digunakan untuk melakukan prediksi kebutuhan tenaga kerja
pada sektor tertentu untuk perioda tertentu. Misalnya, bila besarnya koefisien elastisitas
penyerapan kerja (Eks) dan laju pertumbuhan ekonomi (%ΔQ) sudah diketahui (given),
maka dengan menggunakan persamaan (2) laju pertumbuhan penyerapan tenaga kerja
yang diinginkan (%ΔL) dapat diperkirakan (ceteris paribus). Formula ini dapat pula
diterapkan pada level yang lebih rendah lagi, misalnya Kabupaten, Kota atau tingkat
Kecamatan sekalipun.

e. Rendahnya Tingkat Keahlian.


Keahlian dan produktifitas sangat berkaitan erat. Orang yang memiliki keahlian akan
memiliki produktifitas tinggi, karena ia mampu memanfaatkan potensi dirinya pada
kegiatan ekonomi produktif. Untuk meningkatkan keahlian dapat dilakukan berbagai
cara, diantaranya adalah melalui pendidikan dan latihan, magang, pendidikan formal,
membangkitkan kecerdasan tenaga kerja lewat pembinaan motivasi kerja dan
corporate learning (percepatan belajar perusahaan) (Reynolds, Masters and Moser,
1986; Rose-Nicholl, 2002).

f. Diskriminasi.
Diskriminasi tidak hanya terjadi pada warna kulit saja (race discrimination), tetapi bisa
terjadi pula pada aspek lain, misalnya pada sektor pendidikan, ekonomi, hukum,
Agama dan lainnya. Misalnya, ketika perlakukan diskriminatif terjadi di bidang ekonomi,
maka kemungkinan dampak yang akan dirasakan adalah hilangnya kesempatan
berusaha dan kesulitan akses pada sumber-sumber pertumbuhan ekonomi (modal,
alam dan informasi, dll). Situasi inilah yang pada gilirannya akan menghambat pada
penciptaan lapangan kerja itu sendiri. Jadi beban ketenagakerjaan akan berat sekali
ketika perlakukan disriminatif di bidang ekonomi masih ada. Demikian juga bila akses
pendidikan dan pengembangan SDM tidak diberikan seluas-luasnya kepada publik,
dampak selanjutnya adalah terpuruknya kualitas SDM, dan dalam jangka panjang
kesempatan akan sulit diraih oleh tenaga kerja.

g. Laju Pertumbuhan Penduduk.


Hal-hal yang tidak diinginkan dari persoalan kependudukan diantaranya adalah apabila
pertumbuhan penduduk bersamaan dengan munculnya karakteristik sebagai berikut :

(a) tidak diimbangi dengan sarana dan prasaranan pendidikan yang memadai,
(b) rendahnya anggaran pendidikan,
(c) rendahnya tingkat kesehatan,
(d) tidak seimbang dengan laju pertumbuhan kesempatan kerja,
(e) rendahnya pembentukan modal,
(f) rendahnya kualitas tenaga kependidikan,
(g) rendahnya balas jasa di sektor pendidikan (gaji, honor, jasa riset dsb),
(h) rendahnya daya beli masyarakat,
(i) minimnya sumberdaya ekonomi yang bisa dieksploitasi,
(j) masih rendahnya pemahaman tentang arti penting pendidikan, dan
(k) rendahnya fasilitas dan kualitas kesehatan yang dibutuhkan masyarakat.

Bila kendala-kendala di atas bisa dieliminir atau bahkan dapat ditemukan


pemecahannya, maka persoalan pertumbuhan penduduk tidak akan terlalu jadi
masalah. Bahkan boleh jadi bisa menjadi pedorong pembangunan (Aris Ananta, 1990).
Tapi kenyataannya, hampir setiap negara berkembang selalu dihadapkan kepada
persoalan kependudukan yang serius yang pemecahannya sangat kompleks sekali
(Kindleberger-Herrick, 1977). Bisa dibayangkan berapa anggaran yang harus tersedia
untuk menghidmat pendidikan bila persoalan ketenagakerjaan yang terjadi seperti di
atas. Arinya anggaran 20 % yang dicanangkan dari APBN harus betul-betul
direalisasikan tanpa ditunda-tunda lebih lama lagi. Tetapi, pemerintah pun tidak selalu
siap dengan anggaran sejumlah itu. Ia pun harus menghadapi berbagai persoalan
lainnya yang sama-sama membutuhkan anggaran dan penyelesaian secara cepat,
misalnya : pengembalian utang negara yang semakin menumpuk, menyelesaikan
berbagai penyimpangan anggaran negara, pencurian hutan, korupsi dan segudang
persoalan lainnya yang sudah lama menanti penyelesaian.

h. Aggregate Demand Unemployment.


Pengangguran ini muncul karena rendahnya permintaan output ekonomi, sehingga
selanjutnya berdampak pada rendahnya permintaan tenaga kerja (low derived
demand). Sebaliknya, bila permintaan output tinggi (high aggregate demand), bukan
hanya akan menghilangkan pengangguran jenis ini, tetapi malah akan tercipta lebih
banyak lagi kesempatan kerja, bahkan situasi ini dapat mengurangi pengangguran
struktural dan friksional yang terjadi sebelumnya.

Dampak Pengangguran

Bisa dipastikan bahwa pengangguran yang terjadi akan membawa dampak pada
aspek (sektor) lainnya. Aspek-aspek yang akan terkena langsung adalah kesehatan dan
pendidikan. Karenanya sebagian beban biaya pendidikan dan kesehatan harus ditanggung
(bahkan merupakan kewajiban) pemerintah. Bila pengangguran tersebut berlangsung
cukup lama, maka kemiskinan absolut bahkan kelaparan bisa terjadi. Dampak lain dari
pengangguran di antaranya adalah :

(a) Ketimpangan sosial. Ini terjadi karena tidak seluruh komponen masyarakat
menganggur, selalu ada sekelomok masyarakat yang nasibnya masih beruntung, ia
dapat bekerja dengan normal bahkan memperoleh penghasilan yang berlebih,
(b) Kecemburuan sosial. Hal ini terjadi karena terpicu oleh disparitas sosial yang ada,
misalnya ketimpangan pendapatan, status sosial dan kekuasaan,
(c) Meningkatnya budget pemerintah untuk sektor pendidikan dan kesehatan,
(d) Meningkatnya kriminalitas dan kekerasan sosial lainnya,
(e) Munculnya sikap permisif (serba boleh) sebagai jalan pintas untuk mempertahankan
hidup,
(f) Tidak lancarnya sistem demokrasi, karena money politic lebih dominan
(g) Disharmonisnya sistem rumah tangga, karena penopang kelangsungan rumah
tangga (penghasilan) tidak memadai lagi,
(h) Meningkatnya sex komersial (pelacuran), sebagai representasi sulitnya mencari
lapangan kerja,
(i) Melemahnya daya beli, sebagai konsekuensi langsung dari ketidakberdayaan
ekonomi (rendahnya pendapatan rumah tangga), dan
(j) Kekuasaan dan harga diri diukur oleh tingkat kekayaan dan penghasilan yang dpat
diperoleh (seba uang). Sebetulnya ini suatu kekeliruan yang paling patal, namun
masyarakat cenderung berperilaku seperti itu. Dirasakan sekali dengan uang
segalanya jadi lancar, menyenangkan, status sosial terangkat dan dihargai orang
lain.

Cara Mengatasi Pengangguran

Terdapat beberapa alternatif (cara) yang bisa dilakukan dalam rangka mengatasi
masalah pengangguran. Cara ini mengikuti dua pola (jalur), yaitu lewat jalur demand for
labour, dan supply of labour. Upaya mengatasi pengangguran lewat jalur permintaan
tenaga kerja berkaitan dengan penciptaan lapangan kerja baru secara langsung. Jalur ini
biasanya berhubungan dengan aspek-aspek sebagai berikut :

(a) Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam (misalnya lahan)


Hal ini bisa dilakukan apabila masyarakat diberi peluang (akses) terhadap
penguasaan (paling tidak) penggarapan lahan. Tidak hanya sampai di situ,
pemerintah pun harus memberikan fasilitasi yang kondusif agar masyarakat
mampu mengelola lahan dengan optimal dan aman karena kepastian hukumnya
jelas,

(b) Akses pada sumber-sumber modal


Akses pada sumber modal sangat menentukan bagi pengembangan usaha
sekaligus kesempatan kerja (sama seperti sumberdaya tanah/lahan). Ketika
kemudhan-kemudahan diciptakan untuk masyarakat lapisan bawah, dan pembinaan
pun dilakukan, maka dampaknya secara langsung akan dirasakan oleh masyarakat,
(c) Peningkatan investasi (pembentukan modal, capital formation)
Investasi bisa bersumber dari pihak internal maupun eksternal. Dari internal bisa
didapat lewat pemupukan tabungan (dana pihak ketiga) masyarakat dan dari
eksternal melalui peningkatan arus investasi (penanaman modal) dari pihak luar.
Bila dua sumber ini lancar dan kenaikannya cukup signifikan, maka dampaknya
akan terasa pada gairah usaha dan otomatis terhadap permintaan tenaga kerja
(kesempatan kerja),

(d) Kerjasama
Kerjasama akan sangat bergantung pada kredibilitas pemerintah, situasi objektif
wilayah (peluang pasar, potensi wilayah, keamanan, politik dan kelembagaan yang
mendukung sistem pemerintahan). Bila hal ini telah dipastikan kondusif, maka
investor cenderung siap melakukan kerjasama (pengembangan wilayah), sehingga
pada gilirannya berdampak pada pertumbuhan ekonomi daerah dan kesempatan
kerja,

(e) Perluasan pasar


Tahap ini tercipta setelah tahap kerjasama dan arus investasi masuk ke suatu
wilayah. Artinya tahap ini sebagai konsekuensi dari existing situation yang ada
sebelumnya. Perluasan pasar dapat ditingkatkan dengan beberapa cara
diantaranya dengan perbaikan kualitas (TQM), penguatan akses informasi,
memahami prilaku pesaing, memahami kehendak buyer dan lancarnya delivery
order system,

(f) Pembinaan usaha


Terdapat ragam upaya yang bisa dilakukan dalam rangka pembinaan usaha (paket-
paket pembinaan usaha sudah banyak tersedia). Tetapi yang paling penting dari itu
semua adalah jiwa wirausaha yang dilandasi dengan nilai-nilai transendental yang
nampaknya masih perlu ditingkatkan. Artinya harus dipahami oleh semua, bahwa
segala usaha dan upaya yang dilakukan, harus ditujukan hanya semata untuk
mengabdi kepada Tuhan dan bermaksud ingin memberikan manfaat yang sebesar-
besarnya bagi yang lain (manusia dan alam/lingkungan sekitar),

(g) Pengembangan usaha padat karya (labor intensive)


Usaha padat karya adalah jenis karakteristik usaha yang paling cocok untuk negara
berkembang yang memiliki tingkat pertumbuhan penduduk tinggi. Seperti halnya
negara Indonesia. Tetapi bukan berarti kita menolak semua teknologi yang terjadi
saat ini. Teknologi tetap dibutuhkan, dengan catatan tidak akan mempersulit
(mempersempit) lapangan kerja baru, ramah lingkungan, terjangkau biayanya dan
adaptasinya dapat dengan mudah diserap dan diimplementasi oleh tenaga kerja
domestik, dan

(h) Kebijakan pemerintah


Suasana kondusif dapat tercipta karena pemerintah dan pemerintah daerah
melakukan fasilitasi dan memberikan berbagai kemudahan (insentif ekonomi) bagi
pengembangan usaha. Berbagai peraturan yang diciptakan bertujuan untuk
memberikan motivasi dan semangat usaha, tidak sebaliknya (menjadikan
pengusaha atau kegiatan usaha menjadi objek penghasilan semata). Budaya
pendekatan proyek (project oriented) harus diubah menjadi budaya social benefit.
Artinya semua usaha yang dilakukan pemerintah tidak melulu profit seeking
(memburu laba) dalam rangka mendongkrak economic growth semata, tetapi lebih
jauh dari itu bagaimana “kue pertumbuhan” itu mengalir dan bermanfaat bagi
masyarakat kecil yang sekarang sedang terancam bahaya kelaparan.

Sedangkan lewat jalur supply of labor lebih terkait dengan pengembangan sumber
daya manusia (human capital formation). Implementasi praktis lewat jalur ini, seperti
disarankan beberapa ahli (Reynolds, Masters and Moser, 1986; Ehrenberg-Smith, 1988;
Sudarman Damin, 2003) adalah dengan model-model kegiatan sebagai berikut :

(a) Primary and high school education (peningkatan dan penguatan pendidikan dasar
dan menengah). Biasanya ini dilakukan oleh pemerintah. Mekanismenya adalah
dengan penyediaan anggaran yang cukup memadai. Tanpa dukungan dari
pemerintah, program ini tidak akan berjalan dengan baik, karena model pendidikan
ini bersifat massal. Artinya harus diikuti oleh semua warga yang telah masuk pada
usia sekolah,
(b) College and postgraduate education (kursus-kursus dan pendidikan lanjutan,
misalnya Perguruan Tinggi). Pendanaan program ini tidak menjadi kewajiban
negara sepenuhnya, tetapi tetap subsidi anggaran di sektor ini harus diberikan

(c) Training provided by employers on the job (pelatihan yang disediakan langsung
oleh perusahaan terkait langsung dengan pekerjaan). Program ini merupakan
kebutuhan perusahaan dalam rangka penajaman wilayah garapan (jobs) yang akan
langsung ditangani di perusahaan yang bersangkutan. Hal ini bisa tidak terkait
dengan program subsidi pemerintah. Kegiatan ini akan beragam sekali tergantung
spesifikasi bidang usaha yang dikembangkan oleh perusahaan,

(d) Accumulated of skill through continued work experience (peningkatan keahlian


melalui pengalaman kerja). Keahlian ini tentunya tidak didapat dari bangku sekolah,
atau pendidikan formal lainnya, tetapi diperoleh melalui pengalaman kerja secara
langsung (learning by doing). Akumulasi pengetahuan sedemikian biasanya
memiliki kedalaman yang mantap pada bidangnya dan berkonsekuensi pada harga
yang mahal. Sekarang upaya kearah itu dapat dilakukan dengan melakukan
kombinasi antara pendidikan formal dengan terjun langsung (harus menempuh
waktu tertentu) pada bidang usaha yang relevan,

(e) Government training programs for displaced or disadvantaged workers (pelatihan


yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mengganti tenaga kerja yang akan
pensiun). Program ini bisa sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah dalam rangka
mempersiapakan tenaga kerja yang siap bekerja untuk mengganti tenaga kerja
yang akan pensiun. Sebetulnya kondisi yang sama dapat juga dilakukan oleh
perusahaan dalam rangka mempersiapakan tenaga kerja pengganti yang lebih
produktif dan semangat baru,

(f) Memberikan fasilitas dan pelayanan kesehatan. Fasilitas dan pelayanan kesehatan
sangat diperlukan oleh tenaga kerja, karena akan terkait langsung dengan
produktifitas dan semangat kerja. Bahkan secara permanen semua warga
seharusnya mendapatakan pelayanan asuransi yang memadai, tidak hanya tenaga
kerja, dan

(g) Migrasi. Migrasi bisa ditolelir sepanjang disertai beberapa syarat :

(i) tenaga kerja memiliki keahlian yang memadai sesuai dipersyaratkan di tempat
tujuan mereka bekerja,
(ii) tingkat kepadatan penduduk di daerah tujuan masih kondusif,
(iii) sudah tidak ada lagi potensi daerah asal yang bisa dikembangkan,
(iv) upah yang akan diterima lebih baik daripada di daerah asal, dan
(v) perlakuan terhadap tenaga kerja di daerah tujuan tidak menyimpang.

Pada tingkat implementasi, model jalur supply of labor (human capital formation)
sering menghadapi beberapa hambatan (Jinghan, 2000) diantaranya :

(a) sulitnya mengukur kebutuhan modal manusia,


(b) identifikasi masalah, yaitu pada tahap pembangunan mana paling banyak
membutuhkan modal manusia,
(c) seberapa besar tingkat akumulasinya, maksudnya daya serap tenaga kerja
terhadap transfer of knowledge,
(d) jenis pendidikan apa yang harus diberikan, kapan dan sejauh mana,
(e) bagaimana mengukur hasil dari investasi pada SDM (Jingan, 2000:417). Hal ini
perlu disampaikan agar dapat dicarikan jalan keluarnya dan dipertimbangkan lebih
matang lagi ketika kita akan melakukan pengembangan (peningkatan) kualitas
modal manusia.

Setengah Pengangguran

Luasnya kesempatan kerja dan angkatan kerja biasanya digambarkan oleh


banyaknya penduduk yang bekerja dan banyaknya penduduk yang menawarkan atau
mencari pekerjaan. Menurut pedoman yang dipakai oleh Biro Pusat Statistik, penduduk
yang dalam seminggu minimum bekerja selama satu jam dimasukan ke dalam kelompok
bekerja.
Bila ada anggapan bahwa tingkatan pengangguran yang setinggi 4% masih dapat
ditoleransi dan perekonomian masih dianggap full employment, maka angka 2% yang
terjadi di Indonesia sangat mencengangkan, mengingat perekonomian Indonesia belum
sampai pada taraf menyediakan lapangan pekerjaan yang mantap. Salah satu masalah
yang belum terungkap adalah setengah pengangguran.
Terletak antara “full employment” dan sama sekali menganggur. Menurut ILO,
Underumployment adalah perbedaan antara jumlah pekerjaan yang betul dikerjakan
seseorang dalam pekerjaannya dengan jumlah pekerjaan yang secara normal mampu dan
ingin dikerjakan. Konsep ini terbagi dalam:
1. setengah menganggur yang kentara (visible underemployment)
adalah jika seseorang bekerja tidak tetap (part time) diluar keinginannya sendiri,
atau bekerja dalam waktu yang lebih pendek dari biasanya.
2. Setengah menganggur yang tidak kentara (invisible underemployment)
Adalah jika seseorang bekerja secara penuh (full time) tetapi pekerjaannya itu
dianggap tidak mencukupi, karena pendapatan yang terlalu rendah atau pekerjaan
tersebut tidak memungkinkan ia untuk mengembangkan seluruh keahliannya.

Seorang peneliti bernama Phillip Hansen (1975), mengajukan 3 penyebab


terjadinya setengah pengangguran, yaitu:

a. kurangnya jam kerja


b. rendahnya pendapatan, dan
c. ketidakcocokan antara pekerjaan dan keterampilan pekerjaan.

1. Kurangnya Jam Kerja


Catatan tentang jumlah orang yang bekerja belum mengungkap intensitas
penggunaan tenaga kerja mereka. Ternyata terdapat banyak variasi jam kerja mereka.
Tidak semua dari mereka bekerja penuh waktu. Mereka yang tidak bekerja penuh
waktu ini mencerminkan setengah pengangguran dalam arti tidak penuh.
Bila kita anggap bahwa jumlah jam kerja 40 jam per minggu dianggap penuh
waktu, maka mereka yang bekerja 40 jam per minggu mencerminkan ¾ ekuivalen
pengangguran. Bila ada empat pekerja yang bekerja seperti itu, maka pada hakikatnya
kesempatan kerjanya bukan 4 orang, namun hanya 1 orang sedangkan pengangguran
ekuivalen adalah 3 orang.
Setengah pengangguran dihitung dengan cara sebagai berikut:

JamKerjaRiil
1  JumlahPe ker ja
JamKerjaPenuh

Dengan contoh di atas luasnya setengah pengangguran:

10
1  4orang  3orang
40
Ekuivalen penuh waktu (EPW) dapat langsung dihitung dengan:

JamKerjaRiil
EPW 
JamKerjaPenuh

Dari indeks setengah pengangguran (ISP) itu pun dapat langsung diperoleh
dengan rumusan ini.

ISP = (1-EPW)

Dengan cara ini kita dapat menghitung besarnya setengah pengangguran. Bila
jumlah ekuivalen ini ada pada jumlah pencari kerja, maka tingkat pengangguran akan
lebih tinggi dari sekedar 2%.

Pengangguran ekuivalen ini tidak tercatat sebagai pencari kerja terbuka, sehingga
golongan ini disebut sebagai pengangguran tersembunyi (disguised unemployment)
atau kurangnya kesempatan kerja (underemployment).

2. Kekurangan Pendapatan

Permintaan tenaga kerja ada dalam posisi terbaik bila nilai produk marginal yang
diperoleh dari penggunaan tenaga kerjanya sama dengan tingkat upah.

NPM = U

(VMP = W)

Jadi, bila pendapatan yang diterima lebih rendah dari yang seharusnya, NPM yang
dihasilkan lebih rendah daripada yang seharusnya. Karena satu dan lain hal kenyataan
bahwa NPM riil lebih dari NPM potensial atau upah riil lebih rendah daripada upah
potensial yang mungkin dapat dijangkaunya.

Masalah yang harus diselesaikan adalah berapa banyak tingkat pendapatan yang
diharapkan oleh seseorang dengan keterampilan tertentu. Dari pelajaran statistic,
pendapatan yang diharapkan adalah sama dengan pendapatan rata-rata atau
dirumuskan sebagai:

Y2k
E (Y k ) 
n
Dimana E (Yk) adalah “ekspented” pendapatan untuk sesuatu keterampilan
tertentu, k; n = jumlah individu dalam keterampilan k; dan i = individu.

Besarnya pendapatan diharapkan akan sesuai dengan konsep “ging rate” atau
“market rate” yang berlaku bagi suatu keterampilan tertentu.
Dengan demikian, untuk setiap keterampilan tertentu perlu ada standar
pendapatan yang membedakan antara yang dipekerjakan penuh atau tidak penuh.

3. Ketidakcocokan antara pekerjaan dengan kualifikasi individual pekerja


Apabila seseorang sudah dipersiapkan untuk menjabat suatu pekerjaan dengan
bekal pengetahuan dan keterampilan yang diperolehnyadari pendidikan dan latihan
yang diperoleh sebelumnya, apabila ia sungguh-sungguh mengerjakan pekerjaan
tersebut, maka ia diharapkan dapat memberikan produktifitas dengan sepenuhnya.
Tenaga kerja yang ada dalam dirinya dapat digunakan sepenuhnya pula.

Akan tetapi, bila terjadi ketidakcocokan keterampilan dengan pekerjaannya, maka


sukar bagi dia untk memberikan prestasi secara penuh. Dengan kata lain, masih
tersisia dalam dirinya potensi tenaga kerja yang tidak terpakai sehingga ia tidak
tergolong “full employment”. Masalah sebenarnya adalah banyaknya potensi yang
tidak terpakai. Dibandingkan dengan dua krteria lainnya, maka criteria yang satu ini
lebih sulit mengukurnya. Disini dibutuhkan indeks pengukur keserasian.

Setengah pengangguran terbagi menjadi:

a. Setengah Pengangguran Sektoral


Keadaan setengah pengangguran perlu diteliti lebih lanjut terdapat di sektor mana
saja. Oleh karena itu, distribusi sektoral dari setengah pengangguran perlu dibuat.
Daya dan dana perlu dialokasikan sesuai dengan urutan beratnya masalah
setengah pengangguran. Konsentrasi setengah pengangguran diduga banyak
ditemukan di sektor pertanian dan perdagangan.

b. Setengah Pengangguran Regional


Peta setengah pengangguran perlu dilengkapi dengan distribusi menurut daerah
dalam regional geografis dan dalam arti pedesaan-perkotaan. Penanganan masalah
ini sering membutuhkan partisipasi aparat pemerintah daerah dengan gubernur
sebagai pengusaha tunggal. Untuk itu, peta regional seperti ini sangat bermanfaat.

DAFTAR PUSTAKA

Basri, Faisal. 1997. Perekonomian Indonesia Menjelang Abad XXI. Distruibusi, Peluang
dan Kendala. Jakarta: Erlangga.

Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI). 2005. Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di
Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir. Yogyakata: Kanisius.

Lembaga Demografi FEUI. 2004. Dasar-Dasar Demografi. Jakarta: Lembaga Penerbit


FEUI.

Tjiptoherijanto, Prijono. 1997. Prospek Perekonomian Indonesia Dalam Rangka


Globalisasi. Jakarta: Rineka Cipta.

Todaro, P. Michael. 1998. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta: Erlangga.


BAB DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN
5 KEMISKINAN

Reza M, Yuliana P P, Mariana M, Aristia A S

Strategi pembangunan yang dianut negara kita adalah trilogi pembangunan, dengan
pengertian bahwa pembangunan yang dilaksanakan harus mengacu pada ketiga unsur,
yaitu pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, pemerataan pembangunan dan hasil-
hasilnya serta stabilitas nasional yang mantap dan dinamis. Ketiga unsur tersebut harus
bergerak maju secara selaras, seimbang dan saling mendukung.
Dalam dasawarsa sekarang, kedua unsur trilogi pembangunan yaitu pertumbuhan
ekonomi dan stabilitas nasional dirasakan sudah cukup berhasil, karenanya masalah
pemerataan pembangunan menjadi isu nasional yang cukup hangat. Sehubungan dengan
hal tersebut, prioritas untuk memerangi kemiskinan dengan cara mencari/mengamati
kantong-kantong kemiskinan telah dilakukan secara serius dan terpadu, sehingga komitmen
pemerintah untuk menghapus penduduk miskin pada Pelita VII dapat terwujud.
Selain itu, bahwa tujuan pembangunan nasional tidak semata-mata mengejar
pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun juga telah memberikan penekanan dengan bobot
yang sama kepada aspek peningkatan tingkat pendapatan masyarakat dan aspek
pemerataan.
Ketimpangan yang besar dalam distribusi pendapatan atau kesenjangan ekonomi
dan tingkat kemiskinan merupakan dua masalah besar di banyak negara berkembang, tak
terkecuali di Indonesia. Berawal dari distribusi pendapatan yang tidak merata yang
kemudian memicu terjadinya ketimpangan pendapatan sebagai dampak dari kemiskinan.
Hal ini akan menjadi sangat serius apabila kedua masalah tersebut berlarut-larut dan
dibiarkan semakin parah, pada akhirnya akan menimbulkan konsekuensi politik dan sosial
yang dampaknya cukup negatif.
Ada berbagai cara untuk mengetahui prestasi pembangunan suatu negara yaitu
dengan pendekatan ekonomi dan pendekatan non-ekonomi. Dalam pendekatan ekonomi
dapat dilakukan berdasarkan tinjauan aspek pendapatan maupun aspek non pendapatan.
Dalam aspek pendapatan digunakan konsep pendapatan perkapita, namun hal tersebut
belum cukup untuk menilai prestasi pembangunan karena tidak mencerminkan bagaimana
pendapatan nasional sebuah negara terbagi di kalangan penduduknya, sehingga tidak
memantau unsur keadilan atau kemerataan. Untuk itu diperlukan data mengenai
kemerataan distribusi pendapatan dimana perhatiannya bukan hanya pada distribusi
pendapatan nasional tapi juga distribusi proses atau pelaksanaan pembangunan itu sendiri.

I. DISTRIBUSI PENDAPATAN

Para ekonom pada umumnya membedakan dua ukuran pokok distribusi pendapatan,
yang keduanya digunakan untuk tujuan analisis dan kuantitatif tentang keadilan distribusi
pendapatan. Kedua ukuran tersebut adalah distribusi ukuran, yakni besar atau kecilnya
bagian pendapatan yang diterima masing-masing orang; dan distribusi “fungsional” atau
distribusi kepemilikan faktor-faktor produksi. Dari kedua jenis distribusi pendapatan ini
kemudian dihitung indikator untuk menunjukkan distribusi pendapatan masyarakat.
1.1 Distribusi Pendapatan Ukuran

Distribusi pendapatan perorangan (personal distribution of income) atau distribusi


ukuran pendapatan (size distribution of income) merupakan ukuran yang paling sering
digunakan oleh para ekonom. Ukuran ini secara langsung menghitung jumlah pendapatan
yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga tanpa memperdulikan sumbernya.

Tabel
Distribusi Ukuran Pendapatan Perorangan di Satu Negara Berdasarkan Pangsa
Pendapatan – Kuintil dan Desil
Individu Pendapatan/orang Pangsa (%) Pangsa (%)
(unit uang) Kuintil Desil
1 0,8
2 1,0 1,8
3 1,4
4 1,8 5 3,2
5 1,9
6 2,0 3,9
7 2,4
8 2,7 9 5,1
9 2,8
10 3,0 5,8
11 3,4
12 3,8 13 7,2
13 4,2
14 4,8 9,0
15 5,9
16 7,1 22 13,0
17 10,5
18 12,0 22,5
19 13,5
20 15,0 51 28,5
Total (pendapatan nasional) 100 100 100
Catatan: Ukuran ketimpangan = jumlah pendapatan dari 40 persen rumah tangga termiskin dibagi
dengan jumlah pendapatan dari 20 persen rumah tangga terkaya = 14/51 = 0,28.

Dalam tabel tersebut, semua penduduk negara tersebut diwakili oleh 20 individu
(atau lebih tepatnya rumah tangga). Kedua puluh rumah tangga tersebut kemudian
diurutkan berdasarkan jumlah pendapatannya per tahun dari yang terendah (0,8 unit),
hingga yang tertinggi (15 unit). Adapun pendapatan total atau pendapatan nasional yang
merupakan penjumlahan dari pendapatan semua individu adalah 100 unit, seperti tampak
pada kolom 2 dalam tabel tersebut.
Dalam kolom 3, segenap rumah tangga digolong-golongkan menjadi 5 kelompok
yang masing-masing terdiri dari 4 individu atau rumah tangga. Kuintil pertama menunjukkan
20 persen populasi terbawah pada skala pendapatan. Kelompok ini hanya menerima 5
persen (dalam hal ini adalah 5 unit uang) dari pendapatan nasional total. Kelompok kedua
(individu 5-8) menerima 9 persen dari pendapatan total. Dengan kata lain, 40 persen
populasi terendah (kuintil 1 dan 2) hanya menerima 14 persen dari pendapatan total,
sedangkan 20 persen teratas (kuintil ke lima) dari populasi menerima 51 persen dari
pendapatan total.
Ada tiga alat ukur tingkat ketimpangan pendapatan dengan bantuan distribusi
ukuran, yakni: (1) Rasio Kuznets, (2) Kurva Lorenz, dan (3) Koefisien Gini.
(1) Rasio Kuznets

Ukuran umum yang memperlihatkan tingkat ketimpangan pendapatan dapat


ditemukan dalam kolom 3, yaitu perbandingan antara pendapatan yang diterima oleh 20
persen anggota kelompok teratas dan 40 persen anggota kelompok terbawah. Rasio yang
sering disebut sebagai rasio Kuznets inilah (dinamai berdasarkan nama pemenang Nobel
Simon Kuznets), yang sering dipakai sebagai ukuran tingkat ketimpangan antara dua
kelompok ekstrem, yaitu kelompok yang sangat miskin dan kelompok yang sangat kaya di
satu negara. Rasio ketimpangan dalam contoh ini adalah 14 dibagi dengan 51, atau sekitar
0, 28.

(2) Kurva Lorenz

Kurva Lorenz menggambarkan distribusi kumulatif pendapatan nasional di kalangan


lapisan-lapisan penduduk. Kurva ini terletak di dalam sebuah bujur sangkar yang sisi
tegaknya melambangkan persentase kumulatif pendapatan nasional, sedangkan sisi
datarnya mewakili persentase kumulatif penduduk. Kurvanya sendiri ditempatkan pada
diagonal utama bujur sangkar tersebut. Kurva Lorenz yang semakin dekat ke diagonal
(semakin lurus) menyiratkan distribusi pendapatan nasional yang semakin merata.
Sebaliknya, jika kurva Lorenz semakin jauh dari diagonal (semakin lengkung), maka ia
mencerminkan keadaan yang semakin buruk, distribusi pendapatan nasional semakin
timpang dan tidak merata.
Persentase Pendapatan
Nasional

Persentase Jumlah Penduduk

Kurva Lorenz menunjukkan hubungan kuantitatif aktual antara persentase penerima

pendapatan dengan persentase pendapatan total yang benar-benar mereka terima selama,
misalnya, satu tahun.

(3) Koefisien Gini dan Ukuran Ketimpangan Agregat

Rasio konsentrasi Gini (Gini concentration ratio) atau sederhananya disebut


koefisien Gini (Gini coefficient), mengambil nama dari ahli statistik Italia yang
merumuskannya pertama kali pada tahun 1912. Koefisien Gini adalah ukuran ketimpangan
agregat yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu
(ketimpangan sempurna). Koefisien Gini untuk negara-negara yang derajat
ketimpangannya tinggi berkisar antara 0,50 hingga 0,70, sedangkan untuk negara-negara
yang distribusi pendapatannya relatif merata, angkanya berkisar antara 0,20 hingga 0,35.
Tabel
Gini Rasio di Indonesia Menurut Daerah
Tahun 1996 - 2008
Tahun Gini Rasio
Kota Desa Kota+desa
1996 0,362 0,274 0,356
1999 0,326 0,244 0,311
2002 0,330 0,290 0,329
2005 0,338 0,264 0,343
2006 0,350 0,276 0,357
2007 0,374 0,302 0,376
2008 0,367 0,300 0,368
Sumber : BPS, di olah dari data Susenas Modul Konsumsi

1.2 Distribusi Fungsional

Distribusi pendapatan fungsional atau pangsa distribusi pendapatan per faktor


produksi (functional or factor share distribution of income) berfokus pada bagian dari
pendapatan nasional total yang diterima oleh masing-masing faktor produksi (tanah, tenaga
kerja, dan modal). Teori distribusi pendapatan fungsional ini pada dasarnya mempersoalkan
persentase pendapatan tenaga kerja secara keseluruhan, bukan sebagai unit-unit usaha
atau faktor produksi yang terpisah secara individual, dan membandingkannya dengan
persentase pendapatan total yang dibagikan dalam bentuk sewa, bunga, dan laba (masing-
masing merupakan perolehan dari tanah, modal uang, dan modal fisik). Walaupun individu-
individu tertentu mungkin saja menerima seluruh hasil dari segenap sumber daya tersebut,
tetapi hal itu bukanlah merupakan perhatian dari analisis pendekatan fungsional ini.
Kurva permintaan dan penawaran diasumsikan sebagai sesuatu yang menentukan
harga per satuan (unit) dari masing-masing faktor produksi. Apabila harga-harga unit faktor
produksi tersebut dikalikan dengan kuantitas faktor produksi yang digunakan bersumber dari
asumsi utilitas (pendayagunaan) faktor produksi secara efisien (sehingga biayanya berada
pada taraf minimum), maka kita bisa menghitung total pembayaran atau pendapatan yang
diterima oleh setiap faktor produksi tersebut. Sebagai contoh, penawaran dan permintaan
terhadap tenaga kerja diasumsikan akan menentukan tingkat upah. Lalu, bila upah ini
dikalikan dengan seluruh tenaga kerja yang tersedia di pasar, maka akan didapat jumlah
keseluruhan pembayaran upah, yang terkadang disebut dengan istilah tersendiri, yakni total
pengeluaran upah (total wage bill).

1.3 Perkembangan Indeks Ketimpangan

Sebagai hasil dari penerapan berbagai cara untuk mencapai ukuran pembagian
pendapatan di bawah ini disampaikan data mengenai koefisien Gini untuk periode 1964/65
sampai 1976 dan untuk periode 2002-2007, dan persentase pendapatan yang diterima oleh
berbagai kelompok masyarakat di Indonesia dari 2002 sampai 2007 untuk menghitung
koefisien Kuznets.
Tingkat ketimpangan pembagian pendapatan secara keseluruhan pada tahun
1964/65 hampir sama untuk perkotaan dan pedesaan dan termasuk pada ketimpangan yang
sedang. Sedangkan pembagian pendapatan perkotaan di Jawa lebih merata dibandingkan
di pedesaan Jawa, namun sebaliknya terjadi di Luar Jawa, yakni di pedesaan lebih merata.
Kalau kita bergerak dari tahun 1964/65 maka distribusi pendapatan di perkotaan Jawa
selalu menjadi lebih timpang, sedangkan di daerah pedesaan di Jawa selalu menjadi lebih
merata sampai pada tahun 1976. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena UUPMA dan
UUPMDN dan beberapa kebijaksanaan lainnya yang mulai dilaksanakan pada awal
pemerintahan Suharto lebih banyak dimanfaatkan oleh orang-orang kaya perkotaan di Jawa
sehingga distribusi pendapatan di perkotaan Jawa menjadi lebih timpang. Hal yang
sebaliknya terjadi di pedesaan di Jawa, yakni program pembangunan pertanian dan
pedesaan, terutama program BIMAS-INMAS, lebih banyak dinikmati oleh golongan miskin di
Jawa sehingga distribusi pendapatannya menjadi lebih merata (koefisien Gini menurun).
Koefisien Gini secara keseluruhan di perkotaan menjadi lebih timpang, sedangkan di
pedesaan sedikit menjadi lebih baik bila kita bergerak dari 1964/65 menuju 1976.
Kalau kita bergerak dari periode 1970-an ke periode 2000-an, maka dapat kita
katakan bahwa tidak terjadi perubahan yang berarti mengenai ketimpangan distribusi
pendapatan di Indonesia, masih tetap secara umum berada pada ketimpangan yang sedang
baik ditunjukkan oleh koefisien Kuznets maupun koefisien Gini. Pada awal periode (2002-
2004) bagian pendapatan yang diterima oleh 40 persen termiskin relatif tetap sekitar 20
persen dan bagian yang diterima oleh 20 persen terkaya juga tetap (sekitar 42 persen),
sehingga koefisien Kuznets juga relatif konstan (bedanya 0,01 karena pembulatan), dan
koefisien Gini juga menunjukkan hal yang sama dari 0,33 (pada tahun 2002) menjadi 0,32
pada dua tahun setelah itu. Dari tahun 2004 ke 2005 distribusi pendapatan menjadi sedikit
lebih buruk, bagian yang diterima oleh 40 persen termiskin menurun dan bagian yang
diterima oleh 20 persen terkaya meningkat sehingga koefisien Kuznets mengalami
penurunan. Hal ini juga ditunjukkan oleh koefisien Gini yang menunjukkan distribusi
pendapatan menjadi lebih timpang. Memburuknya distribusi pendapatan dari tahun 2006 ke
2007 (ditunjukkan oleh menurunnya koefisien Kuznets dan menaiknya koefisien Gini)
mungkin dapat dijelaskan karena adanya kenaikan harga-harga sebagai akibat naiknya
harga bensin ketika itu. Kenaikan harga-harga rupanya lebih menguntungkan kelompok
kaya dibandingkan dengan kelompok miskin, sebagaimana diperjuangkan oleh para
demonstran yang menentang kenaikan harga premium waktu itu.

II. KEMISKINAN

Kemiskinan adalah penduduk miskin, yakni penduduk yang tidak mampu


mendapatkan sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Mereka hidup di
bawah tingkat pendapatan riil minimum tertentu – atau di bawah “garis kemiskinan
internasional”. Garis tersebut tidak mengenal tapal batas antar negara, tidak tergantung
pada tingkat pendapatan per kapita di satu negara, dan juga memperhitungkan perbedaan
tingkat harga antar negara dengan mengukur penduduk miskin sebagai orang yang hidup
kurang dari US$1 per hari dalam dolar paritas daya beli (PPP). Kemiskinan absolut dapat
dan memang terjadi di mana-mana, di Jakarta, di Bali, di Nusa Penida, di Medan, walaupun
persentasenya terhadap jumlah penduduk berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lainnya.
Indikator jumlah dan persentase penduduk miskin merupakan indikator makro yang
menggambarkan perkembangan pembangunan dan kesejahteraan ekonomi penduduk
secara umum. Jumlah desa tertinggal dapat memberikan indikasi mengenai daerah-daerah
dimana penduduk miskin banyak ditemui. Kedua indikator tersebut saling melengkapi. Perlu
diketahui, bahwa tidak semua penduduk di desa tertinggal adalah miskin, sebaliknya tidak
semua penduduk di desa non IDT adalah tidak miskin.
Mengidentifikasi seseorang dikatakan miskin, memang bukan hal yang mudah. BPS
mendefinisikan, bahwa penduduk miskin adalah mereka yang nilai pengeluaran
konsumsinya berada di bawah garis kemiskinan. Sedangkan garis kemiskinan yang
digunakan adalah nilai rupiah setara dengan 2.100 kalori per kapita per hari ditambah
dengan nilai rupiah yang hanya cukup untuk mengkonsumsi komoditi non pangan yang
paling essensial.

2.1 Mengukur Kemiskinan absolut

Kemiskinan absolut dapat diukur dengan angka, atau “hitungan per kepala
(headcount)”, H, untuk mengetahui seberapa banyak orang yang penghasilannya berada di
bawah garis kemiskinan absolut, Yp. Ketika hitungan per kepala tersebut dianggap sebagai
bagian dari populasi total, N, kita memperoleh indeks per kepala (headcount index), H/N.
Garis kemiskinan ditetapkan pada tingkat yang selalu konstan secara riil, sehingga kita
dapat menelusuri kemajuan yang diperoleh dalam menanggulangi kemiskinan pada level
absolut sepanjang waktu. Gagasan yang mendasari penetapan level ini adalah satu standar
minimum di mana seseorang hidup dalam “kesengsaraan absolut manusia”, yaitu ketika
kesehatan seseorang sangat buruk.
Dalam banyak hal, metode dan penyederhanaan perhitungan jumlah penduduk yang
masih hidup di bawah garis kemiskinan itu sendiri memang masih mengandung banyak
keterbatasan. Oleh karena itu beberapa ekonom mencoba mengkalkulasikan indikator
jurang kemiskinan (poverty gap) yang mengukur pendapatan total yang diperlukan untuk
mengangkat mereka yang masih di bawah garis kemiskinan ke atas garis itu. Pada peraga
di bawah ini, meskipun di negara A dan B, 50 persen penduduknya sama-sama masih
berada di bawah garis kemiskinan, namun jurang kemiskinan di A ternyata lebih lebar
daripada yang ada di negara B. Dengan demikian negara A harus berusaha lebih keras
guna memerangi kemiskinan absolut penduduknya.
Seperti dalam ukuran ketimpangan, ada beberapa kriteria ukuran kemiskinan yang
diinginkan, yang telah diterima secara luas oleh para ekonom, yaitu prinsip-prinsip
anonimitas, independensi populasi, monotonisitas, dan sensitivitas distribusional. Kedua
prinsip yang pertama (anonimitas dan independensi populasi) sangat mirip karakteristik
yang digunakan untuk membahas indeks ketimpangan. Ukuran cakupan kemiskinan tidak
boleh tergantung pada siapa yang miskin atau apakah negara tersebut mempunyai jumlah
penduduk yang banyak atau sedikit. Prinsip monotonisitas berarti bahwa dan jika anda
memberi sejumlah uang kepada seseorang yang berada di bawah garis kemiskinan, jika
semua pendapatan yang lain tetap, maka kemiskinan yang terjadi tidak mungkin lebih tinggi
dari pada sebelumnya. Jika ukuran kemiskinan selalu lebih rendah setelah pemberian
transfer tersebut, sifat ini disebut mempunyai monotonisitas yang kuat (strong
monotonicity). Rasio headcount memenuhi asas monotonisitas, namun bukan yang kuat.
Prinsip sensitivitas distribusional menyatakan bahwa, dengan semua hal lain konstan, jika
anda mentransfer pendapatan dari orang miskin ke orang kaya, maka akibatnya
perekonomian akan menjadi lebih miskin.

3.2 Karakteristik Ekonomi Kelompok Masyarakat Miskin

Kita telah memahami dari pembicaraan sebelumnya bahwa perpaduan tingkat


pendapatan per kapita yang rendah dan distribusi pendapatan yang sangat tidak merata
akan menghasilkan kemiskinan absolut yang parah. Pada tingkat distribusi pendapatan
tertentu, semakin tinggi pendapatan per kapita yang ada, maka akan semakin rendah jumlah
kemiskinan absolut. Akan tetapi sebagaimana telah diungkapkan, tingginya tingkat
pendapatan per kapita tidak menjamin lebih rendahnya tingkat kemiskinan absolut.
Pemahaman terhadap hakikat distribusi ukuran pendapatan merupakan landasan dasar bagi
setiap analisis masalah kemiskinan satu negara yang berpendapatan rendah.
Di Indonesia, nelayan ikan sangat miskin dibandingkan dengan petani. Hal ini
disebabkan karena nelayan tidak punya tanah dan proses produksinya tidak bersifat
cultivation, seperti halnya di pertanian. Pendapatan nelayan tiap hari sangat tergantung
pada berapa jumlah ikan yang ia bisa tangkap di laut dan jual di pasar pada hari itu. Jelas
jumlah ikan yang ia bisa kumpulkan selama, misalnya, tiga bulan jauh lebih sedikit daripada
hasil seorang petani pada saat panen. Ditambah lagi, industri ikan di Indonesia tidak
berkembang seperti industri-industri pengolahan komoditas-komoditas pertanian. Dengan
demikian, di Indonesia nilai tambah produk pertanian jauh lebih tinggi daripada nilai tambah
dari produk-produk ikan.
Pertanyaannya sekarang: kenapa sektor pertanian merupakan pusat kemiskinan di
Indonesia. Kemungkinan ada tiga faktor penyebab utama. Pertama, tingkat produktivitas
yang rendah disebabkan karena jumlah pekerja di sektor tersebut terlalu banyak, sedangkan
tanah, kapital, dan teknologi terbatas dan tingkat pendidikan petani yang rata-ratanya sangat
rendah. Kedua, daya saing petani atau dasar tukar domestik (terms of trade) antar
komoditas pertanian terhadap komoditas industri semakin lemah. Perbedaan harga ini
disebabkan antara lain oleh perbedaan nilai tambah antara hasil pertanian dan hasil industri
serta tata niaga yang lebih menguntungkan produsen di sektor industri. Ketiga, tingkat
diversifikasi usaha di sektor pertanian ke jenis-jenis komoditas bukan bahan makanan yang
memiliki prospek pasar (terutama ekspor) dan harga yang lebih baik masih sangat terbatas.

2.3 Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan

Tidak sulit mencari faktor-faktor penyebab kemiskinan, tetapi dari faktor-faktor tersebut
sangat sulit memastikan mana yang merupakan penyebab sebenarnya atau utama serta
mana yang berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap perubahan kemiskinan.
Sebagai contoh, sering dikatakan bahwa salah satu penyebab kemiskinan adalah tingkat
pendidikan yang rendah. Sekarang ini, seseorang hanya dengan tingkat pendidikan SD
akan sangat sulit mendapatkan pekerjaan, terutama di sektor modern (formal) dengan
pendapatan yang baik. Akan tetapi, pertanyaannya adalah: apakah tingkat pendidikan yang
rendah itu adalah penyebab utama/sebenarnya? Apabila banyak orang di Indonesia hanya
berpendidikan SD karena orang tua mereka tidak sanggup membiayai pendidikan lanjutan,
maka jelas penyebab sebenarnya adalah masalah biaya atau lebih tepatnya lagi disebabkan
oleh kemiskinan (orang tua mereka). Kalau ditelusuri ke belakang, pertanyaan selanjutnya
adalah: kenapa orang tua mereka miskin dan jawabannya juga karena pendidikannya
rendah? Jadi terdapat semacam “lingkaran setan” (vicious circle) dalam masalah timbulnya
kemiskinan.
Hal Ini selanjutnya disebabkan oleh sejumlah faktor lainnya, termasuk sistem
penghargaan (rewarding) yang kurang baik, dan kinerja yang buruk. Di Eropa Barat atau
Amerika Serikat, setiap jenis pendidikan atau keahlian sudah mempunyai bidang kegiatan
(sektor atau subsektor) sendiri dan mendapat penghargaan yang baik sesuai dengan jenis
pekerjaan. Sedangkan di Indonesia, banyak bengkel mobil atau motor berupa kegiatan
informal dengan upah yang rendah.

2.4 Pertumbuhan dan Kemiskinan

Biasanya, banyak yang berpendapat bahwa pertumbuhan yang cepat berakibat


buruk kepada kaum miskin, karena mereka akan tergilas dan terpinggirkan oleh perubahan
struktural pertumbuhan modern. Di samping itu, terdapat pendapat yang santer terdengar di
kalangan pembuat kebijakan bahwa pengeluaran publik yang digunakan untuk
menanggulangi kemiskinan akan mengurangi dana yang dapat digunakan untuk
mempercepat pertumbuhan. Pendapat yang mengatakan bahwa konsentrasi penuh untuk
mengurangi kemiskinan akan memperlambat tingkat pertumbuhan sebanding dengan
argumen yang menyatakan bahwa derajat ketimpangan yang rendah akan mengalami
tingkat pertumbuhan yang lambat juga. Khususnya, jika terdapat redistribusi pendapatan
atau aset dari golongan kaya ke golongan miskin, bahkan jika melalui pajak progresif,
terdapat kekhawatiran bahwa jumlah tabungan akan menurun, Namun, sementara tingkat
tabungan golongan menengah biasanya adalah yang tertinggi, tingkat tabungan marjinal
golongan miskin pun sebenarnya tidak kecil, jika dipandang dari perspektif menyeluruh.
Selain tabungan keuangan, golongan miskin cenderung membelanjakan tambahan
pendapatan untuk memperoleh gizi yang lebih baik, pendidikan untuk anak-anak mereka,
perbaikan kondisi rumah, dan pengeluaran-pengeluarn lain yang lebih mencerminkan
investasi dan bukan konsumsi, khususnya jika dilihat dari sudut pandang kaum miskin.
Paling tidak terdapat lima alasan mengapa kebijaksanaan yang ditujukan untuk mengurangi
kemiskinan tidak harus memperlambat laju pertumbuhan.
Pertama, kemiskinan yang meluas menciptakan kondisi yang membuat kaum miskin
tidak mempunyai akses terhadap pinjaman kredit, tidak mampu membiayai pendidikan
anaknya, dan dengan ketiadaan peluang investasi fisik maupun moneter, mempunyai
banyak anak sebagai sumber keamanan keuangan di masa tuanya nanti. Faktor-faktor ini
secara bersama-sama menyebabkan pertumbuhan per kapita lebih kecil daripada jika
distribusi pendapatan lebih merata.
Kedua, akal sehat yang didukung dengan banyaknya data empiris terbaru,
menyaksikan fakta bahwa, tidak seperti sejarah yang pernah dialami oleh negara-negara
yang sekarang sudah maju, kaum kaya di negara-negara miskin sekarang tidak dikenal
karena hematnya atau hasrat mereka untuk menabung atau menginvestasikan bagian yang
besar dari pendapatan mereka di dalam perekonomian negara mereka sendiri.
Ketiga, pendapatan yang rendah dan standar hidup yang buruk yang dialami oleh
golongan miskin, yang tercermin dari kesehatan, gizi, dan pendidikan yang rendah, dapat
menurunkan produktivitas ekonomi mereka dan akibatnya secara langsung maupun tidak
langsung menyebabkan perekonomian tumbuh lambat.
Keempat, peningkatan tingkat pendapatan golongan miskin akan mendorong
kenaikan permintaan produk kebutuhan rumah tangga buatan lokal, seperti makanan dan
pakaian, secara menyeluruh, sementara golongan kaya cenderung membelanjakan
sebagian besar pendapatannya untuk barang-barang mewah impor.
Kelima dan yang terakhir, penurunan kemiskinan secara massal dapat menstimulasi
ekspansi ekonomi yang lebih sehat karena merupakan insentif materi dan psikologis yang
kuat bagi meluasnya partisipasi publik dalam proses pembangunan. Sebaliknya, lebarnya
kesenjangan pendapatan dan besarnya kemiskinan absolut dapat menjadi pendorong
negatif materi dan psikologis yang sama kuatnya terhadap kemajuan ekonomi.

Oleh karena itu, kita dapat menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang cepat dan
penanggulangan kemiskinan bukanlah tujuan yang saling bertentangan.
2.5. Pilihan Kebijaksanaan

Pilihan kebijaksanaan berikut ini berlaku untuk mengubah/memperbaiki distribusi


pendapatan dan sekaligus memerangi kemiskinan. Ada beberapa pilihan, yakni:

1. Perbaikan distribusi pendapatan fungsional melalui serangkaian kebijakan yang


khusus dirancang untuk mengubah harga-harga relatif faktor produksi.
Kebijaksanaan ini dapat berupa.
a) Upah buruh, dilaksanakan dengan menentukan tingkat upah minimum nasional
dan regional, seperti yang dilaksanakan di Indonesia. Pemerintah menentukan
tingkat upah minimum yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat upah yang
ditentukan di pasar bebas atas permintaan dan penawaran. Dengan
kebijaksanaan ini para investor menganggap buruh menjadi terlalu mahal dan
mereka memilih teknologi produksi yang hemat tenaga kerja. Bagian upah pada
perekonomian nasional menjadi lebih kecil, dan kemungkinan jumlah orang
miskin menjadi lebih besar.
b) Bunga modal, dilaksanakan dengan menentukan harga modal terlalu murah
dibandingkan dengan harga modal yang ditetapkan atas permintaan dan
penawaran. Ini bisa dikerjakan dengan, misalnya, pemberian kemudahan
prosedur investasi, keringanan pajak bagi pengusaha, subsidi tingkat bunga
(tingkat bunga yang lebih rendah untuk investasi), penetapan kurs valuta asing
yang terlalu tinggi, dan penurunan bea masuk bagi impor barang-barang modal
seperti traktor dan mesin-mesin otomatis relatif terhadap barang konsumsi.
Kiranya kita bisa simpulkan bahwa penghapusan distorsi harga faktor produksi
sangat bermanfaat dan penyesuaian harga memungkinkan satu negara meraih
pemerataan pendapatan dan sekaligus memperbaiki taraf hidup kaum miskin, namun
apa yang telah dikerjakan oleh Indonesia selama ini bertentangan, sehingga
distribusi pendapatan tetap dan malah makin timpang dan jumlah orang miskin tetap
dalam jumlah yang besar.

2. Perbaikan distribusi ukuran melalui redistribusi progresif kepemilikan aset. Hal ini
akan sangat tergantung pada distribusi kepemilikan aset (sumber daya atau faktor
produksi) di antara berbagai kelompok masyarakat, terutama modal fisik dan tanah,
modal finansial seperti saham dan obligasi, serta sumber daya manusia dalam
bentuk pendidikan dan kesehatan yang lebih baik.
Hal ini dilaksanakan melalui UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) 1960, yang
membatasi jumlah pemilikan tanah pertanian. Pajak dividen obligasi dan pajak
terhadap hasil (bagian laba) saham, berbagai jenis bea siswa dan bantuan sekolah
sampai perguruan tinggi, wajib belajar, dan asuransi kesehatan bagi rakyat miskin.
Cara lain dapat dilakukan melalui pemberian kredit komersial dengan bunga pasar
yang wajar (bukannya dengan bunga rentenir yang sangat tinggi) bagi para
wirausaha kecil (kredit ini bisa disebut “pinjaman mikro” seperti kredit usaha rakyat,
kredit usaha tani,dan sebagainya.
3. Pengurangan distribusi ukuran golongan atas melalui pajak yang progresif. Satu
contoh yang diterapkan di Indonesia adalah pajak penghasilan perorangan dan
badan yang mempunyai sifat progresif. Pajak kekayaan, (akumulasi aset dan
penghasilan) merupakan pajak properti perorangan dan perusahaan yang bersifat
progresif, yang biasanya dikenakan kepada mereka yang kaya raya.
4. Pembayaran transfer secara langsung dan penyediaan berbagai barang dan jasa
publik. Transfer langsung dilaksanakan melalui BLT (bantuan langsung tunai)
kepada orang miskin yang berhak menerima. Penyediaan barang dan jasa publik
dilaksanakan melalui beras murah untuk orang miskin (raskin), penyediaan asuransi
kesehatan bagi golongan miskin (jamkesmas).
Meskipun pemerintah Indonesia telah melaksanakan berbagai program pemerataan
distribusi dan program pengentasan kemiskinan seperti disajikan di atas, ternyata
ketimpangan distribusi masih belum memuaskan dan masih banyak jumlah orang miskin
yang luput dari program, di samping dalam jumlah yang tidak sedikit, sangat sulit untuk
menyaring orang-orang yang benar-benar tidak mampu dengan orang-orang yang
sebenarnya tidak berhak atas bantuan yang disediakan

Daftar Pustaka

 Faisal, Basri. (1995). Perekonomian Indonesia Menjelang Abad XXI. Jakarta:


Erlangga.
 Anne Booth & McCauley. P. (Ed). (1982). Ekonomi Orde Baru. Jakarta: LP3ES.
 Dumairy. (1997). Perekonomian Indonesia. Jakarta: Erlangga.
 Paul. A Samuelsom & William D. Nordhaus. (1992). Macroeconomics. New York:
McGraw Hill.
 Soetrisno p.h. (1981). Dasar-dasar Ilmu Keuangan Negara. Yogyakarta: BPFE-UGM.
 R.A. Musgrave. (1959). The Theory of Public Finance. New York: McGraw Hil
BAB REVITALISASI SEKTOR PRIMER DAN
6 INDUSTRIALISASI DI INDONESIA

Hikmatul A, Nurkhairia, Tiyanah R L

Revitalisasi pertanian mengandung arti sebagai kesadaran untuk menempatkan


kembali arti penting sektor pertanian secara proporsional dan kontekstual dalam arti
menyegarkan kembali vitalitas memberdayakan kemampuan dan meningkatkan kinerja
pertanian dalam pembangunan nasional dengan tidak mengabaikan sektor lain.
Revitalisasi bukan dimaksudkan membangun pertanian at all cost dengan cara-cara
yang top-dwon sentralistik; bukan pula orientasi proyek untuk menggalang dana; tetapi
revitalisasi adalah menggalang komitmen dan kerja sama seluruh stakeholder dan
mengubah paradigma pola pikir masyarakat melihat pertanian tidak hanya urusan bercocok
tanam yang hanya sekedar menghasilkan komoditas untuk dikonsumsi. Pertanian
mempunyai multi-fungsi yang belum mendapat apresiasi yang memadai dari masyarakat.
Pertanian merupakan way of life dan sumber kehidupan sebagian besar masyarakat kita.
Pertanian merupakan pemasok sandang, pangan, dan pakan untuk kehidupan penduduk
desa dan kota; juga sebagai pemelihara atau konservasi alam yang berkelanjutan dan
keindahan lingkungan untuk dinikmati (wisata-agro), sebagai penghasil biofarmaka dan
penghasil energi seperti bio-diesel.
Sektor pertanian memiliki peranan yang sangat dominan, baik secara langsung
maupun tidak langsung, khususnya dalam hal pemantapan ketahanan pangan,
pengentasan kemiskinan, penyediaan lapangan pekerjaan dan pemerataan pendapatan
yang merupakan tujuan ekonomi yang lebih penting daripada pertumbuhan PDB. Namun
disisi lain, sector pertanian Indonesia masih belum mantap, terutama masalah perberasan
karena masih dihadapkan pada beberapa permasalahan internal maupun eksternal. Daya
saing komoditas beras Indonesia dipasaran internasional masih sangat rendah. Hal ini
diindikasikan oleh tingginya impor beras.
Industri secara kasar dapat dibagi dua, yaitu industri jasa dan industri yang
menghasilkan barang-barang. Sektor industri yang menghasilkan barang-barang adalah
pertanian, pertambangan, industri pengolahan, konstruksi, air, gas dan listrik, sedangkan
industri jasa yakni perdagangan, angkutan (transportasi), pemerintahan, perbankan,
asuransi persewaan dan jasa-jasa lainnya. Secara umum sektor-sektor industri tadi dibagi
atas sektor primer, sekunder dan tersier.
Secara ideal, proses industrialisasi bertujuan untuk perubahan struktur ekonomi
sehingga terjadi penciptaan nilai tambah yang lebih tinggi dan secara ekonomis masyarakat
akan lebih makmur.
Kemajuan proses industrialisasi dapat juga diukur dengan melihat jumlah kebutuhan
yang berasal dari industri pengolahan. Semakin banyak jenis kebutuhan manusia dalam
lingkungan tertentu dipenuhi oleh hasil-hasil industri pengolahan dapat juga dijadikan
pertanda maju atau terlambatnya proses itu berlangsung.
Bagi Indonesia, alasan untuk melakukan industrialisasi mempunyai berbagai alasan
yang kuat yaitu untuk maju. Akan tetapi ada dua hal yang penting yang perlu
diperhitungkan, apakah orientasi kita ke arah pengganti impor atau ke arah promosi ekspor.
Dalam melihat perkembangan industri perlu diperhatikan apakah industri itu mempunyai
kaitan ke arah hulu atau hilir.

I. Revitalisasi Pertanian
Revitalisasi dapat diartikan sebagai kesadaran unuk menempatkan kembali arti
penting pertanian secara proporsional dan kontekstual. Arti penting itu tidak boleh timbul
hanya karena “belas kasihan” atau dipandang sebagai “ancaman” akibat permasalahan
kemiskinan atau ketidakmandirian, tetapi harus juga karena prospek dan potensi yang
dimiliki. Revitalisasi juga diartikan untuk menyegarkan kembali “vitalitas” pertanian,
memperdayakan kemampuan dan meningkatkan kinerja. Dalam hal ini peningkatan kinerja
pertanian tergantung pada dukungan terhadap pertanian secara proporsional sesuai peran
dan arti penting pertanian. Disisi alain dukungan terhadap pertanian juga tidak dapat
diperoleh jika pertanian sendiri tidak juga menunjukkan keberdayaan dan kinerja seperti
yangi diharapkan. Kedua arti “revitalisasi” tersebut bersifat saling mempengaruhi, saling
tergantung, dan harus dapat dikembangkan secara seimbang.

A. Arah Masa Depan Kondisi Petani Indonesia


Sampai saat ini petani masih menghadapi masalah dan kendala yang berkaitan
dengan: (a) Akses sepenuhnya terhadap layanan dan sumberdaya produktif; (b)
Perlindungan usahatani; (c) Keberdayaan dalam mengembangkan kegiatan yang dilakukan;
dan (d) Rendahnya tingkat pendidikan, status gizi dan ketahanan pangan serta kesetaraan
gender.
Dalam tahun 1993-2003 jumlah petani gurem (dengan luas garapan kurang dari 0,5
ha) meningkat dari 10,8 juta KK menjadi 13,7 juta KK (meningkat 2,6% per tahun).
Sementara itu, luas lahan semakin berkurang dan perkembangan kesempatan kerja di luar
pertanian terbatas. Jumlah rumah tangga petani (RTP) menurut Sensus Pertanian (SP)
2003 mencapai 25,58 juta RTP, dan sekitar 40 persen RTP tergolong tidak mampu.
Kualitas SDM pertanian masih rendah. Menurut data BPS tahun 2002, tingkat
pendidikan tenaga kerja pertanian yang tidak sekolah dan tidak tamat SD masih sekitar 35
persen, tamat SD 46 persen, dan tamat SLTP 13 persen. Dibandingkan dengan sektor non
pertanian pada tahun yang sama, tingkat pendidikan tenaga kerja yang tidak pernah sekolah
dan tidak tamat SD 31 persen, tamat SLTP sekitar 20 persen, dan tamat SLTA 27 persen.
Status gizi penduduk Indonesia yang sebagian besar petani masih rendah, walaupun
ada perbaikan dari waktu ke waktu. Kualitas konsumsi pada tahun 2002 baru mencapai
skor 68,4 PPH (Pola Pangan Harapan). Namun demikian konsumsi energi sudah mencapai
90,3 persen dari AKG (Angka Kecukupan Gizi). Diskriminasi upah bagi wanita dan pria
masih ditemui di sektor pertanian yang merugikan peran wanita dalam pembangunan
pertanian.
Perlindungan usahatani juga rendah. Belum ada jaminan yang cukup memadai atas
perlindungan usahatani mereka, keculai usahatani padi melalui pemberlakuan jamainan
Harga Pembelian Pemerintah dan pengenaan tarif beras serta pemberian subsidi dan
pengembangan teknologi.
Oleh karena itu, ke depan kondisi petani yang diharapkan adalah : (a) petani memilik
akses sepenuhnya terhadap layanan dan sumberdaya produktif; (b) petani mendapat
perlindungan usahatani; (c) petani memiliki keberdayaan dalam mengembangkan kegiatan
yang dilakukan; dan (d) petani mempunyai tingkat pendidikan, status gizi dan ketahanan
pangan serta kesetaraan gender yang cukup memadai sesuai dengan norma yang berlaku.

B. Arah Masa Depan Kondisi Sumberdaya Pertanian Indonesia


Sumberdaya lahan yang dipergunakan untuk produksi pertanian relatif terbatas.
Dalam dekade terakhir, luas lahan pertanian yang sudah diusahakan sekitar 17,19 persen
dari total luas potensi lahan, yang terdiri dari 4,08 persen untuk areal perkebunan; 4,07
persen untuk lahan sawah; 2,83 persen untuk pertanian lahan kering dan 6,21 persen untuk
ladang berpindah. Perkembangan luas lahan pertanian, terutama lahan sawah dan lahan
kering (tegalan), sangat lambat, kecuali dibidang perkebunan.
Grafik
Perkembangan Penggunaan Lahan Pertanian di Indonesia, 1996-2004

Sumber : (BPS,2005)

Peningkatan jumlah penduduk tahun 2000-2003 sekitar 1,5 persen per tahun
menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan terhadap sumberdaya lahan dan air. Luas
rata-rata kepemilikan lahan sawah di Jawa dan Bali hanya 0,34 ha per rumah tangga petani.
Secara nasional jumlah petani gurem (petani dengan luas lahan garapan < 0,5 ha)
meningkat dari 10,8 juta pada tahun 1993 menjadi 13,7 juta rumah tangga petani pada
tahun 2003 dengan rata-rata peningkatan jumlah petani gurem sekitar 2,4 persen per tahun.
Konversi lahan pertanian terutama terjadi pada lahan sawah yang berproduktivitas
tinggi, untuk dijadikan lahan permukiman dan industri. Hal ini disebabkan karena pada
umumnya lahan sawah dengan produktivitas tinggi, seperti di jalur pantai utara Pulau Jawa
dan di sekitar Bandung, mempunyai prasarana yang memadai untuk pembangunan sektor
non pertanian. Konversi lahan sawah menjadi lahan non-pertanian dari tahun 1999-2002
mencapai 330.000 ha atau setara dengan 110.000 ha/tahun. Luas baku lahan sawah juga
cenderung menurun. Antara tahun 1981-1999, neraca pertambahan lahan sawah seluas 1,6
juta ha. Namun antara tahun 1999 sampai 2002 terjadi penciutan luas lahan sawah seluas
0,4 juta ha karena tingginya angka konversi (Tabel 1).
Di sisi lain, fakta menunjukkan bahwa terdapat sekitar 9 juta ha lahan terlantar yang
dewasa ini ditutupi semak belukar dan alang-alang. Pemanfaatan lahan yang berpotensi ini
secara bertahap akan dapat mengantarkan Indonesia tidak saja berswasembada produk
pertanian, tetapi juga berpotensi untuk meningkatkan volume ekspor, apalagi jika insentif
untuk petani dapat ditingkatkan. Di samping itu, sekitar 32 juta ha sumberdaya lahan,
terutama di luar Pulau Jawa, sesuai dan berpotensi untuk dijadikan lahan pertanian tanpa
mengganggu keseimbangan ekosistem.
Seperti halnya sumberdaya lahan, sumberdaya air juga semakin terbatas dan
mengalami degradasi. Pertumbuhan penduduk dan industrialisasi telah menimbulkan
kompetisi penggunaan sumberdaya air untuk pertanian dan non-pertanian. Pada kondisi
demikian maka penggunanan air untuk pertanian biasanya selalu dikorbankan sebagai
prioritas terakhir. Selain itu, dalam dekade terakhir perhatian untuk memelihara jaringan
irigasi juga menurun, yang berakibat pada penurunan intensitas tanam dan produktifitas
pertanian. Untuk itu, peningkatan dan rehabilitasi jaringan irigasi merupakan langkah penting
dan utama bagi peningkatan produktifitas pertanian.
Berkaitan dengan revitalisasi pertanian, maka arah masa depan kondisi sumberdaya
pertanian Indonesia adalah : (a) terciptanya akses petani terhadap lahan dan air serta
meningkatkan rasio luas lahan per kapita melalui reformasi keagrariaan untuk, (b)
terbentuknya pencadangan lahan abadi untuk pertanian sekitar 15 juta ha melalui
pengendalian konversi, (c) terbentuknya fasilitasi terhadap pemanfaatan lahan (pembukaan
lahan pertanian baru), serta (d) terciptanya suasana yang kondusif untuk pengembangan
agroindustri di pedesaan sebagai sarana penyedia lapangan kerja dan peluang peningkatan
pendapatan serta kesejahteraan keluarga petani.

Tabel
Neraca Luas Lahan Sawah Menurut Wilayah di Indonesia, 1981-2002 (Ha)
Wilayah Konversi Penambahan Neraca
Tahun 1981-1999
Jawa 1.002.055 518.224 -483.831

Luar Jawa 625.459 2.702.939 +2.077.480


Indonesia 1.627.514 3.221.163 +1.593.649
Tahun 1999-2002
Jawa 167.150 18.024 -107.482
Luar Jawa 396.009 121.278 -274.732
Indonesia 563.159 139.302 -423.857

C. Arah Masa Depan Produk dan Bisnis Pertanian


Menyadari nilai tambah yang diperoleh dari pengembangan produk olahan (hilir) jauh
lebih tinggi dari produk primer, maka pendekatan pembangunan pertanian ke depan
diarahkan pada pengembangan produk (product development), dan tidak lagi difokuskan
pada pengembangan komoditas. Pengembangan nilai tambah produk dilakukan melalui
pengembangan industri yang mengolah hasil pertanian primer menjadi produk olahan, baik
produk antara (intermediate product), produk semi akhir (semi finished product) dan yang
utama produk akhir (final product) yang berdayasaing.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, pengembangan agroindustri perdesaan
diarahkan untuk: (a) Mengembangkan kluster industri, yakni industri pengolahan yang
terintegrasi dengan sentra-sentra produksi bahan baku serta sarana penunjangnya, (b)
Mengembangkan industri pengolahan skala rumah tangga dan kecil yang didukung oleh
industri pengolahan skala menengah dan besar, dan (c) Mengembangkan industri
pengolahan yang punya dayasaing tinggi untuk meningkatkan ekspor dan memenuhi
kebutuhan dalam negeri.
Agenda utama pengembangan agroindustri perdesaan adalah penumbuhan
agroindustri untuk membuka lapangan kerja di perdesaan, dengan kegiatan utama: (a)
Fasilitasi penerapan teknologi dan sarana pengolahan hasil pertanian di sentra-sentra
produksi; (b) Pengembangan infrastruktur penunjang di perdesaan, seperti listrik, jalan, dan
komunikasi; (c) Pengembangan akses terhadap permodalan; dan (d) Peningkatan mutu,
efisiensi produksi dan pemasaran.
Dengan demikian masa depan produk dan bisnis pertanian adalah berupa produk
berbasis agroindustri yang memiliki daya saing dan agroservice dengan kandungan
teknologi tinggi.

I.1. Tiga Aspek Revitalisasi


Dengan memperhatikan perkembangan yang telah terjadi hingga saat ini, dalam
rangka menempatkan kembali arti penting pertanian secara proporsional dan konstektual,
ditawarkan tiga apek revitalisasi, yaitu revitalisasi ideologis dan politis, revitalisasi “output
and outcomes”, serta revitalisasi ekonomi.

(1) Revitalisasi Ideologis dan Politis


Apabila kita ikuti ideologi kapitalis-liberal-murni maka kita akan menempatkan
pertanian hanya sekedar komoditi atau produk yang tunduk pada hukum permintaan,
penawaran, harga dan keuntungan. Namun apabila kita mulai dari manusia debagai
makhluk Tuhan maka ternak dan ikan yang termasuk dalam pertanian akan kita pandang
sebagai bagian dari rezeki yang diberikan Tuhan bagi kelangsungan hidup manusia,
sebagai amanah yang harus dimanfaatkan sekaligus dipertanggungjawabkan
pemanfaatannya. Hanya dengan cara pandang ini kemudian kita memasukkan aspek halal
atau haram, lestati atau itdak, bahkan bermatabat atau tidak.
Revitalisasi ideologis tersebut kemudian akan berlanjut pada penempatan pertanian,
antara lain pangan secara proporsional terhadap kesaradaran akan nilai – nilai
kemanusiaan. Itulah sebabanya kemudian kita memandang bahwa ketahanan pangan
adalah hak asasi, bahkan kewajiban asasi yang harus dipatuhi dan kita bertekad kuat untuk
menghapuskan kelaparan. Hanya dengan pandangan kemanusiaan pula kita bisa
mengaitkan pertanian dengan aspek pengurangan kemiskinan dan pengurangan
pengangguaran, atau menjadikan argumentasi pada kondisi perdagangan yang tidak adil,
walaupun mungkin memang lebih bebas, seperti yang diinginkan oleh sebagian negara
maju di forum WTO. Alasan idiologis terkai keadilan ini pula yang membuat kita juga
menentang apabila terdapat akumulasi penguasaan lahan yang berlebihan dan tidak
termanfaatkan pada saat ada orang lain yang miskin dan lapar tetapi tidak punya lahan
untuk ditanami.
Apabila ditelaah lebih dalam sisitem perdagangan domestik ternyata pertanian juga
memberikan kontribusi penting dalam menyatukan hubungan antar daerah. Beras Sulawesi
Selatan dibutuhkan di Kalimantan Timur dan Riau, jeruk Kalimantan Barat dan Sumatra
Utara punya pasar kuat di Jawa, dan seterusnya. Belum lagi jika dilihat keterkaitan industri
dan bahan bakunya. Perdagangan dan distribusi pertanianlah yang telah mempersatukan
Indonesia. Aapabila kita memandang kedaulatan memang ada ditangan rakyat dan
demokrasi adalah salah satu pilar ideologi yang dikedepankan maka suara petani adalah
jumlah terbanyak dalam pemilu. Hal ini mengindikasikan petani seharusnya sebagai pemilik
“kedaulatan” yang memiliki represtasi paling besar di parlemen. Disamping itu,
pertimbangan kedaulatan ini pula yang membuat kita tidak ingin pasokan pangan ita tidak
harus tergantung pada negara lain, karena hal itu pada gilirannya akan menggangu
kedaulatan kita sebagai bangsa dan negara.
Dengan demikian, revitalisasi pertanian harus dimulai dengan kesadaran idiologisbahwa
demi kemanusiaan, keadilan, kerakyatan, serta kedaulatan maka pertanian harus menjadi
penting. Hal ini sekaligus juga menegaskan bahwa pertanian memang bukan hanya sekedar
komoditi atau produk yang harus hanya tunduk pada mekanisme pasar. Oleh karenanya,
adalah sesuatu yang obyektif dan logis apabila kemudian pertanian memiliki posisi politik
yang kuat.

(2) Revitalisasi “Output and Outcomes”


Dalam agrabisnis terminologi produk yang dipergunakan telah bergeser menjadi lebih
berorientasi pada pandangan konsumsi. Pengategorian output pertanian telah menjadi :

1. Pangan dan Pakan


Kualifikasi dan persyaratan konsumen untuk kelompok produk ini telah semakin ketat
bila dilihat dari aspek kesehatan, kebersihan, kenyamanan, kepraktisan, dan
sebagainya.Demikian juga dengan atribut kehalalan, fungsi dan manfaat dituntut pada
kelompok ini tanpa peduli adakah produk tersebut dari tanaman pangan (sereal),
hortikultura (sayur dan buah), perkebunan (kopi dan teh), peternakan (daging, ayam,
susu) atau perikanan. Disis lain, produk non pangan dari kelompok tanaman pangan (ubi
kayu), perkebunan (karet), peternakan (kulit), holtikultura ( tanaman hias), dan perikanan
(mutiara); tidak dituntut sedemikian ketat. Hal kemudian dapat berimplikasi menjadi tidak
relevannya pengategorian pertanian yang seperti selama ini dikenal di Departemen
Pertanian. Namun demikian, apapun bentuknya, output pertanian dalam bentuk pangan
dan pakan memiliki nilai yang sangat penting bagi masyarakat.
2. Biofarmaka
Revitalisasi output pertanian yang kedua adalah dalam bentuk produk – produk
kesehatan, kebugaran dan kecantikan yang semakin banyak dibutuhkan. Kebutuhan ini
meningkat pesat dalam tren back to nature yang menggejala semakin luas dan didorong
oleh elastisitas pendapatan.

3. Bioenergi
Dengan semakin terbatasnya jumlah pasokan fossil-fuel yang memang tidak
dapat diperbaharui, bioenergi atau biodiesel menjadi alternatif yang mulai sangat
diperhatikan. Amerika Serikat telah mengembangkan secara komersial bahan bakar
motor dengan kedelai dalam jumlah yang cukup signifikan, Brazil mengembangkannya
dengan bahan baku tebu, Malaysia mengembangkan produk turunan CPO untuk energi,
sedangkan bebepara negara Eropa mulai melihat bunga matahari sebagai sumber
bahan bakar alternatiff. Bioenergi menjadi salah satu produk pertanian yang sangat
prosfektif dimasa depan, dan Indonesia dapat menjadi negara dengan potensi bahan
baku bioenergi yang sangat besar.

4. Serat
Produk serat (fibre) mencakup produk pakaian, sepatu dan kertas, juga produk
furniture, papan, kayu lapis, dan sejenisnya. Produk serat ini dihasilkan dari kapas,
sutra, kulit, pohon dari “perkebunan pohon” (HTI bukan hutan alam) atau peremajaan
tanaman perkebunan lain, dan sebagainya. Produk serat juga akan menempatkan
pertanian sebagai suatu kegiatan ekonomi yang sangat penting.

5. Wisata dan Estetika


Semakin tinggi pendapatannya konsumen akan semakin membutuhkan
hiburan, wisata, dan produk – produk estetika lainnya. Tanaman hias, bunga,
agrowisata, dan sejenisnya telah dan akan tetap menjadi bisnis yang sangat
menguntungkan. Kebutuhan akan kelompok produk ini jelas akan menempatkan
pertanian sebagai kegiatan produksi yang penting.

Revitalisasi pengelompokan output pertanian diatas memberikan argumentasi akan


pentingnya kegiatan pertanian. Tentu disadari sepenuhnya bahwa pertanian tidak
“sendirian” dalam menyediakan kebutuhan dimaksud. Pertanian akan terkait dengan (agro)
industri dan jasa – jasa (agroservices) yang terkait untuk dapat menjadi produk itu sampai
ke konsumen sebagai mana diharapkan. Revitalisasi tersebut kemudian membutuhkan
perspektif baru terhadap “pengelompokkan” sektor atau subsektor pertanian, sehingga perlu
dikaji secara mendalam kemungkinan perubahan akibat tuntutan revitalisasi tersebut.

(3) Revitalisasi Ekonomi


Secara ekonomi pertanian juga memberi nilai ekonomi dalam kesepmatan kerja dan
kesempatan berusaha yang sangat besar. Belum lagi kaitannya dengan pertanian,
khususnya pangan, dengan investasi sumber daya manusia yang memiliki arti pengganda
sangat besar terhadap produktivitas ekonomi. Sumbangan PDB pertanian on-farm memang
hanya mencapai sekitar 17 persen, tetapi jika dihitung sumbangan kegiatan industri dan jasa
off-farm pertanian yang tidak akan eksis jika tidak ada pertanian maka sumbangan PDB
“sistem agribisnis” tersebut dapat melonjak hingga 40 persen.
Bagi Indonesia, peran ekonomi pertanian tersebut juga terlihat pada saat krisis
finansial 1977/1998 dimana pertanian telah menjadi buffer yang meredam gejolak pertanian
dengan tetap bertumbuh positif dan memberikan kesempatan kerja “instan” bagi mereka
yang tersingkir akibat penurunan sektor industri dan jasa (Krisnamurti, 2003). Namun harus
ditegaskan bahwa peran buffer ini tidak berarti membuat pertanian tidak didera oleh krisis
tersebut. Pertanian hanya memiliki time lag yang lebih lama untuk disentuh krisis finansial.
Pada tahun 2000/2001, tiga tahun setelah krisis, petani justru lebih menderita akibat inflasi
dan penurunan permintaan.
Ketiga bentuk revitalisasi di atas : idiologis-politis, reposisi output-outcome, dan
ekonomis; kiranya telah memberikan argumentasi sangat tegas mengenai peran pertanian
yang penting, strategis, dan terhormat; den sekaligus memberikan argumentasi mengenai
prospek dan potensi pertanian yang sangat besar sekarang dan dimasa yang akan datang.
Disamping itu, argumentasi revitalisasi tersebut juga menegaskan urgensi untuk segera
dapat dilakukan langkah – langkah kongkrit yang sistematis untuk menjawab dan
menyelesaikan berbagi permasalahan yang masih dihadapi dan meningkatkan kinerja
pertanian.

3.1. Bentuk Industrialisasi


Pertumbuhan industri bermula dari keinginan memenuhi permintaan yang semakin
meningkat didalam negeri dan dimulai dengan pemorsesan secara sederhana komoditi –
komoditi agrakultural dan mineral yang sebelumnay diperdagangkan dalam bentuk yang
baku. Industri – industri seperti ini antara lain adalah pengilingan biji – biji, pengambilan
minyak nabati, penggulungan dan pemintalan benang, pembakaran dan pembuatan batu
bara.
Pada umumnya pemrosesan komoditi pertanian mula – mula dilakukan dengan
tangan dan dibantu oleh mesin – mesin sederhana yang digerakkan dengan tenaga
manusia. Tujuannya adalah untuk membuang bagian – bagian yang tidak tercapai atau
mengubahnya kedalam bentuk yang lebih mudah dimakan lebih mudah diangkat atau
disimpan. Lambat laun pengelolaan bahan – bahan menjadi semakin rumit dan sejalan
dengan perkembangan perdagangan dan komunikasi, tahap pemakaian alat – alat
sederhana terdesak kebelakang dan digantika dengan mesin – mesin yang digerakkan
oleh tenaga air, batu bara dan sebagainya. Perubahan – perubahan ini digabungkan
dengan pertumbuhan suatu perekonomian yang didasarkan atas peredaran uang dan
peningkatan permintaan yang telah menjuruskan kepada pembuatan barang – barang
konsumen, baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun ekspor.

Faktor – faktor yang mempengaruhi pemilihan industri antara lain adalah sebagai
berikut:
1. Kurangnya tenaga kerja yang cakap, kurangnya modal, kurangnya pasaran dan
kelangkaan devisa. Keterbatasan – keterbatasan ini membatasi jenis, ukuran dan
ruang lingkup pembangunan industri, metode – metode yang digunakan dan urutan
prioritas.
2. Kurangnya tenaga kerja yang terampil adalah salah satu hambatan yang sangat
serius, karena bukan hanya membatasi tipe kegiatan – kegiatan industri, tetapi juga
membatasi metode – metode kerja serta jenis – jenis peralatan mesin yang
digunakan. Mesin – mesin sederhana memerlukan pelayanan individu dengan
tingkat kecakapan seadanya jauh lebih baik dibandingkan pemakaian sedikit saja
mesin – mesin yang mampu melakukan serangkaian kegiatan yang kompleks tetapi
memiliki peralatan sistem yang lebih rumit. Untuk mengoprasikan dan memelihara
mesin – mesin dari jenis yang terakhir ini barang kali diluar kemampuan para [ekerja
lokal. Seorang ahli mesin yang berketerampilan tinggi adalah produk latihan dan
tradisi yang memakan waktu lama. Ia memiliki peran vital dalam sebuah pabrik
modern.

3.2. Sifat Pengembangan Industri

A. Kebijaksanaan padat karya


Stasiun – stasiun pembangkit tenaga, pabrik – pabrik besi dan baja serta
penyulingan – penyulingan minyak memerlukan investasi modal yang besar.
Kegiatan – kegiatan ini sendirinya menggunakan tenaga kerja yang relatif kecil (yaitu
memiliki investasi modal per pekerja yang sangat tinggi), tetapi output per pekerja
adalah tinggi dan khususnya bermanfaat bagi sektor pembangunan perekonomian
industri. Hasil per unit modal yang diinvestasikan pada mulanya mungkin lebih kecil
dari pada perkiraan dana tersebut diinvestasikan ke dalam proyek – proyek lain yang
lebih banyak jumlahnya dan lebih bersifat padat karya. Keputusan – keputusan
mengenai intensitas modal yang epat dalam industrialisasi sebuah negara
berkembang adalah fundamental, sebab keputusan – keputusan ini sangat
berpengaruh terhadap sifat dan pengembangan industri. Produksi padat karya
dianggap merupakan operasi dalam skala kecil atau menengah untuk membuat
barang – barang berat atau barang modal dalam skala besar.
Banyak ahli yang berpendapat bahwa apabila modal terbatas maka lebih baik
modal tersebut disebarkan secara tipis agar dapat mempekerjakan jumlah tenaga
kerja yang lebih besar atau dengan kata lain lebih menekankan metode – metode
dan industri – industri padat karya. Dengan metode biaya tenaga kerja yang rendah
dapat mengimbangi pengaruh maksimum mereka atas biaya keseluruhan. Dengan
cara ini pula kekuatan membeli lebih meningkat dan distribusi kekuatan tersebutlebih
meluas diantara orang – orang yang akan segera memanfaatkannya, terutama untuk
membeli barang – barang konsumen.
Penggunaan tenaga kerja yang berlebihan mungkin menjadi tidak produktif
dan modal yang dihemat dengan tidak menggunakan tenaga kerja yang berlebihan
dapat dimanfaatkan untuk kegiatan yang baru itu . Dengan demikian jumlah produksi
dan pendapatan akan menjadi lebih besar dari pada sekiranya menggunakan
metode – metode yang lebih bersifat mekanis. Pendapat ini berlaku bagi kegiatan –
kegiatan perusahaan berukuran kecil , yaitu yang bergerak antara lain unit kerajiana
rumah tangga dan pabrik berukuran besar, baik dalam teknik maupun ukurannya.
Keuntungan lain yang dapat diperoleh industri pada harga ini adalah volume
produksi yang lebih cenderung menyesuaikan diri dengan pasaran yang terbatas
bagi produk –produk yang bersangkutan. Industri – industri kecil yang memanfaatkan
tenaga listrik juga mempunyai keuntungan lain yaitu tidak begitu tergantung kepada
keadaan lingkungan (dilihat dari segi penyediaan energi) dan dapat didistribusikan
secara luas serta membantu menghindarkan pengelompokan orang – orang secara
berkelebihan didaerah – daerah perkotaan yang mengakibatkan tingginya biaya
perumahan dan sarana – sarana umum. Ada juga pendapat yang mengatakan
bahwa pembukaan industri berskala kecil merupakan suatu langkah dasar untuk
mengembangkan kecakapan, teknik, dan pasaran bagi kegiatan berskala besar
berikutnya.

B. Kebijaksanaan padat modal


Keadaan sebaliknya juga mendapatkan dukungan yang kuat dan didasarkan
atas pemikiran bahwa suatu kenaikkan komulatif dalam produksi dan pendapatan
nasional adalah akibat dari produktivitas tenaga kerja yang terus meningkat.
Produktivitas yang tinggi hanya dapat dicapai debgab pemakaian teknik – teknik
yang efisien, yang memerluakn aplikasi modal yang sanagt besar. Produktivitas
pekerja yang lebih tinggi dapat diraih dengan proses – proses padat modal walaupun
dengan hasil per unit modal yang lebih kecil dibandingakan dengan hasil yang sama
yang dapat diraih dengan proses – proses padat karya dan apabila keuntungan per
pekerja diinvestasikan kembali secara terus menerus, maka produk bersih akan
meningkat lebih cepat. Keadaan ini dapat pula diartikan bahwa pemakaian tenaga
yang lebih sedikit pad tahun – tahun pertama akan menjadi lebih banyak pada tahun
– tahun berikutnya sehingga akan terjadi percepatan dan pada waktu tidak terlalu
lama akan melampaui tingkat pemakaian tenaga kerja yang semula diperoleh dalam
industri – industri padat karya.
Investasi modal mempunyai tujuan antara lain untuk meningkatkan kapasitas
produksi ketimbang menyediakan pekerjaan dalam jumlah yang besar; dengan
tercapainya itu maka jumlah kerjaan yang lebih banyak akan datang dengan
sendirinya. Produktivitas yang lebih tinggi akan mengakibatkan surplus yang lebih
besar, sehingga memungkinkan terhimpunnya dana yang lebih banyak untuk
investasi; dengan demikian dapat diharapkan kenaikkan yang terus menerus. Untuk
tujuan ini maka langkah lebih jauh adalah lebih menekankan industri barang –
barang modal ketimbang barang – barang konsumen, dan beberapa ahli mendukung
investasi padat modal besar – besaran dalam industri – industri dasar yang
memperoleh barang – barang yang berupa peralatan yang nantinya memungkinkan
peningkatan barang – barang konsumen secara lebih cepat. Produksi padat karya
tidak memiliki sifat mempercepat didi seperti ini dan hanya dengan memanfaatkan
produksi karya – karya suatu perekonomian cenderung mengalami stagnatis.
Dari uraian diatas jelas bahwa baik kebijakan padat modal maupun padat
karya masing – masing mempunyai kekurangan dan kelebihan. Negara dalam
keadaan yang sesungguhnya mengambil keputusan setelah terlebih dahulu
mempertimbangkan proporsi pemanfaatan sumber – sumber yang terbatas. Disinilah
alasan –alasan ekonomis dapat takluk kepada kebijaksanaan – kebijaksanaan sosial
dan politik. Berikut ini kegiatan – kegiatan yang dianjurkan oleh sebuah misi
berpenduduk padat, yang dalam ajaran tersebut terlihat jelas pandangan mereka
yang mengutamakan industrialisasi padat karya seperti : pengilingan beras, tekstil
kapas dengan produksi berukuran kecil, pabrik sepatu, industri – industri pengerjaan
logam yang meliputi paku, baut dan mur, produk – produk aluminium dan kuningan,
keramik, alat – alat pertanian sederhana, bahan – bahan bangunan, dan pelapisan
secara listrik.

II. Implementasi Revitalisasi Pertanian dalam Program Departemen Pertanian,


2004-2009

A. Sasaran Pembangunan 2005-2009


Sasaran pembangunan pertanian 2005-2009 dikelompokan menjadi tiga yaitu:

1. PDB, Investasi, dan Kesempatan Kerja


 Selama periode 2005-2009 target pertumbuhan PDB sektor pertanian dalam arti
sempit meningkat dari 2,97 persen pada tahun 2005 menjadi 3,58 persen pada tahun
2009 atau rata-rata meningkat 3,29 persen. Target pertumbuhan tersebut di atas
pertumbuhan tahun 2004 yang hanya mencapai sekitar 2 persen. Berdasarkan harga
konstan tahun 2000, PDB sektor pertanian akan meningkat dari Rp 198 trilyun pada
tahun 2005 menjadi Rp 226 trilyun pada tahun 2009.
 Selama periode 2005-2009, dengan target PDB sektor pertanian seperti di atas, total
investasi yang dibutuhkan sektor pertanian sebesar Rp 77,07 dengan rata-rata
Rp 14,40 trilyun per tahun.
 Selama periode 2005-2009, penyerapan tenaga kerja sektor pertanian diproyeksikan
meningkat dari 41,3 juta orang pada`tahun 2005 menjadi 44,5 juta orang pada tahun
2009. Penyerapan tenaga kerja sektor pertanian pada tahun 2005 sedikit lebih besar
dibanding tahun 2004 yang hanya mencapai 39 juta orang. Kesempatan kerja yang
diciptakan sektor pertanian pada tahun 2009 sebesar 97,47 persen dari target
kesempatan kerja sektor pertanian umum (pertanian, kehutanan dan perikanan)
adalah 42,19 persen dari target kesempatan kerja nasional.
Tabel
Perkiraan PDB, Kebutuhan Investasi, dan Penciptaan Kesempatan Kerja
menurut Subsektor Pertanian di Indonesia, 2005-2009
Subsektor Sektor
Uraian Hortikultur Perkebun Peternaka Pertania
T. Pangan
a an n n
PDB (Rp trilyun)
 2005 77 46 48 28 198
 2009 79 53 61 33 226
Pertumb. PDB (%/th)
 2005 0,43 2,86 6,01 4,11 2,97
 2009 1,08 4,57 6,49 4,58 3,58
 Rataan 0,89 3,38 6,27 4,37 3,29
Investasi (Rp trilyun)
 2005-2009 30,05 9,92 20,52 16,12 77,07
 Per th 5,08 1,98 4,10 3,22 14,40
Penyerapan TK (jt
orang)
 2005 27,2 3,4 6,3 4,3 41,3
 2009 25,9 4,9 7,9 5,8 44,5
 Relatif 1) (%) 58,18 11,05 17,74 13,02 97,473)
 Relatif 2) (%) 56,70 10,77 17,29 12,69 42,194)
Keterangan:
1)
Kesempatan kerja tahun 2009 relatif terhadap kesempatan kerja sektor pertanian
2)
Kesempatan kerja tahun 2009 relatif terhadap kesempatan kerja sektor pertanian
nasional
3)
Kesempatan kerja tahun 2009 relatif terhadap kesempatan kerja pertanian umum
4)
Kesempatan kerja tahun 2009 relatif terhadap kesempatan kerja nasional

2. Ketahanan Pangan
(1) Selama periode 2005-2009, pertumbuhan produksi tanaman pangan diproyeksikan
mengalami peningkatan berkisar 0,35 – 6,50 persen per tahun. Pada periode yang
sama pertumbuhan produksi tanaman hortikultura dan perkebunan diproyeksikan
mengalami peningkatan masing-masing berkisar 2,94 – 8,41 persen dan 0,79 - 7,09
persen per tahun. Sementara pertumbuhan produksi peternakan diproyeksikan
mengalami peningkatan berkisar 0,08–10,25 persen per tahun. Secara rinci proyeksi
produksi menurut komoditas pada masing-masing subsektor disajikan pada Tabel 3.

(2) Selama periode 2005-2009 konsumsi bahan pangan utama (beras, jagung, kedelai
dan gula) diproyeksikan mengalami peningkatan berkisar 1,21 – 3,57 persen per
tahun. Secara rinci perkembangan konsumsi menurut komoditas adalah sebagai
berikut:
a. Konsumsi beras akan meningkat dari 36,08 juta ton pada tahun 2005 menjadi
37,96 juta ton pada tahun 2009 atau rata-rata meningkat 1,21 persen per tahun.
Rata-rata peningkatan konsumsi tersebut sama dengan rata-rata peningkatan
produksi. Neraca mengalami defisit yang cenderung meningkat selama 2005-
2009 yaitu dari 313 ribu ton pada tahun 2005 menjadi 445 ribu ton pada tahun
2009. Defisit tersebut sangat tipis, yaitu sekitar 0,73 – 1,17 persen atau rata-rata
0,89 persen dari konsumsi.
b. Konsumsi jagung akan meningkat dari 12,14 juta ton pada tahun 2005 menjadi
13,72 juta ton pada tahun 2009 atau rata-rata meningkat 3,01 persen per tahun.
Rata-rata peningkatan konsumsi terrsebut lebih lambat dibanding dengan rata-
rata peningkatan produksi sebesar 4,23 persen per tahun. Neraca mengalami
defisit yang cenderung menurun yaitu dari 320 ribu ton pada tahun 2005 menjadi
14 ribu ton pada tahun 2007 dan setelah itu mengalami surplus yang meningkat
dari 116 ribu ton pada tahun 2008 menjadi 254 ribu ton pada tahun 2009. Defisit
dan surplus tersebut masih tipis yang masing-masing merupakan 0,11 – 2,64
persen dan 0,87 – 1,82 persen dari konsumsi.
c. Konsumsi kedelai akan meningkat dari 2,39 juta ton pada tahun 2005 menjadi
2,57 juta ton pada tahun 2009 atau rata-rata meningkat 1,74 persen per tahun.
Rata-rata peningkatan konsumsi tersebut lebih lambat dibanding dengan rata-
rata peningkatan produksi 6,50 persen per tahun. Neraca mengalami defisit yang
cenderung menurun selama 2005-2009 yaitu dari 1,61 juta ton pada tahun 2005
menjadi 1,57 juta ton pada tahun 2009. Defisit tersebut masih sangat besar yang
merupakan 61,06–67,45 persen atau rata-rata 64,27 persen dari konsumsi.
d. Konsumsi gula akan meningkat dari 3,30 juta ton pada tahun 2005 menjadi 3,82
juta ton pada tahun 2009 atau rata-rata meningkat 3,57 persen per tahun. Rata-
rata peningkatan konsumsi tersebut lebih lambat dibanding dengan rata-rata
peningkatan produksi 7,09 persen per tahun. Neraca mengalami defisit yang
cenderung menurun selama 2005-2009 yaitu dari 1,13 juta ton pada tahun 2005
menjadi 0,97 juta ton pada tahun 2009. Defisit tersebut masih cukup besar yang
merupakan 25,5–34,4 persen atau rata-rata 29,79 persen dari konsumsi.
(3) Sasaran pembangunan pertanian 2005-2009 pada aspek diversifikasi konsumsi
pangan perlu memperhatikan Pola Pangan Harapan (PPH) yaitu meningkatnya
keanekaragaman konsumsi pangan dan menurunnya ketergantungan pada satu
jenis pangan pokok tertentu. Sasaran PPH pada tahun 2009 adalah 96,6 persen
dengan kontribusi padi-padian maksimal 51,6 persen, lemak dan minyak 10 persen,
sedangkan kontribusi minimal untuk umbi-umbian adalah 5,7 persen, pangan hewani
11,2 persen, buah/biji berminyak 3 persen, kacang-kacangan 4,8 persen, gula 5
persen, sayur dan buah 5,7 persen dan sumber pangan lainnya 3 persen.
Pencapaian sasaran PPH sebesar 100 persen akan dicapai pada tahun 2010 sesuai
dengan sasaran Indonesia sehat 2010.

3. Masalah Industrialisasi
Ahli – ahli ekonomi memperkirakan keharusan melakukan investasi kembali sekitar
12 – 15 persen dari pendapatan nasional bersih untuk dapat mengembangkan berbagai
macam usaha serta memajukan suatu perekonomian yang masih terbelakang dengan
mengembangkan kegiatan – kegiatan sekunder dan tertier. Hasil yang diperoleh dari
investasi sebesar itu diperkirakan dapat melampaui angka pengangguran penduduk dan
memungkinkan peningkatan taraf hidup serta hasil – hasil kumulatif. Dengan
mempertahankan tingkat investasi sebesar 12 – 15 persen itu diharapkan perekonomain
dapat menuju tahapan ‘ tinggal landas’. Pernyataan ini sebenarnya telah bersifat
sederhana. Pemilikan modal itu sendiri tidaklah secara otomatis memajukan
perekonomian, karena masih tergantung pula pada kemauan dan kemampuan orang –
orang yang terlibat didalamnya, yaitu kemauan dan kemampuan mempelajari dan
menerapkan metode – metode produksi yang lebih baik, kegiatan berusaha,
kesanggupan mengatasi segala hambatan dan pemberian dorongan bagi berbagai
usaha dan industri. Tetapi bagaimana juga modal adalah suatu unsur yang sangat
penting dan inti permasalahnnya adalah bagaimana upaya mengatasi masalah –
masalah kompleks yang menghambat tercapainya tingkat industri 12 persen atau lebih.
Dengan laju pertumbuhan ekonomi sebesar itu dan dengan melalui perencanan yang
matang, negara – negara berkembang seperti Indonesia diharapkan mampu mengejar
ketinggalan – ketinggalan tersebut.
4. Kelemahan Sektor Pertanian
Kelemahan sektor pertanian yang sangat pokok ialah karena kebanyakan para
pekerjanya adalah petani biasa yang sama sekali tidak mampu mengendalikan kekuatan –
kekuatan alam dan lingkungan fisisk yang diolah. Hasil – hasil pertanian mereka tergantung
pada sinar matahari, ar, udara dan garam – garam mineral. Mereka mungkin saja mampu
membuat irigasi dan saluran pembuangan air, menambah pupuk atau unsur – unsur lainya
untuk menyuburkan yanah yang mereka olah. Tetapi semua ini hanyalah dapat dikerjakan
secara terbatas dan akhirnya lingkungan yang banyak menentukan. Dari sini muncul
sejumlah kerugian – kerugian lainnya yang bervariasi dari tahun ketahun akibat kerusakan –
kerusakan yang ditimbulkan oleh cuaca buruk, penyakit, dan hama. Akibatnya para petani
tidak dapat memeperlirakan dengan tepat berapa volume produksi mereka setiap tahunnya.
Kelemahan sektor pertanian selanjutnya ialah karena produksi pertanian pada umumnya
lebih lambat dibandingkan produksi industri manufaktur, sehinnga mengharuskan para
petani memandang kedepan dan memperkirakan sifat pasar setidaknya setahun yang akan
datang . Hasil – hasil pertanian membutuhkan waktu beberapa bulan untukmenjadi matang
sehingga memperlambat reaksi para petani terhadap perubahan – perubahan dalam
permintaan, karena begiti hasil – hasil tanaman sudah siap dipetik mereka akan segera
melakukannya tanpa memperdulikan keadaan yang melimpah ruah. Semua faktor – faktor
ini, yang membantu terjadinya fluktuasi – fluktuasi harga yang cukup murah, sejalan dengan
saat panen melimpah dan saat paceklik, terutama menonjol dalam produksi primer dan
menimbulkan akibat –akibat serius bagi kemajuan ekonomi.
Ada beberapa hal yang menyebabkan pertanian relatif tidak elastis, dan tidak semua
alasan ini tidak bersifat ekonomis. Konsevatisme tradisional kaum petani ini dapat
merupakan rintangan terbesar terhadap kemajuan, terutama ditempat – tempat dimana gaya
hidup bertani tradisional telah terjalin erat terhadap struktur masyarakat dan dimana
perubahan – perubahan dalam pertanian dapat menimbulkan akibat yang dalam terhadap
pengelompokan – pengelompokan sosial dan gaya hidup.
Hambatan serius lainnya terletak pada inelastisitas permintaan atas produk – produk
pertanian. Bagian terbesar dari produk – produk pertanian adalah bahan – bahan makanan,
dan karena penting bagi kehidupan, bahan makanan ini dikonsumsi dalam jumlah yang
sangat besar. Oleh sebab itu kalaupun harga – harga bahan makanan ini menurun,
pembelian makanan tidak begitu banyak meningkat. Hal yang sama jika pendapatan
meningkat pengeluaran tambahan untuk membeli bahan – bahan makanan tidak sebanding
dengan meningkatnya pendapatan tersebut.

5. Industrialisasi di Indonesia
Hasil pembangunan paling nyata yang dapat dilihat oleh negara – negara
berkembang seperti Indonesia adalah banyaknya industri manufaktur yang dianggap
sumber kekayaan, kekuatan dan keadaan seimbang . Oleh sebab itu, tidaklah
mengherankan apabila sebagian negara miskin beranggapan bahwa pengenalan industri
manufaktur merupakan suatu obat penyebab untuk memperbaiki keadaan mereka.
Indonesia telah mengalami pertumbuhan industri yang relatif cepat sesudah masa
pemerintahan Soekarno. Tingkat pertumbuhan sekitar 11 persen per tahun (dalam
pengertian nyata) sejak tahun 1967 hingga 1977 bukan hanya sedikit lebih tinggi dari tingkat
pertumbuhan ekonomi lainnya, melainkan juga luar biasa kalau dibandingkan dengan
stagnasi industri yang terjadi pada awal tahun 1960-an. Akan tetapi, industri manufaktur
memainkan peran yang masih kecil dibandingkan dengan di negara-negara Asia Timur
lainnya, dan gabungan industri menunjukan besarnya jumlah barang konsumsi yang
terutama diproduksi untuk pasar dalam negeri.
Industrialisasi yang cepat dapat sungguh memperbaiki efisiensi pertanian Indonesia,
melalui persediaan masukan dan pengolahan hasil sektor itu. Industrialisasi yang cepat
juga dapat membantu memecahkan masalah penyediaan kesempatan kerja dengan upah
nyata yang meningkat untuk angkatan kerja yang sudah besar dan masih membesar itu.
Akhirnya, pertumbuhan industri memungkinkan diversifikasi ekspor yang mungkin
dibutuhkan untuk memperoleh kedudukan neraca pembayaran jangka panjang yang bisa
berlangsung terus dengan baik. Supaya dapat diperoleh perspektif yang lebih tepat
mengenai masalah dan masa depan industrialisasi di Indonesia, perlulah diteliti sifat-sifat
utama negara ini dan hubungan struktural yang melandai sektor industrinya.

A. Pola Perkembangan Industri, 1960-1971


1. Catatan Produksi
Ditinjau dari periode 1960-1972, dapat dipisahkan secara kaar dua tahapan prestasi
industri, yang dengan jelas mencerminkan kebijaksanaan yang dilaksanakan selama
pemerintahan Soekarno dan Soeharto. Selama pemerintahan Soekarno, negara ini
mengalami ketidakstabilan ekonomi yang cukup besar, defisit dalam anggaran pemerintah
yang berkepanjangan (persistent), inflasi dalam negeri pada tingkat yang bersifat
eksponensial, masalah-masalah neraca pembayaran yang semakin besar, campur tangan
pemerintah yang ekstensif dalam sistem pasar, berkembangbiaknya manufaktur dengan
bantuan pemerintah, dan sifat memusuhi yang semakin besar terhadap modal asing yang
pada akhirnya mengantarkan seluruh perekonomian Indonesia ke tepi jurang kehancuran.
Dalam keadaan seperti itu tidak mengherankan bawa produksi dari hampir semua kegiatan
industri menurun.
Pemerintah yang mengganti pemerintahan Soekarno pada akhir tahun 1965
melakukan perubahan mendasar yang drastis pada kebijaksanaan perekonomian umum. Di
samping keberhasilan melawan inflasi besar-besaran, pemerintah ini mengalihkan
kebijaksanaan ekonomi dari praktek-praktek yag sangat bersifat campur tangan menjadi
kerangka ekonomi yang lebih banyak bergantung pada kekuatan di pasar dan memberi
peran utama pada sektor swasta dalam menunjang pembangunan industri. Selain rencana
pembangunan lima tahun pertama yang dimulai pada tahun 1969-1970 mengutamakan
produksi pertanian, pemerintah juga bertekad mencapai pemulihan kapasitas produksi pada
sektor industri dan memulai kembali proses industrialisasi yang bersifat mengganti barang
impor. Konsensi kredit dan pajak baik untuk investasi swasta dalam negeri maupun asing,
serta perlindungan melalui pemberian izin investasi dan bea impor, digunakan secara luas
untuk membantu tercapainya tujuan tersebut. Pemulihan sektor industri pada akhir tahun
1960-an dan awal 1970-an merupakan gambaran yang baik mengenai jawaban positif dari
pihak pengusaha, baik asing maupun dalam negeri, terhadap tindakan baru yang
dilaksanakan dalam keadaan yang stabil baik secara politis maupun sosial. Pada tahap ini,
Indonesia telah mengalami pertumbuhan industri yang lebih cepat daripada yang terjadi
dalam periode mana pun yang sama panjangnya sejak kemerdekaan Indonesia.
Tidak mengherankan bahwa tingkat revitalisasi ekonomi erbeda menurut produk.
Meskipun umumnya bisa dipercaya (karena tidak ada data yang bisa dijadikan pegangan,
yang bisa dilakukan hanyalah perkiran belaka) bahwa pada tahun 1970 sektor industri
Indonesia secara keseluruhan telah mencapai tingkat produksi awal tahun 1960-an, kiranya
menarik untuk dilihat bahwa untuk beberapa jenis produk seperti rokok, korek api, garam,
ban sepeda, gelas/kaca dan botl hasil produksi awal tahun 1970-an masih berada pada
tingkat di bawah sepuluh tahun yang lalu.

2. Kesempatan Kerja, Besarnya Pabrik, dan Produktivitas


Industri manufaktur didominasi barang konsumsi tidak tahan lama bukan hanya
dalam pengertian hasil produksi melainkan juga dalam pengertian kesempatan kerja. Pada
tahun 1970, industri manufakur bahan makanan saja suah mempekerjakan hampir sepertiga
dari angkatan kerja dalam industri besar dan menengah. Sumbangan sebagian besar
industri menengah dan industri barang modal untuk keseluruhan kesempatan kerja hampir
tidak berarti seperti halnya dengan sumbangan industri-industri tersebut bagi keseluruhan
nilai tambah.
Tenaga buruh yang samapai sekarang ini terserap oleh sektor industri dipekerjakan
sebanyak 17.900 perusahaan menengah dan besar dan sejumlah yang tidak dapat
dipastikan dipekerjakan oleh sejumlah perusahaan kecil yang terdiri dari perusahaan pabrik
dan bukan pabrik. Sebagian besar perusahaan besar dan menengah mempunyai sifat
produksi yang relatif kecil dibandingkan dengan standar internasional. Perusahaan besar,
yang mencakup 11 persen dari seluruh perusahaan yang ada, menggunakan rata-rata 302
orang buruh. Hanya lima di antara dua puluh enam industri berada di atas rata-rata ini.
Perusahaan menengah mempunyai rata-rata hampir 16 buruh setiap pabrik, dengan 14
buah undustri sedikit lebih tinggi.
Industri kecil mungkin menyerap lebih dari 50 persen kesempatan kerja dari seluruh
bidang industri. Tidak ada data mengenai sifat struktural perusahaan ini, karena itu sukar
untuk memastikan apakah dalam perusahaan itu sendiri terdapat kelemahan ekonomis.
Beberapa perusahaan kecil yang ada mempunyai kelebihan yang memadai dalam hal
seperti fleksibilitas yang lebih tinggi, penyebaran di daerah-daerah, atau spesialisasi produk
sehingga dapat mengimbangi kelemahan berupa produktivitas yang umumnya rendah.
Perusahaan-perusahaan lain mungkin tidak dapat bertahan dalam persaingan dengan
perusahaan besar dan menengah karena kekurangan faktor-faktor seperti kesanggupan
manajemen, tresedianya pengetahuan teknis (termasuk rancangan produk), kapasitas
peralatan, persediaan air, listrik, dan pengangkutan, serta kemampuan dana internasional di
dalam negeri ataupun di luar negeri. Industri kecil indonesia hampir tidak dapat memperoleh
sumber-sumber keuangan resmi. Mereke sering harus meminjam dari pemberi pinjaman
swasta degan suku bunga yang jauh lebih tinggi daripada yang diminta bank negara yang
menyediakan kredit jangka menengah untuk perusahaan-perusahaan besar. Kesulitan
mendapatkan uang, ditambah beberapa faktor tersebut diatas, mungkin menerangkan
kenapa industri kecil tumbuh pada tingkat yang cukup jauh di bawah tingkat pertumbuhan
industri menengah dan besar.
Produktivitas tenaga kerja merupakan slah atu dimensi lain yang penting dari
perkembangan industri di Indonesia. Kesempatan kerja yang menurun di bidang industri
maufaktur kota mungkin merupakan akibat dari semakin tingginya sifat padat modal
produksi, dengan mengorbankan tenaga kerja. Karena itu pertumbuhan kesempatan kerja
yang cepat dalam industri manufaktur pedesaan mungkin merupakan akibat peran-peran
perusahaan kecil yang berada di pedesaan sebagai penyerap tenaga kerja. Penyerapan
seperti ini hanya dapat terjadi dengan produktivitas tenaga kerja yang berkurang. Dengan
adanya peran industri manufaktur, pengurangan poduktivitas untuk industri secara
keseluruhan tidak mengherankan lagi.

3. Penyebaran Kegiatan Manufaktur Menurut Daerah


Salah satu daerah penyebaran kegiatan manufaktur yatiu pulau jawa, akan tetapi
secara singkat perlu dikatakan bahwa perkembangan industri di jawa disebabkan oleh
faktor-faktor sejarah. Sejak zaman dahulu kala, pulau ini telah menjadi pusat politik,
kebudayaan, dan ekonomi bagi seluruh kepulauan Indonesia. Usaha membangun, dan
sesudah itu, usaha memperbaiki pelayanan umum seperti pelabuhan, jalan, air, tenaga
listril, dan komunikasi di pusatkan di Jawa (meskipun tidak secepat meningkatnya
kebutuhan). Investasi umum dalam infrastruktur fisik pada pulau-pulau lain tertinggal.
Begitu pemerintah propinsi mengambil langkah untuk menyediakan fasilitas umum, mereka
juga bermaksud akan memberi prioritas kepada pusat-pusat perkotaan. Dengan demikian,
pembangunan ekonomi Indonesia sama seperti yang terlihat di negara-negara lain,
mendorong urbanisasi dan urbanisasi mendorong pertumbuhan yang dipusatkan menurut
daerah dalam bidang industri. Pasar yang relatif besar untuk penjualan, persediaan pekerja
murah (termasuk pekerja yang cukup trampil dan personalia manajemen) dan persediaan
bahan material (terutama dari luar negeri), serta penggunaan sistem kredit, semua ini
merupakan ekonomi eksternal untuk konsentrasi industri lebih lagi, pengalaman negara-
negara lain menunjukan bahwa calon-calon pengusaha cenderung mencari perusahaan
orang lain dan karena itu, lebih ingin menempatkan pabrik mereka di kota-kota di mana
perkembangan industri sudah dimulai. Akhirnya, peraturan pemerintah, impor yang
bersaing, dan bahan persediaan yang diimpor selama ini cukup penting di Indonesia.
Karena itu, ada keuntungan bagi para pengusaha untuk berada dekat pada pusat
pemerintahan atau dekat pada pemerintah propinsi.
B. Peran Investasi Dalam Negeri dan Investasi Asing
Mungkin sekali bidang yang telah mengalami perubahan paling radikal sejak tahun
1965 adalah bidang invesatsi swasta. pemerintahan Soekarno tidak menggalakan
invesatasi swasta akan tetapi pemerintahan Soeharto menggalakannya dalam bidang
industri maupun sektor-sektor perekonomian indonesia yang lainnya. perubahan sikap ini
diperlihatkan dengan diberlakukannya Undang-undang penanaman modal asing yang pada
bulan januari 1967 dan undang-undang penanaman modal dalam negeri baru pada bulan
november 1968. kedua peraturan ini menawarkan paket insentif (rangsangan) berupa fiskal
dan bea yang luar biasa, yang bertujuan meningkatkan keuntungan invesatsi swasta.
sejauh yang dapat dilihat, baik investasi dalam negeri maupun investasi asing dalam industri
tidak dikembangkan menurut prioritas sosial (seperti potensi mencipta kesempatan kerja,
efek kaitan ke belakang, ekspor baru, penghasilan pemerintah, ekonomi eksternal). karena
itu, sukar dikatakan apakah pola investasi yang muncul sejak kedua undang-undang
invesatsi tersebut diberlakukan menunjukkan penyimpangan-penyimpangan penting dari
tujuannya. Akan tetapi, dapat dikatakan bahwa campuran kebijaksanaan sehubungan
dengan investasi telah memberi dukungan kepada kecenderungan para investor yang
umumnya bergerak ke arah industri yang sebagian besar bersifat pengganti impor.

C. Pilihan untuk Masa Depan


Untuk jangka panjang dan menengah, timbul pertanyaan mengenai apakah industri
harus terutama menghasilkan produk untuk pasar dalam negeri, pasar ekspor, atau
keduanya. orang-orang yang melihat ke dalam akan mengajukan argumentasi bahwa
dalam ekonomi yang masih berada pada tahapan “industri awal”, biaya tinggi dan penuh
risiko, serta persaingan dalam ekonomi internasional yang kurang sempurna, dan praktek-
praktek dagang yang restriktif yang dijalankan negara-negara industri merupakan hambatan
besar pada awal usaha memulai produksi barang jadi untuk pasar dunia. barang pengganti
impor juga mempunyai keuntungan,yaitu bahwa daerah investasi dapat dikenal dengan
mudah.

DAFTAR PUSTAKA

 Mountjoy, B Alan . 1983. Industrialisasi dan Negara – negara Dunia Ketiga. Jakarta :
PT. Bina Aksara.
 Papanek, F Gustav. 1987. Ekonomi Indonesia. Jakarta : PT. Gramedia.
 Sarigih, B. 1995. Pengembangan Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi Nasional
Menghadapi Abad ke-21. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
 Simatupang, P. 1995. Industrialisasi Pertanian sebagai Strategi Prtanian dan
Pembangunan Pertanian dalam Era Globalisasi. Bogor : Badan Litbang, Dep. Pertanian.
 Sutanto, Jusuf. 2006. Revitalisasi Pertanian dan Dialog Peradaban. Jakarta : Buku
Kompas.
BAB
DAMPAK KRISIS GLOBAL TERHADAP
7
KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA

Cri Mona Leonita, Sri Wahyuni, Yani Sri Handayani

Globalisasi telah menjadi kalimat yang sangat hebat di zaman ini. Narasi ini bahkan
telah menciptakan perdebatan yang sengit antara kekuatan kapitalisme di negara maju yang
mendukung globalisasi dengan para aktivis gerakan sosial yang menganggap globalisasi
telah mengikis lingkungan hidup, hak-hak buruh, kedaulatan nasional negara-negara dunia
ketiga. Pertarungan ini sungguh wajar dikarenakan globalisasi ternyata memiliki implikasi
ekonomi dan poltik yang sangat luas. Joseph Stiglitz (2003) mengatakan bahwa globalisasi
bukan hanya bermakna leluasanya pergerakan barang, jasa, dan modal melewati batas-
batas negara. Globalisasi juga berarti kian lajunya pergerakan gagasan yang paling
mendasar adalah pertarungan gagasan antara mereka yang menganjurkan peran minimal
negara dengan mereka yang meyakini besarnya kebutuhan akan pemerintahan jika ingin
mencapai suatu masyarakat yang di idamkan.
Sejarah globalisasi ekonomi telah melalui tahap imperialisme kolonialisme, suatu
tahapan yang lebih tinggi dalam praktek kapitalisme. Sistem ini mengintegrasikan negara
jajahan (koloni) dengan negara induk. Terjadinya revolusi industri pada ahir abad ke 18
semakin meningkatkan kebutuhan akan bahan baku serta pasar menjadi daya dorong
utama kolonialisme secara lebih luas dan intensif, termasuk yang dilakukan negara-negara
Eropa terhadap Nusantara. Kekuatan kapitalisme adalah pendorong utama dalam proses
globalisasi. Kapitalisme menghendaki mengendaki pasar bebas agar pergerakan barang,
jasa, tenaga kerja dan modal dapat melintasi batas-batas negara tanpa hambatan baik
secara ekonomi maupun politik. Sehingga globalisasi pada intinya adalah suatu proses
kegiatan ekonomi dimana negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar
yang semakin terintegrasi.
Bahkan derajat globalisasi dari suatu negara di dalam perekonomian dunia dapat
dilihat dari dua indikator ekonomi utama. Pertama, rasio dari perdagangan internasional
(ekspor dan impor) dari negara tersebut sebagai suatu persentase dari jumlah nilai atau
volume perdagangan dunia, atau besarnya nilai perdagangan luar negeri dari negara itu
sebagai suatu persentase dari PDB-nya. Semakin tinggi rasio tersebut menandakan
semakin mengglobal perekonomian dari negara tersebut. Sebaliknya, semakin terisolasi
suatu negara dari dunia, seperti Korea Utara, semakin kecil rasio tersebut. Kedua, kontribusi
dari negara tersebut dalam pertumbuhan investasi dunia, baik investasi langsung atau
jangka panjang (penanaman modal asing; PMA) maupun investasi tidak langsung atau
jangka pendek (investasi portofolio). Pendapat ini menunjukkan bahwa globalisasi dapat
direduksi sebagai masalah ekonomi pasar semata.
Neoliberalisme merupakan idiologi kunci ke arah globalisasi ekonomi. Ini
dikarenakan aturan negara merupakan hambatan yang paling utama dalam integrasi
ekonomi. Dalam prakteknya neoliberalisme didesakkan oleh negara-negara maju untuk
dilaksanakan di seluruh negara berkembang dan miskin. Mengingat dalam sudut pandang
globalisasi sekarang ini, banyak aturan di negara berkembang yang masih membuka
peluang campur tangan negara dalam perekonomian. Dalam garis pemikiran neoliberal
intervensi negara dianggap sebagai penghambat lalu litas modal, barang dan manusia
secara bebas. Kebijakan-kebijakan seperti proteksi, subsidi dan aturan lainnya yang menjadi
distorsi bagi bekerjanya hukum ekonomi pasar bebas dipangkas. Melalui kebijakan
neoliberal inilah maka semua negara menjalankan kebijakan liberalisasi, deregulasi dan
privatisasi.
Globalisasi seringkali melahirkan ketidak teraturan, sebagaima kebebasan yang
dikendaki kapitalisme seringkali melahirkan persaingan yang saling mematikan. Akumulasi
keuntungan yang terus-terus menerus dipastikan akan menimbulkan ketidakseimbangan.
Itulah yang menyebabkan globalisasi selalu membuahkan krisis sebagaimana yang kita
temukan sekarang ini. Liberalisai pasar keuangan telah melahirkan melahirkan krisis
keuangan global yang dahsyat. Menghantam langsung ke jantung kapitalisme di Amerika
Serikat, Uni Eropa dan Jepang. Krisis yang kemudian harus ditanggung tidak hanya oleh
negara-negara maju sendiri, akan tetapi juga negara-negara miskin yang dipaksa untuk
membuat stimulus ekonomi dalam mengatasi krisis. Fenomena krisis global menjelaskan
bahwa globalisasi ternyata hanya akan membagikan beban krisis kepada negara-negara
miskin. Krisis selanjutnya menciptakan tekanan yang langsung terhadap klas pekerja. Saat
krisis terjadi maka akan diringi dengan PHK massal baik di negara-negara induk kapitalisme
maupun di negara-negara miskin yang terkoneksi.

I. Dampak Krisis Global terhadap Ketenagakerjaan di Indonesia

Krisis Global yaitu krisis yang dapat meruntuhkan tatanan kehidupan sosial dan
ekonomi di seluruh negara termasuk negara adidaya.
Krisis ekonomi Global merupakan peristiwa di mana seluruh sektor ekonomi pasar
dunia mengalami keruntuhan dan mempengaruhi sektor lainnya di seluruh dunia. Ini dapat
kita lihat bahwa negara adidaya yang memegang kendali ekonomi pasar dunia yang
mengalami keruntuhan besar dari sektor ekonominya.

Penyebab krisis global dan Perekonomian di Indonesia


Penyebab krisis global karena adanya permasalahan ekonomi pasar di seluruh dunia
yang tidak dapat dielakkan karena kebangkrutan maupun adanya situasi ekonomi yang
carut marut, sehingga berdampak pada seluruh sektor bidang kehidupan. Namun yang
paling tampak gejalanya adalah sektor bidang ekonomi dari terkecil hingga yang terbesar.
Dilihat dari faktor penyebabnya, krisis ekonomi global pada saat ini berbeda dengan krisis
ekonomi yang melanda Indonesia lebih kurang satu dasawarsa lalu, yang mana pada saat
itu krisis ekonomi yang melanda Indonesia lebih disebabkan oleh ketidakmampuan
Indonesia menyediakan alat pembayaran luar negeri, dan tidak kokohnya struktur
perekonomian Indonesia, tetapi krisis keuangan global pada tahun 2008 ini berasal dari
faktor-faktor yang terjadi di luar negeri.
Menjelang akhir tahun 2008 lalu, dunia terguncang oleh adanya krisis keuangan
yang mendera Amerika Serikat. Lehman Brothers, Bear Stearns, Merrill Lynch, AIG,
Freddie Mac dan Fannie Mae, sebagai lembaga finansial raksasa AS, menghadapi krisis
kredit pembelian rumah (KPR) subprime di AS pada 2007/2008. Krisis moneter di Amerika
Serikat kali ini menimbulkan dampak luar biasa secara global. Hal ini bisa dilihat dari
kepanikan investor dunia dalam usaha mereka menyelamatkan uang mereka di pasar
saham dengan menjualnya. Krisis pasar modal (saham dan surat utang) global pada
dasarnya hanya memengaruhi investor pasar modal. Tetapi krisis perbankan global bisa
mempengaruhi sektor riil ekonomi dunia, termasuk Indonesia. Padahal, Indonesia baru saja
melangkah pada kondisi yang semakin membaik setelah sepuluh tahun terbelenggu dampak
krisis moneter yang terjadi pada akhir dekade tahun 1990-an lalu dan nyaris
memorakporandakan tatanan ekonomi masyarakat dan juga Negara ini. Demikian pula,
akibat krisis keuangan global saat ini kembali mengancam kondisi perekonomian bangsa
Indonesia. Kondisi perekonomian terganggu, banyak perusahaan terpaksa harus
mengurangi produksinya sehingga mengakibatkan terjadinya pengurangan tenaga kerja
atau PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Tak pelak, jumlah pengangguran pun makin
bertambah. Bahkan ratusan ribu tenaga kerja Indonesia (TKI) terpaksa harus dirumahkan.
Dampak krisis moneter di Amerika Serikat yang menyebabkan krisis global yang
berdampak terhadap perekonomian Indonesia tidak hanya pada melemahnya nilai tukar
rupiah, namun juga pada berbagai sektor lain yang lebih rumit yaitu sektor perbankan,
properti serta ekspor.
 Nilai Tukar Rupiah
Kemorosotan yang tajam atas Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek
Indonesia (BEI). Juga anjloknya nilai tukar Rupiah atas beberapa mata uang regional dan
internasional. Pada awalnya krisis hanya sebatas melanda negara Amerika Serikat, Eropa,
dan negara-negara yang bergabung di Uni Eropa. Namun, aliran gelombang krisis yang
keras ternyata sampai di kawasan Asia. Para investor yang menanamkan modalnya pada
sektor non riil mulai menarik kembali dana-dana mereka yang tertanam di bursa saham.
Penarikan dana dengan denominasi mata uang asing oleh investor di beberapa negara
kawasan Asia tujuannya adalah menutupi kerugian keuangan yang tengah melanda negara-
negara investor tersebut. Kebijakan penarikan dana semakin agresif seiring dengan
keringnya likuiditas negara-negara investor. Perilaku ini bisa kita cermati dengan
meningkatnya bunga pasar uang antar bank. Derasnya penarikan dana oleh investor
berimbas kepada pelemahan nilai tukar rupiah terhadap beberapa mata uang asing.
Pemerintah lewat Bank Indonesia mencoba untuk menahan laju pelemahan rupiah lewat
intervensi pasar. Namun, tentu saja dengan kekuatan yang seharusnya sudah terkalkulasi.

 Perbankan
Likuiditas adalah kemampuan bank untuk memenuhi kewajiban hutang-hutangnya,
dan dapat membayar kembali semua deposannya, serta dapat memenuhi permintaan kredit
yang diajukan para debitur tanpa terjadi penangguhan. Akibat krisis keuangan global,
perbankan nasional mengalami imbasnya terutama ketatnya likuiditas di perbankan
nasional. Ditambah dengan besarnya uang pemerintah yang ada di Bank Indonesia (BI)
membuat likuiditas perbankan sangat ketat sehingga suku bunga ikut naik pula. Perbankan
nasional juga memberlakukan prosedur penyaluran kredit investasi yang diperketat.

 Properti
Sektor properti yang sangat terasa menerima imbasan dari krisis ini. Pertumbuhan
industri properti dalam negeri yang lamban ditandai dengan adanya penjadwalan kembali
atas rencana proyek yang sudah ditetapkan. Perbankan sepertinya memberhentikan
sementara untuk pemberian kredit sektor properti. Bagi industri properti pendanaan dari
perbankan merupakan kebutuhan dana yang vital di samping mereka mengalokasikan dana
internal. Kenaikan harga bahan baku di sektor properti akibat pengaruh krisis ekonomi
global, sangat mungkin terjadi. Harga bahan baku seperti besi, keramik, semen dan
sejumlah aksesori rumah lainnya yang berasal dari industri manufaktur sangat rentan
mengalami kenaikan. Kenaikan bahan baku akibat dampak krisis ekonomi ini akan semakin
menyulitkan sektor properti.

 Ekspor
Kondisi ekspor di Indonesia bergerak seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Meskipun
bukan sektor yang memberikan kontribusi terbesar, ekspor merupakan sektor yang turut
berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa
ekspor Indonesia didominasi oleh barang-barang komoditas, dengan minyak, gas, barang
tambang, produk pertanian dan perkebunan mencapai 70-90% dari keseluruhan ekspor.
Krisis ekonomi global memang membuat banyak pesanan produk ekspor asal Indonesia
dihentikan atau ditunda pengirimannya. Pada beberapa komoditas yang bersentuhan
langsung dengan petani kecil atau pengusaha kecil dan menengah yang berorientasi ekspor
sangat dirasakan sekali dampak terjadinya krisis keuangan global ini. Pesanan-pesanan dari
pembeli yang berkedudukan di luar negeri terpaksa dibatalkan. Mereka lebih memfokuskan
diri kepada restrukturisasi keuangan internal. Terlebih lagi semakin sulitnya mendapat
kucuran kredit dari perbankan dalam negeri. Akibat penurunan yang tajam tersebut
membuat petani tidak mampu lagi melakukan produksi dikarenakan hasil penjualan yang
diterima masih di bawah ongkos produksi secara total keseluruhan. Turunnya harga
komoditas yang diiringi dengan penurunan potensi ekspor dari industri padat karya membuat
sulit bagi ekspor Indonesia untuk mempertahankan pertumbuhannya.
Tenaga Kerja

Tenaga kerja (manpower) adalah seluruh penduduk dalam usia kerja (berusia 15
tahun atau lebih) yang potensial dapat memproduksi barang dan jasa.

Empat Dimensi Masalah Ketenagakerjaan


Sifat unik dari masalah ketenagakerjaan di negara-negara berkembang nampak jelas
pada empat aspeknya, yakni adanya pengangguran dikalangan orang-orang yang
berpendidikan, pekerja mandiri (menciptakan lapangan kerjanya sendiri), besarnya peran
wanita dalam pekerjaan, serta pengangguran di kalangan pemuda.

a. Pengangguran Terdidik ( The Educated Unemployed)


Di sejumlah negara berkembang semakin tinggi pendidikan seorang maka
semakin besar kemungkinan ia menganggur. Bagi beberapa negara berkembang,
tingkat pengangguran lebih banyak ditemukan dikalangan mereka yang mengenyam
pendidikan tinggi. Sedangkan bagi mereka yang bisa memperoleh pendidikan lanjutan,
apalagi sampai ke jenjang universitas, biasanya berasal dari keluarga yang cukup
berada sehingga kalaupun mereka tidak bekerja masih ada sumber yang menafkahi
mereka. Mereka menganggur bukan semata-mata karena tidak ada pekerjaan, mereka
hanya berkeinginan bekerja kalau hal itu memberi uang, status atau kepuasan yang
relatif tinggi.

b. Pekerja Mandiri ( Self-Employment)


Keunikan berikutnya dari masalah ketenagakerjaan di kalangan negara
berkembang yang mungkin tidak begitu lazim di temukan di negara-negara maju adalah
banyaknya para pekerja mandiri, atau orang-orang yang menciptakan pekerjaan sendiri,
atau melakukan segala sesuatunya sendirian (bukannya merekrut orang lain sebagai
pengawalnya). Di banyak negara berkembang, ketidakmampuan para pengusaha
(karena skala bisnisnya sangat terbatas) untuk menggaji orang lain mendorong mereka
untuk melakukan segala sesuatunya sendiri, kalaupun ada yang membantu, biasanya
adalah istri,anak, atau famili yang tidak dibayar. Mereka inilah yang mewarnai sektof
“informal” baik diperkotaan maupun di daerah pedesaan.
Perbedaan lainnya adalah pada kelas pekerjaan dan imbalannya, kalau para
pekerja mandiri di negara-negara maju kebanyakan adalah pemilik perusahaan kecil,
mitra dalam sebuah firma, atau tenaga profesional (dokter, pengacara, akuntan, dan
sebagainya), maka pekerja mandiri di Dunia ketiga adalah pedagang asongan, pemilik
warung kecil, tukang semir sepatu, pengamen, penarik becak, dan perajin kaki lima.
Tujuan mereka semata-mata adalah mempertahankan kelangsungan hidup.

c. Kaum Wanita di Dunia Kerja


Meskipun partisipasi kaum wanita dalam angkatan kerja di Dunia ketiga
meningkat secara dramatis pada tahun 1990 (di Asia naik 43%, Amerika latin 32%, dan
di Dunia Arab 13%) namun kebanyakan dari mereka hanya bekerja ditempat-tempat
yang tidak banyak menghasilkan pendapatan, bahkan tidak dibayar sama sekali (ibu
rumah tangga yang ikut membantu pekerjaan suami). Kaum wanita hampir selalu
mengalami diskriminasi dalam hal memperoleh imbalan, peningkatan kelas pekerjaan,
dan dalam keamanan kerja. Proporsinya yang menganggur juga lebih besar ketimbang
kaum pria.

d. Pengangguran dikalangan pemuda dan pekerja anak-anak


Dimensi paling menyedihkan dari masalah ketenagakerjaan di Dunia ketiga
adalah tingginya tingkat pengangguran diantara mereka yang berusia antara 15 dan 24
tahun, serta ini sangat kontras, banyaknya anak-anak di bawah umur yang terpaksa
bekerja sekedar untuk menyambung hidup. Pengangguran dikalangan pemuda itu terjadi
diantara yang berpendidikan maupun yang tidak berpendidikan, pria maupun wanita.
David Turnham memperkirakan bahwa pengangguran dikalangan pemuda di sebagian
negara berkembang itu mencapai 30 persen (artinya 30 persen pemuda di Dunia ketiga
adalah pengangguran). Para pemuda yang menganggur itu cenderung terkumpul di
daerah perkotaan. Banyak diantaranya yang merupakan migran dari desa, dan harapan
mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang layak di kota begitu tinggi, bahkan sering
kali tidak relistis. Akibat pesatnya laju pertumbuhan penduduk di negara-negara
berkembang maka porsi pemuda dalam total penduduk menjadi kian besar, dan
menambah tekanan penyediaan lapangan kerja. Jika tidak teratasi, masalah ini cepat
atau lambat akan mengganggu keseluruhan usaha pengangguran di Dunia ketiga.
Namun tekanan masalah pengangguran para pemuda itu terkesan tidak
seberapa kalau kita bandingkan dengan masalah berikutnya yang benar-benar
menyayat hati, yaitu banyaknya anak-anak dibawah umur di Dunia ketiga yang harus
membanting tulang sekedar untuk menyambung hidup. Celakanya masalah pekerja
anak-anak ini belum ditangani secara memadai. International Labor Office
memperkirakan bahwa di negara-negara berkembang terdapat sekitar 60 juta anak-anak
di bawah usia 14 tahun yang bekerja sepanjang hari demi mendapatkan imbalan tak
seberapa yang hanya cukup untuk membeli makanan pada hari itu saja. Lingkungan
kerja mereka tidak hanya buruk namun juga mengerikan.

Model-model ekonomi tentang ketenagakerjaan


Para ekonom sejak lama telah berusaha merumuskan sejumlah model ekonomi
mengenai determinasi (proses dan faktor-faktor yang menentukan) ketenagakerjaan. Pada
umumnya model-model itu di pusatkan pada (atau diderivikasi dari) kondisi-kondisi atau
lingkungan sosial, ekonomi dan institusional yang ada di negara-negara maju. Model-model
ekonomi tersebut apalagi di masa-masa lampau, seringkali diterapkan begitu saja dalam
rangka mencari pemecahan atas masalah-masalah sebenarnya bersifat unik.
Tiga model ekonomi determinasi ketenagakerjaan. Yang pertama adalah model pasar
–bebas klasik (free-market classical model) atau disebut juga model pasar- bebas kompetitif
tradisional (traditional competitive free-market model) yang merupakan sumber atas
terbentuknya teori-teori ketenagakerjaan tradisional. Adapun model yang kedua dan ketiga
berkembang dari aliran ilmu ekonomi neoklasik yang lebih modern. Model kedua tersebut
adalah model makro output-kesempatan kerja (output-employment macro model) yang
berfokus kepada hubungan-hubungan antara akumulasi modal, pertumbuhan output industri
dan penciptaan lapangan kerja. Sedangkan model ketiga adalah model mikro insentif-harga
(price-incentive micro model) yang mencoba mengungkapkan dampak-dampak yang
ditimbulkan oleh distori harga-harga faktor produksi terhadap pola penggunaan sumber
daya, terutama tenaga kerja. Model kedua dan ketiga bertumpu pada segi permintaan dari
persamaan kesempatan kerja, dengan titik berat pada kebijakan-kebijakan yang harus
diberlakukan dalam rangka meningkatkan peningkatan tenaga kerja.

1. Model pasar-Bebas Kompetitif Tradisional


a. Upah Fleksibel dan Kesempatan Kerja secara Penuh
Dalam kepustakaan ekonomi Barat tradisional ciri-ciri utamanya antara lain
adalah penonjolan kedaulatan konsumen (consumer sovereignty), utilitas atau
kepuasan individual (individual utility), dan prinsip maksimalisasi keuntungan (profit
maximization). Persaingan sempurna (perfect competition) dan efisiensi ekonomi
(economic efficiency) dengan produsen dan konsumen yang “atomistik” yaitu tidak ada
satupun produsen atau konsumen yang mempunyai pengaruh atau kekuatan cukup
besar untuk menditek harga-harga input maupun output produksi tingkat penyerapan
tenaga kerja (lefel of employment) dan harganya (yakni tingkat upah) ditentukan secara
bersamaan atau sekaligus oleh segenap harga output dan faktor-faktor produksi (diluar
faktor produksi tenaga kerja) dalam suatu perekonomian yang beroperasi melalui
perimbangan kekuatan-kekuatan permintaan dan penawaran. Produsen meminta lebih
banyak tenaga kerja sepanjang nilai produk marjinal yang akan dihasilkan oleh
pertambahan satu unit tenaga kerja (yaitu prodik marjinal atau tambahan secara fisik
dikalikan dengan harga pasar atas produk yang dihasilkan oleh tenaga kerja tersebut)
melebihi biayanya ( yakni tingkat upah). Dengan asumsi bahwa hukum produk marjinal
yang semakin menurun (law of diminishing marginal product) berlaku (artinya
penambahan tenage kerja yang berikutnya pasti akan memberi hasil marjinal yang lebih
kecil daripada tenaga kerja sebelumnya) dan harga produk ditentukan sepenuhnya oleh
mekanisme pasar, maka nilai produk marjinal tenaga kerja tersebut (ini identik dengan
kurva permintaan tenaga kerja)akan memiliki kemiringan negatif atau mengarah dari
bawah keatas. Hal ini berarti tenaga kerja yang direkrut selanjutnya oleh pihak
pengusaha atau produsen akan mendapat tingkat upah yang lebih rendah daripada
tenaga kerja sebelumnya.
Dari sisi penawaran, setiap individu diasumsikan selalu berpegang teguh pada
prinsip maksimalisasi kepuasan ( utility maximization). Mereka akan membagi waktunya
untuk bekerja dan santai berdasarkan kepuasan atau utilitas marjinal (marginal utility)
masing – masing kegiatan itu secara relatif. Kenaikan tingkat upah akan setara dengan
kenaikan harga bersantai ( biaya oportunitas). Apabila harga sesuatu barang naik,
maka kuantitas yang diminta masyarakat akan turun dan diganti dengan barang lain
(substitusi). Demikian pula sebaliknya, jika suatu barang harganya mengalami
kenaikan, maka pihak produsen akan segera menaikkan penawarannya. Seandainya
saja tingkat upah mengalami kenaikan, maka penawaran dari “produsen” tenaga kerja
(yakni para pekerja itu sendiri) akan meningkat. Motivasi kerja mereka bertambah
karena adanya iming – iming upah yang lebih tinggi daripada sebelumnya.

b. Keterbatasan Model Pasar-Bebas Kompetitif Tradisional bagi Negara – negara


Berkembang

Model kompetitif tradisional di atas menawarkan sedikit sekali petunjuk yang


berarti mengenai kenyataan determinasi upah dan lapangan kerja yang terdapat di
negara – negara Dunia ketiga, khususnya di sektor manufaktur modern dan sektor
pemerintah yang posisi kerjanya paling banyak diincar oleh para pencari kerja pada
umumnya. Tingkat upah dalam bentuk sejumlah uang dalam kenyataannya tidak
pernah fleksibel dan cenderung terus menerus turun karena lebih sering dan lebih
banyak dipengaruhi oleh berbagai macam kekuatan institusional seperti tekanan –
tekanan serikat dagang atau serikat buruh, pengaruh gaji pegawai negeri yang
ditetapkan sendiri oleh pemerintah, serta praktek seleksi dan perekrutan pegawai
secara sepihak yang dilakukan oleh perusahaan – perusahaan multinasional ( yang
banyak mengisi sektor manufaktur modern di negara – negara berkembang).

2. Pertumbuhan Output dan Kesempatan Kerja: Konflik atau Kesesuaian


a. Model–model Pertumbuhan dan Kesempatan Kerja: Argumentasi Konflik
Model–model ini menggabungkan tingkat penyediaan kesempatan kerja dengan
tingkat pertumbuhan GNP, maka model tersebut mengisyaratkan bahwa dengan
memaksimumkan penyerapan tenaga kerja. Perangkat teoretis utama yang dipakai untuk
menjelaskan proses pertumbuhan adalah model sederhana Harrod –Domar.
Berdasarkan rasio modal–output ( capital–output ratio) agregrat tertentu, tingkat
pertumbuhan output nasional serta kesempatan kerja dapat dimaksimumkan dengan
cara memaksimumkan tingkat tabungan dan investasi. Tingkat pertumbuhan ekonomi
yang pesat akan muncul secara otomatis berkat adanya pemupukan dan pengerahan
tabungan domestik dan cadangan devisa untuk melakukan investasi secara besar-
besaran di sektor industri. “Dorongan besar” (big push) ke arah industrialisasi yang cepat
telah merupakan kata sakti dalam model-model ini bagi berlangsungnya pertumbuhan
ekonomi secara berkesinambungan dan tercapainya keberhasilan pembangunan
nasional.
b. Pertumbuhan dan kesempatan kerja : Argumentasi kesesuaian
Secara umum kenaikan produktifitas kerja merupakan sesuatu yang sangat
diinginkan. Namun lebih dari itu yang sebenarnya sangat didambakan adalah kenaikan
produktifitas total, yakni kenaikan hasil atau output per unit dari seluruh sumber daya.
Tingkat produktifitas tenaga kerja dapat ditingkatkan melalui berbagai mekanisme,
beberapa diantaranya bersifat positif namun ada pula sebagian diantaranya yang bersifat
negatif. Peningkatan pendidikan, pelatihan serta penerapan manajemen yang lebih baik
semuanya merupakan mekanisme yang positif bagi peningkatan produktifitas. Akan
tetapi kenaikan tingkat produktifitas yang bersumber akibat penggunaan lebih banyak
modal dalam proses produksi atau sehubungan dengan adanya impor mesin-mesin dan
peralatan serba canggih yang cenderung mengurangi pemakaian tenaga kerja (yaitu
traktor, mesin tekstil otomatis, alat-alat pembangkit energi) tidak selamanya bisa
dikatakan positif karena hal tersebut jelas akan dapat merugikan kepentingan negara-
negara yang penduduk atau pencari kerjanya sangat banyak. Akumulasi modal ini tidak
hanya membuang-buang sumber daya keuangan domestik serta devisa, tetapi juga akan
menghalangi upaya-upaya dalam rangka menciptakan pertumbuhan penciptaan
lapangan kerja baru. Selain itu, impor barang modal yang hemat tenaga kerja dalam
kenyataan justru cenderung mengurangi total produktifitas faktor ( menurunkan tingkat
produktivitas masing – masing faktor produksi yang digunakan, paling tidak sebagian )
sehingga akan menaikkan biaya produksi rata – rata. Walaupun produktivitas kerja
meningkat, keuntungan yang bisa diharapkan tidak akan banyak berubah. Dengan
kalimat ini, meskipun biaya tenaga kerja rata – rata menurun, namun biaya produksi
rata–rata naik karena adanya penggunaan mesin di bawah kapasitas terpasang, padahal
biaya operasinya tergolong mahal.
Jadi, sampai disini kita sudah dapat menarik kesimpulan bahwa model – model
Harrod – Domar dan neoklasik yang menekankan pentingnya akumulasi modal dan
pertumbuhan ekonomi, beserta segenap kebijakan yang menjadi implikasinya, memang
dapat mempercepat pertumbuhan output namun kurang bisa diandalkan untuk memacu
pertumbuhan penciptaan lapangan kerja. Apabila tujuan utama pembangunan di suatu
negara adalah memaksimumkan tingkat pertumbuhan GNP, maka pendekatan tersebut
memang dapat dibenarkan. Akan tetapi, seandainya yang lebih dipentingkan adalah
penciptaan lapangan kerja yang seluas – luasnya, maka model tersebut tidak cocok
diterapkan. Pemerintah negara yang bersangkutan perlu merumuskan kebijakan –
kebijakan yang lain, seperti lebih mengutamakan perkembangan sektor – sektor ekonomi
yang padat karya seperti sektor pertanian dan industri – industri berskala kecil yang tentu
saja lebih baik karena mampu menyerap lebih banyak tenaga kerja.

3. Penciptaan Teknologi Tepat Guna dan Perluasan Kesempatan Kerja: Model


Insentif Harga

a. Pemilihan Teknik Produksi: Sebuah Ilustrasi


Intisari pemikiran yang terkandung dalam model insentif-harga neoklasik (neo
classical price-incentive model) itu sebenarnya sederhana saja. Ini merupakan salah
teori neoklasik yang terbaik. Berdasarkan prinsip – prinsip ekonomi, para produsen
diasumsikan menghadapi dua harga relatif faktor produksi ( yaitu faktor produksi modal
dan tenaga kerja ). Mereka harus menggunakan kombinasi modal dan tenaga kerja yang
tersedia sedemikian rupa sehingga dapat meminimumkan biaya produksi dalam rangka
mencapai laba yang maksimal. Selanjutnya, diasumsikan pula bahwa para produsen
mampu memproduksi output dengan berbagai proses teknologi produksi mulai dari
teknologi padat karya hingga padat modal. Jadi, apabila harga modal lebih mahal
dibandingkan harga buruh, maka pengusaha atau para produsen tersebut akan memilih
teknik produksi padat karya. Sebaliknya, apabila harga relatif tenaga kerja ternyata lebih
mahal dari pada harga modal, maka para produsen tersebut akan mempergunakan
metode produksi padat modal. Pendeknya, mereka senantiasa akan memilih teknologi
produksi yang hemat memakai faktor produksi yang harganya relatif rendah. Menurut
para pengajur model insentif-harga, kombinasi model-tenaga kerja optimal atau teknologi
tepat guna yang paling efisien (efficient or appropriate techologies) dan biayanya paling
murah, ditentukan oleh tingkat harga – harga relatif dari kedua faktor produksi tersebut.

b. Distorsi Harga Faktor dan Teknologi Tepat Guna


Hampir semua negara Dunia Ketiga memiliki tenaga kerja yang berlimpah namun
kekurangan modal, baik finansial ( modal uang) maupun fisik (bangunan, perangkat atau
peralatan pendukung) sehingga dengan mudah kita bisa menerka bahwa teknik produksi
yang mereka pakai tentunya adalah teknik padat karya. Namun dalam prakteknya,
penggunaan teknik produksi yang serba padat modal dengan mesin-mesin canggih dan
alat-alat berat, baik untuk sektor pertanian dan industri, mudah kita lihat di banyak
negara berkembang.
Menurut aliran pemikiran insentif-harga, hal tersebut bukan semata-mata
dikarenakan pilihan para petani atau pihak pengusaha di Dunia ketiga itu saja, melainkan
disebabkan oleh adanya bermacam-macam faktor struktural, kelembagaan, dan politik
sehingga harga pasaran tenaga kerja menjadi lebih tinggi daripada harga modal.

4. Dampak krisis global terhadap Ketenagakerjaan di Indonesia


● Pemutusan hubungan kerja (PHK) dan me-rumahkan tenaga kerja
Tahun 2008/2009 diwarnai oleh gelombang pemutusan hubungan kerja
(PHK) dan kebijakan me-rumahkan tenaga kerja yang dilakukan oleh perusahaan-
perusahaan yang terkena dampak krisis keuangan global (KKG). Berkurangnya
order dan naiknya harga bahan baku, memaksa perusahaan melakukan efisiensi
dengan cara mengurangi biaya bahan bakar (BBM), listrik, jam kerja tenaga kerja,
merumahkan, hingga yang terburuk mem-PHK tenaga kerja. Sebagian perusahaan
yang terdampak masih berjalan normal karena masih mengerjakan order periode
sebelumnya, namun tidak tahu selanjutnya apakah akan tetap mendapat order. Jika
tidak mendapat order lagi, perusahaan terpaksa gulung tikar. Sebagian besar
perusahaan yang mem-PHK dan merumahkan tenaga kerjanya adalah industri padat
karya yang berorientasi ekspor. Terpuruknya perekonomian negara-negara tujuan
ekspor utama Indonesia berdampak pada berkurangnya permintaan mereka
terhadap barang-barang impor dari Indonesia. Pertumbuhan nilai ekspor Indonesia
2008/2009 ke hampir seluruh negara tujuan menunjukan angka yang negatif.
PHK dan pe-rumahan tenaga kerja terutama terjadi di daerah-daerah
kawasan industri padat karya. Menurut data dari Tim Monitoring Dampak Krisis
Departemen Tenaga Kerja hingga September 2009, telah terjadi PHK terhadap
66.334 tenaga kerja dan pe-rumahan terhadap 27.560 tenaga kerja di seluruh
Indonesia. Jumlah PHK paling besar terjadi di Banten dan DKI Jakarta. Daerah
lainnya yang juga banyak terjadi PHK adalah Jawa Tengah, Kalimantan Timur, Jawa
Barat, Jambi, Kalimantan Selatan, Jawa Timur, Riau, dan Sumatera Selatan. Tenaga
kerja di-rumahkan juga banyak terdapat di daerah-daerah tersebut. Jumlah PHK dan
pe-rumahan tenaga kerja meningkat dibanding tahun 2008. Pada Desember 2008 di
provinsi Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta,
Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Maluku,
dan Papua, terdapat 24.987 tenaga kerja di-PHK, 6.597 dirumahkan. Juga ada
rencana PHK terhadap 15.927 tenaga kerja dan rencana merumahkan 19.091
tenaga kerja di provinsi-provinsi tersebut. Alasan perusahaan mem-PHK dan atau
me-rumahkan tenaga kerjanya adalah: krisis global, efisiensi, perusahaan tutup,
pengurangan jam kerja, habis kontrak, pasaran menurun, tidak ada order, kesulitan
bahan baku, harga komoditi turun, dan lain sebagainya. Diperkirakan, jumlah riil
tenaga kerja di-PHK dan dirumahkan lebih besar karena banyak tenaga kerja
outsourching yang tidak tercakup dalam data tersebut. Biasanya, tenaga kerja
outsourching adalah yang akan di-PHK lebih dulu oleh perusahaan.
Berdasarkan penelusuran berita di media, gelombang PHK dan pe-rumahan
tenaga kerja terjadi di berbagai industri dan daerah di Indonesia. Industri-industri
tersebut diantaranya adalah tekstil dan produk tekstil (TPT), kerajinan, perkebunan,
pengolahan kayu, kertas, pupuk, otomotif, properti, plastik. Peningkatan jumlah PHK
cukup besar terjadi di 11 provinsi sentra industri berbasis sumber daya alam dan
manufaktur akibat turunnya kinerja sektor industri. Sebelas provinsi tersebut adalah
Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Selatan, Banten, Jawa Barat, DKI
Jakarta, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan
Tengah. Adapun industri yang paling merasakan dampak krisis keuangan global,
menurut Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno, adalah industri
manufaktur, pulp dan kertas, serta perkayuan yang berorientasi ekspor ke pasar AS
dan Eropa. Hingga 2009, industri manufaktur seperti elektronik, garmen dan sepatu
dinilai masih rawan pemutusan hubungan kerja (PHK).

● Pengurangan upah/ gaji


Badan Pusat Statistik mengumumkan, rata-rata upah buruh industri pada
triwulan III-2008 dibandingkan triwulan II-2008 secara nominal turun 8,74 persen.
Secara riil, upah buruh industri pada periode yang sama turun sebesar 11,30 persen.
Pada triwulan III-2008, upah nominal buruh industri rata-rata 1.095.790, sedangkan
pada triwulan II-2008 sebesar Rp 1.200.772. Namun, jika dibandingkan triwulan III-
2007 terjadi kenaikan upah nominal rata-rata 7,89 persen, tetapi upah riil pada
periode yang sama merosot 4,93 persen. Keputusan bersama Menteri Perindustrian,
Menteri Tenaga Kerja, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Perdagangan tentang
penyesuaian sistem pengupahan menuai berbagai protes dari asosiasi buruh karena
dianggap tidak memihak kepentingan tenaga kerja. Peraturan yang memungkinkan
perusahaan untuk menyesuaikan kenaikan upah dengan kondisi perusahaan dan
perekonomian nasional dinilai merugikan tenaga kerja. Ditengah kondisi
perekonomian yang sedang mengalami krisis, dengan adanya peraturan tersebut
dikhawatirkan akan membuat perusahaan melakukan tindakan memangkas upah
tenaga kerja atau penundaan kenaikan upah sesuai kebutuhan hidup layak dengan
alasan efisiensi. Pihak buruh berharap agar perusahaan memberikan gaji mereka
sesuai dengan upah minimum kota (UMK). Direktur perusahaan mengungkapkan
bahwa KKG berdampak pada turunnya jumlah pesanan dari luar negeri. Jika
dipaksakan membayar sesuai UMK dikhawatirkan perusahaan akan tutup dan
dampaknya akan dilakukan pemutusan hubungan kerja.

Tabel
UMP dan KHM di Indonesia Menurut Provinsi
NAMA PROPINSI UMP KHM PERSEN
NANGGROE ACEH D 620,000 619,876 100,02
SUMUT 600,000 - -
SUMBAR 540,000 501,315 107,72
RIAU 551,500 551,498 100,00
KEPULAUAN RIAU 557,000 - -
JAMBI 485,000 495,242 97,93
SUMSEL 503,700 495,242 101,71
BANGKA BELITUNG 560,000 690,000 81,16
BENGKULU 430,000 480,000 89,58
LAMPUNG 405,000 396,456 102,16
JAWA BARAT 408,260 - -
JAWA TENGAH 390,000 405,282 96,23
JAWA TIMUR 340,000 - -
D.K.I JAKARTA 771,843 759,953 93,67
NAMA PROPINSI UMP KHM PERSEN
BANTEN 585,000 585,000 100
D.I YOGYAKARTA 400,000 399,964 100,01
BALI 447,500 447,500 100
KALBAR 445,200 482,250 92,32
KALTENG 523,698 553,376 94,64
KALTIM 600,000 597,878 100,35
KALSEL 536,300 503,775 106,46
N.T.T. 450,000 402,989 111,67
N.T.B. 475,000 526,040 90,3
MALUKU 500,000 - -
MALUKU UTARA 440,000 - -
GORONTALO 435,000 531,500 81,84
SULUT 600,000 - -
SULSEL 510,000 505,000 100,99
SULTENG 450,000 - -
SULTRA 498,600 498,600 100
PAPUA 700,000 769,050 91,02
Sumber : BPS, 2010

● Pengangguran Meningkat

Angkatan kerja di Indonesia terus menerus bertambah, sementara itu laju


bertambahnya lapangan kerja tidak bisa mengimbanginya. Krisis global ini tentunya
secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi kondisi tenaga kerja
Indonesia. Dengan laju pertumbuhan yang baik, level pengangguran masih terus
meningkat. Kini dengan laju pertumbuhan yang terhambat, level pengangguran
diperkirakan akan melonjak. Seiring dengan kondisi perekonomian yang sulit akibat
krisis global, maka perusahaan maupun sektor riil pada umumnya bakal melakukan
PHK demi menekan biaya. Kemudian, lapangan kerja yang tercipta tentunya akan
sangat terbatas sekali, sehingga level pengangguran diperkirakan bakal meningkat
akibat krisis global ini. Hingga akhir tahun 2009 mendatang diperkirakan
pengangguran berpeluang untuk melonjak sekitar 1.7 juta jiwa dari 9.43 juta jiwa di
Februari 2008 menjadi 11.3 juta jiwa atau mencapai level pengangguran 9.52%.

5. Dampak Krisis Keuangan Global (KKG) Terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI)
yang Bekerja di Luar Negeri

Dampak krisis global juga dialami oleh tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja
di luar negeri. Paling banyak yang terancam terkena PHK adalah TKI yang bekerja di
Malaysia. Tujuan ekspor utama Malaysia yakni Amerika Serikat dan Eropa terkena
dampak krisis global cukup parah menyebabkan industri-industri di Malaysia terpaksa
mengurangi produksinya dan melakukan perampingan jumlah tenaga kerja sebagai
langkah efisiensi. Malaysia melakukan pemulangan TKI akibat kebijakan pemerintah
malaysia yang melindungi pekerja dalam negerinya. Jika suatu perusahaan harus
mengurangi tenaga kerja, maka yang didahulukan untuk di-PHK adalah tenaga kerja
asing. Tenaga kerja asing yang sudah habis masa kontraknya juga tidak akan
diperpanjang—akan dipulangkan, agar posisinya bisa digantikan oleh tenaga kerja lokal,
terutama tenaga kerja lokal yang terkena PHK. Saat ini diperkirakan sekitar 50.000
warga Malaysia yang bekerja di Singapura terkena PHK. Diberitakan, bahwa saat ini
Malaysia sudah memulangkan ratusan ribu tenaga kerja asingnya termasuk tenaga kerja
asal Indonesia. Sampai saat ini, sebagian besar TKI yang dipulangkan berasal dari
industri manufaktur. Pemulangan TKI paling banyak dirasakan TKI asal Sumatera Utara
karena Malaysia adalah negara tujuan utama TKI asal Sumatera Utara. Hingga Februari
2009 jumlah TKI asal Sumatera Utara yang dipulangkan dari berbagai negara mencapai
2.574 orang yang sebagian besar berasal dari Malaysia. TKI yang bekerja di Korsel agak
lebih beruntung karena adanya perjanjian kerjasama antara pemerintah Indonesia
dengan untuk menyelamatkan sejumlah TKI yang terkena PHK di Korsel akibat
perusahaan tempat mereka bekerja terkena dampak KKG. Kerjasama tersebut berupa
pemberian waktu selama dua bulan bagi TKI Korsel yang ter-PHK untuk tidak segera
pulang dan diberi kesempatan mencari pekerjaan di tempat lain. Selain itu, pemerintah
Indonesia juga menangguhkan keberangkatan calon TKI ke Korsel guna memberi
kesempatan kepada TKI ter-PHK yang sedang berada di Korea. TKI yang bekerja di
negara-negara lain seperti Hongkong dan Taiwan juga dikabarkan terkena dampak
akibat majikan tempat mereka bekerja terkena dampak KKG. Sedangkan TKI yang
bekerja di negara-negara Arab dikabarkan tidak terlalu terpengaruh terhadap KKG.

Beberapa tindakan Penanggulangan Dampak Negatif Krisis Global


- Meningkatkan penggunaan produk dalam negeri sehingga pasar domestik akan
bertambah kuat.
- Menghemat dan selektif dalam memilih kebutuhan pokok khususnya.
- Meningkatkan daya saing produk serta melakukan diversifikasi jenis produk.
- Meningkatkan kebijakan yang memperhatikan kesejahteraan tenaga kerja.
- Bagi pemerintah untuk lebih memperhatikan sektor usaha kecil yang hampir tidak
terlirik oleh pemerintah yang terlalu memprioritaskan usaha raksasa (perusahaan) ,
BUMN, dan jasa umum. Padahal sektor usaha kecil adalah salah satu sumber mata
pencaharian rakyat yang harusnya dibesarkan. Usaha kecil dimungkinkan untuk
menarik banyak investor untuk menanamkan modalnya, sehingga rakyat menjadi
mandiri.
- Departemen Tenaga Kerja dan transmigrasi agar menawarkan program transmigrasi
yang bersifat sukarela bagi tenaga kerja yang mengalami pemutusan hubungan
kerja, untuk membuka lapangan pekerjaan dan meningkatkan kewirausahaan,
pemerintah akan terus mendorong Program Pemberdayaan Masyarakat Nasional
(PNPM) dan Kredit Usaha Rakyat (KUR).
- Pemerintah menyiapkan berbagai program padat karya melalui percepatan
pembangunan infrastruktur.
- Regulasi dunia usaha dan perlindungan terhadap produksi dalam negeri juga sangat
dibutuhkan. Untuk mencegah makin terpuruknya industri sepatu, perlu langkah
pengamanan, antara lain memperketat impor barang jadi, mempermudah masuknya
bahan baku impor penunjang industri, dan syarat kredit perbankan dilonggarkan.
- Untuk TKI yang sudah terlanjur ter-PHK, upaya pemerintah—melalui Depnakertrans,
untuk membantu adalah dengan memonitor kedatangan TKI dan pemberian bantuan
pelatihan untuk mempersiapkan mantan TKI beralih profesi.

DAFTAR PUSTAKA

●Halwani, hendra, 2005, Ekonomi Internasional & Globalisasi Ekonomi, Jakarta:


Ghalia Indonesia
BAB
KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL
9

Adin Novala, Murniati Dwi Mastuti, Endang Luthfia Kusumaningtyas, Fiqih Maulida

Berdasarkan pandangan historis, politis, konstitusional, struktural maupun teknis


operasional, kebijakan desentralisasi yang melahirkan otonomi daerah dalam
penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia merupakan pilihan tepat. Jauh sebelum
Republik ini lahir, pola pendelegasian wewenang (desentralisasi) sudah dipraktekan. Pada
jaman penjajahan Belanda dulu, kebijakan desentralisasi diberlakukan melalui undang-
undang densentralisasi (desentralisatie wet) tahun 1903. Begitu pula pada jaman
penjajahan Jepang, kebijakan desentralisasi Belanda tetap diteruskan.
Sebagai sebuah konsep penyelenggaraan pemerintahan, desentralisasi menjadi
panduan utama akibat ketidakmungkinan sebuah negara yang wilayahnya luas dan
penduduknya banyak untuk mengelola manajemen pemerintah secara sentralistik.
Desentralisasi juga diminati karena di dalamnya terkandung semangat demokrasi untuk
mendekatkan partisipasi masyarakat dalam menjalankan sebuah pembangunan.
Pada perkembangannya lebih jauh, desentralisasi menjadi semangat utama bagi
negara-negara yang menyepakati demokrasi sebagai landasan gerak utamanya. Di
kalangan ilmuwan, berbagai derivasi dari konsep desentralisasi terus bermunculan secara
dinamis. Seiring jalannya antara desentralisasi dan demokratisasi ini yang membuat sebuah
pemerintahan di masa kini tidak bisa lagi memerintah secara otokratik, totaliter dan terutama
sentralistis. Ada kesadaran baru di kalangan penyelenggara pemerintahan bahwa
masyarakat merupakan pilar utama dan penting yang harus dilibatkan dalam berbagai
proyek pembangunan bangsanya.
Bowman dan Hampton (1983) menyatakan bahwa tidak ada satupun pemerintah dari
suatu negara dengan wilayah yang sangat luas dapat menentukan kebijakan secara efektif
ataupun dapat melaksanakan kebijakan dan program-programnya secara efisien melalui
sistem sentralisasi. Dengan demikian, urgensi pelimpahan kebutuhan atau penyerahan
sebagian kewenangan pemerintah pusat, baik dalam konteks politis maupun secara
administratif, kepada organisasi atau unit di luar pemerintah pusat menjadi hal yang sangat
penting untuk menggerakkan dinamika sebuah pemerintahan.
Dalam naskah penyusunan Undang-Undang Dasar terlihat pertimbangan-
pertimbangan yang diajukan pemerintah Indonesia bahwa mereka sepakat melaksanakan
kebijakan desentralisasi. Dari mulai Indonesia merdeka hingga kini, diberlakukan kebijakan
desentralisasi dalam semua undang-undang tentang pemerintahan daerah yaitu UU No. 1
Tahun 1945, UU No. 22 Tahun 1948, UU No. 1 Tahun 1957, UU No. 18 Tahun 1965, UU
No. 5 Tahun 1974, UU No. 22 Tahun 1999 dan terakhir dengan UU No. 32 Tahun 2004.
Sejalan dengan itu, tujuan utama yang ingin dicapai melalui penerapan kebijakan
desentralisasi yaitu tujuan demokrasi dan tujuan kesejahteraan. Tujuan demokrasi akan
memposisikan Pemerintah Daerah sebagai instrumen pendidikan politik di tingkat lokal yang
secara keseluruhan akan menyumbang terhadap pendidikan politik secara nasional sebagai
landasan utama dalam menciptakan kesatuan dan persatuan bangsa dan negara serta
mempercepat terwujudnya masyarakat madani. Tujuan kesejahteraan mengisyaratkan
Pemerintah Daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui penyediaan
pelayanan publik secara efektif, efisien dan ekonomis.

1
Sistem Pemerintahan Daerah Sebelum Kemerdekaan

Pemerintah Daerah yang relatif otonom pertama kali didirikan oleh Pemerintah
Kolonial Belanda melalui Desentralisatie Wet Tahun 1903. Undang-undang ini hanya
mencakup wilayah Jawa dan Madura saja. Sebelum Tahun 1903, seluruh wilayah Hindia
Belanda diperintah secara sentral di bawah Gubernur Jenderal sebagai Wakil Raja Belanda
di tanah jajahan. Disamping itu, terdapat juga daerah-daerah yang disebut ‘Swapraja’ yang
diperintah oleh raja-raja pribumi setempat. Raja-raja tersebut memerintah berdasarkan
kontrak politik yang ditandatangani dengan wakil Pemerintah Belanda dan diberikan tugas
untuk menjalankan beberapa tugas atas nama pemerintah kolonial, di antara kerajaan
tersebut adalah Yogyakarta, Surakarta, Deli dan Bone.
Perbedaan sistem pemerintahan daerah sebelum dan sesudah UU Tahun 1903
terletak pada eksistensi Dewan Daerah. Sebelum itu, tidak terdapat sama sekali otonomi
pemerintahan daerah. Semua unit pemerintah bersifat administratif atas dasar prinsip
dekonsentrasi. Setelah UU Tahun 1903 diterbitkan, didirikanlah Dewan Daerah pada unit-
unit pemerintahan tertentu, di mana mereka diberikan kewenangan menggali pendapatan
daerah guna membiayai pemerintahan daerah. Anggota Dewan Daerah diangkat dari tokoh
setempat, namun Gubernur, Residen, atau Bupati tetap diangkat Pemerintah Pusat.

Sistem Pemerintahan Daerah Paska Kemerdekaan


Sistem pemerintahan daerah di Indonesia paska proklamasi ditandai dengan
diberlakukannya berbagai peraturan perudang-undangan tentang pemerintahan daerah.
Setiap undang-undang yang diberlakukan pada suatu kurun waktu tertentu menandai
terjadinya perubahan dalam sistem pemerintahan daerah, dimana hal ini sangat erat
kaitannya dengan situasi politik nasional.
Desentralisasi fiskal sebagai salah satu instrumen kebijakan Pemerintah mempunyai
prinsip dan tujuan, antara lain untuk: (i) mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah (vertical fiscal imbalance) dan antardaerah (horizontal fiscal
imbalance) (ii) meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah dan mengurangi
kesenjangan pelayanan publik antardaerah; (iii) meningkatkan efisiensi pemanfaatan
sumber daya nasional; (iv) tata kelola, transparan, dan akuntabel dalam pelaksanaan
kegiatan pengalokasian Transfer ke Daerah yang tepat sasaran, tepat waktu, efisien, dan
adil; (v) dan mendukung kesinambungan fiskal dalam kebijakan ekonomi makro. Di samping
itu, untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, kepada daerah
diberikan kewenangan memungut pajak (taxing power).
Instrumen utama kebijakan desentralisasi fiskal adalah melalui kebijakan Transfer ke
Daerah, yang terdiri dari Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus. Adapun Dana
Perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana
Alokasi Khusus (DAK), yang merupakan komponen terbesar dari dana Transfer ke Daerah.
Alokasi dana Transfer ke Daerah terus meningkat seiring dengan pelaksanaan otonomi
daerah dan desentralisasi fiskal, yaitu dari Rp81,1 triliun pada tahun 2001 menjadi Rp253,3
triliun pada tahun 2007, dan diperkirakan menjadi Rp293,6 triliun pada tahun 2008, atau
tumbuh rata-rata sebesar 20,2 persen per tahun.
Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa
dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republlik Indonesia. Dengan
adanya desentralisasi maka, muncul otonomi bagi suatu pemerintah daerah. Desentralisasi
sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana di definisikan
sebagai penyerahan kewenangan.

2
I. Perkembangan Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal di Indonesia

A. Kebijakan Desentralisasi Fiskal


Sejalan dengan tuntutan demokratisasi dalam bernegara, maka
penyelenggaraan pemerintahan juga mengalami perubahan, sistem pemerintahan
yang semula lebih condong pada sentralisasi menjadi desentralisasi. Selaras dengan
perubahan sistem tersebut, maka tata aturan juga mengalami perubahan yang lebih
mengarah kepada penyempurnaan pelaksanaan otonomi daerah, melalui pemberian
kewenangan yang seluas-luasnya dengan tetap menjaga keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Berbagai penyempurnaan dilakukan seperti yang tertuang dalam UU Nomor 33
Tahun 2004, yang merupakan penyempurnaan dari UU Nomor 25 Tahun 1999,
dengan pokok-pokok perubahan bahwa penyediaan sumber-sumber pendanaan untuk
mendukung penyelenggaraan otonomi daerah berdasarkan kewenangan Pemerintah,
Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan, perlu diatur melalui
perimbangan keuangan antara Pemerintah dengan pemerintahan daerah, yang
berupa sistem keuangan yang diatur berdasarkan kewenangan, tugas, dan tanggung
jawab yang jelas antar susunan pemerintahan.
Hakikat penyempurnaan utamanya menjaga prinsip money follows function,
artinya pendanaan mengikuti fungsi-fungsi pemerintahan sehingga kebijakan
perimbangan keuangan mengacu kepada 3 prinsip yakni: (1) perimbangan keuangan
antara Pemerintah dengan pemerintahan daerah merupakan subsistem keuangan
negara sebagai konsekuensi pembagian tugas antara Pemerintah dan pemerintah
daerah; (2) pemberian sumber keuangan negara kepada pemerintah daerah dalam
rangka pelaksanaan desentralisasi didasarkan atas penyerahan tugas oleh
Pemerintah kepada pemerintah daerah dengan memperhatikan stabilitas dan
keseimbangan fiskal; dan (3) perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah merupakan suatu sistem yang menyeluruh dalam rangka
pendanaan penyelenggaraan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas
pembantuan.
Pelaksanaan kebijakan perimbangan keuangan dalam tatanan keuangan negara
yang semula termasuk dalam kategori belanja ke daerah juga disempurnakan secara
bertahap. Penyempurnaan tersebut meliputi pola pembagian DBH yang lebih
transparan dan akuntabel, penyempurnaan formulasi DAU yang dilakukan secara
konsisten dan mengarah kepada fungsi pemerataan kemampuan keuangan daerah,
serta penyempurnaan terhadap penerapan kriteria penentuan DAK. Selain itu,
penyempurnaan juga dilakukan untuk memenuhi ketentuan perbendaharaan negara,
sehingga sejak tahun 2008 sebagai pelaksanaan pemindahbukuan dari rekening kas
umum negara ke rekening kas umum daerah dikategorikan sebagai transfer ke
daerah. Dengan demikian, diharapkan arah kebijakan desentralisasi fiskal dalam
pelaksanaannya menjadi lebih terukur sebagai capaian kinerja, baik Pemerintah
maupun pemerintahan daerah.
Namun demikian, pelaksanaan pemungutannya tidak boleh menimbulkan
ekonomi biaya tinggi dan tetap menciptakan iklim yang kondusif bagi para investor.
Dalam hubungan ini, Pemerintah dan DPR saat ini sedang melakukan perubahan UU
Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah untuk memperkuat
taxing power daerah dan meningkatkan kepastian hukum di bidang perpajakan
daerah.
Dalam undang-undang tersebut juga diatur jenis-jenis pajak dan retribusi yang
dipungut provinsi dan kabupaten/kota, sehingga dapat dihindari adanya tumpang
tindih pemungutan pajak atau satu obyek pajak dikenai dua atau lebih pungutan pajak.
Berbagai kebijakan tersebut diharapkan dapat memperkuat pendanaan daerah dalam
menyelenggarakan pembangunan dan pelayanan masyarakat. Namun demikian,
apabila APBD mengalami defisit, pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman.
3
Pelaksanaan pinjaman daerah harus mengikuti kriteria dan persyaratan yang
ditetapkan oleh Pemerintah.

B. Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009


Pemerintah daerah tidak dapat melakukan pinjaman langsung ke luar negeri,
jumlah pinjaman tidak boleh lebih dari 75% penerimaan umum APBD, Debt Service
Coverage Ratio sekurang-kurangnya 2,5%. Dalam pengelolaan keuangan, daerah
diberikan keleluasaan sehingga dapat mengalokasikan dananya sesuai dengan
kebutuhan daerah dengan tetap mengacu pada peraturan perundangan. Hal ini
sejalan dengan alokasi dana transfer Pemerintah yang sebagian besar telah diberikan
diskresi sepenuhnya kepada pemerintah daerah. Namun demikian, dalam mengelola
keuangannya, daerah harus melakukan secara tertib, efisien, ekonomis, transparan,
dan dapat dipertanggungjawabkan kepada para pemangku kepentingan. Seluruh
penerimaan dan pengeluaran daerah yang menjadi hak dan kewajiban harus
diadministrasikan dalam APBD. Pengelolaan keuangan daerah selain dilakukan
secara efektif dan efisien diharapkan dapat mendukung terwujudnya tata kelola
pemerintah daerah yang baik bersandarkan pada transparansi, akuntabilitas, dan
partisipatif. Dalam pengelolaan keuangan daerah telah dilakukan juga perubahan yang
cukup mendasar antara lain mengenai bentuk dan struktur APBD, anggaran berbasis
kinerja, klasifikasi anggaran, dan prinsip-prinsip
akuntansi.

II. Perkembangan Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal Tahun 2005 – 2010


A. Perkembangan Kebijakan Desentralisasi Fiskal
Hakikat dari hubungan antara otonomi daerah dan desentralisasi fiskal pada
dasarnya merupakan pengejawantahan dari prinsip money follows function, yang
berarti bahwa pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan. Dalam implementasinya,
seiring dengan penyerahan kewenangan kepada daerah, maka kepada daerah
diberikan sumber-sumber pendanaan untuk melaksanakan kewenangan tersebut.
Dalam konteks pelaksanaan azas desentralisasi, salah satu bentuk dukungan
pendanaan kepada daerah dilakukan melalui pemberian sumber perpajakan daerah
dan retribusi daerah yang dapat dipungut oleh daerah. Mengingat sumber tersebut
sangat terbatas, maka kepada daerah diberikan dukungan pendanaan melalui transfer
dari Pemerintah dalam bentuk Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan
Penyesuaian. Selain sumber penerimaan dari daerah sendiri dan transfer dari
Pemerintah, daerah juga diberi kewenangan untuk melakukan pinjaman dalam rangka
pembiayaan pembangunan daerah, dan juga penerimaan dalam bentuk hibah baik
yang berasal dari Pemerintah maupun pihak lain.
Selain penerimaan sendiri, sumber pendanaan kebijakan transfer ke daerah
tersebut dilakukan melalui alokasi Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan
Penyesuaian. Dalam pelaksanaannya, Dana Perimbangan harus dilihat sebagai satu
kesatuan yang utuh karena masing-masing komponen mempunyai tujuan yang saling
melengkapi satu dengan lainnya. Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan instrumen untuk
mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah dan daerah. Disadari bahwa
instrumen DBH tersebut menimbulkan kesenjangan fiskal antardaerah karena adanya
variasi sumber daya antardaerah. Oleh karena itu, instrumen Dana Alokasi Umum
(DAU) ditujukan untuk mengurangi kesenjangan antardaerah.
Di samping itu, untuk membantu daerah dengan kemampuan keuangan yang
relatif rendah, dialokasikan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk mendukung pencapaian
tujuan dan prioritas nasional serta meningkatkan pemerataan akses terhadap layanan
publik. Penyempurnaan terus dilakukan terhadap ketiga komponen transfer tersebut,
antara lain, melalui peningkatan akurasi data DBH sehingga penetapan alokasi dan
penyaluran DBH dapat dilakukan secara tepat waktu dan tepat jumlah,
penyempurnaan formulasi DAU melalui penerapan pembobotan masing-masing
4
variabel yang diarahkan untuk pemerataan kemampuan keuangan daerah, serta
penajaman kriteria DAK agar lebih tepat sasaran.

B. Perkembangan Transfer ke Daerah


Desentralisasi fiskal telah dilaksanakan selama satu dasawarsa. Selama kurun
waktu tersebut, perkembangan alokasi Transfer ke Daerah dari tahun ke tahun secara
nominal terus meningkat. Dalam enam tahun terakhir dari tahun 2005 hingga 2010,
secara lebih detail perkembangan Transfer ke Daerah dapat dilihat pada Grafik dan
Tabel di bawah ini.

Pada tahun ke lima pelaksanaan desentralisasi fiskal, yaitu pada tahun 2005,
transfer ke daerah masih sekitar Rp150,5 triliun, namun pada APBN-P tahun 2010
jumlah transfer ke daerah tersebut meningkat lebih dari dua kali lipat sehingga menjadi
Rp344,6 triliun. Peningkatan tersebut terjadi merata pada semua jenis transfer ke
daerah. DAU yang merupakan komponen terbesar dari transfer ke daerah meningkat
dari Rp88,7 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp203,6 triliun pada tahun2010, suatu
peningkatan yang sangat signifikan karena meningkat hampir tiga kali lipat.
Peningkatan terbesar terjadi pada DAK.

5
Pada tahun 2005 nilai DAK masih berada di bawah Rp4 triliun, tetapi pada tahun
2009 meningkat menjadi Rp24,7 triliun, meskipun kemudian pada tahun 2010 turun menjadi
Rp21,1 triliun. Tentunya semua ini tidak terlepas dari kerja keras seluruh komponen bangsa,
baik penyelenggara negara maupun masyarakat, sehingga pendapatan negara senantiasa
meningkat untuk turut mendukung pelaksanaan desentralisasi fiskal. Sebagaimana
diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2004, transfer DBH dihitung berdasarkan persentase
tertentu dari realisasi penerimaan dalam negeri yang dibagihasilkan, baik dari penerimaan
pajak maupun penerimaan Sumber Daya Alam (SDA).
Penerimaan negara yang berasal dari penerimaan pajak yang dibagihasilkan ke
daerah meliputi Pajak Penghasilan, yaitu PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29 Wajib Pajak
Orang Pribadi Dalam Negeri (WPOPDN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), serta Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Penerimaan negara yang berasal dari
SDA yang dibagihasilkan ke daerah meliputi minyak bumi, gas bumi, pertambangan umum,
kehutanan, dan perikanan. Sejak tahun 2006, DBH SDA Kehutanan juga mencakup DBH
Dana Reboisasi (DR), yang merupakan pengalihan dari Dana Alokasi Khusus Dana
Reboisasi (DAK DR). Sejak tahun 2009, Pemerintah telah mengalokasikan DBH Cukai Hasil
Tembakau yang merupakan amanat dari UU Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai.
Selain itu, dalam APBN-P 2009 juga telah dialokasikan DBH Panas Bumi tahun 2006
sampai dengan tahun 2009. Adapun kebijakan pengalokasian dari
tahun ke tahun adalah menyempurnakan proses perhitungan, penetapan alokasi dan
ketepatan waktu penyaluran melalui peningkatan koordinasi dengan institusi pengelola
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam rangka penyediaan data yang lebih akurat.
Sejalan dengan peningkatan realisasi penerimaan negara yang dibagihasilkan,
realisasi DBH menunjukkan adanya peningkatan dari Rp50,5 triliun dalam tahun 2005
menjadi Rp76,1 triliun pada tahun 2009, serta meningkat lagi menjadi Rp89,6 triliun pada
tahun 2010, atau rata-rata tumbuh sebesar 13% per tahun.
Selanjutnya, pada Grafik di bawah ini dapat dilihat bahwa untuk tahun 2009 dan
2010, daerah yang menerima DBH SDA tertinggi adalah daerah se-Provinsi Kalimantan
Timur, dengan proporsi penerimaan DBH SDA terhadap keseluruhan DBH SDA, masing-
masing sebesar 35,24% dan 34,06%. Hal ini dapat dipahami mengingat bahwa wilayah
tersebut memang penyumbang utama hasil migas nasional, diikuti oleh wilayah Riau dan
Sumatera Selatan. Sedangkan daerah yang menerima DBH SDA paling rendah pada tahun
2009 adalah daerah se-Provinsi Bali dan pada tahun 2010 adalah daerah se-Provinsi DI
Yogyakarta, dengan proporsi penerimaan DBH SDA terhadap keseluruhan DBH SDA yang
sama besar nya yaitu 0,004%.

6
Sementara itu, pada Grafik selanjutnya dapat dilihat bahwa untuk tahun 2009 dan
2010, daerah yang menerima DBH Pajak tertinggi adalah daerah se-Provinsi DKI Jakarta,
dengan proporsi penerimaan DBH Pajak terhadap keseluruhan DBH Pajak, masing-masing
sebesar 22,50% dan 23,70%, sedangkan daerah yang menerima DBH Pajak paling rendah
adalah daerah se-Provinsi Gorontalo, dengan proporsi penerimaan DBH Pajak terhadap
keseluruhan DBH Pajak pada tahun 2009 dan 2010, masing-masing sebesar 0,34% dan
0,28%.
Peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun juga terjadi pada DAU, yang terjadi
karena peningkatan rasio alokasi DAU terhadap Penerimaan Dalam Negeri (PDN) neto,
yaitu 25,5% pada tahun 2005 dan kemudian meningkat menjadi 26% dalam periode tahun
2006-2010. Sejalan dengan peningkatan rasio DAU terhadap PDN neto tersebut, maka
dalam rentang waktu 2005–2010, realisasi DAU meningkat dari Rp88,8 triliun pada tahun
2005, menjadi Rp186,4 triliun pada tahun 2009, dan meningkat lagi menjadi Rp203,6 triliun
pada tahun 2010 atau rata-rata tumbuh sebesar 18,65% per tahun.
Pengalokasikan DAU ke daerah dilakukan dengan menggunakan formula yang
didasarkan pada data dasar perhitungan DAU. Sebelum tahun 2006, formula DAU terbagi
menjadi dua komponen utama, yaitu alokasi minimum (AM) dan alokasi DAU berdasarkan
kesenjangan fiskal (KF). AM dihitung berdasarkan komponen lumpsum dan proporsional
belanja pegawai. Sejak diberlakukannya UU Nomor 33 Tahun 2004, yang efektif berlaku
sejak tahun 2006, komponen AM dan KF tersebut disempurnakan menjadi alokasi dasar
(AD) dan celah fiskal (CF). Alokasi DAU berdasarkan CF tersebut merupakan komponen
ekualisasi kemampuan keuangan antardaerah, dengan mempertimbangkan selisih
kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal masing-masing daerah.

Selanjutnya daerah yang menerima DAU tertinggi adalah daerah se-Provinsi Jawa
Timur, dengan alokasi sekitar 11,06% dari total DAU. Dalam kurun waktu 2005 sampai
7
dengan saat ini, upaya untuk mewujudkan fungsi DAU sebagai equalization grant dilakukan
melalui kebijakan sebagai berikut: (1) Melakukan pembobotan alokasi dasar dengan
persentase di bawah 50% dari DAU Nasional agar memberikan porsi alokasi yang lebih
besar untuk menutup celah fiskal. Dengan kebijakan ini berarti besaran rata-rata gaji PNSD
per daerah dihitung di bawah 100%. (2) Melakukan pembobotan pada setiap variabel
kebutuhan fiskal dengan asumsi bahwa pemanfaatan Transfer ke Daerah adalah untuk
pelayanan kepada penduduk danpengelolaan wilayah, sehingga bobot untuk penduduk
seimbang dengan bobot untuk wilayah. (3) Menetapkan persentase tertentu dalam
menghitung variabel kapasitas fiskal untuk mendapatkan indek pemerataan yang terbaik
yang dicerminkan dari semakin rendahnya Williamson Index.
Pada tahun 2005, DAK dialokasikan untuk 8 bidang, yaitu pendidikan, kesehatan,
jalan, irigasi, prasarana pemerintahan, kelautan dan perikanan, air bersih, serta pertanian.
Selanjutnya, pada tahun 2006 bidang yang didanai melalui DAK ditambah bidang
lingkungan
hidup. Bahkan pada tahun 2008 bertambah dua bidang, yaitu bidang Keluarga Berencana
(KB) dan bidang kehutanan. Sedangkan pada tahun 2009 bertambah dua bidang lagi yaitu
bidang perdagangan dan bidang sarana prasarana perdesaan, sehingga menjadi 13 bidang.
Selanjutnya, pada tahun 2010 menjadi 14 bidang sebagai akibat dari dipisahkannya
DAK Air Minum dan DAK Sanitasi yang pada tahun sebelumnya tergabung dalam satu
bidang. Untuk menunjukkan komitmen daerah dalam pelaksanaan DAK, kepada daerah
diwajibkan menganggarkan dana pendamping dalam APBD, sekurang-kurangnya 10 persen
dari besaran alokasi DAK yang diterima.
Sejalan dengan penambahan bidang yang dibiayai dengan DAK, alokasi DAK juga
terus meningkat, dari Rp3,97 triliun (0,1 persen terhadap PDB) pada tahun 2005, menjadi
Rp20,8 triliun (0,4% terhadap PDB) pada tahun 2008, dan meningkat menjadi Rp24,7 triliun
(0,4% terhadap PDB) pada tahun 2009. Pada tahun 2010, alokasi DAK mengalami
penurunan menjadi Rp21,1 triliun sebagai akibat dari terbatasnya kemampuan keuangan
negara. Sementara itu, dengan semakin bertambahnya daerah otonom baru berdampak
terhadap bertambahnya jumlah daerah yang menerima DAK. Hal ini dapat dilihat dari jumlah
penerima DAK pada tahun 2005, yaitu dari 377 kabupaten/ kota dan 2 Provinsi pada tahun
2005, menjadi 485 kabupaten/kota dan 32 provinsi pada tahun 2010.

8
Grafik di bawah ini menjelaskan bahwa daerah yang menerima DAK tertinggi adalah
daerah se-provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah dengan proporsi masing-masing sama
sebesar 8,65 persen dan 9,32 persen terhadap total penerimaan DAK seluruh daerah.
Selain Dana Perimbangan, juga dialokasikan Dana Otsus dan Penyesuaian. Dana Otsus
dialokasikan untuk Provinsi Papua dengan nilai setara 2 persen dari pagu DAU nasional
selama 20 tahun, yang diutamakan untuk mendanai pendidikan dan kesehatan. Selain itu,
diberikan juga dana tambahan untuk pembangunan infrastruktur yang besarnya ditetapkan
antara Pemerintah dan DPR berdasarkan usulan provinsi setiap tahun. Sementara itu, Dana
Otsus juga dialokasikan untuk Provinsi NAD dengan nilai setara 2 persen dari pagu DAU
nasional selama 15 tahun, untuk tahun ke-16 hingga ke-20 menjadi sebesar 1 persen dari
pagu DAU nasional.
Selanjutnya, Dana Penyesuaian sampai dengan tahun 2007, terutama dialokasikan
berupa Dana Penyeimbang kepada daerah yang menerima DAU lebih kecil dari DAU yang
diterima tahun sebelumnya, sehingga DAU yang diterima minimal sama dengan DAU yang
diterima tahun sebelumnya. Pengalokasian Dana Penyeimbang tersebut bertujuan agar
penerapan formula DAU tidak menimbulkan adanya daerah yang memperoleh DAU lebih
kecil dari DAU tahun sebelumnya, yang selanjutnya dikenal dengan prinsip non-hold
harmless. Dalam perkembangannya, pada tahun 2009 kebijakan non-hold harmless telah
dihapuskan.

Pengalokasian Dana Penyesuaian tersebut juga menampung program-program


tertentu untuk jangka waktu tertentu (ad hoc) dengan nomenklatur yang berganti-ganti
hingga tahun 2009 dengan sebutan Dana Penguatan Desentralisasi Fiskal dan Percepatan
Pembangunan Daerah (DPDF & PPD). Selain DPDF & PPD, terdapat alokasi dana untuk
meningkatkan penghasilan bagi guru PNSD yang belum mendapatkan tunjangan profesi,
besarnya adalah Rp250.000, per orang per bulan dalam 12 bulan setahun. Dari alokasi
anggaran Dana Tambahan Penghasilan bagi Guru PNSD tahun 2009 sebesar Rp7,49 triliun
hanya terserap sekitar Rp4,57 triliun atau 61,01 persen. Pada tahun 2010, DPDF & PPD
9
dialokasikan kembali sebesar Rp7,1 triliun. Sementara itu, pendanaan untuk guru PNSD
selain Dana Tambahan Penghasilan Guru sebesar Rp5,8 triliun juga dialokasikan Dana
Tunjangan Profesi Guru sebesar Rp10,99 triliun. Tunjangan Profesi Guru tersebut
merupakan pengalihan alokasi anggaran dari Kementerian Pendidikan Nasional.

Dana Otsus dan Penyesuaian dalam periode 2005– 2010 mengalami peningkatan
yang signifikan, dari Rp7,2 triliun dalam tahun 2005, menjadi Rp21,3 triliun pada tahun 2009,
dan meningkat lagi menjadi Rp30,2 triliun dalam APBNP 2010. Peningkatan ini tidak
terlepas dari kebijakan Pemerintah untuk lebih mendorong peran daerah dalam era otonomi
daerah yang ditandai dengan makin beragamnya jenisDana Penyesuaian dari tahun
ketahun.

10
C. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) merupakan komponen utama
Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sebagai sumber utama PAD, Pemerintah senantiasa
mendorong peningkatan penerimaan daerah yang bersumber dari PDRD tersebut
melalui penyempurnaan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan daerah
dan retribusi daerah sesuai dengan perkembangan keadaan. Dalam rangka mendukung
pelaksanaan otonomi daerah, kebijakan perpajakan daerah dan retribusi daerah
diarahkan untuk memberikan taxing power yang lebih besar kepada daerah.
Dengan pemberian taxing power yang lebih besar tersebut diharapkan
pemerintah daerah dapat memungut sumber-sumber penerimaan potensial yang ada di
masing-masing daerah untuk mendanai kebutuhan pemerintahan dan pembangunan
daerah. Saat ini ketentuan peraturan perundangan yang mengatur tentang PDRD
adalah UU Nomor 28 Tahun 2009 sebagai pengganti dari UU Nomor 18 Tahun 1997
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan UU
Nomor 34 Tahun 2000. Beberapa perubahan mendasar yang diatur dalam UU Nomor
28 Tahun 2009 tersebut antara lain adalah:

(1) Mengubah kewenangan pemungutan dari sistem open list menjadi closed list, artinya
pemerintah daerah hanya dapat memungut jenis PDRD sebagaimana yang
tercantum dalam UU dimaksud. Namun demikian, khusus untuk retribusi daerah
masih dimungkinkan untuk ditambah jenisnya yang akan ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah. Kebijakan ini didasarkan atas pertimbangan bahwa
pemberian kewenangan kepada daerah untuk menciptakan jenis pungutan baru
sebagaimana diatur dalam UU Nomor 34 Tahun 2000 telah menyebabkan timbulnya
banyak pungutan daerah yang bermasalah. Dengan tidak memberikan kewenangan
kepada daerah untuk menetapkanjenis PDRD baru akan memberikan kepastian bagi
masyarakat dan dunia usaha yang pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan
kesadaran masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
(2) Meningkatkan kewenangan perpajakan daerah dan retribusi daerah dengan
memperluas basis pungutan dan memberikan kewenangan kepada daerah dalam
penetapan tarif. Perluasan basis pajak dilakukan sesuai dengan prinsip pajak yang

11
baik, tidak menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan/atau menghambat mobilitas
penduduk, lalu lintas barang dan jasa antardaerah dan kegiatan ekspor impor.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, perluasan basis pajak daerah dilakukan dengan
memperluas basis pajak daerah yang sudah ada, mendaerahkan pajak pusat, dan
menambah jenis pajak baru. Upaya perluasan basis pajak yang sudah ada antara
lain dilakukan dengan menambah objek Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik
Nama Kendaraan Bermotor (termasuk kendaraan Pemerintah/TNI/Polri). Sementara
itu, terdapat 4 (empat) jenis pajak baru bagi daerah, yaitu Pajak Bumi dan Bangunan
Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB), Pajak Sarang Burung Walet, dan Pajak Rokok. PBB Perdesaan dan
Perkotaan dan BPHTB sebelumnya merupakan pajakpusat, kini dialihkan menjadi
pajak kabupaten/kota, sementara Pajak Sarang Burung Walet sebagai pajak
kabupaten/kota, dan Pajak Rokok sebagai Pajak Provinsi. Selain perluasan basis
pajak, perluasan juga dilakukan terhadap beberapa objek retribusi dan penambahan
jenis retribusi, misalnya Retribusi Izin Gangguan yang diperluas sehingga mencakup
pengawasan dan pengendalian kegiatan usaha secara terus-menerus untuk
mencegah terjadinya gangguan ketertiban, keselamatan, atau kesehatan umum,
memelihara ketertiban lingkungan, dan memenuhi norma keselamatan dan
kesehatan kerja. Berkaitan dengan pemberian kewenangan dalam penetapan tarif,
daerah hanya dapat menetapkan tarif pajak dalam batas maksimum yang ditetapkan
dalam UU PDRD dimaksud untuk menghindari penetapan tarif pajak yang tinggi
yang dapat menambah beban bagi masyarakat secara berlebihan. Selain penetapan
batas maksimum, ditetapkan pula ketentuan tarif minimum untuk menghindari
terjadinya perang tarif antardaerah terutama untuk objek pajak yang mudah bergerak
seperti kendaraan bermotor.
(3) Memperbaiki sistem pengelolaan PDRD melalui kebijakan bagi hasil pajak provinsi
kepada kabupaten/kota, insentif pemungutan PDRD, dan earmarking penerimaan
pajak daerah. Kebijakan earmarking dimaksudkan untuk meningkatkan akuntabilitas
pengenaan pungutan dimana sebagian hasil penerimaan pajak dialokasikan untuk
mendanai kegiatan yang berkaitan dengan pajak tersebut. Sebagai contoh, sebagian
penerimaan Pajak Penerangan Jalan dialokasikan untuk mendanai penerangan
jalan, paling sedikit 10 persen dari penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor
dialokasikan untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan
moda dan sarana transportasi umum.
(4) Dalam rangka mengefektifkan pengawasan PDRD, mekanisme pengawasan diubah
dari represif menjadi preventif. Setiap peraturan daerah tentang PDRD sebelum
dilaksanakan harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Pemerintah. Selain
itu, terhadap daerah yang menetapkan kebijakan di bidang PDRD yang melanggar
ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi akan dikenakan sanksi
berupa penundaan dan/ atau pemotongan DAU dan/atau DBH atau restitusi. UU
Nomor 28 Tahun 2009 mengatur tentang 16 (enam belas) jenis pajak yang menjadi
kewenangan pemerintah daerah, yaitu 5 (lima) jenis pajak provinsi dan 11 (sebelas)
jenis pajak kabupaten/kota. Sedangkan jenis retribusi yang dapat dipungut oleh
pemerintah daerah meliputi 14 (empat belas) jenis retribusi jasa umum, 11 (sebelas)
jenis retribusi jasa usaha dan 5 (lima) jenis retribusi perizinan tertentu. Penetapan
jenis PDRD tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa jenis PDRD tersebut
secara umum dipungut hampir disemua daerah dan secara teori maupun praktik
merupakan jenis pungutan yang baik serta memenuhi kriteria sebagai pungutan
daerah. Pemerintah daerah boleh tidak memungut jenis PDRD sebagaimana yang
tercantum dalam UU tersebut dengan pertimbangan, antara lain, apabila potensi
jenis PDRD di daerah tersebut tidakmemadai.

Jenis pajak daerah dan retribusi daerah berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2009
masing-masing dapat dilihat pada Tabel di bawah ini. Sama halnya dengan pajak
12
daerah, pemerintah daerah juga tidak diperkenankan untuk memungut jenis retribusi
selain yang telah diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009. Namun demikian, untuk
mengantisipasi perkembangan keadaan, maka dimungkinkan untuk menambah
jenisretribusi sepanjang memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam UU dimaksud
dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah.

13
D. Pinjaman dan Hibah Daerah
1. Pinjaman Daerah
Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 54
Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah, diamanatkan bahwa Pemerintah menetapkan batas
maksimal kumulatif pinjaman Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan memperhatikan
keadaan dan prakiraan perkembangan perekonomian nasional. Batas maksimal kumulatif
dimaksud adalah 60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) tahun anggaran yang
bersangkutan. Dalam rangka menjaga batas tersebut, setiap tahun Pemerintah menetapkan
batas maksimal kumulatif defisit APBD, batas maksimal defisit APBD masing-masing
daerah, dan batas maksimal kumulatif pinjaman daerah.
Untuk menutup defisit APBD, pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman daerah
yang bersumber dari Pemerintah, pemerintah daerah lain, lembaga keuangan bank,
lembaga keuangan bukan bank, dan masyarakat dalam bentuk obligasi daerah. Kontribusi
tersebut dihitung dari besarnya penarikan pinjaman daerah dibandingkan
dengan besarnya defisit pada APBD. Berdasarkan grafik tersebut, dari tahun 2007 sampai
dengan tahun 2010, kontribusi pinjaman daerah terhadap pembiayaan defisit APBD sangat
kecil dan berfluktuasi antara 4 persen sampai dengan 7%. Defisit APBD pada umumnya

14
ditutup dari Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) tahun sebelumnya masing-masing
Pemerintah Daerah.

Dalam era otonomi daerah, sebagian besar pinjaman daerah yang digunakan untuk
menutup defisit bersumber dari Pemerintah dan lembaga keuangan bank. Pemerintah dapat
memberikan pinjaman kepada pemerintah daerah yang dananya bersumber dari
pendapatan APBN dan/atau pengadaan pinjaman Pemerintah dari dalam negeri maupun
luar negeri. Pengadaan pinjaman luar negeri dikelola melalui mekanisme penerusan
pinjaman luar negeri
(Subsidiary Loan Agreement/SLA). Penerusan pinjaman luar negeri pada umumnya
merupakan pinjaman jangka panjang yang digunakan untuk mendanai proyek investasi
yang menghasilkan penerimaan. Beberapa sumber pinjaman luar negeri tersebut adalah
pinjaman yang bersumber dari badan-badan yang sifatnya multilateral seperti Bank Dunia
(World Bank), Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank), Bank Pembangunan
Islam (Islamic Development Bank), dan negara-negara lain secara bilateral. Di samping itu,
Pemerintah terus berupaya mendorong pemerintah daerah untuk mengoptimalkan sumber
pinjaman dalam negeri berupa obligasi daerah yang diperdagangkan di pasar modal
domestik.

2. Hibah Daerah
Pemberian hibah kepada pemerintah daerah merupakan wujud pelaksanaan
hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah yang merupakan
suatu sistem pendanaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk dapat memberikan hibah kepada
pemerintah daerah. Kebijakan pemberian hibah kepada daerah tersebut kemudian
dipertegas dalam Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2004. Peraturan-peraturan tersebut
mengatur secara tegas bahwa pemberian hibah dari Pemerintah kepada pemerintah daerah
yang bersumber dari penerimaan dalam negeri, pinjaman dalam negeri serta penerusan
pinjaman luar negeri dan hibah luar negeri dilakukan oleh Menteri Keuangan selaku
Bendahara Umum Negara. Prinsip-prinsip yang digunakan dalam pelaksanaan pemberian
hibah kepada pemerintah daerah adalah sebagai berikut:

15
(1) Hibah dari Pemerintah kepada pemerintah daerah dilaksanakan dalam kerangka
hubungan keuangan antara Pemerintah dan pemerintah daerah. (2) Hibah dilaksanakan
sejalan dengan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah, pemerintah provinsi
dan pemerintah kabupaten/kota. (3) Hibah dilaksanakan dengan mempertimbangkan
kapasitas fiskal daerah berdasarkan peta kapasitas fiskal daerah yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan. (4) Hibah bersifat bantuan untuk melaksanakan kegiatan urusan
pemerintahan yang merupakan kewenangan pemerintah daerah. Hibah kepada daerah
dalam kerangka hubungan keuangan Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah, mulai
dilaksanakan pada tahun 2009 dengan ditandatanganinya Naskah Perjanjian Penerusan
Hibah (NPPH) antara Pemerintah dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk kegiatan Mass
Rapid Transit (MRT). Hibah ini bersumber dari pinjaman luar negeri yang berasal dari Japan
International Cooperation Agency (JICA). Proyek MRT merupakan kegiatan yang bertujuan
untuk mengatasi permasalahan transportasi di Jakarta yang menjadi prioritas pembangunan
nasional dan telah tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Hibah ini
dilakukan secara bertahap dan direncanakan mulai direalisasikan pada tahun 2010.

III. Implikasi Desentralisasi Fiskal terhadap Perkembangan Ekonomi Daerah


Desentralisasi fiskal di Indonesia dilakukan dengan pemberian diskresi belanja
daerah yang luas dengan didukung oleh pendanaan transfer dari pusat dan penguatan local
taxing power. Desentralisasi fiskal diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas
penyelenggaran pemerintahan dan pelayanan publik di daerah. Hal ini dikarenakan
dekatnya tingkatan pemerintahan yang memberikan layanan dengan masyarakat yang
dilayaninya, sehingga pemerintah daerah memahami kebutuhan dan prioritas daerah
mereka.
Selanjutnya, peningkatan kualitas penyelenggaraan pemerintahan akan mendorong
semakin baiknya akses layanan publik dan pada akhirnya akan mendorong perekonomian
daerah serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Keberhasilan pelaksanaan
pembangunan ekonomi dapat dinilai dari beberapa indikator.
Salah satu indikator outcome yang lazim digunakan adalah pertumbuhan ekonomi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah adalah tingkat konsumsi,
investasi, ketenagakerjaan, dan multiplier effect dari belanja pemerintah, serta kegiatan
perdagangan daerah. Pada tahun 2008, pertumbuhan ekonomi nasional adalah 6,1 persen.
Berdasarkan data BKPM, pada tahun 2009 terjadi peningkatan yang relatif signifikan
pada PMDN, tetapi terjadi penurunan pada PMA. Kegiatan investasi secara umum masih
terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Hal ini terutama disebabkan oleh kurang
memadainya infrastruktur di luar Pulau Jawa dan Pulau Sumatera.

16
Dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi, besarnya peningkatan jumlah investasi
yang terealisasi tidak diikuti dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2009
yang turun sebesar 1.46 persen. Hal ini wajar terjadi karena investasi yang ditanamkan pada
tahun 2009 belum menimbulkan efek pada peningkatan PDRB. Oleh karena itu, perlu dilihat
dari indikator lain untuk mengetahui besarnya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Salah
satu indikator yang terkait langsung dengan investasi dan pembangunan ekonomi adalah
rendahnya tingkat pengangguran.

17
BAB ANALISIS KEBIJAKAN MONETER DAN
10 PERBANKAN

Suci Ati, Umi Zaitun, Wisnu Anggita, Alfian A

Pertumbuhan ekonomi adalah gambaran mengenai dampak kebijakan pemerintah yang


dilaksanakan khususnya dalam bidang ekonomi. Pertumbuhan ekonomi adalah laju
pertumbuhan yang dibentuk dari berbagai sektor ekonomi yang secara tidak langsung
menggambarkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Oleh karena itu hal ini sangat
penting untuk mengetahui keberhasilan pembangunan di masa yang akan datang pada suatu
daerah.
Pertumbuhan haruslah terencana agar dapat diupayakan suatu pemerataan
kesempatan dan pembagian hasil pembangunan secara marata. Dengan demikian akan dapat
mengembangkan daerah yang kurang produktif menjadi daerah yang produktif serta dapat juga
mengurangi tingkat pengangguran karena kegiatan produksi yang meningkat. Dengan kata kata
lain, pertumbuhan dapat meningkatkan produktivitas kerja dan meningkatkan skala unit usaha.
Dengan demikian dapat mempercepat pertumbuhan itu sendiri.
Namun dalam pelaksanaanya sangatlah sulit tanpa adanya kestabilan ekonomi. Oleh
karena itu diperlukan suatu kebijakan moneter untuk dapat mngatur jumlah uang yang beredar
dan kredit yang semua itu akan sangat mempengaruhi kegiatan ekonomi masyarakat

I. Teori Kebijakan Moneter

Pengaruh moneter terhadap perekonomian merupakan hajat hidup orang banyak, maka
dalam sebuah tatanan ekonomi tertentu, misalkan sebuah negara perlu dilakukan pengaturan di
bidang moneter. Pengaturan inilah yang biasa dikenal sebagai kebijakan moneter atau
monetary policy. Kebijakan moneter pada umumnya bertujuan untuk menjaga dan memelihara
kestabilan nilai uang dan mendorong kelancaran produksi dari pembangunan guna
meningkatkan taraf hidup rakyat, untuk mencapai tujuan tersebut, kebijakan moneter diarahkan
kepada pengaturan jumlah uang yang beredar dalam masyarakat yang sejalan dengan
perkembangan seluruh sector ekonomi, dengan pertambahan jumlah uang yang beredar di
masyarakat, otoritas moneter akan dapat memengaruhi nilai uang dan suku bunga sedemikian
rupa sehingga perkembangannya akan mendorong perekonomian ke arah yang diinginkan
sesuai dengan tujuan pembangunan nasional.
Dalam menentukan kebijakan moneter, tentunya harus ada landasan berupa teori yang
telah teruji. Satu hal yang menjadi dasar dalam kebijakan teori moneter adalah aspek
penawaran dan permintaan uang.

A. Permintaan Uang
Dalam peradaban manusia, keberadaan uang sangat berpengaruh terhadap kehidupan.
Fungsi dari uang itu sendiri adalah sebagai alat transaksi,satuan hitung, dan penyimpan nilai.
Sesuai dengan fungsi uang tesebut, uang telah banyak membantu kesulitan untuk melakukan
berbagai kegiatan ekonomi, seperti perdagangan, investasi, konsumsi, dan saving.
Karena berbagi kegunaannya, uang diminta oleh masyarakat dengan motif yang
berbeda-beda. Menurut Keynes, motif permintan masyarakat pada uang tergolong menjadi tiga
hal yakni untuk keperluan transaksi, berjaga-jaga, dan spekulasi.

1
1. Permintaan uang untuk transaksi.
Dengan meningkatkan pendapatan seseorang, kebutuhan uang untuk transaksi akan
akan meningkat, hasil penjumlahan semua permintaan individual yang ada dalam
perekonomian yang kita sebut senagai permintaan agregat juga mempunyai pola yang
sama, yaitu dengan meningkatnya pendapatan nasional, jumlah uang yang dibutuhkan oleh
masyarakat untuk tramsaksi juga meningkat.

2. Permintaan uang untuk spekulasi.


Menurut Keynes permintaan uang selain dipengaruhi dengan motif transaksi, juga di
pengaruhi oleh motif spekulasi. Dalam melakukan transaksi surat-surat berharga
khususnya obligasi, untuk memperoleh keuntungan pembelian obligasi pada saat waktu
harga obligasi murah dan penjualan dilakukan pada saat obligasi mahal. Dengan demikian
apabila harga obligasi turun, permintaan uang akan berkurang karena masyarakat
membelanjakan uangnya untuk membeli obligasi. Sebaliknya apabila harga obligasi naik
jumlah uang yang diminta bertambah karena masyarakat lebih suka memegang uang dari
pada obligasi.
Perubahan obligasi juga dapat mempengaruhi suku bunga obligasi. Kenaikan harga
obligasi berarti dapat menurunkan persentase suku bunga dan sebaliknya penurunan harga
obligasi berarti menaikkan tingkat suku bunga. Selain dipengaruhi oleh pendapatan nasional
dan permintaan uang juga dipengaruhi oleh perubahan harga. Apabila terjadi kenaikan
harga-harga , nilai uang menjadi lebih kecil, sedangkan nilai barang-barang tahan lama
adalah tetap. Dengan demikian apabila masyarakat menduga bahwa inflasi akan
meningkat, uang yang dipegang cenderung akan dibelanjakan untuk membeli barang-
barang tahan lama sehingga permintaan uang akan berkurang, oleh karena itu tingkat inflasi
berhubungan negative dengan permintaan uang.

3. Permintaan uang untuk berjaga-jaga.


Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi uang berdasarkan pendekatan real
money balance adalah kegiatan perekonomian, suku bunga dan ekspektasi inflasi.
Permintaan uang memiliki hubungan positif dengan kegiatan perekonomian. Artinya
semakin tinggi kegiatan perekonomian, semakin besar permintaan masyarakat akan semua
komponen uang beredar tersebut.
Adapun ekspetasi tingkat inflasi akan sangat mempengaruhi keputusan masyarakat
dalam mensubtitusikan uang dengan barang – barng riil. Semakin tinggi tingkat inflasi
semakin besar keinginan masyarakat untuk mensubsitusikan uang dengan barang sehingga
permintaan uang menjadi bekurang.

B. Penawaran Uang
Dilihat dari sisi penawaran, ada dua hal yang menentukan jumlah penawaran uang
yaitu, uang primer dan angka pengganda uang. Uang primer adalah kewajiban moneter dari
otoritas moneter kepada PBUG berupa kas dan simpanan giro jumlah uang primer ditentukan
oleh beberapa faktor dan senagian faktor tersebut perkembangannya dapat dikendalikan
oteritas moneter. Adapun multiplier uang primer dalam kurun waktu tertentu pada umumnya
relative stabil dan dapat diperkirakan, seta uang primer dapat dikontrol oleh bank sentral melalui
pengaturan uang primer. Prinsip kerja tersebut digunakan pada kebijakan moneter yang
menggunakan uang beredar sebagai sarana operasional.atau sering di sebut quantity
targeting.

2
C. Kebijakan Moneter
Dalam kerangka kebijakan moneter dikenal tiga terminology umum yang biasa di
gunakan. Pertama apa yang dikenal sebagai target dari sebuah kebijakan moneter, kedua apa
yang dikenal sebagai indikator, yang ketiga apa yang dikenal sebagai instrument.

1. Target Kebijakan Moneter


Target kebijakan moneter bersifat dinamis dan selalu disesuaikan dengan
kebutuhan perekonomian suatu Negara, akan tetapi kebanyakan Negara menetapkan hal
yang menjadi ultimate target dari kebijakan moneter yakni:
a. Pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan
b. Kesempatan kerja
c. Kestabilan harga dan
d. Neraca pembayaran

Melalui kebijakan moneter diharapkan secara serempak dapat dicapai pertumbuhan


ekonomi yang tinggi, tingkat pengangguran dan inflasi yang rendah, serta keseimbangan
neraca pembayaran yang mantap. Kebijakan moneter yang ketat dapat menunjang
tercapainya kestabilan harga dan keseimbangan neraca pembayaran, tetapi disisi lain
mengakibatkan menurunnya laju pertumbuhan ekonomi dan pada gilirannya dapat
meningkatkan tingkat pengangguran.
Menyadari adanya hal yang bertolak belakang tersebut, otoritas moneter biasanya
harus memilih berbagai alternative yang paling memungkinkan dan menguntungkan.
Alternative pertama adalah memilih salah satu sasaran untuk di capai secara optimal dan
mengabaikan sasaran yang lain. Misalnya memilih tingkat pertumbuhan ekonomi yang
tinggi dengan mengabaikan tingkat inflasi.
Alternative kedua adalah mengupayakan untuk mencapai semua target dengan
resiko tidak ada satupun yang tercapai secara optimal. Misalnya menginginkan
pertumbuhan ekomoni yang tidak terlampau tinggi dengan tetap menjaga tingkat inflasi
yang wajar. Dan mengusahakan perkembangan neraca pembayaran yang cukup mantap.
Alternative ini dipilih dengan alasan bahwa semua indikator yang menjadi targer kebijakkan
ekonomi yang sama pentingnya.

2. Indikator Kebijakan Ekonomi


Sehubungan dengan gejolak perekonomian, di perlakukan indikator yang dapat
memberi petunjuk apakah perkembangan moneter tetap terarah pada usaha pencapaian
sasaran akhir yang telah ditetapkan atau tidak. Indikator tersebut umumnya dua hal
yakni suku bunga dan uang yang beredar, yang berfungsi sebagai sasaran menengah
dan indikator.

D. Kebijakan Moneter Melalui Pengendalian Uang Beredar


Interaksi antara kekuatan permintaan dan penawaran terhadap uang akan menentukan
kondisi pasar uang seperti tercermin pada perkembangan suku dan jumlah uang yang beredar
dalam perekonomian. Perkembangan pasar uang tersebut pada gilirannya akan memengaruhi
sector riil perekonomian seperti pendapatan nasional, pertumbuhan ekonomi, kesempatan
kerja, harga-harga, dan neraca pembayaran.
Dalam kebijakan moneter, dikenal dua pendekatan yang digunakan oleh bank sentral
dalam operasional kebijakan moneter, yaitu pendekatan kuantitas (monetary targeting) dan
pendekatan harga (interest rate targeting).
Dalam pendekatan monetary targeting bank sentral akan menggunakan uang beredar
sebagai operasionalnya. Untuk mencapai tujuan akhir, seperti inflasi dan pertumbuhan

3
ekonomi bank sentral akan mengendalikan uang beredar. Misalnya apabila jumlah uang yang
beredar melebihi dan yang diinginkan atau diminta oleh masyarakat, masyarakat cenderung
membelanjakan uangnya dengan meningkatkan mengkonsumsi barang-barang dan jasa-jasa.
Melalui pengendalian jumlah uang yang beredar, bank sentral berupaya mengubah
kondisi pasar yang sedemikian rupa sehingga perkembangannya dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi. Memperluas kesempatan kerja, menjaga kestabilan harga dan
keseimbangan neraca pembayaran.
Selain melalui pengendalian uang beredar kebijakan moneter juga dapat dilaksanakan
melalui pengendalian suku bunga. Dalam pengendalian suku bunga, bank sentral dapat
mengendalikan perekonomian yang searah dengan tujuan yang ditetapkan Perekonomian
Misalnya dalam rangka kegiatan Perekonomian , bank sentral menurunkan suku bunga.
Dengan menurunkan suku bunga berarti biaya modal atau dana menjadi lebih murah sehingga
mendorong konsumsi dan investasi dan pada gilirannya kegiatan perekonomian.
Dalam kebijakan moneter kita akan membahas mengenai program moneter, proyeksi
moneter dan pengendalian uang yang beredar. Kebijakan moneter melalui pengendalian uang
beredar awali dengan menetapka tujuan akhir, seperti inflasi, pertumbuhan ekonomi dan
kesempatan kerja.

1. Program Moneter

Untuk melaksanakan kebijakan moneter dengan baik, otoritas moneter membuat


suatu proyeksi jumlah uang yang beredar, baik dari sisi penawaran maupun permintaan
untuk suatu waktu tertentu yang lazim disebut proyeksi. Dalam penyusunan proyeksi
moneter, bank sentral perlu terlebih dahulu mengganti data statistik moneter beberapa
waktu terakhir untuk menyusun proyeksi moneter secara akurat.

2. Proyeksi Moneter
Langkah –langkah menyusun proyeksi moneter:
 Menetapkan terlebih dahulu sasaran makro perekonomian untuk suatu periode
yang akan datang
 Setelah ditetapkan sasaran pertumbuhan, harga dan suku bunga melalui hubungan
fungsional dapat dilakukan proyeksi berapa besar permintaan masyarakat akan
uang.
 Dalam program moneter perkiraan jumlah uang yang beredar disebut “sasaran
perencanaan moneter”.

3. Pengendalian Uang yang Beredar


Pengendalian uang yang beredar oleh bank sentral dilaksanakan dengan
memepengaruhi faktor- faktor penyebab perubahan uang yang beredar. Penyebab tersebut
meliputi net foreigen assets (NFA), net domestic assats (NDA), NDA terdiri atas net claims
on government (CNG), net domestic credit (NDC), serta net other items (NOI). Dari sekian
banyak faktor NDC merupakan satu-satunya faktor yang dapat dikendaliakan oleh bank
sentral.
Pengendalian kredit perbankan dilakukan melalui pengendalian reserver bank-bank.
Sebagaimana diketahui kemampuan bank memberikan kredit dipengaruhi oleh reserve
yang dimiliki. Semakin besar reserve bank-bank, semakin besar kemampuannya untuk
memberikan pinjaman dan demikian pula sebaliknya. Cara yang ditempuh oleh bank
sentral dalam mengendalikan reserve bank-bank adalah:
 Bank sentral memikirkan besar kecilnya kewajiban segera bank-bank yang terdiri
dari demand deposito dan time deposito

4
 Memperkirakan berapa besar demand for reverse bank-bank.
 Proyeksi mengenai supply of reserve money. Proyeksi tersebut dilakukan dengan
memperkirakan perkembangan faktor-faktor yang mempengaruhi reserve money
moneter.

Kemudian perkiraan supply reserve bank-bank dibandingkan dengan perkiraan


permintaan reserve bank-bank. Apabila ternyata terjadi excess supply, melalui operasi
pasar terbuka, yaitu menjual surat-surat berharga jangka pendek, bank sentral dapat
menganbil kelebihan cadangan tersebut. Sebaliknya, apabila ternyata kekurangan pasokan
Operasi Pasar Terbuka dilakukan dengan membeli surat- surat berharga jangka pendek.
Jadi secara umum,.instrumen moneter yang dapat digunakan untuk mengontrol
uang beredar antara lain operasi pasar terbuka, required reserve dan discount facility.
Melalui kebijakan diskonto, yaitu meningkatkan tingkat diskonto, akan mengurangi
keinginan bank-bank melakukan pinjaman dan bank sentral akan menghambat
kemampuan bank-bank memberikan pinjaman kepada pihak swasta dan pada akhirnya
mengurangi jumlah uang yang beredar.

E. Kebijakan Moneter Melalui Pengendalian Suku Bunga


Kebijakan moneter di Indonesia sejak juli 2005 telah menerapkan suku bunga sebagai
sasaran operasional bersamaan dengan full pledge inflation targeting framework atau inflasi
sebagai sarana tunggal kebijakan moneter. Perbedaan mendasar antara interest rate targeting
dangan monetary targeting adalah bahwa pada interest rate targeting digunakan suku bunga
sebagai sasaran operasioanal. Di Amerika Serikat, terdapat fed fund rate sebagai sasaran
operasional, sementara di Indonesia terdapat BI rate sebagai tanda suku bunga operasional
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Dalam kebijakan moneter yang menggunakan suku bunga sebagai sasaran operasioanal,
bank sentral yakin bahwa melalui perubahan suku bunga, kebijakan ekonomi dan tujuan
kebijakan moneter dapat dicapai. Bank sentral yakin bahwa dengan peningkatan suku bunga
stabilitas harga atau inflasi dapat dikendalikan, karena melalui peningkatan suku bunga, biaya
dana dan biaya modal akan jadi menimgkat. Dengan peningkatan biaya tersebut, keinginan
untuk melakukan investasi dan konsumsi menjadi lebih rendah hal tersebut akan mengurangi
permintaan agregat dan akhirnya mengendalikan inflasi.

F. Tolak Ukur Stabilitas Moneter

Menjaga kestabilan moneter adalah salah satu dimensi kestabilan nasional yang
merupakan sasaran pembangunan nasional. Kestabilan moneter yang mantap mempunyai
pengaruh yang luas terhadap kegiatan perekonomian, termasuk diantaranya kegiatan di sector
perbankan.
Selain suku bunga dan uang beredar, terdapat beberapa hal penting yang menjadi
indikator kestabilan moneter atau dengan kata lain sebagai tolak ukur kestabilan moneter,
diantaranya sebagai berikut:

a. Laju Inflasi
Laju inflasi merupakan gambaran harga-harga. Harga yang membumbung tinggi
tergambar dalam inflasi yang tinggi, sementara itu harga yang relative stabil tergambar dalam
angka inflasi yang rendah.
Di bidang moneter, laju inflasi yang tinggi dan tidak terkendali dapat mengganggu upaya
perbankan dalam pengerahan dana masyarakat. Hal ini dikarenakan inflasi yang tinggi dapat
menyebabkan tingkat suku bunga riil akan menurun dan akibatnya hasrat masyarakat untuk
menabung hingga pertumbuhan dana perbankan yang berasal dari masyarakat akan menurun.

5
Dan apabila bunga riil terus menurun tapi bertolak belakang dengan suku bunga di luar negeri
maka masyarakat akan lebih memilih menyimpan uang di luar negeri, dengan kata lain aliran
modal beralih ke luar negeri.
Kenyataan yang demikian dapat menghambat upaya perbankan dalam menghimpun
dana masyarakat. Pada saat ini bank dalam keadaan tidak mampu dalam menghimpun dana
dari masyarakat dan juga tidak mampu dalam memberikan kredit. Perbankan merupakan
lembaga intermediasi yang mempertemukan kreditur dan debitur yang selama ini penyaluran
kredit didapat dari sumber dana yang antara lain bersumber dari perhimpunan dana dari
masyarakat tadi. Akibatnya terjadi penururnan kegiatan investasi di sektor rill akibat kesulitan
dana perbankan. Rendahnya investasi dapat membuat kegiatan produksi menurun dan
berujung pada rendahnya daya serap tenaga kerja.
Sebagai contoh, keterkaitan antara tingginya laju inflasi dengan pengerahan dana
masyarakat yang dicerminkan dari pertumbuhan PDB dalam negeri. Tahun 2005 terjadi
peningkatan inflasi yang cukup tinggi yaitu mencapai 17,1% dari dua tahun sebelumnya yang
hanya 5,06%. Inflasi tahun 2005 lebih disebabkan dari kenaikan harga BBM dan kenaikan tarif
transportasi. Tingginya inflasi tersebut mengakibatkan suku bunga rill menjadi negative shingga
tidak mendorong pengerahan dana masyarakat. Hal ini tercermin dari pertumbuhan PDB yang
melambat yaitu dari 5,13% menjadi 5,6%.

Inflasi Kumulatif (%)


2003-2005 ( Januari- Desember)

Pemerintah terus berupaya untuk menekan laju inflasi melalui program rehabilitasi dan
stabilitasi dengan menetapkan suku bunga deposito dan kredit modal kerja serta investasi yang
tinggi, yaitu masing-masing 11,98% dan 15,92% serta 15,43% per tahun.

Pertumbuhan PDB, Inflasi dan Suku Bunga


Tahun 2003-2007
Suku Bunga (% pertahun)
pertumbuhan Inflasi
Tahun SBI Deposito Kredit Modal Kredit
PDB (%) (%)
(1 bln) (1 bln) Kerja Investasi
2003 4,88 5,06 8,06 7,67 15,77 16,27
2004 5,13 6,4 7,40 6,40 13,40 14,10
2005 5,6 17,1 12,75 11,98 15,92 15,43
2006 5,5 6,6 9,75 8,96 15,07 15,10
2007 6,32 6,59 8,00 7,19 13,00 13,01

6
Pada tahun 3006, laju inflasi bertahap mulai menurun yaitu menjadi 6,6% dan tingkat
suku bunga untuk deposito 8,69% dan kredit modal kerja dan investasi sebesar 15,07% dan
15,01% pertahun. Namun ketidakstabilan makroekonomi akibat yang ditimbulkan oleh inflasi
masih dirasakan, hal ini dapat dilihat dari masih melemahnya pertumbuhan PDB. Dan pada
tahun 2007 kegiatan-kegiatan ekonomi seperti investasi dan ekspor mengalami perbaikan
shingga pertumbuhan PDB mulai meningkat dan laju inflasi menunjukkan penurunan kembali
yaitu 6,59%, penurunan ini disertai dengan penurunan suku bunga baik deposito ataupun kredit.

b. Suku Bunga
Perkembangan tingkat bunga yang tidak wajar secara langsung dapat mengganggu
perkembangan perbankan. Seperti suku bunga yang terlalu tinggi, disatu sisi akan
meningkatkan minat masyarakat untuk menabung shingga jumlah dana perbankan akan
meningkat. Namun disisi lain suku bunga yang terlalu tinggi akan meningkatkan biaya yang
dikeluarkan oleh pengusaha sehingga mengakibatkan penurunan kegiatan produksi di dalam
negeri. Pada gilirannya permintaan terhadap kredit perbankan menurun dan dana perbankan
menjadi menumpuk karena kebutuhan dana untuk berproduksi rendah dalam kondisi suku
bunga yang tinggi.
Di sisi perbankan, tingginya suku bunga membuat bank memiliki kemampuan
menghimpun dana untuk disalurkan dalam bentuk kredit kepada pengusaha. Tapi dengan
tingginya suku bunga secara tidak langsung membuat tinggi pula beban bunga yang ditanggung
oleh bank.
Sebaliknya, tingkat bunga yang relative rendah dibandingkan dengan tingkat bunga luar
negeri akan mengurangi minat masyarakat untuk menabung dan mendorong aliran dana ke luar
negeri shingga bank-bank dalam negeri akan mengalami kesulitan dalam menghimpun dana.
Namun, tingkat bunga yang rendah tadi akan mendorong kegiatan produksi dan investasi
karena tingkat bunga yang relaitf rendah membuat permintaan akan kredit perbankan
meningkat.
Di bulan Oktober tahun 2005 terjadi inflasi yang cukup tinggi selama empat tahun
terkahir, shingga pemerintah khususnya Bank Indonesia sebagai pemegang kebijakan moneter
menetapkan kenaikan suku bunga sebagai stabilitasi.

Suku Bunga BI, Deposito dan Kredit Modal Kerja


Januari 2004- Desember 2005 (%)

Kenaikan suku bunga BI mencapai 12,75%, diikuti oleh kenaikan suku bunga deposito
dan kredit perbankan terutama sejak awal September 2005. Pada bulan November 2005 suku

7
bunga deposito satu bulan naik menjadi rata-rata 11,46% dari sebelumnya 6,43% pada akhir
tahun 2004. Begitu juga dengan tingkat suku bunga kredit modal kerja yang meningkat menjadi
rata-rata 15,9% pada bulan November 2005 dari sebelumnya rata-rata 13,4% pada akhir tahun
2004.
Meskipun secara bertahap telah berhasil menurunkan inflasi namun di sisi lain suku
bunga yang terlalu tinggi dicemaskan dapat mempengaruhi kredit perbankan shingga akan
berakibat ke sector lain. Karenanya Bank Indonesia menghimbau agar bank-bank tidak
menaikkan suku bunga kredit, namun dengan margin suku bunga yang sudah relative kecil
dewasa ini sangat sulit bagi bank untuk mendapatkan dana masyarakat yang sudah semakin
ketat shingga mengharuskan bank menaikkan suku bunga simpanan secara berarti.
Kebijakan moneter harus dapat mengatur sedemikian rupa dan sesuai agar suku bunga
dapat dijaga secara ideal shingga masih cukup menarik bagi masyarakat untuk menyimpan
dananya juga tidak memberatkan dunia usaha serta tingkat kompetitif dibandingkan suku bunga
luar negeri.

c. Nilai Tukar Mata Uang


Pengelolaan nilai tukar yang realistis dan perubahan yang cukup rendah dapat
memberikan kepastian dunia usaha sebagaimana yang terjadi pada beberapa waktu terakhir
merupakan sesuatu hal yang penting untuk meningkatkan investasi maupun kegiatan yang
berorientasi pada ekspor. Keadaan tersebut akan mendorong meningkatnya permintaan kredit
untuk usaha yang produktif shingga dapat mendorong perkembangan perbankan yang sehat.
Nilai tukar yang melonjak-lonjak secara drastis tak terkendali akan menyebabkan
kesulitan pada dunia usaha dalam merencanakan usahanya terutama bagi mereka yang
mendatangkan bahan baku dari luar negeri atau mengekspor barangnya. Oleh karena itu,
pengelolaan nilai mata uang yang stabil menjadi salah satu factor moneter yang mendukung
perekonomian secara makro. Serta pengelolaan nilai tukar yang memberikan ruang gerak
kepada penguasa moneter untuk mempengaruhi suku bunga kearah yang lebih wajar.

F. Instrumen Kebijakan Moneter


Instrumen kebijakan moneter yang umum dijelaskan oleh Nopirin (1992 : 46) dan
Mishkin (2001 : 435) sebagai berikut :

 Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation)


Instrumen ini merupakan alat kebijakan moneter yang terpenting karena
merupakan determinan utama antara perubahan tingkat suku bunga dan monetary base serta
menjadi sumber utama untuk mempengaruhi fluktuasi jumlah uang beredar. Kebijakan ini
meliputi tindakan menjual dan membeli surat-surat berharga oleh bank sentral. Tindakan ini
memiliki 2 pengaruh utama terhadap kondisi pasar uang : pertama, menaikkan cadangan bank-
bank umum yang turut dalam transaksi. Hal ini dikarenakan dalam pembelian surat berharga
misalnya, bank sentral akan menambah cadangan bank umum yang menjual surat berharga
tersebut, akibatnya bank umum dapat menambah jumlah uang yang beredar (melalui proses
penciptaan kredit). Pada saat bank sentral menjual surat-surat berharga di pasar terbuka,
cadangan bank-bank umum akan menurun. Berikutnya bank-bank ini dipaksa untuk
mengurangi penyaluran kreditnya, dengan demikian akan mengurangi jumlah uang beredar.

Pengaruh yang kedua, tindakan pembelian atau penjualan surat berharga akan
mempengaruhi harga (dan dengan demikian juga tingkat bunga) surat berharga, sehingga
mengakibatkan menurunnya jumlah uang beredar dan meningkatkan tingkat suku bunga.

8
Berdasarkan tujuannya, operasi pasar terbuka dibagi menjadi 2 jenis, yaitu :

1. Dynamic open market operation, yang bertujuan untuk mengubah jumlah cadangan dan
monetary base

2. Defensif open market operation, yang bertujuan untuk mengontrol faktor-faktor lain yang
dapat mempengaruhi jumlah cadangan dan monetary base.

 Penetapan Tingkat Diskonto (Discount Policy)


Kebijakan ini meliputi tindakan untuk mengubah tingkat bunga yang harus dibayar oleh
bank umum dalam hal meminjam dana dari bank sentral. Kebijakan ini pada dasarnya bertujuan
untuk mempengaruhi tingkat diskonto yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap jumlah
uang beredar melalui perubahan tingkat bunga pinjaman. Dengan menaikkan diskonto, maka
biaya untuk meminjam dana dari bank sentral akan naik sehingga akan mengurangi keinginan
bank umum untuk melakukan peminjaman ke bank sentral. Akibatnya, jumlah uang yang
beredar dapat ditekan / dikurangi. Di samping itu, posisi jumlah cadangan juga dapat
dipengaruhi melalui instrumen ini. Apabila tingkat diskonto mengalami kenaikan, maka akan
meningkatkan biaya pinjaman pada bank. Peningkatan jumlah cadangan ini merupakan indikasi
bahwa bank sentral menerapkan kebijakan moneter yang ketat.

 Penetapan Cadangan Wajib Minimum (Reserves Requirements)


Kebijakan perubahan cadangan minimum dapat mempengaruhi jumlah uang yang
beredar. Apabila cadangan wajib minimum diturunkan, maka akan mengakibatkan terjadinya
peningkatan jumlah deposito sehingga jumlah uang beredar cenderung meningkat, dan
sebaliknya apabila cadangan wajib minimum dinaikkan, maka akan mengurangi jumlah
deposito yang akhirnya akan menurunkan jumlah uang yang beredar. Indikator empirik untuk
kebijakan moneter yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Jumlah uang beredar (M2), yaitu jumlah seluruh uang yang beredar yang terdiri dari
M1(uang kartal dan uang giral) ditambah dengan uang kuasi.
b. Bunga deposito 1 bulan (Depo1)
c. Tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
d. Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika
e. Inflasi

G. Perbankan
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Dalam
kebijakan moneter bank memiliki posisi yang sangat penting mengingat perbankan dalam
perekonomian Indonesia mendominasi keseluruhan sector keuangan baik dilihat dari segi
kepemilikan aset, pengumpulan dana maupun penyaluran dana di dalam perekonomian. Hal
serupa juga terdapat di negara-negara berkembang lainnya.

Peranan system financial yang didominasi oleh perbankan tampak dari dana yang
terhimpun dan digunakan untuk membiayai kegiatan pembangunan, khususnya di sector
swasta sebagian besar dari perbankan.
Sektor perbankan merupakan sektor yang sangat penting peranannya di dalam
pembangunan nasional baik sebagai perantara sektor yang deficit dengan sector yang surplus
maupun sebagai agen pembangunan.
Secara menyeluruh sejak orde baru sektor perbankan mengalami perkembangan yang
cukup pesat khususnya setelah kebijaksanaan deregulasi perbankan 1988. Sebelumnya sector

9
perbankan masih banyak diatur oleh pemerintah, dalam hal ini bank Indonesia berupa likuiditas
yang kemudian disalurkan ke berbagai program priorotas sesuai ketetpan dari pemerintah. Hal
ini ternyata kurang mendororng bank-bank untuk memobilisasi dana pembangunan.
Pada tahun 1990, sekitar 90% dari asset bruto sektor keuangan dimiliki oleh lembaga
perbsnkan (40% oleh Bank Indonesia dan 65% dari bank-bank lain) dan sisanya adalah berasal
dari lembaga keuangan lainnya. Di negara-negara berkembang lainnya, perbankan masih juga
sebagai orientasi utama pada kegiatan perdagangan dan jasa, terutama melayani daerah
perkotaan dan memberikan kredit yang umumnya bersifat jangka pendek.
Perkembangan sektor keuangan di Indonesia sangat pesat khususnya sejak deregulasi
perbankan mulai tahun 1988 yang mengubah fungsi bank, sampai tahun 1992 yang
menyebabkan meningkatnya jumlah bank yang memasuki pasar karena nasabah telah percaya
kepada bank, Terbukti jumlah bank saat ini adalah 249 bank dengan 6000 kantor.
Perbankan di Indonesia saat ini diatur dalam UU No. 10 tahun 1998 mengenai
perbankan. Dalam pasal 5 ayat 1 di UU tersebut perbankan di Indonesia terbagi ke dalam dua
jenis yakni Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR).

DAFTAR PUSTAKA

Pohan, Aulia. 2008. Potret Kebijakan Moneter Indonesia. Jakarta; Rajagrafindo Persada.

Http://www. Google.com/

Http://www.bps.go.id/

Http://www.bi.go,id/

10
BAB PERKEMBANGAN KOPERASI DAN
11 UKM DI INDONESIA

Dessy Putri Ardian, Muara Tulus, Septianingsih, Wuri Handayani

Di negara maju koperasi lahir sebagai gerakan untuk melawan ketidakadilan


pasar, oleh karena itu tumbuh dan berkembang dalam suasana persaingan pasar.
Bahkan dengan kekuatannya itu koperasi meraih posisi tawar dan kedudukan penting
dalam konstelasi kebijakan ekonomi termasuk dalam perundingan internasional.
Peraturan perundangan yang mengatur koperasi tumbuh kemudian sebagai tuntutan
masyarakat koperasi dalam rangka melindungi dirinya.Sedangkan, di negara sedang
berkembang koperasi dihadirkan dalam kerangka membangun institusi yang dapat
menjadi mitra negara dalam menggerakkan pembangunan untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat.
Di Indonesia pengenalan koperasi memang dilakukan oleh dorongan pemerintah,
bahkan sejak pemerintahan penjajahan Belanda telah mulai diperkenalkan. Gerakan
koperasi sendiri mendeklarasikan sebagai suatu gerakan sudah dimulai sejak tanggal
12 Juli 1947 melalui Kongres Koperasi di Tasikmalaya. Pengalaman di tanah air kita
lebih unik karena koperasi yang pernah lahir dan telah tumbuh secara alami di jaman
penjajahan, kemudian setelah kemerdekaan diperbaharui dan diberikan kedudukan
yang sangat tinggi dalam penjelasan undang-undang dasar.
Lembaga koperasi sejak awal diperkenalkan di Indonesia memang sudah
diarahkan untuk berpihak kepada kepentingan ekonomi rakyat yang dikenal sebagai
golongan ekonomi lemah. Strata ini biasanya berasal dari kelompok masyarakat kelas
menengah kebawah. Eksistensi koperasi memang merupakan suatu fenomena
tersendiri, sebab tidak satu lembaga sejenis lainnya yang mampu menyamainya, tetapi
sekaligus diharapkan menjadi penyeimbang terhadap pilar ekonomi lainnya. Lembaga
koperasi oleh banyak kalangan, diyakini sangat sesuai dengan budaya dan tata
kehidupan bangsa Indonesia.
Keberadaan koperasi sebagai lembaga ekonomi rakyat ditilik dari sisi usianya
pun yang sudah lebih dari 50 tahun berarti sudah relatif matang. Sampai dengan bulan
November 2001, misalnya, berdasarkan data Departemen Koperasi dan Usaha Kecil
Menengah (UKM), jumlah koperasi di seluruh Indonesia tercatat sebanyak 103.000 unit
lebih, dengan jumlah keanggotaan ada sebanyak 26.000.000 orang. Jumlah itu jika
dibanding dengan jumlah koperasi per-Desember 1998 mengalami peningkatan
sebanyak dua kali lipat. Jumlah koperasi aktif, juga mengalami perkembangan yang
cukup menggembirakan. Jumlah koperasi aktif per-November 2001, sebanyak 96.180
unit (88,14 persen). Hingga tahun 2004 tercatat 130.730, tetapi yang aktif mencapai
28,55%, sedangkan yang menjalan rapat tahunan anggota (RAT) hanya 35,42%
koperasi saja. Data terakhir tahun 2006 ada 138.411 unit dengan anggota 27.042.342
orang akan tetapi yang aktif 94.708 unit dan yang tidak aktif sebesar 43.703 unit.
Jadi, di Indonesia setelah lebih dari 50 tahun keberadaannya, lembaga yang
namanya koperasi yang diharapkan menjadi pilar atau soko guru perekonomian
nasional dan juga lembaga gerakan ekonomi rakyat ternyata tidak berkembang baik
seperti di negara-negara maju. Oleh karena itu, tidak heran kenapa peran koperasi di
dalam perekonomian Indonesia masih sering dipertanyakan dan selalu menjadi bahan
perdebatan karena tidak jarang koperasi dimanfaatkan di luar kepentingan generiknya.

1
Sedangkan, pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM)
merupakan langkah yang strategis dalam meningkatkan dan memperkuat dasar
kehidupan perekonomian dari sebagian terbesar rakyat Indonesia, khususnya melalui
penyediaan lapangan kerja dan mengurangi kesenjangan dan tingkat kemiskinan.
Dengan demikian upaya untuk memberdayakan UMKM harus terencana, sistematis
dan menyeluruh baik pada tataran makro, meso dan mikro yang meliputi (1)
penciptaan iklim usaha dalam rangka membuka kesempatan berusaha seluas-luasnya,
serta menjamin kepastian usaha disertai adanya efisiensi ekonomi; (2) pengembangan
sistem pendukung usaha bagi UMKM untuk meningkatkan akses kepada sumber daya
produktif sehingga dapat memanfaatkan kesempatan yang terbuka dan potensi
sumber daya, terutama sumber daya lokal yang tersedia; (3) pengembangan
kewirausahaan dan keunggulan kompetitif usaha kecil dan menengah (UKM); dan (4)
pemberdayaan usaha skala mikro untuk meningkatkan pendapatan masyarakat yang
bergerak dalam kegiatan usaha ekonomi di sektor informal yang berskala usaha mikro,
terutama yang masih berstatus keluarga miskin.
Perkembangan peran usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang besar
ditunjukkan oleh jumlah unit usaha dan pengusaha, serta kontribusinya terhadap
pendapatan nasional, dan penyediaan lapangan kerja. Pada tahun 2003, persentase
jumlah UMKM sebesar 99,9 persen dari seluruh unit usaha, yang terdiri dari usaha
menengah sebanyak 62,0 ribu unit usaha dan jumlah usaha kecil sebanyak 42,3 juta
unit usaha yang sebagian terbesarnya berupa usaha skala mikro. UMKM telah
menyerap lebih dari 79,0 juta tenaga kerja atau 99,5 persen dari jumlah tenaga kerja
pada tahun 2004 jumlah UMKM diperkirakan telah melampaui 44 juta unit. Jumlah
tenaga kerja ini meningkat rata-rata sebesar 3,10 persen per tahunnya dari posisi
tahun 2000. Kontribusi UMKM dalam PDB pada tahun 2003 adalah sebesar 56,7
persen dari total PDB nasional, naik dari 54,5 persen pada tahun 2000. Sementara itu
pada tahun 2003, jumlah koperasi sebanyak 123 ribu unit dengan jumlah anggota
sebanyak 27.283 ribu orang, atau meningkat masing-masing 11,8 persen dan 15,4
persen dari akhir tahun 2001.
Perkembangan UMKM yang meningkat dari segi kuantitas tersebut belum
diimbangi oleh meratanya peningkatan kualitas UMKM. Permasalahan klasik yang
dihadapi yaitu rendahnya produktivitas. Keadaan ini disebabkan oleh masalah internal
yang dihadapi UMKM yaitu: rendahnya kualitas SDM UMKM dalam manajemen,
organisasi, penguasaan teknologi, dan pemasaran, lemahnya kewirausahaan dari para
pelaku UMKM, dan terbatasnya akses UMKM terhadap permodalan, informasi,
teknologi dan pasar, serta faktor produksi lainnya. Sedangkan masalah eksternal yang
dihadapi oleh UMKM diantaranya adalah besarnya biaya transaksi akibat iklim usaha
yang kurang mendukung dan kelangkaan bahan baku. Juga yang menyangkut
perolehan legalitas formal yang hingga saat ini masih merupakan persoalan mendasar
bagi UMKM di Indonesia, menyusul tingginya biaya yang harus dikeluarkan dalam
pengurusan perizinan. Bersamaan dengan masalah tersebut UMKM juga menghadapi
tantangan terutama yang ditimbulkan oleh pesatnya perkembangan globalisasi
ekonomi dan liberalisasi perdagangan bersamaan dengan cepatnya tingkat kemajuan
teknologi.

B. PERKEMBANGAN KOPERASI DI INDONESIA

Sejak lama bangsa Indonesia telah mengenal kekeluargaan dan


kegotongroyongan yang dipraktekkan oleh nenek moyang bangsa Indonesia.
Kebiasaan yang bersifat nonprofit ini, merupakan input untuk Pasal 33 ayat 1 UUD
1945 yang dijadikan dasar/pedoman pelaksanaan Koperasi. Kebiasaan-kebiasaan
nenek moyang yang turun-temurun itu dapat dijumpai di berbagai daerah di Indonesia
2
di antaranya adalah Arisan untuk daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, paketan, mitra
cai dan ruing mungpulung daerah Jawa Barat, Mapalus di daerah Sulawesi Utara,
kerja sama pengairan yang terkenal dengan Subak untuk daerah Bali, dan Julo-julo
untuk daerah Sumatra Barat merupakan sifat-sifat hubungan sosial, nonprofit dan
menunjukkan usaha atau kegiatan atasdasar kadar kesadaran berpribadi dan
kekeluargaan.
Bentuk-bentuk ini yang lebih bersifat kekeluargaan, kegotongroyongan,
hubungan social, nonprofit dan kerjasama disebut Pra Koperasi. Pelaksanaan yang
bersifat pra-koperasi terutama di pedesaan masih dijumpai, meskipun arus globlisasi
terus merambat ke pedesaan.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pada pertengahan abad ke-18 telah
mengubah wajah dunia. Berbagai penemuan di bidang teknologi ( revolusi industri )
melahirkan tata dunia ekonomi baru. Tatanan dunia ekonomi menjajdi terpusat pada
keuntungan perseorangan, yaitu kaum pemilik modal ( kapitalisme ). Kaum kapitalis
atau pemilik modal memanfaatkan penemuan baru tersebutdengan sebaik-baiknya
untuk memperkaya dirinya dan memperkuat kedudukan ekonominya. Hasrat serakah
ini melahirkan persaingan bebas yang tidak terbatas. Sistem ekonomi kapitalis / liberal
memberikan keuntungan yang sebesar-besarnya kepada pemilik modal dan
melahirkan kemelaratan dan kemiskinan bagi masyarakat ekonomi lemah.
Dalam kemiskinan dan kemelaratan ini, muncul kesadaran masyarakat untuk
memperbaiki nasibnya sendiri dengan mendirikan koperasi. Pada tahun 1844 lahirlah
koperasi pertama di Inggris yang terkenal dengan nama Koperasi Rochdale di bawah
pimpinan Charles Howart. Di Jerman, Frederich Willhelm Raiffeisen dan Hermann
Schulze memelopori Koperasi Simpan Pinjam. Di Perancis, muncul tokoh-tokoh
kperasi seperti Charles Fourier, Louis Blance, dan Ferdinand Lassalle. Demikian pula
di Denmark. Denmark menjadi Negara yang paling berhasil di dunia dalam
mengembangkan ekonominya melalui koperasi.
Kemajuan industri di Eropa akhirnya meluas ke Negara-negara lain, termasuk
Indonesia. Bangsa Eropa mulai mengembangkan sayap untuk memasarkan hasil
industri sekaligus mencari bahan mentah untuk industri mereka. Pada permulaannya
kedatangan mereka murni untuk berdagang. Nafsu serakah kaum kapitalis ini akhirnya
berubah menjadi bentuk penjajahan yang memelaratkan masyarakat.
Koperasi memang lahir dari penderitaan sebagai mana terjadi di Eropa
pertengahan abad ke-18. Di Indonesia pun koperasi ini lahir sebagai usaha
memperbaiki ekonomi masyarakat yang ditindas oleh penjajah pada masa itu.
Untuk mengetahui perkembangan koperasi di Indonesia, sejarah
perkembangan koperasi Indonesia secara garis besar dapat dibagi dalam “ dua masa
”, yaitu masa penjajahan dan masa kemerdekaan.

B.1 Masa Penjajahan


Di masa penjajahan Belanda, gerakan koperasi pertama di Indonesia lahir dari
inisatif tokoh R. A. Wiriaatmadja pada tahun 1986. Wiriaatmadja, patih Purwokerto
(Banyumas) ini berjasa menolong para pegawai, pedagang kecil dan petani dari
hisapan lintah darat melalui koperasi. Beliau dengan bantuan E. Sieberg, Asisten
Residen Purwokerto, mendirikan Hulp-enSpaar Bank. Cita-cita Wiriaatmadja ini juga
mendapat dukungan dari Wolf van Westerrode, pengganti Sieberg. Mereka mendirikan
koperasi kredit sistem Raiffeisen.
Gerakan koperasi semakin meluas bersamaan dengan munculnya pergerakan
nasional menentang penjajahan. Berdirinya Boedi Oetomo, pada tahun 1908 mencoba
memajukan koperasi rumah tangga (koperasi konsumsi). Serikat Islam pada tahun
1913 membantu memajukan koperasi dengan bantuan modal dan mendirikan Toko
3
Koperasi. Pada tahun 1927, usaha koperasi dilanjutkan oleh Indonesische Studie Club
yang kemudian menjadi Persatuan Bangsa Indonesia ( PBI ) di Surabaya. Partaui
Nasional Indonesia ( PNI ) di dalam kongresnya di Jakarta berusah menggelorakan
semangat kooperasi sehuingga kongres ini sering juga disebut “ kongres koperasi ”.
Pergerakan koperasi selam penjajahan Belanda tidak dapat berjalan lancer.
Pemerintah Belanda selalu berusaha menghalanginya, baik secara langsug maupun
tidak langsung. Selain itu, kesadaran masyarakat atas koperasi sangat rendah akibat
penderitaan yang dialaminya. Untuk membatasi laju perkembangan koperasi,
pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan koperasi Besluit 7 April No. 431 tahun
1915. Berdasarkan peraturan ini rakyat tidak mungkin mendirikan koperasi karena :
1. Mendirikan koperasi harus mendapat izin dari gubernur jenderal
2. Akta dibuat dengan perantaraan notaris dan dalam bahasa Belanda
3. Ongkos materai sebesar 50 golden
4. Hak tanah harus menurut hukum Eropa
5. Harus diumumkan di Javasche Courant yang biayanya juga tinggi
Peraturan ini mengakibatkan munculnya reaksi dari kaum pergerakan nasional
dan para penganjurkoperasi. Oleh karena itu, pada tahun 1920 pemerintah Belanda
membentuk “ Panitia Koperasi ” yang diketuai oleh J. H. Boeke. Panitia ini ditugasi
untuk meneliti mengenai perlunya koperasi. Setahun kemudian, panitia itu memberikan
laporan bahwa koperasi perlu dikembangkan. Pada tahun 1927 pemerintah
mengeluarkan peraturan No. 91 yang lebih ringan dari perturan 1915. isi peraturan No.
91 antara lain :
1. Akta tidak perlu dengan perantaraan notaries, tetapi cukup didaftarkan pada
Penasehat Urusan Kredit Rakyat dan Koperasi serta dapat ditulis dalam bahasa
daerah.
2. Ongkos materai 3 golden.
3. Hak tanah dapat menurut hukum adat.
4. Berlaku untuk orang Indonesia asli, yang mempunyai hak badan hukum secara
adat.
Dengan keluarnya peraturan ini, gerakan koperasi mulai tumbuh kemabli. Pada
tahun 1932, Partai Nasional Indonesia mengadakan kongres koperasi di Jakarta. Pada
tahun 1933, pemerintah Belanda mengeluarkan lagi peraturan No. 108 sebagai
pengganti peraturan yang dikeluarkan pada tahun 1915. Peraturan ini merupakan
salinan dari peraturan koperasi Belanda tahun1925, sehingga tidak cocok dan sukar
dilaksanakan oleh rakyat. Pada masa penjajahan Jepang, koperasi mengalami nasib
yang lebih buruk. Kamntor Pusat Jawatan Koperasi diganti oleh pemerintah Jepang
menjadi Syomin Kumiai Cou Jomusyo dan Kantor Daerah diganti menjadi Syomin
Kumiai Saodandyo. Kumiai yaitu koperasi model Jepang, mula-mula bertugas untuk
mendistribusikan barang-barang kebutuhan rakyat. Hal ini hanya alat dari Jepang
untuk mengumpulkan hasil bumi dan barang-barang kebutuhan untuk Jepang. Walau
hanya berlangsung selama 3,5 tahun tetapi rakyat Indonesia mengallami penderitaan
yang jauh lebih dahsyat. Jadi, dalam masa penjajahan Jepang koperasi Indonesia
dapat dikatakan mati.

B.2 Masa Kemerdekaan


Setelah bangsa Indonesia merdeka, pemerintah dan seluruh rakyat segera
menata kembali kehidupan ekonomi. Sesuai dengan tuntutan UUD 1945 pasal 33,
perekonomian Indonesia harus didasrkan pada asas kekeluargaan. Dengan demikian,
kehadiran dan peranan koperasi di dalam perekonomian nasional Indonesia telah
mempunyai dasar konstitusi yang kuat. Di masa kemerdekaan, koperasi bukan lagi
sebagai reaksi atas penderitaan akibat penjajahan, koperasi menjadi usaha bersama
untuk memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup yang didasarkan pada asas
4
kekeluargaan. Hal ini sangat sesuai dengan cirri khas bangsa Indonesia, yaitu gotong
royong.
Pada awal kemerdekaan, koperasi berfungsi untuk mendistribusikan keperluan
masyarakat sehari-hari di bawah Jawatan Koperasi, Kementerian Kemakmuran. Pada
tahun 1946, berdasarkan hasil pendaftaran secara sukarela yang dilakukan Jawatan
Koperasi terdapat sebanyak 2.500 buah koperasi. Koperasi pada saat itu dapat
berkembang secara pesat.
Namun karena sistem pemerintahan yang berubah-ubah maka terjadi titik
kehancuran koperasi Indonesia menjelang pemberontakan G30S / PKI. Partai-partai
memanfaatkan koperasi untuk kepentingan partainya, bahkan ada yang menjadikan
koperasi sebagai alat pemerasan rakyat untuk memperkaya diri sendiri, yang dapat
merugikan koperasi sehingga masyarakat kehilangan kepercayaannya dan takut
menjadi anggota koperasi.
Pembangunan baru dapat dilaksanakan setelah pemerintah berhasil
menumpas pemberontakan G30S / PKI. Pemerintah bertekad untuk melaksanakan
Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Kehadiran dan peranan
koperasi dalam perekonomian nasional merupakan pelaksanaan amanat penderitaan
rakyat. Masa pasca kemerdekaan memang dapat dikatakan berkembang tetapi pada
masa itu membuat perkembangan koperasi berjalan lambat. Namun keadaannya sperti
itu, pemerintah pada atahun 1947 berhasil melangsungkan Kongres Koperasi I di
Tasikmalaya, Jawa Barat.
Kongres Koperasi I menghasilkan beberapa keputusan penting, antara lain :
1. Mendirikan sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia ( SOKRI )
2. Menetapkan gotong royong sebagai asas koperasi
3. Menetapkan pada tanggal 12 Juli sebagai hari Koperasi
Akibat tekanan dari berbagai pihak misalnya Agresi Belanda, keputiuasab
Kongres Koperasi I belum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Namun, pada
tanggal 12 Juli 1953, diadakanlah Kongres Koperasi II di Bandung, yang antara lain
mengambil putusan sebagai berikut :
1. Membentuk Dewan Koperasi Indonesia ( Dekopin ) sebagai pengganti SOKRI
2. Menetapkan pendidikan koperasi sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah
3. Mengangkat Moh. Hatta sebagai Bapak Koperasi Indonesia
4. Segera akan dibuat undang-undang koperasi yang baru

Hambatan-hambatan bagi pertumbuhan koperasi antara lain disebabkan oleh


hal-hal berikut :
1. Kesadaran masyarakat terhadap koperasi yang masih sangat rendah
2. Pengalaman masa lampau mengakibtakan masyarakat tetap merasa curiga
terhadap koperasi
3. Pengetahuan masyarakat mengenai koperasi masih sangat rendah

Untuk melaksanakan program perkoperasian pemerintah mengadakan


kebijakan antara lain :
1. Menggiatkan pembangunan organisasi perekonomian rakyat terutama koperasi
2. Memperluas pendidikan dan penerangan koperasi
3. Memberikan kredit kepada kaum produsen, baik di lapangan industri maupun
pertanian yang bermodal kecil

Organisasi perekonomian rakyat terutama koperasi sangat perlu diperbaiki. Para


pengusaha dan petani ekononmi lemah sering kali menjadi hisapan kaum tengkulak
dan lintah darat. Cara membantu mereka adalah mendirikan koperasi di kalangan
mereka. Dengan demikian pemerintah dapat menyalutrkan bantuan berupa kredit
5
melalui koperasi tersebut. Untuk menanamkan pengertian dan fungsi koperasi di
kalangan masyarakat diadakan penerangan dan pendidikan kader-kader koperasi.

C. EKSISTENSI UKM DI DALAM PROSES PEMBANGUNAN EKONOMI

Di Indonesia peranan UKM, khususnya UK juga sering dikaitkan dengan upaya-


upaya pemerintah untuk mengurangi pengangguran, memerangi kemiskinan dan
pemerataan pendapatan. Oleh sebab itu, tidak heran jika kebijakan pengembangan
UKM di Indonesia sering dianggap secara tidak langsung sebagai kebijakan
penciptaan lapangan kerja atau kebijakan anti kemiskinan, atau kebijakan redistribusi.
UKM di Indonesia sangat penting terutama dalam hal kesempatan kerja.
Argumentasi ini didasarkan pada kenyataan bahwa, di satu pihak, jumlah angkatan
kerja di indonesia sangat berlimpah mengikuti jumlah penduduk yang besar, dan pihak
lain, UB tidak sanggup menyerap semua pencari kerja. Ketidaksanggupan UB dalam
menciptakan kesempatan kerja yang besar disebabkan karena memang pada
umumnya kelompok usaha tersebut relatif padat modal, sedangkan UKM relative padat
karya. Kedua, pada umumnya UB memebutuhkan pekerja dengan pendidikan formal
yang tinggi dan pengalaman kerja cukup, sedangkan UKM, khususnya UK, sebagian
pekerjanya berpendidikan rendah.

Tabel
Tingkat Pendidikan Formal dari Pengusaha di UMKM di Industri Manufaktur, 2006 (%)

Tabel diatas adalah gambaran mengenai tingkat pendidikan formal (yang


umum digunakan sebagai indikator tingkat keahlian) dari pengusaha di UMKM di
sektor industri manufaktur. Dapat dilihat bahwa jumlah pengusaha UMKM yang
memiliki diploma universitas hanya sekitar 2,20 persen; walaupun tingkat ini bervariasi
antara UMK dan UM (usaha menengah). Ini bisa merupakan salah satu penyebab
rendahnya kinerja atau daya saing UMKM di Indonesia.

Tabel
Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Menurut Skala Usaha
Pada Tahun 2003 dan 2005 (Orang)
Pertumbuhan
No Skala Usaha 2003 2004 2005
2003-2005
1 Usaha Mikro dan 70.522.413 69.166.801 71.187.153 0.94 %
Kecil
2 Usaha Menengah 6.364.894 6.323.722 6.491.345 1.97 %
3 Usaha Besar 2.617.868 2.646.775 2.590.275 - 1.05 %
Jumlah Tenaga Kerja 79.505.175 78.137.298 80.268.773 0.96 %
Sumber: BPS dan Kementerian Koperasi dan UKM (beberapa tahun)

6
Usaha mikro, kecil, dan menengah memberikan lapangan kerja bagi 99,45%
tenaga kerja di Indonesia, dan masih akan menjadi tumpuan utama penyerapan
tenaga kerja pada masa mendatang. Selama periode 2003–2005, usaha mikro dan
kecil telah mampu memberikan lapangan kerja baru bagi 664.740 orang dan usaha
menengah mampu memberikan lapangan kerja baru sebanyak 126.451 orang. Pada
sisi lain, usaha besar justru mengurangi jumlah pekerja sebanyak 27.593 orang selama
periode 2003–2005. Hal ini merupakan bukti bahwa UMKM merupakan katup
pengaman, dinamisator, dan stabilisator perekonomian Indonesia.

Tabel
Perbandingan Komposisi PDB Menurut Skala Usaha Pada Tahun 2003 dan 2005
Atas Dasar Harga Konstan 2000 (Milyar Rupiah)
No Skala Usaha 2003 2005 Pertumbuhan
1 Usaha Mikro dan Kecil 617.022 (43,41) 688.688 (42,93) 11,61%
2 Usaha Menengah 262.086 (18,44) 298.011 (18,58) 13.71%
3 Usaha Besar 542.367 (38,15) 617.525 (38,49) 13.86%
Jumlah PDB 1.421.475 (100) 1.604.224 (100) 12.86%
Sumber: BPS dan Kementerian Koperasi dan UKM (beberapa tahun)

Bagi Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang tersebar di seluruh pelosok tanah
air, dan melakukan kegiatan usaha pada berbagai sektor dan bidang usaha yang
menyentuh kepentingan orang banyak, peluang untuk memanfaatkan signal positif ini,
tentu perlu diupayakan dan menjadi sangat mungkin untuk dikembangkan mengingat
jumlah UKM yang sangat besar di Bumi Nusantara ini. Data BPS 2003, menunjukkan
populasi UKM mencapai sekitar 42,39 juta unit dan merupakan 99,85 persen dari
keseluruhan populasi pelaku bisnis ditanah air. Sejak tahun 2000, UKM telah
mengalami pertumbuhan sekitar 9,46% yakni dari 38,72 juta menjadi 42,39 juta atau
rata-rata tumbuh 3,15% setiap tahunnya. UKM memberikan kontribusi besar dalam
penyerapan tenaga kerja yaitu sebesar 99,4%, serta memberikan kontribusi terhadap
Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp 1.013,5 triliun atau 56,73 persen.

Tabel
Rata-rata Struktur PDB Menurut Skala Usaha
Tahun 2003–2005 (Persen)
Rata-rata 2003-2005
Lapangan Usaha
UMK UM UB
1. Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan 86.14 8.91 4.96
Perikanan
2. Pertambangan dan Penggalian 8.45 3.29 88.27
3. Industri Pengolahan 13.90 13.21 72.90
4. Listrik, Gas dan Air Bersih 0.59 8.71 90.70
5. Bangunan 43.45 22.60 33.95
6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 75.14 21.08 3.78
7. Pengangkutan dan Komunikasi 30.84 24.24 44.92
8. Keuangan, Persewaan dan Jasa perusahaan 15.83 46.20 37.96
9. Jasa-jasa 39.58 7.99 52.44
PDB 39.26 16.48 44.26
PDB Non Migas 43.38 18.11 38.51
Sumber: BPS dan Kementerian Koperasi dan UKM (diolah)

7
Membaiknya kinerja sektor rill tercermin melalui unit usaha yang meningkat
hampir di semua lapangan usaha. Secara global populasi UK pada seluruh sektor
ekonomi jumlahnya meningkat dari tahun 2003 ke tahun 2005. Jumlah unit usaha UKM
meningkat dari 42.395.020 unit di tahun 2003 menjadi 44.689.588 unit di tahun 2005.
Sementara jumlah unit UB naik dari 3.894 unit menjadi 4.171 unit dan jumlah UK
meningkat dari 42.331.474 menjadi 44.621.823 pada tahun 2005. Selengkapnya
gambaran perihal populasi UK, UM dan UB dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Tabel
Perkembangan Jumlah Unit Usaha Tahun 2003, 2004, dan 2005
Tahun Tahun Tahun Pertumbuhan
No Skala Usaha
2003 2004 2005 2003-2005
1 Usaha Mikro dan 42.331.474 43.641.094 44.621.823 5.41 %
Kecil
2 Usaha Menengah 63.546 66.318 67.765 6.64 %
3 Usaha Besar 3.894 4.068 4.171 7.11 %
Jumlah 42.398.914 43.711.480 44.693.759 5.41 %
Sumber: BPS dan Kementerian Koperasi dan UKM (diolah)

Pembangunan ekonomi regional


Pembagunan ekonomi nasional sejak dimulainya pelita(1969) memang telah
memeberi hasil posotif pada tingkat makro, tingkat pendapatan rill masayarakat rata-
rata per kapita mengalami peningkatan tajam, akan tetapi, dilihat pada tingkat meso
dan mikro, pembagunan seelama pemerintahan orde baru telah menciptakan suatu
keseenjangan yang besar, baik dalam bentuk distribusi pendapata pribadi, maupun
dalam bentuk kesenjangan ekonomi/pendapatan antar daerah/propinsi. Ada sejumlah
indicator yang dapat digunakan dala menganalisis kesenjangan pembagunan antar
propinsi, di antaranya adalah PDRB, konsumsi rumah tangga per kapita, human
development index, kontribusi sektoral terhadap PDRB, tingkat kemiskinan,dan struktur
fiskal.

1. Variasi konsumsi rumah tangga perkapita antar propinsi


Selain pendapatan, pengeluaran konsumsi rumah tangga per kapita juga
merupakan salah satu alat ukur untuk melihat perbedaan tingkat pembangunan
merupakan salah satu alat ukur untuk melihat perbedaan tingkat pembangunan
ekonomi atau kesejahteraan masyarakat antar propinsi. secara hipotesis dapat
dinyatakan semakin tinggi pendapatan per kapita semakin tinggi pengeluaran
konsumsi per kapita di daerah tersebut.

2. Human development index

Human development index (HDI) juga umum digunakan sebagai salah satu
indicator social umtuk mengukur tingkat kesenjangan pembagunan antar provinsi..
secara hipotesis dikatakan bahwa semakin baik pembagunan di suatu wilayah semakin
tinggi HDI daerah tersebut.

Selanjutnya, Tabel dibawah ini memperlihatkan tipe bantuan yang diberikan


oleh program-program tersebut. Jumlah dari kegiatan-kegiatan di dalam setiap
program juga bervariasi, tetapi umumnya berkisar dari satu sampai tiga. Dalam jumlah
keseluruhannya, tipe-tipe yang paling umum adalah pemberian pelatihan (22,9

8
persen), bantuan modal/kredit (17,3 persen), fasilitasi (16,1 persen), dan
diseminasi/introduksi teknologi-teknologi baru (15,2 persen).
Lembaga-lembaga pemerintah memainkan peran paling menonjol (50,9
persen), diikuti oleh LSM (29,4 persen) dan lembaga-lembaga donor (10,1 persen).
Lembaga-lembaga pemerintah adalah yang paling umum untuk memperkenalkan
teknologi-teknologi baru (27,9 persen) dan memberikan pelatihan (21,1 persen),
sedangkan lembaga-lembaga lainnya kebanyakan memberi bantuan permodalan.
Berdasarkan pada tipe dari kegiatan, pelatihan adalah yang paling banyak
diselenggarakan oleh lembaga-lembaga pemerintah (46,9 persen) dan LSM (37,2
persen). Bantuan modal lebih banyak diberikan oleh LSM lokal dan internasional (50,3
persen), disusul kemudian oleh lembaga-lembaga pemerintah (15,5 persen) dan
perbankan (14,9 persen). Fasilitasi lebih banyak diberikan oleh LSM (52,4 persen) dan
pemerintah (35,7 persen).

D. KINERJA EKSPOR UKM

Kendala yang dihadapi UKM khususnya mengenai keragaman (diversifikasi)


produk yang selama ini dialami untuk menerobos pasar global, sejak tahun 2000
sebagian telah berhasil diatasi; antara lain sebagai akibat mengalirnya berbagai
macam produk impor ke Indonesia, kemudahan UKM memperoleh akses informasi
produk, meningkatnya inovasi UKM dalam mengembangkan desain, kualitas dan jenis
produk ekspor dengan dukungan munculnya para profesional eks PHK usaha besar
yang kemudian beralih profesi menjadi entrepeneur UKM. Sekalipun demikian,
kemampuan UKM dalam mendiversifikasikan produknya relative masih terbilang
lambat dan tertinggal dibanding kemajuan sebagian UKM di kawasan Asean,
sementara produk yang dikembangkan pada umumnya berbasis teknologi sederhana
dengan lebih mengutamakan padat karya.

Grafik
Kontribusi Ekspor Nonmigas Oleh Usaha Kecil, Usaha Menegah Dan Usaha
Besar Selama Tahun 2000 Sampai Dengan 2003.

Pada periode 2000-2003, kontribusi ekspor UKM mengalami pertumbuhan


yang masih lamban yakni dari 19,35% tahun 2000 menjadi 19.90% pada tahun 2003.
Bandingkan dengan pangsa pasar ekspor yang dipasok oleh kelompok usaha besar
yakni 80.10% pada tahun 2004 sekalipun terjadi penurunan disbanding tahun 2000
sebesar 80.65%. Sementara itu, hanya sekitar 0,2 persen dari jumlah UKM yang
pernah melakukan ekspor, dan pada umumnya atau 91,2% UKM tersebut melakukan
kegiatan ekspornya melalui pihak ketiga eksportir/pedagang perantara atau hanya 8
,8% saja yang berhubungan langsung dengan buyer/importir di luar negeri (Tambunan,
Infokop No: 23 th. 2003).
9
Kinerja UKM dalam pasar ekspor ini pada hakekatnya masih dapat ditingkatkan
terutama dengan memperhatikan masih besarnya pangsa pasar ekspor yang selama
ini dipasok kelompok usaha besar dan belum optimalnya kapasitas UKM dalam
pemasaran ekspor. Optimalisasi kemampuan UKM dalam melakukan ekspor perlu
didukung dengan peningkatan sumberdaya dan pengembangan manajemen UKM agar
mampu beradaptasi dengan lingkungan global. Selain itu mendorong UKM untuk
meningkatkan kemampuannya dalam melakukan ekspor sendiri secara langsung yang
ternyata banyak memberikan nilai tambah bagi UKM yang bersangkutan seperti;
pengalaman komunikasi langsung dengan buyers, memahami prosedur ekspor,
pengetahuan pasar, peningkatan pendapatan UKM dari harga penjualan produknya
yang lebih besar ketimbang ekspor melalui pihak ketiga (perantara) di dalam negeri.
Kinerja ekspor nonmigas Usaha Kecil, Menengah dan Besar berdasarkan
sector ekonomi selama tahun 2000 sampai dengan 2003 menunjukan lebih dari 85%
ekspor nasional didominasi sektor industry pengolahan, meskipun setiap tahunnya
terjadi penurunan rata-rata 1.3%. Pada sektor industri pengolahan Sementara
peningkatan terjadi pada sector pertambangan sekalipun nilai dan pangsa pasar
ekspornya jauh lebih kecil yakni Rp 37.861 milyar dan 93,48% tahun 2003, demikian
pula peningkatan pada sector pertanian meskipun nilai dan pangsa pasar ekspornya
sangat kecil yakni Rp 9.880 milyar dan 2,59% pada tahun 2003.
Lambatnya perkembangan ekspor non migas (sektor pertanian, industri dan
pertambangan) kelompok Usaha Kecil (UK) dibandingkan dengan ekspor kelompok
Usaha Menengah (UM). Nilai ekspor kelompok UK dari tiga sector tersebut mencapai
Rp. 20.465 milyar pada tahun 2003 atau 5,37 % peranannya terhadap total ekspor.
Sementara pada tahun 2000 nilai ekspor kelompok UK ini mampu memberi kontribusi
sebesar 5,42 % yakni sekitar Rp. 21.137 milyar, artinya terjadi penurunan baik nilai
maupun peranan ekspor pada kelompok UK. Sedangkan pada kelompok UM, nilai total
ekpor dan pangsa pasar UM meningkat masing-masing dari Rp.54.312 milyar dan
13,93% pada tahun 2000 menjadi Rp. 55.394 milyar dengan pangsa sebesar 14,53%
tahun 2003. Nilai total ekspor maupun pangsa pasar kelompok Usaha Besar (UB) di
tiga sektor yang sama jauh lebih tinggi dibanding kelompok UKM, yakni mencapai
Rp.305.397 milyar atau 80,10% dari total pangsa pasar ekspor nasional pad tahun
2000. Namun pada tahun 2003 terjadi penurunan nilai ekspor kelompok UB sebesar
2,98% dibandingkan nilai ekspornya tahun 2000, begitu juga dengan pangsanya
mengalami penurunan dari 80,65% di tahun 2000 menjadi 80,10% di tahun 2003.
Dibandingkan Kelompok UK dan UB, maka kelompok Usaha Menengah justru
mengalami peningkatan baik nilai maupun pangsa ekspornya. Peningkatan ini boleh
jadi disebabkan kemampuan mengem- bangkan investasi untuk memproduksi komoditi
ekspor pada usaha skala menengah masih belum terkendala dampak krisis ekonomi
yang belum sepenuhnya pulih dan andil para profesional muda yang hengkang atau
terkena PHK yang kemudian bergabung atau mendirikan usaha sendiri mampu
meningkatkan kinerja ekspor pada kelompok usaha menengah ini.

Tabel
Perkembangan Nilai Ekspor Nonmigas Menurut Skala Usaha
Pada Tahun 2003 dan 2005 (Milyar Rupiah)
No Skala Usaha 2003 2005 Pertumbuhan
1 Usaha Mikro dan Kecil 19.941 27.700 38.91 %
2 Usaha Menengah 57.156 81.429 42.47 %
3 Usaha Besar 305.437 460.460 50.75 %
Jumlah Nilai Ekspor 382.534 569.589 48.90 %
Sumber: BPS dan Kementerian Koperasi dan UKM (diolah)

10
Kontribusi UMK pada ekspor non migas terus mengalami peningkatan secara
perlahan, dari Rp 19.941 milyar pada tahun 2003 menjadi Rp 27.700 milyar pada tahun
2005, dan usaha besar dari Rp 305.437 milyar menjadi Rp 460.460 milyar pada
periode tahun 2005.

E. KONDISI UMUM UKM DI NEGARA-NEGARA BERKEMBANG

Hambatan-hambatan Paling Utama yang dialami UMKM di Sejumlah NSB di Asia

Karakteristik yang melekat pada UKM bisa merupakan kelebihan atau kekuatan
yang justru menjadi penghambat perkembangannya. Kombinasi dari kekuatan dan
kelemahan serta interaksi keduanya dengan situasi eksternal akan menentukan
prospek perkembanhan UKM. Tantangan-tantangan UKM di manapun juga saat ini
dan yang akan datang adalah aspek-aspek sebagai berikut:

a) Perkembangan teknologi yang pesat.


Perubahan teknologi mempengaruhi ekonomi atau dunia usaha, yakni sisi
penawaran dan sisi permintaan. Dari sisi penawaran, perkembangan teknologi
mempengaruhi antara lain metode atau pola produksi, komposisi serta jenis
material/input dan bentuk serta kualitas produk yang dibuat. Sedangkan dari sisi
permintaan, perubahan teknologi membuat pola permintaan berbeda yang pada awal
periode setelah perubahan tersebut lebih banyak berasal dari perusahaan atau
industry.

b) Persaingan semakin bebas.


Penerapan system pasar bebas dengan pola atau system persaingan yang
berbeda dan intensifitasnya yang lebih tinggi, ditambah lagi dengan perubahan
teknologi yang berlangsung terus dalam laju yang semakin cepat dan perubahan
selera masyarakat yang terutama akibat pendapatan masyarakat yang terus
meningkat.
Kualitas SDM dan penguasaan teknologi memang sangat menentukan tingkat
daya saing dan selanjutnya tingkat kemampuan UMKM dalam ekspor Hipotesanya
adalah sebagai berikut: perusahaan dengan daya saing tinggi adalah perusahaan yang
memiliki/menguasai teknologi yang paling baik (yang biasanya adalah teknologi
terakhir yang ada) di dalam bidangnya dan SDM dengan kualitas terbaik. Aspek ini

11
bisa diidentifikasi dengan sejumlah indikator, diantaranya yang umum digunakan dan
lebih bersifat proxy adalah tingkat produktivitas.
Perusahaan berdaya saing tinggi biasanya juga merupakan perusahaan yang
produktif. Sebenarnya tingkat produktivitas, misalnya, tenaga kerja, tidak hanya
mencerminkan tingkat penguasaan teknologi oleh pekerja, atau tingkat ketersediaan
teknologi di dalam perusahaan, namun juga sebagai sebuah indikator dari tingkat
pendidikan dari pekerja. Hipotesanya adalah: dengan teknologi yang ada, semakin
tinggi tingkat pendidikan pekerja semakin tinggi produktivitas pekerja, ceteris paribus,
yang lainnya konstan tidak berubah.
Pada tahun 2006, Pusat Inovasi UMKM APEC melakukan suatu studi mengenai
daya saing global dari UMKM di 13 negara APEC (APEC, 2006). Di dalam studi ini,
tingkat daya saing diukur melalui indeks skor antara 1,0 (daya saing paling rendah)
dan 10,0 (daya saing paling tinggi) yang dikembangkan berdasarkan sejumlah faktor
termasuk diantaranya jenis teknologi yang digunakan, metode produksi yang
diterapkan dan jenis produk yang dibuat, yang semuanya itu mengandung satu unsur
penting, yakni teknologi. Hasil studinya dapat dilihat di Indonesia termasuk negara
yang UMKM-nya berdaya saing rendah dengan skor dibawah 4. Di dalam studi ini juga
ditunjukkan bahwa Indonesia bersama dengan Meksiko dan Rusia merupakan
negara-negara dengan pendanaan paling kecil bagi perkembangan teknologi di
UMKM, yakni dengan skor 3,5. Padahal, pengembangan teknologi merupakan salah
satu sumber penting dari inovasi yang berarti juga dari sumber penting bagi
peningkatan daya saing.

Daya Saing UMKM di sejumlah Negara APEC (Indeks skor 1 – 10)

Pendekatan strateginya yang tepat adalah melalui clustering, yang berarti


program utama peningkatan daya saing UMKM adalah program pengembangan
klaster-klaster (atau sentra-sentra) UMKM. Pendekatan clustering ini sudah terbukti di
banyak negara seperti di Eropa dan lainnya sangat ampuh dalam meningkatkan
kemampuan inovasi dan daya saing global dari UMKM. Di dalam literatur mengenai

12
pengembangan UMKM sudah ada kesepakatan bersama bahwa paling tidak ada tiga
keuntungan utama dari pengembangan UKM berdasarkan clustering:
1) UMKM lebih mudah mengatasi semua kekurangan/hambatan dalam segala aspek
bisnis mulai dari pengadaan bahan baku, proses produksi, distribusi dan
pemasaran, pendanaan, perbaikan mesin, dll, dibandingkan jika UMKM beroperasi
sendiri-sendiri. UMKM di dalam sebuah klaster akan menikmati apa yang dimaksud
dengan ”keuntungan ekonomi aglomorasi”.
2) Lebih efisien dan efektif dalam pemberian bantuan atau kerjasama antara UMKM
dengan pihak lain, misalnya, UB dalam kegiatan subcontracting, perbankan dalam
penyaluran kredit, dan eksportir, pedagang atau distributor dalam pemasaran. Efek
ini yang dimaksud oleh Schmitz (1995, 1999) sebagai “efisensi kolektif”.
3) Proses peralihan teknologi/pengetahuan dari sumber luar (misalnya dari
perusahaan multinasional/PMA) ke UMKM dan penyebarannya antara sesama
UMKM lebih gampang, lebih efisien, dan lebih efektif di dalam sebuah klaster
dibandingkan jika unit-unit UMKM sangat terpencar lokasinya satu dari yang
lainnya. Ini artinya juga bahwa inovasi lebih mudah terjadi di dalam sebuah
klaster.Pengalaman dari UMKM di sentra industri logam di Tegal (Jawa Tengah)
membuktikan pentingnya peran dari PMA dalam peralihan teknologi, di satu sisi,
dan penyebaran dari teknologi tersebut antar sesama UMKM di dalam sentra
tersebut. Bahkan peran PMA lebih besar daripada bantuan teknis dari pemerintah
lewat penyediaan unit-unit pelayanan teknis (UPT).

F. KINERJA UKM DI INDONESIA

Di Indonesia, dilihat dari jumlah unit usahanya yang sangat banyak di semua
sector ekonomi dan kontribusi yang sangat besar. Terhadap penciptaan kesempatan
kerja dan sumber pendapatan, khususnya di daerah pedesaan dan bagi rumah tangga
berpendapat rendah, tidak dapat diingkari betapa pentingnya UKM selain itu, kelompok
usaha tersebut juga berperan sebagai salah satu motor penggerak bagi pembagunan
ekonomi dan komunitas local.
Dalam era globalisasi dan perdagangan bebas, UKM memiliki peranan yang
lebih penting lagi yaitu sebagai salah satu faktor utama pendorong perkembangan dan
pertumbuhan ekspor non-migas dan sebagai industri pendukung yang membuat
komponen-komponene dan spare parts untuk UB lewat keterkaitan produksi. Di
Indonesia, UKM sangat diharapkan sangat bisa menjadi salah satu pemain penting
dalam penciptaan pasar baru bagi Indonesia tidak hanya dalam negeri tapi lebih
penting lagi keluar negeri.
Kemampuan UKM Indonesia untuk menembus pasar global atau
meningkatakan ekspornya atau menghadapi produk-produk impor di pasar domestic
ditentukan oleh suatu kombinasi antara jumlah faktor keunggulan relative yang dimiliki
masing-masing perusahaan atas persaingan-persaingan. Dalam konteks ekonomi/
perdagangan internasional pengertian daripada keunggulan relative dapat didekati
dengan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif.
Suatu Negara memiliki keunggulan bisa secara alamiah (natural advantages)
atau yang dikembangkan (acquired advantages). Kenggulan alamiah yang dimilikin
Indonesia adalah jumlah tenaga kerja, khususnya dari golongan berpendidikan rendah
dan bahan baku berlimpah kondisi ini membuat upah Tenaga kerja dan harga bahan
baku di indonesia relative lebih murah dibandingkan Negara-negara lain yang
penduduknya sedikit dan miskin SDA. Keunggulan alamiah ini ini sangat mendukung
perkembangan ekspor komoditas-komoditas primer Indonesia.

13
Kunggulan kompetitif dapat menjelaskan sebagai berikut: keunggulan suatu
Negara atau industri dalam persaingan global selain ditentukan oleh keunggulan
komperatif yang dimilikinya yang diperkuat dengan proteksi atau bantuan dari
pemerintah, juga sangat ditentukan oleh keunggulan kompetitifnya.faktor-faktor
keunggulan kompetitif yang harus dimiliki oleh stiap perisahaan:
 Penguasaan teknologi
 Sumber daya manusia dengan kualitas tinggi dan memiliki etos kerja, kretivitas
dan motivasi yang tinggi
 Tingkat efisiensi dan produktivitas yang tinggi dalam proses produksi
 Kualitas serta mutu yang baik dari barang yang berhasilkan
 Promosi yang luas dan agresif,
 System manejemen dan struktur organisasi yang baik
 Pelayanan teknis maupaun non-teknis yang baik
 Adanya skala ekonomis dalam proses produksi
 Modal dan sarana serta prasarana lainnya yang cukup
 Memiliki haringan bisnis di dalam dan terutama di luar negeri yang baik:
 Proses produksi yang dilakukan dengan system just in time
 Tingkat entrepreneurship yang tinggi, yakni seorang pengusaha yang sangat
inovatif,intensif,kreatif dan memiliki visi yang luas mengenai produknya dan
lingkungan sekitar usahanya (sosial,politik)

Tingkat dan Bentuk dari Dampak dari Kebijakan Umum terhadap UMKM

Kebijakan-kebijakan umum diantaranya adalah kebijakan fiskal, kebijakan


moneter, kebijakan industri, kebijakan investasi, kebijakan perdagangan, kebijakan
tenaga kerja dan upah, dan kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi. Dampak
dari kebijakan-kebijakan tersebut terhadap UMKM bisa kecil, bisa besar; bisa negatif,
bisa positif, atau bisa nihil atau tidak berarti/tidak signifikan
Kebijakan fiskal terdiri dari kebijakan perpajakan dan kebijakan pengeluaran
pemerintah, termasuk subsidi. Paling tidak secara teori, kebijakan pajak pendapatan
mempunyai dampak besar dan positif terhadap UMKM. Jika pajak pendapatan
meningkat, dengan pendapatan kotor tetap, maka pendapatan bersih setelah dipotong
pajak menurun. Menurunnya pendapatan bersih masyarakat akan meningkatkan
permintaan terhadap produk-produk UMKM yang pada umumnya inferior yang
14
elastisitas pendapatannya negatif. Sedangkan dampak dari peningkatan pajak output
seperti pajak penambahan nilai bisa positif atau negatif, tetatpi tidak besar terhadap
produk-produk UMKM, karena sebagian besar UMKM, khususnya UMK, di Indonesia
adalah di sektor informal, yang tidak bayar pajak apapun. Peningkatan subsidi
terhadap enerji dan bahan baku jelas berdampak besar dan positif terhadap UMKM.
Demikian juga, peningkatan pengeluaran publik seperti untuk pembangunan
infrastruktur akan berdampak besar dan positif terhadap perkembangan UMKM.
Kebijakan moneter terrefleksi dalam perubahan suku bunga, nilai tukar dan
inflasi. Suku bunga tinggi berdampak negatif dan besar terhadap UMKM, terkecuali jika
UMKM dapat akses ke skim-skim kredit murah. Penurunan nilai tukar rupiah bisa
berdampak besar dan negatif terhadap UMKM karena sekarang ini hampir semua
bahan baku yang digunakan oleh UMKM adalah impor. Sedangkan dampak positifnya
dalam bentuk 22 peningkatan ekspor kecil, karena hanya sebagian kecil dari UMKM
yang melakukan ekspor. Inflasi jelas berdampak besar dan negatif.
Kebijakan industri bisa berdampak besar, dan bisa negatif atau positif,
tergantung apakah kebijakan tersebut berpihak terhadap UMKM, atau paling tidak tidak
bias terhadap UMKM. Misalnya, kebijakan subcontracting antara UMKM dan UB,
seperti kebijakan kandungan lokal pada era Orde Baru berdampak positif terhadap
UMKM. Contoh lainnya, kebijakan standarisasi lewat Peraturan Pemerintah (PP) No
102/2000. Hingga Agustus 2007, pemerintah Indonesia telah menetapkan 3.200
standar nasional industri (SNI). Jika UMKM bisa memenuhi standar yang diharuskan
sesuai peraturan tersebut, dampaknya tentu positif.
Kebijakan investasi berdampak besar, dan bisa positif atau negatif. Kebijakan
investasi di Indonesia diantaranya adalah paket kebijakan perbaikan iklim investasi
dalam bentuk Inpres No. 3 Tahun 2006. Paket itu mencakup lima aspek yaitu: (1)
bidang umum termasuk memperkuat kelembagaan pelayanan investasi, sinkronisasi
peraturan daerah dan pusat, dan kejelasan ketentuan mengenai kewajiban amdal; (2)
bidang kepabean dan cukai, termasuk percepatan arus barang, pengembangan
peranan kawasan berikat, pemberantasan penyelundupan, dan debirokratisasi di
bidang cukai; (3) perpajakan termasuk insentif perpajakan untuk investasi,
melaksanakan system “melakukan pengkajian sendiri” secara konsisten,revisi pajak
pertambahan nilai untuk mempromosikan ekspor, melindungi hak wajib pajak, dan
mempromosikan transparansi dan “disclosure”; (4) ketenagakerjaan yang mencakup
penciptaan iklim hubungan industrial yang mendukung perluasan lapangan tenaga
kerja, perlindungan dan penempatan tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri.,
penyelesaian berbagai perselisihan hubungan industrial secara cepat, murah, dan
berkeadilan, mempercepat proses penerbitan perizinan ketenagakerjaan, penciptaan
pasar tenaga kerja fleksibel dan produktif, dan terobosan paradigma pembangunan
transmigrasi dalam rangka perluasan lapangan kerja; dan (5) bidang usaha kecil,
menengah, dan koperasi.

G. PELUANG DAN TANTANGAN BAGI UKM DI DAERAH

Munculnya krisis ekonomi, timbulnya krisis politik dan sosial pada saat
lensenya pemerintahan soeharto hilangnya kepecayaan masyarakat kepada
pemerintah dan semakin parahnya hak asasi manusia, orde baru sangat tertekan,
untuk menuntut kemerdekaan atau mendapatakan otonomi yang lebih luas, isu
disintegrasipunmai menyeruak, menutut sodakh(1999), ada tiga faktor yang memicu
bangkitnya tuntutat tersebut, yakni
- Sentiment regional
- Ketimpangan dan ketidakberdayaan ekonomi dan
- Resesi dan pelanggaran hak-hak masyarakat local
15
Gerakan disintegrasi tersebut akhirnya memunculkan dua undang-undang
yang memberikan keleluasaan daerah dalam mewujudkan otonomi daerah yang luas
yaitu UU No,22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No.25 tahun 1999
tentang perimbangan pembangunan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah
dapat di anggap sebagai salah satu konsekuensi positif dari proses reformasi sejak
krisis ekonomi terjadi dan UU ini bertujuan untuk mewujudkan landasan hukum yang
kuat bagi penyelenggaraan otonomi daerah dengan memberikan keleluasaan kepada
daerah untuk menjadikan daerah otonom yang mandiri dalam rangka menegakkan
system pemerintahaan Negara kesatuaan Republik Indonesia sesuai UUD 1945.
Survei BPS 2003 terhadap UM (usaha mikro) dan UK (usaha kecil) di industri
manufaktur menunjukkan permasalahan-permasalahan klasik dari kelompok usaha ini
di Indonesia. Seperti yang dapat dilihat, permasalahan utama yang dihadapi sebagian
besar dari responden adalah keterbatasan modal dan kesulitan pemasaran. Walaupun
banyak skim-skim kredit khusus bagi pengusaha kecil, sebagian besar dari responden
terutama yang berlokasi di pedalaman/perdesaan tidak pernah mendapatkan kredit
dari bank atau lembaga-lembaga keuangan lainnya. Mereka tergantung sepenuhnya
pada uang/tabungan mereka sendiri, uang/bantuan dana dari saudara/kenalan atau
dari sumber-sumber informal untuk mendanai kegiatan produksi mereka.
Alasannya bisa macam-macam; ada yang tidak pernah dengar atau menyadari
adanya skim-skim khusus tersebut, ada yang pernah mencoba tetapi ditolak karena
usahanya dianggap tidak layak untuk didanai atau mengundurkan diri karena ruwetnya
prosedur administrasi, atau tidak bisa memenuhi persyaratan-persyaratan termasuk
penyediaan jaminan, atau ada banyak pengusaha kecil yang dari awalnya memang
tidak berkeinginan meminjam dari lembaga-lembaga keuangan formal.
Dalam hal pemasaran, UMKM pada umumnya tidak punya sumber-sumber
daya untuk mencari, mengembangkan atau memperluas pasar-pasar mereka sendiri.
Sebaliknya, mereka sangat tergantung pada mitra dagang mereka (misalnya pedagang
keliling, pengumpul, atau trading house) untuk memasarkan produk-produk mereka,
atau tergantung pada konsumen yang datang langsung ke tempat-tempat produksi
mereka atau, walaupun persentasenya kecil sekali, melalui keterkaitan produksi
dengan UB lewat sistem subcontracting. Hal yang menarik dari hasil survei ini adalah
bahwa walaupun sudah bukan rahasia lagi bahwa penyebab utama rendahnya
produktivitas di UMKM di Indonesia (dan di NSB pada umumnya) adalah keterbatasan
teknologi dan SDM, Tabel diatas menunjukkan bahwa UMK yang disurvei tidak
menyebut keterbatasan teknologi dan SDM sebagai salah satu permasalahan serius
mereka. Hal ini bisa disebabkan oleh ketidak-sadaran mereka bahwa produktivitas
mereka rendah atau mereka menghadapi kesulitan pemasaran karena produk-produk
yang mereka buat tidak kompetitif dibandingkan produk-produk yang sama buatan UB
atau impor, dan ini disebabkan terutama oleh rendahnya teknologi atau kualitas SDM.
Dengan di berlakukanya otonomi daerah , UKM di daerah akan menghadapi
suatu perubahan besar yang sangat berpengaruh terhadap iklim berusaha/persaingan
di daerah. Oleh sebab itu semua pengusaha UKM yang ada di daerah harus dapat
beradaptasi untuk menyesuaikan menghadapi perubahaan tersebut.

H. STRATEGI PENGEMBANGAN UMKM

1. Prospek bisnis UKM dalam era perdagangan bebas dan otonomi daerah sangat
tergantung pada upaya yang ditempuh oleh pemerintah dalam mengem- bangkan
bisnis UKM. Salah satunya melalui pengembangan iklim usaha yang kondusif.
Untuk mencapai iklim usaha yang kondusif ini, diperlukan penciptaan lingkungan
kebijakan yang kondusif bagi UKM. Kebijakan yang kondusif dimaksud dapat
diartikan sebagai lingkungan kebijakan yang transparan dan tidak membebani UKM
16
secara finansial dan berlebihan. Ini berarti berbagai campur tangan pemerintah
yang berlebihan, baik pada tingkat pusat maupun daerah harus dihapuskan,
khususnya penghapusan berbagai peraturan dan persyaratan administrasi yang
rumit dan menghambat kegiatan UKM.
2. Pengembangan UKM yang diarahkan pada supply driver strategy sebaiknya
diarahkan pada pengembangan program UKM yang berorientasi pasar, dan
didasarkan atas pertimbangan efisiensi dan kebutuhan riel UKM (market oriented,
demand driven programs). Fokus dari program ini yakni pertumbuhan UKM yang
efisiensi yang ditentukan oleh pertumbuhan produktivitas UKM yang berkelanjutan,
dan pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan UKM yang berkelanjutan.
3. Menghadapi tantangan globalisasi ekonomi dan persaingan bebas, struktur yang
timpang dan kesenjangan akses tidak relevan lagi untuk dipertahankan. Untuk itu
perlu dilakukan reformasi struktur usaha yang ada saat ini. Dalam konteks
reformasi ini, menjadi sangat relevan untuk memberi ruang gerak yang longgar
kepada UKM guna mengejar ketertinggalan namun juga dengan strategi yang
tepat.
4. Liberalisasi perdagangan seharusnya juga membuka peluang bagi perluasan pasar
produk UKM itu sendiri, melalui pemunculan institusi, yang secara spesifik
ditujukan untuk membuka dan memperluas akses pasar UKM. Diantara bentuk
institusi yang dinilai mampu memainkan fungsi tersebut adalah penguatan trading
house sebagai pintu saluran ekspor produk UKM dan pola subkontrak.
5. Pembentukan aliansi strategis antara UKM dengan usaha-usaha asing merupakan
mekanisme yang paling penting dan efektif untuk alih informasi bisnis, teknologi,
kemampuan manajerial serta organisatoris, serta akses ke pasar ekspor bagi UKM
dari pada bantuan yang diberikan oleh instansi pemerintah. Aliansi strategis ini
berbeda dengan program kemitraan dan Bapak angkat yang kita kenal selama ini.
Dalam aliansi ini, maka UKM ataupun usaha asing atau usaha domestic melakukan
kerjasama yang didasarkan atas kemauan dan kepentingan bersama.
6. Strategi lain untuk mendorong kinerja dan peran UKM dalam pasar bebas serta
mengatasi kesenjangan yang terjadi, adalah dengan menumbuhkan usaha
menengah dalam membangun struktur industri. Strategi pengembangan usaha
menengah ini praktis banyak dilupakan sejalan dengan kurang diperhatikannya
entitas dan posisi usaha menengah dalam pertumbuhan ekonomi maupun dalam
kebijakan pengembangan UKM.
7. Pengembangan institusi penunjang ekspor Indonesia di luar negeri dengan
merevitalisasi
Peran Atase Perdagangan dan atau Kabid ekonomi di Kedutaan
Besar/Perwakilan Indonesia diluar negeri serta mengaktifkan kembali Indonesian
Trade Promotion Center (ITPC) dengan melibatkan pengusaha Indonesia yang
sudah sangat memahami seluk beluk perdagangan ekspor di negara yang
bersangkutan. Optimaslisasi peran institusi pendukung ekspor ini diharapkan
mampu menyediakan informasi pasar internasional bagi para eksportir, memetakan
para buyer yang mampu dan memiliki komitmen untuk menampung serta
memasarkan produk Indonesia dinegara yang bersangkutan serta memberi perlin
dungan dan konsultasi bisnis kepada eksportir Indonesia yang akan memasuki
pasar luar negeri termasuk pemberian konsultasi dibidang prosedur dan
persyaratan ekspor yang harus dipenuhi.

I. FAKTOR-FAKTOR UKM MAMPU BERTAHAN

Pertama, sebagian besar usaha kecil menghasilkan barang-barang konsumsi


(consumtion goods), khususnya yang tidak tahan lama. Kelompok barang ini dicirikan
17
oleh permintaan barang terhadap perubahan pendapatan (income elasticity of
demand) yang relative rendah. Artinya, seandainya terjadi peningkatan pendapatan
masyarakat, permintaan atas kelompok barang ini tidak akan meningkat banyak;
sebaliknya, jika pendapatan masyarakat merosot sebagai akibat dari krisis
sebagaimana yang terjadi dalam dua tahu terakhir ini maka permintaan tidak
akanbanyak berkurang. Dengan demikian, secara rata-rata tingka kemunduran usaha
kecil tidak separah yang dialami oleh kebnyakan usaha besar, terutama usaha yang
selam ini bisa bertahan karena topangan proteksi, fasilitas istimewa, dan praktik-praktik
KKN lainya.
Kedua, mayoritas usaha kecil lebihmengandalkan pada non bankin finacing
dalam aspek pendanaan usaha. Hal ini terjadi karena akses usaha kecil pada fasillitas
perbankan sangat terbatas. Maka, bisa dipahami kalau ditengah keterpurukan sector
perbankan justru usaha kecil tidak banyak terpengaruh. Oleh karena itu, jangan
sampai kebijakan pemerintah terlalu mengedepankan aspek perdana usaha kecil
dengan beragam paket jredit usaha menggali liang kubur bagi pengusaha kecil.
Jangan sampai pula, pemberiankredit murah lebih merupakan komoditi politik bagi
keuntungan segellintir orang atau kelompok-kelompok tertentu saja.
Ketiga, pada umumnya usaha kecil melakukan spesialisasi produksi yang ketat,
dalam artian hanya memproduksi barang atau jasa tertantu saja (keterbaliakn dari
konglomerasi). Modal yang terbatas menjadi salah satu factor yang
melatabelakanginya. Dilain pihak, mengingat struktur pasar yang mereka hadapi
mengarah pada persaingan sempurna (banyak produsen dan banyak konsumen),
tingkat persaingan sangatlah ketat. Akibatnya, yang banngkrut atau keluar dari arena
usaha relative banyak, namun pemain baru yang masukpun cukup banyak pula,
sehingga secara netto jumlah pelaku tidak akan mengalami pengurangan yang berarti.
Spesialisasi dan struktur pasang persaingan sempurna inilah yang mambuat usaha
kecil cenderung lebih fleksibel dalam memilih dan berganti jenis usaha, apalagi
mengingat bahwa usah kecil tidak membutuhkan kecanggihan teknologi dankualitas
sumberdaya manusia yang tinggi.
Ke-empat, terbentuknya usaha-usaha kecil, terutama disektor informal, sebagai
akibat dari banyaknya pemutusan hubungan kerja disektor formal akibat krisis ekonomi
yang berkepanjangan. Banyaknya unit usaha baru disekitar informal inipada kahirnya
membuat tidak terjadinya penurunan jumlah UKM dan koperasi, bahkan sangat
mungkin mengalami peningkatan.

DAFTAR PUSTAKA

Kementerian Koperasi dan UKM. Rencana Strategis Pembangunan Koperasi dan


UMKM
Periode Tahun 2004 – 2009. Jakarta. 2004.
Kementerian Koperasi dan UKM. Laporan Kinerja Kementerian Koperasi dan UKM
Periode
Tahun 2001 – 2004. Jakarta. 2004.
Kementerian Koperasi dan UKM. Rencana Program Kementerian Koperasi dan UKM
Periode
Tahun 2004 – 2009. Jakarta. 2004.
Soetrisno, Noer (2003b), Koperasi Indonesia: Potret dan Tantangan, Jurnal Ekonomi
Rakyat, II (5), Agustus.
Tambunan. Tulus T.H. (2006), Perekonomian Indonesia Sejak Orde Lama hingga
Pasca Krisis, Jakarta: PT. Quantum Pustaka.

18
BAB PERDAGANGAN INTERNASIONAL
12

Teguh Indrayadi, Linca Azri H, Desy Wulandari,


Reni Oktiansilawati, Rangga Mandala PL

Kebijaksanaan neraca pembayaran merupakan keseluruhan bagian dari


kebijaksanaan pembangunan dan mempunyai peranan penting dalam pemantapan
stabilitas di bidang ekonomi yang diarahkan guna mendorong pemerataan
pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan perluasan kesempatan kerja. Di samping itu
juga diusahakan tercapainya perubahan mendasar dalam struktur produksi dan
perdagangan luar negeri sehingga dapat meningkatkan ketahanan ekonomi Indonesia
terhadap tantangan ekonomi dunia.
Di bidang perdagangan, kebijaksanaan ditujukan untuk meningkatkan efisiensi
dan produktivitas industri dalam negeri, menunjang pengembangan ekspor nonmigas,
memelihara kestabilan harga dan penyediaan barang-barang yang dibutuhkan di dalam
negeri serta menunjang iklim usaha yang makin menarik bagi penanaman modal.
Kebijaksanaan di bidang pinjaman luar negeri melengkapi kebutuhan pembiayaan
pembangunan di dalam negeri, dan diarahkan untuk menjaga kestabilan perkem-
bangan neraca pembayaran secara keseluruhan. Kebijaksanaan kurs devisa
diarahkan untuk mendorong ekspor nonmigas dan mendukung kebijaksanaan moneter
dalam negeri.

A. Pengertian Perdagangan Internasional

Perdagangan Internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu


negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang
dmaksud dapat berupa antar perorangan (individu dengan individu), antara individu dengan
pemerintah suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain.Bila
dibandingkan dengan pelaksanaan perdagangan di dalam negri, maka perdagangan
internasional sangatlah rumit dan kompleks. Kerumitan ini disebabkan oleh faktor-faktor
antara lain :

 Pembeli dan penjual terpisah oleh batas-batas kenegaraan


2. Barang harus dikirim dan diangkut dari suatu negara kenegara lainnya melalui
bermacam peraturan seperti pabean, yang bersumber dari pembatasan yang
dikeluarkan oleh masing-masing pemerintah.
3. Antara satu negara dengan negara lainnya terdapat perbedaan dalam bahasa, mata
uang, taksiran dan timbangan, hukum dalam perdagangan dan sebagainya.

Teori Perdagangan Internasional :

1) Menurut Amir M.S., bila dibandingkan dengan pelaksanaan perdagangan di dalam


negeri, perdagangan internasional sangatlah rumit dan kompleks. Kerumitan tersebut
antara lain disebabkan karena adanya batas-batas politik dan kenegaraan yang dapat
menghambat perdagangan, misalnya dengan adanya bea, tarif, atau quota barang
impor. Selain itu, kesulitan lainnya timbul karena adanya perbedaan budaya, bahasa,
mata uang, taksiran dan timbangan, dan hukum dalam perdagangan.
2) Model Ricardian memfokuskan pada kelebihan komparatif dan mungkin merupakan
konsep paling penting dalam teori pedagangan internasional. Dalam Sebuah model
1
Ricardian, negara mengkhususkan dalam memproduksi apa yang mereka paling baik
produksi. Tidak seperti model lainnya, rangka kerja model ini memprediksi dimana
negara-negara akan menjadi spesialis secara penuh dibandingkan memproduksi
bermacam barang komoditas. Juga, model Ricardian tidak secara langsung
memasukan faktor pendukung, seperti jumlah relatif dari buruh dan modal dalam
negara.
3) Model Heckscgher-Ohlin dibuat sebagai alternatif dari model Ricardian dan dasar
kelebihan komparatif. Mengesampingkan kompleksitasnya yang jauh lebih rumit model
ini tidak membuktikan prediksi yang lebih akurat. Bagaimanapun, dari sebuah titik
pandangan teoritis model tersebut tidak memberikan solusi yang elegan dengan
memakai mekanisme harga neoklasikal kedalam teori perdagangan internasional.

Teori ini berpendapat bahwa pola dari perdagangan internasional ditentukan oleh
perbedaan dalam faktor pendukung. Model ini memperkirakan kalau negara-negara
akan mengekspor barang yang membuat penggunaan intensif dari faktor pemenuh
kebutuhan dan akan mengimpor barang yang akan menggunakan faktor lokal yang
langka secara intensif. Masalah empiris dengan model H-o, dikenal sebagai Pradoks
Leotief, yang dibuka dalam uji empiris oleh Wassily Leontief yang menemukan bahwa
Amerika Serikat lebih cenderung untuk mengekspor barang buruh intensif dibanding
memiliki kecukupan modal.

Perdagangan internasional berbeda dengan perdagangan dalam negeri. Selain dari


cakupan wilayahnya, kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada perdagangan internasional
juga berbeda dengan perdagangan dalam negeri.

Tabel
Perbedaan Perdagangan Dalam Negeri dengan Perdagangan Luar Negeri

B. Penyebab Datangnya Perdagangan Internasional

a) Revolusi Informasi dan Transportasi

Ditandai dengan berkembangnya era informasi teknologi, pemakaian sistem berbasis


komputer serta kemajuan dalam bidang informasi, penggunaan satelit serta
digitalisasi pemrosesan data, berkembangnya peralatan komunikasi serta masih
banyak lagi.

2
b) Interdependensi Kebutuhan

Masing-masing negara memiliki keunggulan serta kelebihan di masing-masing


aspek, bisa di tinjau dari sumber daya alam, manusia, serta teknologi. Kesemuanya
itu akan berdampak pada ketergantungan antara negara yang satu dengan yang
lainnya.

c) Asas Keunggulan Komparatif


Keunikan suatu negara tercermin dari apa yang dimiliki oleh negara tersebut yang
tidak dimiliki oleh negara lain. Hal ini akan membuat negara memiliki keunggulan
yang dapat diandalkan sebagai sumber pendapatan bagi negara tersebut.

d) Kebutuhan Devisa
Perdagangan internasional juga dipengaruhi oleh faktor kebutuhan akan devisa
suatu negara. Dalam memenuhi segala kebutuhannya setiap negara harus memiliki
cadangan devisa yang digunakan dalammelakukan pembangunan, salah satu
sumber devisa adalah pemasukan dari perdagangan internasional.

e) Perbedaan Hasil Produksi

Tiap-tiap negara mempunyai kekayaan alam, modal, teknologi, dan kebudayaan


yang berbeda. Oleh karena itu, tiap-tiap negara mempunyai hasil produksi yang
berbeda-beda. Ada negara yang dapat memproduksi suatu barang atau jasa yang
melimpah, sementara ada negara yang kekurangan hasil produksi barang atau jasa
tersebut tetapi memiliki barang atau jasa lainnya. Contoh Indonesia banyak
menghasilkan produksi pertanian, Korea dan Jepang banyak menghasilkan barang-
barang elektronik.

f) Perbedaan Harga Barang

Harga suatu barang di tiap-tiap negara berbeda. Perbedaan harga inilah yang
mendorong adanya perdagangan internasional. Misalnya, harga komputer di Korea
Selatan dan di Jepang lebih murah daripada harga di Indonesia mendorong orang
Indonesia membeli komputer tersebut di Korea atau Jepang untuk dijual di
Indonesia. Mereka melakukan perdagangan karena memperoleh keuntungan
sebagai akibat dari adanya perbedaan harga jual dan harga beli.

g) Adanya keinginan untuk meningkatkan produktivitas

Tiap-tiap negara mempunyai kebutuhan akan barang yang beraneka ragam. Namun
secara ekonomi, tiap negara lebih baik memproduksi beberapa macam barang saja
kemudian melakukan perdagangan internasional. Dengan spesialisasi ini
produktivitas tiap negara menjadi lebih tinggi.

C. Jenis-jenis perdagangan internasional

Perdagangan internasiaonal atau antara negara dapat dilakukan dengan berbagai


macam cara diantaranya :

3
1. Ekspor
Dibagi dalam beberapa cara antara lain :

a. Ekspor Biasa
Pengiriman barang keluar negri sesuai dengan peraturan yang berlaku, yang
ditujukan kepada pembeli di luar negri, mempergunakan L/C dengan ketentuan
devisa.

b. Ekspor Tanpa L/C


Barang dapat dikirim terlebih dahulu, sedangkan eksportir belum menerima L/C
harus ada ijin khusus dari departemen perdagangan

2. Barter
Pengiriman barang ke luar negri untuk ditukarkan langsung dengan barang yang
dibutuhkan dalam negri.

Jenis barter antara lain :

a. Direct Barter
Sistem pertukaran barang dengan barang dengan menggunakan alat penetu nilai
atau lazim disebut dengan denominator of valuesuatu mata uang asing dan
penyelesaiannya dilakukan melalui clearing pada neraca perdagangan antar
kedua negara yang bersangkutan.

b. Switch Barter
Sistem ini dapat diterapkan bilamana salah satu pihak tidak mungkin
memanfaatkan sendiri barang yang akan diterimanya dari pertukaran tersebut,
maka negara pengimpor dapat mengambil alih barang tersebut ke negara ketiga
yang membutuhkannya.

c. Counter Purchase
Suatu sistem perdagangan timbal balik antar dua negara. Sebagai contoh suatu
negara yang menjual barang kepada negara lain, mka negara yang
bersangkutan juga harus membeli barang dari negara tersebut.

d. Buy Back Barter


Suatu sistem penerapan alih teknologi dari suatu negara maju kepada negara
berkembang dengan cara membantu menciptakan kapasitas produksi di negara
berkembang , yang nantinya hasil produksinya ditampung atau dibeli kembali
oleh negara maju.

D. Komoditas Ekspor dan Impor Indonesia

a. Komoditas Ekspor

Komoditas ekspor adalah barang-barang yang dijual ke luar negeri. Orang yang melakukan
kegiatan ekspor disebut eksportir. Berikut ini beberapa barang-barang yang diekspor oleh
Indonesia.

4
Tabel
Beberapa Komoditas Ekspor Indonesia

b . Komoditas Impor

Komoditas impor adalah barang-barang yang dibeli dari luar negeri. Barang-barang yang
diimpor terdiri atas kelompok barang konsumsi, bahan baku, dan barang modal. Jenis
barang-barang yang diimpor dapat kalian lihat pada tabel berikut ini.

Tabel
Beberapa Komoditas Impor Indonesia

E. Alat Pembayaran dalam Perdagangan Internasional

Ketika melakukan transaksi jual beli, untuk mendapatkan barang yang kalian inginkan,
tentunya kalian akan membayarnya dengan uang yang berlaku di tempat tersebut. Sama
halnya perdagangan internasional, pada saat terjadi kegiatan ekspor dan impor barang,
uang yang digunakan sebagai alat pembayarannya, yaitu berupa devisa.

 Pengertian Devisa

Devisa adalah alat pembayaran luar negeri atau semua barang yang dapat diterima
di dunia internasional sebagai alat pembayaran. Beberapa barang yang dapat digunakan
sebagai devisa atau alat pembayaran luar negeri, yaitu emas dan perak, valuta asing, dan
wesel asing. Negara yang mempunyai banyak devisa berarti mempunyai kekayaan dalam
bentuk mata uang asing yang besar di dalam negeri. Devisa yang diperoleh suatu negara
dapat berupa devisa umum dan devisa kredit. Devisa umum adalah devisa yang diperoleh
dari kegiatan perdagangan antarnegara dan tidak ada kewajiban untuk mengembalikan.
Adapun devisa kredit adalah devisa yang diperoleh dari pinjaman atau bantuan dari luar
negeri dan ada kewajiban untuk mengembalikan.

5
 Fungsi Devisa

Setiap negara memerlukan devisa untuk melancarkan perdagangannya dengan


negara lain. Negara yang memiliki devisa tidak akan mengalami kesulitan dalam
pembayaran luar negeri. Devisa mempunyai beberapa fungsi berikut ini.

1) Membiayai perdagangan luar negeri yang berupa impor barang dan jasa.
2) Membayar pokok utang, cicilan utang, bunga utang atau utang luar negeri.
3) Membiayai pembinaan dan pemeliharaan hubungan luar negeri, yaitu untuk kedutaan,
konsulat, biaya kontingen olahraga, misi
kebudayaan ke luar negeri.
4) Mengatasi kesulitan perekonomian negara dalam kaitannya dengan pembayaran luar
negeri.
5) Memudahkan terjadinya transaksi dalam perdagangan internasional.

 c. Sumber Devisa

Devisa yang diperoleh suatu negara dapat berasal dari berbagai sumber. Berikut ini
beberapa sumber devisa.

1 ) Ekspor barang

Apabila suatu negara mengekspor barang ke negara lain, maka negara tersebut akan
memperoleh devisa dari negara pengimpor berupa devisa. Semakin banyak barang
yang diekspor, maka devisa yang akan diperoleh juga semakin banyak.

2 ) Penerimaan jasa

Penerimaan jasa adalah penerimaan devisa yang berasal dari pengiriman jasa-jasa ke
luar negeri. Apabila suatu negara mengadakan atau menyelenggarakan jasa untuk
negara lain, maka negara tersebut akan memperoleh devisa. Misalnya Indonesia
mengirimkan tenaga kerjanya ke negara lain, berarti Indonesia akan memperoleh devisa
atas jasa yang telah digunakan oleh negara lain. Selain pengiriman jasa tenaga kerja,
ekspor jasa dapat berupa jasa pengiriman barang-barang ke luar negeri serta jasa dari
pelabuhan dan bandar udara.

3 ) Penerimaan dari Turis mancanegara

Banyaknya turis yang datang ke Indonesia dapat menambah devisa negara. Turis-turis
yang datang dari negara lain, tentunya akan membawa uang dari negara asalnya. Akan
tetapi uang dari negaranya tidak bisa digunakan di Indonesia. Untuk itu, para turis harus
menukarkan uangnya menjadi mata uang rupiah. Penukaran uang asing menjadi uang
rupiah akan menjadi devisa bagi Indonesia. Semakin banyak turis mancanegara yang
datang maka pemasukan devisa akan semakin banyak.

4 ) Pinjaman luar neger negeri

Pinjaman luar negeri yang berupa uang, secara langsung dapat menambah devisa.
Pinjaman ini dapat digunakan untuk membayar semua pembiayaan ke luar negeri.
Meskipun ada kewajiban untuk mengembalikan, akan tetapi uang yang diperoleh dari
luar negeri tetap akan menambah devisa negara.
6
5 ) Bantuan luar negeri

Bantuan yang diperoleh dari luar negeri dapat berupa barang ataupun uang. Apabila
bantuannya berupa barang, maka hal ini dapat menghemat devisa negara. Mengapa?
Karena negara dapat memperoleh barang tanpa harus membayarnya. Sedangkan
bantuan yang berupa uang, otomatis dapat langsung menambah devisa negara.

6 ) Pungutan bea masuk

Bea masuk yang diperoleh dari pungutan biaya barang-barang luar negeri yang
dimasukkan ke Indonesia, dapat menambah devisa. Semakin banyak arus barang luar
negeri yang masuk ke Indonesia maka devisa yang diperoleh akan semakin banyak.
Akan tetapi pada kenyataannya, banyak barang-barang yang masuk tanpa ada izin
(diselundupkan), sehingga hal ini dapat mengurangi perolehan devisa bagi negara.

7) Kiriman uang asing dari luar negeri ke dalam negeri

Jumlah TKI yang bekerja di luar negeri cukup banyak, sehingga dapat memberikan
sumbangan devisa ke negara kita cukup besar. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan
pengiriman uang asing dari TKI yang bekerja di luar negeri untuk keluarganya yang ada
di Indonesia. Uang asing yang dikirimkan dari luar negeri harus ditukar menjadi uang
rupiah di bank devisa. Penukaran inilah yang dapat menambah simpanan devisa bagi
negara.

F. Kebijakan Perdagangan Internasional

Kebijakan yang diberlakukan pada perdagangan internasional, bertujuan untuk melindungi


industri dalam negeri. Kebijakan untuk melindungi barang-barang dalam negeri dari
persaingan barang-barang impor disebut proteksi. Proteksi dalam perdagangan
internasional terdiri atas kebijakan tarif, kuota, larangan impor, subsidi, dan dumping.

1. Tarif
Tarif adalah hambatan perdagangan berupa penetapan pajak atas barang-barang impor.
Apabila suatu barang impor dikenakan tarif, maka harga jual barang tersebut di dalam
negeri menjadi mahal. Hal ini menyebabkan masyarakat enggan untuk membeli barang
tersebut, sehingga barang-barang hasil produksi dalam negeri lebih banyak dinikmati oleh
masyarakat.

2. Kuota
Kuota adalah bentuk hambatan perdagangan yang menentukan jumlah maksimum suatu
jenis barang yang dapat diimpor dalam suatu periode tertentu. Sama halnya tarif, pengaruh
diberlakukannya kuota mengakibatkan harga-harga barang impor menjadi tinggi karena
jumlah barangnya terbatas. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya pembatasan jumlah
barang impor sehingga menyebabkan biaya rata-rata untuk masing-masing barang
meningkat. Dengan demikian, diberlakukannya kuota dapat melindungi barang-barang
dalam negeri dari persaingan barang luar negeri.

3. Larangan Impor
Larangan impor adalah kebijakan pemerintah yang melarang masuknya barang-barang
tertentu ke dalam negeri. Kebijakan larangan impor dilakukan untuk menghindari barang-
barang yang dapat merugikan masyarakat. Misalnya melarang impor daging sapi yang
mengandung penyakit Anthrax.
7
4. Subsidi
Subsidi adalah kebijakan pemerintah dengan memberikan bantuan kepada produk dalam
negeri. Subsidi yang dilakukan pemerintah dapat berupa keringanan pajak, pemberian
fasilitas, pemberian kredit bank yang murah ataupun pemberian hadiah atau insentif dari
pemerintah. Adanya subsidi, harga barang dalam negeri menjadi murah, sehingga barang-
barang hasil produksi dalam negeri mampu bersaing dengan barang-barang impor.

5. Dumping
Dumping adalah kebijakan yang dilakukan oleh suatu negara dengan cara menjual barang
ke luar negeri lebih murah daripada dijual di dalam negeri.

G. Faktor Pendorong dan Penghambat Perdagangan Internasional

Ada beberapa faktor yang mendorong semua negara di dunia melakukan perdagangan
luar negeri. Faktor-faktor pendorong tersebut terdiri atas hal-hal berikut ini.

 Perbedaan Sumber Daya Alam yang Dimiliki


Barang kebutuhan yang dapat dihasilkan oleh suatu negara tergantung pada sumber
daya alam yang dimiliki. Perbedaan sumber daya ini juga tergantung pada kondisi wilayah di
negara tersebut. Misalnya di Indonesia wilayah daratannya luas dan subur, sehingga sangat
cocok untuk pertanian, yang sebagian besar hasil produksinya berupa kelapa sawit, karet,
kopi, dan sebagainya. Sedangkan negara Singapura wilayah daratannya relatif sempit,
sehingga kegiatan pertanian atau perkebunan cukup sedikit. Singapura dikenal sebagai
negara industri yang menghasilkan beraneka ragam barang, salah satunya adalah alat-alat
elektronik. Kebutuhan hasil-hasil pertanian dipenuh dengan cara mengimpor dari negara
lain.

 Teknologi
Setiap negara memiliki teknologi yang berbeda, sehingga barang yang dihasilkannya
juga berbeda. Perbedaan-perbedaan inilah yang mendorong kegiatan pertukaran barang
antarnegara. Perbedaan teknologi tersebut memungkinkan suatu negara untuk mempelajari
teknik produksi yang lebih modern dan mengimpor mesin-mesin atau alat-alat yang lebih
modern untuk mewujudkan teknik dan cara produksi yang lebih baik.

 Penghematan Biaya Produksi


Perdagangan internasional memungkinkan suatu negara memproduksi barang
dalam jumlah besar sehingga biaya produksi menjadi rendah. Misalnya Indonesia banyak
menghasilkan barang-barang seperti padi, minyak kelapa sawit, kayu lapis, dan sebagainya.
Namun, yang paling menguntungkan Indonesia bila memproduksi tekstil dan kayu lapis
untuk diekspor ke berbagai negara, karena dapat menghemat biaya produksi.

 Perbedaan Selera
Setiap negara dalam memproduksi barang-barang, kemungkinan mempunyai
kesamaan. Meskipun demikian setiap negara mempunyai selera yang berbeda-beda. Hal
inilah yang mendorong kegiatan perdagangan antarnegara. Misalnya Jepang dan Korea
Selatan sama-sama menghasilkan barang-barang elektronik dan ikan tuna dalam jumlah
yang hampir sama, tetapi orang Jepang lebih suka ikan tuna dan orang Korea Selatan lebih
suka produk elektronik. Pada kondisi tersebut, negara Jepang lebih baik mengekspor
barang-barang elektronik, sedangkan Korea Selatan lebih baik untuk mengekspor ikan tuna.
Dengan demikian, kepuasan dari setiap negara dapat terpenuhi.

8
Faktor-Faktor Penghambat Perdagangan Internasional:

Setiap negara selalu menginginkan perdagangan yang dilakukan antarnegara dapat


berjalan dengan lancar. Namun, terkadang kegiatan perdagangan antarnegara juga
mengalami beberapa hambatan. Hambatan-hambatan inilah yang dapat merugikan negara-
negarayangmelakukan perdagangan internasional. Berikut ini beberapa hambatan yang
sering muncul dalam perdagangan internasional.

a. Perbedaan Mata Uang Antarnegara


Pada umumnya mata uang setiap negara berbeda-beda. Perbedaan inilah yang
dapat menghambat perdagangan antarnegara. Negara yang melakukan kegiatan
ekspor, biasanya meminta kepada negara pengimpor untuk membayar dengan
menggunakan mata uangnegarapengekspor. Pembayarannya tentunya akan
berkaitan dengan nilai uang itu sendiri. Padahal nilai uang setiap negara berbeda-
beda. Apabila nilai mata uang negara pengekspor lebih tinggi daripada nilai mata
uang negara pengimpor, maka dapat menambahpengeluaranbagi negara
pengimpor. Dengan demikian, agar kedua negara diuntungkan dan lebih mudah
proses perdagangannya perlu adanya penetapan mata uang sebagai standar
internasional.

b. Kualitas Sumber Daya yang Rendah


Rendahnya kualitas tenaga kerja dapat menghambat perdagangan internasional.
Mengapa? Karena jika sumber daya manusia rendah, maka kualitas dari hasil
produksi akan rendah pula. Suatu negara yang memiliki kualitas barang rendah,
akan sulit bersaing dengan barang-barang yang dihasilkan oleh negara lain yang
kualitasnya lebih baik. Hal ini tentunya menjadi penghambat bagi negara yang
bersangkutan untuk melakukan perdagangan internasional.

c. Pembayaran Antarnegara Sulit dan Risikonya Besar


Pada saat melakukan kegiatan perdagangan internasional, negara pengimpor akan
mengalamikesulitandalamhalpembayaran.Apabilamembayarnya dilakukan secara
langsung akan mengalami kesulitan. Selain itu, juga mempunyai risiko yang besar.
Oleh karena itu negara pengekspor tidak mau menerima pembayaran dengan tunai,
akan tetapi melalui kliring internasional atau telegraphic transfer atau
menggunakan L/C.

d. Adanya Kebijaksanaan Impor dari Suatu Negara


Setiap negara tentunya akan selalu melindungi barang-barang hasil produksinya
sendiri. Mereka tidak ingin barang-barang produksinya tersaingi oleh barang-barang
dari luar negeri. Oleh karena itu, setiap negara akan memberlakukan kebijakan untuk
melindungi barang-barang dalam negeri. Salah satunya dengan menetapkan tarif
impor. Apabila tarif impor tinggi maka barang impor tersebut akan menjadi lebih
mahal daripada barang-barang dalam negeri sehingga mengakibatkan masyarakat
menjadi kurang tertarik untuk membeli barang impor. Hal itu akan menjadi
penghambat bagi negara lain untuk melakukan perdagangan.
e. Terjadinya Perang
perang dapat menyebabkan hubungan antarnegara terputus. Selain itu, kondisi
perekonomian negara tersebut juga akan mengalami kelesuan. Sehingga hal ini
dapatmenyebabkan perdagangan antarnegara akan terhambat.
f. Adanya Organisasi-Organisasi Ekonomi Regional
Biasanya dalam satu wilayah regional terdapat organisasiorganisasi ekonomi. Tujuan
organisasi-organisasi tersebut untuk memajukan perekonomian negara-negara
anggotanya. Kebijakan serta peraturan yang dikeluarkannya pun hanya untuk

9
kepentingannegaranegaraanggota. Sebuah organisasi ekonomi regional akan
mengeluarkan peraturan ekspor dan impor yang khusus untuk negara anggotanya.
Akibatnya apabila ada negara di luar anggota organisasi tersebut melakukan
perdagangan dengan negara anggota akan mengalami kesulitan.

H. Peraturan/Regulasi Perdagangan Internasional

Umumnya perdagangan diregulasikan melalui perjanjian bilatera antara dua negara.


Selama berabad-abad dibawah kepercayaan dalam Merkantilisme kebanyakan negara
memiliki tarif tinggi dan banyak pembatasan dalam perdagangan internasional. pada
abad ke 19, terutama di Britania, ada kepercayaan akan perdagangan bebas menjadi
yang terpenting dan pandangan ini mendominasi pemikiran diantaranegara barat untuk
beberapa waktu sejak itu dimana hal tersebut membawa mereka ke kemunduran besar
Britania. Pada tahun-tahun sejak Perang Dunia II, perjanjian multilateral kontroversial
seperti GATT dab WTO memberikan usaha untuk membuat regulasi lobal dalam
perdagangan internasional. Kesepakatan perdagangan tersebut kadang-kadang
berujung pada protes dan ketidakpuasan dengan klaim dari perdagangan yang tidak
adil yang tidak menguntungkan secara mutual.
Perdagangan bebas biasanya didukung dengan kuat oleh sebagian besar negara
yang berekonomi kuat, walaupun mereka kadang-kadang melakukan proteksi selektif
untuk industri-industri yang penting secara strategis seperti proteksi tarif untuk agrikultur
oleh Amerika Serikat dan Eropa. Belanda dan Inggris Raya keduanya mendukung
penuh perdagangan bebas dimana mereka secara ekonomis dominan, sekarang
Amerika Serikat, Inggris, Australia dan Jepang merupakan pendukung terbesarnya.
Bagaimanapun, banyak negara lain (seperti India, Rusia, dan Tiongkok) menjadi
pendukung perdagangan bebas karena telah menjadi kuat secara ekonomi. Karena
tingkat tarif turun ada juga keinginan untuk menegosiasikan usaha non tarif, termasuk
investasi luar negri langsung, pembelian, dan fasilitasi perdagangan. Wujud lain dari
biaya transaksi dihubungkan dnegan perdagangan pertemuan dan prosedur cukai.
Umumnya kepentingan agrikultur biasanya dalam koridor dari perdagangan bebas
dan sektor manufaktur seringnya didukung oleh proteksi. Ini telah berubah pada
beberapa tahun terakhir, bagaimanapun. Faktanya, lobi agrikultur, khususnya di
Amerika Serikat, Eropa dan Jepang, merupakan penanggung jawab utama untuk
peraturan tertentu pada perjanjian internasional besar yang memungkinkan proteksi
lebih dalam agrikultur dibandingkan kebanyakan barang dan jasa lainnya.
Selama reses ada seringkali tekanan domestik untuk meningkatkan arif dalam
rangka memproteksi industri dalam negri. Ini terjadi di seluruh dunia selama Depresi
Besar membuat kolapsnya perdagangan dunia yang dipercaya memperdalam depresi
tersebut. Regulasi dari perdagangan internasional diselesaikan melalui World Trade
Organization pada level global, dan melalui beberapa kesepakatan regional seperti
MerCOSUR di Amerika Selatan, NAFTA antara Amerika Serikat, Kanada dan Meksiko,
dan Uni Eropa anatara 27 negara mandiri. Pertemuan Buenos Aires tahun 2005
membicarakan pembuatan dari Free Trade Area of America (FTAA) gagal total karena
penolakan dari populasi negara-negara Amerika Latin. Kesepakatan serupa seperti MAI
(Multilateral Agreement on Invesment) juga gagal pada tahun-tahun belakangan ini.

I. Manfaat Perdagangan Internasional


Menurut Sadono Sukirno, manfaat perdagangan internasional adalah sebagai
berikut.

 Memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi di negeri sendiri


Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan hasil produksi di setiap negara.
Faktor-faktor tersebut diantaranya : Kondisi geografi, iklim, tingkat penguasaan iptek
10
dan lain-lain. Dengan adanya perdagangan internasional, setiap negara mampu
memenuhi kebutuhan yang tidak diproduksi sendiri.
 Memperoleh keuntungan dari spesialisasi
Sebab utama kegiatan perdagangan luar negeri adalah untuk memperoleh
keuntungan yang diwujudkan oleh spesialisasi. Walaupun suatu negara dapat
memproduksi suatu barang yang sama jenisnya dengan yang diproduksi oleh negara
lain, tapi ada kalanya lebih baik apabila negara tersebut mengimpor barang tersebut
dari luar negeri.
 Memperluas pasar dan menambah keuntungan
Terkadang, para pengusaha tidak menjalankan mesin-mesinnya (alat produksinya)
dengan maksimal karena mereka khawatir akan terjadi kelebihan produksi, yang
mengakibatkan turunnya harga produk mereka. Dengan adanya perdagangan
internasional, pengusaha dapat menjalankan mesin-mesinnya secara maksimal, dan
menjual kelebihan produk tersebut keluar negeri.
 Transfer teknologi Modern
Perdagangan luar negeri memungkinkan suatu negara untuk mempelajari teknik
produksi yang lebih efesien dan cara-cara manajemen yang lebih modern.

J. Dampak Positif dan Negatif Perdagangan Internasional

Perdagangan internasional mempunyai dampak pada negara-negara yang terlibat.


Dampak tersebut ada yang positif dan ada yang negatif. Indonesia sebagai negara
yang juga melakukan perdagangan internasional memperoleh dampak-dampak
tersebut.

a. Dampak positif perdagangan internasional

Negara pengekspor maupun pengimpor mendapatkan keuntungan dari adanya


perdagangan internasional. Negara pengekspor memperoleh pasar dan negara
pengimpor memperoleh kemudahan untuk mendapatkan barang yang dibutuhkan.
Adanya perdagangan internasional juga membawa dampak yang cukup luas bagi
perekonomian suatu negara. Dampak tersebut antara lain sebagai berikut:

1. Mempererat persahabatan antar bangsa.


Perdagangan antarnegara membuat tiap negara mempunyai rasa saling
membutuhkan dan rasa perlunya persahabatan. Oleh karena itu, perdagangan
internasional dapat mempererat persahabatan negara-negara yang bersangkutan.

2. Menambah kemakmuran antar negara.


Perdagangan internasional dapat menaikkan pendapatan negara masing-masing. Ini
terjadi karena negara yang kelebihan suatu barang dapat menjualnya ke negara lain,
dan negara yang kekurangan barang dapat membelinya dari negara yang kelebihan.
Dengan meningkatnya pendapatan negara dapat menambah kemakmuran negara.

3. Menambah kesempatan kerja.


Dengan adanya perdagangan antarnegara, negara pengekspor dapat menambah
jumlah produksi untuk konsumsi luar negeri. Naiknya tingkat produksi ini akan
memperluas kesempatan kerja. Negara pengimpor juga mendapat manfaat, yaitu
tidak perlu memproduksi barang yang dibutuhkan sehingga sumber daya yang
dimiliki dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih menguntungkan.
4. Mendorong kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Perdagangan internasional mendorong para produsen untuk meningkatkan mutu
hasil produksinya. Oleh karena itu, persaingan perdagangan internasional
11
mendorong negara pengekspor untuk meningkatkan ilmu dan teknologinya agar
produknya mempunyai keunggulan dalam bersaing.

5. Sumber pemasukan kas negara.


Perdagangan internasional dapat meningkatkan sumber devisa negara. Bahkan,
banyak negara yang mengandalkan sumber pendapatan dari pajak impor dan
ekspor.

6. Menciptakan efesiensi dan spesialisasi.


Perdagangan internasional menciptakan spesialisasi produk. Negara-negara yang
melakukan perdagangan internasional tidak perlu memproduksi semua barang yang
dibutuhkan. Akan tetapi hanya memproduksi barang dan jasa yang diproduksi secara
efesien dibandingkan dengan negara lain.

7. Memungkinkan konsumsi yang luas bagi penduduk suatu negera.


Dengan perdagangan internasional, warga negaranya dapat menikmati barang-
barang dengan kualitas tinggi yang tidak diproduksi di dalam negeri.

b. Dampak negatif perdagangan intenasional

Adanya perdagangan internasional mempunyai dampak negatif bagi negara yang


melakukannya. Dampak negatifnya sebagai berikut:

1. Adanya ketergantungan dengan negara-negara pengimpor

Untuk memenuhi kebutuhan barang-barang yang tidak diproduksi dalam negeri,


pemerintah akan mengimpor dari negara lain. Kegiatan mengimpor ini dapat
mengakibatkan ketergantungan dengan negara pengimpor.

2. Masyarakat menjadi konsumtif

Banyaknya barang-barang impor yang masuk ke dalam negeri menyebabkan


semakin banyak barang yang ada di pasar baik dari jumlah, jenis, dan bentuknya.
Akibatnya akan mendorong seseorang untuk lebih konsumtif, karena semakin
banyak barang-barang pilihan yang dapat dikonsumsi.

3. Mematikan usaha-usaha kecil

Perdagangan internasional, dapat menimbulkan persaingan industri dengan negara-


lain. Industri yang tidak mampu bersaing tentu akan mengalami kerugian, sehingga
akan mematikan usaha produksinya. Dalam jangka panjang, hal ini dapat
menyebabkan pengangguran.

12
BAB SISTEM NILAI TUKAR DAN ALIRAN
13 MODAL PASAR KEUANGAN
GLOBAL
Astri Yuliandari S.P, Marida Manihuruk, Sugiarti, Atika Faizah

Kebijakan moneter Indonesia sampai saat ini pada dasarnya, masih


menggunakan paradigma lama yang mengandalkan mekanisme transmisi
kebijakan moneter melalui pengendalian jumlah uang beredar dalam
mempengaruhi kegiatan ekonomi. Perekonomian Indonesia yang berubah cepat
dan semakin terbuka, khususnya sejak langkah-langkah deregulasi di segala
bidang. Di tengah-tengah lingkungan perekonomian dunia yang semakin
terintegrasi, telah menyebabkan paradigma lama sistem pengendalian moneter
dengan sasaran kuantitas (monetary aggregates targetting menjadi semakin
kurang relevan. Lebih dari itu, deregulasi dan globalisasi selama ini juga telah
mendorong sektor keuangan berkembang sangat cepat ke arah bekerjanya
mekanisme pasar, timbulnya inovasi produk-produk keuangan baru dan gejala
sekuritisasi, membaurnya operasi bank dengan lembaga-lembaga keuangan
lainnya, serta terjadinya transnasionalisasi keuangan. Kesemuanya ini
menyebabkan proses penciptaan uang lebih banyak lagi terjadi di luar kendali
otoritas moneter sehingga pelaksanaan kebijakan moneter sering menjadi kurang
efektif. Di sisi lain, pasar keuangan dunia yang semakin terintegrasi dan
ditunjang oleh semakin pesatnya perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi, telah menyebabkan perpindahan modal bergerak lebih cepat dan
seringkali dalam jumlah yang besar mengikuti perkembangan ekonomi dan
perubahan kebijakan suatu negara. Sebagai akibatnya, hampir tidak mungkin
bagi otoritas moneter suatu negara untuk mengendalikan secara pasti
perkembangan agregat-agregat moneter di dalam Negeri. Sasaran agregat
moneter yang diinginkan otoritas moneter sering tidak dapat dicapai karena arus
modal internasional yang keluar maupun masuk dalam jumlah yang besar dan
dalam waktu yang singkat. Semakin sulitnya mengarahkan agregat moneter
sesuai dengan yang dikehendaki, terutama dalam jangka pendek. Masalah ini
terjadi karena uang beredar memang berada diluar kendali otoritas moneter,
dimana perkembangannya lebih banyak dipengaruhi oleh kegiatan ekonomi dan
bukan sebaliknya. Mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui suku bunga
dan nilai tukar ini, atau disebut sebagai kondisi moneter, diharapkan dapat
memberikan signal yang lebih cepat kepada otoritas moneter dalam rangka
menstabilisasikan harga.

A. Sistem Nilai Tukar

Sistem nilai tukar sering terjebak pada generalisasi tanpa melihat secara
tepat kondisi ekonomi negara bersangkutan. Ada lima preposisi yang sering
diungkapkan mengenai sistem nilai tukar. Pertama adalah suatu negara
hendaknya berupaya meningkatkan fleksibilitas nilai tukar mata uangnya. Hal ini
banyak disampaikan oleh pengambil kebijaksanaan di negara yang selama
periode 1997-1999 berperang melawan spekulan di pasar devisa, seperti
Thailand, Korea Selatan, Indonesia, Rusia, dan Brasil. Negara-negara ini menjadi
jera mempertahankan nilai tukar mata uangnya pada level tertentu karena
besarnya biaya yang telah dikeluarkan dan tanpa hasil yang jelas. Bila nilai tukar
mata uang diambang-bebaskan maka tidak perlu mempertahankan nilai tukar
pada level tertentu. Preposisi kedua, kebalikan dari preposisi pertama, yaitu
bahwa semua Negara sebaiknya mempersiapkan kelembagaan yang menunjang
sistem nilai tukar tetap. Preposisi ini timbul dari keberhasilan beberapa negara
mengatasi gejolak arus modal, seperti Argentina dan Hong Kong dengan
menganut sistem currency board. Selain itu, dimulainya pemberlakuan mata
uang Euro pada 1 Januari 1999 untuk sebelas Negara yang tergabung dalam Uni
Eropa, mendorong diterapkannya dolarisasi, yaitu pemakaian dolar Amerika
Serikat sebagai nilai tukar resmi di berbagai negara. Ini merupakan salah satu
bentuk sistem monetary union.
Preposisi ketiga adalah semua negara sebaiknya bergerak menuju ke salah
satu kelompok sistem nilai tukar yaitu bebas mengambang atau tetap, sementara
pilihan sistem di antara keduanya (intermediate regime) seperti target zone
semakin sulit dipertahankan. Preposisi ini juga kurang tepat bila diterapkan
secara luas. Preposisi keempat yaitu prediksi bahwa dunia akan terbagi ke
dalam beberapa blok mata uang kuat, seperti negara-negara Eropa
menggunakan Euro dan negara-negara Amerika memakai dolar Amerika Serikat.
Preposisi kelima menekankan pada pentingnya menciptakan stabilitas nilai
tukar tiga mata uang utama dunia, yaitu antara dolar AS, Euro dan Yen. Dengan
stabilnya ketiga mata uang uang dunia tersebut akan memudahkan negara-
negara lain yang lebih kecil perekonomiannya menentukan pilihan sistem nilai
tukar.
Kelima preposisi tersebut diungkapkan secara cermat mengamati
karakteristik berbagai negara dengan sistem nilai tukar yang dianutnya Sebagai
contoh ada beberapa karakteristik yang mengindikasikan suatu negara lebih
sesuai menggunakan sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate) daripada
sistem nilai tukar bebas (floating exchange rate). Karakteristik yang umum yaitu
perekonomian negara tersebut berukuran kecil, terbuka terhadap perdagangan
internasional, memiliki mobilitas tenaga kerja yang tinggi, dan adanya korelasi
siklus usaha dengan kondisi ekonomi negara yang menjadi patokan nilai tukar.
Karakteristik ini pada umumnya dijumpai pada negara-negara yang tergabung
kedalam suatu ‘optimum currency area’ (OCA). Negara-negara tersebut lebih
mementingkan manfaat dari kestabilan nilai tukar, dan kurang memerlukan
independensi moneter. Sebagai contoh adalah Panama yang mematok mata
uangnya dengan dolar Amerika Serikat dan Luksemburg dengan Euro.

Gambar
Kontinum Sistem Nilai Tukar

FLOAT INTERMEDIATE FIXED


•--------------------------------------------•----------------------------------------•
Free Floating Zona Target Truly Fixed Peg
Managed Float Basket Peg Currency Board
Crawling Peg Monetary Union
Adjustable Peg
Pengertian masing-masing sistem :

 Kelompok ‘Float’
Free Floating : sistem tanpa ada intervensi pada pasar devisa.
Managed float : sistem yang tidak mematok target nilai tukar.

 Kelompok ‘Intermediate’
Target zone / band : adanya rentang fluktuasi nilai tukar yang diijinkan.
Basket peg : dipatok tidak pada satu mata uang asing tapi pada sejumlah
mata uang yang dibobot.
Crawling Peg : nilai tukar didevaluasi dalam jumlah yang relatif kecil setiap
minggu.
Adjustable Peg : mematok nilai tukar, namun tanpa komitmen pasti untuk
devaluasi.
atau revaluasi, yang tergantung pada besarnya defisit atau surplus neraca
pembayaran.

 Kelompok ‘Fixed’
Truly Fixed Peg : mempertahankan tingkat nilai tukar pada level tertentu
meskipun harus membeli atau menjual devisa dalam jumlah besar, dan
melaksanakannya dengan tegas dan konsisten.
Currency Board : ada tiga karakteristik sistem ini: (a) pematokan nilai tukar
tidak hanya merupakan kebijakan namun ditetapkan oleh undang-undang; (b)
ditunjang oleh peningkatan uang primer yang besarnya sama dengan
cadangan devisa; (c) memungkinkan adanya defisit neraca pembayaran
untuk mendorong kebijakan moneter yang ketat dan penyesuaian anggaran
secara otomatis.

Karakteristik tersebut berkembang dengan adanya komponen sistem


fixed yang lebih ketat, seperti dewan mata uang (currency board), dolarisasi,
atau uni moneter. Sebagai contoh adalah Argentina dengan perekonomian yang
cukup besar mampu menghadapi gejolak arus modal setelah menggunakan
currency board sejak tahun 1991. Pilihan sistem nilai tukar ini atas dasar
pengalaman trauma hyperinflasi dan kebijakan pemerintah yang tidak kredibel
untuk mengatasinya. Dengan memilih currency board berarti pemerintah
Argentina rela melepaskan independensi kebijakan moneternya dengan harapan
tidak lagi mengalami hyperinflasi. Dengan demikian ada tambahan karakteristik
lain bagi negara yang menganut kelompok sistem nilai tukar tetap yaitu adanya
kebutuhan akan stabilitas moneter yang dapat diperoleh apabila mengacu pada
mata uang negara lain yang kuat.
Kecenderungan untuk menganut sistem nilai tukar tetap (fixed exchange
rate) juga terdapat pada Negara yang kegiatan perdagangan luar negerinya
tergantung kepada negara atau wilayah lain yang lebih besar kekuatan
ekonominya. Pertimbangan inilah yang mendorong Estonia, Lithuania, dan
Bulgaria menganut currency board agar selanjutnya mudah bergabung dengan
Uni Eropa sebagai mitra dagang utama. Negara yang menganut nilai tukar tetap
pada umumnya juga mempertimbangkan faktor memiliki atau mudah
memperoleh dukungan untuk mencapai suatu tingkat cadangan devisa yang
memadai. Selain itu juga telah memiliki sistem pengawasan dan pengaturan
keuangan yang baik. Jika dua hal ini tidak dipenuhi maka negara tersebut akan
mudah mengalami krisis mata uang dan berlanjut dengan krisis perbankan.
Beberapa karakteristik lain yang juga perlu dipertimbangkan bagi negara
yang akan menganut salah satu sistem dalam kelompok nilai tukar tetap (fixed
exchange rate) yaitu adanya penegakan hukum dan fundamental ekonomi yang
kuat. Kedua syarat ini terutama diperlukan bagi yang akan menerapkan sistem
dewan mata uang (currency board). Negara yang tidak memenuhi karakteristik
tersebut tentunya lebih cocok menganut sistem nilai tukar bebas mengambang
atau sistem intermediate. Beberapa negara besar seperti Amerika Serikat dan
sebelas negara yang tergabung dalam Uni Eropa mendapatkan manfaat yang
lebih besar jika menerapkan sistem nilai tukar bebas mengambang (pure float).
Dengan menganut sistem ini, mereka memiliki independensi kebijakan moneter.
Perumusan kebijakan moneternya lebih memperhatikan kepentingan ekonomi
dalam negeri daripada kondisi ekonomi negara-negara yang mengacu pada
fluktuasi dolar atau menggunakan dolar sebagai mata uang resmi (dolarisasi).
Untuk mencegah dampak gejolak keuangan internasional akibat perubahan
kebijakan suatu negara besar terhadap mata uangnya di masa mendatang, maka
perlu didorong adanya persaingan dolar AS, Euro, dan Yen di pasar uang
internasional. Hal ini dimungkinkan apabila ketiganya menganut sistem bebas
mengambang.
Sistem intermediate kurang mendapatkan tempat akhir-akhir ini. Adanya
pergerakan arus modal yang semakin besar telah mendorong banyak negara
beralih menuju kepada ujung kontinum, nilai tukar tetap atau nilai tukar bebas.
Gejala ini dapat dijelaskan sebagai konsekuensi dari prinsip ‘impossible trinity’.
Prinsip ini menyatakan bahwa suatu negara tidak dapat secara simultan
mencapai tiga sasaran kebijakan moneter, yaitu stabilitas nilai tukar (exchange
rate stability), independensi kebijakan moneter (monetary independence), dan
integrasi kepada pasar keuangan dunia (full financial integration). Sasaran
pertama dan kedua berpangkal pada pengendalian arus modal (capital control),
sasaran kedua dan ketiga berpangkal pada sistem monetary union, serta
sasaran ketiga dan pertama berpangkal pada sistem bebas mengambang (pure
float).
Meningkatnya mobilitas modal mendorong semua negara menuju kearah
integrasi pasar keuangan dunia. Pada akhirnya semua negara tinggal
memutuskan tingkat fleksibilitas nilai tukar. Ini tidak menutup kemungkinan suatu
negara tetap memilih sistem intermediate, sebab persoalan pemilihan sistem
yang dikaitkan dengan upaya mencegah terjadinya krisis nilai tukar harus juga
mempertimbangkan kebijakan pengendalian arus modal. Pilihan kebijakan ini
juga harus secara cermat dilakukan dengan menghitung kondisi ekonomi suatu
negara, tidak digeneralisasi.

B. Aliran Modal Pasar Keuangan Global


 Sistem Keuangan Global (Internasional)

Sistem keuangan (moneter) global ialah struktur, instrument, institusi, dan


perjanjian yang menentukan kurs atau nilai berbagai mata uang di dunia,
termasuk juga penyesuaian aliran modal dan perdagangan global (internasional),
dan neraca pembayaran. Sistem tersebut dirancang oleh kaum kapitalis global
untuk mempermudah pengembangan kapitalnya melalui lembaga international
monetary fund atau IMF dan Bank Dunia.

Sistem pasar keuangan (moneter) internasional bermacam-macam yang


lazim digunakan antara lain adalah: (1) fixed exchange rate, atau kurs tetap, (2)
floating exchange rate (free float), atau kurs mengambang, (3) managed float,
atau mengambang terkendali, (4) Target zone arrangement, atau pengaturan
zona target, (5) pegged, atau kurs tertambat, (6) crawling peg, atau tertambat
merangkak, (7) pegged to a basket, atau tertambat pada sekeranjang mata uang.

a. Fixed Exchange rate (kurs tetap)


 Pemerintah menjaga nilai mata uang pada tingkat yang ditetapkan
membeli atau menjual valuta asing.
 Kebijakan pemerintah dalam menjalankan devaluasi atau revaluasi :
1. Membiayai defisit transaksi berjalan melalui pinjaman luar negeri.
Yang disebut defisit transaksi berjalan adalah defisit perdagangan
luar negeri, artinya impor lebih kecil daripada eksport, misalnya
Indonesia impornya US$8 dan ekspornya US$ 5, maka defisit
transaksi berjalan (current account) adalah US$3.
2. Pengetatan anggaran belanja Negara.
3. Pengendalian harga dan upah.
4. Pengendalian kurs.

Defisit transaksi berjalan dapat dibiayai utang luar negeri jangka pendek.
Jika Negara sulit membayar bunga dan angsuran pinjaman, kreditur akan
mengalihkan modalnya ke negara yang lebih profitable (kasus Meksiko pada
1974 membiayai defisit transaksi berjalan dengna utang jangka pendek, tahun
1982 kreditur menarik modalnya).

b. Floating exchange rate or free float (kurs mengambang bebas)

Permintaan dan penawaran pasar valas dipengaruhi oleh tingkatan harga, suku
bunga, dan pertumbuhan ekonomi.

c. Managed float or dirty float (mengambang terkendali)

Nilai tukar mata uang ditentukan oleh pemerintah, tetapi diambangkan


biasanya diturunkan nilai berdasarkan keputusan pemerintah. Misalnya, kurs
rupiah terhadap US$, dari US$ 1= Rp. 400, kemudian naik menjadi US$1= Rp.
600, kemudian naik menjadi US$1=Rp. 900, dan seterusnya, sampai
US$1=2.400.

1. Untuk mengurangi fluktuasi kurs dan tidak stabilnya perekonomian.


2. Intervensi bank sentral :
- Mengurangi fluktuasi harian (smoothing out daily fluctuations)
- Cenderung melawan angina (leaning against the wind)
- Tertambat tak resmi (unofficial pegging)

d. Target Zone arrangement (Pengaturan zona target)

Sistem moneter Eropa/joint float, system mata uang gabungan untuk


menanggulangi perubahan kurs.

e. Pegged (kurs tertambat)

Suatu negara menetapkan nilai mata uangnya berdasarkan nilai mata uang satu
atau sekelompok negara. Dolar AS dipakai patokannilai mata uang 50 negara,
Frane Perancis dipakai 14 negara Afrika, Ruble Rusia dipaia 6 negara ex Uni
Soviet.

f. Crawling peg (kurs tertambat merangkak)

Suatu negara menetapkan nilai mata uangnya dikaitkan dengan nilai mata uang
negara lain, tetapi diadakan perubahan tahap demi tahap.

g. Pegged to a basket (kurs tertambat pada sekeranjang mata uang)

Sekitar 34 negara menambatkan mata uangnya pada sekeranjang mata uang


negara mitra dagang mereka.

C. Sejarah Perkembangan Sistem Moneter Internasional


Sejarah perkembangan system moneter internasional ialah
perkembangan kapitalis global dalam usahanya mengembangkan kapitalnya.
Perkembangan itu melalui perdagangan, perang, penjajahan, dan melalui
penentuan standar mata uang. Khusus perkembangan nilai tukar mata uang
adalah sebagai berikut :

1. Standar emas (1821-1914)

1 ons emas = US$ 20.67 atau £4.2474, maka kurs dolar AS dengan pound
= US$ 20.67/£4.2474 = US$ 4.86656/£

2. Periode Perang Dunia 1918-1940

Setelah perang dunia pertama kondisi ekonomi Negara-negara kolonialis-


kapitalis makin hancur. Krisis ekonomi kapitalis 1930-an pemicu perang dunia
kedua, karena mereka saling berebut koloni-koloni yang menghasilkan bahan
mentah.

3. Persetujuan Bretton Woods, 1945-1971

Negara-negara bekas kolonialis atau Negara-negara kapitalis membentuk


lembaga keuangan internasional: international monetary fund (IMF) dan World
Bank. Tujuannya menyelamatkan ekonomi ex Negara-negara kolonialis-kapitalis
yang hancur akibat perang dunia kedua. Menetapkan US$ sebagai standar
system moneter internasional. Berlaku kurs tetap, semua negara harus mematok
nilai tukarnya dengan US$.

4. Sistem Kurs mengambang, 1971-sekarang

Kekuatan ekonomi AS rapuh, US$ tidak mampu dijadikan patokan nilai tukar.

5. Sistem moneter Eropa (anggota 12 negara)

Maret 1979 masyarakat ekonomi Eropa membuat system satu mata uang
Eropa. Tujuannya: membuat benteng pertahanan terhadap persaingan dagang
dengan Jepang dan Amerika Serikat. Nilai tukar Negara anggota tidak boleh
berfluktuasi melebihi 2,25%.

6. Eurocurrencies

Dipandang sebagai jenis mata uang. Kenyataannya adalah mata uang


domestic suatu negara yang didepositokan di negara lain.

D. Neraca Pembayaran

Neraca pembayaran ialah sejumlah pembayaran (atau penerimaan)


suatu Negara kepada Negara lain akibat import-eksport dan arus modal masuk
dari kapitalis global. Neraca pembayaran alatnya adalah nilai tukar mata uang.
Jika penawaran uang naik, nilai tukarnya depresiasi, dan jika permintaan naik,
nilai tukarnya apresiasi. Misalnya AS ekspor-Impor ke Inggris :

 Ekspor AS “menimbulkan permintaan dolar bagi importif” karena importer


membuatkan pembayaran dengan dollar, bagi eksportir menimbulkan
penawaran dolar karena ia menerima dollar dan menyimpan di bank
(supply money).
 Impor AS “menimbulkan penawaran dolar bagi eksportir” karena eksportir
membutuhkan dolar maka menimbulkan permintaan dolar

“Semua transaksi internasional yang meningkatkan permintaan terhadap


mata uang suatu negara dicatat sebagai kredit di neraca pembayaran negara
tersebut dan diberi tanda positif, sebaliknya setiap transaksi yang meningkatkan
penawaran terhadap mata uang suatu Negara, dicatat sebagai debit dan diberi
tanda negatif.

 Aliran barang dan Jasa Internasional

Aliran barang dan jasa internasional dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Produk nasional = konsumsi + tabungan


2. Pengeluaran nasional = konsumsi + investasi
3. Pendapatan nasional – pengeluaran nasional = tabungan – investasi
4. Pendapatan nasional > pengeluaran nasional = Surplus capital – investasi
ke luar negeri, lahir perusahaan global atau multinational corporation
(MNC) yang kemudian melahirkan “kolonialisme modern”
5. Tabungan = investasi domestic + investasi asing. Negara-negara kapitalis
pada umumnya memiliki tabungan, sedangkan Negara-negara sedang
berkembang pada umumnya tidak memiliki tabungan, hal itu dapat
dibuktikan investasi dalam negeri pelakunya adalah modal asing.

 Lembaga keuangan Internasional


1. IMF, dibentuk di Bretton Woods, New Hampshire, Juli 1944 oleh kaum
kapitalis internasional. Tujuannya: kerjasama moneter internasional,
stabilitas kurs, menyediakan dana pinjaman untuk memperbaiki neraca
pembayaran, meningkatkan mobilitas dana antar negara, mewujudkan
perdagangan bebas.
2. Bank dunia (international bank for reconstruction and development), 1944,
tujuan: memberi pinjaman untuk pembangunan ekonomi.
3. IFC (International Finance Corporation), membantu swasta
4. IDA (International Development association) pembangunan ekonomi
5. BIS (Bank for International Settlement), krisis keuangan
6. RDA (Regional Development Agencies), pembangunan ekonomi regional
(Asia, Afrika, Amerika Latin).

E. Mekanisme Penentuan Kurs Mata Uang

Kurs adalah perbandingan nilai antar mata uang, atau harga suatu mata
uang. Nilai kurs Rupiah (Rp) per US$ Rp. 10.000/US$, artinya membeli US$ 1
diperlukan Rp. 10.000, atau Rp 1 = US$ 0.0001. mata uang dapat dikatakan
berapresiasi jika harga mata uang makin mahal, dan dikatakan terdepresiasi jika
harga mata uang murah. Mata uang Indonesia atau rupiah adalah terdepresiasi
terhadap mata uang Amerika Serikat (dollar).

 Keseimbangan Kurs Mata Uang

Ditentukan oleh interaksi berbagai factor yang mempengaruhi permintaan


dan penawaran mata uang, antara lain:

 Laju inflasi
 Tingkat pendapatan
 Tingkat bunga
 Kontrol pemerintah
 Pengharapan pasar

 Pemahaman Mekanisme Pembentukan Kurs

Pelaku bisnis global harus memahami perubahan dan pembentukan kurs.


Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah mata uang itu dalam kondisi
berapresiasi atau terdepresiasi, dan untuk meramalkan perubahan kurs.
Aliran pembayaran internasional yang mempengaruhi penawaran dan
permintaan uang adalah: (1) perdagangan internasional, dan (2) aliran finansial
yaitu investasi kaum kapitalis global. Sedangkan faktor-faktor yang
mempengaruhi pembayaran internasional adalah: (1) perbedaan laju inflasi, (2)
perbedaan pendapatan, (3) pembatasan transaksi perdagangan, (4) perbedaan
suku bunga, dan (5) pembatasan aliran modal kapitalis global.

F. Pasar Valuta Asing (Valas)

Pasar valuta asing ialah jual beli valuta asing yang pada umumnya
dilakukan melalui informasi elektronik computer, terdapat di semua negara,
berfluktuasi setiap jam pada setiap hari kerja. Pasar tersebut pada umumnya
digunakan untuk spekulasi atau “judi” kaum kapitalis. Fungsi pasar valas
adalah: (1) transfer daya beli, (2) penyediaan kredit: L/C dan banker’s
acceptance, (3) minimisasi risiko: hedging (pengamanan), forward.

Para partisipan dalam pasar valas adalah:

(1) bank dan non-bank yang bertindak sebagai dealer.


(2) individu dan perusahaan yang melakukan transaksi perdagangan dan
investasi.
(3) spekulan dan arbiter.
(4) bank sentral.
(5) pialang valas.

Tipe-tipe transaksi yang dilakukan dalam pasar valas adalah:

(1) transaksi spot: nilai tukar saat transaksi terjadi.


(2) transaksi forward: valas diserahkan masa yang akan datang.
(3) transaksi swap: terjadi di pasar antar bank yaitu pembelian dan penjualan
valas secara bersamaan, beli dan jual pada tanggal yang berbeda, mak
adisebut spot against forward type.
Dalam pasar valas harus dibedakan antara kurs, kuotasi, pasar sport,
pasar forward, pasar future, dan pasar opsi. Kurs ialah nilai tukar valas, harga
mata uang yang dinyatakan dalam mata uang lain. Kuotasi ialah kesediaan
untuk membeli atau menjual valas pada tingkat harga yang berlaku.

Jenis kuotasi ialah:

1) Kuotasi langsung dan tidak langsung.


2) Cara eropa dan amerika.
3) Kuotasi beli dan jual (bid and offer quotations).
4) Menyatakan kuotasi forward dengan basis poin.
5) Kuotasi forward dalam presentase.
6) Kurs silang.
G. Paritas Daya Beli (Purchasing Power Parity)

Paritas daya beli lazim disebut hokum satu harga yaitu: (1) law of one
price, menjelaskan hubungan antara nilai tukar dan harga komoditas, (2)
komoditas yang sama akan memiliki harga yang sama pula walaupun dijual di
tempat yang berbeda, (3) contoh: harga gula di Indonesia Rp. 5.000 kg, di AS
US$ 0.5, maka paritas daya beli = Rp. 5.000.

H. Paritas Tingkat Bunga (Interest Rate Parity)

Paritas tingkat bunga adalah hukum satu satu harga di pasar uang.
Paritas tingkat bunga (PTB) sama dengan paritas daya beli (PDB), bedanya PTB
berlaku di pasar sekuritas (uang), sedangkan PDB berlaku di pasar barang.
Investor dapat memilih investasi di dalam negeri atau di luar negeri tergantung
tingkat bunga. Jika tingkat bunga dalam negeri lebih tinggi daripada di luar negeri
ditambah premi atua diskon kurs forward tahunan, maka investor memilih
investasi di dalam negeri, dan sebaliknya.
Jika investor investasi di luar negeri, mereka menghadapi risiko
perubahan kurs, maka mereka harus mengadakan kontak forward. PTB unsur
pokoknya adalah perbedaan tingkat bunga dan premi kurs forward.

I. Hedging, Arbitrasi, Spekulasi

Hedging ialah tindakan untuk membantasi risiko dan eksposur. Hedging


dapat melalui pasar forward, misalnya:

1) PT. ABC Indonesia membeli baran gdari PT X AS US$ 1 juta.


2) Pengiriman 2 bulan setelah order diterima dan pembayaran 1 bulan
setelah barang diterima.
3) Jadi US$ 1 juta harus dilakukan tiga bulan sejak order diserahkan.
4) Untuk menghilangkan ketidakpastian nilai tukar Rp. Terhadap US$ tiga
bulan yang akan datang PT ABC membeli US$ 1 juta di pasar forward @
Rp. 5.180/$.
5) Ramalan nilai spot Rp/$ selama lima bulan adalah Rp. 5.000, Rp. 5.100,
Rp. 5.200, Rp. 5.300 dan Rp. 5.400.
6) Artbitrase ialah tindakan pembelian atau penjualan komoditi (termasuk
valuta asing) di suatu tempat, dan pada saat yang bersamaan menjual
atau membeli kembali komoditi di tempat lain, pada tingkat harga yang
menguntungkan.

 Arbitrase timbul karena ada perbedaan harga untuk suatu komoditi yang
sama.
 Arbitrase menyamakan harga komoditi di berbagai tempat.
 Selisih harga adalah besarnya biaya transaksi.

Spekulasi adalah usaha meraih keuntungan melalui perdagangan valuta


asing yang didasarkan pada perdagangan valuta asing yang didasarkan pada
pengharapan terhadap nilai tukar mat auang dimasa yang akan datang.

J. Kasus Indonesia

Karakteristik umum negara yang menganut sistem nilai tukar tetap, yaitu
perekonomian negara tersebut berukuran kecil, terbuka terhadap perdagangan
internasional, memiliki mobilitas tenaga kerja yang tinggi, dan adanya korelasi
siklus usaha dengan kondisi ekonomi negara yang menjadi patokan nilai tukar.
Selain itu dalam era meningkatnya arus modal internasional diperlukan pula
tambahan persyaratan cadangan devisa yang relatif besar dan adanya kepastian
hukum serta sistem pengawasan dan pengaturan lembaga keuangan yang telah
mantap. Jika kriteria ini dipergunakan untuk menilai Indonesia pada saat ini maka
belum bisa dinyatakan semua persyaratan tersebut telah terpenuhi.
Pada periode yang lalu dengan arus modal masuk yang relatif kecil,
perekonomian Indonesia dapat bertahan dengan menerapkan sistem crawling
peg. Dengan sistem ini nilai tukar dapat dikelola untuk turut meningkatkan daya
saing komoditi ekspor. Pada waktu itu pertimbangan peranan perekonomian
Indonesia relative kecil dalam perekonomian dunia tampak menonjol disamping
juga kebijakan liberalisasi perdagangan yang dengan cepat dilaksanakan.
Tampaknya ukuran perekonomian dan liberalisasi perdagangan memang
merupakan syarat yang diperlukan, namun tidak cukup untuk menerapkan sistem
nilai tukar tetap pada era arus modal internasional yang semakin besar.
Perbaikan system pengatuan dan pengawasan lembaga keuangan serta
peningkatan cadangan devisa perlu diupayakan terlebih dahulu. Dengan
fundamental ekonomi yang lebih kuat maka akan lebih aman bagi perekonomian
Indonesia menerapkan sistem nilai tukar tetap. Keberhasilan memperkecil
rentang fluktuasi nilai tukar rupiah kiranya dapat pula menjadi ukuran pemulihan
ekonomi, sebagaimana tercermin pada perkembangan nilai.

Negara 31 Des 2009 30 Des 2010

Indonesia(IDR) 9400 8978


Malaysia (MYR) 3.4245 3.0835
Hongkong (HKD) 7.7543 7.7824
Singapura (SGD) 1.4034 1.292
Thailand (THB) 33.359 30.15
Cina (CNY) 6.8282 6.6229

Sementara itu dalam masalah pengendalian arus modal (capital control)


beredar pendapat bahwa keraguan pemerintah untuk menerapkan pengendalian
modal yang lebih ketat daripada sekedar monitoring arus devisa memberikan
kesan kurang peka terhadap besarnya problem yang telah timbul akibat krisis.
Langkah-langkah membangun instrumen perlindungan terhadap terjadinya krisis
nilai tukar memang perlu diprioritaskan. Menurut Eichengreen, terjadinya krisis
nilai tukar seperti halnya gempa bumi, sulit diprediksi besaran dan waktu
kejadiannya, hanya dapat diukur besaran dan akibatnya setelah terjadi.
Instrumen pengendalian arus modal hendaknya digunakan seperti
payung yaitu dipakai apabila diperlukan. Sebagaimana sistem nilai tukar yang
mempunyai kontinum dari fixed hingga floating, pengendalian arus modal juga
mempunyai pola kontinum dari pengendalian penuh (seperti Cina) hingga tanpa
pengendalian (seperti Selandia Baru). Intervensi pada arus modal asing yang
bersifat sementara kiranya tidak berarti mengubah kebijakan devisa bebas yang
dianut Indonesia sejak awal 1970-an.
Pada berlangsungnya arus modal keluar menunjukkan belum terciptanya
rasa aman bagi investor asing menyimpan dana mereka di Indonesia. Faktor
keteguhan dan kredibilitas pemerintah dalam menjalankan program tersebut
serta kondisi sosial politik yang mantap masih harus diupayakan. Dengan
demikian gagasan pengendalian arus modal mungkin lebih baik disimpan dahulu,
menunggu saat yang tepat, dan terus melanjutkan kerja restrukturisasi ekonomi
yang memerlukan perhatian lebih besar.

Kasus : Arus Modal Masuk Ke Indonesia

World Bank (Bank Dunia) menilai perbaikan ekonomi di kawasan Asia


Timur dan Pasifik termasuk Indonesia berlangsung sangat kuat. Hal ini
menyebabkan adanya risiko yang bermunculan seperti arus modal yang
melonjak pesat. Dengan didorong oleh likuiditas global yang melimpah untuk
mendapatkan hasil serta digabungkan dengan pengharapan akan pertumbuhan
yang lebih kuat dikawasan, menjadikan arus modal yang melonjak.
Arus masuk yang lebih besar telah membantu apresiasi nilai tukar, diluar
adanya intervensi pasar oleh bank sentral. Arus masuk ini juga telah membantu
meningkatkan harga aset, kebanyakan badan otoritas moneter telah menahan
diri untuk tidak melakukan capital control (kontrol modal) sampai saat ini.
Apabila arus masuk tetap kuat, terutama disandingkan dengan pertumbuhan
global yang lemah para bada otoritas akan dihadapkan dengan tantangan dalam
menyeimbangkan perlunya arus masuk modal yang besar. Terutama investasi
asing dengan memastikan daya sain, stabilitas sektor finansial dan inflasi rendah
Pertumbuhan GDP riil akan mencapai 8,9% di kawasan Asia Timur pada
tahun 2010. Atau meningkat dari 7,3% di 2009. Bank Dunia mencermati faktor
pendorong pertumbuhan tersebut yakni sektor swasta, rasa percaya diri yang
bangkit dan arus perdagangan yang telah kembali ke tingkat pra-krisis.
Bank Bank
Suku Bunga Bank Bank Bank
Pemerintah Swasta
Tabungan Asing Campuran Pemerintah
Daerah Nasional
Tertinggi 8,0000 7,7500 8,0000 5,0000 10,0000
Terendah 0,0100 0,2500 0,2500 0,0100 0,0500
Rata-rata 3,5637 3,2916 3,3750 2,7200 3,5688
PENJAMINAN LPS 15 September 2010-14 Januari 2011 (dalam %)
Rupiah 7,00
Dolar AS 2,75
BPR (Rp) 10,25
AGREGAT
1 Bln 3 Bln 6 Bln 12 Bln 24 Bln
DEPOSITO
RUPIAH:
Tertinggi 19,0000 20,0000 14,5000 14,5000 13,2500
Terendah 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000
Rata-rata 6,6441 6,7317 6,8256 6,8228 6,5465
DOLAR AS:
Tertinggi 4,2500 3,0000 4,2500 5,0000 3,7500
Terendah 0,1000 0,0400 0,1000 0,1000 0,1000
Rata-rata - 1,1022 - - 0,9302
JENIS KREDIT Dasar kredit KMK Flat KI Flat KK Flat
Rata-rata seluruh bank (Rp) 11,9275 9,8960 10,0643 10,7216
Rata-rata seluruh bank (US$) 5,0234 4,2840 5,3806 8,3416
DAFTAR PUSTAKA

Bryan, Michael F. dan Cecchetti, Stephen G., 1993. Measuring Core Inflation.
Federal Reserve Bank of Cleveland, Working Paper No. 9304, Juni.

Debelle, Guy, 1997. Inflation Targeting in Practice. Economic Research


Department, RBA, Desember.

De Brouwer, G. dan O’Regan J., 1997. Evaluating Simple Monetary Policy Rules
for Australia.
BAB GLOBALISASI EKONOMI DAN
14 DEMOKRASI EKONOMI

Arum Kismo Harini, Muh. Fikri Saputra, Nisita, Rhamdani Pratiwi

Globalisasi adalah salah satu isu yang saat ini paling banyak dibicarakan di dunia.
Globalisasi telah menyebabkan penyebaran arus informasi yang sangat cepat dari satu wilayah
ke wilayah lain. Orang-orang di Meksiko dapat mengetahui mengenai konflik yang terjadi di jalur
Gaza antara Israel dan Palestina melalui CNN. Orang-orang di Amerika sana dapat mengetahui
mengenai manusia akar asal Bandung, Indonesia yang sempat membuat heboh beberapa
waktu lalu dari saluran Discovery Channel. Globalisasi juga menyebabkan kita yang berada di
Indonesia, misalnya, dapat menikmati barang-barang produksi Amerika Serikat seperti jeans
Levi’s, kaos Nevada, boneka Barbie, Coca Cola, dan sebagainya. Dengan adanya globalisasi,
kita juga bisa berdiskusi dengan orang-orang di seluruh dunia tanpa harus bertatap muka
secara langsung dengan fasilitas chatting room melalui teknologi internet.
Globalisasi telah merasuki segala aspek kehidupan manusia. Mulai dari anak kecil
hingga orang dewasa. Mulai dari orang pedesaan yang buta huruf hingga orang kota yang
berpendidikan tinggi. Globalisasi yang saat ini terjadi adalah globalisasi dalam bidang teknologi,
informasi, kesehatan, perekonomian, transportasi, hingga kebudayaan. Globalisasi berarti
semakin berkurang atau bahkan tidak ada sama sekali batasan antara satu negara dengan
negara lain. Globalisasi bisa membawa dampak yang baik maupun yang buruk.
Fenomena global dapat meluas ke seluruh dunia pada waktu yang sama dan dapat
bergerak dari satu tempat ke tempat lain dalam waktu yang sangat singkat. Dalam pengertian
ini fenomena global memiliki karakter suprateritorial dan trans-dunia. Sementara pola dari
interdependensi ‘internasional’ sangat kuat dipengaruhi oleh divisi-divisi negara nasional,
batasan interkoneksi ‘global’ seringkali tidak sesuai dengan batasan teritorial.
Uang, barang, orang, teknologi, dan ide-ide berpindah melintasi batas nasional dalam
langkah yang cepat. Dengan dunia yang dengan cepat menjadi terhubung, terikat menjadi lebih
kuat dan semakin kuat menjadi satu-satunya pasar dan komunitas global yang terintegrasi,
globalisasi memberikan perubahan yang besar bagi hubungan-hubungan yang terjadi di dunia.

A. Pengertian Globalisasi

Globalisasi (globalization) menjadi salah satu kata yang sering dipakai dalam diskusi
pembangunan, perdagangan, dan ekonomi politik internasional. Seperti yang diindikasikan oleh
kata itu sendiri, globalisasi adalah proses yang membuat perekonomian berbagai negara di
dunia semakin menyatu, mendorong perekonomian global, dan semakin mengglobalkan
pembuatan kebijakan ekonomi, misalnya melalui badan internasional seperti World Trade
Organization (WTO). Globalisasi juga merujuk pada timbulnya “budaya global” yang berarti
bahwa orang semakin sering mengonsumsi barang dan jasa yang serupa di banyak negara dan
menggunakan bahasa bisnis yang sama; perubahan ini mempercepat perubahan itu. Namun
dalam arti ekonominya, globalisasi berarti meningkatnya keterburukan perekonomian suatu
negara terhadap perdagangan internasional, aliran dana internasional, dan investasi asing
langsung. Keterkaitan yang makin erat dari semua sektor pemerintah dan perusahaan dan
antarindividu adalah sebuah proses yang mempengaruhi setiap orang di dunia, yang tampak
lebih nyata di dunia maju. Namun globalisasi dapat mempunyai dampak yang lebih besar dalam
berbagai segi pada masyarakat di negara berkembang.

B. Fenomena Globalisasi Ekonomi

Tidak ada definisi yang baku atau standar mengenai globalisasi, tetapi secara
sederhana globalisasi ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses di mana semakin banyak
negara yang terlibat langsung dalam kegiatan ekonomi global. Jadi, jika pada periode sejak
perang dunia kedua berakhir hingga tahun 1970-an ekonomi dunia didominasi oleh Amerika
Serikat (AS), sekarang ini walaupun produk domestic bruto (PDB) AS masih paling besar,
sekitar 45% dari PDB dunia, peran dari Uni Eropa (UE), Jepang dan negara-negara industri
baru (NISc) di Asia Tenggara dan Timur seperti Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura, serta
Cina sebagai motor penggerak perekonomia jauh lebih besar, terutama lewat dua jalur yakni
perdagangan dan investasi internasional. Selain itu, peran dari ekonomi-ekonomi ini sebagai
sumber pendanaan pembangunan ekonomi di negara-negara sedang berkembang (NSB) juga
jauh lebih besar dibandingkan 20 tahun yang lalu.
Jadi, proses globalisasi ekonomi adalah perubahan perekonomian dunia yang bersifat
mendasar atau structural dan proses ini akan berlangsung terus dengan laju yang akan
semakin cepat mengikuti perubahan teknogi yang juga akan semakin cepat dan peningkatan
serta perubahan pola kebutuhan masyarakat dunia. Perkembangan ini telah meningkatkan
kadar hubungan saling ketergantungan ekonomi dan juga mempertajam persaingan
antarnegara, tidak hanya dalam perdagangan internasional tetapi juga dalam investasi,
keuangan dan produksi. Globalisasi ekonomi ditandai dengan semakin menipisnya batas-batas
geografi dari kegiatan ekonomi atau pasar secara nasional atau regional, tetapi semakin
mengglobal menjadi “satu” proses yang melibatkan banyak negara. Globalisasi ekonomi
biasanya dikaitkan dengan proses internasionalisasi produksi, perdagangan dan pasar uang.
Globalisasi ekonomi merupakan suatu proses yang berada diluar pengaruh atau jangkauan
kontrol pemerintah, karena proses tersebut terutama digerakan oleh kekuatan pasar global,
bukan oleh kebijakan atau peraturan yang dikeluarkan oleh sebuah pemerintah secara individu.
Dalam tingkat globalisasi yang optimal arus produk dan faktor-faktor produksi (seperti
tenaga kerja dan modal) lintas negara atau regional akan selancar lintas kota di dalam suatu
negara atau desa di dalam suatu kecamatan. Pada tingkat ini, seorang pengusaha yang punya
pabrik di Kalimantan Barat setiap saat bisa memindahkan usahanya ke Serawak atau Filipina
tanpa halangan, baik dalam logistik maupun birokrasi yang berkaitan dengan urusan
administrasi seperti izin usaha dan sebagainya.
Menurut Friedman (2002), globalisasi mempunyai tiga dimensi. Pertama, dimensi ide
atau ideologi yaitu “kapitalisme”. Dalam pengertian ini termasuk seperangkat nilai yang
menyertainya, yakni falsafah individualisme, demokrasi dan hak asasi manusia (HAM). Oleh
karena itu tidak mengherankan jika demokrasi dan HAM menjadi dua isu yang semakin penting,
bahkan sekarang ini sering dijadikan sebagai salah satu pertimbangan utama dalam membuat
kesepakatan atau menjalin kerjasama ekonomi antarnegara atau dalam konteks regional
seperti ASEAN, UE dan APEC atau global seperti WTO. Kedua, dimensi ekonomi, yaitu pasar
bebas yang artinya arus barang dan jasa antarnegara tidak dihalangi sedikitpun juga. Ketiga,
dimensi teknologi, khususnya teknologi informasi yang akan membuka batas-batas negara-
negara sehingga negara makin tanpa batas.

C. Dua Indikator Utama

Derajat globalisasi dari suatu negara di dalam perekonomian dunia dapat dilihat dari dua
indikator utama. Pertama, rasi dari perdagangan internasional (ekspor dan impor) dari negara
tersebut sebagai suatu persentase dari jumlah nilai atau volume perdagangan dunia dari PDB-
nya. Semakin tinggi rasio tersebut menandakan semakin mengglobal perekonomian dari dunia,
seperti korea utara, semakin kecil rasio tersebut.
Data historis menunjukan bahwa sejak berakhirnya perang dunia kedua hingga saat ini,
pangsa dari pengeluaran konsumsi domestik terhadap barang dan jasa di dalam negri yang
diekspor ke luar negeri terus mengalami peningkatan, yang dengan sendirinya memperbesar
nilai atau volume perdagangan di dunia. Kenaikan ini dapat di observasi baik secara absolut
maupun relatif, yakni rasio dari perdagangan internasional (ekspor + impor) terhadap PDB dari
masing-masing negara. Integrasi perdagangan antarnegara meningkat pesat terutama pada
tahun 1970-an, pada saat banyak negara mulai menerapkan sistem ekonomi terbuka (yang
disebut era keterbukaan global) dan setelah itu mengalami sedikit penurunan pada pertengahan
dekade 80-an dan suatu akselerasi di tahun 90-an (Krugman, 1995; Baldwin dan Martin, 1999).
Tetapi tidak semua negara mengalami laju pertumbuhan perdagangan internasional yang sama
jangka waktu tersebut; ada negara-negara yang mengalami laju pertumbuhan perdagangan luar
negeri yang pesat, tetapi lebih banyak negara yang tidak terlalu banyak memanfaatkan
kesempatan-kesempatan yang muncul dari pertumbuhan perdagangan dunia.
Perekonomian global terus mengalami pelemahan pada triwulan pertama 2009.
Proyeksi yang paling dramatis dikemukakan oleh majalah The Economist (awal April 2009),
yang mendasarkan pada survei. Sebagaimana terjadi pada sebagian besar negara-negara di
dunia, perekonomian Indonesia diperkirakan akan mengalami kontraksi, yakni minus 1,3
persen. Inilah pertama kalinya Indonesia diramal akan mengalami pertumbuhan ekonomi
negatif, setelah yang terakhir terjadi pada krisis 11 tahun silam, yakni minus 13,7 persen (1998).
Proyeksi The Economist cukup mengejutkan, dan sejauh ini merupakan yang paling
pesimistis. Namun, bukan mustahil hal tersebut akan mengalami koreksi lagi di kemudian hari,
karena dinamika perekonomian global yang sedemikian hebat akhir-akhir ini. Bisa saja ramalan
tersebut berubah lebih baik, karena sejauh ini proyeksi yang disampaikan oleh berbagai
lembaga masih meyakini bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh positif, meski dengan
laju yang melambat. Berikut ini proyeksi dari berbagai lembaga.
Optimisme berbagai lembaga terhadap pertumbuhan perekonomian Indonesia pada
tahun 2009, pada dasarnya disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, sektor finansial Indonesia
tidak terlibat secara mendalam pada transaksi derivatif, sebagaimana dilakukan oleh negara-
negara maju (Amerika Serikat, Eropa), serta negara-negara Asia yang memiliki sektor finansial
modern yang sophisticated (Jepang, Korea Selatan, Hong Kong, Taiwan, dan Singapura).
Akibatnya, kerugian yang dialami sektor finansial Indonesia akibat krisis subprime mortgage di
Amerika Serikat terhitung minimal.
Kedua, perekonomian Indonesia lebih banyak digerakkan oleh sektor konsumsi
domestik. Peran belanja masyarakat (consumption expenditure) melebihi 60 persen. Karena
pasar domestik Indonesia sangat besar, dengan jumlah penduduk 230 juta orang dan
pendapatan per kapita sekitar USD 1.800, maka besaran ini cukup untuk menggerakkan
perekonomian. Hal ini berbeda misalnya, dibandingkan negara-negara seperti Singapura, Hong
Kong dan Taiwan, yang tidak memiliki pasar domestik yang besar, sehingga mengandalkan
variabel ekspor.
Ketiga, selain tidak tergantung pada ekspor, Indonesia juga memiliki keragaman produk
ekspor yang lebih tahan krisis. Indonesia mengekspor produk-produk primer (pertambangan
dan perkebunan), yang faktanya demand elasticity-nya rendah. Artinya, dalam situasi krisis
konsumen tetap saja membeli kopi, produk CPO, dibandingkan produk sekunder (produk-
produk manufaktur). Beberapa negara Asia (Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong dan
Singapura) terpaksa mengalami pertumbuhan ekonomi negatif karena mereka by nature
mengandalkan produk sekunder (high-end consumer) yang kini mengalami penurunan ekspor
secara besar-besaran.
D. Faktor-Faktor Pendorong

Sebenarnya proses globalisasi ekonomi telah terjadi sejak dahulu kala dan akan
berlangsung terus menerus, walaupun prosesnya bebeda: dulu sangat lambat sedangkan
sekarang ini sangat pesat dan di masa depan akan jauh lebih cepat lagi. Perbedaan ini
disebabkan terutama oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menghasilkan alat-
alat komunikasi dan transportasi yang semakin canggih, aman dan murah. Jadi, dapat
dikatakan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan faktor pendorong atau
kekuatan utama dibalik proses globalisasi ekonomi. Karena adanya satelit, hand phone, fax,
internet dan email maka komunikasi atau arus informasi antar negara menjadi sangat lancar
dan murah. Juga, adanya pesawat terbang yang semakin cepat terbangnya dengan kapasitas
penumpang yang semakin cepat terbangnya dengan kapasitas penumpang yang sangat besar
membuat mobilisasi dari pelaku-pelaku ekonomi (konsumen, produsen, investor, dan bankir)
antarnegara menjadi semakin cepat dan murah. Ini semua meningkatkan arus transaksi
ekonomi antarnegara dalam laju yang semakin pesat.
Peran dari kemajuan teknologi terhadap proses globalisasi juga diakui oleh Friedman
yang mendapat penghargaan atas bukunya mengenai globalisasi (2002) yang menyatakan
berikut ini: era globalisasi dibangun seputar jatuhnya biaya telekomunikasi-berkat adanya
mikrochips, satelit, serat optik dan Internet/Teknologi informasi yang baru ini mampu merajut
dunia bersama-sama bahkan menjadi lebih erat. Teknologi ini juga dapat memungkinkan
perusahaan untuk menempatkan lokasi bagian produksi di negara yang berbeda, bagian riset
dan pemasaran di negara yang berbeda, tetapi dapat mengikat mereka bersama melalui
komputer dan komperensi jarak jauh seakan mereka berada di suatu tempat. Demikian juga
berkat kombinasi antara komputer dan telekomunikasi yang murah, masyarakat sekarang dapat
menawarkan pelayanan perdagangan secara global-dari konsultasi medis sampai penulisan
data perangkat lunak ke proses data-pelayanan yang sesungguhnya tidak pernah dapat
diperdagangkan sebelumnya. Dan mengapa tidak? Sambungan telepon untuk 3 menit pertama
(dalam dolar, tahun 1986) antara New York dan London biaya nya adalah 300 dolar di tahun
1930. sekarang ini hal itu hampir bebas biaya melalui Internet (20a). Friedman mengatakan
bahwa globalisasi memiliki definisi teknologi sendiri: komputerisasi, miniaturisasi, digitalisasi,
komunikasi satelit, serat optik dan internet.
Friedman juga melihat bahwa sistem globalisasi yang terjadi di dunia saat ini
mempunyai ciri istimewa yakni integrasi. Berkat kemajuan teknologi seperti yang disebut di
atas, semua manusia dimanapun berada bisa saling berhubungan satu dengan lainnya lewat
jaringan: Dunia menjadi tempat untuk menjalin hubungan, dan hari ini, apakah anda dan suatu
negara atau perusahaan, anacaman dan peluang anda semakin tergantung dari kepada siapa
anda dihubungkan. Globalisasi ini juga digambarkan dalam satu kata: Jaringan (Web). Jadi
dalam penalaran yang lebih luas, kita telah berangkat dari sistem yang dibangun secara
bertahap seputar integrasi dan jaringan.
Besarnya pengaruh dari kemajuan teknologi tehadap perubahan kehidupan manusia di
dunia yang mendorong proses globalisasi ekonomi semakin pesat sebenarnya sudah diduga
sebelumnya oleh sejumlah orang, diantaranya adalah Alvin Toffler (1980). Menurutnya, akibat
progres teknologi, akan terjadi kejutan-kejutan masa depan yang melahirkan revolusi baru.
Kehidupan manusia atau kegiatan ekonomi dunia tidak lagi dipimpin oleh industri, namun
informasi akan muncul sebagai penggerak pendulum. Revolusi informasi yang sarat dengan
teknologi akan membawa perubahan-perubahan di dalam kehidupan manusia sehari-hari yang
jauh lebih radikal daripada revolusi industri yang memerlukan waktu, biaya, lahan, dan pasar
yang besar. Toffler mengatakan bahwa revolusi informasi yang dipicuh oleh kemajuan
teknologi, khususnya teknologi informasi, akan membawa wajah baru, yakni masyarakat global
lantaran kaburnya batas-batas wilayah dan negara.
Faktor pendorong kedua yang membuat semakin kencangnya arus globalisasi ekonomi
adalah semakin terbukanya sistem perekonomian dari negar-negara di dunia baik dalam
perdagangan, produksi maupun investasi/keuangan. Fukuyama (1999) menegaskan bahwa
dewasa ini baik begara-negara maju maupun NSB cenderung mengadopsi prinsip-prinsip liberal
dalam menata ekonomi dan politik domestik mereka. Seperti yang dapat dikutip dari Friedman
(2002), ide dibelakang globalisasi yang mengendalikannya adalah kapitalisme bebas – semakin
anda membuka perekonomian anda bagi perdagangan bebas dan kompetisi, perekonomian
anda akan semakin efisien dan berkembang pesat. Globalisasi berarti penyebaran kapitalisme
pasar bebas ke setiap negara di dunia. Karenanya globalisasi juga memiliki aturan
perekonomian tersendiri – peraturan yang bergulir seputar pembukaan, deregulasi, privatisasi
perekonomian anda, guna membuatnya lebih kompetitif dan atraktif bagi investasi luar negeri.
Menurut catatn dari Friedman (2002), pada tahun 1975, di puncak perang dingin, hanya 8% dari
negara di seluruh dunia yang mempunyai rezim kapitalis pasar bebas. 1997, jumlah negara
dengan rezim perekonomian liberal menjadi 28%.
Faktor pendorong ketiga adalah mengglobalnya pasar uang yang prosesnya
berlangsung berbarengan dengan keterbukaan ekonomi dari negara-negara di dunia
(penerapan sistem perdagangan bebas dunia). Sebenarnya faktor ketiga ini dengan faktor
kedua di atas saling terkait, atau tepatnya saling mendorong satu sama lainnya: semakin
mengglobal pasar finansial membuat semakin mudah dan semakin besar volume kegiatan
ekonomi antar negara; sebaliknya semakin liberal sistem perekonomian dunia semakin
mempercepat proses globalisasi finansial karena semakin besar kebutuhan pendanaan bagi
kegiatan-kegiatan produksi dan investasi.
Semakin tinggi derajat globalisasi pasar finansial tercerminkan oleh semakin besarnya
sumber-sumber eksternal dalam pembiayaan kegiatan-kegiatan ekonomi domestik di banyak
negara, tidak hanya di kelompok negara-negara maju tetapi juga di NSB. Juga perkembangan
pasar saham (modal) mencerminkan perubahan tersebut; semakin banyak saham-saham dari
perusahaan-perusahaan asing yang tercatat di dalam pasar bursa di suatu negara. Selain itu,
semakin mengglobalnya pasar finansial ditujukan oleh semakin meningkatnya volume
perdagangan mata uang asing lintas negara; kalau dulu mata uang asing hanya di pakai
sebagai alat pembayaran, sekarang ini menjadi suatu komoditi yang diperdagangkan. Menurut
catatan dari Lairson dan Skidmore (2000; dikutip dari Halwani, 2002), tingkat pertumbuhan dari
perdagangan mata uang asing setiap hari jauh lebih tinggi daripada total ekspor dunia. Pada
tahun 1986 rasionya adalah 25:1, maka pada tahun 1995 rasionya mencapai 81:1, sedangkan
pada tahun 2000 rasionya mencapai 107:1.
Seperti halnya faktor kedua diatas, faktor ketiga ini juga tidak lepas dari pengaruh
teknologi. Adanya teknologi komputer, internet, email dan satelit yang terus berkembang dalam
suatu kecepatan yang semakin tinggi membuat arus finansial antar negara semakin lancar dan
sistem finansial dunia semakin mengglobal. Seperti yang ditegaskan oleh Giddens (2001),
dalam ekonomi elektronik global, para manager keuangan dan ribuan investor individual dapat
memindahkan modalnya miliaran juta dolar dari belahan dunia yang satu ke belahan dunia yang
lain hanya dengan meng’klik’ sebuah mouse pada komputer. Mereka dapat menggoyang
ekonomi suatu negara atau regional seperti yang terjadi di Asia (krisis 1997/98) atau bahkan
pada tingkat global.
Faktor keempat adalah semakin besarnya keinginan orang untuk melakukan perjalanan
antarnegara atau pindah dari satu negara ke negara lain, baik untuk tujuan bisnis maupun
lainnya. Keinginan ini di dorong oleh peningkatan pendapatan rata-rata masyarakat dunia
ditambah dengan peningkatan kepadatan penduduk di suatu wilayah/negara, dan kemajuan
teknologi yang memungkinkan terjadinya mobilisasi orang antarnegara secara lebih cepat,
aman dan lebih murah.
E. Dampak - Dampak Dari Globalisasi

1. Jenis-jenis dampak globalisasi


Dampak dari globalisasi ekonomi terhadap perekonomian suatu negara bisa positif dan
negatif, tergantung pada kesiapan negara tersebut dalam, menghadapi peluang-peluang
maupun tantangan-tantangan yang muncul dalam proses tersebut, secara umum ada 4 wilayah
yang pasti akan berpengaruh, yakni :

a. Ekspor. Dampak positifnya adalah ekspor atau pangsa pasar dunia dari suatu negara
meningkat, sedangkan efek negatifnya adalah suatu negara kehilangan pangsa pasar
dunianya yang selanjutnya berdampak negatif terhadap volume produksi dalam negeri
dan pertumbuhan PDB meningkatkan jumlah pengangguran dan kemiskinan.
b. Impor. Dampak negatifnya adalah peningkatan impor yang apabila tidak dapat
dibendung karena daya saing yang rendah dari produk-produk serupa buatan dalam
negeri, maka tidak mustahil pada suatu saat pasar domestik sepenuhnya dikuasai oleh
produk-produk dari luar negeri
c. Investasi. Jika daya saing investasi Indonesia rendah, dalam arti iklim berinvestasi
didalam negeri tidak kondusif dibandingkan dengan negara-negara lain, maka bukan
saja arus modal di dalam neraca pembayaran Indonesia negatif. Pada gilirannya,
kurangnya investasi juga berpengaruh terhadap pertumbuhan produksi dalam negeri
dan ekspor.
d. Tenaga kerja. Dampak negatifnya adalah membanjirinya tenaga ahli dari luar Indonesia,
dan kualitas SDM Indonesia tidak segera ditingkatkan.

2. Dampak terhadap Perekonomian Nasional


Dampak nyata dari globalisasi terhadap perekonomian Indonesia adalah terutama pada
2 area yang saling mempengaruhi satu dengan yang lain yakni produksi dalam negeri dan luar
negeri. Globalisasi yang didorong oleh era perdagangan bebas dan liberalisasi pasar finansial
dunia bisa berpengaruh negatif dan positif terhadap produksi dalam negeri. Pengaruh
negatifnya bisa disebabkan oleh barang impor yang semakin menguasai pasar domestik
sehingga mematikan produksi dalam negeri atau menurunkan ekspor Indonesia karena daya
saingnya rendah. Namun positifnya jika Indonesia mempunyai daya saing yang tinggi maka
liberisasi perdagangan dunia membuka peluang yang besar bagi ekspor Indonesia ,yang bearti
ekspor meningkat dan selanjutnya mendorong pertumbuhan dan memperluas diversifikasi
produksi dalam negeri.

3. Dampak terhadap Kegiatan Ekonomi Rakyat


Ekonomi kerakyatan meliputi semua kegiatan ekonomi skala kecil dan mikro, sedangkan
menurut sektoral, ada tiga sector yang kegiatan ekonomi kerakyatannya sangat dominant yakni,
pertanian, perdagangan dan industri.
Bagi sejumlah orang, istilah globalisasi menyiratkan peluang bisnis yang lebih menarik,
pertumbuhan pengetahuan dan inovasi yang lebih cepat, atau prospek sebuah dunia yang
terlalu saling bergantung sehingga dapat mencegah terjadinya sebuah perang. Untuk beberapa
hal, globalisasi mungkin merupakan gabungan dari semua ini. Namun bagi sejumlah orang lain,
globalisasi menimbulkan keprihatinan yang serius: bahwa ketimpangan dapat semakin nyata
baik antarnegara maupun di dalam negara, bahwa degradasi lingkungan akan semakin cepat,
bahwa dominasi internasional dari negara kaya dapat meluas dan menjerat, dan bahwa
sejumlah penduduk dan wilayah tertinggal. Beberapa keprihatinan ini mungkin dibesar-
besarkan, tetapi keprihatinan itu mencerminkan isu-isu nyata yang perlu ditangani untuk
mencegah agar globalisasi tidak menyebabkan sejumlah atau semua masalah ini.
Oleh karena itu, globalisasi membawa manfaat dan peluang di samping biaya dan risiko.
Hal ini berlaku bagi semua orang di semua negara terutama oleh orang-orang yang hidup di
keluarga-keluarga yang mengalami kemiskinan absolut dan di negara-negara berpendapatan
rendah, yang pertaruhannya jauh lebih besar. Manfaat potensialnya mungkin juga lebih besar
untuk negara-negara berpendapatan rendah, yang pertaruhannya jauh lebih besar. Manfaat
potensialnya mungkin juga lebih besar untuk negara-negara berkembang; globalisasi benar-
benar membawa kemungkinan baru untuk pembangunan perekonomian berbasis luas. Dengan
memberikan berbagai jenis interaksi dengan orang-orang di negara lain, globalisasi berpotensi
memberi manfaat bagi negara-negara berkembang secara langsung dan tidak langsung melalui
pertukaran budaya, sosial, ilmu pengetahuan, dan teknologi, di samping melalui perdagangan
dan keuangan internasional. Penyebaran ide-ide produktif yang lebih cepat, seperti waktu yang
lebih singkat antara inovasi dan penerapan teknologi baru di seluruh dunia, akan membantu
negara-negara berkembang lebih cepat menyusul ketertinggalan. Singkatnya, globalisasi
memungkinkan, setidaknya secara prinsip, bagi negara berkembang untuk menyerap teknologi
secara lebih efektif, yang menjadi salah satu pondasi kekayaan negara maju.

F. Reaksi Masyarakat

1. Gerakan Pro-Globalisasi

Pendukung globalisasi (sering juga disebut dengan pro-globalisasi) menganggap bahwa


globalisasi dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran ekonomi masyarakat dunia.
Mereka berpijak pada teori keunggulan komparatif yang dicetuskan oleh David Ricardo. Teori
ini menyatakan bahwa suatu negara dengan negara lain saling bergantung dan dapat saling
menguntungkan satu sama lainnya, dan salah satu bentuknya adalah ketergantungan dalam
bidang ekonomi. Kedua negara dapat melakukan transaksi pertukaran sesuai dengan
keunggulan komparatif yang dimilikinya. Misalnya, Jepang memiliki keunggulan komparatif
pada produk kamera digital (mampu mencetak lebih efesien dan bermutu tinggi) sementara
Indonesia memiliki keunggulan komparatif pada produk kainnya. Dengan teori ini, Jepang
dianjurkan untuk menghentikan produksi kainnya dan mengalihkan faktor-faktor produksinya
untuk memaksimalkan produksi kamera digital, lalu menutupi kekurangan penawaran kain
dengan membelinya dari Indonesia, begitu juga sebaliknya.
Salah satu penghambat utama terjadinya kerjasama diatas adalah adanya larangan-
larangan dan kebijakan proteksi dari pemerintah suatu negara. Di satu sisi, kebijakan ini dapat
melindungi produksi dalam negeri, namun di sisi lain, hal ini akan meningkatkan biaya produksi
barang impor sehingga sulit menembus pasar negara yang dituju. Para pro-globalisme tidak
setuju akan adanya proteksi dan larangan tersebut, mereka menginginkan dilakukannya
kebijakan perdagangan bebas sehingga harga barang-barang dapat ditekan, akibatnya
permintaan akan meningkat. Karena permintaan meningkat, kemakmuran akan meningkat dan
begitu seterusnya.

2. Gerakan antiglobalisasi

Antiglobalisasi adalah suatu istilah yang umum digunakan untuk memaparkan sikap
politis orang-orang dan kelompok yang menentang perjanjian dagang global dan lembaga-
lembaga yang mengatur perdagangan antar negara seperti Organisasi Perdagangan Dunia
(WTO).
"Antiglobalisasi" dianggap oleh sebagian orang sebagai gerakan sosial, sementara yang
lainnya menganggapnya sebagai istilah umum yang mencakup sejumlah gerakan sosial yang
berbeda-beda. Apapun juga maksudnya, para peserta dipersatukan dalam perlawanan
terhadap ekonomi dan sistem perdagangan global saat ini, yang menurut mereka mengikis
lingkungan hidup, hak-hak buruh, kedaulatan nasional, dunia ketiga, dan banyak lagi penyebab-
penyebab lainnya. Namun, orang-orang yang dicap "antiglobalisasi" sering menolak istilah itu,
dan mereka lebih suka menyebut diri mereka sebagai Gerakan Keadilan Global, Gerakan dari
Semua Gerakan atau sejumlah istilah lainnya. Globalisasi Perekonomian.
Globalisasi perekonomian merupakan suatu proses kegiatan ekonomi dan
perdagangan, dimana negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang
semakin terintegrasi dengan tanpa rintangan batas teritorial negara. Globalisasi perekonomian
mengharuskan penghapusan seluruh batasan dan hambatan terhadap arus modal, barang dan
jasa.
Ketika globalisasi ekonomi terjadi, batas-batas suatu negara akan menjadi kabur dan
keterkaitan antara ekonomi nasional dengan perekonomian internasional akan semakin erat.
Globalisasi perekonomian di satu pihak akan membuka peluang pasar produk dari dalam negeri
ke pasar internasional secara kompetitif, sebaliknya juga membuka peluang masuknya produk-
produk global ke dalam pasar domestik.
Menurut Tanri Abeng, perwujudan nyata dari globalisasi ekonomi antara lain terjadi dalam
bentuk-bentuk berikut:

 Globalisasi produksi, di mana perusahaan berproduksi di berbagai negara, dengan


sasaran agar biaya produksi menjadi lebih rendah. Hal ini dilakukan baik karena upah buruh
yang rendah, tarif bea masuk yang murah, infrastruktur yang memadai atau pun karena
iklim usaha dan politik yang kondusif. Dunia dalam hal ini menjadi lokasi manufaktur global.
Kehadiran tenaga kerja asing merupakan gejala terjadinya globalisasi tenaga kerja.

 Globalisasi pembiayaan. Perusahaan global mempunyai akses untuk memperoleh


pinjaman atau melakukan investasi (baik dalam bentuk portofolio atau pun langsung) di
semua negara di dunia. Sebagai contoh, PT Telkom dalam memperbanyak satuan
sambungan telepon, atau PT Jasa Marga dalam memperluas jaringan jalan tol telah
memanfaatkan sistem pembiayaan dengan pola BOT (build-operate-transfer) bersama
mitrausaha dari manca negara.

 Globalisasi tenaga kerja. Perusahaan global akan mampu memanfaatkan tenaga kerja
dari seluruh dunia sesuai kelasnya, seperti penggunaan staf profesional diambil dari tenaga
kerja yang telah memiliki pengalaman internasional atau buruh kasar yang biasa diperoleh
dari negara berkembang. Dengan globalisasi maka human movement akan semakin mudah
dan bebas.

 Globalisasi jaringan informasi. Masyarakat suatu negara dengan mudah dan cepat
mendapatkan informasi dari negara-negara di dunia karena kemajuan teknologi, antara lain
melalui: TV,radio,media cetak dll. Dengan jaringan komunikasi yang semakin maju telah
membantu meluasnya pasar ke berbagai belahan dunia untuk barang yang sama. Sebagai
contoh : KFC, celana jeans levi's, atau hamburger melanda pasar dimana-mana. Akibatnya
selera masyarakat dunia -baik yang berdomisili di kota ataupun di desa- menuju pada selera
global.

 Globalisasi Perdagangan. Hal ini terwujud dalam bentuk penurunan dan penyeragaman
tarif serta penghapusan berbagai hambatan nontarif. Dengan demikian kegiatan
perdagangan dan persaingan menjadi semakin cepat, ketat, dan fair.
A. Masalah Dasar Demokrasi Ekonomi

Dari Kapitalis Primitif ke Demokrasi Sosial

Suasana emosional public yang sangat tinggi mengakibatkan nalar kolektif menjadi
kabur, bahkan macet. Akibatnya, banyak pekerjaan kreatif yang sebenarnya sangat diperlukan
untuk menata system setelah reformasi menjadi terhambat, bahkan terbengkalai. Padahal,
tingkat kerusakan system politik ekonomi politik selama dua decade terakhir ini sangat parah,
yang puncaknya terjadi pada Mei 1998. Pada masa ini juga diperlukan unsur kelompok yang
tekun, kretifitas dan jernih untuk mengisi konsep dan pranata baru yang lebih baik.

1. Kapitalisme Primitif Berstempel Pancasila

Apa masalah yang terjadi dalam system dan tatanan ekonomi politik positif yang ada di
tengah masyarakat? Kalau kita hendak jujur melakukan ekonomi politik sekarang, maka system
positif yang berlaku bias di golongkan ke dalam genetika Kapitalisme Primitif yang dipraktekan
Barat pada masa-masa awal. Penghambatan terhaadap mekanisme pasar menghapusakan
banyak sekali dimensi dan tinstitusi-institusi non ekonomi, yang hidup dan berkembang di
dalam masyarakat. Dalam prakteknya, semua aspek dan dimensi di dalm system ekonomi
politik dinafikan dan disubordinasikan ke dalam institusi pasar tanpa memberi tempat yang
cukup dan memadai bagi kekayaan khasanah institusi nonpasar di dalam masyarakat.
Teknokrat dan kekuasaan bergabung begitu kuat berhadapan dengan masyarakat dan
lembaga perwakilan yang lemah. Kebijakan ekonomi digulirkan dengan mesin institusi dan
mekanisme pasar praktis tanpa control yang efektif dalam elemen masyarakat. Perkawinan
antara pemikiran kolektif para teknokrat yang berwajah liberal tersebut dengan kekuasaan yang
otoriter melahirkan system kapitalisme primitive, yang diberi stempel Ekonomi Pancasila
dibungkus luarnya. Pasar bekerja efektif, seperti terlihat dalam pertumbuhan ekonomi, tetapi
perburuan rente, distorsi, dan monopoli sangat marak untuk kepentingan segelintir orang.
Akar pemikiran liberal seperti ini, yang di bingkai kekuasaan otoriter, menimbulkan banyak
dampak negative, yang tidak bisa secara inheren di selesaikan oleh system itu sendiri.
Kapitalisme Primitif ini akhirnya seperti kendaraan tanpa rem, yang bisa berjalan dengan baik
tetapi cepat atau lambat karena tabrakan. Institusi nonpasar sebagai tulang punggung
masyarakat tidak sepenuhnya di bangun dengan baik. Dengan demikian, banyak hal negative
yang kemudian timbul dari system tersebut sehingga menjadi beban atau biaya sosial bagi
masyarakat.
Analisis kritis seperti ini tidak berarti menafikan sama sekali bekerjanya institusi dan
mekanisme pasar, yang merupakan keniscayaan dalam system ekonomi. Institusi pasar tidak
bisa begitu saja diterima secara telanjang tanpa unsur-unsur institusi lain diluar pasar, yang
melengkapinya. Tetapi juga tidak berarti harus kembali melihat system sosialisme yang sempit.
Upaya ini tidak lain untuk melihat kembali akar pemikiran ekonomi politik liberal secara sadar
telah diterapkan dengan wajah yang tidak manusiawi. Bukti-bukti dari system itu terlihat
gamblang dari penindasan pelaku-pelaku ekonomi besar dan pemerintah terhadap kelompok
bawah.
Praktek-praktek ekonomi politik seperti ini tidak lain merupakan jelmaan sekaligus ciri
paling dasar dari kapitalisme primitive, yang sudah ditinggalkan Negara-negara utama penganut
system ini. Karena itu, tidak aneh jika pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata tidak
memberikan kesejahteraan yang proprsional antar golongan. Proses penentasan kebawah,
yang di yakini penganut kapitalisme liberal, tidak terjadi sehingga lapisan bawah hanya hidupu
dari belas kasihan kebijaksanaan karitas dari pemerintah bukan dari proses produktif yang
memberdayakan kelompok lapisan bawah ini.
Bagaimana system ini lahir secara positif di alam Indonesia selama orde baru? Salah satu
yang bertanggung jawab dari lahirnya Kapitalisme Primitif di Indonesia ini tidak lain adalah para
teknokrat Orde Baru. Bila dilihat secara anatomis, pemikiran para teknokrat ini tergolong
kedalam akar kelompok system Orde Liberal, yang tidak berkembang dan tidak menyesuaikan
pemahamannya terhadap realitas intitusi nonpasar sebagai bagian yang penting di dalam
system ekonomi politik.
Sistem ekonomi politik Orde Baru tidak lain merupakan anak langsung dari pemikir-
pemikir tersebut yang berperan sebagai ibu kandungnya. Kekuasan yang otoriter berperan
sebagai ayah kandungnya. Anak-anak lainnya adalah konglomerasi-konglomerasi, yang hidup
dan berkembang dari rente ekonomi, yang mengakibatkan tertutupnya akses public terhadap
berbagai kesempatan usaha, asset produktif, tanah dan dana serta rusaknya lingkungan usaha
yang sehat.

2. Menuju Demokrasi Sosial

Dengan alasan - alasan substansial dan konseptual-akademis seperti ini, maka diluar hura
hura demonstrasi dengan emosi yang meluap terasa ada kebutuhan sangat mendesak untuk
mengubah paradigma pemikiran ekonomi politik secara kolektif. Tujuan nya tidak lain agar
reformasi yang telah dimulai dijalanan juga memberi pengaruh kepada akademisi dan kampus-
kampus sebagai induk dari penciptaan sistem dan pranata positif yang berkembang dan hidup
di dalam masyarakat. Pemikiran - pemikiran alternatif dapat dimulai dan dikembangkan dari
mana saja kampus, kelas, dsb. Tetapi proses legal penyusunan konsep ekonomi politik baru ini
penting diwujudkan agar usaha menuju sistem ekonomi yang berwajah manusiawi bisa
diwujudkan secara bertahap meninggalkan sistem ekonomi yang berwajah garang seperti
sekarang.
Sumbangan pemikiran kolektif untuk menuju sistem ekonomi yang berwajah manusiawi bisa
datang dari mana saja. Upaya - upaya legal juga dicoba didalam sidang istimewa MPR tahun
1998 lalu dengan instrumen Rancangan ketetapan tentang ekonomi politik baru, yang
merupakan upaya konseptual untuk mentransformasikan sistem kapitalisme primitif menuju
demokrasi sosial, yang merupakan wajah asli seperti dikehendaki para pendiri Republik ini.
Wujud dari Demokrasi Sosial ini cukup berkembang di negara - negara Skandinavia, seperti
Swedia, Denmark, Finlandia,dsb. Sejarah pertumbuhan ekonomi negara - negara ini cukup
moderat tetapi lebih merata, adil dan yang terpenting berwajah manusiawi.
Politik ekonomi baru ini bias menjadi sumbangan bagi pembangunan pemikiran tentang
visi ekonomi Indonesia ke depan setelah model kapitalisme Liberal gagal dilaksanakan. Itupun
kemudian bias diperkaya oleh partai – partai baru yang tumbuh pada masa reformasi ini. Tetapi
politik ekonomi baru itu diharapkan menjadi payung bagi politik industri, politik pertanian, politik
investasi, politik utang luar negri, dsb. Ketetapan ini bisa menjadi strategi induk yang memberi
landasan bagi strategi fungsional selanjutnya di bidang – bidang ekonomi.
Konstruksi dari alur ketetapan ini adalah substansi demokrasi ekonomi, seperti tercantum
dalam UUD 1945. Kemudian, ketetapan tersebut masuk ke dalam 4 unsur pokok dari suatu
politik ekonomi. Substansi pertama dari politik ekonomi ini adalah “politik regulasi ekonomi yang
adil dan penciptaan lingkungan usaha yang sehat“. Karena itu, klausal di dalam rancangan
ketetapan adalah : “Politik ekonomi diarahkan untuk menciptakan dan memberdayakan
pengusaha menengah yang kuat dan besar jumlahnya, serta terbentuknya keterkaitan dan
kemitraan antarpelaku ekonomi yang mencakup, usaha kecil, menengah, usaha besar, dan
BUMN, yang saling memperkuat untuk mewujudkan demokrasi ekonomi dan efisiensi nasional
yang berdaya saing tinggi”.
Untuk mencapai itu maka segala bentuk penyimpangan politik dan distorsi di pasar
dihindari dengan peraturan legal tentang larangan monopoli dan persaingan yang sehat. Salah
satu klausal ketetapan ini memberi landasan yang kuat bagi produk hokum di bawahnya,
seperti UU Anti Monopoli. Klausal tesebut berisi, “Dalam pelaksanaan demokrasi ekonomi
harus dicegah, dihindari, dan ditiadakan terjadinya pemupukan asset produktif dan kekuatan
ekonomi pada seseorang, sekelompok orang, atau perusahaan, yang tidak sesuai dengan
prinsip keadilan dan pemerataan”.

B. Pelaksanaan Demokrasi Ekonomi


Dewasa ini jika ada orang bertanya tentang sistem ekonomi di Indonesia, maka umumnya
akan menjawab sistem demokrasi ekonomi. Demokrasi ekonomi dipandang sebagai suatu
sistem yang dianggap sesuai untuk diterapkan di Indonesia karena sesuai dengan UUD 1945
pasal 33. Tetapi kenyataannya benarkah demikian? Bila kita cermati dari realitasnya banyak
pertanyaan dan permasalahan yang berhubungan dengan pelaksanaan demokrasi ekonomi.
Soal demokrasi sudah teramat sering dibicarakan ataupun dibahas. Pada negara yang
menghidupkan asas demokrasi, rasanya soal penerapan asas demokrasi itu akan dibicarakan
selama orang hidup bernegara. Karena bernegara dan berdemokrasi merupakan kesatuan
yang tak terpisahkan. Namun ungkapan demokrasi itu dari zaman ke zaman secara praktis
dapat berbeda, bobot manifestasinya bisa berlainan. Tapi persoalan hakiki yang terkandung di
dalamnya tetap sama, yakni persamaan untuk menyatakan hak dan kewajiban sebagai warga
negara dalam menentukan pilihan terhadap sistem politik yang ada. Juga pengawasan
terhadap unsur-unsur sistem politik demokrasi itu secara terus menerus dilakukan demi
kepentingan rakyat.
Penerapan demokrasi di bidang ekonomi mesti bisa dirasakan dan memenuhi aspirasi
rakyat yang bergumul dengan masalah itu. Namun kekeliruan bisa saja terjadi dalam
penerapan, tidak selalu kepentingan rakyat banyak yang diutamakan. Boleh jadi, praktik politik-
ekonomi hanya merupakan kompromi antara keinginan sempit dari berbagai golongan yang
mempunyai pertimbangan dan kepentingan. Bahkan kadang-kadang kepentingan atau interest
sempit itu paling menentukan dalam pengambilan keputusan politik-ekonomi dan pelaksanaan
praktisnya.
Menurut DR. C. Westrate dalam bukunya “Ekonomi Dunia Barat” (dalam Mutis, Thoby.
2002 ), suatu tata ekonomi negara antara lain karena situasi struktur pasar yang tidak
sempurna. Di sanalah munculnya monopoli, oligopoli pada pasar penjualan, dan monopsoni
serta oligopsoni pada pasar pembelian. Semakin menggejala hal ini dalam masyarakat
ekonomi, semakin besar pula keuntungan dan permainan harga yang dinikmati oleh kelompok
masyarakat yang mempunyai kedudukan istimewa tersebut.
Makin meluasnya situasi seperti itu antara lain disebabkan oleh beberapa faktor:
1. Kemajuan teknis yang samakin berkembang, menyebabkan pihak yang meraih kemajuan
teknis itu bisa memperoleh lebih banyak dan lebih baik, seraya memposisikan mereka pada
kedudukan yang lebih istimewa.
2. Keuntungan ekonomis karena mengusahakan secara besar-besaran pada beberapa cabang
perusahaan (economics of large scale).
3. Nafsu perluasan dari beberapa pengusaha secara berlebihan. Hal ini dikarenakan
pengusaha bisa bergerak secara tak terbatas. Perluasan itu dengan sendirinya memakan
korban yang tidak sedikit. Dalam soal ini, jika tidak cepat-cepat diciptakan aturan yang jelas
mengenai pengarahan tentang perusahaan yang melakukan produksi massa, tak ayal lagi
perusahaan lemah atau industri kecil bakal mati.

C. Enam Permasalahan Utama


Ditinjau dari sisi pelaksanaan demokrasi ekonomi di Indonesia kita akan berhadapan pada
beberapa pertanyaan dan permasalahan.
Pertama, dari aneka bahasan di masa lampau, sering dibicarakan bahwa salah satu
parameter dari demokrasi ekonomi dalam masyarakat adalah munculnya pemerataan
pendapatan yang semakin baik. Pola redistribusi pendapatan yang bermakna keadilan lalu
menjadi sorotan dan dipertanyakan . Berkaitan dengan itu sering dipertanyakan kebijakan
ekonomi dalam persepektif struktural: proses, perilaku, dan penataan hukum dan perataran (law
enforcement) yang menterjemahkan dan mendukung penerapan pemerataan secara luas.
Kedua, sering juga para ekonom saat kini mempersoalkan aspek pemerataan apakah
seiring dengan pertumbuhan (redistribotion with growth sebagaimana pengalaman Taiwan,
Korea, dan Jepang) . Dalam bahasa ini akan dikaitkan aspek the principles of resource
allocation yakni alokasi sumber daya, sumber dana, dan sumber-sumber lainnya yang turut
direkayasa untuk memacu pemerataan pendapatan yang di dalamnya juga merangsang
pertumbuhan ekonomi. Termasuk juga dipertanyakan tentang penetaan harga dan perilaku
pasar yang menggerakkan alokasi secara tepat, kontekstual dan relevan. Soal lainnya adalah
penataan harga yang merangsang insentif ekonomis tetapi di dalamnya secara integralistik
mengundang unsur keadilan dalam berekonomi.
Ketiga, dalam bahasa teori ekonomi saat ini sering kita mendengar ungkapan tentang
normatice economy dan positive economy. Positive economy mempersoalkan apa yang terjadi
(actual condition). Sementara normative economy mempersoalkan what should be atau apa
yang harus terjadi. Dan dalam sudut pandang normatif muncul pikiran kritis, muncul ruang yang
mempersoalkan visi demokrasi ekonomi kita . Sudut pandang ini juga mempersoalkan apa yang
sebenarnya yang harus terjadi dalam praktek demokrasi ekonomi kita . Hal ini juga berkaitan
dengan persoalan rekayasa pemetaan ekonomi yang didasarkan pada cita-cita untuk
kemakmuran masyarakat.
Keempat, modal yang akan digerakkan tentu tidak bisa langsung diambil begitu saja dari
langit, tetapi perlu didasarkan pada visi. Dalam konteks Indonesia, visinya tentu Pancasila.
Modal dalam demokrasi ekonomipun rupanya masih dkuasai oleh pihak pihak tertentu . banyak
anggota masyarakat yang tidak memiliki modal , dipihak lain ada segelintir orang yang
menguasai modal .
Kelima, ekonom yang peka pada keadilan sosial dan pemerataan juga membicarakan
tentang kebijakan ekonomi yang di dalamnya mempersoalkan secara terus menerus tentang
aneka kebijakan (macro and micro policies) yang erat kaitannya dengan tujuan ekonomi yang
luas seperti yang dipaparkan tadi. Bahkan secara amat tajam mereka mempersoalkan tentang
penghindaran biaya sosial (social cost) oleh para pelaku ekonomi untuk mencapai tujuan
ekonomi atau melakukan kegiatan ekonomi untuk mencapai tujuan ekonomi atau melakukan
kegiatan ekonomi dari waktu ke waktu. Kebijaksanaan ekonomi jangan memaksa kepitalisme
yang tidak manusiawi menjadi pelaku ekonomi yang dominan. Rasanya permodelan ekonomi
virsi Indonesia perlu dipacu bersama secara relevan dengan kepekaan tertentu. Permodalan
dalam kerangka mewujudkan demokrasi ekonomi perlu direkayasa sesuai konteks yang
berlandaskan visi demokrasi ekonomi yaitu untuk kemakmuran rakyat secara merata.
Keenam, berkaitan dengan aneka rekayasa di atas sering dibicarakan pula tentang
koperasi, seperti di Jepang dan Korea dengan peran koperasi yang begitu kuat yang mulai
memunculkan sosok tulang punggung perekonomian negara . Bahkan penggerak koperasi di
Jepang seperti Kagawa mempersoalkan brother hood economy atau paham kekeluargaan
dalam berekonomi yang menjadi dasar koperasi sehingga koperasi di negara itu juga menjadi
agen dari demokrasi ekonomi. Pandangan Moh. Hatta dan Kagawa dalam banyak hal adalah
sama, bahwa koperasi harus dibangun mulai dari bawah dan kemudian harus menjadi besar.
Karena anggota koperasi adalah pemilik dan pengguna dari kegiatan koperasinya, maka ia
perlu direkayasa untuk menjadi besar dan kuat.

D. Monopoli dalam Demokrasi Ekonomi


Di dalam demokrasi ekonomi pelayanan kepentingan umum diutamakan. Dalam hal ini
perilaku monopoli yang merugikan kepentingan umum sangat tidak dikehendaki.
1. Undang-undang Anti Monopoli
Praktik monopoli dan persaingan yang tidak sehat yang telah berjalan selama ini telah
nyata menyebabkan kehancuran perekonomian Indonesia. Usaha dan perilaku seperti ini kita
semua tentu tidak menginginkan tumbuh subur. Untuk mencegah praktik tersebut telah dibuat
perangkat perundang-undangannya. Persepsi yang sama antara masyarakat dan pemerintah
terhadap substansi UU tersebut akan dapat mewujudkan perekonomian Indonesia yang lebih
baik.
Dalam konteks pelaksanaan UU Antimonopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,
persoalan terbesar adalah dihadapkannya peraturan tersebut pada struktur dunia bisnis yang
dibangun, yang terlanjur amat toleran bahkan secara pragmatis memang diletakkan dalam
kerangka monopoli dan oligopoli. Dalam kerangka itu dunia bisnis Indonesia berfungsi sebagai
simpul pertemuan antara pelaku bisnis pemburu rente (rent seeker) dan para pejabat korup
untuk membangun sebuah imperium kekuasaan yang langgeng.
Dengan persepsi yang sama antar berbagai pihak UU Antimonopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat akan dapat dilaksanakan dalam semangat untuk menciptakan
perekonomian yang lebih baik pada masa kini dan masa depan, demi mewujudkan impian
demokrasi ekonomi di Indonesia.

2. Mencegah Monopoli Informasi


Kalau kita berbicara tentang demokrasi ekonimi agaknya satu hal yang perlu
diperhatikan secara tuntas, soal informasi. Kita sering mendapat gambaran bahwa siapa yang
menguasai informasi dialah yang bakal meraih peluang bisnis yang paling menguntungkan. Hal
ini yang membuat sementara kalangan ekonom pernah mengatakan bahwa informasi saat ini
bisa berfungsi sebagai faktor produksi. Informasi diharapkan mampu melayani kepentingan
umum, sehingga tidak diharapkan adanya monopoli informasi untuk kepentingan individu atau
sekelompok orang.
Jika terjadi monopoli informasi seperti di atas, maka mereka yang mempunyai akses
informasi ini bisa meraih keuntungan bahkan bertambah kaya, sementara itu yang lain bisa
tetap merata. Monopoli informasi macam ini bertentangan dengan paham demokratisasi akses
informasi. Padahal managemen akses informasi perlu digerakkan untuk turut memacu
demokrasi ekonomi. Karena demokrasi ekonomi tanpa demokratisasi akses informasi akan
mengalami hambatan.

E. Demokrasi Ekonomi Era Otonomi dan Swastanisasi


Era otonomi yang diterapkan di Indonesia tidak terlepas dari upaya untuk perwujudan
demokrasi ekonomi, khususnya memberi kesempatan pada masyarakat daerah untuk lebih
berpartisipasi dalam perekonomian, sehingga terjadi peningkatan kesejahteraan di daerah-
daerah. Dalam rangka efisiensi penggunaan sumberdaya dan sumber dana maka upaya
swastanisasi sulit untuk dihindari.
1. Demokrasi Industri di Era Otonomi
Akhir-akhir ini angin keterbukaan semakin berhembus dalam alam kehidupan
bermasyarakat di Indonesia. Dalam istilah yang lebih populer kita menyatakan, bahwa proses
demokrasi menjadi semakin berkembang di Indonesia. Hal ini merupakan konsekuensi logis
dari tuntutan masyarakat Indonesia sebagai akibat kemajuan pembangunan selama ini, yang
ditandai dengan meningkatnya pendapatan, pendidikan, dan sebagainya.
2. Swastanisasi BUMN
Salah satu bentuk deregulasi dan debirokratisasi dalam tatanan ekonomi Indonesia saat
ini adalah adanya privatisasi dalam bentuk menswastakan beberapa BUMN (Badan Usaha Milik
Negara). Privatisasi bertujuan mengefisienkan penggunan sumber dana dan sumberdaya agar
menghasilkan manfaat bagi kepentingan pemilik dan para stakeholder lainnya, seperti para
karyawan, pelanggan dengan layanan yang cepat, tepat dan kalau dapat lebih murah.
Semuanya sejalan dengan upaya memacu pertumbuhan bisnis yang memadai.
BUMN tidak efisien, antara lain karena para pengayomnya dari departemen teknis
sering kurang memahami cara pembinaan yang tepat, sehingga menimbulkan inefisieni
eksternal. Berkaitan dengan itu, beragam pihak merasa perlu melakukan pembenahan terhadap
beberapa BUMN, antara lain dengan memasukkan unsur swasta atau dibeli oleh perusahaan
swasta. Selain itu, saham perusahaan negara dapat dibeli perusahaan swasta dalam jumlah
tertentu bila diubah bentuknya menjadi Perseroan Terbatas (PT) yang bisa go public.
Dengan alasan untuk memacu pertumbuhan bisnis dan mengefisienkan pelayanan,
privatisasi itu bisa diterima. Karena ada perusahaan negara yang nyata-nyata merugi akibat
mismanajemen, atau karena mismatching dari permodalannya, atau karena salah urus. Namun
tujuan ekonomi bukan melulu untuk pertumbuhan tetapi juga untuk pemerataan. Bahkan ada
ungkapan tentang redistribution with growth di negeri-negeri yang sukses melakukan privatisasi
terhadap perusahaan negara yang sebelumnya tidak efisien.

Daftar Pustaka

Soetrisno. Noer. 2003. Ekonomi kerakyatan dalam lancah globalisasi. Jakarta : deputi bidang
pengkajian sumberdaya UMKM kementrian koperasi ukm.

Todaro, Michael P dan Stephen C. Smith. 2006. Pembangunan Ekonomi. Erlangga.

Bahri, Faisal. Perekonomian Indonesia. 2002. Erlangga.

J. Rachbini, Didik. Politik Ekonomi baru menuju demokrasi ekonomi. 2001. Grasindo.

Anda mungkin juga menyukai