INDONESIA
Dr. Saparuddin M
BAB PEMBANGUNAN EKONOMI DAN
1 PERTUMBUHAN EKONOMI
Saparuddin M
Untuk mewakili bahasan teori Klasik, dalam bab ini hanya dibahas teori dari Smith.
Menurut Smith terdapat dua aspek utama dari pertumbuhan ekonomi, yaitu :
a. pertumbuhan output (GDP) total, dan
b. pertumbuhan penduduk.
Pertumbuhan Output
Sistem produksi nasional suatu negara terdiri dari tiga unsur pokok, yaitu :
a. Sumberdaya alam ( = faktor produksi tanah)
b. Sumberdaya manusia ( = jumlah penduduk), dan
c. Stok kapital yang tersedia.
Sumberdaya alam merupakan faktor pembatas ( = batas atas) dari pertumbuhan
ekonomi. Selama sumberdaya alam belum sepenuhnya dimanfaatkan maka yang memegang
peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi adalah sumberdaya manusia (tenaga kerja)
dan stok kapital. Namun, jika sumberdaya alam telah dimanfaatkan sepenuhnya ( dieksploitir)
atau dengan kata lain batas atas daya dukung sumberdaya alam telah dicapai maka
pertumbuhan ekonomi akan berhenti.
Sumberdaya manusia atau jumlah penduduk dianggap mempunyai peranan yang pasif
di dalam pertumbuhan output. Artinya, jumlah penduduk akan menyesuaikan diri dengan
kebutuhan tenaga kerja di suatu masyarakat. Misalnya, kebutuhan tenaga kerja pada suatu
saat mencapai 1 juta orang, tetapi pada saat itu hanya tersedia 900.000 orang, maka jumlah
penduduk akan cenderung meningkat sampai mencapai 1 juta orang. Jadi, berapapun tenaga
kerja yang dibutuhkan akan dapat terpenuhi. Dengan demikian, faktor tenaga kerja bukan
kendala di dalam proses produksi nasional.
Faktor kapital merupakan faktor yang aktif dalam pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu
akumulasi kapital sangat berperanan dalam proses pertumbuhan ekonomi. Umtuk
menjelaskan bagaimana peranan akumulasi kapital dalam proses pertumbuhan, Smith
mengajukan sebuah teori yang sangat terkenal, yaitu mengenai spesialisasi dan pembagian
kerja. Stok kapital (K) mempunyai dua pengaruh terhadap tingkat output total (Q), yaitu
pengaruh langsung dan pengaruh tak langsung. K berpengaruh langsung terhadap Q karena
pertambahan K ( yang diikuti pertambahan tenaga kerja, L) akan meningkatkan Q. Secara
matematis, dapat ditulis : Q = f (K,L). Pengaruh tidak langsung dari K terhadap Q adalah
berupa peningkatan produktivitas per kapita melalui dimungkinkannya spesialisasi dan
pembagian kerja (specialization and devision of labor) yang lebih tinggi. Makin besar kapital
(K) yang digunakan, makin besar kemungkinan dilakukan spesialisasi dan pembagian kerja,
dan selanjutnya akan meningkatkan produktivitas per pekerja. Peningkatan produktivitas
tersebut bersumber dari tiga hal, (1) dengan spesialisasi akan meningkatkan ketrampilan
setiap pekerja dalam bidang pekerjaannya, (2) dengan sistem pembagian kerja akan
menghemat waktu dari waktu ketika pekerja beralih dari macam pekerjaan yang satu ke
pekerjaan yang lain, dan (3) ditemukannya mesin-mesin yang mempermudah dan
mempercepat pekerjaan.
Dari penjelasan di atas, dapat diartikan bahwa peningkatkan stok kapital (K) secara
terus menerus dengan menganggap tenaga kerja (L) selalu terpenuhi, juga akan diikuti oleh
peningkatan output total (Q) terus menerus sampai mencapai batas atas sumberdaya alam. Di
sini proses pertumbuhan ekonomi berhenti. Tahap di mana proses pertumbuhan ekonomi
telah berhenti disebut posisi stasioner (stationary state). Pada posisi ini, semua proses
pertumbuhan berhenti: pertumbuhan kapital berhenti, pertumbuhan penduduk berhenti,
pertumbuhan output berhenti.
Pertumbuhan Penduduk
Menurut Smith, penduduk meningkat apabila tingkat upah yang berlaku lebih tinggi
daripada tingkat upah subsistensi, yaitu tingkat upah yang hanya dapat untuk memenuhi
kebutuhan sekedar untuk hidup ( upah pas-pasan). Jika tingkat upah lebih tinggi daripada
tingkat upah subsistensi maka banyak penduduk melaksanakan perkawinan relatif muda
sehingga jumlah kelahiran meningkat dan akhirnya jumlah penduduk bertambah. Sekarang
faktor apakah yang menentukan tingkat upah? Tingkat upah ditentukan oleh jumlah
permintaan tenaga kerja. Apabila permintaan tenaga kerja lebih tinggi dari penawaran tenaga
kerja (jumlah penduduk) maka tingkat upah akan tinggi. Dan sebaliknya, jika permintaan
tenaga kerja lebih rendah dari penawaran tenaga kerja maka tingkat upah akan rendah.
B. Transisi kependudukan
Yang mencerminkan kenaikan taraf hidup rakyat di suatu negara adalah besarnya
tabungan dan akumulasi kapital dan laju pertumbuhan penduduknya. Laju pertumbuhan yang
sangat cepat di banyak negara sedang berkembang nampaknya disebabkan oleh fase atau
tahap transisi demografi yang dialaminya. Negara-negara sedang berkembang mengalami
fase transisi demografi di mana angka kelahiran masih tinggi sementara angka kematian telah
menurun. Kedua hal ini disebabkan karena kemajuan pelayanan kesehatan yang menurun
angka kematian balita dan angka tahun harapan hidup. Ini terjadi pada fase kedua dan ketiga
dalam proses kependudukan. Umumnya ada empat tahap dalam proses transisi, yaitu:
Tahap 1: Masyarakat pra-industri, di mana angka kelahiran tinggi dan angka kematian tinggi
menghasilkan laju pertambahan penduduk rendah;
Tahap 2: Tahap pembangunan awal, di mana kemajuan dan pelayanan kesehatan yang lebih
baik menghasilkan penurunan angka kelahiran tak terpengaruh karena jumlah
penduduk naik.
Tahap 3: Tahap pembangunan lanjut, di mana terjadi penurunan angka kematian balita,
urbanisasi, dan kemajuan pendidikan mendorong banyak pasangan muda berumah
tangga menginginkan jumlah anak lebih sedikit hingga menurunkan angka
kelahiran. Pada tahap ini laju pertambahan penduduk mungkin masih tinggi tetapi
sudah mulai menurun;
Tahap 4: Kemantapan dan stabil, di mana pasangan-pasangan berumah tangga
melaksanakan pembatasan kelahiran dan mereka cenderung bekerja di luar rumah.
Banyaknya anak cenderung hanya 2 atau 3 saja hingga angka pertambahan neto
penduduk sangat rendah atau bahkan mendekati nol.
Dua hal esensial harus dilakukan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi adalah,
pertama sumber-sumber yang harus digunakan secara lebih efisien. Ini berarti tak boleh ada
sumber-sumber menganggur dan alokasi penggunaannya kurang efisien.Yang kedua,
penawaran atau jumlah sumber-sumber atau elemen-elemen pertumbuhan tersebut haruslah
diusahakan pertambahannya.Elemen-elemen yang memacu pertumbuhan ekonomi tersebut
adalah sebagai berikut.
1. Sumber-sumber Alam
Elemen ini meliputi luasnya tanah, sumber mineral dan tambang, iklim, dan lain-lain.
Beberapa negara sedang berkembang sangat miskin akan sumber-sumber alam,
sedikitnya sumber-sumber alam yang dimiliki meruoakan kendala cukup serius.
Dibandingkan dengan sedikitnya kuantitas serta rendahnya persediaan kapital dan
sumber tenaga manusia maka kendala sumber alam lebih serius.
2. Sumber-sumber Tenaga Kerja
Masalah di bidang sumber daya manusia yang dihadapi oleh negara-negara sedang
berkambang pada umumnya adalah terlalu banyaknya jumlah penduduk,
pendayagunaannya rendah, dan kualitas sumber-sumber daya tenaga kerja sangat
rendah.
3. Kualitas Tenaga Kerja yang Rendah
Negara-negara sedang berkembang tak mampu mengadakan investasi yang memadai
untuk menaikkan kualitas sumber daya manusia berupa pengeluaran untuk memelihara
kesehatan masyarakat serta untuk pendidikan dan latihan kerja.
4 . Akumulasi Kapital
Untuk mengadakan akumulasi kapital diperlukan pengorbanan atau penyisihan konsumsi
sekarang selama beberapa decade. Di negara sedang berkembang, tingkat pendapatan
rendah pada tingkat batas hidup mengakibatkan usaha menyisihkan tabungan sukar
dilakukan. Akumulasi kapital tidak hanya berupa truk, pabrik baja, plastik dan sebagainya;
tetapi juga meliputi proyek-proyek infrastruktur yang merupakan prasyarat bagi
industrialisasi dan pengembangan serta pemasaran produk-produk sektor pertanian.
Akumulasi kapital sering kali dipandang sebagai elemen terpenting dalam pertumbuhan
ekonomi. Usaha-usaha untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi dilakukan dengan
memusatkan pada akumulasi kapital. Hal ini karena, pertama, hampir semua negara-
negara berkembang mengalami kelangkaan barang-barang kapital berupa mesi-mesin
dan peralatan produksi, bangunan pabrik, fasilitas umum dan lain-lain. Kedua,
penambahan dan perbaikan kualitas barang-barang modal sangat penting karena
keterbatasan tersedianya tanah yang bisa ditanami.
1. Beberapa negara sedang berkembang mengalami ketidak stabilan sosial, politik, dan
ekonomi. Ini merupakan sumber yang menghalangi pertumbuhan ekonomi. Adanya
pemerintah yang kuat dan berwibawa menjamin terciptanya keamanan dan ketertiban
hukum serta persatuan dan perdamaian di dalam negeri. Ini sangat diperlukan bagi
terciptanya iklim bekerja dan berusaha yang merupakan motor pertumbuhan ekonomi.
2. Ketidakmampuan atau kelemahan setor swasta melaksanakan fungsi entreprenurial
yang bersedia dan mampu mengadakan akumulasi kapital dan mengambil inisiatif
mengadakan investasi yang diperlukan untuk memonitori proses pertumbuhan.
3. Pertumbuhan ekonomi merupakan hasil akumulasi kapital dan investasi yang dilakukan
terutama oleh sektor swasta yang dapat menaikkan produktivitas perekonomian. Hal
ini tidak dapat dicapai atau terwujud bila tidak didukung oleh adanya barang-barang
dan pelayanan jasa sosial seperti sanitasi dan program pelayanan kesehatan dasr
masyarakat, pendidikan, irigasi, penyediaan jalan dan jembatan serta fasilitas
komunikasi, program-program latihan dan keterampilan, dan program lainnya yang
memberikan manfaat kepada masyarakat.
4. Rendahnya tabungan-investasi masyarakat (sekor swasta) merupakan pusat atau
faktor penyebab timbulnya dilema kemiskinan yang menghambat pertumbuhan
ekonomi. Seperti telah diketahui hal ini karena rendahnya tingkat pendapatan dan
karena adanya efek demonstrasi meniru tingkat konsumsi di negara-negara maju olah
kelompok kaya yang sesungguhnya bias menabung.
5. Hambatan sosial utama dalam menaikkan taraf hidup masyarakat adalah jumlah
penduduk yang sangat besar dan laju pertumbuhannya yang sangat cepat. Program
pemerintahlah yang mampu secara intensif menurunkan laju pertambahan penduduk
yang cepat lewat program keluarga berencana dan melaksanakan program-program
pembangunan pertanian atau daerah pedesaan yang bisa mengerem atau
memperlambat arus urbanisasi penduduk pedesaan menuju ke kota-kota besar dan
mengakibatkan masalah-masalah social, politis, dan ekonomi.
6. Pemerintah dapat menciptakan semangat atau spirit untuk mendorong pencapaian
pertumbuhan ekonomi yang cepat dan tidak hanya memerlukan pengembangan faktor
penawaran saja, yang menaikkan kapasitas produksi masyarakat, yaitu sumber-
sumber alam dan manusia, kapital, dan teknologi;tetapi juga faktor permintaan luar
negeri. Tanpa kenaikkan potensi produksi tidak dapat direalisasikan.
3. Perlunya Disertivikasi
Usaha mengadakan disertivikasi bagi negara-negara pengekspor utama minyak dan gas
bumi merupakan upaya mempertahankan atau menstabilkan penerimaan devisanya.
Tantangan ini muncul, terutama karena dalam kaitannya dengan upaya menurunkan
jumlah penduduk miskin, upaya pembangunan dan penyempurnaan sistem perlindungan
sosial merupakan masalah penting yang perlu diperhatikan dan direspon dengan baik. Akses
masyarakat, terutama masyarakat miskin terhadap pelayanan dasar, meliputi pendidikan,
kesehatan, perumahan, serta air minum dan sanitasi dasar masih terbatas. Selain itu, jumlah
penduduk yang rentan untuk jatuh miskin, baik karena guncangan ekonomi maupun karena
bencana alam masih cukup besar.
Kecenderungan harga-harga kebutuhan pokok, dan harga Bahan Bakar Minyak (BBM),
sangat berpengaruh terhadap daya beli masyarakat miskin. Kesemuanya ini merupakan
masalah yang harus ditangani, agar efektivitas penurunan jumlah penduduk miskin dapat
ditingkatkan.
Tantangan ini mengemuka, terutama karena upaya penurunan jumlah penduduk miskin
masih terkendala dengan belum meratanya upaya pembangunan yang dilakukan, dimana
pembangunan masih dominan dilakukan di perkotaan dan di pulau Jawa. Di lain pihak,
sebesar 63,5 persen dari jumlah penduduk miskin tinggal di perdesaan, dan persentase
kemiskinan di luar Pulau Jawa, terutama Nusa Tenggara, Maluku dan Papua lebih tinggi
dibanding di Pulau Jawa. Di samping itu, pelaksanaan program pembangunan masih bersifat
parsial dan belum terfokus. Kemandirian masyarakat dalam proses pembangunan berbasis
masyarakat juga masih sangat terbatas. Kelompok masyarakat berpendapatan rendah pada
umumnya tidak memiliki jaminan yang cukup untuk mengakses kredit/pembiayaan perbankan,
meskipun mereka memiliki usaha yang layak secara ekonomi untuk dibiayai. Terbatasnya
dukungan terhadap perkembangan usaha masyarakat kelompok miskin menyebabkan
lambatnya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dikeluarkannya program Kredit Usaha
Rakyat (KUR), yaitu percepatan penyaluran kredit/pembiayaan yang berasal dari sumber
dana perbankan dengan dukungan penjaminan untuk kredit usaha mikro, kecil dan menengah
(UMKM) dan koperasi (Inpres 06/2007) merupakan langkah bijak yang ditempuh Pemerintah.
Namun demikian, efektivitas penyaluran KUR dan pendampingannya merupakan tantangan
yang harus ditangani secara tepat untuk mendukung upaya perkuatan usaha dan peningkatan
pendapatan masyarakat. Oleh karena itu, tantangan lain yang dihadapi adalah memperkuat
usaha masyarakat berpendapatan rendah.
Tantangan ini timbul, terutama karena perubahan iklim global yang terjadi akhir-akhir ini
sangat berpengaruh terhadap ketahanan pangan, sumber daya air dan energi, karena adanya
bencana alam seperti banjir dan kekeringan, perubahan musim tanam, serta peningkatan
suhu dan pasang air laut yang ekstrem yang menyebabkan ketidakpastian nelayan untuk
melaut. Berkaitan dengan hal tersebut, tantangan yang dihadapi untuk meningkatkan
kapasitas mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim global di antaranya adalah: (i)
melengkapi dan lebih mengakuratkan pendataan dan permodelan iklim regional untuk
Indonesia untuk memudahkan para perencana pembangunan dan pelaksana pembangunan
mengantisipasi dampak terjadinya perubahan iklim; (ii) memperbaiki pengintegrasian
tindakan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, termasuk pengurangan risiko bencana ke
dalam perencanaan pembangunan nasional dan daerah; (iii) meningkatkan dan
menyeragamkan kepedulian dan pemahaman masyarakat dan aparat pemerintah, sehingga
pembangunan yang dilakukan sejalan dengan tujuan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim
pengurangan risiko bencana; serta (iv) meningkatkan koordinasi antarlembaga dalam
menangani perubahan iklim pengurangan risiko bencana dengan memanfaatkan struktur
institusi yang telah ada.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Suroso, 1995, Peranan Lembaga Keuangan Formal dan Non-Formal dalam
Pengembangan Industri Kecil (Suatu Survey di Provinsi Jawa Tengah), Disertasi
Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung.
Baltagi, Badi H, 2001, Econometric Analysis of Panel Data, Secon Edition, New York, John
Willey & Son, Ltd.
Becker, G.S. 1965. A Theory of Allocation of Time. Economic Journal, 299 (75): 493–517.
Chenery, Hollis. and Moises Syrquin (1975), Patterns of Development, 1950-1970, Oxford
University Press, London.
Dawam Rahardjo, 1996, Faktor-faktor Keuangan yang Mempengaruhi Usaha Kecil dan
Menengah di Indonesia, dalam aspek-aspek Finansial Usaha Kecil dan Menengah
(Studi Kasus Asean), LP3ES, Jakarta.
Gary, Dessler, 1997, Manajemen Sumberdaya Manusia, Edisi Bahasa Indonesia Jilid I, PT,
Prenhallindo, Jakarta.
Hailuddin, 2006, Faktor-Faktor Internal dan Eksternal yang Mempengaruhi Akses Industri
Kecil Manufaktur terhadap Perkreditan Lembaga Keuangan Perbankan (Studi
pada Industri Kecil di Lombok Nusa Tenggara Barat) Pascasarjana Universitas
Padjadjaran, Bandung
Hsio, Cheng, 1995, Analysis of Panel Data, Reprinted-5th, Econometric Society Monographs
No. 11, New York. Cambridge University Press.
Karjadi Mintaroem, Nurtjahja Moegni, Imam Syafi'I, 2002. Analisis Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Pertumbuhan Industri Kecil Di Wilayah Segitiga Industri Di Jawa
Timur, Unair Jawa Timur, Unair Jawa Timur
Lipsey, R.G, P.O. Steiner and D.D. Purvis. 1993. Economics. Tenth Edition. Harper & Row.
Terjemahan. Bina Aksara, Jakarta.
Nelson, Robert., 2001, Economics as Religion. University Park PA, The Pennsylvania State
University Press.
Pindyck, R. S. and D. L. Rubinfeld. 1991. Econometric Models and Economic Forcasts. Third
Edition. McGraw-Hill Inc, New York.
Ranis, Gustav. 2004. Human Development And Economic Growth. Economic Growth Center
Yale University. Center Discussion Paper No. 887 Salvatore, Dominick. 2001.
Managerial Economic. New York: Fordham University
Riana Panggabean, 2002, Membangun Paradigma Baru dalam Mengembangkan UKM, Dep.
Kemetrian Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah, Jakarta
Singh, I., L. Squire and J. Strauss. 1986. Agricultural Household Models: Extension,
Application and Policy. The John Hopkins University Press, Baltimore.
Tulus Tambunan, M. dan B. White. 1991. Perkembangan dan Permasalahan Industri Rotan di
Indonesia Pasca Larangan Ekspor dengan Kasus Industri Rotan Tegalwangi, Jawa
Barat. Kerjasama Pusat Studi Pembangunan Institut Pertanian Bogor dan Instititut
of Social Studies the Hague, Bogor. Thomas, R.L. 1997. Modern Econometrics an
Introduction. Addison Wesley
Todaro, Michael P. 2000. Pembangunan Ekonomi. Penerjemah: Aris Munandar. Edisi Kelima.
PT. Bumi Aksara. Jakarta
Yuyun Wirasasmita, 2000, Micro Economic Aspects of Small Scale Tradisional Family
Enterprise, Wacana Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Seni Guru Besar Universitas
Padjadjaran, Bandung.
BAB KONSEP DAN ANALISIS SISTEM NERACA
2 INDONESIA
PNB adalah seluruh nilai produk barang dan jasa yang dihasilkan masyarakat
suatu Negara dalam periode tertentu, biasanya satu tahun, termasuk didalamnya
barang dan jasa yang dihasilkan oleh masyarakat Negara tersebut yang berada di
luar negeri.
NNP adalah jumlah barang dan jasa yang dihasilkan oleh masyarakat dalam
periode tertentu, setelah dikurangi penyusutan (depresiasi) dan barang pengganti
modal.
NNI adalah jumlah seluruh penerimaan yang diterima oleh masyarakat setelah
dikurangi pajak tidak langsung (indirect tax)
f. DI (Disposible Income)
DI = PI – Pajak langsung
Metode Produksi
Pendapatan nasional merupakan penjumlahan dari seluruh nilai barang dan jasa
yang dihasilkan oleh seluruh sector ekonomi masyarakat dalam periode tertentu
Metode Pendapatan
Pendapatan nasional merupakan hasil penjumlahan dari seluruh penerimaan (rent,
wage, interest, profit) yang diterima oleh pemilik factor produksi adalam suatu negara
selama satu periode.
Y=r+w+i+p
Metode Pengeluaran
Pendapatan nasional merupakan penjumlahan dari seluruh pengeluaran yang
dilakukan oleh seluruh rumah tangga ekonomi (RTK,RTP,RTG,RT Luar Negeri) dalam
suatu Negara selama satu tahun.
Y = C + I + G + (X – M)
I X S0 M 0
Y
SM
280 100 40 20
Y
0,3 20
b. Saving Ekuilibrium
S = -40 + 0,3 Y
= -40 + 0,3 x 800
= -40 + 240 = 200
c. Impor Ekuilibrium
M = C + I + X- M
800 = C + 280 + 100 – 180
C = 800-200 = 600
C =Y–S
= 800- 200 = 600
1. Pendekatan angka pengganda luar negeri atau foreign trade multiplier approach. Model
analisis ini hanya memperhatikan satu pasar atau sektor saja, yaiXupasar komoditi, yang
biasa disebut juga sektor nyata atau real sector, sektor pengeluaran atau expenditure
sector. Lebih lanjut model angka pengganda perdagangan luar negeri ini dapat dibedakan
antara:
o Model angka pengganda tanpa pantulan
o Model angka pengganda dengan pantulan
2. Pendekatan IS-LM. Pendekatan IS-LM ini di samping memperhatikan sektor nyata juga
memperhatikan sektor moneter atau pasar uang. Macam pendekatan ini akan diuraikan
secara singkat, menggunakan anggapan bahwa pembaca sudah mengetahui analisis IS-
LM untuk perekonomian tertutup Untuk perekonomian terbuka kesamaan antara
pendapatan nasional, output nasional dan pengeluaran total nasional tidak lagi berlaku.
Kesamaan antara pendapatan nasional dengan output nasional masih tetap berlaku
selama jumlah pendapatan modal yang dibayar oleh penduduk negara tersebut kepada
para investor asing sama dengan jumlah pendapatan yang diterima penduduk negara
tersebut yang berasal dari penanaman modalnya di luar negeri. Keadaan perekonomian
seperti inilah yang kita pakai sebagai landasan dalam menerangkan analisis pendapatan
nasional untuk perekonomian kita.
Model anlalisis dengan variabel investasi dan tabungan
Analisis keuangan pemerintah biasanya mencakup 4 aspek sebagai berikut, yaitu :
1. Operasi keuangan pemerintah dalam hubungan dengan defisit / surplus anggaran dan
sumber-sumber pembiayaannya;
2. Dampak operasi keuangan pemerintah terhadap kegiatan sektor riil melalui pengaruhnya
terhadap Pengeluaran Konsumsi dan Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto
(PMTDB) pemerintah;
3. Dampak rupiah operasi keuangan pemerintah atau pengaruh operasi keuangan
pemerintah terhadap ekspansi bersih pada jumlah uang yang beredar;
4. Dampak Valuta Asing operasi keuangan pemerintah atau pengaruh operasi keuangan
pemerintah terhadap aliran devisa masuk bersih.
Terdapat sumber data untuk memperkirakan Investasi dan Tabungan Nasional, yaitu :
Data Produk Domestik Bruto atas dasar harga berlaku menurut penggunaan
Neraca Arus Dana yang digunakan oleh tim gabungan BPS, Bank Indonesia, dan
Departemen Keuangan.
Kurva Philip
Masalah utama dan mendasar dalam tenaga kerja di Indonesia adalah masalah upah
yang rendah dan tingkat pengangguran yang tinggi. Hal tersebut disebabkan karena,
pertambahan tenaga kerja baru jauh lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan lapangan
kerja yang dapat disediakan setiap tahunnya. Pertumbuhan tenaga kerja yang lebih besar
dibandingkan dengan ketersediaan lapangan kerja menimbulkan pengangguran yang tinggi.
Pengangguran merupakan salah satu masalah utama dalam jangka pendek yang selalu
dihadapi setiap negara. Karena itu, setiap perekonomian dan negara pasti menghadapi
masalah pengangguran, yaitu pengangguran alamiah (natural rate of unemployment).
Kurva Phillips di Indonesia dapat digambarkan dengan menggunakan data tingkat inflasi
tahunan dan tingkat pengangguran yang ada. Data digunakan adalah data dari tahun 1980
hingga tahun 2005. Berdasarkan hasil pengamatan dengan data yang ada, maka kurva
Phillips untuk Indonesia terlihat seperti gambar berikut :
Perekonomian Nasional
Tekanan eksternal sebagai dampak dari terjadinya krisis global telah
mengakibatkan perlambatan pada pertumbuhan perekonomian Indonesia tahun 2008.
Setelah mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi sebesar 6,3 persen pada tahun 2007,
perekonomian Indonesia melambat menjadi 6,1 persen pada tahun 2008. Dari sisi penggunaan,
konsumsi rumah tangga menjadi sumber utama pertumbuhan diikuti oleh ekspor dan
investasi. Sedangkan dari sisi sektoral pertumbuhan tersebut didominasi oleh
pertumbuhan sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor listrik, gas, dan air bersih,
serta sektor keuangan.
Konsumsi rumah tangga yang mempunyai peran sekitar 60 persen dalam
pembentukan PDB tumbuh sebesar 5,3 persen, meningkat dibandingkan tahun 2007
yang tumbuh sebesar 5,0 persen. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga disumbangkan
oleh konsumsi makanan sebesar 4,3 persen dan konsumsi bukan makanan sebesar 6,2
persen. Kebijakan Pemerintah meningkatkan belanja sosial dan pemberian kompensasi
kenaikan harga BBM dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT) mengurangi penurunan daya
beli masyarakat.
Penguatan konsumsi rumah tangga ditunjukkan oleh peningkatan indikator-
indikator konsumsi, antara lain penerimaan PPN, penjualan mobil-motor, konsumsi listrik, dan
kredit konsumsi. PPN dalam negeri dan PPN impor dalam tahun 2008 masing-masing
tumbuh sebesar 14,2 persen dan 44,7 persen. Sementara itu, pertumbuhan penjualan motor dan
mobil masing-masing mencapai 32,6 persen dan 39,3 persen. Indikator konsumsi dari sisi
moneter, seperti kredit konsumsi tumbuh sebesar 33,4 persen.
Pengeluaran konsumsi Pemerintah selama tahun 2008 tumbuh sebesar 10,4 persen,
lebih tinggi dibandingkan tahun 2007 yang hanya tumbuh sebesar 3,9 persen. Pertumbuhan
ini didorong oleh kenaikan belanja barang yang meningkat sebesar 22,6 persen sedangkan
belanja pegawai justru melambat menjadi 4,5 persen.
Investasi merupakan sumber ketiga pertumbuhan PDB dari sisi penggunaan. Selama
tahun 2008, investasi mencatat pertumbuhan sebesar 11,7 persen, lebih tinggi dibanding
tahun 2007 yang tumbuh sebesar 9,4 persen. Pertumbuhan investasi yang peranannya dalam
PDB mencapai 27,6 persen, didorong oleh
tingginya investasi jenis alat angkutan dari luar
GRAFIK II.5
PERTUMBUHAN PDB TAHUN 2005 - 2008 negeri sebesar 41,4 persen
7% 6.3% 6.1% Pertumbuhan ekspor pada tahun 2008
6% 5.7% 5.5%
5%
mencapai 9,5 persen atau lebih tinggi dibanding
4% tahun 2007 yang mencapai 8,5 persen yang
3% didukung oleh tumbuhnya ekspor barang
2%
sebesar 8,7 persen dan ekspor jasa sebesar
1%
0%
17,5 persen. Meningkatnya pertumbuhan
2005 2006 2007 2008 ekspor barang ini terutama disebabkan oleh
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) meningkatnya permintaan komoditi seperti Crude
Palm Oil (CPO), minyak bumi dan barang
pertambangan. Peranan ekspor menempati
urutan kedua setelah konsumsi rumah tangga
dalam PDB yaitu sebesar 29,8 persen.
Pertumbuhan impor mencapai 10,0 persen pada tahun 2008 atau lebih tinggi dibanding tahun
2007 sebesar 8,97 persen.
Sektor industri pengolahan tumbuh sebesar 3,7 persen menurun dibandingkan
tahun sebelumnya yang tumbuh sebesar 4,7
persen. Menurunnya pertumbuhan sektor ini GRAFIK II.6
SUMBER-SUMBER PERTUMBUHAN EKONOMI
terkait dengan terjadinya krisis global yang 2005 - 2008
menyebabkan turunnya permintaan produk- 20%
2005 2006 2007 2008
produk domestik terutama industri makanan, 16%
Sementara itu, sektor perdagangan tumbuh sebesar 7,2 persen, lebih rendah
dibandingkan dengan pertumbuhan tahun 2007 yang sebesar 8,4 persen. Mengurangi
penurunan daya beli masyarakat dan cenderung tingginya suku bunga ikut
mendorong penurunan pertumbuhan sektor ini. Sektor perdagangan memberikan
peranan terbesar kedua dalam PDB, yaitu sebesar 14,0 persen yang berasal dari peranan
subsektor perdagangan besar dan eceran sebesar 11,1 persen, subsektor restoran sebesar
2,5 persen, dan subsektor hotel sebesar 0,4 persen. Sedangkan kontribusinya terhadap
pertumbuhan PDB mencapai 1,2 persen.
Sektor pertanian menunjukkan pertumbuhan yang meningkat dibandingkan
tahun sebelumnya, yaitu dari 3,4 persen pada tahun 2007 menjadi 4,8 persen pada tahun
2008. Peningkatan ini terutama disebabkan oleh meningkatnya pertumbuhan subsektor
tanaman bahan makanan khususnya padi. Berbagai program dan kebijakan telah
diluncurkan Pemerintah untuk mendukung pertumbuhan sektor pertanian, antara lain
kenaikan harga pembelian gabah dan beras, penggunaan benih varietas unggul melalui
program peningkatan produksi beras nasional (P2BN), perbaikan distribusi pupuk, perbaikan
sistem irigasi, dan perbaikan usaha pasca panen.
Tajamnya kenaikan harga minyak internasional telah mendorong Pemerintah untuk
meningkatkan harga BBM. Namun kondisi ini tidak terlalu berpengaruh secara signifikan
terhadap tingkat penyerapan tenaga kerja Indonesia. Kuatnya fundamental ekonomi
nasional yang disertai dengan terjaganya stabilitas ekonomi serta didukung oleh
pertumbuhan sektor industri mampu mendorong peningkatan permintaan terhadap tenaga
kerja. Hal ini pada gilirannya dapat memperluas kesempatan kerja.
Anggaran secara umum : Rencana kegiatan keuangan yang berisi perkiraan belanja yang
diusulkan dalam satu periode dan sumber pendapatan yang diusulkan untuk membiayai
belanja tersebut
Fungsi anggaran :
a. Pedoman pengelolaan Negara
b. Alat prioritas
c. Alat negosiasi politik
Siklus APBN
Bentuk Anggaran
a. Sebelum tahun 2000 berbentuk huruf T (T Account)
b. Tahun 2000 dan sesudahnya berbentuk huruf I (I Account)
Manfaat Anggaran
a. Alokasi, membagi sumber daya dana secara tepat
b. Distribusi, memeratakan pendapatan masyarakat
c. Stabilisasi, menjaga stabilisasi nasional dan pertumbuhan ekonomi
Konsep ini ingin mengukur besarnya pinjaman bersih pemerintah dan didefinisikan
sebagai :
G – T = B = Bn + Bb + Bf
Catatan :
G = Seluruh pembelian barang dan jasa (didalam maupun luar negeri),
pembayaran transer dan pemberian pinjaman bersih.
T = Seluruh penerimaan, termasuk penerimaan pajak dan bukan pajak
B = Pinjaman total pemerintah
Bn = Pinjaman pemerintah dari masyarakat di luar sektor perbankan
Bb = Pinjaman pemerintah dari sektor perbankan
Bf =Pinjaman pemerintah dari luar negeri
Defisit menurut konsep nilai bersih adalah saldo dalam rekening lancar APBN.
Konsep ini digunakan untuk mengukur besarnya tabungan yang diciptakan oleh
sektor pemerintah, sehingga diketahui besarnya sumbangan sektor pemerintah
terhadap pembentukan modal masyarakat.
3. Defisit Domestik
• Saldo anggaran keseluruhan tidak merupakan tolok ukur yang tepat bagi
dampak APBN terhadap pereknomian dalam negeri maupun terhadap neraca
pembayaran.
• Bila G dan T dipecah menjadi dua bagian (dalam negeri dan luar negeri)
G = Gd + Gf
T = Td + Tf, maka persamaan (2) di atas menjadi
(Gd – Td) + (Gf – Tf) = + Bf
(Gd – Td) = dampak langsung putaran pertama terhadap PDB
(Gf – Tf) = dampak langsaung putaran pertama terhadap neraca pembayaran
4. Defisit Moneter
Penyusunan APBN 2010 mengacu pada ketentuan yang tertuang dalam Undang-
undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dengan berpedoman kepada
Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2010, Kerangka Ekonomi Makro, dan Pokok-pokok
Kebijakan Fiskal tahun 2010 sebagaimana telah disepakati dalam pembicaraan pendahuluan
antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia tanggal 17 Juni 2009
yang lalu.
Selanjutnya, siklus dan mekanisme APBN meliputi: (a) tahap penyusunan RAPBN
oleh Pemerintah; (b) tahap pembahasan dan penetapan RAPBN dan RUU APBN menjadi
APBN dan UU APBN dengan Dewan Perwakilan Rakyat; (c) tahap pelaksanaan APBN; (d)
tahap pemeriksaan atas pelaksanaan APBN oleh instansi yang berwenang antara lain
Badan Pemeriksa Keuangan; dan (e) tahap pertanggungjawaban pelaksanaan APBN. Siklus
APBN 2010 akan berakhir pada saat Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP)
disahkan oleh DPR pada 6 bulan setelah berakhirnya tahun anggaran.
TABEL
ASUMSI EKONOMI MAKRO 2009-2010
2009
Dok. 2010
Indikator Ekonomi
APBN Stimulus APBN-P APBN
% thd PDB
-1.0
dalam rangka “Pemulihan Perekonomian
-1.5
Nasional dan Pemeliharaan
-2.0
Kesejahteraan Rakyat” sesuai dengan tema
-2.5
Rencana Kerja Pemerintah tahun 2010.
-3.0
Sejalan dengan tema pembangunan tersebut, APBN-P
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 APBN
maka pokok-pokok kebijakan fiskal tahun Sumber: Departemen Keuangan 2010
Sebagai suatu neraca pembukuan, neraca pembayaran dapat dibedakan kepada dua
bagian: passive dan aktiva. Dalam bagian passive di catat transaksi-transaksi yang
menyebabkan negara itu melakukan pembayaran ke negara-negara lain. Dan dalam bagian
aktiva dicatatkan transaksi-transakit yang menyebabkan negara itu menerima pembayaran
dari negara lain. Selanjutnya suatu neraca pembayaran dibedakan pula menjadi dua jenis
pembukuan, yaitu transaki berjalan atau current account dan lalu lintas modal atau capital
account.
1. Transaksi berjalan. Dalam transaksi berjalan atau current account dicatat transaksi-
transaksi berikut:
b. Ekspor dan impor jasa-jasa. Transaksi ini dikenal sebagai perdagangan tak nyata.
Yang termasuk dalam golongan ini adalah transaksi-transaksi dalam kegiatan
pengangkutan, kegiatan perjanalan luar negeri, pendapatan dari investasi modal,
dan beberapa kegiatan jasa lainnya.
Nilai neraca suatu negara positif bila neraca tersebut lebih banyak menjual jasa-
jasanya ke luar negeri dan membelinya dari negara-negara lain. Nilanya negatif
bila negara itu lebih banyak membeli jasa pihak-pihak luar dan menjual jasanya ke
luar negeri.
2. Lalu lintas modal. Neraca lalu lintas modal atau Capital account mencatat dua golongan
transaksi: (i) aliran modal pemerintah, dan (2) aliran modal swasta.
a. Aliran modal pemerintah. Ini biasanya berupa pinjaman dan bantuan dari negara-
negara asing yang diberikan kepada pemerintah atau badan-badan pemerintah.
Misalnya pinjaman untuk membangun irigasi termasuk dalam golongan transaksi
ini.
b. Aliran modal swasta Ia dibedakan dalam tiga jenis, yaitu investasi langsung,
investasi portfolio dan amortasi. Investasi langsung adalah investasi untuk
mengembangkan perusahaan-perusahaan. Investasi portfolio adalah investasi
dalam bentuk membeli saham-saham di negara lain. Amortisasi adalah pembelian
kembali saham-saham atau kekayaan lain yang pada masa lalu telah dijual kepada
penduduk negara-negara lain.
1. Transaksi berjalan
Memberikan gambaran tentang nilai transaksi yang diakibatkan oleh kegiatan perdagangan
barang dan jasa. Dengan demikian data yang di tunjukkan menggambarkan nilai barang
(seperti karet, minyak, hasil industri manufaktur) dan jasa (seperti pelancongan) yang di
perdagangkan.
2. Transaksi modal
Transaksi ini dibedakan menjadi dua kelompok nilai neto aliran modal kepada pemerintah dan
nilai neto aliran swasta.
3. Selisih perhitungan
Nilai selisih perhitungan meningkat dari US$ 701 juga menjadi lebih dari US$ 3,8 milyar.
Pertambahan ini menggambarkan aliran modal yang tak dicatat semakin meningkat.
Neraca Keseluruhan
Neraca keseluruhan menggambarkan jumlah aliran neto yang di catat di ketiga kelompok
transaksi, yaitu transaksi berjalan, transaksi modal dan selisih perhitungan.Sebagai contoh:
Aliran modal bukan saja memerlukan kestabilan ekonomi dan prospek keteguhan sector
moneter, tapi juga bergantung kepada kestabilan politik dan sosial masyarakat, seterusnya
neraca perdagangan yang bertambah baik memerlukan perkembangan ekspor yang pesat.
Neraca Berjalan
Neraca berjalan mencatat traksaksi-transaksi berikut:
a. ekspor dan impor barang tampak
b. ekspor dan impor jasa (atau barang tak tampak)
c. pembayaran pindahan neto ke luar negeri
Pembayaran Pindahan
Ini meliputi pembayaran pindahan yang dilakukan oleh pihak pemerintah maupun
pihak swasta. Transaksi ini meliputi pembayaran di mana penerimanya tidak perlu
“membayar” dalam bentuk uang atau jasa. Contoh-contoh dari pembayaran pindahan adalah
bantuan uang suatu Negara Arab Afghanistan.
Neraca Modal
Neraca Modal meliputi dua golongan transaksi, yaitu aliran modal jangka panjang dan
aliran modal keuangan swasta
a. Aliran Modal Jangka Panjang: meliputi jenis aliran modal yaitu aliran modal resmi dan
investasi angsung oleh pihak swasta ke negara-negara lain. Aliran modal resmi adalah
pinjman dan pembayaran di antara badan-badan pemerintah di sesuatu negara
dengan negara-negara lain. Sedangkan investasi langsung swasta adalah penanaman
modal langsung, yaitu investasi berupa mendirikan perusahaan-perusahaan terutama
perindustrian. Modal yang di belanjakan diperoleh dari negara asal perusahaan
tersebut. Perbedaan di antara modal jangka panjang yang diterima dari luar negeri
dengan modal jangka panjang yang dibayarkan ke luar negeri dinamakan neraca
modal jangka panjang.
Soesastro, Hadi, dkk. 2005. Pemikiran dan permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam
setengah abad terakhir. Jakarta : Kanisius (Anggota IKAPI)
Utama, Priyo, dkk. 1999. Ekonomi Indonesia dalam krisis dan Transisi Politik. Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama.
Anwar, Moh. Arsjad, dkk. 1988. Ekonomi Indonesia Masalah dan prospek 1988/1989.
Jakarta : Universitas Indonesia (UI Press)
Oppusungu, H.M.T. 1988. Mitos Ekonomi Statistik Indonesia. Jakarta : Universitas
Indonesia (UI-Press)
Djiwandono, J. Soedrajad. 2001. Mengelola Bank Indonesia dalam masa krisis. Jakarta :
Pustaka LP3ES.
Sukirno, sadono. 2004. Makroekonomi Teori pengantar. Jakarta: PT Raja Grafind Persada
Nota Keuangan dan RAPBN 2010 Departemen Keuangan RI
BAB TRANFORMASI STRUKTURAL
3 PEREKONOMIAN INDONESIA
Tabel
Perkembangan Beberapa Hasil Sejak REPELITA I, II
Kegiatan REPELITA I REPELITA II
(1969/70-1973/74) (1974/75-1978/79)
1. Prod. Pangan/Beras
(rata-rata per tahun, juta 14 16,5
ton)
2. Pertumbuhan Ekonomi
Dari 3% selama 1960/68 naik
(pertumbuhan GDP/rata- 7,2%
menjadi 6,7%
rata per tahun)
3. Pendapatan rata-rata
Dari U$ 80 naik menjadi U$
penduduk per tahun U$ 300
170
(income per capita)
4. Ekspor:
(dalam U$ juta) 1969 : 384 1978/79 : 7.374
a. Migas : 1973/74: 1.708
b. Non-Migas 5.084 14.255
(jumlah seluruh) (jumlah seluruh)
Tabel
Pertumbuhan PDB dan Sektor Industri Manufaktur Indonesia, 1997-2005 (%)
Sektor Ekonomi 199 1998 1999 200 2001*) 2002 2003** 2004** 2005
7 0 ) )
PDB 4,7 - 0,8 4,9 3,8 4,3 4,9 4,9 5,6
13,1
Sektor industri 5,3 - 3,9 6,0 3,3 5,9 5,3 6,4 4,6
manufaktur 11,4
Industri Migas -2,0 3,7 6,8 -1,7 -6,2 2,5 0,6 12,9
Industri Nonmigas 6,3 - 3,5 7,0 4,9 6,4 5,4 10,6
13,1
*) Mulai 2001 atas dasar harga konstan 2000
**) Angka Sementara
(Sumber: Kuncoro, 2007: 91)
Periode Pemulihan dan Pengembangan (2005-2009)
Pada tahun 2005 – 2009 merupakan masa pemulihan dan pengembangan
pertumbuhan industri di Indonesia setelah krisis. Revitalisasi, konsolidasi, dan rekstrukturisasi
industri masih menjadi salah satu fokus kebijakan industri. Sementara itu, pemerintah pun
meprioritaskan pengembangan industri berkeunggulan kompetitif dengan pendekatan kluster
(Kuncoro, 2007: 91)
Industrialisasi di Indonesia sama dengan India dan China, yaitu tidak memiliki
pengalaman industrialisasi yang panjang dan belum cukup memiliki sektor permodalan yang
baik, tetapi cukup sukses dalam melakukan transformasi ke industri yang bersifat outward-
inward. Mengapa hal ini terjadi? Dikarenakan Indonesia memiliki SDA yang potensi besar
seperti Migas dan Produk-Produk lainnya yang masih menjadi bahan mentah, meskipun
Ekspor Indonesia besar dalam segi kuantitas, tetapi tidak dapat menghasilkan pendapatan
yang lebih, karena industri Indonesia belum mempunyai pengalaman panjang untuk mengolah
semua SDA menjadi barang ekspor siap pakai,
Ada beberapa hal penting dalam membahas industri di Indonesia, yaitu:
Industri Indonesia beragam, mulai dari industri pertambangan besar hingga
industri kecil rumah tanga.
Industri Indonesia terbagi menjadi dua bagian besar, yakni sektor Migas dan
Non Migas.
Data di atas merupakan data PDB 4 Sektor. Sektor Primer terdiri dari sektor pertanian
dan pertambangan. Sektor Manufaktur terdiri dari sektor industri pengolahan. Sektor Utiliti
terdiri dari sektor Listrik, Bangunan dan Pengangkutan. Sektor Jasa terdiri dari sektor
perdagangan, keuangan dan jasa-jasa.
Agar kita dapat melihat kontribusi setiap sektor pada masa Inward and Outward
Looking, maka kita harus membuat persentase setiap sektor dari masing-masing tahun.
Jika kita perhatikan grafik transformasi di atas, sektor Primer yang terdiri dari pertanian
dan pertambangan semakin lama menurun dan di ikuti oleh sektor manufaktur. Pada kasus
kali ini, sektor pertanian lebih kecil kontribusinya terhadap perekonomian daripada sektor
industri manufaktur. Hal ini dikarenakan pemerintah lebih fokus terhadap sektor industri dari
orientasi Inward-Looking hingga Inward and Outward Looking. Salah satu kebijakan yang
mempengaruhi sektor industri manufaktur adalah substitusi impor.
Tapi, mengapa sektor manufaktur semakin lama menurun? Hal ini disebabkan oleh
banyak hal, seperti krisis finansial, kurangnya infrastruktur yang mendukung, kurangnya
investasi di bidang industri manufaktur. Tetapi transformasi struktural ini akan diikuti oleh
perubahan sistem pertanian tradisional ke sistem pertanian bertaraf industri. Tetapi di
Indonesia sendiri, sistem pertanian bertaraf industri atau modern masih sedikit dari sisi
kuantitasnya sehingga tidak berpengaruh besar terhadap kontribusi perekonomian.
Meskipun sektor industri manufaktur lebih besar daripada sektor primer yaitu pertanian,
namun jika dilihat dari jumlah tenaga kerja lebih besar sektor pertanian. Mengapat kontribusi
sektor pertanian tidak lebih besar dibandingkan sektor industri manufaktur, padahal dari sisi
kuantitas tenaga kerja lebih besar sektor pertanian?
Hal ini disebabkan karena sektor pertanian masih menggunakan sistem tradisional,
sehingga tidak berpengaruh terhadap pendapatan jika jumlah tenaga kerjanya banyak. Jika
semakin banyak petani tetapi lahan pertanian semakin kecil, maka pendapatan pun semakin
kecil dan tidak efisien lagi. Tetapi lain halnya dengan industri manufaktur, mereka dituntut
untuk berproduksi dengan efesien agar tidak kalah saing sehingga pendapatan pun lebih
besar.
Dari kasus tersebut, kita berharap ke depan agar pertanian tetap mengejar
kontribusinya terhadap sektor industri manufaktur dengan menggunakan sistem pertanian
industri/modern. Dan transformasi struktural ini tidak akan hanya berlaku dari pertanian ke
industri saja tetapi juga dari pertanian tradisional ke pertanian modern.
DAFTAR PUSTAKA
Ardnt, H. W. 1991. Pembangunan Ekonomi Indonesia Penerjemah: Ari Basuki dan Budiawan.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Kuncoro, Mudrajad. 2007. Ekonomika Industri Indonesia menuju negara industri baru 2030.
Yogyakarta: ANDI.
BAB PROSES DEMOGRAFI:
4 KEMISKINAN DAN PENGANGGURAN
Kata demografi berasal dari bahasa Yunani yang berarti ‘Demos´ adalah rakyat atau
penduduk dan ‘Grafein’ adalah menulis. Jadi Demografi adalah tulisan-tulisan atau
karangan-karangan mengenai rakyat atau penduduk.
“Demografi adalah ilmu yang mempelajari secara statistic dan matematik tentang
besar, komposisi dan distribusi penduduk dan perubahan-perubahannya sepanjang
masa melalui bekerjanya 5 komponen demografi yaitu (Kelahiran (Fertilitas),
Kematian (Mortalitas), Perkawinan, Migrasi dan Mobilitas Sosial”.
Philip M. Hauser & Dudley Duncan: demografi mempelajari tentang jumlah, persebaran
territorial dan komposisi penduduk serta perubahan-perubahanya dan sebab-sebab
perubahan tersebut.
Jadi dapat disimpulkan bahwa demografi adalah ilmu yang mempelajari keadaan
perubahan-perubahan penduduk, meliputi kelahiran, kematian, migrasi sehingga
menghasilkan suatu keadaan dan komposisi penduduk menurut umur dan jenis kelamin
tertentu.
Dinamika Penduduk
Pt = Po + (B – D) + (Mi – Mo)
1. Fertilitas
Dalam pengertian demograsi, fertilitas adalah kemampuan riil seorang wanita untuk
melahirkan, yang dicerminkan dalam jumlah bayi yang dilahirkan.
Beberapa ukuran dasar fertilitas yang sering dugunakan dengan dua macam
pendekatan adalah:
Misal:
Banyaknya kelahiran di Jakarta pada tahun 2010 adalah 365.760 orang bayi.
Banyaknya penduduk Jakarta pada pertengahan tahun 9.588.198 orang.
Maka:
Yaitu banyaknya kelahiran tiap seribu wanita pada kelompok umur tertentu.
Tabel 1
Perhitungan ASFR, DKI Jakarta 2000
ASFR tiap 1000
Umur Wanita Penduduk Wanita Kelahiran
wanita
15 – 19 264.960 15.840 60
20 – 24 208.080 41.040 197
25 – 29 200.880 50.400 251
30 – 34 163.440 49.680 304
35 – 39 151.200 18.000 119
40 – 44 110.160 7.200 65
45 – 49 66.960 720 11
c. Angka Fertilitas Total (Total Fertility Rate)
TFR = 5(60+197+251+304+119+65+11)
= 5 x 1007
Ini berarti, setiap wanita di Jakarta pada tahun 2000 rata-rata akan mempunyai
anak sebanyak 5 orang di akhir masa reproduksinya.
2. Mortalitas (Kematian)
Ialah jumlah kematian pada tahun tertentu dibagi dengan jumlah penduduk pada
pertengahan tahun tersebut.
D = jumlah kematian
P = jumlah penduduk pada pertengahan tahun
k = 1000
Contoh: Negara A pada 31 Desember 2000 penduduknya 550 jiwa dan 650 jiwa
pada 31 Desember 2001. Jadi penduduk pada pertengahan tahun2001 adalah
Apabila terdapat 15 A pada Negara A selama tahun 2010, maka
per seribu. Jadi di Negara A pada tahun 2001 rata-rata
terdapat 25 kematian per 1000 penduduk.
Angka ini menyatakan banyaknya kematian pada kelompok umur tertentu per 1000
penduduk dalam kelompok umur tertentu.
Migrasi sering diartikan sebagai perpindahan penduduk yang relative permanen dari
suatu daerah ke daerah lain. Orang yang melakukan migrasi disebut migran.
Perkembangan manusia pada beribu-ribu tahun yang lalu sangat lambat tetapi
kemudian bergerak dengan cepat. Gejala pertumbuhan penduduk yang cepat ini dikenal
dengan istilah “Population Explosion” atau dikenal dengan Peledakan Penduduk.
Pertumbuhan penduduk yang makin cepat ini dapat dimengerti apabila kiita melihat
adanya penemuan Penicilin pada tahun 1930 dan program kesehatan masyarakat yang
makin meningkat sejak tahun 1960-an. Dengan perkembangan teknologi obat-obatan maka
angka kematian menurun sedangkan angka kelahiran masih tetap tinggi sehingga
membuat selisih antara kedua angka tersebut semakin besar. Dengan kata lain
pertumbuhan penduduk makin cepat.
Pertumbuhan penduduk yang makin cepat tersebut, mengundang banyak masalah.
Tetapi ini tidak berarti pada zaman dahulu masalah penduduk belum ada. Dengan
munculnya tulisan Malthus pada akhir abad ke 18, masalah penduduk mempunyai angin
baru dalam literatur-literatur ekonomi. Sedangkan pada zaman sebelum Malthus pun
masalah penduduk sudah banyak dibicarakan, tetapi belum terarah. Seperti halnya dengan
filosof-filosof Cina yang memasalahkan jumlah optimum penduduk yang bekerja pada
tanah pertanian. Mereka merumuskan suatu proporsi yang ideal antara luas dan tanah
dengan jumlah penduduk.
Sedangkan Malthus melihat perpacuan antara pertambahan penduduk dan
makanan dengan mengikuti deret ukur dan deret hitung. Malthus berpendapat bahwa
penduduk berkembang secara deret ukur, sementara produksi bahan makanan
berkembang mengikuti deret hitung. Sehingga, menurut Malthus, dimasa depan akan
terdapat kekurangan bahan makanan karena pertumbuhan produksi pangan tidak akan
sanggup menyamai pertumbuhan penduduk. Tetapi Malthus mempunyai kelemahan atas
pendapatnya tersebut karena tidak melihat peranan teknologi, perkembangan social
ekonomi, dan perkembangan penduduk sendiri (yang menurut Malthus akan dua kali lipat
dalam 25 tahun), perkembangan alat kontrasepsi, dan sebagainya. Perkembangan
penemuan-penemuan baru di bidang teknologi, meluasnya pengetahuan dan tingkat
pendidikan merupakan salah satu pengerem pertumbuhan penduduk seperti yang
diramalkan Malthus. Lee menyebut ini sebagai positive check dari teori Malthus. Sementara
menurut Lee ada pengerem lain yang disebut preventive check, yaitu melalui penundaan
perkawinan sampai mereka memilki cukup kemampuan keuangan untuk membangun
keluarga. Sedangkan Kuznets melihat bahwa pertumbuhan penduduk yang cepat akan
mendorong perubahan ekonomi yang tampak dalam penyempurnaan teknologi yang
mengarah pada pembangunan ekonomi serta keercayaan akan penguasaan terhadap
lingkungan sekitar yang mengarah pada perobahan kelembagaan. Perubahan social
ekonomi ini akan nyata tampak dalam bidang pertanian. Menurut Boserup, pertumbuhan
penduduk akan memaksa petani bekerja lebih giat dan emnggunakan tanah secara
intensive. Jadi, jelas bahwa ketakutan yang dibayangkan Malthus tidak begitu mengerikan
seperti yang diramalkannya.
Pada tahun-tahun terakhir ini, masalah sosial dan ekonomi telah membawa kearah
makin dekatnya perhatian diberikan pada hubungan antara demografi, sosio ekonomi dan
faktor-faktor lainnya ke dalam dua pendekatan, yatiu:
1. Besar (size), komposisi dan distribusi penduduk akan mempengaruhi kegiatan-
kegiatan social dan ekonomi masyarakat.
2. Keadaan ekonomi dan lingkungan akan menentukan tingkAat dan pola kelahiran,
mortalitas dan migrasi.
Secara nasional, laju pertumbuhan penduduk Indonesia per tahun selama sepuluh
tahun terakhir adalah sebesar 1,49 persen. Laju pertumbuhan penduduk Provinsi Papua
adalah yang tertinggi dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia, yaitu
sebesar 5,46 persen.
Bila dilihat menurut pulau atau kelompok kepulauan, provinsi dengan laju pertumbuhan
penduduk tertinggi dan terendah adalah sebagai berikut:
(1) Sumatera
Provinsi Kepulauan Riau merupakan provinsi dengan laju pertumbuhan penduduk
tertinggi, yaitu sebesar 4,99 persen. Sementara itu, provinsi yang memiliki laju
pertumbuhan penduduk terendah adalah Provinsi Sumatera Utara, yaitu sebesar
1,11 persen.
(2) Jawa
Provinsi yang memiliki laju pertumbuhan penduduk tertinggi adalah Provinsi Banten,
yaitu sebesar 2,79 persen. Sedangkan provinsi dengan laju pertumbuhan penduduk
terendah adalah Provinsi Jawa Tengah, yaitu sebesar 0,37 persen.
(3) Bali-Nusa Tenggara
Provinsi Bali memiliki laju pertumbuhan penduduk tertinggi, yaitu sebesar 2,15
persen. Sedangkan provinsi dengan laju pertumbuhan penduduk terendah adalah
Provinsi Nusa Tenggara Barat, yaitu sebesar 1,17 persen.
(4) Kalimantan
Provinsi Kalimantan Timur merupakan provinsi dengan laju pertumbuhan penduduk
tertinggi, yaitu sebesar 3,80 persen. Sementara itu, provinsi yang memiliki laju
pertumbuhan penduduk terendah adalah Provinsi Kalimantan Barat, yaitu sebesar
0,91 persen.
(5) Sulawesi
Provinsi Sulawesi Barat memiliki laju pertumbuhan penduduk tertinggi, yaitu sebe-
sar 2,67 persen. Sedangkan provinsi dengan laju pertumbuhan penduduk terendah
adalah Provinsi Sulawesi Selatan, yaitu sebesar 1,17 persen.
(6) Maluku-Papua
Provinsi yang memiliki laju pertumbuhan penduduk tertinggi adalah Provinsi Papua,
yaitu sebesar 5,46 persen. Sedangkan provinsi dengan laju pertumbuhan penduduk
terendah adalah Provinsi Maluku Utara, yaitu sebesar 2,44
Sumber:BPS
Tren Jumlah Penduduk Indonesia
Penduduk Indonesia terus bertambah dari waktu ke waktu. Ketika pemerintah Hindia
Belanda mengadakan sensus penduduk tahun 1930 penduduk nusantara adalah 60,7 juta
jiwa. Pada tahun 1961, ketika sensus penduduk pertama setelah Indonesia merdeka,
jumlah penduduk sebanyak 97,1 juta jiwa. Pada tahun 1971 penduduk Indonesia sebanyak
119,2 juta jiwa, tahun 1980 sebanyak 146,9 juta jiwa, tahun 1990 sebanyak 178,6 juta jiwa,
tahun 2000 sebanyak 205,1 juta jiwa, dan pada tahun 2010 sebanyak 237,6 juta jiwa.
Sumber: BPS
KEMISKINAN
1. Kemiskinan alamiah. Kemiskinan alamiah terjadi akibat sumber daya alam yang
terbatas, penggunaan teknologi yang rendah, dan bencana alam. Contohnya dulu di
daerah Gunung Kidul yang tanahnya/alamnya sangat miskin sehingga penduduknya
banyak yang miskin. Kemiskinan ini hanya dapat di atasi dengan bantuan dari luar
daerah.
2. Kemiskinan buatan. Kemiskinan ini terjadi karena lembaga-lembaga yang ada di
masyarakat membuat sebagian anggota masyarakat tidak mampu menguasai sarana
ekonomi dan berbagai fasilitas lain yang tersedia hingga mereka tetap miskin.
Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2010 sebesar 31,02 juta orang
(13,33 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2009 yang berjumlah
32,53 juta orang (14,15 persen), berarti jumlah penduduk miskin berkurang 1,51 juta orang.
Sementara itu, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan turun lebih besar daripada
daerah perdesaan. Selama periode Maret 2009 - Maret 2010, penduduk miskin di daerah
perkotaan berkurang 0,81 juta orang, sementara di daerah perdesaan berkurang 0,69 juta
orang (Tabel 8.2). Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan
tidak banyak berubah dari Maret 2009 ke Maret 2010. Pada Maret 2009, sebagian besar
(63,38 persen) penduduk miskin berada di daerah perdesaan begitu juga pada Maret 2010
yang sebesar 64,23 persen. Penurunan jumlah dan persentase penduduk miskin selama
periode Maret 2009-Maret 2010 tampaknya berkaitan dengan faktor-faktor berikut:
a. Selama periode Maret 2009-Maret 2010 inflasi umum relative rendah, yaitu sebesar
3,43 persen.
b. Rata-rata upah harian buruh tani dan buruh bangunan masingmasing naik sebesar
3,27 persen dan 3,86 persen selama periode Maret 2009-Maret 2010.
c. Produksi padi tahun 2010 (hasil Angka Ramalan/ARAM II) mencapai 65,15 juta ton
GKG, naik sekitar 1,17 persen dari produksi padi tahun 2009 yang sebesar 64,40
juta ton GKG.
d. Sebagian besar penduduk miskin (64,65 persen pada tahun 2009) bekerja di sektor
pertanian. NTP (Nilai Tukar Petani) naik 2,45 persen dari 98,78 pada Maret 2009
menjadi 101,20 pada Maret 2010.
Garis Kemiskinan dipergunakan sebagai suatu batas untuk menentukan miskin atau
tidaknya seseorang. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata
pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan. Selama Maret 2009-2009
menjadi Rp. 211.726,- per kapita per bulan pada Maret 2010 (Tabel 8.2). Dengan
memperhatikan komponen Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari Garis Kemiskinan
Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM), terlihat bahwa peranan
komoditi makanan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan
(perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Pada Maret 2009 sumbangan GKM
terhadap GK sebesar 73,6 persen, dan sekitar 73,5 persen pada Maret 2010. Pada Maret
2010, komoditi makanan yang memberi sumbangan terbesar pada Garis Kemiskinan
adalah beras yaitu sebesar 25,20 persen di perkotaan dan 34,11 persen di perdesaan.
Rokok kretek filter memberikan sumbangan terbesar ke dua kepada Garis Kemiskinan
(7,93 persen di perkotaan dan 5,90 persen di perdesaan). Komoditi lainnya adalah gula
pasir (3,36 persen di perkotaan dan 4,34 persen di perdesaan), telur ayam ras (3,42 persen
di perkotaan dan 2,61 di perdesaan), mie instan (2,97 persen di perkotaan dan 2,51 persen
di perdesaan), tempe (2,24 persen di perkotaan dan 1,91 persen di perdesaan), bawang
merah (1,36 persen di perkotaan dan 1,66 persen di perdesaan), kopi (1,23 persen di
perkotaan dan 1,56 persen di perdesaan), dan tahu (2,01 persen di perkotaan dan 1,55
persen di perdesaan). Untuk komoditi nonmakanan, biaya perumahan dan listrik
mempunyai peranan yang cukup besar terhadap Garis Kemiskinan. Biaya perumahan
menyumbang peranan sebesar 8,43 persen di perkotaan dan 6,11 persen di perdesaan.
Sedangkan, biaya listrik menyumbang andil sebesar 3,30 persen di perdesaan dan 1,87
persen di perkotaan. Selain itu, biaya angkutan menyumbang 2,48 persen di perkotaan dan
1,19 persen di perdesaan. Sedangkan, biaya pendidikan menyumbang andil 2,40 persen di
perkotaan dan 1,16 persen di perdesaan.
1. Kemiskinan merupakan kondisi yang kurang beruntung karena bagi kaum miskin akses
terhadap perubahan politik dan institusional sangat terbatas.
2. Kemiskinan merupakan kondisi yang cenderung menjerumuskan orang miskin ke
dalam tindak kriminal.
3. Bagi pembuat kebijaksanaan, kemiskinan itu sendiri juga mencerminkan kegagalan
kebijaksanaan pembangunan yang telah diambil pada masa lampau.
PENGANGGURAN
PencariKerja
IP 100
Angka tan Kerja
PENDUDUK
(Total Population)
Ibu Rumah
Sekolah Tangga Lain-lain
Penyebab Pengangguran
a. Perubahan Struktural.
Seperti disebutkan Reynolds, Masters dan Moser (1986:269) jenis pengangguran ini
terjadi karena mismatch (tak sepadan/ ketidakcocokan) antara kualifikasi pekerja yang
membutuhkan pekerjaan dengan persyaratan yang diinginkan. Hal ini biasanya terjadi
karena adanya perubahan struktur ekonomi. Struktur ekonomi dapat diamati dari
dominasi kontribusi sektoral terhadap produksi nasional (regional) maupun dalam
pemberian kesempatan kerja. Bila sektor industri memberikan kontribusi paling besar
terhadap PDB dibanding dengan sektor lainnya, maka struktur perekonomian tersebut
adalah industri, atau sebaliknya (Sadono Sukirno, 1985). Katakanlah dalam suatu
negara atau daerah terjadi pergeseran struktur ekonomi dari sektor pertanian ke
industri. Dampak selanjutnya, adalah dibutuhkannya kualifikasi tenaga kerja yang
cocok di sektor industri. Ketika persyaratan ini tidak terpenuhi (mismatch), maka
tenaga kerja yang ada menjadi tidak terpakai, kecuali terjadi penyesuaian kualifikasi
seperti yang dibutuhkan.
b. Pengaruh Musim.
Kegiatan ekonomi masyarakat sering terpengaruh oleh irama musim. Ada masa
“ramai” sehingga banyak permintaan tenaga kerja dan ada masa kegiatan mengendur,
dalam periode satu tahun. Selama kegiatan mengendur terjadi pengangguran dan
akan terpecahkan secara otomatis bila tiba masa ramai kembali. Pada saat menunggu
datangnya masa yang lebih ramai, oleh pencacah ia akan dicatat sebagai penganggur.
Contoh yang paling klasik seperti di sektor pertanian. Pada saat penyiapan lahan untuk
ditanami dan dilanjutkan ke penanaman, mungkin dibutuhkan tenaga kerja yang
banyak. Namun, pada saat tanaman tumbuh, tenaga yang dibutuhkan menyusut
drastis karena permintaan tenaga kerja terbatas pada pemeliharaan saja dan juga
pada masa panen. Namun, pada saat menanam benih kembali, maka permintaan
tenaga kerja secara besar-besaran meningkat lagi. Irama kegiatan ini diulang-ulang
sehingga menjadi rutin setiap tahun. Dalam hal ini iklim alam berlaku. Perubahan
musim terjadi bukan hanya di sektor pertanian saja, tetapi sering pula terjadi pada
sektor lain, akibat perilaku manusia seperti, pada musim liburan dan tahun baru,
misalnya, suasana sektor jasa transportasi dan pariwisata menjadi sangat sibuk (full
employed) dibanding dengan hari-hari biasa. Demikian pula pada saat menjelang,
sedang dan setelah bulan Suci Ramadhan, nampak permintaan terhadap barang dan
jasa meningkat (demand for good) yang selanjutnya akan membawa dampak otomatis
terhadap permintaan tenaga kerja (derived demand) di sektor yang bersangkutan.
Keterangan :
Rumus di atas dapat pula digunakan untuk melakukan prediksi kebutuhan tenaga kerja
pada sektor tertentu untuk perioda tertentu. Misalnya, bila besarnya koefisien elastisitas
penyerapan kerja (Eks) dan laju pertumbuhan ekonomi (%ΔQ) sudah diketahui (given),
maka dengan menggunakan persamaan (2) laju pertumbuhan penyerapan tenaga kerja
yang diinginkan (%ΔL) dapat diperkirakan (ceteris paribus). Formula ini dapat pula
diterapkan pada level yang lebih rendah lagi, misalnya Kabupaten, Kota atau tingkat
Kecamatan sekalipun.
f. Diskriminasi.
Diskriminasi tidak hanya terjadi pada warna kulit saja (race discrimination), tetapi bisa
terjadi pula pada aspek lain, misalnya pada sektor pendidikan, ekonomi, hukum,
Agama dan lainnya. Misalnya, ketika perlakukan diskriminatif terjadi di bidang ekonomi,
maka kemungkinan dampak yang akan dirasakan adalah hilangnya kesempatan
berusaha dan kesulitan akses pada sumber-sumber pertumbuhan ekonomi (modal,
alam dan informasi, dll). Situasi inilah yang pada gilirannya akan menghambat pada
penciptaan lapangan kerja itu sendiri. Jadi beban ketenagakerjaan akan berat sekali
ketika perlakukan disriminatif di bidang ekonomi masih ada. Demikian juga bila akses
pendidikan dan pengembangan SDM tidak diberikan seluas-luasnya kepada publik,
dampak selanjutnya adalah terpuruknya kualitas SDM, dan dalam jangka panjang
kesempatan akan sulit diraih oleh tenaga kerja.
(a) tidak diimbangi dengan sarana dan prasaranan pendidikan yang memadai,
(b) rendahnya anggaran pendidikan,
(c) rendahnya tingkat kesehatan,
(d) tidak seimbang dengan laju pertumbuhan kesempatan kerja,
(e) rendahnya pembentukan modal,
(f) rendahnya kualitas tenaga kependidikan,
(g) rendahnya balas jasa di sektor pendidikan (gaji, honor, jasa riset dsb),
(h) rendahnya daya beli masyarakat,
(i) minimnya sumberdaya ekonomi yang bisa dieksploitasi,
(j) masih rendahnya pemahaman tentang arti penting pendidikan, dan
(k) rendahnya fasilitas dan kualitas kesehatan yang dibutuhkan masyarakat.
Dampak Pengangguran
Bisa dipastikan bahwa pengangguran yang terjadi akan membawa dampak pada
aspek (sektor) lainnya. Aspek-aspek yang akan terkena langsung adalah kesehatan dan
pendidikan. Karenanya sebagian beban biaya pendidikan dan kesehatan harus ditanggung
(bahkan merupakan kewajiban) pemerintah. Bila pengangguran tersebut berlangsung
cukup lama, maka kemiskinan absolut bahkan kelaparan bisa terjadi. Dampak lain dari
pengangguran di antaranya adalah :
(a) Ketimpangan sosial. Ini terjadi karena tidak seluruh komponen masyarakat
menganggur, selalu ada sekelomok masyarakat yang nasibnya masih beruntung, ia
dapat bekerja dengan normal bahkan memperoleh penghasilan yang berlebih,
(b) Kecemburuan sosial. Hal ini terjadi karena terpicu oleh disparitas sosial yang ada,
misalnya ketimpangan pendapatan, status sosial dan kekuasaan,
(c) Meningkatnya budget pemerintah untuk sektor pendidikan dan kesehatan,
(d) Meningkatnya kriminalitas dan kekerasan sosial lainnya,
(e) Munculnya sikap permisif (serba boleh) sebagai jalan pintas untuk mempertahankan
hidup,
(f) Tidak lancarnya sistem demokrasi, karena money politic lebih dominan
(g) Disharmonisnya sistem rumah tangga, karena penopang kelangsungan rumah
tangga (penghasilan) tidak memadai lagi,
(h) Meningkatnya sex komersial (pelacuran), sebagai representasi sulitnya mencari
lapangan kerja,
(i) Melemahnya daya beli, sebagai konsekuensi langsung dari ketidakberdayaan
ekonomi (rendahnya pendapatan rumah tangga), dan
(j) Kekuasaan dan harga diri diukur oleh tingkat kekayaan dan penghasilan yang dpat
diperoleh (seba uang). Sebetulnya ini suatu kekeliruan yang paling patal, namun
masyarakat cenderung berperilaku seperti itu. Dirasakan sekali dengan uang
segalanya jadi lancar, menyenangkan, status sosial terangkat dan dihargai orang
lain.
Terdapat beberapa alternatif (cara) yang bisa dilakukan dalam rangka mengatasi
masalah pengangguran. Cara ini mengikuti dua pola (jalur), yaitu lewat jalur demand for
labour, dan supply of labour. Upaya mengatasi pengangguran lewat jalur permintaan
tenaga kerja berkaitan dengan penciptaan lapangan kerja baru secara langsung. Jalur ini
biasanya berhubungan dengan aspek-aspek sebagai berikut :
(d) Kerjasama
Kerjasama akan sangat bergantung pada kredibilitas pemerintah, situasi objektif
wilayah (peluang pasar, potensi wilayah, keamanan, politik dan kelembagaan yang
mendukung sistem pemerintahan). Bila hal ini telah dipastikan kondusif, maka
investor cenderung siap melakukan kerjasama (pengembangan wilayah), sehingga
pada gilirannya berdampak pada pertumbuhan ekonomi daerah dan kesempatan
kerja,
Sedangkan lewat jalur supply of labor lebih terkait dengan pengembangan sumber
daya manusia (human capital formation). Implementasi praktis lewat jalur ini, seperti
disarankan beberapa ahli (Reynolds, Masters and Moser, 1986; Ehrenberg-Smith, 1988;
Sudarman Damin, 2003) adalah dengan model-model kegiatan sebagai berikut :
(a) Primary and high school education (peningkatan dan penguatan pendidikan dasar
dan menengah). Biasanya ini dilakukan oleh pemerintah. Mekanismenya adalah
dengan penyediaan anggaran yang cukup memadai. Tanpa dukungan dari
pemerintah, program ini tidak akan berjalan dengan baik, karena model pendidikan
ini bersifat massal. Artinya harus diikuti oleh semua warga yang telah masuk pada
usia sekolah,
(b) College and postgraduate education (kursus-kursus dan pendidikan lanjutan,
misalnya Perguruan Tinggi). Pendanaan program ini tidak menjadi kewajiban
negara sepenuhnya, tetapi tetap subsidi anggaran di sektor ini harus diberikan
(c) Training provided by employers on the job (pelatihan yang disediakan langsung
oleh perusahaan terkait langsung dengan pekerjaan). Program ini merupakan
kebutuhan perusahaan dalam rangka penajaman wilayah garapan (jobs) yang akan
langsung ditangani di perusahaan yang bersangkutan. Hal ini bisa tidak terkait
dengan program subsidi pemerintah. Kegiatan ini akan beragam sekali tergantung
spesifikasi bidang usaha yang dikembangkan oleh perusahaan,
(f) Memberikan fasilitas dan pelayanan kesehatan. Fasilitas dan pelayanan kesehatan
sangat diperlukan oleh tenaga kerja, karena akan terkait langsung dengan
produktifitas dan semangat kerja. Bahkan secara permanen semua warga
seharusnya mendapatakan pelayanan asuransi yang memadai, tidak hanya tenaga
kerja, dan
(i) tenaga kerja memiliki keahlian yang memadai sesuai dipersyaratkan di tempat
tujuan mereka bekerja,
(ii) tingkat kepadatan penduduk di daerah tujuan masih kondusif,
(iii) sudah tidak ada lagi potensi daerah asal yang bisa dikembangkan,
(iv) upah yang akan diterima lebih baik daripada di daerah asal, dan
(v) perlakuan terhadap tenaga kerja di daerah tujuan tidak menyimpang.
Pada tingkat implementasi, model jalur supply of labor (human capital formation)
sering menghadapi beberapa hambatan (Jinghan, 2000) diantaranya :
Setengah Pengangguran
JamKerjaRiil
1 JumlahPe ker ja
JamKerjaPenuh
10
1 4orang 3orang
40
Ekuivalen penuh waktu (EPW) dapat langsung dihitung dengan:
JamKerjaRiil
EPW
JamKerjaPenuh
Dari indeks setengah pengangguran (ISP) itu pun dapat langsung diperoleh
dengan rumusan ini.
ISP = (1-EPW)
Dengan cara ini kita dapat menghitung besarnya setengah pengangguran. Bila
jumlah ekuivalen ini ada pada jumlah pencari kerja, maka tingkat pengangguran akan
lebih tinggi dari sekedar 2%.
Pengangguran ekuivalen ini tidak tercatat sebagai pencari kerja terbuka, sehingga
golongan ini disebut sebagai pengangguran tersembunyi (disguised unemployment)
atau kurangnya kesempatan kerja (underemployment).
2. Kekurangan Pendapatan
Permintaan tenaga kerja ada dalam posisi terbaik bila nilai produk marginal yang
diperoleh dari penggunaan tenaga kerjanya sama dengan tingkat upah.
NPM = U
(VMP = W)
Jadi, bila pendapatan yang diterima lebih rendah dari yang seharusnya, NPM yang
dihasilkan lebih rendah daripada yang seharusnya. Karena satu dan lain hal kenyataan
bahwa NPM riil lebih dari NPM potensial atau upah riil lebih rendah daripada upah
potensial yang mungkin dapat dijangkaunya.
Masalah yang harus diselesaikan adalah berapa banyak tingkat pendapatan yang
diharapkan oleh seseorang dengan keterampilan tertentu. Dari pelajaran statistic,
pendapatan yang diharapkan adalah sama dengan pendapatan rata-rata atau
dirumuskan sebagai:
Y2k
E (Y k )
n
Dimana E (Yk) adalah “ekspented” pendapatan untuk sesuatu keterampilan
tertentu, k; n = jumlah individu dalam keterampilan k; dan i = individu.
Besarnya pendapatan diharapkan akan sesuai dengan konsep “ging rate” atau
“market rate” yang berlaku bagi suatu keterampilan tertentu.
Dengan demikian, untuk setiap keterampilan tertentu perlu ada standar
pendapatan yang membedakan antara yang dipekerjakan penuh atau tidak penuh.
DAFTAR PUSTAKA
Basri, Faisal. 1997. Perekonomian Indonesia Menjelang Abad XXI. Distruibusi, Peluang
dan Kendala. Jakarta: Erlangga.
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI). 2005. Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di
Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir. Yogyakata: Kanisius.
Strategi pembangunan yang dianut negara kita adalah trilogi pembangunan, dengan
pengertian bahwa pembangunan yang dilaksanakan harus mengacu pada ketiga unsur,
yaitu pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, pemerataan pembangunan dan hasil-
hasilnya serta stabilitas nasional yang mantap dan dinamis. Ketiga unsur tersebut harus
bergerak maju secara selaras, seimbang dan saling mendukung.
Dalam dasawarsa sekarang, kedua unsur trilogi pembangunan yaitu pertumbuhan
ekonomi dan stabilitas nasional dirasakan sudah cukup berhasil, karenanya masalah
pemerataan pembangunan menjadi isu nasional yang cukup hangat. Sehubungan dengan
hal tersebut, prioritas untuk memerangi kemiskinan dengan cara mencari/mengamati
kantong-kantong kemiskinan telah dilakukan secara serius dan terpadu, sehingga komitmen
pemerintah untuk menghapus penduduk miskin pada Pelita VII dapat terwujud.
Selain itu, bahwa tujuan pembangunan nasional tidak semata-mata mengejar
pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun juga telah memberikan penekanan dengan bobot
yang sama kepada aspek peningkatan tingkat pendapatan masyarakat dan aspek
pemerataan.
Ketimpangan yang besar dalam distribusi pendapatan atau kesenjangan ekonomi
dan tingkat kemiskinan merupakan dua masalah besar di banyak negara berkembang, tak
terkecuali di Indonesia. Berawal dari distribusi pendapatan yang tidak merata yang
kemudian memicu terjadinya ketimpangan pendapatan sebagai dampak dari kemiskinan.
Hal ini akan menjadi sangat serius apabila kedua masalah tersebut berlarut-larut dan
dibiarkan semakin parah, pada akhirnya akan menimbulkan konsekuensi politik dan sosial
yang dampaknya cukup negatif.
Ada berbagai cara untuk mengetahui prestasi pembangunan suatu negara yaitu
dengan pendekatan ekonomi dan pendekatan non-ekonomi. Dalam pendekatan ekonomi
dapat dilakukan berdasarkan tinjauan aspek pendapatan maupun aspek non pendapatan.
Dalam aspek pendapatan digunakan konsep pendapatan perkapita, namun hal tersebut
belum cukup untuk menilai prestasi pembangunan karena tidak mencerminkan bagaimana
pendapatan nasional sebuah negara terbagi di kalangan penduduknya, sehingga tidak
memantau unsur keadilan atau kemerataan. Untuk itu diperlukan data mengenai
kemerataan distribusi pendapatan dimana perhatiannya bukan hanya pada distribusi
pendapatan nasional tapi juga distribusi proses atau pelaksanaan pembangunan itu sendiri.
I. DISTRIBUSI PENDAPATAN
Para ekonom pada umumnya membedakan dua ukuran pokok distribusi pendapatan,
yang keduanya digunakan untuk tujuan analisis dan kuantitatif tentang keadilan distribusi
pendapatan. Kedua ukuran tersebut adalah distribusi ukuran, yakni besar atau kecilnya
bagian pendapatan yang diterima masing-masing orang; dan distribusi “fungsional” atau
distribusi kepemilikan faktor-faktor produksi. Dari kedua jenis distribusi pendapatan ini
kemudian dihitung indikator untuk menunjukkan distribusi pendapatan masyarakat.
1.1 Distribusi Pendapatan Ukuran
Tabel
Distribusi Ukuran Pendapatan Perorangan di Satu Negara Berdasarkan Pangsa
Pendapatan – Kuintil dan Desil
Individu Pendapatan/orang Pangsa (%) Pangsa (%)
(unit uang) Kuintil Desil
1 0,8
2 1,0 1,8
3 1,4
4 1,8 5 3,2
5 1,9
6 2,0 3,9
7 2,4
8 2,7 9 5,1
9 2,8
10 3,0 5,8
11 3,4
12 3,8 13 7,2
13 4,2
14 4,8 9,0
15 5,9
16 7,1 22 13,0
17 10,5
18 12,0 22,5
19 13,5
20 15,0 51 28,5
Total (pendapatan nasional) 100 100 100
Catatan: Ukuran ketimpangan = jumlah pendapatan dari 40 persen rumah tangga termiskin dibagi
dengan jumlah pendapatan dari 20 persen rumah tangga terkaya = 14/51 = 0,28.
Dalam tabel tersebut, semua penduduk negara tersebut diwakili oleh 20 individu
(atau lebih tepatnya rumah tangga). Kedua puluh rumah tangga tersebut kemudian
diurutkan berdasarkan jumlah pendapatannya per tahun dari yang terendah (0,8 unit),
hingga yang tertinggi (15 unit). Adapun pendapatan total atau pendapatan nasional yang
merupakan penjumlahan dari pendapatan semua individu adalah 100 unit, seperti tampak
pada kolom 2 dalam tabel tersebut.
Dalam kolom 3, segenap rumah tangga digolong-golongkan menjadi 5 kelompok
yang masing-masing terdiri dari 4 individu atau rumah tangga. Kuintil pertama menunjukkan
20 persen populasi terbawah pada skala pendapatan. Kelompok ini hanya menerima 5
persen (dalam hal ini adalah 5 unit uang) dari pendapatan nasional total. Kelompok kedua
(individu 5-8) menerima 9 persen dari pendapatan total. Dengan kata lain, 40 persen
populasi terendah (kuintil 1 dan 2) hanya menerima 14 persen dari pendapatan total,
sedangkan 20 persen teratas (kuintil ke lima) dari populasi menerima 51 persen dari
pendapatan total.
Ada tiga alat ukur tingkat ketimpangan pendapatan dengan bantuan distribusi
ukuran, yakni: (1) Rasio Kuznets, (2) Kurva Lorenz, dan (3) Koefisien Gini.
(1) Rasio Kuznets
pendapatan dengan persentase pendapatan total yang benar-benar mereka terima selama,
misalnya, satu tahun.
Sebagai hasil dari penerapan berbagai cara untuk mencapai ukuran pembagian
pendapatan di bawah ini disampaikan data mengenai koefisien Gini untuk periode 1964/65
sampai 1976 dan untuk periode 2002-2007, dan persentase pendapatan yang diterima oleh
berbagai kelompok masyarakat di Indonesia dari 2002 sampai 2007 untuk menghitung
koefisien Kuznets.
Tingkat ketimpangan pembagian pendapatan secara keseluruhan pada tahun
1964/65 hampir sama untuk perkotaan dan pedesaan dan termasuk pada ketimpangan yang
sedang. Sedangkan pembagian pendapatan perkotaan di Jawa lebih merata dibandingkan
di pedesaan Jawa, namun sebaliknya terjadi di Luar Jawa, yakni di pedesaan lebih merata.
Kalau kita bergerak dari tahun 1964/65 maka distribusi pendapatan di perkotaan Jawa
selalu menjadi lebih timpang, sedangkan di daerah pedesaan di Jawa selalu menjadi lebih
merata sampai pada tahun 1976. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena UUPMA dan
UUPMDN dan beberapa kebijaksanaan lainnya yang mulai dilaksanakan pada awal
pemerintahan Suharto lebih banyak dimanfaatkan oleh orang-orang kaya perkotaan di Jawa
sehingga distribusi pendapatan di perkotaan Jawa menjadi lebih timpang. Hal yang
sebaliknya terjadi di pedesaan di Jawa, yakni program pembangunan pertanian dan
pedesaan, terutama program BIMAS-INMAS, lebih banyak dinikmati oleh golongan miskin di
Jawa sehingga distribusi pendapatannya menjadi lebih merata (koefisien Gini menurun).
Koefisien Gini secara keseluruhan di perkotaan menjadi lebih timpang, sedangkan di
pedesaan sedikit menjadi lebih baik bila kita bergerak dari 1964/65 menuju 1976.
Kalau kita bergerak dari periode 1970-an ke periode 2000-an, maka dapat kita
katakan bahwa tidak terjadi perubahan yang berarti mengenai ketimpangan distribusi
pendapatan di Indonesia, masih tetap secara umum berada pada ketimpangan yang sedang
baik ditunjukkan oleh koefisien Kuznets maupun koefisien Gini. Pada awal periode (2002-
2004) bagian pendapatan yang diterima oleh 40 persen termiskin relatif tetap sekitar 20
persen dan bagian yang diterima oleh 20 persen terkaya juga tetap (sekitar 42 persen),
sehingga koefisien Kuznets juga relatif konstan (bedanya 0,01 karena pembulatan), dan
koefisien Gini juga menunjukkan hal yang sama dari 0,33 (pada tahun 2002) menjadi 0,32
pada dua tahun setelah itu. Dari tahun 2004 ke 2005 distribusi pendapatan menjadi sedikit
lebih buruk, bagian yang diterima oleh 40 persen termiskin menurun dan bagian yang
diterima oleh 20 persen terkaya meningkat sehingga koefisien Kuznets mengalami
penurunan. Hal ini juga ditunjukkan oleh koefisien Gini yang menunjukkan distribusi
pendapatan menjadi lebih timpang. Memburuknya distribusi pendapatan dari tahun 2006 ke
2007 (ditunjukkan oleh menurunnya koefisien Kuznets dan menaiknya koefisien Gini)
mungkin dapat dijelaskan karena adanya kenaikan harga-harga sebagai akibat naiknya
harga bensin ketika itu. Kenaikan harga-harga rupanya lebih menguntungkan kelompok
kaya dibandingkan dengan kelompok miskin, sebagaimana diperjuangkan oleh para
demonstran yang menentang kenaikan harga premium waktu itu.
II. KEMISKINAN
Kemiskinan absolut dapat diukur dengan angka, atau “hitungan per kepala
(headcount)”, H, untuk mengetahui seberapa banyak orang yang penghasilannya berada di
bawah garis kemiskinan absolut, Yp. Ketika hitungan per kepala tersebut dianggap sebagai
bagian dari populasi total, N, kita memperoleh indeks per kepala (headcount index), H/N.
Garis kemiskinan ditetapkan pada tingkat yang selalu konstan secara riil, sehingga kita
dapat menelusuri kemajuan yang diperoleh dalam menanggulangi kemiskinan pada level
absolut sepanjang waktu. Gagasan yang mendasari penetapan level ini adalah satu standar
minimum di mana seseorang hidup dalam “kesengsaraan absolut manusia”, yaitu ketika
kesehatan seseorang sangat buruk.
Dalam banyak hal, metode dan penyederhanaan perhitungan jumlah penduduk yang
masih hidup di bawah garis kemiskinan itu sendiri memang masih mengandung banyak
keterbatasan. Oleh karena itu beberapa ekonom mencoba mengkalkulasikan indikator
jurang kemiskinan (poverty gap) yang mengukur pendapatan total yang diperlukan untuk
mengangkat mereka yang masih di bawah garis kemiskinan ke atas garis itu. Pada peraga
di bawah ini, meskipun di negara A dan B, 50 persen penduduknya sama-sama masih
berada di bawah garis kemiskinan, namun jurang kemiskinan di A ternyata lebih lebar
daripada yang ada di negara B. Dengan demikian negara A harus berusaha lebih keras
guna memerangi kemiskinan absolut penduduknya.
Seperti dalam ukuran ketimpangan, ada beberapa kriteria ukuran kemiskinan yang
diinginkan, yang telah diterima secara luas oleh para ekonom, yaitu prinsip-prinsip
anonimitas, independensi populasi, monotonisitas, dan sensitivitas distribusional. Kedua
prinsip yang pertama (anonimitas dan independensi populasi) sangat mirip karakteristik
yang digunakan untuk membahas indeks ketimpangan. Ukuran cakupan kemiskinan tidak
boleh tergantung pada siapa yang miskin atau apakah negara tersebut mempunyai jumlah
penduduk yang banyak atau sedikit. Prinsip monotonisitas berarti bahwa dan jika anda
memberi sejumlah uang kepada seseorang yang berada di bawah garis kemiskinan, jika
semua pendapatan yang lain tetap, maka kemiskinan yang terjadi tidak mungkin lebih tinggi
dari pada sebelumnya. Jika ukuran kemiskinan selalu lebih rendah setelah pemberian
transfer tersebut, sifat ini disebut mempunyai monotonisitas yang kuat (strong
monotonicity). Rasio headcount memenuhi asas monotonisitas, namun bukan yang kuat.
Prinsip sensitivitas distribusional menyatakan bahwa, dengan semua hal lain konstan, jika
anda mentransfer pendapatan dari orang miskin ke orang kaya, maka akibatnya
perekonomian akan menjadi lebih miskin.
Tidak sulit mencari faktor-faktor penyebab kemiskinan, tetapi dari faktor-faktor tersebut
sangat sulit memastikan mana yang merupakan penyebab sebenarnya atau utama serta
mana yang berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap perubahan kemiskinan.
Sebagai contoh, sering dikatakan bahwa salah satu penyebab kemiskinan adalah tingkat
pendidikan yang rendah. Sekarang ini, seseorang hanya dengan tingkat pendidikan SD
akan sangat sulit mendapatkan pekerjaan, terutama di sektor modern (formal) dengan
pendapatan yang baik. Akan tetapi, pertanyaannya adalah: apakah tingkat pendidikan yang
rendah itu adalah penyebab utama/sebenarnya? Apabila banyak orang di Indonesia hanya
berpendidikan SD karena orang tua mereka tidak sanggup membiayai pendidikan lanjutan,
maka jelas penyebab sebenarnya adalah masalah biaya atau lebih tepatnya lagi disebabkan
oleh kemiskinan (orang tua mereka). Kalau ditelusuri ke belakang, pertanyaan selanjutnya
adalah: kenapa orang tua mereka miskin dan jawabannya juga karena pendidikannya
rendah? Jadi terdapat semacam “lingkaran setan” (vicious circle) dalam masalah timbulnya
kemiskinan.
Hal Ini selanjutnya disebabkan oleh sejumlah faktor lainnya, termasuk sistem
penghargaan (rewarding) yang kurang baik, dan kinerja yang buruk. Di Eropa Barat atau
Amerika Serikat, setiap jenis pendidikan atau keahlian sudah mempunyai bidang kegiatan
(sektor atau subsektor) sendiri dan mendapat penghargaan yang baik sesuai dengan jenis
pekerjaan. Sedangkan di Indonesia, banyak bengkel mobil atau motor berupa kegiatan
informal dengan upah yang rendah.
Oleh karena itu, kita dapat menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang cepat dan
penanggulangan kemiskinan bukanlah tujuan yang saling bertentangan.
2.5. Pilihan Kebijaksanaan
2. Perbaikan distribusi ukuran melalui redistribusi progresif kepemilikan aset. Hal ini
akan sangat tergantung pada distribusi kepemilikan aset (sumber daya atau faktor
produksi) di antara berbagai kelompok masyarakat, terutama modal fisik dan tanah,
modal finansial seperti saham dan obligasi, serta sumber daya manusia dalam
bentuk pendidikan dan kesehatan yang lebih baik.
Hal ini dilaksanakan melalui UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) 1960, yang
membatasi jumlah pemilikan tanah pertanian. Pajak dividen obligasi dan pajak
terhadap hasil (bagian laba) saham, berbagai jenis bea siswa dan bantuan sekolah
sampai perguruan tinggi, wajib belajar, dan asuransi kesehatan bagi rakyat miskin.
Cara lain dapat dilakukan melalui pemberian kredit komersial dengan bunga pasar
yang wajar (bukannya dengan bunga rentenir yang sangat tinggi) bagi para
wirausaha kecil (kredit ini bisa disebut “pinjaman mikro” seperti kredit usaha rakyat,
kredit usaha tani,dan sebagainya.
3. Pengurangan distribusi ukuran golongan atas melalui pajak yang progresif. Satu
contoh yang diterapkan di Indonesia adalah pajak penghasilan perorangan dan
badan yang mempunyai sifat progresif. Pajak kekayaan, (akumulasi aset dan
penghasilan) merupakan pajak properti perorangan dan perusahaan yang bersifat
progresif, yang biasanya dikenakan kepada mereka yang kaya raya.
4. Pembayaran transfer secara langsung dan penyediaan berbagai barang dan jasa
publik. Transfer langsung dilaksanakan melalui BLT (bantuan langsung tunai)
kepada orang miskin yang berhak menerima. Penyediaan barang dan jasa publik
dilaksanakan melalui beras murah untuk orang miskin (raskin), penyediaan asuransi
kesehatan bagi golongan miskin (jamkesmas).
Meskipun pemerintah Indonesia telah melaksanakan berbagai program pemerataan
distribusi dan program pengentasan kemiskinan seperti disajikan di atas, ternyata
ketimpangan distribusi masih belum memuaskan dan masih banyak jumlah orang miskin
yang luput dari program, di samping dalam jumlah yang tidak sedikit, sangat sulit untuk
menyaring orang-orang yang benar-benar tidak mampu dengan orang-orang yang
sebenarnya tidak berhak atas bantuan yang disediakan
Daftar Pustaka
I. Revitalisasi Pertanian
Revitalisasi dapat diartikan sebagai kesadaran unuk menempatkan kembali arti
penting pertanian secara proporsional dan kontekstual. Arti penting itu tidak boleh timbul
hanya karena “belas kasihan” atau dipandang sebagai “ancaman” akibat permasalahan
kemiskinan atau ketidakmandirian, tetapi harus juga karena prospek dan potensi yang
dimiliki. Revitalisasi juga diartikan untuk menyegarkan kembali “vitalitas” pertanian,
memperdayakan kemampuan dan meningkatkan kinerja. Dalam hal ini peningkatan kinerja
pertanian tergantung pada dukungan terhadap pertanian secara proporsional sesuai peran
dan arti penting pertanian. Disisi alain dukungan terhadap pertanian juga tidak dapat
diperoleh jika pertanian sendiri tidak juga menunjukkan keberdayaan dan kinerja seperti
yangi diharapkan. Kedua arti “revitalisasi” tersebut bersifat saling mempengaruhi, saling
tergantung, dan harus dapat dikembangkan secara seimbang.
Sumber : (BPS,2005)
Peningkatan jumlah penduduk tahun 2000-2003 sekitar 1,5 persen per tahun
menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan terhadap sumberdaya lahan dan air. Luas
rata-rata kepemilikan lahan sawah di Jawa dan Bali hanya 0,34 ha per rumah tangga petani.
Secara nasional jumlah petani gurem (petani dengan luas lahan garapan < 0,5 ha)
meningkat dari 10,8 juta pada tahun 1993 menjadi 13,7 juta rumah tangga petani pada
tahun 2003 dengan rata-rata peningkatan jumlah petani gurem sekitar 2,4 persen per tahun.
Konversi lahan pertanian terutama terjadi pada lahan sawah yang berproduktivitas
tinggi, untuk dijadikan lahan permukiman dan industri. Hal ini disebabkan karena pada
umumnya lahan sawah dengan produktivitas tinggi, seperti di jalur pantai utara Pulau Jawa
dan di sekitar Bandung, mempunyai prasarana yang memadai untuk pembangunan sektor
non pertanian. Konversi lahan sawah menjadi lahan non-pertanian dari tahun 1999-2002
mencapai 330.000 ha atau setara dengan 110.000 ha/tahun. Luas baku lahan sawah juga
cenderung menurun. Antara tahun 1981-1999, neraca pertambahan lahan sawah seluas 1,6
juta ha. Namun antara tahun 1999 sampai 2002 terjadi penciutan luas lahan sawah seluas
0,4 juta ha karena tingginya angka konversi (Tabel 1).
Di sisi lain, fakta menunjukkan bahwa terdapat sekitar 9 juta ha lahan terlantar yang
dewasa ini ditutupi semak belukar dan alang-alang. Pemanfaatan lahan yang berpotensi ini
secara bertahap akan dapat mengantarkan Indonesia tidak saja berswasembada produk
pertanian, tetapi juga berpotensi untuk meningkatkan volume ekspor, apalagi jika insentif
untuk petani dapat ditingkatkan. Di samping itu, sekitar 32 juta ha sumberdaya lahan,
terutama di luar Pulau Jawa, sesuai dan berpotensi untuk dijadikan lahan pertanian tanpa
mengganggu keseimbangan ekosistem.
Seperti halnya sumberdaya lahan, sumberdaya air juga semakin terbatas dan
mengalami degradasi. Pertumbuhan penduduk dan industrialisasi telah menimbulkan
kompetisi penggunaan sumberdaya air untuk pertanian dan non-pertanian. Pada kondisi
demikian maka penggunanan air untuk pertanian biasanya selalu dikorbankan sebagai
prioritas terakhir. Selain itu, dalam dekade terakhir perhatian untuk memelihara jaringan
irigasi juga menurun, yang berakibat pada penurunan intensitas tanam dan produktifitas
pertanian. Untuk itu, peningkatan dan rehabilitasi jaringan irigasi merupakan langkah penting
dan utama bagi peningkatan produktifitas pertanian.
Berkaitan dengan revitalisasi pertanian, maka arah masa depan kondisi sumberdaya
pertanian Indonesia adalah : (a) terciptanya akses petani terhadap lahan dan air serta
meningkatkan rasio luas lahan per kapita melalui reformasi keagrariaan untuk, (b)
terbentuknya pencadangan lahan abadi untuk pertanian sekitar 15 juta ha melalui
pengendalian konversi, (c) terbentuknya fasilitasi terhadap pemanfaatan lahan (pembukaan
lahan pertanian baru), serta (d) terciptanya suasana yang kondusif untuk pengembangan
agroindustri di pedesaan sebagai sarana penyedia lapangan kerja dan peluang peningkatan
pendapatan serta kesejahteraan keluarga petani.
Tabel
Neraca Luas Lahan Sawah Menurut Wilayah di Indonesia, 1981-2002 (Ha)
Wilayah Konversi Penambahan Neraca
Tahun 1981-1999
Jawa 1.002.055 518.224 -483.831
3. Bioenergi
Dengan semakin terbatasnya jumlah pasokan fossil-fuel yang memang tidak
dapat diperbaharui, bioenergi atau biodiesel menjadi alternatif yang mulai sangat
diperhatikan. Amerika Serikat telah mengembangkan secara komersial bahan bakar
motor dengan kedelai dalam jumlah yang cukup signifikan, Brazil mengembangkannya
dengan bahan baku tebu, Malaysia mengembangkan produk turunan CPO untuk energi,
sedangkan bebepara negara Eropa mulai melihat bunga matahari sebagai sumber
bahan bakar alternatiff. Bioenergi menjadi salah satu produk pertanian yang sangat
prosfektif dimasa depan, dan Indonesia dapat menjadi negara dengan potensi bahan
baku bioenergi yang sangat besar.
4. Serat
Produk serat (fibre) mencakup produk pakaian, sepatu dan kertas, juga produk
furniture, papan, kayu lapis, dan sejenisnya. Produk serat ini dihasilkan dari kapas,
sutra, kulit, pohon dari “perkebunan pohon” (HTI bukan hutan alam) atau peremajaan
tanaman perkebunan lain, dan sebagainya. Produk serat juga akan menempatkan
pertanian sebagai suatu kegiatan ekonomi yang sangat penting.
Faktor – faktor yang mempengaruhi pemilihan industri antara lain adalah sebagai
berikut:
1. Kurangnya tenaga kerja yang cakap, kurangnya modal, kurangnya pasaran dan
kelangkaan devisa. Keterbatasan – keterbatasan ini membatasi jenis, ukuran dan
ruang lingkup pembangunan industri, metode – metode yang digunakan dan urutan
prioritas.
2. Kurangnya tenaga kerja yang terampil adalah salah satu hambatan yang sangat
serius, karena bukan hanya membatasi tipe kegiatan – kegiatan industri, tetapi juga
membatasi metode – metode kerja serta jenis – jenis peralatan mesin yang
digunakan. Mesin – mesin sederhana memerlukan pelayanan individu dengan
tingkat kecakapan seadanya jauh lebih baik dibandingkan pemakaian sedikit saja
mesin – mesin yang mampu melakukan serangkaian kegiatan yang kompleks tetapi
memiliki peralatan sistem yang lebih rumit. Untuk mengoprasikan dan memelihara
mesin – mesin dari jenis yang terakhir ini barang kali diluar kemampuan para [ekerja
lokal. Seorang ahli mesin yang berketerampilan tinggi adalah produk latihan dan
tradisi yang memakan waktu lama. Ia memiliki peran vital dalam sebuah pabrik
modern.
2. Ketahanan Pangan
(1) Selama periode 2005-2009, pertumbuhan produksi tanaman pangan diproyeksikan
mengalami peningkatan berkisar 0,35 – 6,50 persen per tahun. Pada periode yang
sama pertumbuhan produksi tanaman hortikultura dan perkebunan diproyeksikan
mengalami peningkatan masing-masing berkisar 2,94 – 8,41 persen dan 0,79 - 7,09
persen per tahun. Sementara pertumbuhan produksi peternakan diproyeksikan
mengalami peningkatan berkisar 0,08–10,25 persen per tahun. Secara rinci proyeksi
produksi menurut komoditas pada masing-masing subsektor disajikan pada Tabel 3.
(2) Selama periode 2005-2009 konsumsi bahan pangan utama (beras, jagung, kedelai
dan gula) diproyeksikan mengalami peningkatan berkisar 1,21 – 3,57 persen per
tahun. Secara rinci perkembangan konsumsi menurut komoditas adalah sebagai
berikut:
a. Konsumsi beras akan meningkat dari 36,08 juta ton pada tahun 2005 menjadi
37,96 juta ton pada tahun 2009 atau rata-rata meningkat 1,21 persen per tahun.
Rata-rata peningkatan konsumsi tersebut sama dengan rata-rata peningkatan
produksi. Neraca mengalami defisit yang cenderung meningkat selama 2005-
2009 yaitu dari 313 ribu ton pada tahun 2005 menjadi 445 ribu ton pada tahun
2009. Defisit tersebut sangat tipis, yaitu sekitar 0,73 – 1,17 persen atau rata-rata
0,89 persen dari konsumsi.
b. Konsumsi jagung akan meningkat dari 12,14 juta ton pada tahun 2005 menjadi
13,72 juta ton pada tahun 2009 atau rata-rata meningkat 3,01 persen per tahun.
Rata-rata peningkatan konsumsi terrsebut lebih lambat dibanding dengan rata-
rata peningkatan produksi sebesar 4,23 persen per tahun. Neraca mengalami
defisit yang cenderung menurun yaitu dari 320 ribu ton pada tahun 2005 menjadi
14 ribu ton pada tahun 2007 dan setelah itu mengalami surplus yang meningkat
dari 116 ribu ton pada tahun 2008 menjadi 254 ribu ton pada tahun 2009. Defisit
dan surplus tersebut masih tipis yang masing-masing merupakan 0,11 – 2,64
persen dan 0,87 – 1,82 persen dari konsumsi.
c. Konsumsi kedelai akan meningkat dari 2,39 juta ton pada tahun 2005 menjadi
2,57 juta ton pada tahun 2009 atau rata-rata meningkat 1,74 persen per tahun.
Rata-rata peningkatan konsumsi tersebut lebih lambat dibanding dengan rata-
rata peningkatan produksi 6,50 persen per tahun. Neraca mengalami defisit yang
cenderung menurun selama 2005-2009 yaitu dari 1,61 juta ton pada tahun 2005
menjadi 1,57 juta ton pada tahun 2009. Defisit tersebut masih sangat besar yang
merupakan 61,06–67,45 persen atau rata-rata 64,27 persen dari konsumsi.
d. Konsumsi gula akan meningkat dari 3,30 juta ton pada tahun 2005 menjadi 3,82
juta ton pada tahun 2009 atau rata-rata meningkat 3,57 persen per tahun. Rata-
rata peningkatan konsumsi tersebut lebih lambat dibanding dengan rata-rata
peningkatan produksi 7,09 persen per tahun. Neraca mengalami defisit yang
cenderung menurun selama 2005-2009 yaitu dari 1,13 juta ton pada tahun 2005
menjadi 0,97 juta ton pada tahun 2009. Defisit tersebut masih cukup besar yang
merupakan 25,5–34,4 persen atau rata-rata 29,79 persen dari konsumsi.
(3) Sasaran pembangunan pertanian 2005-2009 pada aspek diversifikasi konsumsi
pangan perlu memperhatikan Pola Pangan Harapan (PPH) yaitu meningkatnya
keanekaragaman konsumsi pangan dan menurunnya ketergantungan pada satu
jenis pangan pokok tertentu. Sasaran PPH pada tahun 2009 adalah 96,6 persen
dengan kontribusi padi-padian maksimal 51,6 persen, lemak dan minyak 10 persen,
sedangkan kontribusi minimal untuk umbi-umbian adalah 5,7 persen, pangan hewani
11,2 persen, buah/biji berminyak 3 persen, kacang-kacangan 4,8 persen, gula 5
persen, sayur dan buah 5,7 persen dan sumber pangan lainnya 3 persen.
Pencapaian sasaran PPH sebesar 100 persen akan dicapai pada tahun 2010 sesuai
dengan sasaran Indonesia sehat 2010.
3. Masalah Industrialisasi
Ahli – ahli ekonomi memperkirakan keharusan melakukan investasi kembali sekitar
12 – 15 persen dari pendapatan nasional bersih untuk dapat mengembangkan berbagai
macam usaha serta memajukan suatu perekonomian yang masih terbelakang dengan
mengembangkan kegiatan – kegiatan sekunder dan tertier. Hasil yang diperoleh dari
investasi sebesar itu diperkirakan dapat melampaui angka pengangguran penduduk dan
memungkinkan peningkatan taraf hidup serta hasil – hasil kumulatif. Dengan
mempertahankan tingkat investasi sebesar 12 – 15 persen itu diharapkan perekonomain
dapat menuju tahapan ‘ tinggal landas’. Pernyataan ini sebenarnya telah bersifat
sederhana. Pemilikan modal itu sendiri tidaklah secara otomatis memajukan
perekonomian, karena masih tergantung pula pada kemauan dan kemampuan orang –
orang yang terlibat didalamnya, yaitu kemauan dan kemampuan mempelajari dan
menerapkan metode – metode produksi yang lebih baik, kegiatan berusaha,
kesanggupan mengatasi segala hambatan dan pemberian dorongan bagi berbagai
usaha dan industri. Tetapi bagaimana juga modal adalah suatu unsur yang sangat
penting dan inti permasalahnnya adalah bagaimana upaya mengatasi masalah –
masalah kompleks yang menghambat tercapainya tingkat industri 12 persen atau lebih.
Dengan laju pertumbuhan ekonomi sebesar itu dan dengan melalui perencanan yang
matang, negara – negara berkembang seperti Indonesia diharapkan mampu mengejar
ketinggalan – ketinggalan tersebut.
4. Kelemahan Sektor Pertanian
Kelemahan sektor pertanian yang sangat pokok ialah karena kebanyakan para
pekerjanya adalah petani biasa yang sama sekali tidak mampu mengendalikan kekuatan –
kekuatan alam dan lingkungan fisisk yang diolah. Hasil – hasil pertanian mereka tergantung
pada sinar matahari, ar, udara dan garam – garam mineral. Mereka mungkin saja mampu
membuat irigasi dan saluran pembuangan air, menambah pupuk atau unsur – unsur lainya
untuk menyuburkan yanah yang mereka olah. Tetapi semua ini hanyalah dapat dikerjakan
secara terbatas dan akhirnya lingkungan yang banyak menentukan. Dari sini muncul
sejumlah kerugian – kerugian lainnya yang bervariasi dari tahun ketahun akibat kerusakan –
kerusakan yang ditimbulkan oleh cuaca buruk, penyakit, dan hama. Akibatnya para petani
tidak dapat memeperlirakan dengan tepat berapa volume produksi mereka setiap tahunnya.
Kelemahan sektor pertanian selanjutnya ialah karena produksi pertanian pada umumnya
lebih lambat dibandingkan produksi industri manufaktur, sehinnga mengharuskan para
petani memandang kedepan dan memperkirakan sifat pasar setidaknya setahun yang akan
datang . Hasil – hasil pertanian membutuhkan waktu beberapa bulan untukmenjadi matang
sehingga memperlambat reaksi para petani terhadap perubahan – perubahan dalam
permintaan, karena begiti hasil – hasil tanaman sudah siap dipetik mereka akan segera
melakukannya tanpa memperdulikan keadaan yang melimpah ruah. Semua faktor – faktor
ini, yang membantu terjadinya fluktuasi – fluktuasi harga yang cukup murah, sejalan dengan
saat panen melimpah dan saat paceklik, terutama menonjol dalam produksi primer dan
menimbulkan akibat –akibat serius bagi kemajuan ekonomi.
Ada beberapa hal yang menyebabkan pertanian relatif tidak elastis, dan tidak semua
alasan ini tidak bersifat ekonomis. Konsevatisme tradisional kaum petani ini dapat
merupakan rintangan terbesar terhadap kemajuan, terutama ditempat – tempat dimana gaya
hidup bertani tradisional telah terjalin erat terhadap struktur masyarakat dan dimana
perubahan – perubahan dalam pertanian dapat menimbulkan akibat yang dalam terhadap
pengelompokan – pengelompokan sosial dan gaya hidup.
Hambatan serius lainnya terletak pada inelastisitas permintaan atas produk – produk
pertanian. Bagian terbesar dari produk – produk pertanian adalah bahan – bahan makanan,
dan karena penting bagi kehidupan, bahan makanan ini dikonsumsi dalam jumlah yang
sangat besar. Oleh sebab itu kalaupun harga – harga bahan makanan ini menurun,
pembelian makanan tidak begitu banyak meningkat. Hal yang sama jika pendapatan
meningkat pengeluaran tambahan untuk membeli bahan – bahan makanan tidak sebanding
dengan meningkatnya pendapatan tersebut.
5. Industrialisasi di Indonesia
Hasil pembangunan paling nyata yang dapat dilihat oleh negara – negara
berkembang seperti Indonesia adalah banyaknya industri manufaktur yang dianggap
sumber kekayaan, kekuatan dan keadaan seimbang . Oleh sebab itu, tidaklah
mengherankan apabila sebagian negara miskin beranggapan bahwa pengenalan industri
manufaktur merupakan suatu obat penyebab untuk memperbaiki keadaan mereka.
Indonesia telah mengalami pertumbuhan industri yang relatif cepat sesudah masa
pemerintahan Soekarno. Tingkat pertumbuhan sekitar 11 persen per tahun (dalam
pengertian nyata) sejak tahun 1967 hingga 1977 bukan hanya sedikit lebih tinggi dari tingkat
pertumbuhan ekonomi lainnya, melainkan juga luar biasa kalau dibandingkan dengan
stagnasi industri yang terjadi pada awal tahun 1960-an. Akan tetapi, industri manufaktur
memainkan peran yang masih kecil dibandingkan dengan di negara-negara Asia Timur
lainnya, dan gabungan industri menunjukan besarnya jumlah barang konsumsi yang
terutama diproduksi untuk pasar dalam negeri.
Industrialisasi yang cepat dapat sungguh memperbaiki efisiensi pertanian Indonesia,
melalui persediaan masukan dan pengolahan hasil sektor itu. Industrialisasi yang cepat
juga dapat membantu memecahkan masalah penyediaan kesempatan kerja dengan upah
nyata yang meningkat untuk angkatan kerja yang sudah besar dan masih membesar itu.
Akhirnya, pertumbuhan industri memungkinkan diversifikasi ekspor yang mungkin
dibutuhkan untuk memperoleh kedudukan neraca pembayaran jangka panjang yang bisa
berlangsung terus dengan baik. Supaya dapat diperoleh perspektif yang lebih tepat
mengenai masalah dan masa depan industrialisasi di Indonesia, perlulah diteliti sifat-sifat
utama negara ini dan hubungan struktural yang melandai sektor industrinya.
DAFTAR PUSTAKA
Mountjoy, B Alan . 1983. Industrialisasi dan Negara – negara Dunia Ketiga. Jakarta :
PT. Bina Aksara.
Papanek, F Gustav. 1987. Ekonomi Indonesia. Jakarta : PT. Gramedia.
Sarigih, B. 1995. Pengembangan Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi Nasional
Menghadapi Abad ke-21. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Simatupang, P. 1995. Industrialisasi Pertanian sebagai Strategi Prtanian dan
Pembangunan Pertanian dalam Era Globalisasi. Bogor : Badan Litbang, Dep. Pertanian.
Sutanto, Jusuf. 2006. Revitalisasi Pertanian dan Dialog Peradaban. Jakarta : Buku
Kompas.
BAB
DAMPAK KRISIS GLOBAL TERHADAP
7
KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA
Globalisasi telah menjadi kalimat yang sangat hebat di zaman ini. Narasi ini bahkan
telah menciptakan perdebatan yang sengit antara kekuatan kapitalisme di negara maju yang
mendukung globalisasi dengan para aktivis gerakan sosial yang menganggap globalisasi
telah mengikis lingkungan hidup, hak-hak buruh, kedaulatan nasional negara-negara dunia
ketiga. Pertarungan ini sungguh wajar dikarenakan globalisasi ternyata memiliki implikasi
ekonomi dan poltik yang sangat luas. Joseph Stiglitz (2003) mengatakan bahwa globalisasi
bukan hanya bermakna leluasanya pergerakan barang, jasa, dan modal melewati batas-
batas negara. Globalisasi juga berarti kian lajunya pergerakan gagasan yang paling
mendasar adalah pertarungan gagasan antara mereka yang menganjurkan peran minimal
negara dengan mereka yang meyakini besarnya kebutuhan akan pemerintahan jika ingin
mencapai suatu masyarakat yang di idamkan.
Sejarah globalisasi ekonomi telah melalui tahap imperialisme kolonialisme, suatu
tahapan yang lebih tinggi dalam praktek kapitalisme. Sistem ini mengintegrasikan negara
jajahan (koloni) dengan negara induk. Terjadinya revolusi industri pada ahir abad ke 18
semakin meningkatkan kebutuhan akan bahan baku serta pasar menjadi daya dorong
utama kolonialisme secara lebih luas dan intensif, termasuk yang dilakukan negara-negara
Eropa terhadap Nusantara. Kekuatan kapitalisme adalah pendorong utama dalam proses
globalisasi. Kapitalisme menghendaki mengendaki pasar bebas agar pergerakan barang,
jasa, tenaga kerja dan modal dapat melintasi batas-batas negara tanpa hambatan baik
secara ekonomi maupun politik. Sehingga globalisasi pada intinya adalah suatu proses
kegiatan ekonomi dimana negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar
yang semakin terintegrasi.
Bahkan derajat globalisasi dari suatu negara di dalam perekonomian dunia dapat
dilihat dari dua indikator ekonomi utama. Pertama, rasio dari perdagangan internasional
(ekspor dan impor) dari negara tersebut sebagai suatu persentase dari jumlah nilai atau
volume perdagangan dunia, atau besarnya nilai perdagangan luar negeri dari negara itu
sebagai suatu persentase dari PDB-nya. Semakin tinggi rasio tersebut menandakan
semakin mengglobal perekonomian dari negara tersebut. Sebaliknya, semakin terisolasi
suatu negara dari dunia, seperti Korea Utara, semakin kecil rasio tersebut. Kedua, kontribusi
dari negara tersebut dalam pertumbuhan investasi dunia, baik investasi langsung atau
jangka panjang (penanaman modal asing; PMA) maupun investasi tidak langsung atau
jangka pendek (investasi portofolio). Pendapat ini menunjukkan bahwa globalisasi dapat
direduksi sebagai masalah ekonomi pasar semata.
Neoliberalisme merupakan idiologi kunci ke arah globalisasi ekonomi. Ini
dikarenakan aturan negara merupakan hambatan yang paling utama dalam integrasi
ekonomi. Dalam prakteknya neoliberalisme didesakkan oleh negara-negara maju untuk
dilaksanakan di seluruh negara berkembang dan miskin. Mengingat dalam sudut pandang
globalisasi sekarang ini, banyak aturan di negara berkembang yang masih membuka
peluang campur tangan negara dalam perekonomian. Dalam garis pemikiran neoliberal
intervensi negara dianggap sebagai penghambat lalu litas modal, barang dan manusia
secara bebas. Kebijakan-kebijakan seperti proteksi, subsidi dan aturan lainnya yang menjadi
distorsi bagi bekerjanya hukum ekonomi pasar bebas dipangkas. Melalui kebijakan
neoliberal inilah maka semua negara menjalankan kebijakan liberalisasi, deregulasi dan
privatisasi.
Globalisasi seringkali melahirkan ketidak teraturan, sebagaima kebebasan yang
dikendaki kapitalisme seringkali melahirkan persaingan yang saling mematikan. Akumulasi
keuntungan yang terus-terus menerus dipastikan akan menimbulkan ketidakseimbangan.
Itulah yang menyebabkan globalisasi selalu membuahkan krisis sebagaimana yang kita
temukan sekarang ini. Liberalisai pasar keuangan telah melahirkan melahirkan krisis
keuangan global yang dahsyat. Menghantam langsung ke jantung kapitalisme di Amerika
Serikat, Uni Eropa dan Jepang. Krisis yang kemudian harus ditanggung tidak hanya oleh
negara-negara maju sendiri, akan tetapi juga negara-negara miskin yang dipaksa untuk
membuat stimulus ekonomi dalam mengatasi krisis. Fenomena krisis global menjelaskan
bahwa globalisasi ternyata hanya akan membagikan beban krisis kepada negara-negara
miskin. Krisis selanjutnya menciptakan tekanan yang langsung terhadap klas pekerja. Saat
krisis terjadi maka akan diringi dengan PHK massal baik di negara-negara induk kapitalisme
maupun di negara-negara miskin yang terkoneksi.
Krisis Global yaitu krisis yang dapat meruntuhkan tatanan kehidupan sosial dan
ekonomi di seluruh negara termasuk negara adidaya.
Krisis ekonomi Global merupakan peristiwa di mana seluruh sektor ekonomi pasar
dunia mengalami keruntuhan dan mempengaruhi sektor lainnya di seluruh dunia. Ini dapat
kita lihat bahwa negara adidaya yang memegang kendali ekonomi pasar dunia yang
mengalami keruntuhan besar dari sektor ekonominya.
Perbankan
Likuiditas adalah kemampuan bank untuk memenuhi kewajiban hutang-hutangnya,
dan dapat membayar kembali semua deposannya, serta dapat memenuhi permintaan kredit
yang diajukan para debitur tanpa terjadi penangguhan. Akibat krisis keuangan global,
perbankan nasional mengalami imbasnya terutama ketatnya likuiditas di perbankan
nasional. Ditambah dengan besarnya uang pemerintah yang ada di Bank Indonesia (BI)
membuat likuiditas perbankan sangat ketat sehingga suku bunga ikut naik pula. Perbankan
nasional juga memberlakukan prosedur penyaluran kredit investasi yang diperketat.
Properti
Sektor properti yang sangat terasa menerima imbasan dari krisis ini. Pertumbuhan
industri properti dalam negeri yang lamban ditandai dengan adanya penjadwalan kembali
atas rencana proyek yang sudah ditetapkan. Perbankan sepertinya memberhentikan
sementara untuk pemberian kredit sektor properti. Bagi industri properti pendanaan dari
perbankan merupakan kebutuhan dana yang vital di samping mereka mengalokasikan dana
internal. Kenaikan harga bahan baku di sektor properti akibat pengaruh krisis ekonomi
global, sangat mungkin terjadi. Harga bahan baku seperti besi, keramik, semen dan
sejumlah aksesori rumah lainnya yang berasal dari industri manufaktur sangat rentan
mengalami kenaikan. Kenaikan bahan baku akibat dampak krisis ekonomi ini akan semakin
menyulitkan sektor properti.
Ekspor
Kondisi ekspor di Indonesia bergerak seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Meskipun
bukan sektor yang memberikan kontribusi terbesar, ekspor merupakan sektor yang turut
berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa
ekspor Indonesia didominasi oleh barang-barang komoditas, dengan minyak, gas, barang
tambang, produk pertanian dan perkebunan mencapai 70-90% dari keseluruhan ekspor.
Krisis ekonomi global memang membuat banyak pesanan produk ekspor asal Indonesia
dihentikan atau ditunda pengirimannya. Pada beberapa komoditas yang bersentuhan
langsung dengan petani kecil atau pengusaha kecil dan menengah yang berorientasi ekspor
sangat dirasakan sekali dampak terjadinya krisis keuangan global ini. Pesanan-pesanan dari
pembeli yang berkedudukan di luar negeri terpaksa dibatalkan. Mereka lebih memfokuskan
diri kepada restrukturisasi keuangan internal. Terlebih lagi semakin sulitnya mendapat
kucuran kredit dari perbankan dalam negeri. Akibat penurunan yang tajam tersebut
membuat petani tidak mampu lagi melakukan produksi dikarenakan hasil penjualan yang
diterima masih di bawah ongkos produksi secara total keseluruhan. Turunnya harga
komoditas yang diiringi dengan penurunan potensi ekspor dari industri padat karya membuat
sulit bagi ekspor Indonesia untuk mempertahankan pertumbuhannya.
Tenaga Kerja
Tenaga kerja (manpower) adalah seluruh penduduk dalam usia kerja (berusia 15
tahun atau lebih) yang potensial dapat memproduksi barang dan jasa.
Tabel
UMP dan KHM di Indonesia Menurut Provinsi
NAMA PROPINSI UMP KHM PERSEN
NANGGROE ACEH D 620,000 619,876 100,02
SUMUT 600,000 - -
SUMBAR 540,000 501,315 107,72
RIAU 551,500 551,498 100,00
KEPULAUAN RIAU 557,000 - -
JAMBI 485,000 495,242 97,93
SUMSEL 503,700 495,242 101,71
BANGKA BELITUNG 560,000 690,000 81,16
BENGKULU 430,000 480,000 89,58
LAMPUNG 405,000 396,456 102,16
JAWA BARAT 408,260 - -
JAWA TENGAH 390,000 405,282 96,23
JAWA TIMUR 340,000 - -
D.K.I JAKARTA 771,843 759,953 93,67
NAMA PROPINSI UMP KHM PERSEN
BANTEN 585,000 585,000 100
D.I YOGYAKARTA 400,000 399,964 100,01
BALI 447,500 447,500 100
KALBAR 445,200 482,250 92,32
KALTENG 523,698 553,376 94,64
KALTIM 600,000 597,878 100,35
KALSEL 536,300 503,775 106,46
N.T.T. 450,000 402,989 111,67
N.T.B. 475,000 526,040 90,3
MALUKU 500,000 - -
MALUKU UTARA 440,000 - -
GORONTALO 435,000 531,500 81,84
SULUT 600,000 - -
SULSEL 510,000 505,000 100,99
SULTENG 450,000 - -
SULTRA 498,600 498,600 100
PAPUA 700,000 769,050 91,02
Sumber : BPS, 2010
● Pengangguran Meningkat
5. Dampak Krisis Keuangan Global (KKG) Terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI)
yang Bekerja di Luar Negeri
Dampak krisis global juga dialami oleh tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja
di luar negeri. Paling banyak yang terancam terkena PHK adalah TKI yang bekerja di
Malaysia. Tujuan ekspor utama Malaysia yakni Amerika Serikat dan Eropa terkena
dampak krisis global cukup parah menyebabkan industri-industri di Malaysia terpaksa
mengurangi produksinya dan melakukan perampingan jumlah tenaga kerja sebagai
langkah efisiensi. Malaysia melakukan pemulangan TKI akibat kebijakan pemerintah
malaysia yang melindungi pekerja dalam negerinya. Jika suatu perusahaan harus
mengurangi tenaga kerja, maka yang didahulukan untuk di-PHK adalah tenaga kerja
asing. Tenaga kerja asing yang sudah habis masa kontraknya juga tidak akan
diperpanjang—akan dipulangkan, agar posisinya bisa digantikan oleh tenaga kerja lokal,
terutama tenaga kerja lokal yang terkena PHK. Saat ini diperkirakan sekitar 50.000
warga Malaysia yang bekerja di Singapura terkena PHK. Diberitakan, bahwa saat ini
Malaysia sudah memulangkan ratusan ribu tenaga kerja asingnya termasuk tenaga kerja
asal Indonesia. Sampai saat ini, sebagian besar TKI yang dipulangkan berasal dari
industri manufaktur. Pemulangan TKI paling banyak dirasakan TKI asal Sumatera Utara
karena Malaysia adalah negara tujuan utama TKI asal Sumatera Utara. Hingga Februari
2009 jumlah TKI asal Sumatera Utara yang dipulangkan dari berbagai negara mencapai
2.574 orang yang sebagian besar berasal dari Malaysia. TKI yang bekerja di Korsel agak
lebih beruntung karena adanya perjanjian kerjasama antara pemerintah Indonesia
dengan untuk menyelamatkan sejumlah TKI yang terkena PHK di Korsel akibat
perusahaan tempat mereka bekerja terkena dampak KKG. Kerjasama tersebut berupa
pemberian waktu selama dua bulan bagi TKI Korsel yang ter-PHK untuk tidak segera
pulang dan diberi kesempatan mencari pekerjaan di tempat lain. Selain itu, pemerintah
Indonesia juga menangguhkan keberangkatan calon TKI ke Korsel guna memberi
kesempatan kepada TKI ter-PHK yang sedang berada di Korea. TKI yang bekerja di
negara-negara lain seperti Hongkong dan Taiwan juga dikabarkan terkena dampak
akibat majikan tempat mereka bekerja terkena dampak KKG. Sedangkan TKI yang
bekerja di negara-negara Arab dikabarkan tidak terlalu terpengaruh terhadap KKG.
DAFTAR PUSTAKA
Adin Novala, Murniati Dwi Mastuti, Endang Luthfia Kusumaningtyas, Fiqih Maulida
1
Sistem Pemerintahan Daerah Sebelum Kemerdekaan
Pemerintah Daerah yang relatif otonom pertama kali didirikan oleh Pemerintah
Kolonial Belanda melalui Desentralisatie Wet Tahun 1903. Undang-undang ini hanya
mencakup wilayah Jawa dan Madura saja. Sebelum Tahun 1903, seluruh wilayah Hindia
Belanda diperintah secara sentral di bawah Gubernur Jenderal sebagai Wakil Raja Belanda
di tanah jajahan. Disamping itu, terdapat juga daerah-daerah yang disebut ‘Swapraja’ yang
diperintah oleh raja-raja pribumi setempat. Raja-raja tersebut memerintah berdasarkan
kontrak politik yang ditandatangani dengan wakil Pemerintah Belanda dan diberikan tugas
untuk menjalankan beberapa tugas atas nama pemerintah kolonial, di antara kerajaan
tersebut adalah Yogyakarta, Surakarta, Deli dan Bone.
Perbedaan sistem pemerintahan daerah sebelum dan sesudah UU Tahun 1903
terletak pada eksistensi Dewan Daerah. Sebelum itu, tidak terdapat sama sekali otonomi
pemerintahan daerah. Semua unit pemerintah bersifat administratif atas dasar prinsip
dekonsentrasi. Setelah UU Tahun 1903 diterbitkan, didirikanlah Dewan Daerah pada unit-
unit pemerintahan tertentu, di mana mereka diberikan kewenangan menggali pendapatan
daerah guna membiayai pemerintahan daerah. Anggota Dewan Daerah diangkat dari tokoh
setempat, namun Gubernur, Residen, atau Bupati tetap diangkat Pemerintah Pusat.
2
I. Perkembangan Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal di Indonesia
Pada tahun ke lima pelaksanaan desentralisasi fiskal, yaitu pada tahun 2005,
transfer ke daerah masih sekitar Rp150,5 triliun, namun pada APBN-P tahun 2010
jumlah transfer ke daerah tersebut meningkat lebih dari dua kali lipat sehingga menjadi
Rp344,6 triliun. Peningkatan tersebut terjadi merata pada semua jenis transfer ke
daerah. DAU yang merupakan komponen terbesar dari transfer ke daerah meningkat
dari Rp88,7 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp203,6 triliun pada tahun2010, suatu
peningkatan yang sangat signifikan karena meningkat hampir tiga kali lipat.
Peningkatan terbesar terjadi pada DAK.
5
Pada tahun 2005 nilai DAK masih berada di bawah Rp4 triliun, tetapi pada tahun
2009 meningkat menjadi Rp24,7 triliun, meskipun kemudian pada tahun 2010 turun menjadi
Rp21,1 triliun. Tentunya semua ini tidak terlepas dari kerja keras seluruh komponen bangsa,
baik penyelenggara negara maupun masyarakat, sehingga pendapatan negara senantiasa
meningkat untuk turut mendukung pelaksanaan desentralisasi fiskal. Sebagaimana
diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2004, transfer DBH dihitung berdasarkan persentase
tertentu dari realisasi penerimaan dalam negeri yang dibagihasilkan, baik dari penerimaan
pajak maupun penerimaan Sumber Daya Alam (SDA).
Penerimaan negara yang berasal dari penerimaan pajak yang dibagihasilkan ke
daerah meliputi Pajak Penghasilan, yaitu PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29 Wajib Pajak
Orang Pribadi Dalam Negeri (WPOPDN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), serta Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Penerimaan negara yang berasal dari
SDA yang dibagihasilkan ke daerah meliputi minyak bumi, gas bumi, pertambangan umum,
kehutanan, dan perikanan. Sejak tahun 2006, DBH SDA Kehutanan juga mencakup DBH
Dana Reboisasi (DR), yang merupakan pengalihan dari Dana Alokasi Khusus Dana
Reboisasi (DAK DR). Sejak tahun 2009, Pemerintah telah mengalokasikan DBH Cukai Hasil
Tembakau yang merupakan amanat dari UU Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai.
Selain itu, dalam APBN-P 2009 juga telah dialokasikan DBH Panas Bumi tahun 2006
sampai dengan tahun 2009. Adapun kebijakan pengalokasian dari
tahun ke tahun adalah menyempurnakan proses perhitungan, penetapan alokasi dan
ketepatan waktu penyaluran melalui peningkatan koordinasi dengan institusi pengelola
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam rangka penyediaan data yang lebih akurat.
Sejalan dengan peningkatan realisasi penerimaan negara yang dibagihasilkan,
realisasi DBH menunjukkan adanya peningkatan dari Rp50,5 triliun dalam tahun 2005
menjadi Rp76,1 triliun pada tahun 2009, serta meningkat lagi menjadi Rp89,6 triliun pada
tahun 2010, atau rata-rata tumbuh sebesar 13% per tahun.
Selanjutnya, pada Grafik di bawah ini dapat dilihat bahwa untuk tahun 2009 dan
2010, daerah yang menerima DBH SDA tertinggi adalah daerah se-Provinsi Kalimantan
Timur, dengan proporsi penerimaan DBH SDA terhadap keseluruhan DBH SDA, masing-
masing sebesar 35,24% dan 34,06%. Hal ini dapat dipahami mengingat bahwa wilayah
tersebut memang penyumbang utama hasil migas nasional, diikuti oleh wilayah Riau dan
Sumatera Selatan. Sedangkan daerah yang menerima DBH SDA paling rendah pada tahun
2009 adalah daerah se-Provinsi Bali dan pada tahun 2010 adalah daerah se-Provinsi DI
Yogyakarta, dengan proporsi penerimaan DBH SDA terhadap keseluruhan DBH SDA yang
sama besar nya yaitu 0,004%.
6
Sementara itu, pada Grafik selanjutnya dapat dilihat bahwa untuk tahun 2009 dan
2010, daerah yang menerima DBH Pajak tertinggi adalah daerah se-Provinsi DKI Jakarta,
dengan proporsi penerimaan DBH Pajak terhadap keseluruhan DBH Pajak, masing-masing
sebesar 22,50% dan 23,70%, sedangkan daerah yang menerima DBH Pajak paling rendah
adalah daerah se-Provinsi Gorontalo, dengan proporsi penerimaan DBH Pajak terhadap
keseluruhan DBH Pajak pada tahun 2009 dan 2010, masing-masing sebesar 0,34% dan
0,28%.
Peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun juga terjadi pada DAU, yang terjadi
karena peningkatan rasio alokasi DAU terhadap Penerimaan Dalam Negeri (PDN) neto,
yaitu 25,5% pada tahun 2005 dan kemudian meningkat menjadi 26% dalam periode tahun
2006-2010. Sejalan dengan peningkatan rasio DAU terhadap PDN neto tersebut, maka
dalam rentang waktu 2005–2010, realisasi DAU meningkat dari Rp88,8 triliun pada tahun
2005, menjadi Rp186,4 triliun pada tahun 2009, dan meningkat lagi menjadi Rp203,6 triliun
pada tahun 2010 atau rata-rata tumbuh sebesar 18,65% per tahun.
Pengalokasikan DAU ke daerah dilakukan dengan menggunakan formula yang
didasarkan pada data dasar perhitungan DAU. Sebelum tahun 2006, formula DAU terbagi
menjadi dua komponen utama, yaitu alokasi minimum (AM) dan alokasi DAU berdasarkan
kesenjangan fiskal (KF). AM dihitung berdasarkan komponen lumpsum dan proporsional
belanja pegawai. Sejak diberlakukannya UU Nomor 33 Tahun 2004, yang efektif berlaku
sejak tahun 2006, komponen AM dan KF tersebut disempurnakan menjadi alokasi dasar
(AD) dan celah fiskal (CF). Alokasi DAU berdasarkan CF tersebut merupakan komponen
ekualisasi kemampuan keuangan antardaerah, dengan mempertimbangkan selisih
kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal masing-masing daerah.
Selanjutnya daerah yang menerima DAU tertinggi adalah daerah se-Provinsi Jawa
Timur, dengan alokasi sekitar 11,06% dari total DAU. Dalam kurun waktu 2005 sampai
7
dengan saat ini, upaya untuk mewujudkan fungsi DAU sebagai equalization grant dilakukan
melalui kebijakan sebagai berikut: (1) Melakukan pembobotan alokasi dasar dengan
persentase di bawah 50% dari DAU Nasional agar memberikan porsi alokasi yang lebih
besar untuk menutup celah fiskal. Dengan kebijakan ini berarti besaran rata-rata gaji PNSD
per daerah dihitung di bawah 100%. (2) Melakukan pembobotan pada setiap variabel
kebutuhan fiskal dengan asumsi bahwa pemanfaatan Transfer ke Daerah adalah untuk
pelayanan kepada penduduk danpengelolaan wilayah, sehingga bobot untuk penduduk
seimbang dengan bobot untuk wilayah. (3) Menetapkan persentase tertentu dalam
menghitung variabel kapasitas fiskal untuk mendapatkan indek pemerataan yang terbaik
yang dicerminkan dari semakin rendahnya Williamson Index.
Pada tahun 2005, DAK dialokasikan untuk 8 bidang, yaitu pendidikan, kesehatan,
jalan, irigasi, prasarana pemerintahan, kelautan dan perikanan, air bersih, serta pertanian.
Selanjutnya, pada tahun 2006 bidang yang didanai melalui DAK ditambah bidang
lingkungan
hidup. Bahkan pada tahun 2008 bertambah dua bidang, yaitu bidang Keluarga Berencana
(KB) dan bidang kehutanan. Sedangkan pada tahun 2009 bertambah dua bidang lagi yaitu
bidang perdagangan dan bidang sarana prasarana perdesaan, sehingga menjadi 13 bidang.
Selanjutnya, pada tahun 2010 menjadi 14 bidang sebagai akibat dari dipisahkannya
DAK Air Minum dan DAK Sanitasi yang pada tahun sebelumnya tergabung dalam satu
bidang. Untuk menunjukkan komitmen daerah dalam pelaksanaan DAK, kepada daerah
diwajibkan menganggarkan dana pendamping dalam APBD, sekurang-kurangnya 10 persen
dari besaran alokasi DAK yang diterima.
Sejalan dengan penambahan bidang yang dibiayai dengan DAK, alokasi DAK juga
terus meningkat, dari Rp3,97 triliun (0,1 persen terhadap PDB) pada tahun 2005, menjadi
Rp20,8 triliun (0,4% terhadap PDB) pada tahun 2008, dan meningkat menjadi Rp24,7 triliun
(0,4% terhadap PDB) pada tahun 2009. Pada tahun 2010, alokasi DAK mengalami
penurunan menjadi Rp21,1 triliun sebagai akibat dari terbatasnya kemampuan keuangan
negara. Sementara itu, dengan semakin bertambahnya daerah otonom baru berdampak
terhadap bertambahnya jumlah daerah yang menerima DAK. Hal ini dapat dilihat dari jumlah
penerima DAK pada tahun 2005, yaitu dari 377 kabupaten/ kota dan 2 Provinsi pada tahun
2005, menjadi 485 kabupaten/kota dan 32 provinsi pada tahun 2010.
8
Grafik di bawah ini menjelaskan bahwa daerah yang menerima DAK tertinggi adalah
daerah se-provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah dengan proporsi masing-masing sama
sebesar 8,65 persen dan 9,32 persen terhadap total penerimaan DAK seluruh daerah.
Selain Dana Perimbangan, juga dialokasikan Dana Otsus dan Penyesuaian. Dana Otsus
dialokasikan untuk Provinsi Papua dengan nilai setara 2 persen dari pagu DAU nasional
selama 20 tahun, yang diutamakan untuk mendanai pendidikan dan kesehatan. Selain itu,
diberikan juga dana tambahan untuk pembangunan infrastruktur yang besarnya ditetapkan
antara Pemerintah dan DPR berdasarkan usulan provinsi setiap tahun. Sementara itu, Dana
Otsus juga dialokasikan untuk Provinsi NAD dengan nilai setara 2 persen dari pagu DAU
nasional selama 15 tahun, untuk tahun ke-16 hingga ke-20 menjadi sebesar 1 persen dari
pagu DAU nasional.
Selanjutnya, Dana Penyesuaian sampai dengan tahun 2007, terutama dialokasikan
berupa Dana Penyeimbang kepada daerah yang menerima DAU lebih kecil dari DAU yang
diterima tahun sebelumnya, sehingga DAU yang diterima minimal sama dengan DAU yang
diterima tahun sebelumnya. Pengalokasian Dana Penyeimbang tersebut bertujuan agar
penerapan formula DAU tidak menimbulkan adanya daerah yang memperoleh DAU lebih
kecil dari DAU tahun sebelumnya, yang selanjutnya dikenal dengan prinsip non-hold
harmless. Dalam perkembangannya, pada tahun 2009 kebijakan non-hold harmless telah
dihapuskan.
Dana Otsus dan Penyesuaian dalam periode 2005– 2010 mengalami peningkatan
yang signifikan, dari Rp7,2 triliun dalam tahun 2005, menjadi Rp21,3 triliun pada tahun 2009,
dan meningkat lagi menjadi Rp30,2 triliun dalam APBNP 2010. Peningkatan ini tidak
terlepas dari kebijakan Pemerintah untuk lebih mendorong peran daerah dalam era otonomi
daerah yang ditandai dengan makin beragamnya jenisDana Penyesuaian dari tahun
ketahun.
10
C. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) merupakan komponen utama
Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sebagai sumber utama PAD, Pemerintah senantiasa
mendorong peningkatan penerimaan daerah yang bersumber dari PDRD tersebut
melalui penyempurnaan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan daerah
dan retribusi daerah sesuai dengan perkembangan keadaan. Dalam rangka mendukung
pelaksanaan otonomi daerah, kebijakan perpajakan daerah dan retribusi daerah
diarahkan untuk memberikan taxing power yang lebih besar kepada daerah.
Dengan pemberian taxing power yang lebih besar tersebut diharapkan
pemerintah daerah dapat memungut sumber-sumber penerimaan potensial yang ada di
masing-masing daerah untuk mendanai kebutuhan pemerintahan dan pembangunan
daerah. Saat ini ketentuan peraturan perundangan yang mengatur tentang PDRD
adalah UU Nomor 28 Tahun 2009 sebagai pengganti dari UU Nomor 18 Tahun 1997
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan UU
Nomor 34 Tahun 2000. Beberapa perubahan mendasar yang diatur dalam UU Nomor
28 Tahun 2009 tersebut antara lain adalah:
(1) Mengubah kewenangan pemungutan dari sistem open list menjadi closed list, artinya
pemerintah daerah hanya dapat memungut jenis PDRD sebagaimana yang
tercantum dalam UU dimaksud. Namun demikian, khusus untuk retribusi daerah
masih dimungkinkan untuk ditambah jenisnya yang akan ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah. Kebijakan ini didasarkan atas pertimbangan bahwa
pemberian kewenangan kepada daerah untuk menciptakan jenis pungutan baru
sebagaimana diatur dalam UU Nomor 34 Tahun 2000 telah menyebabkan timbulnya
banyak pungutan daerah yang bermasalah. Dengan tidak memberikan kewenangan
kepada daerah untuk menetapkanjenis PDRD baru akan memberikan kepastian bagi
masyarakat dan dunia usaha yang pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan
kesadaran masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
(2) Meningkatkan kewenangan perpajakan daerah dan retribusi daerah dengan
memperluas basis pungutan dan memberikan kewenangan kepada daerah dalam
penetapan tarif. Perluasan basis pajak dilakukan sesuai dengan prinsip pajak yang
11
baik, tidak menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan/atau menghambat mobilitas
penduduk, lalu lintas barang dan jasa antardaerah dan kegiatan ekspor impor.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, perluasan basis pajak daerah dilakukan dengan
memperluas basis pajak daerah yang sudah ada, mendaerahkan pajak pusat, dan
menambah jenis pajak baru. Upaya perluasan basis pajak yang sudah ada antara
lain dilakukan dengan menambah objek Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik
Nama Kendaraan Bermotor (termasuk kendaraan Pemerintah/TNI/Polri). Sementara
itu, terdapat 4 (empat) jenis pajak baru bagi daerah, yaitu Pajak Bumi dan Bangunan
Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB), Pajak Sarang Burung Walet, dan Pajak Rokok. PBB Perdesaan dan
Perkotaan dan BPHTB sebelumnya merupakan pajakpusat, kini dialihkan menjadi
pajak kabupaten/kota, sementara Pajak Sarang Burung Walet sebagai pajak
kabupaten/kota, dan Pajak Rokok sebagai Pajak Provinsi. Selain perluasan basis
pajak, perluasan juga dilakukan terhadap beberapa objek retribusi dan penambahan
jenis retribusi, misalnya Retribusi Izin Gangguan yang diperluas sehingga mencakup
pengawasan dan pengendalian kegiatan usaha secara terus-menerus untuk
mencegah terjadinya gangguan ketertiban, keselamatan, atau kesehatan umum,
memelihara ketertiban lingkungan, dan memenuhi norma keselamatan dan
kesehatan kerja. Berkaitan dengan pemberian kewenangan dalam penetapan tarif,
daerah hanya dapat menetapkan tarif pajak dalam batas maksimum yang ditetapkan
dalam UU PDRD dimaksud untuk menghindari penetapan tarif pajak yang tinggi
yang dapat menambah beban bagi masyarakat secara berlebihan. Selain penetapan
batas maksimum, ditetapkan pula ketentuan tarif minimum untuk menghindari
terjadinya perang tarif antardaerah terutama untuk objek pajak yang mudah bergerak
seperti kendaraan bermotor.
(3) Memperbaiki sistem pengelolaan PDRD melalui kebijakan bagi hasil pajak provinsi
kepada kabupaten/kota, insentif pemungutan PDRD, dan earmarking penerimaan
pajak daerah. Kebijakan earmarking dimaksudkan untuk meningkatkan akuntabilitas
pengenaan pungutan dimana sebagian hasil penerimaan pajak dialokasikan untuk
mendanai kegiatan yang berkaitan dengan pajak tersebut. Sebagai contoh, sebagian
penerimaan Pajak Penerangan Jalan dialokasikan untuk mendanai penerangan
jalan, paling sedikit 10 persen dari penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor
dialokasikan untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan
moda dan sarana transportasi umum.
(4) Dalam rangka mengefektifkan pengawasan PDRD, mekanisme pengawasan diubah
dari represif menjadi preventif. Setiap peraturan daerah tentang PDRD sebelum
dilaksanakan harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Pemerintah. Selain
itu, terhadap daerah yang menetapkan kebijakan di bidang PDRD yang melanggar
ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi akan dikenakan sanksi
berupa penundaan dan/ atau pemotongan DAU dan/atau DBH atau restitusi. UU
Nomor 28 Tahun 2009 mengatur tentang 16 (enam belas) jenis pajak yang menjadi
kewenangan pemerintah daerah, yaitu 5 (lima) jenis pajak provinsi dan 11 (sebelas)
jenis pajak kabupaten/kota. Sedangkan jenis retribusi yang dapat dipungut oleh
pemerintah daerah meliputi 14 (empat belas) jenis retribusi jasa umum, 11 (sebelas)
jenis retribusi jasa usaha dan 5 (lima) jenis retribusi perizinan tertentu. Penetapan
jenis PDRD tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa jenis PDRD tersebut
secara umum dipungut hampir disemua daerah dan secara teori maupun praktik
merupakan jenis pungutan yang baik serta memenuhi kriteria sebagai pungutan
daerah. Pemerintah daerah boleh tidak memungut jenis PDRD sebagaimana yang
tercantum dalam UU tersebut dengan pertimbangan, antara lain, apabila potensi
jenis PDRD di daerah tersebut tidakmemadai.
Jenis pajak daerah dan retribusi daerah berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2009
masing-masing dapat dilihat pada Tabel di bawah ini. Sama halnya dengan pajak
12
daerah, pemerintah daerah juga tidak diperkenankan untuk memungut jenis retribusi
selain yang telah diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009. Namun demikian, untuk
mengantisipasi perkembangan keadaan, maka dimungkinkan untuk menambah
jenisretribusi sepanjang memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam UU dimaksud
dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah.
13
D. Pinjaman dan Hibah Daerah
1. Pinjaman Daerah
Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 54
Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah, diamanatkan bahwa Pemerintah menetapkan batas
maksimal kumulatif pinjaman Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan memperhatikan
keadaan dan prakiraan perkembangan perekonomian nasional. Batas maksimal kumulatif
dimaksud adalah 60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) tahun anggaran yang
bersangkutan. Dalam rangka menjaga batas tersebut, setiap tahun Pemerintah menetapkan
batas maksimal kumulatif defisit APBD, batas maksimal defisit APBD masing-masing
daerah, dan batas maksimal kumulatif pinjaman daerah.
Untuk menutup defisit APBD, pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman daerah
yang bersumber dari Pemerintah, pemerintah daerah lain, lembaga keuangan bank,
lembaga keuangan bukan bank, dan masyarakat dalam bentuk obligasi daerah. Kontribusi
tersebut dihitung dari besarnya penarikan pinjaman daerah dibandingkan
dengan besarnya defisit pada APBD. Berdasarkan grafik tersebut, dari tahun 2007 sampai
dengan tahun 2010, kontribusi pinjaman daerah terhadap pembiayaan defisit APBD sangat
kecil dan berfluktuasi antara 4 persen sampai dengan 7%. Defisit APBD pada umumnya
14
ditutup dari Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) tahun sebelumnya masing-masing
Pemerintah Daerah.
Dalam era otonomi daerah, sebagian besar pinjaman daerah yang digunakan untuk
menutup defisit bersumber dari Pemerintah dan lembaga keuangan bank. Pemerintah dapat
memberikan pinjaman kepada pemerintah daerah yang dananya bersumber dari
pendapatan APBN dan/atau pengadaan pinjaman Pemerintah dari dalam negeri maupun
luar negeri. Pengadaan pinjaman luar negeri dikelola melalui mekanisme penerusan
pinjaman luar negeri
(Subsidiary Loan Agreement/SLA). Penerusan pinjaman luar negeri pada umumnya
merupakan pinjaman jangka panjang yang digunakan untuk mendanai proyek investasi
yang menghasilkan penerimaan. Beberapa sumber pinjaman luar negeri tersebut adalah
pinjaman yang bersumber dari badan-badan yang sifatnya multilateral seperti Bank Dunia
(World Bank), Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank), Bank Pembangunan
Islam (Islamic Development Bank), dan negara-negara lain secara bilateral. Di samping itu,
Pemerintah terus berupaya mendorong pemerintah daerah untuk mengoptimalkan sumber
pinjaman dalam negeri berupa obligasi daerah yang diperdagangkan di pasar modal
domestik.
2. Hibah Daerah
Pemberian hibah kepada pemerintah daerah merupakan wujud pelaksanaan
hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah yang merupakan
suatu sistem pendanaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk dapat memberikan hibah kepada
pemerintah daerah. Kebijakan pemberian hibah kepada daerah tersebut kemudian
dipertegas dalam Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2004. Peraturan-peraturan tersebut
mengatur secara tegas bahwa pemberian hibah dari Pemerintah kepada pemerintah daerah
yang bersumber dari penerimaan dalam negeri, pinjaman dalam negeri serta penerusan
pinjaman luar negeri dan hibah luar negeri dilakukan oleh Menteri Keuangan selaku
Bendahara Umum Negara. Prinsip-prinsip yang digunakan dalam pelaksanaan pemberian
hibah kepada pemerintah daerah adalah sebagai berikut:
15
(1) Hibah dari Pemerintah kepada pemerintah daerah dilaksanakan dalam kerangka
hubungan keuangan antara Pemerintah dan pemerintah daerah. (2) Hibah dilaksanakan
sejalan dengan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah, pemerintah provinsi
dan pemerintah kabupaten/kota. (3) Hibah dilaksanakan dengan mempertimbangkan
kapasitas fiskal daerah berdasarkan peta kapasitas fiskal daerah yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan. (4) Hibah bersifat bantuan untuk melaksanakan kegiatan urusan
pemerintahan yang merupakan kewenangan pemerintah daerah. Hibah kepada daerah
dalam kerangka hubungan keuangan Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah, mulai
dilaksanakan pada tahun 2009 dengan ditandatanganinya Naskah Perjanjian Penerusan
Hibah (NPPH) antara Pemerintah dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk kegiatan Mass
Rapid Transit (MRT). Hibah ini bersumber dari pinjaman luar negeri yang berasal dari Japan
International Cooperation Agency (JICA). Proyek MRT merupakan kegiatan yang bertujuan
untuk mengatasi permasalahan transportasi di Jakarta yang menjadi prioritas pembangunan
nasional dan telah tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Hibah ini
dilakukan secara bertahap dan direncanakan mulai direalisasikan pada tahun 2010.
16
Dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi, besarnya peningkatan jumlah investasi
yang terealisasi tidak diikuti dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2009
yang turun sebesar 1.46 persen. Hal ini wajar terjadi karena investasi yang ditanamkan pada
tahun 2009 belum menimbulkan efek pada peningkatan PDRB. Oleh karena itu, perlu dilihat
dari indikator lain untuk mengetahui besarnya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Salah
satu indikator yang terkait langsung dengan investasi dan pembangunan ekonomi adalah
rendahnya tingkat pengangguran.
17
BAB ANALISIS KEBIJAKAN MONETER DAN
10 PERBANKAN
Pengaruh moneter terhadap perekonomian merupakan hajat hidup orang banyak, maka
dalam sebuah tatanan ekonomi tertentu, misalkan sebuah negara perlu dilakukan pengaturan di
bidang moneter. Pengaturan inilah yang biasa dikenal sebagai kebijakan moneter atau
monetary policy. Kebijakan moneter pada umumnya bertujuan untuk menjaga dan memelihara
kestabilan nilai uang dan mendorong kelancaran produksi dari pembangunan guna
meningkatkan taraf hidup rakyat, untuk mencapai tujuan tersebut, kebijakan moneter diarahkan
kepada pengaturan jumlah uang yang beredar dalam masyarakat yang sejalan dengan
perkembangan seluruh sector ekonomi, dengan pertambahan jumlah uang yang beredar di
masyarakat, otoritas moneter akan dapat memengaruhi nilai uang dan suku bunga sedemikian
rupa sehingga perkembangannya akan mendorong perekonomian ke arah yang diinginkan
sesuai dengan tujuan pembangunan nasional.
Dalam menentukan kebijakan moneter, tentunya harus ada landasan berupa teori yang
telah teruji. Satu hal yang menjadi dasar dalam kebijakan teori moneter adalah aspek
penawaran dan permintaan uang.
A. Permintaan Uang
Dalam peradaban manusia, keberadaan uang sangat berpengaruh terhadap kehidupan.
Fungsi dari uang itu sendiri adalah sebagai alat transaksi,satuan hitung, dan penyimpan nilai.
Sesuai dengan fungsi uang tesebut, uang telah banyak membantu kesulitan untuk melakukan
berbagai kegiatan ekonomi, seperti perdagangan, investasi, konsumsi, dan saving.
Karena berbagi kegunaannya, uang diminta oleh masyarakat dengan motif yang
berbeda-beda. Menurut Keynes, motif permintan masyarakat pada uang tergolong menjadi tiga
hal yakni untuk keperluan transaksi, berjaga-jaga, dan spekulasi.
1
1. Permintaan uang untuk transaksi.
Dengan meningkatkan pendapatan seseorang, kebutuhan uang untuk transaksi akan
akan meningkat, hasil penjumlahan semua permintaan individual yang ada dalam
perekonomian yang kita sebut senagai permintaan agregat juga mempunyai pola yang
sama, yaitu dengan meningkatnya pendapatan nasional, jumlah uang yang dibutuhkan oleh
masyarakat untuk tramsaksi juga meningkat.
B. Penawaran Uang
Dilihat dari sisi penawaran, ada dua hal yang menentukan jumlah penawaran uang
yaitu, uang primer dan angka pengganda uang. Uang primer adalah kewajiban moneter dari
otoritas moneter kepada PBUG berupa kas dan simpanan giro jumlah uang primer ditentukan
oleh beberapa faktor dan senagian faktor tersebut perkembangannya dapat dikendalikan
oteritas moneter. Adapun multiplier uang primer dalam kurun waktu tertentu pada umumnya
relative stabil dan dapat diperkirakan, seta uang primer dapat dikontrol oleh bank sentral melalui
pengaturan uang primer. Prinsip kerja tersebut digunakan pada kebijakan moneter yang
menggunakan uang beredar sebagai sarana operasional.atau sering di sebut quantity
targeting.
2
C. Kebijakan Moneter
Dalam kerangka kebijakan moneter dikenal tiga terminology umum yang biasa di
gunakan. Pertama apa yang dikenal sebagai target dari sebuah kebijakan moneter, kedua apa
yang dikenal sebagai indikator, yang ketiga apa yang dikenal sebagai instrument.
3
ekonomi bank sentral akan mengendalikan uang beredar. Misalnya apabila jumlah uang yang
beredar melebihi dan yang diinginkan atau diminta oleh masyarakat, masyarakat cenderung
membelanjakan uangnya dengan meningkatkan mengkonsumsi barang-barang dan jasa-jasa.
Melalui pengendalian jumlah uang yang beredar, bank sentral berupaya mengubah
kondisi pasar yang sedemikian rupa sehingga perkembangannya dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi. Memperluas kesempatan kerja, menjaga kestabilan harga dan
keseimbangan neraca pembayaran.
Selain melalui pengendalian uang beredar kebijakan moneter juga dapat dilaksanakan
melalui pengendalian suku bunga. Dalam pengendalian suku bunga, bank sentral dapat
mengendalikan perekonomian yang searah dengan tujuan yang ditetapkan Perekonomian
Misalnya dalam rangka kegiatan Perekonomian , bank sentral menurunkan suku bunga.
Dengan menurunkan suku bunga berarti biaya modal atau dana menjadi lebih murah sehingga
mendorong konsumsi dan investasi dan pada gilirannya kegiatan perekonomian.
Dalam kebijakan moneter kita akan membahas mengenai program moneter, proyeksi
moneter dan pengendalian uang yang beredar. Kebijakan moneter melalui pengendalian uang
beredar awali dengan menetapka tujuan akhir, seperti inflasi, pertumbuhan ekonomi dan
kesempatan kerja.
1. Program Moneter
2. Proyeksi Moneter
Langkah –langkah menyusun proyeksi moneter:
Menetapkan terlebih dahulu sasaran makro perekonomian untuk suatu periode
yang akan datang
Setelah ditetapkan sasaran pertumbuhan, harga dan suku bunga melalui hubungan
fungsional dapat dilakukan proyeksi berapa besar permintaan masyarakat akan
uang.
Dalam program moneter perkiraan jumlah uang yang beredar disebut “sasaran
perencanaan moneter”.
4
Memperkirakan berapa besar demand for reverse bank-bank.
Proyeksi mengenai supply of reserve money. Proyeksi tersebut dilakukan dengan
memperkirakan perkembangan faktor-faktor yang mempengaruhi reserve money
moneter.
Menjaga kestabilan moneter adalah salah satu dimensi kestabilan nasional yang
merupakan sasaran pembangunan nasional. Kestabilan moneter yang mantap mempunyai
pengaruh yang luas terhadap kegiatan perekonomian, termasuk diantaranya kegiatan di sector
perbankan.
Selain suku bunga dan uang beredar, terdapat beberapa hal penting yang menjadi
indikator kestabilan moneter atau dengan kata lain sebagai tolak ukur kestabilan moneter,
diantaranya sebagai berikut:
a. Laju Inflasi
Laju inflasi merupakan gambaran harga-harga. Harga yang membumbung tinggi
tergambar dalam inflasi yang tinggi, sementara itu harga yang relative stabil tergambar dalam
angka inflasi yang rendah.
Di bidang moneter, laju inflasi yang tinggi dan tidak terkendali dapat mengganggu upaya
perbankan dalam pengerahan dana masyarakat. Hal ini dikarenakan inflasi yang tinggi dapat
menyebabkan tingkat suku bunga riil akan menurun dan akibatnya hasrat masyarakat untuk
menabung hingga pertumbuhan dana perbankan yang berasal dari masyarakat akan menurun.
5
Dan apabila bunga riil terus menurun tapi bertolak belakang dengan suku bunga di luar negeri
maka masyarakat akan lebih memilih menyimpan uang di luar negeri, dengan kata lain aliran
modal beralih ke luar negeri.
Kenyataan yang demikian dapat menghambat upaya perbankan dalam menghimpun
dana masyarakat. Pada saat ini bank dalam keadaan tidak mampu dalam menghimpun dana
dari masyarakat dan juga tidak mampu dalam memberikan kredit. Perbankan merupakan
lembaga intermediasi yang mempertemukan kreditur dan debitur yang selama ini penyaluran
kredit didapat dari sumber dana yang antara lain bersumber dari perhimpunan dana dari
masyarakat tadi. Akibatnya terjadi penururnan kegiatan investasi di sektor rill akibat kesulitan
dana perbankan. Rendahnya investasi dapat membuat kegiatan produksi menurun dan
berujung pada rendahnya daya serap tenaga kerja.
Sebagai contoh, keterkaitan antara tingginya laju inflasi dengan pengerahan dana
masyarakat yang dicerminkan dari pertumbuhan PDB dalam negeri. Tahun 2005 terjadi
peningkatan inflasi yang cukup tinggi yaitu mencapai 17,1% dari dua tahun sebelumnya yang
hanya 5,06%. Inflasi tahun 2005 lebih disebabkan dari kenaikan harga BBM dan kenaikan tarif
transportasi. Tingginya inflasi tersebut mengakibatkan suku bunga rill menjadi negative shingga
tidak mendorong pengerahan dana masyarakat. Hal ini tercermin dari pertumbuhan PDB yang
melambat yaitu dari 5,13% menjadi 5,6%.
Pemerintah terus berupaya untuk menekan laju inflasi melalui program rehabilitasi dan
stabilitasi dengan menetapkan suku bunga deposito dan kredit modal kerja serta investasi yang
tinggi, yaitu masing-masing 11,98% dan 15,92% serta 15,43% per tahun.
6
Pada tahun 3006, laju inflasi bertahap mulai menurun yaitu menjadi 6,6% dan tingkat
suku bunga untuk deposito 8,69% dan kredit modal kerja dan investasi sebesar 15,07% dan
15,01% pertahun. Namun ketidakstabilan makroekonomi akibat yang ditimbulkan oleh inflasi
masih dirasakan, hal ini dapat dilihat dari masih melemahnya pertumbuhan PDB. Dan pada
tahun 2007 kegiatan-kegiatan ekonomi seperti investasi dan ekspor mengalami perbaikan
shingga pertumbuhan PDB mulai meningkat dan laju inflasi menunjukkan penurunan kembali
yaitu 6,59%, penurunan ini disertai dengan penurunan suku bunga baik deposito ataupun kredit.
b. Suku Bunga
Perkembangan tingkat bunga yang tidak wajar secara langsung dapat mengganggu
perkembangan perbankan. Seperti suku bunga yang terlalu tinggi, disatu sisi akan
meningkatkan minat masyarakat untuk menabung shingga jumlah dana perbankan akan
meningkat. Namun disisi lain suku bunga yang terlalu tinggi akan meningkatkan biaya yang
dikeluarkan oleh pengusaha sehingga mengakibatkan penurunan kegiatan produksi di dalam
negeri. Pada gilirannya permintaan terhadap kredit perbankan menurun dan dana perbankan
menjadi menumpuk karena kebutuhan dana untuk berproduksi rendah dalam kondisi suku
bunga yang tinggi.
Di sisi perbankan, tingginya suku bunga membuat bank memiliki kemampuan
menghimpun dana untuk disalurkan dalam bentuk kredit kepada pengusaha. Tapi dengan
tingginya suku bunga secara tidak langsung membuat tinggi pula beban bunga yang ditanggung
oleh bank.
Sebaliknya, tingkat bunga yang relative rendah dibandingkan dengan tingkat bunga luar
negeri akan mengurangi minat masyarakat untuk menabung dan mendorong aliran dana ke luar
negeri shingga bank-bank dalam negeri akan mengalami kesulitan dalam menghimpun dana.
Namun, tingkat bunga yang rendah tadi akan mendorong kegiatan produksi dan investasi
karena tingkat bunga yang relaitf rendah membuat permintaan akan kredit perbankan
meningkat.
Di bulan Oktober tahun 2005 terjadi inflasi yang cukup tinggi selama empat tahun
terkahir, shingga pemerintah khususnya Bank Indonesia sebagai pemegang kebijakan moneter
menetapkan kenaikan suku bunga sebagai stabilitasi.
Kenaikan suku bunga BI mencapai 12,75%, diikuti oleh kenaikan suku bunga deposito
dan kredit perbankan terutama sejak awal September 2005. Pada bulan November 2005 suku
7
bunga deposito satu bulan naik menjadi rata-rata 11,46% dari sebelumnya 6,43% pada akhir
tahun 2004. Begitu juga dengan tingkat suku bunga kredit modal kerja yang meningkat menjadi
rata-rata 15,9% pada bulan November 2005 dari sebelumnya rata-rata 13,4% pada akhir tahun
2004.
Meskipun secara bertahap telah berhasil menurunkan inflasi namun di sisi lain suku
bunga yang terlalu tinggi dicemaskan dapat mempengaruhi kredit perbankan shingga akan
berakibat ke sector lain. Karenanya Bank Indonesia menghimbau agar bank-bank tidak
menaikkan suku bunga kredit, namun dengan margin suku bunga yang sudah relative kecil
dewasa ini sangat sulit bagi bank untuk mendapatkan dana masyarakat yang sudah semakin
ketat shingga mengharuskan bank menaikkan suku bunga simpanan secara berarti.
Kebijakan moneter harus dapat mengatur sedemikian rupa dan sesuai agar suku bunga
dapat dijaga secara ideal shingga masih cukup menarik bagi masyarakat untuk menyimpan
dananya juga tidak memberatkan dunia usaha serta tingkat kompetitif dibandingkan suku bunga
luar negeri.
Pengaruh yang kedua, tindakan pembelian atau penjualan surat berharga akan
mempengaruhi harga (dan dengan demikian juga tingkat bunga) surat berharga, sehingga
mengakibatkan menurunnya jumlah uang beredar dan meningkatkan tingkat suku bunga.
8
Berdasarkan tujuannya, operasi pasar terbuka dibagi menjadi 2 jenis, yaitu :
1. Dynamic open market operation, yang bertujuan untuk mengubah jumlah cadangan dan
monetary base
2. Defensif open market operation, yang bertujuan untuk mengontrol faktor-faktor lain yang
dapat mempengaruhi jumlah cadangan dan monetary base.
a. Jumlah uang beredar (M2), yaitu jumlah seluruh uang yang beredar yang terdiri dari
M1(uang kartal dan uang giral) ditambah dengan uang kuasi.
b. Bunga deposito 1 bulan (Depo1)
c. Tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
d. Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika
e. Inflasi
G. Perbankan
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Dalam
kebijakan moneter bank memiliki posisi yang sangat penting mengingat perbankan dalam
perekonomian Indonesia mendominasi keseluruhan sector keuangan baik dilihat dari segi
kepemilikan aset, pengumpulan dana maupun penyaluran dana di dalam perekonomian. Hal
serupa juga terdapat di negara-negara berkembang lainnya.
Peranan system financial yang didominasi oleh perbankan tampak dari dana yang
terhimpun dan digunakan untuk membiayai kegiatan pembangunan, khususnya di sector
swasta sebagian besar dari perbankan.
Sektor perbankan merupakan sektor yang sangat penting peranannya di dalam
pembangunan nasional baik sebagai perantara sektor yang deficit dengan sector yang surplus
maupun sebagai agen pembangunan.
Secara menyeluruh sejak orde baru sektor perbankan mengalami perkembangan yang
cukup pesat khususnya setelah kebijaksanaan deregulasi perbankan 1988. Sebelumnya sector
9
perbankan masih banyak diatur oleh pemerintah, dalam hal ini bank Indonesia berupa likuiditas
yang kemudian disalurkan ke berbagai program priorotas sesuai ketetpan dari pemerintah. Hal
ini ternyata kurang mendororng bank-bank untuk memobilisasi dana pembangunan.
Pada tahun 1990, sekitar 90% dari asset bruto sektor keuangan dimiliki oleh lembaga
perbsnkan (40% oleh Bank Indonesia dan 65% dari bank-bank lain) dan sisanya adalah berasal
dari lembaga keuangan lainnya. Di negara-negara berkembang lainnya, perbankan masih juga
sebagai orientasi utama pada kegiatan perdagangan dan jasa, terutama melayani daerah
perkotaan dan memberikan kredit yang umumnya bersifat jangka pendek.
Perkembangan sektor keuangan di Indonesia sangat pesat khususnya sejak deregulasi
perbankan mulai tahun 1988 yang mengubah fungsi bank, sampai tahun 1992 yang
menyebabkan meningkatnya jumlah bank yang memasuki pasar karena nasabah telah percaya
kepada bank, Terbukti jumlah bank saat ini adalah 249 bank dengan 6000 kantor.
Perbankan di Indonesia saat ini diatur dalam UU No. 10 tahun 1998 mengenai
perbankan. Dalam pasal 5 ayat 1 di UU tersebut perbankan di Indonesia terbagi ke dalam dua
jenis yakni Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
DAFTAR PUSTAKA
Pohan, Aulia. 2008. Potret Kebijakan Moneter Indonesia. Jakarta; Rajagrafindo Persada.
Http://www. Google.com/
Http://www.bps.go.id/
Http://www.bi.go,id/
10
BAB PERKEMBANGAN KOPERASI DAN
11 UKM DI INDONESIA
1
Sedangkan, pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM)
merupakan langkah yang strategis dalam meningkatkan dan memperkuat dasar
kehidupan perekonomian dari sebagian terbesar rakyat Indonesia, khususnya melalui
penyediaan lapangan kerja dan mengurangi kesenjangan dan tingkat kemiskinan.
Dengan demikian upaya untuk memberdayakan UMKM harus terencana, sistematis
dan menyeluruh baik pada tataran makro, meso dan mikro yang meliputi (1)
penciptaan iklim usaha dalam rangka membuka kesempatan berusaha seluas-luasnya,
serta menjamin kepastian usaha disertai adanya efisiensi ekonomi; (2) pengembangan
sistem pendukung usaha bagi UMKM untuk meningkatkan akses kepada sumber daya
produktif sehingga dapat memanfaatkan kesempatan yang terbuka dan potensi
sumber daya, terutama sumber daya lokal yang tersedia; (3) pengembangan
kewirausahaan dan keunggulan kompetitif usaha kecil dan menengah (UKM); dan (4)
pemberdayaan usaha skala mikro untuk meningkatkan pendapatan masyarakat yang
bergerak dalam kegiatan usaha ekonomi di sektor informal yang berskala usaha mikro,
terutama yang masih berstatus keluarga miskin.
Perkembangan peran usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang besar
ditunjukkan oleh jumlah unit usaha dan pengusaha, serta kontribusinya terhadap
pendapatan nasional, dan penyediaan lapangan kerja. Pada tahun 2003, persentase
jumlah UMKM sebesar 99,9 persen dari seluruh unit usaha, yang terdiri dari usaha
menengah sebanyak 62,0 ribu unit usaha dan jumlah usaha kecil sebanyak 42,3 juta
unit usaha yang sebagian terbesarnya berupa usaha skala mikro. UMKM telah
menyerap lebih dari 79,0 juta tenaga kerja atau 99,5 persen dari jumlah tenaga kerja
pada tahun 2004 jumlah UMKM diperkirakan telah melampaui 44 juta unit. Jumlah
tenaga kerja ini meningkat rata-rata sebesar 3,10 persen per tahunnya dari posisi
tahun 2000. Kontribusi UMKM dalam PDB pada tahun 2003 adalah sebesar 56,7
persen dari total PDB nasional, naik dari 54,5 persen pada tahun 2000. Sementara itu
pada tahun 2003, jumlah koperasi sebanyak 123 ribu unit dengan jumlah anggota
sebanyak 27.283 ribu orang, atau meningkat masing-masing 11,8 persen dan 15,4
persen dari akhir tahun 2001.
Perkembangan UMKM yang meningkat dari segi kuantitas tersebut belum
diimbangi oleh meratanya peningkatan kualitas UMKM. Permasalahan klasik yang
dihadapi yaitu rendahnya produktivitas. Keadaan ini disebabkan oleh masalah internal
yang dihadapi UMKM yaitu: rendahnya kualitas SDM UMKM dalam manajemen,
organisasi, penguasaan teknologi, dan pemasaran, lemahnya kewirausahaan dari para
pelaku UMKM, dan terbatasnya akses UMKM terhadap permodalan, informasi,
teknologi dan pasar, serta faktor produksi lainnya. Sedangkan masalah eksternal yang
dihadapi oleh UMKM diantaranya adalah besarnya biaya transaksi akibat iklim usaha
yang kurang mendukung dan kelangkaan bahan baku. Juga yang menyangkut
perolehan legalitas formal yang hingga saat ini masih merupakan persoalan mendasar
bagi UMKM di Indonesia, menyusul tingginya biaya yang harus dikeluarkan dalam
pengurusan perizinan. Bersamaan dengan masalah tersebut UMKM juga menghadapi
tantangan terutama yang ditimbulkan oleh pesatnya perkembangan globalisasi
ekonomi dan liberalisasi perdagangan bersamaan dengan cepatnya tingkat kemajuan
teknologi.
Tabel
Tingkat Pendidikan Formal dari Pengusaha di UMKM di Industri Manufaktur, 2006 (%)
Tabel
Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Menurut Skala Usaha
Pada Tahun 2003 dan 2005 (Orang)
Pertumbuhan
No Skala Usaha 2003 2004 2005
2003-2005
1 Usaha Mikro dan 70.522.413 69.166.801 71.187.153 0.94 %
Kecil
2 Usaha Menengah 6.364.894 6.323.722 6.491.345 1.97 %
3 Usaha Besar 2.617.868 2.646.775 2.590.275 - 1.05 %
Jumlah Tenaga Kerja 79.505.175 78.137.298 80.268.773 0.96 %
Sumber: BPS dan Kementerian Koperasi dan UKM (beberapa tahun)
6
Usaha mikro, kecil, dan menengah memberikan lapangan kerja bagi 99,45%
tenaga kerja di Indonesia, dan masih akan menjadi tumpuan utama penyerapan
tenaga kerja pada masa mendatang. Selama periode 2003–2005, usaha mikro dan
kecil telah mampu memberikan lapangan kerja baru bagi 664.740 orang dan usaha
menengah mampu memberikan lapangan kerja baru sebanyak 126.451 orang. Pada
sisi lain, usaha besar justru mengurangi jumlah pekerja sebanyak 27.593 orang selama
periode 2003–2005. Hal ini merupakan bukti bahwa UMKM merupakan katup
pengaman, dinamisator, dan stabilisator perekonomian Indonesia.
Tabel
Perbandingan Komposisi PDB Menurut Skala Usaha Pada Tahun 2003 dan 2005
Atas Dasar Harga Konstan 2000 (Milyar Rupiah)
No Skala Usaha 2003 2005 Pertumbuhan
1 Usaha Mikro dan Kecil 617.022 (43,41) 688.688 (42,93) 11,61%
2 Usaha Menengah 262.086 (18,44) 298.011 (18,58) 13.71%
3 Usaha Besar 542.367 (38,15) 617.525 (38,49) 13.86%
Jumlah PDB 1.421.475 (100) 1.604.224 (100) 12.86%
Sumber: BPS dan Kementerian Koperasi dan UKM (beberapa tahun)
Bagi Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang tersebar di seluruh pelosok tanah
air, dan melakukan kegiatan usaha pada berbagai sektor dan bidang usaha yang
menyentuh kepentingan orang banyak, peluang untuk memanfaatkan signal positif ini,
tentu perlu diupayakan dan menjadi sangat mungkin untuk dikembangkan mengingat
jumlah UKM yang sangat besar di Bumi Nusantara ini. Data BPS 2003, menunjukkan
populasi UKM mencapai sekitar 42,39 juta unit dan merupakan 99,85 persen dari
keseluruhan populasi pelaku bisnis ditanah air. Sejak tahun 2000, UKM telah
mengalami pertumbuhan sekitar 9,46% yakni dari 38,72 juta menjadi 42,39 juta atau
rata-rata tumbuh 3,15% setiap tahunnya. UKM memberikan kontribusi besar dalam
penyerapan tenaga kerja yaitu sebesar 99,4%, serta memberikan kontribusi terhadap
Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp 1.013,5 triliun atau 56,73 persen.
Tabel
Rata-rata Struktur PDB Menurut Skala Usaha
Tahun 2003–2005 (Persen)
Rata-rata 2003-2005
Lapangan Usaha
UMK UM UB
1. Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan 86.14 8.91 4.96
Perikanan
2. Pertambangan dan Penggalian 8.45 3.29 88.27
3. Industri Pengolahan 13.90 13.21 72.90
4. Listrik, Gas dan Air Bersih 0.59 8.71 90.70
5. Bangunan 43.45 22.60 33.95
6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 75.14 21.08 3.78
7. Pengangkutan dan Komunikasi 30.84 24.24 44.92
8. Keuangan, Persewaan dan Jasa perusahaan 15.83 46.20 37.96
9. Jasa-jasa 39.58 7.99 52.44
PDB 39.26 16.48 44.26
PDB Non Migas 43.38 18.11 38.51
Sumber: BPS dan Kementerian Koperasi dan UKM (diolah)
7
Membaiknya kinerja sektor rill tercermin melalui unit usaha yang meningkat
hampir di semua lapangan usaha. Secara global populasi UK pada seluruh sektor
ekonomi jumlahnya meningkat dari tahun 2003 ke tahun 2005. Jumlah unit usaha UKM
meningkat dari 42.395.020 unit di tahun 2003 menjadi 44.689.588 unit di tahun 2005.
Sementara jumlah unit UB naik dari 3.894 unit menjadi 4.171 unit dan jumlah UK
meningkat dari 42.331.474 menjadi 44.621.823 pada tahun 2005. Selengkapnya
gambaran perihal populasi UK, UM dan UB dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Tabel
Perkembangan Jumlah Unit Usaha Tahun 2003, 2004, dan 2005
Tahun Tahun Tahun Pertumbuhan
No Skala Usaha
2003 2004 2005 2003-2005
1 Usaha Mikro dan 42.331.474 43.641.094 44.621.823 5.41 %
Kecil
2 Usaha Menengah 63.546 66.318 67.765 6.64 %
3 Usaha Besar 3.894 4.068 4.171 7.11 %
Jumlah 42.398.914 43.711.480 44.693.759 5.41 %
Sumber: BPS dan Kementerian Koperasi dan UKM (diolah)
Human development index (HDI) juga umum digunakan sebagai salah satu
indicator social umtuk mengukur tingkat kesenjangan pembagunan antar provinsi..
secara hipotesis dikatakan bahwa semakin baik pembagunan di suatu wilayah semakin
tinggi HDI daerah tersebut.
8
persen), bantuan modal/kredit (17,3 persen), fasilitasi (16,1 persen), dan
diseminasi/introduksi teknologi-teknologi baru (15,2 persen).
Lembaga-lembaga pemerintah memainkan peran paling menonjol (50,9
persen), diikuti oleh LSM (29,4 persen) dan lembaga-lembaga donor (10,1 persen).
Lembaga-lembaga pemerintah adalah yang paling umum untuk memperkenalkan
teknologi-teknologi baru (27,9 persen) dan memberikan pelatihan (21,1 persen),
sedangkan lembaga-lembaga lainnya kebanyakan memberi bantuan permodalan.
Berdasarkan pada tipe dari kegiatan, pelatihan adalah yang paling banyak
diselenggarakan oleh lembaga-lembaga pemerintah (46,9 persen) dan LSM (37,2
persen). Bantuan modal lebih banyak diberikan oleh LSM lokal dan internasional (50,3
persen), disusul kemudian oleh lembaga-lembaga pemerintah (15,5 persen) dan
perbankan (14,9 persen). Fasilitasi lebih banyak diberikan oleh LSM (52,4 persen) dan
pemerintah (35,7 persen).
Grafik
Kontribusi Ekspor Nonmigas Oleh Usaha Kecil, Usaha Menegah Dan Usaha
Besar Selama Tahun 2000 Sampai Dengan 2003.
Tabel
Perkembangan Nilai Ekspor Nonmigas Menurut Skala Usaha
Pada Tahun 2003 dan 2005 (Milyar Rupiah)
No Skala Usaha 2003 2005 Pertumbuhan
1 Usaha Mikro dan Kecil 19.941 27.700 38.91 %
2 Usaha Menengah 57.156 81.429 42.47 %
3 Usaha Besar 305.437 460.460 50.75 %
Jumlah Nilai Ekspor 382.534 569.589 48.90 %
Sumber: BPS dan Kementerian Koperasi dan UKM (diolah)
10
Kontribusi UMK pada ekspor non migas terus mengalami peningkatan secara
perlahan, dari Rp 19.941 milyar pada tahun 2003 menjadi Rp 27.700 milyar pada tahun
2005, dan usaha besar dari Rp 305.437 milyar menjadi Rp 460.460 milyar pada
periode tahun 2005.
Karakteristik yang melekat pada UKM bisa merupakan kelebihan atau kekuatan
yang justru menjadi penghambat perkembangannya. Kombinasi dari kekuatan dan
kelemahan serta interaksi keduanya dengan situasi eksternal akan menentukan
prospek perkembanhan UKM. Tantangan-tantangan UKM di manapun juga saat ini
dan yang akan datang adalah aspek-aspek sebagai berikut:
11
bisa diidentifikasi dengan sejumlah indikator, diantaranya yang umum digunakan dan
lebih bersifat proxy adalah tingkat produktivitas.
Perusahaan berdaya saing tinggi biasanya juga merupakan perusahaan yang
produktif. Sebenarnya tingkat produktivitas, misalnya, tenaga kerja, tidak hanya
mencerminkan tingkat penguasaan teknologi oleh pekerja, atau tingkat ketersediaan
teknologi di dalam perusahaan, namun juga sebagai sebuah indikator dari tingkat
pendidikan dari pekerja. Hipotesanya adalah: dengan teknologi yang ada, semakin
tinggi tingkat pendidikan pekerja semakin tinggi produktivitas pekerja, ceteris paribus,
yang lainnya konstan tidak berubah.
Pada tahun 2006, Pusat Inovasi UMKM APEC melakukan suatu studi mengenai
daya saing global dari UMKM di 13 negara APEC (APEC, 2006). Di dalam studi ini,
tingkat daya saing diukur melalui indeks skor antara 1,0 (daya saing paling rendah)
dan 10,0 (daya saing paling tinggi) yang dikembangkan berdasarkan sejumlah faktor
termasuk diantaranya jenis teknologi yang digunakan, metode produksi yang
diterapkan dan jenis produk yang dibuat, yang semuanya itu mengandung satu unsur
penting, yakni teknologi. Hasil studinya dapat dilihat di Indonesia termasuk negara
yang UMKM-nya berdaya saing rendah dengan skor dibawah 4. Di dalam studi ini juga
ditunjukkan bahwa Indonesia bersama dengan Meksiko dan Rusia merupakan
negara-negara dengan pendanaan paling kecil bagi perkembangan teknologi di
UMKM, yakni dengan skor 3,5. Padahal, pengembangan teknologi merupakan salah
satu sumber penting dari inovasi yang berarti juga dari sumber penting bagi
peningkatan daya saing.
12
pengembangan UMKM sudah ada kesepakatan bersama bahwa paling tidak ada tiga
keuntungan utama dari pengembangan UKM berdasarkan clustering:
1) UMKM lebih mudah mengatasi semua kekurangan/hambatan dalam segala aspek
bisnis mulai dari pengadaan bahan baku, proses produksi, distribusi dan
pemasaran, pendanaan, perbaikan mesin, dll, dibandingkan jika UMKM beroperasi
sendiri-sendiri. UMKM di dalam sebuah klaster akan menikmati apa yang dimaksud
dengan ”keuntungan ekonomi aglomorasi”.
2) Lebih efisien dan efektif dalam pemberian bantuan atau kerjasama antara UMKM
dengan pihak lain, misalnya, UB dalam kegiatan subcontracting, perbankan dalam
penyaluran kredit, dan eksportir, pedagang atau distributor dalam pemasaran. Efek
ini yang dimaksud oleh Schmitz (1995, 1999) sebagai “efisensi kolektif”.
3) Proses peralihan teknologi/pengetahuan dari sumber luar (misalnya dari
perusahaan multinasional/PMA) ke UMKM dan penyebarannya antara sesama
UMKM lebih gampang, lebih efisien, dan lebih efektif di dalam sebuah klaster
dibandingkan jika unit-unit UMKM sangat terpencar lokasinya satu dari yang
lainnya. Ini artinya juga bahwa inovasi lebih mudah terjadi di dalam sebuah
klaster.Pengalaman dari UMKM di sentra industri logam di Tegal (Jawa Tengah)
membuktikan pentingnya peran dari PMA dalam peralihan teknologi, di satu sisi,
dan penyebaran dari teknologi tersebut antar sesama UMKM di dalam sentra
tersebut. Bahkan peran PMA lebih besar daripada bantuan teknis dari pemerintah
lewat penyediaan unit-unit pelayanan teknis (UPT).
Di Indonesia, dilihat dari jumlah unit usahanya yang sangat banyak di semua
sector ekonomi dan kontribusi yang sangat besar. Terhadap penciptaan kesempatan
kerja dan sumber pendapatan, khususnya di daerah pedesaan dan bagi rumah tangga
berpendapat rendah, tidak dapat diingkari betapa pentingnya UKM selain itu, kelompok
usaha tersebut juga berperan sebagai salah satu motor penggerak bagi pembagunan
ekonomi dan komunitas local.
Dalam era globalisasi dan perdagangan bebas, UKM memiliki peranan yang
lebih penting lagi yaitu sebagai salah satu faktor utama pendorong perkembangan dan
pertumbuhan ekspor non-migas dan sebagai industri pendukung yang membuat
komponen-komponene dan spare parts untuk UB lewat keterkaitan produksi. Di
Indonesia, UKM sangat diharapkan sangat bisa menjadi salah satu pemain penting
dalam penciptaan pasar baru bagi Indonesia tidak hanya dalam negeri tapi lebih
penting lagi keluar negeri.
Kemampuan UKM Indonesia untuk menembus pasar global atau
meningkatakan ekspornya atau menghadapi produk-produk impor di pasar domestic
ditentukan oleh suatu kombinasi antara jumlah faktor keunggulan relative yang dimiliki
masing-masing perusahaan atas persaingan-persaingan. Dalam konteks ekonomi/
perdagangan internasional pengertian daripada keunggulan relative dapat didekati
dengan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif.
Suatu Negara memiliki keunggulan bisa secara alamiah (natural advantages)
atau yang dikembangkan (acquired advantages). Kenggulan alamiah yang dimilikin
Indonesia adalah jumlah tenaga kerja, khususnya dari golongan berpendidikan rendah
dan bahan baku berlimpah kondisi ini membuat upah Tenaga kerja dan harga bahan
baku di indonesia relative lebih murah dibandingkan Negara-negara lain yang
penduduknya sedikit dan miskin SDA. Keunggulan alamiah ini ini sangat mendukung
perkembangan ekspor komoditas-komoditas primer Indonesia.
13
Kunggulan kompetitif dapat menjelaskan sebagai berikut: keunggulan suatu
Negara atau industri dalam persaingan global selain ditentukan oleh keunggulan
komperatif yang dimilikinya yang diperkuat dengan proteksi atau bantuan dari
pemerintah, juga sangat ditentukan oleh keunggulan kompetitifnya.faktor-faktor
keunggulan kompetitif yang harus dimiliki oleh stiap perisahaan:
Penguasaan teknologi
Sumber daya manusia dengan kualitas tinggi dan memiliki etos kerja, kretivitas
dan motivasi yang tinggi
Tingkat efisiensi dan produktivitas yang tinggi dalam proses produksi
Kualitas serta mutu yang baik dari barang yang berhasilkan
Promosi yang luas dan agresif,
System manejemen dan struktur organisasi yang baik
Pelayanan teknis maupaun non-teknis yang baik
Adanya skala ekonomis dalam proses produksi
Modal dan sarana serta prasarana lainnya yang cukup
Memiliki haringan bisnis di dalam dan terutama di luar negeri yang baik:
Proses produksi yang dilakukan dengan system just in time
Tingkat entrepreneurship yang tinggi, yakni seorang pengusaha yang sangat
inovatif,intensif,kreatif dan memiliki visi yang luas mengenai produknya dan
lingkungan sekitar usahanya (sosial,politik)
Tingkat dan Bentuk dari Dampak dari Kebijakan Umum terhadap UMKM
Munculnya krisis ekonomi, timbulnya krisis politik dan sosial pada saat
lensenya pemerintahan soeharto hilangnya kepecayaan masyarakat kepada
pemerintah dan semakin parahnya hak asasi manusia, orde baru sangat tertekan,
untuk menuntut kemerdekaan atau mendapatakan otonomi yang lebih luas, isu
disintegrasipunmai menyeruak, menutut sodakh(1999), ada tiga faktor yang memicu
bangkitnya tuntutat tersebut, yakni
- Sentiment regional
- Ketimpangan dan ketidakberdayaan ekonomi dan
- Resesi dan pelanggaran hak-hak masyarakat local
15
Gerakan disintegrasi tersebut akhirnya memunculkan dua undang-undang
yang memberikan keleluasaan daerah dalam mewujudkan otonomi daerah yang luas
yaitu UU No,22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No.25 tahun 1999
tentang perimbangan pembangunan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah
dapat di anggap sebagai salah satu konsekuensi positif dari proses reformasi sejak
krisis ekonomi terjadi dan UU ini bertujuan untuk mewujudkan landasan hukum yang
kuat bagi penyelenggaraan otonomi daerah dengan memberikan keleluasaan kepada
daerah untuk menjadikan daerah otonom yang mandiri dalam rangka menegakkan
system pemerintahaan Negara kesatuaan Republik Indonesia sesuai UUD 1945.
Survei BPS 2003 terhadap UM (usaha mikro) dan UK (usaha kecil) di industri
manufaktur menunjukkan permasalahan-permasalahan klasik dari kelompok usaha ini
di Indonesia. Seperti yang dapat dilihat, permasalahan utama yang dihadapi sebagian
besar dari responden adalah keterbatasan modal dan kesulitan pemasaran. Walaupun
banyak skim-skim kredit khusus bagi pengusaha kecil, sebagian besar dari responden
terutama yang berlokasi di pedalaman/perdesaan tidak pernah mendapatkan kredit
dari bank atau lembaga-lembaga keuangan lainnya. Mereka tergantung sepenuhnya
pada uang/tabungan mereka sendiri, uang/bantuan dana dari saudara/kenalan atau
dari sumber-sumber informal untuk mendanai kegiatan produksi mereka.
Alasannya bisa macam-macam; ada yang tidak pernah dengar atau menyadari
adanya skim-skim khusus tersebut, ada yang pernah mencoba tetapi ditolak karena
usahanya dianggap tidak layak untuk didanai atau mengundurkan diri karena ruwetnya
prosedur administrasi, atau tidak bisa memenuhi persyaratan-persyaratan termasuk
penyediaan jaminan, atau ada banyak pengusaha kecil yang dari awalnya memang
tidak berkeinginan meminjam dari lembaga-lembaga keuangan formal.
Dalam hal pemasaran, UMKM pada umumnya tidak punya sumber-sumber
daya untuk mencari, mengembangkan atau memperluas pasar-pasar mereka sendiri.
Sebaliknya, mereka sangat tergantung pada mitra dagang mereka (misalnya pedagang
keliling, pengumpul, atau trading house) untuk memasarkan produk-produk mereka,
atau tergantung pada konsumen yang datang langsung ke tempat-tempat produksi
mereka atau, walaupun persentasenya kecil sekali, melalui keterkaitan produksi
dengan UB lewat sistem subcontracting. Hal yang menarik dari hasil survei ini adalah
bahwa walaupun sudah bukan rahasia lagi bahwa penyebab utama rendahnya
produktivitas di UMKM di Indonesia (dan di NSB pada umumnya) adalah keterbatasan
teknologi dan SDM, Tabel diatas menunjukkan bahwa UMK yang disurvei tidak
menyebut keterbatasan teknologi dan SDM sebagai salah satu permasalahan serius
mereka. Hal ini bisa disebabkan oleh ketidak-sadaran mereka bahwa produktivitas
mereka rendah atau mereka menghadapi kesulitan pemasaran karena produk-produk
yang mereka buat tidak kompetitif dibandingkan produk-produk yang sama buatan UB
atau impor, dan ini disebabkan terutama oleh rendahnya teknologi atau kualitas SDM.
Dengan di berlakukanya otonomi daerah , UKM di daerah akan menghadapi
suatu perubahan besar yang sangat berpengaruh terhadap iklim berusaha/persaingan
di daerah. Oleh sebab itu semua pengusaha UKM yang ada di daerah harus dapat
beradaptasi untuk menyesuaikan menghadapi perubahaan tersebut.
1. Prospek bisnis UKM dalam era perdagangan bebas dan otonomi daerah sangat
tergantung pada upaya yang ditempuh oleh pemerintah dalam mengem- bangkan
bisnis UKM. Salah satunya melalui pengembangan iklim usaha yang kondusif.
Untuk mencapai iklim usaha yang kondusif ini, diperlukan penciptaan lingkungan
kebijakan yang kondusif bagi UKM. Kebijakan yang kondusif dimaksud dapat
diartikan sebagai lingkungan kebijakan yang transparan dan tidak membebani UKM
16
secara finansial dan berlebihan. Ini berarti berbagai campur tangan pemerintah
yang berlebihan, baik pada tingkat pusat maupun daerah harus dihapuskan,
khususnya penghapusan berbagai peraturan dan persyaratan administrasi yang
rumit dan menghambat kegiatan UKM.
2. Pengembangan UKM yang diarahkan pada supply driver strategy sebaiknya
diarahkan pada pengembangan program UKM yang berorientasi pasar, dan
didasarkan atas pertimbangan efisiensi dan kebutuhan riel UKM (market oriented,
demand driven programs). Fokus dari program ini yakni pertumbuhan UKM yang
efisiensi yang ditentukan oleh pertumbuhan produktivitas UKM yang berkelanjutan,
dan pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan UKM yang berkelanjutan.
3. Menghadapi tantangan globalisasi ekonomi dan persaingan bebas, struktur yang
timpang dan kesenjangan akses tidak relevan lagi untuk dipertahankan. Untuk itu
perlu dilakukan reformasi struktur usaha yang ada saat ini. Dalam konteks
reformasi ini, menjadi sangat relevan untuk memberi ruang gerak yang longgar
kepada UKM guna mengejar ketertinggalan namun juga dengan strategi yang
tepat.
4. Liberalisasi perdagangan seharusnya juga membuka peluang bagi perluasan pasar
produk UKM itu sendiri, melalui pemunculan institusi, yang secara spesifik
ditujukan untuk membuka dan memperluas akses pasar UKM. Diantara bentuk
institusi yang dinilai mampu memainkan fungsi tersebut adalah penguatan trading
house sebagai pintu saluran ekspor produk UKM dan pola subkontrak.
5. Pembentukan aliansi strategis antara UKM dengan usaha-usaha asing merupakan
mekanisme yang paling penting dan efektif untuk alih informasi bisnis, teknologi,
kemampuan manajerial serta organisatoris, serta akses ke pasar ekspor bagi UKM
dari pada bantuan yang diberikan oleh instansi pemerintah. Aliansi strategis ini
berbeda dengan program kemitraan dan Bapak angkat yang kita kenal selama ini.
Dalam aliansi ini, maka UKM ataupun usaha asing atau usaha domestic melakukan
kerjasama yang didasarkan atas kemauan dan kepentingan bersama.
6. Strategi lain untuk mendorong kinerja dan peran UKM dalam pasar bebas serta
mengatasi kesenjangan yang terjadi, adalah dengan menumbuhkan usaha
menengah dalam membangun struktur industri. Strategi pengembangan usaha
menengah ini praktis banyak dilupakan sejalan dengan kurang diperhatikannya
entitas dan posisi usaha menengah dalam pertumbuhan ekonomi maupun dalam
kebijakan pengembangan UKM.
7. Pengembangan institusi penunjang ekspor Indonesia di luar negeri dengan
merevitalisasi
Peran Atase Perdagangan dan atau Kabid ekonomi di Kedutaan
Besar/Perwakilan Indonesia diluar negeri serta mengaktifkan kembali Indonesian
Trade Promotion Center (ITPC) dengan melibatkan pengusaha Indonesia yang
sudah sangat memahami seluk beluk perdagangan ekspor di negara yang
bersangkutan. Optimaslisasi peran institusi pendukung ekspor ini diharapkan
mampu menyediakan informasi pasar internasional bagi para eksportir, memetakan
para buyer yang mampu dan memiliki komitmen untuk menampung serta
memasarkan produk Indonesia dinegara yang bersangkutan serta memberi perlin
dungan dan konsultasi bisnis kepada eksportir Indonesia yang akan memasuki
pasar luar negeri termasuk pemberian konsultasi dibidang prosedur dan
persyaratan ekspor yang harus dipenuhi.
DAFTAR PUSTAKA
18
BAB PERDAGANGAN INTERNASIONAL
12
Teori ini berpendapat bahwa pola dari perdagangan internasional ditentukan oleh
perbedaan dalam faktor pendukung. Model ini memperkirakan kalau negara-negara
akan mengekspor barang yang membuat penggunaan intensif dari faktor pemenuh
kebutuhan dan akan mengimpor barang yang akan menggunakan faktor lokal yang
langka secara intensif. Masalah empiris dengan model H-o, dikenal sebagai Pradoks
Leotief, yang dibuka dalam uji empiris oleh Wassily Leontief yang menemukan bahwa
Amerika Serikat lebih cenderung untuk mengekspor barang buruh intensif dibanding
memiliki kecukupan modal.
Tabel
Perbedaan Perdagangan Dalam Negeri dengan Perdagangan Luar Negeri
2
b) Interdependensi Kebutuhan
d) Kebutuhan Devisa
Perdagangan internasional juga dipengaruhi oleh faktor kebutuhan akan devisa
suatu negara. Dalam memenuhi segala kebutuhannya setiap negara harus memiliki
cadangan devisa yang digunakan dalammelakukan pembangunan, salah satu
sumber devisa adalah pemasukan dari perdagangan internasional.
Harga suatu barang di tiap-tiap negara berbeda. Perbedaan harga inilah yang
mendorong adanya perdagangan internasional. Misalnya, harga komputer di Korea
Selatan dan di Jepang lebih murah daripada harga di Indonesia mendorong orang
Indonesia membeli komputer tersebut di Korea atau Jepang untuk dijual di
Indonesia. Mereka melakukan perdagangan karena memperoleh keuntungan
sebagai akibat dari adanya perbedaan harga jual dan harga beli.
Tiap-tiap negara mempunyai kebutuhan akan barang yang beraneka ragam. Namun
secara ekonomi, tiap negara lebih baik memproduksi beberapa macam barang saja
kemudian melakukan perdagangan internasional. Dengan spesialisasi ini
produktivitas tiap negara menjadi lebih tinggi.
3
1. Ekspor
Dibagi dalam beberapa cara antara lain :
a. Ekspor Biasa
Pengiriman barang keluar negri sesuai dengan peraturan yang berlaku, yang
ditujukan kepada pembeli di luar negri, mempergunakan L/C dengan ketentuan
devisa.
2. Barter
Pengiriman barang ke luar negri untuk ditukarkan langsung dengan barang yang
dibutuhkan dalam negri.
a. Direct Barter
Sistem pertukaran barang dengan barang dengan menggunakan alat penetu nilai
atau lazim disebut dengan denominator of valuesuatu mata uang asing dan
penyelesaiannya dilakukan melalui clearing pada neraca perdagangan antar
kedua negara yang bersangkutan.
b. Switch Barter
Sistem ini dapat diterapkan bilamana salah satu pihak tidak mungkin
memanfaatkan sendiri barang yang akan diterimanya dari pertukaran tersebut,
maka negara pengimpor dapat mengambil alih barang tersebut ke negara ketiga
yang membutuhkannya.
c. Counter Purchase
Suatu sistem perdagangan timbal balik antar dua negara. Sebagai contoh suatu
negara yang menjual barang kepada negara lain, mka negara yang
bersangkutan juga harus membeli barang dari negara tersebut.
a. Komoditas Ekspor
Komoditas ekspor adalah barang-barang yang dijual ke luar negeri. Orang yang melakukan
kegiatan ekspor disebut eksportir. Berikut ini beberapa barang-barang yang diekspor oleh
Indonesia.
4
Tabel
Beberapa Komoditas Ekspor Indonesia
b . Komoditas Impor
Komoditas impor adalah barang-barang yang dibeli dari luar negeri. Barang-barang yang
diimpor terdiri atas kelompok barang konsumsi, bahan baku, dan barang modal. Jenis
barang-barang yang diimpor dapat kalian lihat pada tabel berikut ini.
Tabel
Beberapa Komoditas Impor Indonesia
Ketika melakukan transaksi jual beli, untuk mendapatkan barang yang kalian inginkan,
tentunya kalian akan membayarnya dengan uang yang berlaku di tempat tersebut. Sama
halnya perdagangan internasional, pada saat terjadi kegiatan ekspor dan impor barang,
uang yang digunakan sebagai alat pembayarannya, yaitu berupa devisa.
Pengertian Devisa
Devisa adalah alat pembayaran luar negeri atau semua barang yang dapat diterima
di dunia internasional sebagai alat pembayaran. Beberapa barang yang dapat digunakan
sebagai devisa atau alat pembayaran luar negeri, yaitu emas dan perak, valuta asing, dan
wesel asing. Negara yang mempunyai banyak devisa berarti mempunyai kekayaan dalam
bentuk mata uang asing yang besar di dalam negeri. Devisa yang diperoleh suatu negara
dapat berupa devisa umum dan devisa kredit. Devisa umum adalah devisa yang diperoleh
dari kegiatan perdagangan antarnegara dan tidak ada kewajiban untuk mengembalikan.
Adapun devisa kredit adalah devisa yang diperoleh dari pinjaman atau bantuan dari luar
negeri dan ada kewajiban untuk mengembalikan.
5
Fungsi Devisa
1) Membiayai perdagangan luar negeri yang berupa impor barang dan jasa.
2) Membayar pokok utang, cicilan utang, bunga utang atau utang luar negeri.
3) Membiayai pembinaan dan pemeliharaan hubungan luar negeri, yaitu untuk kedutaan,
konsulat, biaya kontingen olahraga, misi
kebudayaan ke luar negeri.
4) Mengatasi kesulitan perekonomian negara dalam kaitannya dengan pembayaran luar
negeri.
5) Memudahkan terjadinya transaksi dalam perdagangan internasional.
c. Sumber Devisa
Devisa yang diperoleh suatu negara dapat berasal dari berbagai sumber. Berikut ini
beberapa sumber devisa.
1 ) Ekspor barang
Apabila suatu negara mengekspor barang ke negara lain, maka negara tersebut akan
memperoleh devisa dari negara pengimpor berupa devisa. Semakin banyak barang
yang diekspor, maka devisa yang akan diperoleh juga semakin banyak.
2 ) Penerimaan jasa
Penerimaan jasa adalah penerimaan devisa yang berasal dari pengiriman jasa-jasa ke
luar negeri. Apabila suatu negara mengadakan atau menyelenggarakan jasa untuk
negara lain, maka negara tersebut akan memperoleh devisa. Misalnya Indonesia
mengirimkan tenaga kerjanya ke negara lain, berarti Indonesia akan memperoleh devisa
atas jasa yang telah digunakan oleh negara lain. Selain pengiriman jasa tenaga kerja,
ekspor jasa dapat berupa jasa pengiriman barang-barang ke luar negeri serta jasa dari
pelabuhan dan bandar udara.
Banyaknya turis yang datang ke Indonesia dapat menambah devisa negara. Turis-turis
yang datang dari negara lain, tentunya akan membawa uang dari negara asalnya. Akan
tetapi uang dari negaranya tidak bisa digunakan di Indonesia. Untuk itu, para turis harus
menukarkan uangnya menjadi mata uang rupiah. Penukaran uang asing menjadi uang
rupiah akan menjadi devisa bagi Indonesia. Semakin banyak turis mancanegara yang
datang maka pemasukan devisa akan semakin banyak.
Pinjaman luar negeri yang berupa uang, secara langsung dapat menambah devisa.
Pinjaman ini dapat digunakan untuk membayar semua pembiayaan ke luar negeri.
Meskipun ada kewajiban untuk mengembalikan, akan tetapi uang yang diperoleh dari
luar negeri tetap akan menambah devisa negara.
6
5 ) Bantuan luar negeri
Bantuan yang diperoleh dari luar negeri dapat berupa barang ataupun uang. Apabila
bantuannya berupa barang, maka hal ini dapat menghemat devisa negara. Mengapa?
Karena negara dapat memperoleh barang tanpa harus membayarnya. Sedangkan
bantuan yang berupa uang, otomatis dapat langsung menambah devisa negara.
Bea masuk yang diperoleh dari pungutan biaya barang-barang luar negeri yang
dimasukkan ke Indonesia, dapat menambah devisa. Semakin banyak arus barang luar
negeri yang masuk ke Indonesia maka devisa yang diperoleh akan semakin banyak.
Akan tetapi pada kenyataannya, banyak barang-barang yang masuk tanpa ada izin
(diselundupkan), sehingga hal ini dapat mengurangi perolehan devisa bagi negara.
Jumlah TKI yang bekerja di luar negeri cukup banyak, sehingga dapat memberikan
sumbangan devisa ke negara kita cukup besar. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan
pengiriman uang asing dari TKI yang bekerja di luar negeri untuk keluarganya yang ada
di Indonesia. Uang asing yang dikirimkan dari luar negeri harus ditukar menjadi uang
rupiah di bank devisa. Penukaran inilah yang dapat menambah simpanan devisa bagi
negara.
1. Tarif
Tarif adalah hambatan perdagangan berupa penetapan pajak atas barang-barang impor.
Apabila suatu barang impor dikenakan tarif, maka harga jual barang tersebut di dalam
negeri menjadi mahal. Hal ini menyebabkan masyarakat enggan untuk membeli barang
tersebut, sehingga barang-barang hasil produksi dalam negeri lebih banyak dinikmati oleh
masyarakat.
2. Kuota
Kuota adalah bentuk hambatan perdagangan yang menentukan jumlah maksimum suatu
jenis barang yang dapat diimpor dalam suatu periode tertentu. Sama halnya tarif, pengaruh
diberlakukannya kuota mengakibatkan harga-harga barang impor menjadi tinggi karena
jumlah barangnya terbatas. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya pembatasan jumlah
barang impor sehingga menyebabkan biaya rata-rata untuk masing-masing barang
meningkat. Dengan demikian, diberlakukannya kuota dapat melindungi barang-barang
dalam negeri dari persaingan barang luar negeri.
3. Larangan Impor
Larangan impor adalah kebijakan pemerintah yang melarang masuknya barang-barang
tertentu ke dalam negeri. Kebijakan larangan impor dilakukan untuk menghindari barang-
barang yang dapat merugikan masyarakat. Misalnya melarang impor daging sapi yang
mengandung penyakit Anthrax.
7
4. Subsidi
Subsidi adalah kebijakan pemerintah dengan memberikan bantuan kepada produk dalam
negeri. Subsidi yang dilakukan pemerintah dapat berupa keringanan pajak, pemberian
fasilitas, pemberian kredit bank yang murah ataupun pemberian hadiah atau insentif dari
pemerintah. Adanya subsidi, harga barang dalam negeri menjadi murah, sehingga barang-
barang hasil produksi dalam negeri mampu bersaing dengan barang-barang impor.
5. Dumping
Dumping adalah kebijakan yang dilakukan oleh suatu negara dengan cara menjual barang
ke luar negeri lebih murah daripada dijual di dalam negeri.
Ada beberapa faktor yang mendorong semua negara di dunia melakukan perdagangan
luar negeri. Faktor-faktor pendorong tersebut terdiri atas hal-hal berikut ini.
Teknologi
Setiap negara memiliki teknologi yang berbeda, sehingga barang yang dihasilkannya
juga berbeda. Perbedaan-perbedaan inilah yang mendorong kegiatan pertukaran barang
antarnegara. Perbedaan teknologi tersebut memungkinkan suatu negara untuk mempelajari
teknik produksi yang lebih modern dan mengimpor mesin-mesin atau alat-alat yang lebih
modern untuk mewujudkan teknik dan cara produksi yang lebih baik.
Perbedaan Selera
Setiap negara dalam memproduksi barang-barang, kemungkinan mempunyai
kesamaan. Meskipun demikian setiap negara mempunyai selera yang berbeda-beda. Hal
inilah yang mendorong kegiatan perdagangan antarnegara. Misalnya Jepang dan Korea
Selatan sama-sama menghasilkan barang-barang elektronik dan ikan tuna dalam jumlah
yang hampir sama, tetapi orang Jepang lebih suka ikan tuna dan orang Korea Selatan lebih
suka produk elektronik. Pada kondisi tersebut, negara Jepang lebih baik mengekspor
barang-barang elektronik, sedangkan Korea Selatan lebih baik untuk mengekspor ikan tuna.
Dengan demikian, kepuasan dari setiap negara dapat terpenuhi.
8
Faktor-Faktor Penghambat Perdagangan Internasional:
9
kepentingannegaranegaraanggota. Sebuah organisasi ekonomi regional akan
mengeluarkan peraturan ekspor dan impor yang khusus untuk negara anggotanya.
Akibatnya apabila ada negara di luar anggota organisasi tersebut melakukan
perdagangan dengan negara anggota akan mengalami kesulitan.
12
BAB SISTEM NILAI TUKAR DAN ALIRAN
13 MODAL PASAR KEUANGAN
GLOBAL
Astri Yuliandari S.P, Marida Manihuruk, Sugiarti, Atika Faizah
Sistem nilai tukar sering terjebak pada generalisasi tanpa melihat secara
tepat kondisi ekonomi negara bersangkutan. Ada lima preposisi yang sering
diungkapkan mengenai sistem nilai tukar. Pertama adalah suatu negara
hendaknya berupaya meningkatkan fleksibilitas nilai tukar mata uangnya. Hal ini
banyak disampaikan oleh pengambil kebijaksanaan di negara yang selama
periode 1997-1999 berperang melawan spekulan di pasar devisa, seperti
Thailand, Korea Selatan, Indonesia, Rusia, dan Brasil. Negara-negara ini menjadi
jera mempertahankan nilai tukar mata uangnya pada level tertentu karena
besarnya biaya yang telah dikeluarkan dan tanpa hasil yang jelas. Bila nilai tukar
mata uang diambang-bebaskan maka tidak perlu mempertahankan nilai tukar
pada level tertentu. Preposisi kedua, kebalikan dari preposisi pertama, yaitu
bahwa semua Negara sebaiknya mempersiapkan kelembagaan yang menunjang
sistem nilai tukar tetap. Preposisi ini timbul dari keberhasilan beberapa negara
mengatasi gejolak arus modal, seperti Argentina dan Hong Kong dengan
menganut sistem currency board. Selain itu, dimulainya pemberlakuan mata
uang Euro pada 1 Januari 1999 untuk sebelas Negara yang tergabung dalam Uni
Eropa, mendorong diterapkannya dolarisasi, yaitu pemakaian dolar Amerika
Serikat sebagai nilai tukar resmi di berbagai negara. Ini merupakan salah satu
bentuk sistem monetary union.
Preposisi ketiga adalah semua negara sebaiknya bergerak menuju ke salah
satu kelompok sistem nilai tukar yaitu bebas mengambang atau tetap, sementara
pilihan sistem di antara keduanya (intermediate regime) seperti target zone
semakin sulit dipertahankan. Preposisi ini juga kurang tepat bila diterapkan
secara luas. Preposisi keempat yaitu prediksi bahwa dunia akan terbagi ke
dalam beberapa blok mata uang kuat, seperti negara-negara Eropa
menggunakan Euro dan negara-negara Amerika memakai dolar Amerika Serikat.
Preposisi kelima menekankan pada pentingnya menciptakan stabilitas nilai
tukar tiga mata uang utama dunia, yaitu antara dolar AS, Euro dan Yen. Dengan
stabilnya ketiga mata uang uang dunia tersebut akan memudahkan negara-
negara lain yang lebih kecil perekonomiannya menentukan pilihan sistem nilai
tukar.
Kelima preposisi tersebut diungkapkan secara cermat mengamati
karakteristik berbagai negara dengan sistem nilai tukar yang dianutnya Sebagai
contoh ada beberapa karakteristik yang mengindikasikan suatu negara lebih
sesuai menggunakan sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate) daripada
sistem nilai tukar bebas (floating exchange rate). Karakteristik yang umum yaitu
perekonomian negara tersebut berukuran kecil, terbuka terhadap perdagangan
internasional, memiliki mobilitas tenaga kerja yang tinggi, dan adanya korelasi
siklus usaha dengan kondisi ekonomi negara yang menjadi patokan nilai tukar.
Karakteristik ini pada umumnya dijumpai pada negara-negara yang tergabung
kedalam suatu ‘optimum currency area’ (OCA). Negara-negara tersebut lebih
mementingkan manfaat dari kestabilan nilai tukar, dan kurang memerlukan
independensi moneter. Sebagai contoh adalah Panama yang mematok mata
uangnya dengan dolar Amerika Serikat dan Luksemburg dengan Euro.
Gambar
Kontinum Sistem Nilai Tukar
Kelompok ‘Float’
Free Floating : sistem tanpa ada intervensi pada pasar devisa.
Managed float : sistem yang tidak mematok target nilai tukar.
Kelompok ‘Intermediate’
Target zone / band : adanya rentang fluktuasi nilai tukar yang diijinkan.
Basket peg : dipatok tidak pada satu mata uang asing tapi pada sejumlah
mata uang yang dibobot.
Crawling Peg : nilai tukar didevaluasi dalam jumlah yang relatif kecil setiap
minggu.
Adjustable Peg : mematok nilai tukar, namun tanpa komitmen pasti untuk
devaluasi.
atau revaluasi, yang tergantung pada besarnya defisit atau surplus neraca
pembayaran.
Kelompok ‘Fixed’
Truly Fixed Peg : mempertahankan tingkat nilai tukar pada level tertentu
meskipun harus membeli atau menjual devisa dalam jumlah besar, dan
melaksanakannya dengan tegas dan konsisten.
Currency Board : ada tiga karakteristik sistem ini: (a) pematokan nilai tukar
tidak hanya merupakan kebijakan namun ditetapkan oleh undang-undang; (b)
ditunjang oleh peningkatan uang primer yang besarnya sama dengan
cadangan devisa; (c) memungkinkan adanya defisit neraca pembayaran
untuk mendorong kebijakan moneter yang ketat dan penyesuaian anggaran
secara otomatis.
Defisit transaksi berjalan dapat dibiayai utang luar negeri jangka pendek.
Jika Negara sulit membayar bunga dan angsuran pinjaman, kreditur akan
mengalihkan modalnya ke negara yang lebih profitable (kasus Meksiko pada
1974 membiayai defisit transaksi berjalan dengna utang jangka pendek, tahun
1982 kreditur menarik modalnya).
Permintaan dan penawaran pasar valas dipengaruhi oleh tingkatan harga, suku
bunga, dan pertumbuhan ekonomi.
Suatu negara menetapkan nilai mata uangnya berdasarkan nilai mata uang satu
atau sekelompok negara. Dolar AS dipakai patokannilai mata uang 50 negara,
Frane Perancis dipakai 14 negara Afrika, Ruble Rusia dipaia 6 negara ex Uni
Soviet.
Suatu negara menetapkan nilai mata uangnya dikaitkan dengan nilai mata uang
negara lain, tetapi diadakan perubahan tahap demi tahap.
1 ons emas = US$ 20.67 atau £4.2474, maka kurs dolar AS dengan pound
= US$ 20.67/£4.2474 = US$ 4.86656/£
Kekuatan ekonomi AS rapuh, US$ tidak mampu dijadikan patokan nilai tukar.
Maret 1979 masyarakat ekonomi Eropa membuat system satu mata uang
Eropa. Tujuannya: membuat benteng pertahanan terhadap persaingan dagang
dengan Jepang dan Amerika Serikat. Nilai tukar Negara anggota tidak boleh
berfluktuasi melebihi 2,25%.
6. Eurocurrencies
D. Neraca Pembayaran
Kurs adalah perbandingan nilai antar mata uang, atau harga suatu mata
uang. Nilai kurs Rupiah (Rp) per US$ Rp. 10.000/US$, artinya membeli US$ 1
diperlukan Rp. 10.000, atau Rp 1 = US$ 0.0001. mata uang dapat dikatakan
berapresiasi jika harga mata uang makin mahal, dan dikatakan terdepresiasi jika
harga mata uang murah. Mata uang Indonesia atau rupiah adalah terdepresiasi
terhadap mata uang Amerika Serikat (dollar).
Laju inflasi
Tingkat pendapatan
Tingkat bunga
Kontrol pemerintah
Pengharapan pasar
Pasar valuta asing ialah jual beli valuta asing yang pada umumnya
dilakukan melalui informasi elektronik computer, terdapat di semua negara,
berfluktuasi setiap jam pada setiap hari kerja. Pasar tersebut pada umumnya
digunakan untuk spekulasi atau “judi” kaum kapitalis. Fungsi pasar valas
adalah: (1) transfer daya beli, (2) penyediaan kredit: L/C dan banker’s
acceptance, (3) minimisasi risiko: hedging (pengamanan), forward.
Paritas daya beli lazim disebut hokum satu harga yaitu: (1) law of one
price, menjelaskan hubungan antara nilai tukar dan harga komoditas, (2)
komoditas yang sama akan memiliki harga yang sama pula walaupun dijual di
tempat yang berbeda, (3) contoh: harga gula di Indonesia Rp. 5.000 kg, di AS
US$ 0.5, maka paritas daya beli = Rp. 5.000.
Paritas tingkat bunga adalah hukum satu satu harga di pasar uang.
Paritas tingkat bunga (PTB) sama dengan paritas daya beli (PDB), bedanya PTB
berlaku di pasar sekuritas (uang), sedangkan PDB berlaku di pasar barang.
Investor dapat memilih investasi di dalam negeri atau di luar negeri tergantung
tingkat bunga. Jika tingkat bunga dalam negeri lebih tinggi daripada di luar negeri
ditambah premi atua diskon kurs forward tahunan, maka investor memilih
investasi di dalam negeri, dan sebaliknya.
Jika investor investasi di luar negeri, mereka menghadapi risiko
perubahan kurs, maka mereka harus mengadakan kontak forward. PTB unsur
pokoknya adalah perbedaan tingkat bunga dan premi kurs forward.
Arbitrase timbul karena ada perbedaan harga untuk suatu komoditi yang
sama.
Arbitrase menyamakan harga komoditi di berbagai tempat.
Selisih harga adalah besarnya biaya transaksi.
J. Kasus Indonesia
Karakteristik umum negara yang menganut sistem nilai tukar tetap, yaitu
perekonomian negara tersebut berukuran kecil, terbuka terhadap perdagangan
internasional, memiliki mobilitas tenaga kerja yang tinggi, dan adanya korelasi
siklus usaha dengan kondisi ekonomi negara yang menjadi patokan nilai tukar.
Selain itu dalam era meningkatnya arus modal internasional diperlukan pula
tambahan persyaratan cadangan devisa yang relatif besar dan adanya kepastian
hukum serta sistem pengawasan dan pengaturan lembaga keuangan yang telah
mantap. Jika kriteria ini dipergunakan untuk menilai Indonesia pada saat ini maka
belum bisa dinyatakan semua persyaratan tersebut telah terpenuhi.
Pada periode yang lalu dengan arus modal masuk yang relatif kecil,
perekonomian Indonesia dapat bertahan dengan menerapkan sistem crawling
peg. Dengan sistem ini nilai tukar dapat dikelola untuk turut meningkatkan daya
saing komoditi ekspor. Pada waktu itu pertimbangan peranan perekonomian
Indonesia relative kecil dalam perekonomian dunia tampak menonjol disamping
juga kebijakan liberalisasi perdagangan yang dengan cepat dilaksanakan.
Tampaknya ukuran perekonomian dan liberalisasi perdagangan memang
merupakan syarat yang diperlukan, namun tidak cukup untuk menerapkan sistem
nilai tukar tetap pada era arus modal internasional yang semakin besar.
Perbaikan system pengatuan dan pengawasan lembaga keuangan serta
peningkatan cadangan devisa perlu diupayakan terlebih dahulu. Dengan
fundamental ekonomi yang lebih kuat maka akan lebih aman bagi perekonomian
Indonesia menerapkan sistem nilai tukar tetap. Keberhasilan memperkecil
rentang fluktuasi nilai tukar rupiah kiranya dapat pula menjadi ukuran pemulihan
ekonomi, sebagaimana tercermin pada perkembangan nilai.
Bryan, Michael F. dan Cecchetti, Stephen G., 1993. Measuring Core Inflation.
Federal Reserve Bank of Cleveland, Working Paper No. 9304, Juni.
De Brouwer, G. dan O’Regan J., 1997. Evaluating Simple Monetary Policy Rules
for Australia.
BAB GLOBALISASI EKONOMI DAN
14 DEMOKRASI EKONOMI
Globalisasi adalah salah satu isu yang saat ini paling banyak dibicarakan di dunia.
Globalisasi telah menyebabkan penyebaran arus informasi yang sangat cepat dari satu wilayah
ke wilayah lain. Orang-orang di Meksiko dapat mengetahui mengenai konflik yang terjadi di jalur
Gaza antara Israel dan Palestina melalui CNN. Orang-orang di Amerika sana dapat mengetahui
mengenai manusia akar asal Bandung, Indonesia yang sempat membuat heboh beberapa
waktu lalu dari saluran Discovery Channel. Globalisasi juga menyebabkan kita yang berada di
Indonesia, misalnya, dapat menikmati barang-barang produksi Amerika Serikat seperti jeans
Levi’s, kaos Nevada, boneka Barbie, Coca Cola, dan sebagainya. Dengan adanya globalisasi,
kita juga bisa berdiskusi dengan orang-orang di seluruh dunia tanpa harus bertatap muka
secara langsung dengan fasilitas chatting room melalui teknologi internet.
Globalisasi telah merasuki segala aspek kehidupan manusia. Mulai dari anak kecil
hingga orang dewasa. Mulai dari orang pedesaan yang buta huruf hingga orang kota yang
berpendidikan tinggi. Globalisasi yang saat ini terjadi adalah globalisasi dalam bidang teknologi,
informasi, kesehatan, perekonomian, transportasi, hingga kebudayaan. Globalisasi berarti
semakin berkurang atau bahkan tidak ada sama sekali batasan antara satu negara dengan
negara lain. Globalisasi bisa membawa dampak yang baik maupun yang buruk.
Fenomena global dapat meluas ke seluruh dunia pada waktu yang sama dan dapat
bergerak dari satu tempat ke tempat lain dalam waktu yang sangat singkat. Dalam pengertian
ini fenomena global memiliki karakter suprateritorial dan trans-dunia. Sementara pola dari
interdependensi ‘internasional’ sangat kuat dipengaruhi oleh divisi-divisi negara nasional,
batasan interkoneksi ‘global’ seringkali tidak sesuai dengan batasan teritorial.
Uang, barang, orang, teknologi, dan ide-ide berpindah melintasi batas nasional dalam
langkah yang cepat. Dengan dunia yang dengan cepat menjadi terhubung, terikat menjadi lebih
kuat dan semakin kuat menjadi satu-satunya pasar dan komunitas global yang terintegrasi,
globalisasi memberikan perubahan yang besar bagi hubungan-hubungan yang terjadi di dunia.
A. Pengertian Globalisasi
Globalisasi (globalization) menjadi salah satu kata yang sering dipakai dalam diskusi
pembangunan, perdagangan, dan ekonomi politik internasional. Seperti yang diindikasikan oleh
kata itu sendiri, globalisasi adalah proses yang membuat perekonomian berbagai negara di
dunia semakin menyatu, mendorong perekonomian global, dan semakin mengglobalkan
pembuatan kebijakan ekonomi, misalnya melalui badan internasional seperti World Trade
Organization (WTO). Globalisasi juga merujuk pada timbulnya “budaya global” yang berarti
bahwa orang semakin sering mengonsumsi barang dan jasa yang serupa di banyak negara dan
menggunakan bahasa bisnis yang sama; perubahan ini mempercepat perubahan itu. Namun
dalam arti ekonominya, globalisasi berarti meningkatnya keterburukan perekonomian suatu
negara terhadap perdagangan internasional, aliran dana internasional, dan investasi asing
langsung. Keterkaitan yang makin erat dari semua sektor pemerintah dan perusahaan dan
antarindividu adalah sebuah proses yang mempengaruhi setiap orang di dunia, yang tampak
lebih nyata di dunia maju. Namun globalisasi dapat mempunyai dampak yang lebih besar dalam
berbagai segi pada masyarakat di negara berkembang.
Tidak ada definisi yang baku atau standar mengenai globalisasi, tetapi secara
sederhana globalisasi ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses di mana semakin banyak
negara yang terlibat langsung dalam kegiatan ekonomi global. Jadi, jika pada periode sejak
perang dunia kedua berakhir hingga tahun 1970-an ekonomi dunia didominasi oleh Amerika
Serikat (AS), sekarang ini walaupun produk domestic bruto (PDB) AS masih paling besar,
sekitar 45% dari PDB dunia, peran dari Uni Eropa (UE), Jepang dan negara-negara industri
baru (NISc) di Asia Tenggara dan Timur seperti Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura, serta
Cina sebagai motor penggerak perekonomia jauh lebih besar, terutama lewat dua jalur yakni
perdagangan dan investasi internasional. Selain itu, peran dari ekonomi-ekonomi ini sebagai
sumber pendanaan pembangunan ekonomi di negara-negara sedang berkembang (NSB) juga
jauh lebih besar dibandingkan 20 tahun yang lalu.
Jadi, proses globalisasi ekonomi adalah perubahan perekonomian dunia yang bersifat
mendasar atau structural dan proses ini akan berlangsung terus dengan laju yang akan
semakin cepat mengikuti perubahan teknogi yang juga akan semakin cepat dan peningkatan
serta perubahan pola kebutuhan masyarakat dunia. Perkembangan ini telah meningkatkan
kadar hubungan saling ketergantungan ekonomi dan juga mempertajam persaingan
antarnegara, tidak hanya dalam perdagangan internasional tetapi juga dalam investasi,
keuangan dan produksi. Globalisasi ekonomi ditandai dengan semakin menipisnya batas-batas
geografi dari kegiatan ekonomi atau pasar secara nasional atau regional, tetapi semakin
mengglobal menjadi “satu” proses yang melibatkan banyak negara. Globalisasi ekonomi
biasanya dikaitkan dengan proses internasionalisasi produksi, perdagangan dan pasar uang.
Globalisasi ekonomi merupakan suatu proses yang berada diluar pengaruh atau jangkauan
kontrol pemerintah, karena proses tersebut terutama digerakan oleh kekuatan pasar global,
bukan oleh kebijakan atau peraturan yang dikeluarkan oleh sebuah pemerintah secara individu.
Dalam tingkat globalisasi yang optimal arus produk dan faktor-faktor produksi (seperti
tenaga kerja dan modal) lintas negara atau regional akan selancar lintas kota di dalam suatu
negara atau desa di dalam suatu kecamatan. Pada tingkat ini, seorang pengusaha yang punya
pabrik di Kalimantan Barat setiap saat bisa memindahkan usahanya ke Serawak atau Filipina
tanpa halangan, baik dalam logistik maupun birokrasi yang berkaitan dengan urusan
administrasi seperti izin usaha dan sebagainya.
Menurut Friedman (2002), globalisasi mempunyai tiga dimensi. Pertama, dimensi ide
atau ideologi yaitu “kapitalisme”. Dalam pengertian ini termasuk seperangkat nilai yang
menyertainya, yakni falsafah individualisme, demokrasi dan hak asasi manusia (HAM). Oleh
karena itu tidak mengherankan jika demokrasi dan HAM menjadi dua isu yang semakin penting,
bahkan sekarang ini sering dijadikan sebagai salah satu pertimbangan utama dalam membuat
kesepakatan atau menjalin kerjasama ekonomi antarnegara atau dalam konteks regional
seperti ASEAN, UE dan APEC atau global seperti WTO. Kedua, dimensi ekonomi, yaitu pasar
bebas yang artinya arus barang dan jasa antarnegara tidak dihalangi sedikitpun juga. Ketiga,
dimensi teknologi, khususnya teknologi informasi yang akan membuka batas-batas negara-
negara sehingga negara makin tanpa batas.
Derajat globalisasi dari suatu negara di dalam perekonomian dunia dapat dilihat dari dua
indikator utama. Pertama, rasi dari perdagangan internasional (ekspor dan impor) dari negara
tersebut sebagai suatu persentase dari jumlah nilai atau volume perdagangan dunia dari PDB-
nya. Semakin tinggi rasio tersebut menandakan semakin mengglobal perekonomian dari dunia,
seperti korea utara, semakin kecil rasio tersebut.
Data historis menunjukan bahwa sejak berakhirnya perang dunia kedua hingga saat ini,
pangsa dari pengeluaran konsumsi domestik terhadap barang dan jasa di dalam negri yang
diekspor ke luar negeri terus mengalami peningkatan, yang dengan sendirinya memperbesar
nilai atau volume perdagangan di dunia. Kenaikan ini dapat di observasi baik secara absolut
maupun relatif, yakni rasio dari perdagangan internasional (ekspor + impor) terhadap PDB dari
masing-masing negara. Integrasi perdagangan antarnegara meningkat pesat terutama pada
tahun 1970-an, pada saat banyak negara mulai menerapkan sistem ekonomi terbuka (yang
disebut era keterbukaan global) dan setelah itu mengalami sedikit penurunan pada pertengahan
dekade 80-an dan suatu akselerasi di tahun 90-an (Krugman, 1995; Baldwin dan Martin, 1999).
Tetapi tidak semua negara mengalami laju pertumbuhan perdagangan internasional yang sama
jangka waktu tersebut; ada negara-negara yang mengalami laju pertumbuhan perdagangan luar
negeri yang pesat, tetapi lebih banyak negara yang tidak terlalu banyak memanfaatkan
kesempatan-kesempatan yang muncul dari pertumbuhan perdagangan dunia.
Perekonomian global terus mengalami pelemahan pada triwulan pertama 2009.
Proyeksi yang paling dramatis dikemukakan oleh majalah The Economist (awal April 2009),
yang mendasarkan pada survei. Sebagaimana terjadi pada sebagian besar negara-negara di
dunia, perekonomian Indonesia diperkirakan akan mengalami kontraksi, yakni minus 1,3
persen. Inilah pertama kalinya Indonesia diramal akan mengalami pertumbuhan ekonomi
negatif, setelah yang terakhir terjadi pada krisis 11 tahun silam, yakni minus 13,7 persen (1998).
Proyeksi The Economist cukup mengejutkan, dan sejauh ini merupakan yang paling
pesimistis. Namun, bukan mustahil hal tersebut akan mengalami koreksi lagi di kemudian hari,
karena dinamika perekonomian global yang sedemikian hebat akhir-akhir ini. Bisa saja ramalan
tersebut berubah lebih baik, karena sejauh ini proyeksi yang disampaikan oleh berbagai
lembaga masih meyakini bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh positif, meski dengan
laju yang melambat. Berikut ini proyeksi dari berbagai lembaga.
Optimisme berbagai lembaga terhadap pertumbuhan perekonomian Indonesia pada
tahun 2009, pada dasarnya disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, sektor finansial Indonesia
tidak terlibat secara mendalam pada transaksi derivatif, sebagaimana dilakukan oleh negara-
negara maju (Amerika Serikat, Eropa), serta negara-negara Asia yang memiliki sektor finansial
modern yang sophisticated (Jepang, Korea Selatan, Hong Kong, Taiwan, dan Singapura).
Akibatnya, kerugian yang dialami sektor finansial Indonesia akibat krisis subprime mortgage di
Amerika Serikat terhitung minimal.
Kedua, perekonomian Indonesia lebih banyak digerakkan oleh sektor konsumsi
domestik. Peran belanja masyarakat (consumption expenditure) melebihi 60 persen. Karena
pasar domestik Indonesia sangat besar, dengan jumlah penduduk 230 juta orang dan
pendapatan per kapita sekitar USD 1.800, maka besaran ini cukup untuk menggerakkan
perekonomian. Hal ini berbeda misalnya, dibandingkan negara-negara seperti Singapura, Hong
Kong dan Taiwan, yang tidak memiliki pasar domestik yang besar, sehingga mengandalkan
variabel ekspor.
Ketiga, selain tidak tergantung pada ekspor, Indonesia juga memiliki keragaman produk
ekspor yang lebih tahan krisis. Indonesia mengekspor produk-produk primer (pertambangan
dan perkebunan), yang faktanya demand elasticity-nya rendah. Artinya, dalam situasi krisis
konsumen tetap saja membeli kopi, produk CPO, dibandingkan produk sekunder (produk-
produk manufaktur). Beberapa negara Asia (Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong dan
Singapura) terpaksa mengalami pertumbuhan ekonomi negatif karena mereka by nature
mengandalkan produk sekunder (high-end consumer) yang kini mengalami penurunan ekspor
secara besar-besaran.
D. Faktor-Faktor Pendorong
Sebenarnya proses globalisasi ekonomi telah terjadi sejak dahulu kala dan akan
berlangsung terus menerus, walaupun prosesnya bebeda: dulu sangat lambat sedangkan
sekarang ini sangat pesat dan di masa depan akan jauh lebih cepat lagi. Perbedaan ini
disebabkan terutama oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menghasilkan alat-
alat komunikasi dan transportasi yang semakin canggih, aman dan murah. Jadi, dapat
dikatakan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan faktor pendorong atau
kekuatan utama dibalik proses globalisasi ekonomi. Karena adanya satelit, hand phone, fax,
internet dan email maka komunikasi atau arus informasi antar negara menjadi sangat lancar
dan murah. Juga, adanya pesawat terbang yang semakin cepat terbangnya dengan kapasitas
penumpang yang semakin cepat terbangnya dengan kapasitas penumpang yang sangat besar
membuat mobilisasi dari pelaku-pelaku ekonomi (konsumen, produsen, investor, dan bankir)
antarnegara menjadi semakin cepat dan murah. Ini semua meningkatkan arus transaksi
ekonomi antarnegara dalam laju yang semakin pesat.
Peran dari kemajuan teknologi terhadap proses globalisasi juga diakui oleh Friedman
yang mendapat penghargaan atas bukunya mengenai globalisasi (2002) yang menyatakan
berikut ini: era globalisasi dibangun seputar jatuhnya biaya telekomunikasi-berkat adanya
mikrochips, satelit, serat optik dan Internet/Teknologi informasi yang baru ini mampu merajut
dunia bersama-sama bahkan menjadi lebih erat. Teknologi ini juga dapat memungkinkan
perusahaan untuk menempatkan lokasi bagian produksi di negara yang berbeda, bagian riset
dan pemasaran di negara yang berbeda, tetapi dapat mengikat mereka bersama melalui
komputer dan komperensi jarak jauh seakan mereka berada di suatu tempat. Demikian juga
berkat kombinasi antara komputer dan telekomunikasi yang murah, masyarakat sekarang dapat
menawarkan pelayanan perdagangan secara global-dari konsultasi medis sampai penulisan
data perangkat lunak ke proses data-pelayanan yang sesungguhnya tidak pernah dapat
diperdagangkan sebelumnya. Dan mengapa tidak? Sambungan telepon untuk 3 menit pertama
(dalam dolar, tahun 1986) antara New York dan London biaya nya adalah 300 dolar di tahun
1930. sekarang ini hal itu hampir bebas biaya melalui Internet (20a). Friedman mengatakan
bahwa globalisasi memiliki definisi teknologi sendiri: komputerisasi, miniaturisasi, digitalisasi,
komunikasi satelit, serat optik dan internet.
Friedman juga melihat bahwa sistem globalisasi yang terjadi di dunia saat ini
mempunyai ciri istimewa yakni integrasi. Berkat kemajuan teknologi seperti yang disebut di
atas, semua manusia dimanapun berada bisa saling berhubungan satu dengan lainnya lewat
jaringan: Dunia menjadi tempat untuk menjalin hubungan, dan hari ini, apakah anda dan suatu
negara atau perusahaan, anacaman dan peluang anda semakin tergantung dari kepada siapa
anda dihubungkan. Globalisasi ini juga digambarkan dalam satu kata: Jaringan (Web). Jadi
dalam penalaran yang lebih luas, kita telah berangkat dari sistem yang dibangun secara
bertahap seputar integrasi dan jaringan.
Besarnya pengaruh dari kemajuan teknologi tehadap perubahan kehidupan manusia di
dunia yang mendorong proses globalisasi ekonomi semakin pesat sebenarnya sudah diduga
sebelumnya oleh sejumlah orang, diantaranya adalah Alvin Toffler (1980). Menurutnya, akibat
progres teknologi, akan terjadi kejutan-kejutan masa depan yang melahirkan revolusi baru.
Kehidupan manusia atau kegiatan ekonomi dunia tidak lagi dipimpin oleh industri, namun
informasi akan muncul sebagai penggerak pendulum. Revolusi informasi yang sarat dengan
teknologi akan membawa perubahan-perubahan di dalam kehidupan manusia sehari-hari yang
jauh lebih radikal daripada revolusi industri yang memerlukan waktu, biaya, lahan, dan pasar
yang besar. Toffler mengatakan bahwa revolusi informasi yang dipicuh oleh kemajuan
teknologi, khususnya teknologi informasi, akan membawa wajah baru, yakni masyarakat global
lantaran kaburnya batas-batas wilayah dan negara.
Faktor pendorong kedua yang membuat semakin kencangnya arus globalisasi ekonomi
adalah semakin terbukanya sistem perekonomian dari negar-negara di dunia baik dalam
perdagangan, produksi maupun investasi/keuangan. Fukuyama (1999) menegaskan bahwa
dewasa ini baik begara-negara maju maupun NSB cenderung mengadopsi prinsip-prinsip liberal
dalam menata ekonomi dan politik domestik mereka. Seperti yang dapat dikutip dari Friedman
(2002), ide dibelakang globalisasi yang mengendalikannya adalah kapitalisme bebas – semakin
anda membuka perekonomian anda bagi perdagangan bebas dan kompetisi, perekonomian
anda akan semakin efisien dan berkembang pesat. Globalisasi berarti penyebaran kapitalisme
pasar bebas ke setiap negara di dunia. Karenanya globalisasi juga memiliki aturan
perekonomian tersendiri – peraturan yang bergulir seputar pembukaan, deregulasi, privatisasi
perekonomian anda, guna membuatnya lebih kompetitif dan atraktif bagi investasi luar negeri.
Menurut catatn dari Friedman (2002), pada tahun 1975, di puncak perang dingin, hanya 8% dari
negara di seluruh dunia yang mempunyai rezim kapitalis pasar bebas. 1997, jumlah negara
dengan rezim perekonomian liberal menjadi 28%.
Faktor pendorong ketiga adalah mengglobalnya pasar uang yang prosesnya
berlangsung berbarengan dengan keterbukaan ekonomi dari negara-negara di dunia
(penerapan sistem perdagangan bebas dunia). Sebenarnya faktor ketiga ini dengan faktor
kedua di atas saling terkait, atau tepatnya saling mendorong satu sama lainnya: semakin
mengglobal pasar finansial membuat semakin mudah dan semakin besar volume kegiatan
ekonomi antar negara; sebaliknya semakin liberal sistem perekonomian dunia semakin
mempercepat proses globalisasi finansial karena semakin besar kebutuhan pendanaan bagi
kegiatan-kegiatan produksi dan investasi.
Semakin tinggi derajat globalisasi pasar finansial tercerminkan oleh semakin besarnya
sumber-sumber eksternal dalam pembiayaan kegiatan-kegiatan ekonomi domestik di banyak
negara, tidak hanya di kelompok negara-negara maju tetapi juga di NSB. Juga perkembangan
pasar saham (modal) mencerminkan perubahan tersebut; semakin banyak saham-saham dari
perusahaan-perusahaan asing yang tercatat di dalam pasar bursa di suatu negara. Selain itu,
semakin mengglobalnya pasar finansial ditujukan oleh semakin meningkatnya volume
perdagangan mata uang asing lintas negara; kalau dulu mata uang asing hanya di pakai
sebagai alat pembayaran, sekarang ini menjadi suatu komoditi yang diperdagangkan. Menurut
catatan dari Lairson dan Skidmore (2000; dikutip dari Halwani, 2002), tingkat pertumbuhan dari
perdagangan mata uang asing setiap hari jauh lebih tinggi daripada total ekspor dunia. Pada
tahun 1986 rasionya adalah 25:1, maka pada tahun 1995 rasionya mencapai 81:1, sedangkan
pada tahun 2000 rasionya mencapai 107:1.
Seperti halnya faktor kedua diatas, faktor ketiga ini juga tidak lepas dari pengaruh
teknologi. Adanya teknologi komputer, internet, email dan satelit yang terus berkembang dalam
suatu kecepatan yang semakin tinggi membuat arus finansial antar negara semakin lancar dan
sistem finansial dunia semakin mengglobal. Seperti yang ditegaskan oleh Giddens (2001),
dalam ekonomi elektronik global, para manager keuangan dan ribuan investor individual dapat
memindahkan modalnya miliaran juta dolar dari belahan dunia yang satu ke belahan dunia yang
lain hanya dengan meng’klik’ sebuah mouse pada komputer. Mereka dapat menggoyang
ekonomi suatu negara atau regional seperti yang terjadi di Asia (krisis 1997/98) atau bahkan
pada tingkat global.
Faktor keempat adalah semakin besarnya keinginan orang untuk melakukan perjalanan
antarnegara atau pindah dari satu negara ke negara lain, baik untuk tujuan bisnis maupun
lainnya. Keinginan ini di dorong oleh peningkatan pendapatan rata-rata masyarakat dunia
ditambah dengan peningkatan kepadatan penduduk di suatu wilayah/negara, dan kemajuan
teknologi yang memungkinkan terjadinya mobilisasi orang antarnegara secara lebih cepat,
aman dan lebih murah.
E. Dampak - Dampak Dari Globalisasi
a. Ekspor. Dampak positifnya adalah ekspor atau pangsa pasar dunia dari suatu negara
meningkat, sedangkan efek negatifnya adalah suatu negara kehilangan pangsa pasar
dunianya yang selanjutnya berdampak negatif terhadap volume produksi dalam negeri
dan pertumbuhan PDB meningkatkan jumlah pengangguran dan kemiskinan.
b. Impor. Dampak negatifnya adalah peningkatan impor yang apabila tidak dapat
dibendung karena daya saing yang rendah dari produk-produk serupa buatan dalam
negeri, maka tidak mustahil pada suatu saat pasar domestik sepenuhnya dikuasai oleh
produk-produk dari luar negeri
c. Investasi. Jika daya saing investasi Indonesia rendah, dalam arti iklim berinvestasi
didalam negeri tidak kondusif dibandingkan dengan negara-negara lain, maka bukan
saja arus modal di dalam neraca pembayaran Indonesia negatif. Pada gilirannya,
kurangnya investasi juga berpengaruh terhadap pertumbuhan produksi dalam negeri
dan ekspor.
d. Tenaga kerja. Dampak negatifnya adalah membanjirinya tenaga ahli dari luar Indonesia,
dan kualitas SDM Indonesia tidak segera ditingkatkan.
F. Reaksi Masyarakat
1. Gerakan Pro-Globalisasi
2. Gerakan antiglobalisasi
Antiglobalisasi adalah suatu istilah yang umum digunakan untuk memaparkan sikap
politis orang-orang dan kelompok yang menentang perjanjian dagang global dan lembaga-
lembaga yang mengatur perdagangan antar negara seperti Organisasi Perdagangan Dunia
(WTO).
"Antiglobalisasi" dianggap oleh sebagian orang sebagai gerakan sosial, sementara yang
lainnya menganggapnya sebagai istilah umum yang mencakup sejumlah gerakan sosial yang
berbeda-beda. Apapun juga maksudnya, para peserta dipersatukan dalam perlawanan
terhadap ekonomi dan sistem perdagangan global saat ini, yang menurut mereka mengikis
lingkungan hidup, hak-hak buruh, kedaulatan nasional, dunia ketiga, dan banyak lagi penyebab-
penyebab lainnya. Namun, orang-orang yang dicap "antiglobalisasi" sering menolak istilah itu,
dan mereka lebih suka menyebut diri mereka sebagai Gerakan Keadilan Global, Gerakan dari
Semua Gerakan atau sejumlah istilah lainnya. Globalisasi Perekonomian.
Globalisasi perekonomian merupakan suatu proses kegiatan ekonomi dan
perdagangan, dimana negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang
semakin terintegrasi dengan tanpa rintangan batas teritorial negara. Globalisasi perekonomian
mengharuskan penghapusan seluruh batasan dan hambatan terhadap arus modal, barang dan
jasa.
Ketika globalisasi ekonomi terjadi, batas-batas suatu negara akan menjadi kabur dan
keterkaitan antara ekonomi nasional dengan perekonomian internasional akan semakin erat.
Globalisasi perekonomian di satu pihak akan membuka peluang pasar produk dari dalam negeri
ke pasar internasional secara kompetitif, sebaliknya juga membuka peluang masuknya produk-
produk global ke dalam pasar domestik.
Menurut Tanri Abeng, perwujudan nyata dari globalisasi ekonomi antara lain terjadi dalam
bentuk-bentuk berikut:
Globalisasi tenaga kerja. Perusahaan global akan mampu memanfaatkan tenaga kerja
dari seluruh dunia sesuai kelasnya, seperti penggunaan staf profesional diambil dari tenaga
kerja yang telah memiliki pengalaman internasional atau buruh kasar yang biasa diperoleh
dari negara berkembang. Dengan globalisasi maka human movement akan semakin mudah
dan bebas.
Globalisasi jaringan informasi. Masyarakat suatu negara dengan mudah dan cepat
mendapatkan informasi dari negara-negara di dunia karena kemajuan teknologi, antara lain
melalui: TV,radio,media cetak dll. Dengan jaringan komunikasi yang semakin maju telah
membantu meluasnya pasar ke berbagai belahan dunia untuk barang yang sama. Sebagai
contoh : KFC, celana jeans levi's, atau hamburger melanda pasar dimana-mana. Akibatnya
selera masyarakat dunia -baik yang berdomisili di kota ataupun di desa- menuju pada selera
global.
Globalisasi Perdagangan. Hal ini terwujud dalam bentuk penurunan dan penyeragaman
tarif serta penghapusan berbagai hambatan nontarif. Dengan demikian kegiatan
perdagangan dan persaingan menjadi semakin cepat, ketat, dan fair.
A. Masalah Dasar Demokrasi Ekonomi
Suasana emosional public yang sangat tinggi mengakibatkan nalar kolektif menjadi
kabur, bahkan macet. Akibatnya, banyak pekerjaan kreatif yang sebenarnya sangat diperlukan
untuk menata system setelah reformasi menjadi terhambat, bahkan terbengkalai. Padahal,
tingkat kerusakan system politik ekonomi politik selama dua decade terakhir ini sangat parah,
yang puncaknya terjadi pada Mei 1998. Pada masa ini juga diperlukan unsur kelompok yang
tekun, kretifitas dan jernih untuk mengisi konsep dan pranata baru yang lebih baik.
Apa masalah yang terjadi dalam system dan tatanan ekonomi politik positif yang ada di
tengah masyarakat? Kalau kita hendak jujur melakukan ekonomi politik sekarang, maka system
positif yang berlaku bias di golongkan ke dalam genetika Kapitalisme Primitif yang dipraktekan
Barat pada masa-masa awal. Penghambatan terhaadap mekanisme pasar menghapusakan
banyak sekali dimensi dan tinstitusi-institusi non ekonomi, yang hidup dan berkembang di
dalam masyarakat. Dalam prakteknya, semua aspek dan dimensi di dalm system ekonomi
politik dinafikan dan disubordinasikan ke dalam institusi pasar tanpa memberi tempat yang
cukup dan memadai bagi kekayaan khasanah institusi nonpasar di dalam masyarakat.
Teknokrat dan kekuasaan bergabung begitu kuat berhadapan dengan masyarakat dan
lembaga perwakilan yang lemah. Kebijakan ekonomi digulirkan dengan mesin institusi dan
mekanisme pasar praktis tanpa control yang efektif dalam elemen masyarakat. Perkawinan
antara pemikiran kolektif para teknokrat yang berwajah liberal tersebut dengan kekuasaan yang
otoriter melahirkan system kapitalisme primitive, yang diberi stempel Ekonomi Pancasila
dibungkus luarnya. Pasar bekerja efektif, seperti terlihat dalam pertumbuhan ekonomi, tetapi
perburuan rente, distorsi, dan monopoli sangat marak untuk kepentingan segelintir orang.
Akar pemikiran liberal seperti ini, yang di bingkai kekuasaan otoriter, menimbulkan banyak
dampak negative, yang tidak bisa secara inheren di selesaikan oleh system itu sendiri.
Kapitalisme Primitif ini akhirnya seperti kendaraan tanpa rem, yang bisa berjalan dengan baik
tetapi cepat atau lambat karena tabrakan. Institusi nonpasar sebagai tulang punggung
masyarakat tidak sepenuhnya di bangun dengan baik. Dengan demikian, banyak hal negative
yang kemudian timbul dari system tersebut sehingga menjadi beban atau biaya sosial bagi
masyarakat.
Analisis kritis seperti ini tidak berarti menafikan sama sekali bekerjanya institusi dan
mekanisme pasar, yang merupakan keniscayaan dalam system ekonomi. Institusi pasar tidak
bisa begitu saja diterima secara telanjang tanpa unsur-unsur institusi lain diluar pasar, yang
melengkapinya. Tetapi juga tidak berarti harus kembali melihat system sosialisme yang sempit.
Upaya ini tidak lain untuk melihat kembali akar pemikiran ekonomi politik liberal secara sadar
telah diterapkan dengan wajah yang tidak manusiawi. Bukti-bukti dari system itu terlihat
gamblang dari penindasan pelaku-pelaku ekonomi besar dan pemerintah terhadap kelompok
bawah.
Praktek-praktek ekonomi politik seperti ini tidak lain merupakan jelmaan sekaligus ciri
paling dasar dari kapitalisme primitive, yang sudah ditinggalkan Negara-negara utama penganut
system ini. Karena itu, tidak aneh jika pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata tidak
memberikan kesejahteraan yang proprsional antar golongan. Proses penentasan kebawah,
yang di yakini penganut kapitalisme liberal, tidak terjadi sehingga lapisan bawah hanya hidupu
dari belas kasihan kebijaksanaan karitas dari pemerintah bukan dari proses produktif yang
memberdayakan kelompok lapisan bawah ini.
Bagaimana system ini lahir secara positif di alam Indonesia selama orde baru? Salah satu
yang bertanggung jawab dari lahirnya Kapitalisme Primitif di Indonesia ini tidak lain adalah para
teknokrat Orde Baru. Bila dilihat secara anatomis, pemikiran para teknokrat ini tergolong
kedalam akar kelompok system Orde Liberal, yang tidak berkembang dan tidak menyesuaikan
pemahamannya terhadap realitas intitusi nonpasar sebagai bagian yang penting di dalam
system ekonomi politik.
Sistem ekonomi politik Orde Baru tidak lain merupakan anak langsung dari pemikir-
pemikir tersebut yang berperan sebagai ibu kandungnya. Kekuasan yang otoriter berperan
sebagai ayah kandungnya. Anak-anak lainnya adalah konglomerasi-konglomerasi, yang hidup
dan berkembang dari rente ekonomi, yang mengakibatkan tertutupnya akses public terhadap
berbagai kesempatan usaha, asset produktif, tanah dan dana serta rusaknya lingkungan usaha
yang sehat.
Dengan alasan - alasan substansial dan konseptual-akademis seperti ini, maka diluar hura
hura demonstrasi dengan emosi yang meluap terasa ada kebutuhan sangat mendesak untuk
mengubah paradigma pemikiran ekonomi politik secara kolektif. Tujuan nya tidak lain agar
reformasi yang telah dimulai dijalanan juga memberi pengaruh kepada akademisi dan kampus-
kampus sebagai induk dari penciptaan sistem dan pranata positif yang berkembang dan hidup
di dalam masyarakat. Pemikiran - pemikiran alternatif dapat dimulai dan dikembangkan dari
mana saja kampus, kelas, dsb. Tetapi proses legal penyusunan konsep ekonomi politik baru ini
penting diwujudkan agar usaha menuju sistem ekonomi yang berwajah manusiawi bisa
diwujudkan secara bertahap meninggalkan sistem ekonomi yang berwajah garang seperti
sekarang.
Sumbangan pemikiran kolektif untuk menuju sistem ekonomi yang berwajah manusiawi bisa
datang dari mana saja. Upaya - upaya legal juga dicoba didalam sidang istimewa MPR tahun
1998 lalu dengan instrumen Rancangan ketetapan tentang ekonomi politik baru, yang
merupakan upaya konseptual untuk mentransformasikan sistem kapitalisme primitif menuju
demokrasi sosial, yang merupakan wajah asli seperti dikehendaki para pendiri Republik ini.
Wujud dari Demokrasi Sosial ini cukup berkembang di negara - negara Skandinavia, seperti
Swedia, Denmark, Finlandia,dsb. Sejarah pertumbuhan ekonomi negara - negara ini cukup
moderat tetapi lebih merata, adil dan yang terpenting berwajah manusiawi.
Politik ekonomi baru ini bias menjadi sumbangan bagi pembangunan pemikiran tentang
visi ekonomi Indonesia ke depan setelah model kapitalisme Liberal gagal dilaksanakan. Itupun
kemudian bias diperkaya oleh partai – partai baru yang tumbuh pada masa reformasi ini. Tetapi
politik ekonomi baru itu diharapkan menjadi payung bagi politik industri, politik pertanian, politik
investasi, politik utang luar negri, dsb. Ketetapan ini bisa menjadi strategi induk yang memberi
landasan bagi strategi fungsional selanjutnya di bidang – bidang ekonomi.
Konstruksi dari alur ketetapan ini adalah substansi demokrasi ekonomi, seperti tercantum
dalam UUD 1945. Kemudian, ketetapan tersebut masuk ke dalam 4 unsur pokok dari suatu
politik ekonomi. Substansi pertama dari politik ekonomi ini adalah “politik regulasi ekonomi yang
adil dan penciptaan lingkungan usaha yang sehat“. Karena itu, klausal di dalam rancangan
ketetapan adalah : “Politik ekonomi diarahkan untuk menciptakan dan memberdayakan
pengusaha menengah yang kuat dan besar jumlahnya, serta terbentuknya keterkaitan dan
kemitraan antarpelaku ekonomi yang mencakup, usaha kecil, menengah, usaha besar, dan
BUMN, yang saling memperkuat untuk mewujudkan demokrasi ekonomi dan efisiensi nasional
yang berdaya saing tinggi”.
Untuk mencapai itu maka segala bentuk penyimpangan politik dan distorsi di pasar
dihindari dengan peraturan legal tentang larangan monopoli dan persaingan yang sehat. Salah
satu klausal ketetapan ini memberi landasan yang kuat bagi produk hokum di bawahnya,
seperti UU Anti Monopoli. Klausal tesebut berisi, “Dalam pelaksanaan demokrasi ekonomi
harus dicegah, dihindari, dan ditiadakan terjadinya pemupukan asset produktif dan kekuatan
ekonomi pada seseorang, sekelompok orang, atau perusahaan, yang tidak sesuai dengan
prinsip keadilan dan pemerataan”.
Daftar Pustaka
Soetrisno. Noer. 2003. Ekonomi kerakyatan dalam lancah globalisasi. Jakarta : deputi bidang
pengkajian sumberdaya UMKM kementrian koperasi ukm.
J. Rachbini, Didik. Politik Ekonomi baru menuju demokrasi ekonomi. 2001. Grasindo.