Anda di halaman 1dari 15

ISLAMOPHOBIA SEBAGAI ISU KONTEMPORER

Oleh: Midad Arifin (19780037)


Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Miqdadbinfaqih@gmail.com
A. Pendahuluan

Pada dasarnya agama Islam diturunkan membawa berbagai macam prinsip dasar

hidup, baik dalam ranah sosial, budaya maupun politik, prinsip-prinsip yang di ajarkan oleh

islam diyakini oleh khalayak muslim sebagai suatu perintah yang bercorak positif1, metode

Nabi dalam melakukan dakwahnya adalah salah satu bukti konkrit dalam membenarkan tesis

di atas, bagaimana metode nabi muhammd melakukan dakwah pada masyarakata arab pada

waktu itu adalah sebuah contoh pasti dan real yang bisa kita pelajari, bahkan tidak hanya di

kalangan muslim saja, pun demikian kalangan non-muslim saat itu juga turut mengakui dan

menyebut Rasulullah dengan julukan al-amien (orang yang di percaya), bijak baik dalam

ranah sosial maupun politik, baik dengan lawan maupun kawan,

Dalam tataran ideal kognitif kita membaca sejarah dengan didasari oleh sebuah

kesadaran bahwa kita adalah muslim, sehingga corak bacaan kita dalam aspek sejarah selalu

mengarah pada nada positif yang jauh dari berbagai macam nada vales apapun, pada rentang

sejarah selanjutnya, muncul beberapa isu internal, adanya isu radikalisme, sekularisme,

liberalisme mulai menjadi trending topik yang di bicarakan oleh kaum islam, kontroversipun

menjadi hal yang tak terhindarkan antara mereka yang menyetujuinya maupun mereka yang

menafikannya,

Disisi lain, kaum muslim juga di hadapakan dengan isu ekternal, Imajinasi negatif

tentang Islam sudah mulai di bicarakan, dalam hal ini misalnya, kemunculan fenomena

islamophobia menjadi isu yang cukup serius yang perlu di diagnosa dengan baik, untuk itu

1
M. Quraish Syihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung, Mizan, 1996) 21
upaya membendung virus-virus yang mampu merusak kestabilan organ tubuh islam menjadi

multak di perlukan, dalam pandangan penulis menciptakan vaksin untuk memberantas

kemunculan virus-virus tersebut tidaklah cukup hanya dibahas dalam internal dunia islam

saja,sebab penulis berpandangan bahwa fenomena itu adalah sebuah propaganda yang

diciptakan oleh sebagian pihak, yang memang berangkat dengan tujuan mengahancurkan

citra islam, oleh sebab itu, perlu adanya dialog yang mampu mempertemukan antara citra

islam dalam pandangan dunia Barat dan dunia Timur (baca:islam), jika tidak demikian

maka, fenomena islamophobia akan menjadi isu yang terus menggelembung tanpa kita tahu

kapan ia akan menyusut.

B. Islamophobia Sebagai Fenomena Perubahan Sosial

Abdulsyani mengemukakan bahwa “perubahan social merupakan suatu variasi dari

cara hidup yang telah di terima, perubahan-perubahan tersebut terjadi akibat perubahan

kebudayaan materil, geografis, komposisi penduduk, idiologi serat sebab adanya defusi dan

temuan-temuan baru yang ada di masyarakat2, perubaha sosial pada masyarakat mampu di

ketahui memalui rentang sejarah yang menjadi dasar perbandingan suatu perubahan,

sementara dalam pandangan Wilbert Moore sebegaimana yang di kutip oleh Robert H.

Laucer, perubahan sosial adalah sebuah perubahan penting dalam sosial kultur, sosial kultur

merupakan suatu pola dari perilaku dan interaksi, Moore memaksukan definisi ini sebagai

ekpresi mengenai perubahan struktur seperti nolai dan norma yang ada dalam asuatu

masyarakat, dalam hal ini perubahan sosial adalah hal yang komplek dan perlu di analisa

dengan tajam, sebab ia menembus berbagai macam dimensi kehidupan sosial, pada suatu

masyarakat3

2
Abdulsyani, Sosiologi Skematik, Teori dan Terapan (Jakarta:PT.Bumi Aksara, 2007) hlm. 163
3
Robert H Moore, Perspektives on Social Change, Terj. Alimandan SU (Jakarta: Rineka Cipta, 2003) hlm 14
Dari uraian di atas, dapat kita tarik bahwa terjadinya perubahan sosial dilatar

belakangi oleh berbagai macam factor, namun, salah satu aspek penting yang perlu kita garis

bawahi adalah bahwa perubahan sosial muncul sebagai sebuah akibat dari asumsi dan

pandangan seseorang tentang sesuatu, asumsi-asimsi inilah yang menjadi basis dan pondasi

seseorang dalam membangun interaksi dengan sosial, islamophobia merupakan contoh real

dalam perubahan sosial di Barat, pandangan-pandangan dunia Barat tentang islam menjadi

basis bagaima mereka melakukan social interaction (interaksi social) dengan kaum islam

baik yang hidup di Barat maupun yang hidup di Timur,

Berangkat dengan tesis di atas, pembahasan-pembahasan masalah islamophobia

merupakan pembahasan yang bercorak epistemis, dalam artian islamnphobia hanya bisa

difahami melalui analisa tentang pandangan-pandangan Barat terhadap dunia islam, jika kita

mengkonter femonema ini melalui pandangan insider, pandangan dunia islam tentang islam

itu sendiri tentu tidaklah akan menyelesaiakan suatu permasalahan yang ada, sebab kita

sebagai orang muslim sudah barang tentu jelas akan mengatakan bahwa hal demikian

merupakan suatu propaganda anti islam, yang memang secara sengaja di ciptakan untuk

merusak citra islam itu sendiri,

Bagaimana suatu situasi di ciptakan adalah bagian dari kontruksi sosial, kontruski

sosial merupakan hasil dari adanya wacana-wacana yang di bentuk, dalam fenomena

islamophobia melacak adanya wacana-wacana menjadi suatau hal hal yang mutlak jika kita

ingin memahami lebih jauh fenomena islamophobia, jika demikian maka pembahasan

orientalisme dan oksidentalisme merupakan pintu dasar dalam memahami adanyan

peruabahan sosial tersebut, sebab pembahasan orientalisme yang telah mapan dan

berkembang di Barat menajdi basis pemahaman dunia barat dalam mengahadapi kaum

islam, oleh sebab demikian adanya islamophobia tidak bisa kita lepaskan dengan pembahan

orientalisme.
C. Orientalisme

Orientalisme memiliki makna yang beragam, yang semuanya menutur pandanagan

penulis saling memiliki hubungan satu sama lain, pertama: oerintalisme sebagai suatu

bidang khusus akademik yang mempelajari tentang orient,4 tentunya ini adalah paparan

orientalisme yang paling mudah, bagi siapapun yang melakukan penelitian tentang dunia

Timur maka ia akan di sebut orientalis, sedangkan objek kajiannya akan di sebut orientalis,

tradisi akademis inilah yang menjadi makna dan karakteristik umum dari oerintalisme,

kedua: orintalisme sebagai style of thought (gaya berfikir Barat) yang berdasar pada

pembedaan ontologis dan epistemologis antara “Timur” dan “Barat”, sebagai akibatnya, tak

jarang jika para penulis dari berbagai macam disiplin ilmu menjadikan pembedaan tersebut

sebagai titik pijak dalam merumuskan beragam teori potret sosial, adat kebiasaan Timur,

pikiran Timur kajian politik mengenai dunia Timur dan sebagainya,5

Ketiga: makna orientalisme ketiga lebih bersifat historis, orientalisme dapat kiita lihat

dalam kapasitasnya sebagai “institusi resmi” yang “mengurusi” dunia Timur, dengan

membuat berbagai macam pernyataan tentang Timur melegitimasi beragam sumsi tentang

Timur, dengan cara mengajarkannya, mencarikan solusi,6 dan menguasainya, singkatnya

kita bisa melihat orientalisme sebagai alat dan gaya barat dalam menguasai, mendominsi,

menata ulang, dan menetapkan kekuasaan mereka pada dunia timur.7

4
Edward W Said, Orientalisme, Terj. Achmad Fawaid (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010) hlm 2
5
Ibid … 3
6
Buku yang berjudul Approaches to Islam in Religion Studies merupakan kumpulan essay yang di persiapkan
sarjana-sarjana ilmu social yang berangkat dengan niatan ingin memperbaiki kualitas dalam memahami islam
pada tingkat penelitian, kurikulum, dan buku-buku teks perguruan tinggi, hal demikian tentunya muncul atas
dasar sumsi bahwa islam dirasa kurang mampu menelaah khazanah ilmu keislaman mereka, sehingga mereka
perlu untuk mencarikan sebuah solusi baru bagi dunia Timur (baca:islam) untuk membantu mereka dalam
memahaminya, studi agama islam yang di alamatkan pada para pengajar islam dan mahasiswa studi agama
utamanya, buku tersebut menjadi buku yang paling diminati para sarjana yang mencari pemahaman lebih baik
tentang dimensi “keagamaan” dalam sejarah islam. Lihat: Richard C Martin, Pendekatan Kajian Islam dalam
Studi Agama, Terj. Zakiyuddin Bhaidawy (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002) xxxi
7
Ibid.. hlm 4
Dalam pandangan Foucault, Salah satu masalah besar yang muncul pada awal tahun

1950-an adalah status ilmu pengetahuan dan fungsi-fungsi ideologinya yang dapat di pakai,

ini bukanlah seperti usaha Lynsenko yang mendominasi segaka sesuatu, namun di balik

kejadian-kejadian yang terdampar dalam realitas, ada sebuah pertanyaan-pertanyaan

tersembunyi yang cukup menarik kita ajukan, ini semua dapat kita simpulkann dengan dua

kata “kekuasaan dan pengetahuan”8, orientalisme sebagai suatu bidang khusus akademik

yang mempelajari wacana-wacana tentang timur merupakan pintu utama untuk mengetahuai

bagaiamana pandangan dunia barat terhadap dunia timur, selanjutmya bagaimana

pengetahuan tentang timur di kontruksi adalah langkah kedua yang bisa kita ambil untuk

melihat hasil-hasil yang akan di produksi, sebab hal demikian akan menjadi dasar awal

pandangan dunia barat pada the other (yang lain),

Dalam bebererapa tulisan nya, Edward said pernah mengemukakan fakta bahwa

“saya berasal dari suatu bagian dunia yang kebanyakan orang disini sama sekali tidak

mengenal, dunia arab dan dunia islam tak satu hal pun diketahui orang-orang amerika serikat

tentang mereka, apa yang mereka ketahui cenderung di sederhanakan dan hanya berupa klise

tolol, mereka menggambarkan dunia Arab (baca:islam) sebagai suatu kelompok yang

bengis, keras dan despotiki,9 secara sederhana penggambaran itu adalah sebuah wacaan yang

ingin membedakan antara diri mereka (baca:Barat) dengan the other (baca:dunia islam),

pandanagan demikian yang bercorak oposisi binner merupakan pandangan yang sarat

dengan kritikan, menyederhankan dunia dengan membaginya dengan dua kategori antara

barat dan timur tentu merupakan sebuah kecacatan yang perlu dipertanyakan ulang,

8
Michel Foucault, Powerl/Knowladge. Terj. Yudi Santosa (Yogyakarta: Narasi-Pustaka Promethea, 2007) hlm
143-144
9
Edwaed W Said, Kekuasaan, Politik dan Kebudayaan. Terj. Hartono Hadikusumo (Yogyakarta: Narasi-
Pustaka Promethea, 2007) hlm. 529
Mengupas bagaimana peran luar biasa yang dimainkah amerika serikat dalam

kaitannya dengajn islamophobia sebagai kekuatan imperial terakhir yang masih tersisa, dan

pengaruh peran tersebut terhadap pengetahuan dan produksi pengetahuan adalah sebuah

cara yang perlu di tegaskan dalam melihat kaitan antara orintalisme dan produksi wacana

islamophobia,10 dalam titik fital inilah Edward Said berusahan membongkar berbagai

macam kekeliruan dunia barat dalam melihat dan memandang dunia islam,

D. Citra islam

Citra islam merupakan image dan gambaran-gambaran yang di pahami oleh

seseorang dalam memahami islam, islam Indonesia yang sedari dulu cukup menampakkan

keharmonisan nya, hari-hari ini mulai berhadapan dengan debu-debu negative, seperti

radikalisme, ektremisme dan leberalisme, hingga munculnya berbagai macam fenomena

aliran-aliran keislaman yang telah melengcenga dari islam yang sesungguhnya, sebut saja

mislanya aliran gafatar atau isu-isu seperti Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS) atau aliran

yang memiliki idiologi yang senada, menginginkan terbentuknya idiologi Khilafah

Islamiyah, meskipun menurut para pakar hal demikian sangatlah sulir untuk di lakukukan,

meskipun di lakukan tentunya harus menggunakan cara yang rahmah, sebab keinginan yang

tak tersampaikan tersebuat , berbagai macam cara yang yang mereka upayakan teah mereka

lancarkan hingga merujuk pada aksi-aksi yang bercorak ektrimis, bom rasinah beberapa

waktu lalu juga didalangi oleh pelaku ektrimis-teroris yang menyebar di Indonesia,

Politik global juga turut menymbang berbabagi macam fenomena negative ini, di

akui atau tidak islamophobia memiliki efek negatef dan mencoreng citra dunia islam, lebih

dari hal itu, beberapa wilayah di Eropa seperti Amerika Serikat dan jerman misalnya, isu-

isu islamophobia ini telah mengakibatkan efek negative pada kaum muslim yang ada di

10
Ibid.. hlm. 532
eropa, mereka kerapk kali tidak mendapatkan keadilan, sebagaimana am saefuddin

menegaskan bahwa efek islamophobia yang terjadi du dunia belahan dunia Barat,

“diskriminasi dan ketidak adilan terhadap ummat islam di barat bukan sebuah fenomena

yang baru. Sudah lama di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat menjadib korban

pelanggaran hak asasi manusia,11

Hal demikian tidaklah sama kehidupan non-muslim di negara islam, dengan rahmat

dan kelembutan islam, orang-orang muslim telah di ilhami sebuah ajaran bagaimana mereka

mengahargai kehidupan orang lain bahkan terhap mereka yang non-muslim yang hidup di

wilayah mereka, pemerintah islam telah melakukan berbagai mcam upaya untuk

mengakomodaskan berbagai macam kepentingan warga non-musliam yang hidup di daerah

mereka, yang pada awalanya mereka hidup di daerah islam dengan perjanjian damai, hingga

akhirnya peraturan-peraturan tersebut di masukan menjadi hokum islam yang wajib di

patuhi setiap warga negara, demikanlah ajaran islam sesungguhnya, islam bukanlah agama

yang menakuti namun ia adalahj ahama yang melayani,12

Kita dapat melihat dengan jelas bahwa citra islam mengalami perubahan dan

bergerak dalam lembaran sejarah, hal itu tentu akibat dari asumsi tentang islam, realitas

adalah awal penentuan seseorang dalam menilai sesuatu, yang pada proses selanjutnya akan

menjadi asumsi, asumsi itu harus disimpulkan dari “keadaan sebagaima adanya” bukan

“bagaimana keadaaan yang seharusnya” asumsi yang pertama adalah asumsi yang

mendasari kajian ilmiah, sedangkan asumsi kedua adalah asumsi yang mendasari kajian

moral.13 Islam harusnya hadir tidak hanya menjadi moral judgment (kekuatan yang hadir

untuk memutuskan sebuah moral tertentu) ada kalanya kita juga perlu melakukan autokritik

11
Lihat: Am Saefuddin, Islamisasi Sains dan Kampus (Jakarta:PPA Consultans 2010) 108
12
Majid Khadduri, Benarkah Islam itu Agama Perang? Memperbincangkan Hukum Perang dan Damai dalam
Islam (Yogyakarta: bina media 2005) 139-140
13
Sudirman Tebba, Filsafat dan Etika Komunikasi (Banten: Pustaka irVan 2008) hlm.24-25
(mengkritik diri sendiri) keadaaan sebagaimana yang kita saksikan dewasa ini mengenai

citra islam nampaknya juga menjadi bahan eveluatif untuk melihat diri sendiri, dengan

Bahasa lain kita biasa mengatakan bahwa citra islam hari ini juga akibat factor internal yang

terjadi pada dunia islam itu sendiri.

E. Islamophobia

Islamophobia merupakan gabungan dari kata “islam” dan “phobia”, islam adalah

agama yang mengandung aturan-aturan hidup, sedangkan phobia berasal dari Bahasa inggis

“phobid”adalah berarti takut dan benci, dengan demikian islamophobia adalah paham yang

memebenci dan takut kepada islam,14 sebenrnya tidak ada istilah yang di fahami secara

paten mengenai islamophobia namun para ahli ilmu social mengembangkandifinisi umum,

pembahsan islamophobia di selaraskan dengan pembahasan tentang konsep rasisme dan

diksriminasi rasial, oleh sebab itu organisasi internasional mendasarkan pendekatan-

pendekatannya untuk melakukan identifikasi fenomena islamophobia berdasarkan standart

rasismen yang disepakati secara global oleh Dewan Eropa serta PBB, islamophobia di tandai

dengan point-point sebagai beribkut:15

a. Islam di lihat sebagai blok monolitik, statis, dan tidak tidak responsive terhadap

perubahan

b. Islam di pandangn terpisah dan “lain atau asing” islam di anggap tidak memiliki nilai

budaya yang sama dengan yang lain, dan juga tidak di pengaruhi budaya lain dan tidak

pula terpengaruh olehnya,

14
Mohammad H. Tamdgidi, “Beyond Islamophobia and Islamophiliaq as a Western Epistemic Racism:
Revisiting Runnymade Trust’s Definition in a World-Hisrory Context, Islamophobia Studies Journal, Vol. 1,
No. 1 (2012), 57.
15
Linda Edvardsson. Islamophobia: features of islamophobia and strategies against it. Thesis of department
of International Migration and Ethnic Relation (IMER 91-120). 2008. Malmo University.
c. Islam di pandangan sebagai agama yang mengajarkan kekerasan, agresif, ancaman,

mendukung terorisme, dan terlibat dalam ragam benturan peradaban,

d. Islam dipandang lebih rendah darin pada barat, islam di lihat dan di pandangan sebagai

agama yang biadab, tidak rasional, primitive dan seksis

e. Islam di pandang sebagai idiologi politik

f. Permusuhan terhadap islam di anggap sebagai dan digunakan untuk membenarkan

praktik diskriminatif terhadap muslim dan menjadikan ummat islam sebagai rakyat

yang termarjinalkan

g. Permusuhan terhadap islam di angap sebuah hal yang wajar dan normal-normal saja.

Perlu kiranya kita perhatikan seksama bahwa kemunculan isltilah islamophobia pada

tahun 1997 kala itu merupakan sebuah kelanjutan mengenai diskusi yang membehas

masalah topik tentanf diskriminasi yang di alami oleh ummat islam dan sikap anti kepada

orang muslim, sejak saat itulah istilah ini mulai mendapatkan perhatian public, hingga istilah

ini memuncak pasca terjadinya tragedy 9/11, pemboman madrid pada tahun 2005, serta

pemboman London pada bulan juli tahun 2006, hingga aksi-aksi yang berlanjut hingga

istilah ini menjadi konsumsi public dan menjadi sesuatu yang nampaknya lumrah dan wajar-

wajar saja,

Hingga berbagai macam kejadian yang menolak anti islampun muncul dari berbagai

macam kalangan yang ada, mulai dari pengerangan masjid-masjid islam, berbagai macam

poster yang menyuarakan anti islam dan meminta agar merekan kembali sebab di anggap

sebagai ancaman bagi sebuah kestabilan negara dan sosial, islam di anggap tidak bisa hidup

dengan demokratis, tidak bisa hidup dengan damai, selalu meminta sesuatu yang lebih dalam

berbagai macam hal, media-media prancis turut ikut andil dalam angaka peninggakatan

islamophobia selama beberapa decade lalu, nmedia di prancis semakin menggencarkan isu-

isu rasial yang menuding bahwa orang islam adalah bukan bagian dari mereka, orang islam
adalah penduduk asing yang hanya akan mendatangkan kerusakan pada stabilitas social

mereka.16

F. Wacana The Athor Dalam Islam

Islamophobia adalah wacana outsider (sebuah pandangan barat terhadap orang

timur)17, wacana islamophobia tentunya sangat dikecam keras oleh para ummat islam yang

menganggap bahwa hal demikian tidaklah sesuai dengan pandangan mereka pada umumnya,

namun pada sisi lain kita dapat mengajukan pertanyaan yang mungkin tidak pernah menjadi

problematic bagi kita, apakah kita memiliki wacana yang senada dengan mereka dalam

beberapa hal ? pertanyaan ini mengandaikan sebuah jawaban bagaimana sebenarnya orang

Timur (baca:islam) kala memandang dan mengasumsikan dunia Barat, ada satu topik yang

di angkat dalam al-Qur’an, mengenai keburukan bangsa yahudi dalam aspek sosial,

“diantara ahli kitab ada sebagian orang yang apabila kalian mempercayakan harta yang

banyak kepada mereka, maka mereka akan mengembalikan nya kepada kalian, dan diantara

mereka ada sebagian yang apabila kalian mempercayakan kepada mereka satu dinar, tidak

akan pernah mereka kembalikan kecuali kau menagih-nagih mereka dengan terus menerus,

yang demikian itu lantaran mereka mengetakan: tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-

orang ummi, mereka berkata dusta kepada allah padahal mereka mengetahui,

Allah telah menjelaskan sikap mereka yang sulit di percaya, sebagaimana sikap

orang munafik yang suka berbohon, berhianat, dan ingkar janji, selain itu mereka juga suka

meremehkan suku lain, layaknya sikap yahudi pada bangasa arab, melalui pernyataan dan

penegasan di atas kita sebagai seorang muslim sebenarnya juga punya pandangan yang

bercoran nada negative kepada mereka (the other), namun kita tidak pernah

16
Yasser Laoati, Islamophobia in France: National Report 2016. In European Islamophobia Report 2016.
2017. Turkey: SETA Foundation for Political, Economic, and Social Research. hlm, 195
17
(baca: islam)
mempermasalahkan nya bahkan cenderung meneriman dengan baik, sebab asumsi kita telah

di bangun dengan matang untuk menegaskan bahwa “apapun yang di gambarkan oleh al-

Qur’an tentang mereka merupakan sebuah kebenaran yang tidak perlu di bantah dan di

permaslahkan lagi,

Diakui atau tidak penulis banyak menemukan satu wacana yang bermuara negative

dikalangan kaum muslimin, “orang yahudi dan nasrani tidak akan pernah rela dengan mu

hingga kau mengikutu agama merka” dasar ayat di atas sering menjadi pembenaran sikap

kaum muslim dalam membangun asumsi negative mereka terhadap yang liyan,

Ada hal perlu kita perhatiakan denga baik, jika kita melihat sejarah idiologi dunia

sikap fasisme muncul sebagai reaksi terhadap liberalisme dan positivisme, yang terlihat dari

kecenderungannya yang anti intelektualisme dan cenderung dogamtisme, kemunculannyan

juga merupakann sebuah reaksi dari berbagai kesenjangan, penderitaan yang

berkepanjangan, rasa ketakukan akan adanya ketiadaan harapan masa depan yang lebih baik,

demokrasi misalnya hanya di anggap sebuah ilusi yang akan melahirkan dominasi dan

hegemoni kulturalterhadap minoritas mayoritas18

Bukan berati penulis mengatakan kaum muslim sebagai kelompok yang memiliki

sikap fasisme, namun perlu disadari bahwa ketakutan akan demokrasi justru akan menjadi

pemicu lahirnya paham fasisme, di Barat misalnya, demontrasi yang dilakukan oleh

sebagian orang yang menuntut agar menghentikan islamisasi warga negara barat, hal

demikian akibat dari paham islamophobia, ketakutan mereka mengantarkan mereka untuk

melakukan hal demikian, tentunya kaum muslim tidak menerima hal demikian sebab mereka

memahami bahwa islam adalah agama yang harus di tegakan di muka bumu, hal itu bisa kita

sebut dengan sikap yang kontra produktif, di satu sisi kita melakukan pelarangan da

18
Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001) hlm 333
pencegaman terhadap gerakan kristenisasi namun di sisi lain kita juga melakukan gerakan

islamisasi.

G. Beberapa Upaya

Fenomena Islamophobia telah menjadi semacam bom nuklir yang siap untuk

melahap setiap mereka yang terkena paham islamophobia , menggelembungnya isu

islamophobia menjadi citra negative terhadap agama islam dan para pemeluknya, hal

semacam demikian tentunyan harus di tanggapi secara serius dan responsive oleh

masyarakat timur (baca:islam), oki misalnya telah melakukan beberapa upaya dalam

membendung tingkat fenomena tindak islamophobia yang kian meninggi, salah satu upaya

yang oki lakukan diantaranya: pertama: Meningkatkan kampanye guna menciptakan dan

mengembangkan kesadaran akan bahayanya islamophoboia, serta mempromosikan citra

positif islam, khususnya di daerah-daerah dan negara-negara yang di anggap sebagai pusat

islamophobia.

Kedua: Melakukan kunjungan rutin, keberbagai negara barat dan bertemu dengan

komunitas muslim setempat dengan tujuan untuk mendengaran keprihatinan atau masalah

mereka, ketiga: Menyebarluaskan laporan perihal islamophobia, informasi berkala, dan

journal-journal terkait kepada khalayak umum, keempat: Memaksimalkan peran kantor oki

di luar negeri dengan mempercayakan tugas untuk menangani isu-isu yang terkait dengan

islamophobia serta dengan memberi lebih banyak ruang untuk bekerja secara informal

dengan komunitas islam lokal, kelima: Memberikan lebih banyak dukungan, secara politis

dan finansial, kepada lembaga oki yang relevan dan turut andil berupaya melawan

islamophobia, keenam: Mengambil semua langkah yang tepat termasuk undang-undang

yang di perlukan untuk melawan tindakan-tindakan yang mengarag kepada hasutan untuk

kebencian, diksriminasi dan kekerasan yang di dasari oleh perbedaan agama,


Selain cara di atas, sebagian kaum muslim juga melakuakn upaya dalam menekan

angka islamophobia dengan cara menunjukan bahwa kontruksi tersebut tidaklaj benar dan

tidak sesuai dengan islam yang rahmah, namun dalam pandangan penulis cara demikian

agaknya kurang efektif sebab sejak dari awal kesadaran masyarakat timur sudah terbentuk

jika mereka memolak hal demikian, maka dialog-dialog yang memepertemukan antara

keduanya sangatlah perlu dan penting untuk di upayakan, kesalah pahaman barat dalam

memahami islam kiranya perlu di dudukan dan di selesaikan dengan cepat, dialog terbuka

itulah yang akan mengantarkan mereka yang memiliki paham islamophobia menuju

kesadaran yang lebih baik, selain itupula, dunia timur (baca:islam) juga perlu melakukan

telaah lebih jauh terkait perkembangan orientalisme yang menjadi “institusi” yang

melakukan produksi wacana-wacana tentang dunia timur

H. Kesimpulan

Islamophobia sebagai sebuah fenomena social yang cenderung menebarkan nilai-

nilai negative tentang dunia timur (baca:islam) perlu di tanggapi secara serius, dalam hal ini,

islamophobia tidak bisa di lepaskan dengan adanaya orintalisme, sebab memalui

orientalisme, para pemikir-pemikir barat melakukan konstruksi wacana-wacana tentang

dunia timur, wacana-wacana itulah yang kemudian menjadi dasar dan pondasi barat

menentukan sikap dengan komunitas muslim, Mengupas bagaimana peran luar biasa yang

dimainkah amerika serikat dalam kaitannya dengajn islamophobia sebagai kekuatan

imperial terakhir yang masih tersisa, dan pengaruh peran tersebut terhadap pengetahuan dan

produksi pengetahuan adalah sebuah cara yang perlu di tegaskan dalam melihat kaitan antara

orintalisme dan produksi wacana islamophobia,19 dalam titik fital inilah Edward Said

19
Ibid.. hlm. 532.
berusahan membongkar berbagai macam kekeliruan dunia barat dalam melihat dan

memandang dunia islam.

Salah satu upaya yang perlu kiranya untuk dilakukan adalah melakukan dialog

dengan dunia Barat, khususnya di belahan dunia yang memiliki tingkat dan angka

islamophobia yang relatif tinggi, jika pemebahasan islamophobia hanya dibahas dengan

perspektif islam misalnya, maka hal demikan rasanya kurang memberikan solusi yang baik

sebab sejak dari awal kaum muslim sudah menolak dan meniadakan adanya faham-faham

yang menyudutkan islam, disisi lain ummat islam juga harus melakukan peperang melawan

kekerasan dan terorisme, sebab penyuburan wacana-wacana negatif tentang islam menjadi

faham yang di akui secara nyata jika kontruksi tersebut relevan atau koheren dengan

fenomena-fenomena yang terjadi di dunia islam seperti Islamic State of Iraq and Syiria

(ISIS), fenomena demikianlah yang turut menyuburkan faham-faham anti islam dan

islamophobia yang terjadi di dunia Barat, oleh sebab demikian factor yang mendalangi

islamophobia selain juga factor ekternal adalah factor internal.


Daftar Pustaka

Abdulsyani, Sosiologi Skematik, Teori dan Terapan (Jakarta:PT.Bumi Aksara, 2007).

Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001).

Richard C Martin, Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, Terj. Zakiyuddin
Bhaidawy (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002).

Edward W Said, Kekuasaan, Politik dan Kebudayaan. Terj. Hartono Hadikusumo


(Yogyakarta: Narasi-Pustaka Promethea, 2007).

Edward W Said, Orientalisme, Terj. Achmad Fawaid (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010).

Am Saefuddin, Islamisasi Sains dan Kampus (Jakarta:PPA Consultans 2010).

Linda Edvardsson. Islamophobia: features of islamophobia and strategies against it. Thesis
of department of International Migration and Ethnic Relation (IMER 91-120). 2008.
Malmo University.

M. Quraish Syihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung, Mizan, 1996).

Majid Khadduri, Benarkah Islam itu Agama Perang? Memperbincangkan Hukum Perang
dan Damai dalam Islam (Yogyakarta: bina media 2005).

Michel Foucault, Powerl/Knowladge. Terj. Yudi Santosa (Yogyakarta: Narasi-Pustaka


Promethea, 2007).

Mohammad H. Tamdgidi, “Beyond Islamophobia and Islamophiliaq as a Western Epistemic


Racism: Revisiting Runnymade Trust’s Definition in a World-Hisrory Context,
Islamophobia Studies Journal, Vol. 1, No. 1 (2012).

Robert H Moore, Perspektives on Social Change, Terj. Alimandan SU (Jakarta: Rineka


Cipta, 2003).

Sudirman Tebba, Filsafat dan Etika Komunikasi (Banten: Pustaka irVan 2008).

Yasser Laoati, Islamophobia in France: National Report 2016. In European Islamophobia


Report 2016. 2017. Turkey: SETA Foundation for Political, Economic, and Social
Research.

Anda mungkin juga menyukai