Anda di halaman 1dari 49

6

Alqur’an Bukan Kitab Desain Baju (Bagal'mana Ajaran dan Bentuk Hijab yang Syar’ie RU?)

Panjenengan yang berharap mendapatkan argumen bahwa berhijab tidak wajib bagi muslimah
barangkalj

akan kecewa dengan tulisan ini, sebab saya termasuk muSlim

luga bukanlah tipe muslim yang sontak menganggap mUSlimah

yang mengidealisasikan hijab, lho. Hanya saja, Saya

yang belum berhijab sebagai “kurang imannya, kurang

akhlaknya”. Mboten. Klaim begituan sama sia-sianya dengan

menganggap muslimah berhijab otomatis perfect imannya,

karimah akhlaknya. Ada sosok semisal Bu Risma Surabaya dan Bu Menteri Kho fah Indar Parawansah
yang berhijab

dan baik perilakunya. Tetapi, juga jangan pura-pura khilaf, ada sosok muslimah yang tak berhijab dan
amazing polahn)B

semacam Najwa Shihab.

Alqur’an Bukan Kitab Desain Baju (Bagal'mana Ajaran dan Bentuk Hijab yang Syar’ie RU?)
Panjenengan yang berharap mendapatkan argumen bahwa berhijab tidak wajib bagi muslimah
barangkalj

akan kecewa dengan tulisan ini, sebab saya termasuk muSlim

luga bukanlah tipe muslim yang sontak menganggap mUSlimah

yang mengidealisasikan hijab, lho. Hanya saja, Saya

yang belum berhijab sebagai “kurang imannya, kurang

akhlaknya”. Mboten. Klaim begituan sama sia-sianya dengan

menganggap muslimah berhijab otomatis perfect imannya,

karimah akhlaknya. Ada sosok semisal Bu Risma Surabaya dan Bu Menteri Kho fah Indar Parawansah
yang berhijab

dan baik perilakunya. Tetapi, juga jangan pura-pura khilaf, ada sosok muslimah yang tak berhijab dan
amazing polahn)B

semacam Najwa Shihab.

Saya tidak berpretensi untuk membandingkan kedua sisi itu, mboten.

Dalam Alqur’an, Allah beriirman:

“Hai, Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin,
hendaklah mereka mengulurkan jilbanya. Yang demikian itu membuat mereka lebih mudah dikenal,
agar mereka tidak diganggu. Allah Maha Pengampun Iagi Maha Penyayang.” (QS. aI-Ahzab [33]: 59).
Asbab al-nuzul (sebab penurunan) ayat ini ialah Saudah (istri Nabi) yang bertubuh besar dan mudah
dikenan keluar rumah untuk suatu keperluan. Umar melihatnya dan berkata, “Hai, Saudah, kami
sangat mudah mengenalimu. Untuk apa Engkau keluar‘?”

Saudah langsung pulang, dan melaporkan kejadjan ini kepada Nabi. Nabi menjawab, “Sesungguhnya,
Allah meng~ izinkanmu keluar rumah untuk suatu keperluan.” Lalu, turunlah ayat ini.

Dalam riwayat lain, disebutkan bahwa istri-istri Nabi keluar rumah dan kaum munaflk mengganggu
mereka. Keja~ dian ini diadukan kepada Nabi, dan Nabi menegur mereka (hum munaka). Mereka
menjawab, “Sesungguhnya, kami hanya mengganggu hamba sahaya.” Lalu, turunlah ayat ini.

Alqur’an Bukan Kitab Desain Baju (Bagal'mana Ajaran dan Bentuk Hijab yang Syar’ie RU?)

Panjenengan yang berharap mendapatkan argumen bahwa berhijab tidak wajib bagi muslimah
barangkalj

akan kecewa dengan tulisan ini, sebab saya termasuk muSlim

luga bukanlah tipe muslim yang sontak menganggap mUSlimah

yang mengidealisasikan hijab, lho. Hanya saja, Saya

yang belum berhijab sebagai “kurang imannya, kurang

akhlaknya”. Mboten. Klaim begituan sama sia-sianya dengan

menganggap muslimah berhijab otomatis perfect imannya,

karimah akhlaknya. Ada sosok semisal Bu Risma Surabaya dan Bu Menteri Kho fah Indar Parawansah
yang berhijab
dan baik perilakunya. Tetapi, juga jangan pura-pura khilaf, ada sosok muslimah yang tak berhijab dan
amazing polahn)B

semacam Najwa Shihab.

Saya tidak berpretensi untuk membandingkan kedua sisi itu, mboten.

Dalam Alqur’an, Allah beriirman:

“Hai, Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin,
hendaklah mereka mengulurkan jilbanya. Yang demikian itu membuat mereka lebih mudah dikenal,
agar mereka tidak diganggu. Allah Maha Pengampun Iagi Maha Penyayang.” (QS. aI-Ahzab [33]: 59).

Asbab al-nuzul (sebab penurunan) ayat ini ialah Saudah (istri Nabi) yang bertubuh besar dan mudah
dikenan keluar rumah untuk suatu keperluan. Umar melihatnya dan berkata, “Hai, Saudah, kami
sangat mudah mengenalimu. Untuk apa Engkau keluar‘?”

Saudah langsung pulang, dan melaporkan kejadjan ini kepada Nabi. Nabi menjawab, “Sesungguhnya,
Allah meng~ izinkanmu keluar rumah untuk suatu keperluan.” Lalu, turunlah ayat ini.

Dalam riwayat lain, disebutkan bahwa istri-istri Nabi keluar rumah dan kaum munaflk mengganggu
mereka. Keja~ dian ini diadukan kepada Nabi, dan Nabi menegur mereka (hum munaka). Mereka
menjawab, “Sesungguhnya, kami hanya mengganggu hamba sahaya.” Lalu, turunlah ayat ini.

Secara metode tafsir tematik, bila ayat-ayat Alq‘lran’ dipilah dan dipilih berdasar tema
kandungannya, ayat ter

sebut diperjelas oleh surat anN ur ayat 31:

“Katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali (yang biasa) tampak
darinya. Dan, hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya. . .dan janganlah mereka
memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.... ”

Dalam sebuah hadits riwayat Aisyah r.a. diceritakan, sesungguhnya Asma’ binti Abu Bakar
menghadap Rasulullah dengan mengenakan pakaian yang tipis. Rasulullah Saw. bersabda, “Wahai
Asma’, sesungguhnya wanita itu bila sudah datang masa haid tidaklah pantas baginya terlihat
tubuhnya, kecuali ini dan itu. ” Beliau

menunjukkan wajah dan kedua telapak tangannya. (HR. Abu Dawud).

Di kalangan mufasir, terdapat perbedaan pendapat tentang makna kata “jilbab” dalam surat al-
Ahzab ayat 59 itu. Al-Baqa’i dan Ibnu ‘Asyur, misal, berbeda pendapat. Yang satu mengatakan bahwa
maksudnya adalah pakaian yang longgax‘ dan penutup kepala, yang satu lagi berpendapat sebagai

Alqur’an Bukan Kitab Desain Baju (Bagal'mana Ajaran dan Bentuk Hijab yang Syar’ie RU?)

Panjenengan yang berharap mendapatkan argumen bahwa berhijab tidak wajib bagi muslimah
barangkalj

akan kecewa dengan tulisan ini, sebab saya termasuk muSlim

luga bukanlah tipe muslim yang sontak menganggap mUSlimah

yang mengidealisasikan hijab, lho. Hanya saja, Saya

yang belum berhijab sebagai “kurang imannya, kurang

akhlaknya”. Mboten. Klaim begituan sama sia-sianya dengan

menganggap muslimah berhijab otomatis perfect imannya,

karimah akhlaknya. Ada sosok semisal Bu Risma Surabaya dan Bu Menteri Kho fah Indar Parawansah
yang berhijab

dan baik perilakunya. Tetapi, juga jangan pura-pura khilaf, ada sosok muslimah yang tak berhijab dan
amazing polahn)B
semacam Najwa Shihab.

Saya tidak berpretensi untuk membandingkan kedua sisi itu, mboten.

Dalam Alqur’an, Allah beriirman:

“Hai, Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin,
hendaklah mereka mengulurkan jilbanya. Yang demikian itu membuat mereka lebih mudah dikenal,
agar mereka tidak diganggu. Allah Maha Pengampun Iagi Maha Penyayang.” (QS. aI-Ahzab [33]: 59).

Asbab al-nuzul (sebab penurunan) ayat ini ialah Saudah (istri Nabi) yang bertubuh besar dan mudah
dikenan keluar rumah untuk suatu keperluan. Umar melihatnya dan berkata, “Hai, Saudah, kami
sangat mudah mengenalimu. Untuk apa Engkau keluar‘?”

Saudah langsung pulang, dan melaporkan kejadjan ini kepada Nabi. Nabi menjawab, “Sesungguhnya,
Allah meng~ izinkanmu keluar rumah untuk suatu keperluan.” Lalu, turunlah ayat ini.

Dalam riwayat lain, disebutkan bahwa istri-istri Nabi keluar rumah dan kaum munaflk mengganggu
mereka. Keja~ dian ini diadukan kepada Nabi, dan Nabi menegur mereka (hum munaka). Mereka
menjawab, “Sesungguhnya, kami hanya mengganggu hamba sahaya.” Lalu, turunlah ayat ini.

Secara metode tafsir tematik, bila ayat-ayat Alq‘lran’ dipilah dan dipilih berdasar tema
kandungannya, ayat ter

sebut diperjelas oleh surat anN ur ayat 31:

“Katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali (yang biasa) tampak
darinya. Dan, hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya. . .dan janganlah mereka
memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.... ”

Dalam sebuah hadits riwayat Aisyah r.a. diceritakan, sesungguhnya Asma’ binti Abu Bakar
menghadap Rasulullah dengan mengenakan pakaian yang tipis. Rasulullah Saw. bersabda, “Wahai
Asma’, sesungguhnya wanita itu bila sudah datang masa haid tidaklah pantas baginya terlihat
tubuhnya, kecuali ini dan itu. ” Beliau
menunjukkan wajah dan kedua telapak tangannya. (HR. Abu Dawud).

Di kalangan mufasir, terdapat perbedaan pendapat tentang makna kata “jilbab” dalam surat al-
Ahzab ayat 59 itu. Al-Baqa’i dan Ibnu ‘Asyur, misal, berbeda pendapat. Yang satu mengatakan bahwa
maksudnya adalah pakaian yang longgax‘ dan penutup kepala, yang satu lagi berpendapat f(agai

pakaian yang lebih kecil dari jubah dan penutup kepala yang mulur ke samping kanan dan kiri hingga
menutupi dada.

Di kalangan Imam Mazhab yang Empat (Hanafl, Maliki, Sya£'ie. dan Hambali), batas aurat wanita di
hadapan nonmahram tidaklah berbeda, yakni seluruh tubuh, kecuali wajah dan telapak tangannya.
Mereka hanya berbeda sebagian tentang tangan bagian atas tangan.

Baiklah, mari simak satu-satu biar lebih jelas.

Pertama, Alqur’an sebagai sumber perta-ma hukum Islam hanya membahas tentang “aurat wanita”
melalui dua ayat itu. Tidak ada lagi. Keduanya bersifat mutasyabihat (zhanniyyah, multitafsir), bukan
muhkamat (qath’iyyah, tafsir mutlak). Wajar, di kalangan ahli tafsir dan Faqih, terdapat perbedaan
pendapat tentang “Bagaimana wujud menutup aurat wanita itu?’

Kedua, berdasar pada kronologi turunnya ayat, surat al-Ahzab ayat 59 diturunkan lebih dulu,
kemudian disusul oleh surat an-Nur ayat 31 yang memuat pesan moral supaya “perempuan menjaga
diri dan tidak memamerkan perhiasannya selain yang wajar tampak”. Jadi, dapat disebutkan bahwa
ayat kedua mempakan “tafsir atau penjelas” terhadap ayat pertama.

Hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah itu. yang diamini oleh Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, merupakan
tafsir Nabi Yang menjelaskan tentang aplikasi ayat itu. Hadits tersebul:

Alqur’an Bukan Kitab Desain Baju (Bagal'mana Ajaran dan Bentuk Hijab yang Syar’ie RU?)

Panjenengan yang berharap mendapatkan argumen bahwa berhijab tidak wajib bagi muslimah
barangkalj
akan kecewa dengan tulisan ini, sebab saya termasuk muSlim

luga bukanlah tipe muslim yang sontak menganggap mUSlimah

yang mengidealisasikan hijab, lho. Hanya saja, Saya

yang belum berhijab sebagai “kurang imannya, kurang

akhlaknya”. Mboten. Klaim begituan sama sia-sianya dengan

menganggap muslimah berhijab otomatis perfect imannya,

karimah akhlaknya. Ada sosok semisal Bu Risma Surabaya dan Bu Menteri Kho fah Indar Parawansah
yang berhijab

dan baik perilakunya. Tetapi, juga jangan pura-pura khilaf, ada sosok muslimah yang tak berhijab dan
amazing polahn)B

semacam Najwa Shihab.

Saya tidak berpretensi untuk membandingkan kedua sisi itu, mboten.

Dalam Alqur’an, Allah beriirman:

“Hai, Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin,
hendaklah mereka mengulurkan jilbanya. Yang demikian itu membuat mereka lebih mudah dikenal,
agar mereka tidak diganggu. Allah Maha Pengampun Iagi Maha Penyayang.” (QS. aI-Ahzab [33]: 59).

Asbab al-nuzul (sebab penurunan) ayat ini ialah Saudah (istri Nabi) yang bertubuh besar dan mudah
dikenan keluar rumah untuk suatu keperluan. Umar melihatnya dan berkata, “Hai, Saudah, kami
sangat mudah mengenalimu. Untuk apa Engkau keluar‘?”
Saudah langsung pulang, dan melaporkan kejadjan ini kepada Nabi. Nabi menjawab, “Sesungguhnya,
Allah meng~ izinkanmu keluar rumah untuk suatu keperluan.” Lalu, turunlah ayat ini.

Dalam riwayat lain, disebutkan bahwa istri-istri Nabi keluar rumah dan kaum munaflk mengganggu
mereka. Keja~ dian ini diadukan kepada Nabi, dan Nabi menegur mereka (hum munaka). Mereka
menjawab, “Sesungguhnya, kami hanya mengganggu hamba sahaya.” Lalu, turunlah ayat ini.

Secara metode tafsir tematik, bila ayat-ayat Alq‘lran’ dipilah dan dipilih berdasar tema
kandungannya, ayat ter

sebut diperjelas oleh surat anN ur ayat 31:

“Katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali (yang biasa) tampak
darinya. Dan, hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya. . .dan janganlah mereka
memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.... ”

Dalam sebuah hadits riwayat Aisyah r.a. diceritakan, sesungguhnya Asma’ binti Abu Bakar
menghadap Rasulullah dengan mengenakan pakaian yang tipis. Rasulullah Saw. bersabda, “Wahai
Asma’, sesungguhnya wanita itu bila sudah datang masa haid tidaklah pantas baginya terlihat
tubuhnya, kecuali ini dan itu. ” Beliau

menunjukkan wajah dan kedua telapak tangannya. (HR. Abu Dawud).

Di kalangan mufasir, terdapat perbedaan pendapat tentang makna kata “jilbab” dalam surat al-
Ahzab ayat 59 itu. Al-Baqa’i dan Ibnu ‘Asyur, misal, berbeda pendapat. Yang satu mengatakan bahwa
maksudnya adalah pakaian yang longgax‘ dan penutup kepala, yang satu lagi berpendapat f(agai

pakaian yang lebih kecil dari jubah dan penutup kepala yang mulur ke samping kanan dan kiri hingga
menutupi dada.

Di kalangan Imam Mazhab yang Empat (Hanafl, Maliki, Sya£'ie. dan Hambali), batas aurat wanita di
hadapan nonmahram tidaklah berbeda, yakni seluruh tubuh, kecuali wajah dan telapak tangannya.
Mereka hanya berbeda sebagian tentang tangan bagian atas tangan.

Baiklah, mari simak satu-satu biar lebih jelas.


Pertama, Alqur’an sebagai sumber perta-ma hukum Islam hanya membahas tentang “aurat wanita”
melalui dua ayat itu. Tidak ada lagi. Keduanya bersifat mutasyabihat (zhanniyyah, multitafsir), bukan
muhkamat (qath’iyyah, tafsir mutlak). Wajar, di kalangan ahli tafsir dan Faqih, terdapat perbedaan
pendapat tentang “Bagaimana wujud menutup aurat wanita itu?’

Kedua, berdasar pada kronologi turunnya ayat, surat al-Ahzab ayat 59 diturunkan lebih dulu,
kemudian disusul oleh surat an-Nur ayat 31 yang memuat pesan moral supaya “perempuan menjaga
diri dan tidak memamerkan perhiasannya selain yang wajar tampak”. Jadi, dapat disebutkan bahwa
ayat kedua mempakan “tafsir atau penjelas” terhadap ayat pertama.

Hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah itu. yang diamini oleh Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, merupakan
tafsir Nabi Yang menjelaskan tentang aplikasi ayat itu. Hadits tersebul:

mengandung pesan moral “janganlah berpakaz‘an tipis don memperlihatkan selaz’n wajah dan
telapak tangan”. Ya, hanya itu. Jelas, kan, sampai di sini bahwa Alqllr'an (juga hadits) sama sekali
bukan Kitab Desain I(Iambi. Penting diketahui terlebih dahulu, njeh, bahwa Alqur’an dan hadits yang
diturunkan di Arab memih‘ki “sifat 10mg» dalam hal asbab al-nuzul, diksi, dan metaforanya, yang
secara

konten merupakan “respons Allah dan RasuI-Nya terhadap

sebuah peristiwa, atau sebagai penetawylcum baru, atau sebagai bantahan terhadap hukum yang
sudah Eda, atau sebagai penetapan terhadap hukum yang sudah berlakg”. Semua proses itu
berlangsung dalam “lokalitas Arab” di masa itu. Jadi, saya kira, tidak salah bila sebagian cendekiawan
muslim kontemporer mengatakan bahwa Alqur’an 01183 hadits) merupakan “produk budaya Arab”
masa itu.

Upps, buru-buru saya harus tegaskan di sini agar panjenengan tidak lantas nge-judge saya menga
takan Alqur'an bukan kalamullah alias buatan orang Arab. Maksud dari statemen “sifat lokalitas
Arab”A1qur’an itu hanyalah tentang “labelnya”, bukan kandungannya. Kandungan Alqur’an dan
hadits jelas bersifat universal, berlaku sepanjang masa, Shalih likullz' zaman wa makan hatta yauml'
al-qz'yamalz. Saya 1‘an

terhadap hal ini. Sampun Iago? Sifat universal Alqur’an im‘ dituniukkan oleh kah

Hungannya yang memuat ayat-ayat substantif, murdsyabihab, \nultitafsir, Behingga selalu bisa dikail
secara produktif makna
6

Alqur’an Bukan Kitab Desain Baju (Bagal'mana Ajaran dan Bentuk Hijab yang Syar’ie RU?)

Panjenengan yang berharap mendapatkan argumen bahwa berhijab tidak wajib bagi muslimah
barangkalj

akan kecewa dengan tulisan ini, sebab saya termasuk muSlim

luga bukanlah tipe muslim yang sontak menganggap mUSlimah

yang mengidealisasikan hijab, lho. Hanya saja, Saya

yang belum berhijab sebagai “kurang imannya, kurang

akhlaknya”. Mboten. Klaim begituan sama sia-sianya dengan

menganggap muslimah berhijab otomatis perfect imannya,

karimah akhlaknya. Ada sosok semisal Bu Risma Surabaya dan Bu Menteri Kho fah Indar Parawansah
yang berhijab

dan baik perilakunya. Tetapi, juga jangan pura-pura khilaf, ada sosok muslimah yang tak berhijab dan
amazing polahn)B

semacam Najwa Shihab.

Saya tidak berpretensi untuk membandingkan kedua sisi itu, mboten.

Dalam Alqur’an, Allah beriirman:


“Hai, Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin,
hendaklah mereka mengulurkan jilbanya. Yang demikian itu membuat mereka lebih mudah dikenal,
agar mereka tidak diganggu. Allah Maha Pengampun Iagi Maha Penyayang.” (QS. aI-Ahzab [33]: 59).

Asbab al-nuzul (sebab penurunan) ayat ini ialah Saudah (istri Nabi) yang bertubuh besar dan mudah
dikenan keluar rumah untuk suatu keperluan. Umar melihatnya dan berkata, “Hai, Saudah, kami
sangat mudah mengenalimu. Untuk apa Engkau keluar‘?”

Saudah langsung pulang, dan melaporkan kejadjan ini kepada Nabi. Nabi menjawab, “Sesungguhnya,
Allah meng~ izinkanmu keluar rumah untuk suatu keperluan.” Lalu, turunlah ayat ini.

Dalam riwayat lain, disebutkan bahwa istri-istri Nabi keluar rumah dan kaum munaflk mengganggu
mereka. Keja~ dian ini diadukan kepada Nabi, dan Nabi menegur mereka (hum munaka). Mereka
menjawab, “Sesungguhnya, kami hanya mengganggu hamba sahaya.” Lalu, turunlah ayat ini.

Secara metode tafsir tematik, bila ayat-ayat Alq‘lran’ dipilah dan dipilih berdasar tema
kandungannya, ayat ter

sebut diperjelas oleh surat anN ur ayat 31:

“Katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali (yang biasa) tampak
darinya. Dan, hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya. . .dan janganlah mereka
memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.... ”

Dalam sebuah hadits riwayat Aisyah r.a. diceritakan, sesungguhnya Asma’ binti Abu Bakar
menghadap Rasulullah dengan mengenakan pakaian yang tipis. Rasulullah Saw. bersabda, “Wahai
Asma’, sesungguhnya wanita itu bila sudah datang masa haid tidaklah pantas baginya terlihat
tubuhnya, kecuali ini dan itu. ” Beliau

menunjukkan wajah dan kedua telapak tangannya. (HR. Abu Dawud).

Di kalangan mufasir, terdapat perbedaan pendapat tentang makna kata “jilbab” dalam surat al-
Ahzab ayat 59 itu. Al-Baqa’i dan Ibnu ‘Asyur, misal, berbeda pendapat. Yang satu mengatakan bahwa
maksudnya adalah pakaian yang longgax‘ dan penutup kepala, yang satu lagi berpendapat f(agai
pakaian yang lebih kecil dari jubah dan penutup kepala yang mulur ke samping kanan dan kiri hingga
menutupi dada.

Di kalangan Imam Mazhab yang Empat (Hanafl, Maliki, Sya£'ie. dan Hambali), batas aurat wanita di
hadapan nonmahram tidaklah berbeda, yakni seluruh tubuh, kecuali wajah dan telapak tangannya.
Mereka hanya berbeda sebagian tentang tangan bagian atas tangan.

Baiklah, mari simak satu-satu biar lebih jelas.

Pertama, Alqur’an sebagai sumber perta-ma hukum Islam hanya membahas tentang “aurat wanita”
melalui dua ayat itu. Tidak ada lagi. Keduanya bersifat mutasyabihat (zhanniyyah, multitafsir), bukan
muhkamat (qath’iyyah, tafsir mutlak). Wajar, di kalangan ahli tafsir dan Faqih, terdapat perbedaan
pendapat tentang “Bagaimana wujud menutup aurat wanita itu?’

Kedua, berdasar pada kronologi turunnya ayat, surat al-Ahzab ayat 59 diturunkan lebih dulu,
kemudian disusul oleh surat an-Nur ayat 31 yang memuat pesan moral supaya “perempuan menjaga
diri dan tidak memamerkan perhiasannya selain yang wajar tampak”. Jadi, dapat disebutkan bahwa
ayat kedua mempakan “tafsir atau penjelas” terhadap ayat pertama.

Hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah itu. yang diamini oleh Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, merupakan
tafsir Nabi Yang menjelaskan tentang aplikasi ayat itu. Hadits tersebul:

mengandung pesan moral “janganlah berpakaz‘an tipis don memperlihatkan selaz’n wajah dan
telapak tangan”. Ya, hanya itu. Jelas, kan, sampai di sini bahwa Alqllr'an (juga hadits) sama sekali
bukan Kitab Desain I(Iambi. Penting diketahui terlebih dahulu, njeh, bahwa Alqur’an dan hadits yang
diturunkan di Arab memih‘ki “sifat 10mg» dalam hal asbab al-nuzul, diksi, dan metaforanya, yang
secara

konten merupakan “respons Allah dan RasuI-Nya terhadap

sebuah peristiwa, atau sebagai penetawylcum baru, atau sebagai bantahan terhadap hukum yang
sudah Eda, atau sebagai penetapan terhadap hukum yang sudah berlakg”. Semua proses itu
berlangsung dalam “lokalitas Arab” di masa itu. Jadi, saya kira, tidak salah bila sebagian cendekiawan
muslim kontemporer mengatakan bahwa Alqur’an 01183 hadits) merupakan “produk budaya Arab”
masa itu.

Upps, buru-buru saya harus tegaskan di sini agar panjenengan tidak lantas nge-judge saya menga
takan Alqur'an bukan kalamullah alias buatan orang Arab. Maksud dari statemen “sifat lokalitas
Arab”A1qur’an itu hanyalah tentang “labelnya”, bukan kandungannya. Kandungan Alqur’an dan
hadits jelas bersifat universal, berlaku sepanjang masa, Shalih likullz' zaman wa makan hatta yauml'
al-qz'yamalz. Saya 1‘an

terhadap hal ini. Sampun Iago? Sifat universal Alqur’an im‘ dituniukkan oleh kah

Hungannya yang memuat ayat-ayat substantif, murdsyabihab, \nultitafsir, Behingga selalu bisa dikail
secara Fwdu‘ttifmakna

dan aplikasikanya di wilayah mana pun dan masa kapan pun. Di luar ayat-ayat yang sifatnya
muhkamat (mutlak) yang memang hanya berkaitan dengan masalah akidah dan ibadah yang mabni,
ayat-ayat mutasyabihat itu (ya termasuk ayat-ayat (entang jilbab atau hijab) selalu terbuka untuk
ditafsirkan, sehingga otomatis ia akan selalu aktual dan relevan dengan ragam kehidupan umat
Islam.

Bayangkan bila ayat-ayat mutasyabihat beginian tidak ada. niscaya Alqur’an akan out of date,
berlaku cucok hanya di Arab, tidak lagi shalih likulli zaman wa makan. Inilah salah satu kemukjizatan
Alqur’an yang diamini oleh seluruh ulama. Di sini, kita layak sekali bersyukur, bukan mungkur.

Lanjut.

Dalam memperlakukan ayat-ayat mutasyabihat, para ahli Ushul Fiqh sepakat bahwa mufasir atau
mujtahid harus selalu berpegang pada “maqashid al-syar’ie” (tujuan dasar sebuah hukum), lalu
dileburkan dengan realitas yang kita hadapi sehingga ‘z‘llat al-hukmi-nya (sebab pembentukan
hukum) menjadi terkait. Maksud saya, kita harus mencari

terlebih dahulu “keyword” (kata kunci) dalam sebuah ayat, mendapatkan “ethico-legaF-nya (pesan
moral), kemudian menarik kesimpulan hukum hasil “perkawinan” kandungan dalil dengan realitas
umat secara produktif.

Prinsip tafsir berbasis metodologi Ushul Fiqh ini jelas menuntut kita untuk: (1) Mampu membaca
“pesan moral” 38th ayat, (2) Mampu membumikan pesan moral itu

6
Alqur’an Bukan Kitab Desain Baju (Bagal'mana Ajaran dan Bentuk Hijab yang Syar’ie RU?)

Panjenengan yang berharap mendapatkan argumen bahwa berhijab tidak wajib bagi muslimah
barangkalj

akan kecewa dengan tulisan ini, sebab saya termasuk muSlim

luga bukanlah tipe muslim yang sontak menganggap mUSlimah

yang mengidealisasikan hijab, lho. Hanya saja, Saya

yang belum berhijab sebagai “kurang imannya, kurang

akhlaknya”. Mboten. Klaim begituan sama sia-sianya dengan

menganggap muslimah berhijab otomatis perfect imannya,

karimah akhlaknya. Ada sosok semisal Bu Risma Surabaya dan Bu Menteri Kho fah Indar Parawansah
yang berhijab

dan baik perilakunya. Tetapi, juga jangan pura-pura khilaf, ada sosok muslimah yang tak berhijab dan
amazing polahn)B

semacam Najwa Shihab.

Saya tidak berpretensi untuk membandingkan kedua sisi itu, mboten.

Dalam Alqur’an, Allah beriirman:

“Hai, Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin,
hendaklah mereka mengulurkan jilbanya. Yang demikian itu membuat mereka lebih mudah dikenal,
agar mereka tidak diganggu. Allah Maha Pengampun Iagi Maha Penyayang.” (QS. aI-Ahzab [33]: 59).
Asbab al-nuzul (sebab penurunan) ayat ini ialah Saudah (istri Nabi) yang bertubuh besar dan mudah
dikenan keluar rumah untuk suatu keperluan. Umar melihatnya dan berkata, “Hai, Saudah, kami
sangat mudah mengenalimu. Untuk apa Engkau keluar‘?”

Saudah langsung pulang, dan melaporkan kejadjan ini kepada Nabi. Nabi menjawab, “Sesungguhnya,
Allah meng~ izinkanmu keluar rumah untuk suatu keperluan.” Lalu, turunlah ayat ini.

Dalam riwayat lain, disebutkan bahwa istri-istri Nabi keluar rumah dan kaum munaflk mengganggu
mereka. Keja~ dian ini diadukan kepada Nabi, dan Nabi menegur mereka (hum munaka). Mereka
menjawab, “Sesungguhnya, kami hanya mengganggu hamba sahaya.” Lalu, turunlah ayat ini.

Secara metode tafsir tematik, bila ayat-ayat Alq‘lran’ dipilah dan dipilih berdasar tema
kandungannya, ayat ter

sebut diperjelas oleh surat anN ur ayat 31:

“Katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali (yang biasa) tampak
darinya. Dan, hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya. . .dan janganlah mereka
memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.... ”

Dalam sebuah hadits riwayat Aisyah r.a. diceritakan, sesungguhnya Asma’ binti Abu Bakar
menghadap Rasulullah dengan mengenakan pakaian yang tipis. Rasulullah Saw. bersabda, “Wahai
Asma’, sesungguhnya wanita itu bila sudah datang masa haid tidaklah pantas baginya terlihat
tubuhnya, kecuali ini dan itu. ” Beliau

menunjukkan wajah dan kedua telapak tangannya. (HR. Abu Dawud).

Di kalangan mufasir, terdapat perbedaan pendapat tentang makna kata “jilbab” dalam surat al-
Ahzab ayat 59 itu. Al-Baqa’i dan Ibnu ‘Asyur, misal, berbeda pendapat. Yang satu mengatakan bahwa
maksudnya adalah pakaian yang longgax‘ dan penutup kepala, yang satu lagi berpendapat f(agai

pakaian yang lebih kecil dari jubah dan penutup kepala yang mulur ke samping kanan dan kiri hingga
menutupi dada.
Di kalangan Imam Mazhab yang Empat (Hanafl, Maliki, Sya£'ie. dan Hambali), batas aurat wanita di
hadapan nonmahram tidaklah berbeda, yakni seluruh tubuh, kecuali wajah dan telapak tangannya.
Mereka hanya berbeda sebagian tentang tangan bagian atas tangan.

Baiklah, mari simak satu-satu biar lebih jelas.

Pertama, Alqur’an sebagai sumber perta-ma hukum Islam hanya membahas tentang “aurat wanita”
melalui dua ayat itu. Tidak ada lagi. Keduanya bersifat mutasyabihat (zhanniyyah, multitafsir), bukan
muhkamat (qath’iyyah, tafsir mutlak). Wajar, di kalangan ahli tafsir dan Faqih, terdapat perbedaan
pendapat tentang “Bagaimana wujud menutup aurat wanita itu?’

Kedua, berdasar pada kronologi turunnya ayat, surat al-Ahzab ayat 59 diturunkan lebih dulu,
kemudian disusul oleh surat an-Nur ayat 31 yang memuat pesan moral supaya “perempuan menjaga
diri dan tidak memamerkan perhiasannya selain yang wajar tampak”. Jadi, dapat disebutkan bahwa
ayat kedua mempakan “tafsir atau penjelas” terhadap ayat pertama.

Hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah itu. yang diamini oleh Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, merupakan
tafsir Nabi Yang menjelaskan tentang aplikasi ayat itu. Hadits tersebul:

mengandung pesan moral “janganlah berpakaz‘an tipis don memperlihatkan selaz’n wajah dan
telapak tangan”. Ya, hanya itu. Jelas, kan, sampai di sini bahwa Alqllr'an (juga hadits) sama sekali
bukan Kitab Desain I(Iambi. Penting diketahui terlebih dahulu, njeh, bahwa Alqur’an dan hadits yang
diturunkan di Arab memih‘ki “sifat 10mg» dalam hal asbab al-nuzul, diksi, dan metaforanya, yang
secara

konten merupakan “respons Allah dan RasuI-Nya terhadap

sebuah peristiwa, atau sebagai penetawylcum baru, atau sebagai bantahan terhadap hukum yang
sudah Eda, atau sebagai penetapan terhadap hukum yang sudah berlakg”. Semua proses itu
berlangsung dalam “lokalitas Arab” di masa itu. Jadi, saya kira, tidak salah bila sebagian cendekiawan
muslim kontemporer mengatakan bahwa Alqur’an 01183 hadits) merupakan “produk budaya Arab”
masa itu.

Upps, buru-buru saya harus tegaskan di sini agar panjenengan tidak lantas nge-judge saya menga
takan Alqur'an bukan kalamullah alias buatan orang Arab. Maksud dari statemen “sifat lokalitas
Arab”A1qur’an itu hanyalah tentang “labelnya”, bukan kandungannya. Kandungan Alqur’an dan
hadits jelas bersifat universal, berlaku sepanjang masa, Shalih likullz' zaman wa makan hatta yauml'
al-qz'yamalz. Saya 1‘an
terhadap hal ini. Sampun Iago? Sifat universal Alqur’an im‘ dituniukkan oleh kah

Hungannya yang memuat ayat-ayat substantif, murdsyabihab, \nultitafsir, Behingga selalu bisa dikail
secara Fwdu‘ttifmakna

dan aplikasikanya di wilayah mana pun dan masa kapan pun. Di luar ayat-ayat yang sifatnya
muhkamat (mutlak) yang memang hanya berkaitan dengan masalah akidah dan ibadah yang mabni,
ayat-ayat mutasyabihat itu (ya termasuk ayat-ayat (entang jilbab atau hijab) selalu terbuka untuk
ditafsirkan, sehingga otomatis ia akan selalu aktual dan relevan dengan ragam kehidupan umat
Islam.

Bayangkan bila ayat-ayat mutasyabihat beginian tidak ada. niscaya Alqur’an akan out of date,
berlaku cucok hanya di Arab, tidak lagi shalih likulli zaman wa makan. Inilah salah satu kemukjizatan
Alqur’an yang diamini oleh seluruh ulama. Di sini, kita layak sekali bersyukur, bukan mungkur.

Lanjut.

Dalam memperlakukan ayat-ayat mutasyabihat, para ahli Ushul Fiqh sepakat bahwa mufasir atau
mujtahid harus selalu berpegang pada “maqashid al-syar’ie” (tujuan dasar sebuah hukum), lalu
dileburkan dengan realitas yang kita hadapi sehingga ‘z‘llat al-hukmi-nya (sebab pembentukan
hukum) menjadi terkait. Maksud saya, kita harus mencari

terlebih dahulu “keyword” (kata kunci) dalam sebuah ayat, mendapatkan “ethico-legaF-nya (pesan
moral), kemudian menarik kesimpulan hukum hasil “perkawinan” kandungan dalil dengan realitas
umat secara produktif.

Prinsip tafsir berbasis metodologi Ushul Fiqh ini jelas menuntut kita untuk: (1) Mampu membaca
“pesan moral” 38th ayat, (2) Mampu membumikan pesan moral itu

dengan realitas zaman, dan (3) Mampu menarik kesimpulan

hukum yang berlandas pada pesan moral ayat dan sekaligm akomodatif terhadap realitas zaman.

Lalu, apa pesan moral dari ayat dan hadits tentangjilbab atau hijab itu? Simpel, lho: “menjaga dirinya
dan tidak memamerkan perhiasannya selain yang wajar tampak”’ “janganlah berpakaian tipis dan
memPe'Hhatkan selain wajah dun telapak tangan”, AGAR “membuat mereka lebih mudah dikenal,
karena itu mereka tidal: diganggu”.

Inilah pesan moral, “maqashid al-syar’z'e" (tujuan dasar sebuah hukum), dari dalil-dalil itu. Sangat
global, bukan? Tidak detail, bukan? Inilah kemukjizatan dalil-dalil itu sehingga ia selalu shalih likulli
zaman wa makan. Selebihnya, secara teknis-aplikatif, umat Islam diberi kebebasan dalam
menafsirkan dan mewujudkan bentuknya. Umat Islam diberi keleluasaan untuk membuat sendiri
tutorial hijab Islami secara kreatif. Nyata, to, di sini bahwa aslinya kita djajarkan untuk keren, bukan
kuthul.

Bahwa pandangan faqih-faqih salaf yang mangatakan “seperti baju lebar" atau “lebih kecil daripada
gamis”, pastikan panjenengan sukses melakukan pembedaan dengan baik terlebih dahulu antara
“dalil” dan “tafsir”. Dali] itu dari Allah dan Rasul-Nya, tafsir itu dari umat Islam. Keduanya memiliki
level autentisitas yang berbeda. Dalil hams kita amini, tafsir tidak wajib. Dalil mutlak kebenarannya.
tafSir tidakDalil itu 6

Alqur’an Bukan Kitab Desain Baju (Bagal'mana Ajaran dan Bentuk Hijab yang Syar’ie RU?)

Panjenengan yang berharap mendapatkan argumen bahwa berhijab tidak wajib bagi muslimah
barangkalj

akan kecewa dengan tulisan ini, sebab saya termasuk muSlim

luga bukanlah tipe muslim yang sontak menganggap mUSlimah

yang mengidealisasikan hijab, lho. Hanya saja, Saya

yang belum berhijab sebagai “kurang imannya, kurang

akhlaknya”. Mboten. Klaim begituan sama sia-sianya dengan

menganggap muslimah berhijab otomatis perfect imannya,

karimah akhlaknya. Ada sosok semisal Bu Risma Surabaya dan Bu Menteri Kho fah Indar Parawansah
yang berhijab
dan baik perilakunya. Tetapi, juga jangan pura-pura khilaf, ada sosok muslimah yang tak berhijab dan
amazing polahn)B

semacam Najwa Shihab.

Saya tidak berpretensi untuk membandingkan kedua sisi itu, mboten.

Dalam Alqur’an, Allah beriirman:

“Hai, Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin,
hendaklah mereka mengulurkan jilbanya. Yang demikian itu membuat mereka lebih mudah dikenal,
agar mereka tidak diganggu. Allah Maha Pengampun Iagi Maha Penyayang.” (QS. aI-Ahzab [33]: 59).

Asbab al-nuzul (sebab penurunan) ayat ini ialah Saudah (istri Nabi) yang bertubuh besar dan mudah
dikenan keluar rumah untuk suatu keperluan. Umar melihatnya dan berkata, “Hai, Saudah, kami
sangat mudah mengenalimu. Untuk apa Engkau keluar‘?”

Saudah langsung pulang, dan melaporkan kejadjan ini kepada Nabi. Nabi menjawab, “Sesungguhnya,
Allah meng~ izinkanmu keluar rumah untuk suatu keperluan.” Lalu, turunlah ayat ini.

Dalam riwayat lain, disebutkan bahwa istri-istri Nabi keluar rumah dan kaum munaflk mengganggu
mereka. Keja~ dian ini diadukan kepada Nabi, dan Nabi menegur mereka (hum munaka). Mereka
menjawab, “Sesungguhnya, kami hanya mengganggu hamba sahaya.” Lalu, turunlah ayat ini.

Secara metode tafsir tematik, bila ayat-ayat Alq‘lran’ dipilah dan dipilih berdasar tema
kandungannya, ayat ter

sebut diperjelas oleh surat anN ur ayat 31:

“Katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali (yang biasa) tampak
darinya. Dan, hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya. . .dan janganlah mereka
memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.... ”
Dalam sebuah hadits riwayat Aisyah r.a. diceritakan, sesungguhnya Asma’ binti Abu Bakar
menghadap Rasulullah dengan mengenakan pakaian yang tipis. Rasulullah Saw. bersabda, “Wahai
Asma’, sesungguhnya wanita itu bila sudah datang masa haid tidaklah pantas baginya terlihat
tubuhnya, kecuali ini dan itu. ” Beliau

menunjukkan wajah dan kedua telapak tangannya. (HR. Abu Dawud).

Di kalangan mufasir, terdapat perbedaan pendapat tentang makna kata “jilbab” dalam surat al-
Ahzab ayat 59 itu. Al-Baqa’i dan Ibnu ‘Asyur, misal, berbeda pendapat. Yang satu mengatakan bahwa
maksudnya adalah pakaian yang longgax‘ dan penutup kepala, yang satu lagi berpendapat f(agai

pakaian yang lebih kecil dari jubah dan penutup kepala yang mulur ke samping kanan dan kiri hingga
menutupi dada.

Di kalangan Imam Mazhab yang Empat (Hanafl, Maliki, Sya£'ie. dan Hambali), batas aurat wanita di
hadapan nonmahram tidaklah berbeda, yakni seluruh tubuh, kecuali wajah dan telapak tangannya.
Mereka hanya berbeda sebagian tentang tangan bagian atas tangan.

Baiklah, mari simak satu-satu biar lebih jelas.

Pertama, Alqur’an sebagai sumber perta-ma hukum Islam hanya membahas tentang “aurat wanita”
melalui dua ayat itu. Tidak ada lagi. Keduanya bersifat mutasyabihat (zhanniyyah, multitafsir), bukan
muhkamat (qath’iyyah, tafsir mutlak). Wajar, di kalangan ahli tafsir dan Faqih, terdapat perbedaan
pendapat tentang “Bagaimana wujud menutup aurat wanita itu?’

Kedua, berdasar pada kronologi turunnya ayat, surat al-Ahzab ayat 59 diturunkan lebih dulu,
kemudian disusul oleh surat an-Nur ayat 31 yang memuat pesan moral supaya “perempuan menjaga
diri dan tidak memamerkan perhiasannya selain yang wajar tampak”. Jadi, dapat disebutkan bahwa
ayat kedua mempakan “tafsir atau penjelas” terhadap ayat pertama.

Hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah itu. yang diamini oleh Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, merupakan
tafsir Nabi Yang menjelaskan tentang aplikasi ayat itu. Hadits tersebul:

mengandung pesan moral “janganlah berpakaz‘an tipis don memperlihatkan selaz’n wajah dan
telapak tangan”. Ya, hanya itu. Jelas, kan, sampai di sini bahwa Alqllr'an (juga hadits) sama sekali
bukan Kitab Desain I(Iambi. Penting diketahui terlebih dahulu, njeh, bahwa Alqur’an dan hadits yang
diturunkan di Arab memih‘ki “sifat 10mg» dalam hal asbab al-nuzul, diksi, dan metaforanya, yang
secara
konten merupakan “respons Allah dan RasuI-Nya terhadap

sebuah peristiwa, atau sebagai penetawylcum baru, atau sebagai bantahan terhadap hukum yang
sudah Eda, atau sebagai penetapan terhadap hukum yang sudah berlakg”. Semua proses itu
berlangsung dalam “lokalitas Arab” di masa itu. Jadi, saya kira, tidak salah bila sebagian cendekiawan
muslim kontemporer mengatakan bahwa Alqur’an 01183 hadits) merupakan “produk budaya Arab”
masa itu.

Upps, buru-buru saya harus tegaskan di sini agar panjenengan tidak lantas nge-judge saya menga
takan Alqur'an bukan kalamullah alias buatan orang Arab. Maksud dari statemen “sifat lokalitas
Arab”A1qur’an itu hanyalah tentang “labelnya”, bukan kandungannya. Kandungan Alqur’an dan
hadits jelas bersifat universal, berlaku sepanjang masa, Shalih likullz' zaman wa makan hatta yauml'
al-qz'yamalz. Saya 1‘an

terhadap hal ini. Sampun Iago? Sifat universal Alqur’an im‘ dituniukkan oleh kah

Hungannya yang memuat ayat-ayat substantif, murdsyabihab, \nultitafsir, Behingga selalu bisa dikail
secara Fwdu‘ttifmakna

dan aplikasikanya di wilayah mana pun dan masa kapan pun. Di luar ayat-ayat yang sifatnya
muhkamat (mutlak) yang memang hanya berkaitan dengan masalah akidah dan ibadah yang mabni,
ayat-ayat mutasyabihat itu (ya termasuk ayat-ayat (entang jilbab atau hijab) selalu terbuka untuk
ditafsirkan, sehingga otomatis ia akan selalu aktual dan relevan dengan ragam kehidupan umat
Islam.

Bayangkan bila ayat-ayat mutasyabihat beginian tidak ada. niscaya Alqur’an akan out of date,
berlaku cucok hanya di Arab, tidak lagi shalih likulli zaman wa makan. Inilah salah satu kemukjizatan
Alqur’an yang diamini oleh seluruh ulama. Di sini, kita layak sekali bersyukur, bukan mungkur.

Lanjut.

Dalam memperlakukan ayat-ayat mutasyabihat, para ahli Ushul Fiqh sepakat bahwa mufasir atau
mujtahid harus selalu berpegang pada “maqashid al-syar’ie” (tujuan dasar sebuah hukum), lalu
dileburkan dengan realitas yang kita hadapi sehingga ‘z‘llat al-hukmi-nya (sebab pembentukan
hukum) menjadi terkait. Maksud saya, kita harus mencari
terlebih dahulu “keyword” (kata kunci) dalam sebuah ayat, mendapatkan “ethico-legaF-nya (pesan
moral), kemudian menarik kesimpulan hukum hasil “perkawinan” kandungan dalil dengan realitas
umat secara produktif.

Prinsip tafsir berbasis metodologi Ushul Fiqh ini jelas menuntut kita untuk: (1) Mampu membaca
“pesan moral” 38th ayat, (2) Mampu membumikan pesan moral itu

dengan realitas zaman, dan (3) Mampu menarik kesimpulan

hukum yang berlandas pada pesan moral ayat dan sekaligm akomodatif terhadap realitas zaman.

Lalu, apa pesan moral dari ayat dan hadits tentangjilbab atau hijab itu? Simpel, lho: “menjaga dirinya
dan tidak memamerkan perhiasannya selain yang wajar tampak”’ “janganlah berpakaian tipis dan
memPe'Hhatkan selain wajah dun telapak tangan”, AGAR “membuat mereka lebih mudah dikenal,
karena itu mereka tidal: diganggu”.

Inilah pesan moral, “maqashid al-syar’z'e" (tujuan dasar sebuah hukum), dari dalil-dalil itu. Sangat
global, bukan? Tidak detail, bukan? Inilah kemukjizatan dalil-dalil itu sehingga ia selalu shalih likulli
zaman wa makan. Selebihnya, secara teknis-aplikatif, umat Islam diberi kebebasan dalam
menafsirkan dan mewujudkan bentuknya. Umat Islam diberi keleluasaan untuk membuat sendiri
tutorial hijab Islami secara kreatif. Nyata, to, di sini bahwa aslinya kita djajarkan untuk keren, bukan
kuthul.

Bahwa pandangan faqih-faqih salaf yang mangatakan “seperti baju lebar" atau “lebih kecil daripada
gamis”, pastikan panjenengan sukses melakukan pembedaan dengan baik terlebih dahulu antara
“dalil” dan “tafsir”. Dali] itu dari Allah dan Rasul-Nya, tafsir itu dari umat Islam. Keduanya memiliki
level autentisitas yang berbeda. Dalil hams kita amini, tafsir tidak wajib. Dalil mutlak kebenarannya.
tafSir tidakDali] it“

absolut, tafsir itu relatif. Peta beginian jangan digebyah-uyah agar kita tidak jadi muslim
berkacamata kuda; hal yang tidak sud diklaim suci sebab tahunya hanya searah, bukan banyak arah.

Setelah panjenengan memahami peta ini, niscaya panje~ nengan takkan kaget lagi menyimak
statemen “tidak ada kewajiban secara syar’ie bagi muslimah Indonesia untuk mengenakan jubah,
gamis, baju kurung, dan sejenisnya yang ala Arab”, sebab kultur dan tradisi kita berbeda jauh dengan
kultur dan tradisi Arab. J ilbab dan hijab Arab tidak wajib hukumnya untuk diangkut ke sini, sebab
kita di sini sama berhak dan shahihnya dengan orang-orang Arab sebagai sesama umat Islam untuk
mengkreasi sendiri bentuk dan model hijab yang lebih cocok dengan kultur dan tradisi kita.
CATAT: muslimah Indonesia tidak wajib hukumnya untuk mengenakan “daster Arab”. jika suka ya
monggo, jika tidak ya ndak menopo.

Plis, deh, panjenengan jangan salah maksud lagi di sini, saya seiring sejalan sama panjenengan yang
mengatakan bah~ wa menutup aurat bagi muslimah (berhijab dan berjilbab) wajib hukumnya.
Tetapi, bentuk dan model hijab dan jilbab itu tidak perlu dibikin saklek sama gaya orang Arab, sebab
memang tidak ada tuntunan dalilnya. Panjenengan mau model Arabian begitu, ya sumanggakke.
Panjenengan yang

Alqur’an Bukan Kitab Desain Baju (Bagal'mana Ajaran dan Bentuk Hijab yang Syar’ie RU?)

Panjenengan yang berharap mendapatkan argumen bahwa berhijab tidak wajib bagi muslimah
barangkalj

akan kecewa dengan tulisan ini, sebab saya termasuk muSlim

luga bukanlah tipe muslim yang sontak menganggap mUSlimah

yang mengidealisasikan hijab, lho. Hanya saja, Saya

yang belum berhijab sebagai “kurang imannya, kurang

akhlaknya”. Mboten. Klaim begituan sama sia-sianya dengan

menganggap muslimah berhijab otomatis perfect imannya,

karimah akhlaknya. Ada sosok semisal Bu Risma Surabaya dan Bu Menteri Kho fah Indar Parawansah
yang berhijab

dan baik perilakunya. Tetapi, juga jangan pura-pura khilaf, ada sosok muslimah yang tak berhijab dan
amazing polahn)B
semacam Najwa Shihab.

Saya tidak berpretensi untuk membandingkan kedua sisi itu, mboten.

Dalam Alqur’an, Allah beriirman:

“Hai, Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin,
hendaklah mereka mengulurkan jilbanya. Yang demikian itu membuat mereka lebih mudah dikenal,
agar mereka tidak diganggu. Allah Maha Pengampun Iagi Maha Penyayang.” (QS. aI-Ahzab [33]: 59).

Asbab al-nuzul (sebab penurunan) ayat ini ialah Saudah (istri Nabi) yang bertubuh besar dan mudah
dikenan keluar rumah untuk suatu keperluan. Umar melihatnya dan berkata, “Hai, Saudah, kami
sangat mudah mengenalimu. Untuk apa Engkau keluar‘?”

Saudah langsung pulang, dan melaporkan kejadjan ini kepada Nabi. Nabi menjawab, “Sesungguhnya,
Allah meng~ izinkanmu keluar rumah untuk suatu keperluan.” Lalu, turunlah ayat ini.

Dalam riwayat lain, disebutkan bahwa istri-istri Nabi keluar rumah dan kaum munaflk mengganggu
mereka. Keja~ dian ini diadukan kepada Nabi, dan Nabi menegur mereka (hum munaka). Mereka
menjawab, “Sesungguhnya, kami hanya mengganggu hamba sahaya.” Lalu, turunlah ayat ini.

Secara metode tafsir tematik, bila ayat-ayat Alq‘lran’ dipilah dan dipilih berdasar tema
kandungannya, ayat ter

sebut diperjelas oleh surat anN ur ayat 31:

“Katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali (yang biasa) tampak
darinya. Dan, hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya. . .dan janganlah mereka
memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.... ”

Dalam sebuah hadits riwayat Aisyah r.a. diceritakan, sesungguhnya Asma’ binti Abu Bakar
menghadap Rasulullah dengan mengenakan pakaian yang tipis. Rasulullah Saw. bersabda, “Wahai
Asma’, sesungguhnya wanita itu bila sudah datang masa haid tidaklah pantas baginya terlihat
tubuhnya, kecuali ini dan itu. ” Beliau
menunjukkan wajah dan kedua telapak tangannya. (HR. Abu Dawud).

Di kalangan mufasir, terdapat perbedaan pendapat tentang makna kata “jilbab” dalam surat al-
Ahzab ayat 59 itu. Al-Baqa’i dan Ibnu ‘Asyur, misal, berbeda pendapat. Yang satu mengatakan bahwa
maksudnya adalah pakaian yang longgax‘ dan penutup kepala, yang satu lagi berpendapat f(agai

pakaian yang lebih kecil dari jubah dan penutup kepala yang mulur ke samping kanan dan kiri hingga
menutupi dada.

Di kalangan Imam Mazhab yang Empat (Hanafl, Maliki, Sya£'ie. dan Hambali), batas aurat wanita di
hadapan nonmahram tidaklah berbeda, yakni seluruh tubuh, kecuali wajah dan telapak tangannya.
Mereka hanya berbeda sebagian tentang tangan bagian atas tangan.

Baiklah, mari simak satu-satu biar lebih jelas.

Pertama, Alqur’an sebagai sumber perta-ma hukum Islam hanya membahas tentang “aurat wanita”
melalui dua ayat itu. Tidak ada lagi. Keduanya bersifat mutasyabihat (zhanniyyah, multitafsir), bukan
muhkamat (qath’iyyah, tafsir mutlak). Wajar, di kalangan ahli tafsir dan Faqih, terdapat perbedaan
pendapat tentang “Bagaimana wujud menutup aurat wanita itu?’

Kedua, berdasar pada kronologi turunnya ayat, surat al-Ahzab ayat 59 diturunkan lebih dulu,
kemudian disusul oleh surat an-Nur ayat 31 yang memuat pesan moral supaya “perempuan menjaga
diri dan tidak memamerkan perhiasannya selain yang wajar tampak”. Jadi, dapat disebutkan bahwa
ayat kedua mempakan “tafsir atau penjelas” terhadap ayat pertama.

Hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah itu. yang diamini oleh Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, merupakan
tafsir Nabi Yang menjelaskan tentang aplikasi ayat itu. Hadits tersebul:

mengandung pesan moral “janganlah berpakaz‘an tipis don memperlihatkan selaz’n wajah dan
telapak tangan”. Ya, hanya itu. Jelas, kan, sampai di sini bahwa Alqllr'an (juga hadits) sama sekali
bukan Kitab Desain I(Iambi. Penting diketahui terlebih dahulu, njeh, bahwa Alqur’an dan hadits yang
diturunkan di Arab memih‘ki “sifat 10mg» dalam hal asbab al-nuzul, diksi, dan metaforanya, yang
secara

konten merupakan “respons Allah dan RasuI-Nya terhadap


sebuah peristiwa, atau sebagai penetawylcum baru, atau sebagai bantahan terhadap hukum yang
sudah Eda, atau sebagai penetapan terhadap hukum yang sudah berlakg”. Semua proses itu
berlangsung dalam “lokalitas Arab” di masa itu. Jadi, saya kira, tidak salah bila sebagian cendekiawan
muslim kontemporer mengatakan bahwa Alqur’an 01183 hadits) merupakan “produk budaya Arab”
masa itu.

Upps, buru-buru saya harus tegaskan di sini agar panjenengan tidak lantas nge-judge saya menga
takan Alqur'an bukan kalamullah alias buatan orang Arab. Maksud dari statemen “sifat lokalitas
Arab”A1qur’an itu hanyalah tentang “labelnya”, bukan kandungannya. Kandungan Alqur’an dan
hadits jelas bersifat universal, berlaku sepanjang masa, Shalih likullz' zaman wa makan hatta yauml'
al-qz'yamalz. Saya 1‘an

terhadap hal ini. Sampun Iago? Sifat universal Alqur’an im‘ dituniukkan oleh kah

Hungannya yang memuat ayat-ayat substantif, murdsyabihab, \nultitafsir, Behingga selalu bisa dikail
secara Fwdu‘ttifmakna

dan aplikasikanya di wilayah mana pun dan masa kapan pun. Di luar ayat-ayat yang sifatnya
muhkamat (mutlak) yang memang hanya berkaitan dengan masalah akidah dan ibadah yang mabni,
ayat-ayat mutasyabihat itu (ya termasuk ayat-ayat (entang jilbab atau hijab) selalu terbuka untuk
ditafsirkan, sehingga otomatis ia akan selalu aktual dan relevan dengan ragam kehidupan umat
Islam.

Bayangkan bila ayat-ayat mutasyabihat beginian tidak ada. niscaya Alqur’an akan out of date,
berlaku cucok hanya di Arab, tidak lagi shalih likulli zaman wa makan. Inilah salah satu kemukjizatan
Alqur’an yang diamini oleh seluruh ulama. Di sini, kita layak sekali bersyukur, bukan mungkur.

Lanjut.

Dalam memperlakukan ayat-ayat mutasyabihat, para ahli Ushul Fiqh sepakat bahwa mufasir atau
mujtahid harus selalu berpegang pada “maqashid al-syar’ie” (tujuan dasar sebuah hukum), lalu
dileburkan dengan realitas yang kita hadapi sehingga ‘z‘llat al-hukmi-nya (sebab pembentukan
hukum) menjadi terkait. Maksud saya, kita harus mencari

terlebih dahulu “keyword” (kata kunci) dalam sebuah ayat, mendapatkan “ethico-legaF-nya (pesan
moral), kemudian menarik kesimpulan hukum hasil “perkawinan” kandungan dalil dengan realitas
umat secara produktif.
Prinsip tafsir berbasis metodologi Ushul Fiqh ini jelas menuntut kita untuk: (1) Mampu membaca
“pesan moral” 38th ayat, (2) Mampu membumikan pesan moral itu

dengan realitas zaman, dan (3) Mampu menarik kesimpulan

hukum yang berlandas pada pesan moral ayat dan sekaligm akomodatif terhadap realitas zaman.

Lalu, apa pesan moral dari ayat dan hadits tentangjilbab atau hijab itu? Simpel, lho: “menjaga dirinya
dan tidak memamerkan perhiasannya selain yang wajar tampak”’ “janganlah berpakaian tipis dan
memPe'Hhatkan selain wajah dun telapak tangan”, AGAR “membuat mereka lebih mudah dikenal,
karena itu mereka tidal: diganggu”.

Inilah pesan moral, “maqashid al-syar’z'e" (tujuan dasar sebuah hukum), dari dalil-dalil itu. Sangat
global, bukan? Tidak detail, bukan? Inilah kemukjizatan dalil-dalil itu sehingga ia selalu shalih likulli
zaman wa makan. Selebihnya, secara teknis-aplikatif, umat Islam diberi kebebasan dalam
menafsirkan dan mewujudkan bentuknya. Umat Islam diberi keleluasaan untuk membuat sendiri
tutorial hijab Islami secara kreatif. Nyata, to, di sini bahwa aslinya kita djajarkan untuk keren, bukan
kuthul.

Bahwa pandangan faqih-faqih salaf yang mangatakan “seperti baju lebar" atau “lebih kecil daripada
gamis”, pastikan panjenengan sukses melakukan pembedaan dengan baik terlebih dahulu antara
“dalil” dan “tafsir”. Dali] itu dari Allah dan Rasul-Nya, tafsir itu dari umat Islam. Keduanya memiliki
level autentisitas yang berbeda. Dalil hams kita amini, tafsir tidak wajib. Dalil mutlak kebenarannya.
tafSir tidakDali] it“

absolut, tafsir itu relatif. Peta beginian jangan digebyah-uyah agar kita tidak jadi muslim
berkacamata kuda; hal yang tidak sud diklaim suci sebab tahunya hanya searah, bukan banyak arah.

Setelah panjenengan memahami peta ini, niscaya panje~ nengan takkan kaget lagi menyimak
statemen “tidak ada kewajiban secara syar’ie bagi muslimah Indonesia untuk mengenakan jubah,
gamis, baju kurung, dan sejenisnya yang ala Arab”, sebab kultur dan tradisi kita berbeda jauh dengan
kultur dan tradisi Arab. J ilbab dan hijab Arab tidak wajib hukumnya untuk diangkut ke sini, sebab
kita di sini sama berhak dan shahihnya dengan orang-orang Arab sebagai sesama umat Islam untuk
mengkreasi sendiri bentuk dan model hijab yang lebih cocok dengan kultur dan tradisi kita.

CATAT: muslimah Indonesia tidak wajib hukumnya untuk mengenakan “daster Arab”. jika suka ya
monggo, jika tidak ya ndak menopo.
Plis, deh, panjenengan jangan salah maksud lagi di sini, saya seiring sejalan sama panjenengan yang
mengatakan bah~ wa menutup aurat bagi muslimah (berhijab dan berjilbab) wajib hukumnya.
Tetapi, bentuk dan model hijab dan jilbab itu tidak perlu dibikin saklek sama gaya orang Arab, sebab
memang tidak ada tuntunan dalilnya. Panjenengan mau model Arabian begitu, ya sumanggakke.
Panjenengan yang

demen dengan model up to date ala Paris dan Pasminah, ya halal pula, to.

Yang penting: “Tidak berkain tipz’s, tidak pamer perhiasan, tidak memperlihatkan aurat”.

Mau hijab ala gamis, boleh. Mau hijab berbahan jeans, monggo. Mau hijab model celana kodok, no
problem. Mau hijab motif polkadot, jayyid. Sepanjang hijab yang dipakai sudah memenuhi prinsip
“maqashid al-syar’ie” dimaksud, ya sudah cukup banget untuk disebut hijab syar’ie atau hijab Islami.

Sebagai tambahan refleksi, kita semua niscaya mafhum sekali bahwa apa yang disebut “menjaga diri
agar tidak diganggu” dan “tidak memperlihatkan perhz'asan yang biasa tampak” sebagai rambu-
rambu berhijab itu secara epistemologis sangat bersifat kultural. Ukuran kultural orang Arab jelas
beda dengan ukuran kultural orang Indonesia. Karena

itu, penerapan rambu-rambu itu pun menjadi absah untuk menjadi beragam seiring dengan
beragamnya khazanah kultural yang melingkupi kehidupan umat Islam.

Aspek kultural “aurat wanita adalah seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan telapak tangan” adalah
khas Arab, yang bila itu tidak djpenuhi sangat rentan memicu “gangguan berahi pada wanita”. Di
antara para Faqih, banyak ulama yang memberikan toleransi pada punggung tangan dalam maksud
memudahkannya melakukan hal-hal Yang membutuhkan

kelenturan tangan.

Alqur’an Bukan Kitab Desain Baju (Bagal'mana Ajaran dan Bentuk Hijab yang Syar’ie RU?)

Panjenengan yang berharap mendapatkan argumen bahwa berhijab tidak wajib bagi muslimah
barangkalj

akan kecewa dengan tulisan ini, sebab saya termasuk muSlim


luga bukanlah tipe muslim yang sontak menganggap mUSlimah

yang mengidealisasikan hijab, lho. Hanya saja, Saya

yang belum berhijab sebagai “kurang imannya, kurang

akhlaknya”. Mboten. Klaim begituan sama sia-sianya dengan

menganggap muslimah berhijab otomatis perfect imannya,

karimah akhlaknya. Ada sosok semisal Bu Risma Surabaya dan Bu Menteri Kho fah Indar Parawansah
yang berhijab

dan baik perilakunya. Tetapi, juga jangan pura-pura khilaf, ada sosok muslimah yang tak berhijab dan
amazing polahn)B

semacam Najwa Shihab.

Saya tidak berpretensi untuk membandingkan kedua sisi itu, mboten.

Dalam Alqur’an, Allah beriirman:

“Hai, Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin,
hendaklah mereka mengulurkan jilbanya. Yang demikian itu membuat mereka lebih mudah dikenal,
agar mereka tidak diganggu. Allah Maha Pengampun Iagi Maha Penyayang.” (QS. aI-Ahzab [33]: 59).

Asbab al-nuzul (sebab penurunan) ayat ini ialah Saudah (istri Nabi) yang bertubuh besar dan mudah
dikenan keluar rumah untuk suatu keperluan. Umar melihatnya dan berkata, “Hai, Saudah, kami
sangat mudah mengenalimu. Untuk apa Engkau keluar‘?”

Saudah langsung pulang, dan melaporkan kejadjan ini kepada Nabi. Nabi menjawab, “Sesungguhnya,
Allah meng~ izinkanmu keluar rumah untuk suatu keperluan.” Lalu, turunlah ayat ini.
Dalam riwayat lain, disebutkan bahwa istri-istri Nabi keluar rumah dan kaum munaflk mengganggu
mereka. Keja~ dian ini diadukan kepada Nabi, dan Nabi menegur mereka (hum munaka). Mereka
menjawab, “Sesungguhnya, kami hanya mengganggu hamba sahaya.” Lalu, turunlah ayat ini.

Secara metode tafsir tematik, bila ayat-ayat Alq‘lran’ dipilah dan dipilih berdasar tema
kandungannya, ayat ter

sebut diperjelas oleh surat anN ur ayat 31:

“Katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali (yang biasa) tampak
darinya. Dan, hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya. . .dan janganlah mereka
memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.... ”

Dalam sebuah hadits riwayat Aisyah r.a. diceritakan, sesungguhnya Asma’ binti Abu Bakar
menghadap Rasulullah dengan mengenakan pakaian yang tipis. Rasulullah Saw. bersabda, “Wahai
Asma’, sesungguhnya wanita itu bila sudah datang masa haid tidaklah pantas baginya terlihat
tubuhnya, kecuali ini dan itu. ” Beliau

menunjukkan wajah dan kedua telapak tangannya. (HR. Abu Dawud).

Di kalangan mufasir, terdapat perbedaan pendapat tentang makna kata “jilbab” dalam surat al-
Ahzab ayat 59 itu. Al-Baqa’i dan Ibnu ‘Asyur, misal, berbeda pendapat. Yang satu mengatakan bahwa
maksudnya adalah pakaian yang longgax‘ dan penutup kepala, yang satu lagi berpendapat f(agai

pakaian yang lebih kecil dari jubah dan penutup kepala yang mulur ke samping kanan dan kiri hingga
menutupi dada.

Di kalangan Imam Mazhab yang Empat (Hanafl, Maliki, Sya£'ie. dan Hambali), batas aurat wanita di
hadapan nonmahram tidaklah berbeda, yakni seluruh tubuh, kecuali wajah dan telapak tangannya.
Mereka hanya berbeda sebagian tentang tangan bagian atas tangan.

Baiklah, mari simak satu-satu biar lebih jelas.


Pertama, Alqur’an sebagai sumber perta-ma hukum Islam hanya membahas tentang “aurat wanita”
melalui dua ayat itu. Tidak ada lagi. Keduanya bersifat mutasyabihat (zhanniyyah, multitafsir), bukan
muhkamat (qath’iyyah, tafsir mutlak). Wajar, di kalangan ahli tafsir dan Faqih, terdapat perbedaan
pendapat tentang “Bagaimana wujud menutup aurat wanita itu?’

Kedua, berdasar pada kronologi turunnya ayat, surat al-Ahzab ayat 59 diturunkan lebih dulu,
kemudian disusul oleh surat an-Nur ayat 31 yang memuat pesan moral supaya “perempuan menjaga
diri dan tidak memamerkan perhiasannya selain yang wajar tampak”. Jadi, dapat disebutkan bahwa
ayat kedua mempakan “tafsir atau penjelas” terhadap ayat pertama.

Hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah itu. yang diamini oleh Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, merupakan
tafsir Nabi Yang menjelaskan tentang aplikasi ayat itu. Hadits tersebul:

mengandung pesan moral “janganlah berpakaz‘an tipis don memperlihatkan selaz’n wajah dan
telapak tangan”. Ya, hanya itu. Jelas, kan, sampai di sini bahwa Alqllr'an (juga hadits) sama sekali
bukan Kitab Desain I(Iambi. Penting diketahui terlebih dahulu, njeh, bahwa Alqur’an dan hadits yang
diturunkan di Arab memih‘ki “sifat 10mg» dalam hal asbab al-nuzul, diksi, dan metaforanya, yang
secara

konten merupakan “respons Allah dan RasuI-Nya terhadap

sebuah peristiwa, atau sebagai penetawylcum baru, atau sebagai bantahan terhadap hukum yang
sudah Eda, atau sebagai penetapan terhadap hukum yang sudah berlakg”. Semua proses itu
berlangsung dalam “lokalitas Arab” di masa itu. Jadi, saya kira, tidak salah bila sebagian cendekiawan
muslim kontemporer mengatakan bahwa Alqur’an 01183 hadits) merupakan “produk budaya Arab”
masa itu.

Upps, buru-buru saya harus tegaskan di sini agar panjenengan tidak lantas nge-judge saya menga
takan Alqur'an bukan kalamullah alias buatan orang Arab. Maksud dari statemen “sifat lokalitas
Arab”A1qur’an itu hanyalah tentang “labelnya”, bukan kandungannya. Kandungan Alqur’an dan
hadits jelas bersifat universal, berlaku sepanjang masa, Shalih likullz' zaman wa makan hatta yauml'
al-qz'yamalz. Saya 1‘an

terhadap hal ini. Sampun Iago? Sifat universal Alqur’an im‘ dituniukkan oleh kah

Hungannya yang memuat ayat-ayat substantif, murdsyabihab, \nultitafsir, Behingga selalu bisa dikail
secara Fwdu‘ttifmakna
dan aplikasikanya di wilayah mana pun dan masa kapan pun. Di luar ayat-ayat yang sifatnya
muhkamat (mutlak) yang memang hanya berkaitan dengan masalah akidah dan ibadah yang mabni,
ayat-ayat mutasyabihat itu (ya termasuk ayat-ayat (entang jilbab atau hijab) selalu terbuka untuk
ditafsirkan, sehingga otomatis ia akan selalu aktual dan relevan dengan ragam kehidupan umat
Islam.

Bayangkan bila ayat-ayat mutasyabihat beginian tidak ada. niscaya Alqur’an akan out of date,
berlaku cucok hanya di Arab, tidak lagi shalih likulli zaman wa makan. Inilah salah satu kemukjizatan
Alqur’an yang diamini oleh seluruh ulama. Di sini, kita layak sekali bersyukur, bukan mungkur.

Lanjut.

Dalam memperlakukan ayat-ayat mutasyabihat, para ahli Ushul Fiqh sepakat bahwa mufasir atau
mujtahid harus selalu berpegang pada “maqashid al-syar’ie” (tujuan dasar sebuah hukum), lalu
dileburkan dengan realitas yang kita hadapi sehingga ‘z‘llat al-hukmi-nya (sebab pembentukan
hukum) menjadi terkait. Maksud saya, kita harus mencari

terlebih dahulu “keyword” (kata kunci) dalam sebuah ayat, mendapatkan “ethico-legaF-nya (pesan
moral), kemudian menarik kesimpulan hukum hasil “perkawinan” kandungan dalil dengan realitas
umat secara produktif.

Prinsip tafsir berbasis metodologi Ushul Fiqh ini jelas menuntut kita untuk: (1) Mampu membaca
“pesan moral” 38th ayat, (2) Mampu membumikan pesan moral itu

dengan realitas zaman, dan (3) Mampu menarik kesimpulan

hukum yang berlandas pada pesan moral ayat dan sekaligm akomodatif terhadap realitas zaman.

Lalu, apa pesan moral dari ayat dan hadits tentangjilbab atau hijab itu? Simpel, lho: “menjaga dirinya
dan tidak memamerkan perhiasannya selain yang wajar tampak”’ “janganlah berpakaian tipis dan
memPe'Hhatkan selain wajah dun telapak tangan”, AGAR “membuat mereka lebih mudah dikenal,
karena itu mereka tidal: diganggu”.

Inilah pesan moral, “maqashid al-syar’z'e" (tujuan dasar sebuah hukum), dari dalil-dalil itu. Sangat
global, bukan? Tidak detail, bukan? Inilah kemukjizatan dalil-dalil itu sehingga ia selalu shalih likulli
zaman wa makan. Selebihnya, secara teknis-aplikatif, umat Islam diberi kebebasan dalam
menafsirkan dan mewujudkan bentuknya. Umat Islam diberi keleluasaan untuk membuat sendiri
tutorial hijab Islami secara kreatif. Nyata, to, di sini bahwa aslinya kita djajarkan untuk keren, bukan
kuthul.

Bahwa pandangan faqih-faqih salaf yang mangatakan “seperti baju lebar" atau “lebih kecil daripada
gamis”, pastikan panjenengan sukses melakukan pembedaan dengan baik terlebih dahulu antara
“dalil” dan “tafsir”. Dali] itu dari Allah dan Rasul-Nya, tafsir itu dari umat Islam. Keduanya memiliki
level autentisitas yang berbeda. Dalil hams kita amini, tafsir tidak wajib. Dalil mutlak kebenarannya.
tafSir tidakDali] it“

absolut, tafsir itu relatif. Peta beginian jangan digebyah-uyah agar kita tidak jadi muslim
berkacamata kuda; hal yang tidak sud diklaim suci sebab tahunya hanya searah, bukan banyak arah.

Setelah panjenengan memahami peta ini, niscaya panje~ nengan takkan kaget lagi menyimak
statemen “tidak ada kewajiban secara syar’ie bagi muslimah Indonesia untuk mengenakan jubah,
gamis, baju kurung, dan sejenisnya yang ala Arab”, sebab kultur dan tradisi kita berbeda jauh dengan
kultur dan tradisi Arab. J ilbab dan hijab Arab tidak wajib hukumnya untuk diangkut ke sini, sebab
kita di sini sama berhak dan shahihnya dengan orang-orang Arab sebagai sesama umat Islam untuk
mengkreasi sendiri bentuk dan model hijab yang lebih cocok dengan kultur dan tradisi kita.

CATAT: muslimah Indonesia tidak wajib hukumnya untuk mengenakan “daster Arab”. jika suka ya
monggo, jika tidak ya ndak menopo.

Plis, deh, panjenengan jangan salah maksud lagi di sini, saya seiring sejalan sama panjenengan yang
mengatakan bah~ wa menutup aurat bagi muslimah (berhijab dan berjilbab) wajib hukumnya.
Tetapi, bentuk dan model hijab dan jilbab itu tidak perlu dibikin saklek sama gaya orang Arab, sebab
memang tidak ada tuntunan dalilnya. Panjenengan mau model Arabian begitu, ya sumanggakke.
Panjenengan yang

demen dengan model up to date ala Paris dan Pasminah, ya halal pula, to.

Yang penting: “Tidak berkain tipz’s, tidak pamer perhiasan, tidak memperlihatkan aurat”.

Mau hijab ala gamis, boleh. Mau hijab berbahan jeans, monggo. Mau hijab model celana kodok, no
problem. Mau hijab motif polkadot, jayyid. Sepanjang hijab yang dipakai sudah memenuhi prinsip
“maqashid al-syar’ie” dimaksud, ya sudah cukup banget untuk disebut hijab syar’ie atau hijab Islami.

Sebagai tambahan refleksi, kita semua niscaya mafhum sekali bahwa apa yang disebut “menjaga diri
agar tidak diganggu” dan “tidak memperlihatkan perhz'asan yang biasa tampak” sebagai rambu-
rambu berhijab itu secara epistemologis sangat bersifat kultural. Ukuran kultural orang Arab jelas
beda dengan ukuran kultural orang Indonesia. Karena

itu, penerapan rambu-rambu itu pun menjadi absah untuk menjadi beragam seiring dengan
beragamnya khazanah kultural yang melingkupi kehidupan umat Islam.

Aspek kultural “aurat wanita adalah seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan telapak tangan” adalah
khas Arab, yang bila itu tidak djpenuhi sangat rentan memicu “gangguan berahi pada wanita”. Di
antara para Faqih, banyak ulama yang memberikan toleransi pada punggung tangan dalam maksud
memudahkannya melakukan hal-hal Yang membutuhkan

kelenturan tangan.

Di sini, aspek kulturalnya berbeda. Di sini, lazim kaum muslimah mengenakan hijab tanpa menutup
kaki dan tangan bagian atas (sebutlah bercelana panjang, berbaju lengan Panjang, dan berjilbab).
Dengan hijab jenis itu, ia telah memenuhi prinsip “menjaga diri agar terhindar darigangguan”. Dan,
lantaran tujuan pokoknya sudah tercapai, maka ia sudah hyak disebut memenuhi tujuan pokok
perintah berhijab itu.

"Ukuran kultur" Indonesia ini jangan coba-coba diangkut ke Arab, sebab ia takkan sukses memenuhi
tujuan pokok dimaksud. Orang Arab sangat rentan makter sekadar ketemu jempol kaki wanita.
Orang kita ya nggak semudah itu untuk makter.

Lalu, bagaimana tentang memperlihatkan perhiasan?

Esensinya sama dengan “menghindarkan diri dari gangguan” itu. Di sini, lazim saja muslimah
mengenakan gelang yang kelihatan. Atau pula, gelang kaki yang kelihatan. Atau pula, beragam
asesoris yang dipasang di luar jilbabnya. Semua itu sah-sah saja untuk ukuran kultur kita, sebab telah
masuk pada kategori “kecuali yang biasa tampak darinya”. Selain soal menghindarkan diri dari
“gangguan berahz‘ lawan jenis', masalah perhiasan ini juga bertujuan memproteksi jiwa kita dari
“ujub, riya’, dan takabur” (minjam istilahmu ya, Kang Felix Siauw, meheeee...). Jadi, bukan hanya
selfte yang bisa begifuan, hijab dan perhiasan pun juga bisa, lho.

Di kita, sulit menemukan fenomena seorang wanita berhasil memantik berahi lawan jenis gara-gara
pakai hells,

6
Alqur’an Bukan Kitab Desain Baju (Bagal'mana Ajaran dan Bentuk Hijab yang Syar’ie RU?)

Panjenengan yang berharap mendapatkan argumen bahwa berhijab tidak wajib bagi muslimah
barangkalj

akan kecewa dengan tulisan ini, sebab saya termasuk muSlim

luga bukanlah tipe muslim yang sontak menganggap mUSlimah

yang mengidealisasikan hijab, lho. Hanya saja, Saya

yang belum berhijab sebagai “kurang imannya, kurang

akhlaknya”. Mboten. Klaim begituan sama sia-sianya dengan

menganggap muslimah berhijab otomatis perfect imannya,

karimah akhlaknya. Ada sosok semisal Bu Risma Surabaya dan Bu Menteri Kho fah Indar Parawansah
yang berhijab

dan baik perilakunya. Tetapi, juga jangan pura-pura khilaf, ada sosok muslimah yang tak berhijab dan
amazing polahn)B

semacam Najwa Shihab.

Saya tidak berpretensi untuk membandingkan kedua sisi itu, mboten.

Dalam Alqur’an, Allah beriirman:

“Hai, Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin,
hendaklah mereka mengulurkan jilbanya. Yang demikian itu membuat mereka lebih mudah dikenal,
agar mereka tidak diganggu. Allah Maha Pengampun Iagi Maha Penyayang.” (QS. aI-Ahzab [33]: 59).
Asbab al-nuzul (sebab penurunan) ayat ini ialah Saudah (istri Nabi) yang bertubuh besar dan mudah
dikenan keluar rumah untuk suatu keperluan. Umar melihatnya dan berkata, “Hai, Saudah, kami
sangat mudah mengenalimu. Untuk apa Engkau keluar‘?”

Saudah langsung pulang, dan melaporkan kejadjan ini kepada Nabi. Nabi menjawab, “Sesungguhnya,
Allah meng~ izinkanmu keluar rumah untuk suatu keperluan.” Lalu, turunlah ayat ini.

Dalam riwayat lain, disebutkan bahwa istri-istri Nabi keluar rumah dan kaum munaflk mengganggu
mereka. Keja~ dian ini diadukan kepada Nabi, dan Nabi menegur mereka (hum munaka). Mereka
menjawab, “Sesungguhnya, kami hanya mengganggu hamba sahaya.” Lalu, turunlah ayat ini.

Secara metode tafsir tematik, bila ayat-ayat Alq‘lran’ dipilah dan dipilih berdasar tema
kandungannya, ayat ter

sebut diperjelas oleh surat anN ur ayat 31:

“Katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali (yang biasa) tampak
darinya. Dan, hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya. . .dan janganlah mereka
memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.... ”

Dalam sebuah hadits riwayat Aisyah r.a. diceritakan, sesungguhnya Asma’ binti Abu Bakar
menghadap Rasulullah dengan mengenakan pakaian yang tipis. Rasulullah Saw. bersabda, “Wahai
Asma’, sesungguhnya wanita itu bila sudah datang masa haid tidaklah pantas baginya terlihat
tubuhnya, kecuali ini dan itu. ” Beliau

menunjukkan wajah dan kedua telapak tangannya. (HR. Abu Dawud).

Di kalangan mufasir, terdapat perbedaan pendapat tentang makna kata “jilbab” dalam surat al-
Ahzab ayat 59 itu. Al-Baqa’i dan Ibnu ‘Asyur, misal, berbeda pendapat. Yang satu mengatakan bahwa
maksudnya adalah pakaian yang longgax‘ dan penutup kepala, yang satu lagi berpendapat f(agai

pakaian yang lebih kecil dari jubah dan penutup kepala yang mulur ke samping kanan dan kiri hingga
menutupi dada.
Di kalangan Imam Mazhab yang Empat (Hanafl, Maliki, Sya£'ie. dan Hambali), batas aurat wanita di
hadapan nonmahram tidaklah berbeda, yakni seluruh tubuh, kecuali wajah dan telapak tangannya.
Mereka hanya berbeda sebagian tentang tangan bagian atas tangan.

Baiklah, mari simak satu-satu biar lebih jelas.

Pertama, Alqur’an sebagai sumber perta-ma hukum Islam hanya membahas tentang “aurat wanita”
melalui dua ayat itu. Tidak ada lagi. Keduanya bersifat mutasyabihat (zhanniyyah, multitafsir), bukan
muhkamat (qath’iyyah, tafsir mutlak). Wajar, di kalangan ahli tafsir dan Faqih, terdapat perbedaan
pendapat tentang “Bagaimana wujud menutup aurat wanita itu?’

Kedua, berdasar pada kronologi turunnya ayat, surat al-Ahzab ayat 59 diturunkan lebih dulu,
kemudian disusul oleh surat an-Nur ayat 31 yang memuat pesan moral supaya “perempuan menjaga
diri dan tidak memamerkan perhiasannya selain yang wajar tampak”. Jadi, dapat disebutkan bahwa
ayat kedua mempakan “tafsir atau penjelas” terhadap ayat pertama.

Hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah itu. yang diamini oleh Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, merupakan
tafsir Nabi Yang menjelaskan tentang aplikasi ayat itu. Hadits tersebul:

mengandung pesan moral “janganlah berpakaz‘an tipis don memperlihatkan selaz’n wajah dan
telapak tangan”. Ya, hanya itu. Jelas, kan, sampai di sini bahwa Alqllr'an (juga hadits) sama sekali
bukan Kitab Desain I(Iambi. Penting diketahui terlebih dahulu, njeh, bahwa Alqur’an dan hadits yang
diturunkan di Arab memih‘ki “sifat 10mg» dalam hal asbab al-nuzul, diksi, dan metaforanya, yang
secara

konten merupakan “respons Allah dan RasuI-Nya terhadap

sebuah peristiwa, atau sebagai penetawylcum baru, atau sebagai bantahan terhadap hukum yang
sudah Eda, atau sebagai penetapan terhadap hukum yang sudah berlakg”. Semua proses itu
berlangsung dalam “lokalitas Arab” di masa itu. Jadi, saya kira, tidak salah bila sebagian cendekiawan
muslim kontemporer mengatakan bahwa Alqur’an 01183 hadits) merupakan “produk budaya Arab”
masa itu.

Upps, buru-buru saya harus tegaskan di sini agar panjenengan tidak lantas nge-judge saya menga
takan Alqur'an bukan kalamullah alias buatan orang Arab. Maksud dari statemen “sifat lokalitas
Arab”A1qur’an itu hanyalah tentang “labelnya”, bukan kandungannya. Kandungan Alqur’an dan
hadits jelas bersifat universal, berlaku sepanjang masa, Shalih likullz' zaman wa makan hatta yauml'
al-qz'yamalz. Saya 1‘an
terhadap hal ini. Sampun Iago? Sifat universal Alqur’an im‘ dituniukkan oleh kah

Hungannya yang memuat ayat-ayat substantif, murdsyabihab, \nultitafsir, Behingga selalu bisa dikail
secara Fwdu‘ttifmakna

dan aplikasikanya di wilayah mana pun dan masa kapan pun. Di luar ayat-ayat yang sifatnya
muhkamat (mutlak) yang memang hanya berkaitan dengan masalah akidah dan ibadah yang mabni,
ayat-ayat mutasyabihat itu (ya termasuk ayat-ayat (entang jilbab atau hijab) selalu terbuka untuk
ditafsirkan, sehingga otomatis ia akan selalu aktual dan relevan dengan ragam kehidupan umat
Islam.

Bayangkan bila ayat-ayat mutasyabihat beginian tidak ada. niscaya Alqur’an akan out of date,
berlaku cucok hanya di Arab, tidak lagi shalih likulli zaman wa makan. Inilah salah satu kemukjizatan
Alqur’an yang diamini oleh seluruh ulama. Di sini, kita layak sekali bersyukur, bukan mungkur.

Lanjut.

Dalam memperlakukan ayat-ayat mutasyabihat, para ahli Ushul Fiqh sepakat bahwa mufasir atau
mujtahid harus selalu berpegang pada “maqashid al-syar’ie” (tujuan dasar sebuah hukum), lalu
dileburkan dengan realitas yang kita hadapi sehingga ‘z‘llat al-hukmi-nya (sebab pembentukan
hukum) menjadi terkait. Maksud saya, kita harus mencari

terlebih dahulu “keyword” (kata kunci) dalam sebuah ayat, mendapatkan “ethico-legaF-nya (pesan
moral), kemudian menarik kesimpulan hukum hasil “perkawinan” kandungan dalil dengan realitas
umat secara produktif.

Prinsip tafsir berbasis metodologi Ushul Fiqh ini jelas menuntut kita untuk: (1) Mampu membaca
“pesan moral” 38th ayat, (2) Mampu membumikan pesan moral itu

dengan realitas zaman, dan (3) Mampu menarik kesimpulan

hukum yang berlandas pada pesan moral ayat dan sekaligm akomodatif terhadap realitas zaman.

Lalu, apa pesan moral dari ayat dan hadits tentangjilbab atau hijab itu? Simpel, lho: “menjaga dirinya
dan tidak memamerkan perhiasannya selain yang wajar tampak”’ “janganlah berpakaian tipis dan
memPe'Hhatkan selain wajah dun telapak tangan”, AGAR “membuat mereka lebih mudah dikenal,
karena itu mereka tidal: diganggu”.

Inilah pesan moral, “maqashid al-syar’z'e" (tujuan dasar sebuah hukum), dari dalil-dalil itu. Sangat
global, bukan? Tidak detail, bukan? Inilah kemukjizatan dalil-dalil itu sehingga ia selalu shalih likulli
zaman wa makan. Selebihnya, secara teknis-aplikatif, umat Islam diberi kebebasan dalam
menafsirkan dan mewujudkan bentuknya. Umat Islam diberi keleluasaan untuk membuat sendiri
tutorial hijab Islami secara kreatif. Nyata, to, di sini bahwa aslinya kita djajarkan untuk keren, bukan
kuthul.

Bahwa pandangan faqih-faqih salaf yang mangatakan “seperti baju lebar" atau “lebih kecil daripada
gamis”, pastikan panjenengan sukses melakukan pembedaan dengan baik terlebih dahulu antara
“dalil” dan “tafsir”. Dali] itu dari Allah dan Rasul-Nya, tafsir itu dari umat Islam. Keduanya memiliki
level autentisitas yang berbeda. Dalil hams kita amini, tafsir tidak wajib. Dalil mutlak kebenarannya.
tafSir tidakDali] it“

absolut, tafsir itu relatif. Peta beginian jangan digebyah-uyah agar kita tidak jadi muslim
berkacamata kuda; hal yang tidak sud diklaim suci sebab tahunya hanya searah, bukan banyak arah.

Setelah panjenengan memahami peta ini, niscaya panje~ nengan takkan kaget lagi menyimak
statemen “tidak ada kewajiban secara syar’ie bagi muslimah Indonesia untuk mengenakan jubah,
gamis, baju kurung, dan sejenisnya yang ala Arab”, sebab kultur dan tradisi kita berbeda jauh dengan
kultur dan tradisi Arab. J ilbab dan hijab Arab tidak wajib hukumnya untuk diangkut ke sini, sebab
kita di sini sama berhak dan shahihnya dengan orang-orang Arab sebagai sesama umat Islam untuk
mengkreasi sendiri bentuk dan model hijab yang lebih cocok dengan kultur dan tradisi kita.

CATAT: muslimah Indonesia tidak wajib hukumnya untuk mengenakan “daster Arab”. jika suka ya
monggo, jika tidak ya ndak menopo.

Plis, deh, panjenengan jangan salah maksud lagi di sini, saya seiring sejalan sama panjenengan yang
mengatakan bah~ wa menutup aurat bagi muslimah (berhijab dan berjilbab) wajib hukumnya.
Tetapi, bentuk dan model hijab dan jilbab itu tidak perlu dibikin saklek sama gaya orang Arab, sebab
memang tidak ada tuntunan dalilnya. Panjenengan mau model Arabian begitu, ya sumanggakke.
Panjenengan yang

demen dengan model up to date ala Paris dan Pasminah, ya halal pula, to.

Yang penting: “Tidak berkain tipz’s, tidak pamer perhiasan, tidak memperlihatkan aurat”.
Mau hijab ala gamis, boleh. Mau hijab berbahan jeans, monggo. Mau hijab model celana kodok, no
problem. Mau hijab motif polkadot, jayyid. Sepanjang hijab yang dipakai sudah memenuhi prinsip
“maqashid al-syar’ie” dimaksud, ya sudah cukup banget untuk disebut hijab syar’ie atau hijab Islami.

Sebagai tambahan refleksi, kita semua niscaya mafhum sekali bahwa apa yang disebut “menjaga diri
agar tidak diganggu” dan “tidak memperlihatkan perhz'asan yang biasa tampak” sebagai rambu-
rambu berhijab itu secara epistemologis sangat bersifat kultural. Ukuran kultural orang Arab jelas
beda dengan ukuran kultural orang Indonesia. Karena

itu, penerapan rambu-rambu itu pun menjadi absah untuk menjadi beragam seiring dengan
beragamnya khazanah kultural yang melingkupi kehidupan umat Islam.

Aspek kultural “aurat wanita adalah seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan telapak tangan” adalah
khas Arab, yang bila itu tidak djpenuhi sangat rentan memicu “gangguan berahi pada wanita”. Di
antara para Faqih, banyak ulama yang memberikan toleransi pada punggung tangan dalam maksud
memudahkannya melakukan hal-hal Yang membutuhkan

kelenturan tangan.

Di sini, aspek kulturalnya berbeda. Di sini, lazim kaum muslimah mengenakan hijab tanpa menutup
kaki dan tangan bagian atas (sebutlah bercelana panjang, berbaju lengan Panjang, dan berjilbab).
Dengan hijab jenis itu, ia telah memenuhi prinsip “menjaga diri agar terhindar darigangguan”. Dan,
lantaran tujuan pokoknya sudah tercapai, maka ia sudah hyak disebut memenuhi tujuan pokok
perintah berhijab itu.

"Ukuran kultur" Indonesia ini jangan coba-coba diangkut ke Arab, sebab ia takkan sukses memenuhi
tujuan pokok dimaksud. Orang Arab sangat rentan makter sekadar ketemu jempol kaki wanita.
Orang kita ya nggak semudah itu untuk makter.

Lalu, bagaimana tentang memperlihatkan perhiasan?

Esensinya sama dengan “menghindarkan diri dari gangguan” itu. Di sini, lazim saja muslimah
mengenakan gelang yang kelihatan. Atau pula, gelang kaki yang kelihatan. Atau pula, beragam
asesoris yang dipasang di luar jilbabnya. Semua itu sah-sah saja untuk ukuran kultur kita, sebab telah
masuk pada kategori “kecuali yang biasa tampak darinya”. Selain soal menghindarkan diri dari
“gangguan berahz‘ lawan jenis', masalah perhiasan ini juga bertujuan memproteksi jiwa kita dari
“ujub, riya’, dan takabur” (minjam istilahmu ya, Kang Felix Siauw, meheeee...). Jadi, bukan hanya
selfte yang bisa begifuan, hijab dan perhiasan pun juga bisa, lho.

Di kita, sulit menemukan fenomena seorang wanita berhasil memantik berahi lawan jenis gara-gara
pakai hells,

kalau panjenengan normal, sih. Kiranya, untuk kontekskuj‘ tural kita, hal-hal berkait perhiasan ini
lebih tepat ke arah “antisipasi kesombongan”. Sebagai sampel, panjenengan bisa tanya Syahrini saja,
apakah ia merasa sombong atau tidak saat menenteng Hermes ke mana-mana gitu. Tanyain, gih,
nanti jawabannya boleh di-share ke saya.

Satu fenomena lain yang ingin saya tambahkan di sini ialah tentang muslimah yang tidak berjilbab,
tetapi sangat berhasil menjaga diri sehingga tidak memantik gangguan berahi lawan jenis itu.

Apakah panjenengan menjadi berahi melihat penampilan sosok semacam Najwa Shihab dan Desy
Anwar? Saya tidak. Kawan-kawan saya semuanya juga tidak. Saya dan kawankawan sesama lelaki
yang normal justru lebih cenderung “gundah gulana” bila berpapasan dengan muslimah-mush'mah
ber-jilbobs, lho, dibanding memandang Najwa Shihab dan Desy Anwar.

Bila panjenengan menanyakan pendapat saya, apakah ini berarti saya menyetujui muslimah tidak
berjilbab, saya akan jawab bahwa saya mengidealkan muslimah berjilbab, dengan jilbab dan hijab
yang sukses “menjaga diri dari gangguan berahi lawan jenis di tempatnya hidup”. Tetapi, saya pun
ingin menandaskan bahwa saya lebih reSpect pada muslimah yang belum berjilbab tetapi sukses
“menjaga diff dari gangguan

berahi lawan jenis di tempatnya hidup" dibanding muslimah berhijab dan berjilbab tetapi gagal
memenuhi prinsip

Alqur’an Bukan Kitab Desain Baju (Bagal'mana Ajaran dan Bentuk Hijab yang Syar’ie RU?)

Panjenengan yang berharap mendapatkan argumen bahwa berhijab tidak wajib bagi muslimah
barangkalj

akan kecewa dengan tulisan ini, sebab saya termasuk muSlim


luga bukanlah tipe muslim yang sontak menganggap mUSlimah

yang mengidealisasikan hijab, lho. Hanya saja, Saya

yang belum berhijab sebagai “kurang imannya, kurang

akhlaknya”. Mboten. Klaim begituan sama sia-sianya dengan

menganggap muslimah berhijab otomatis perfect imannya,

karimah akhlaknya. Ada sosok semisal Bu Risma Surabaya dan Bu Menteri Kho fah Indar Parawansah
yang berhijab

dan baik perilakunya. Tetapi, juga jangan pura-pura khilaf, ada sosok muslimah yang tak berhijab dan
amazing polahn)B

semacam Najwa Shihab.

Saya tidak berpretensi untuk membandingkan kedua sisi itu, mboten.

Dalam Alqur’an, Allah beriirman:

“Hai, Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin,
hendaklah mereka mengulurkan jilbanya. Yang demikian itu membuat mereka lebih mudah dikenal,
agar mereka tidak diganggu. Allah Maha Pengampun Iagi Maha Penyayang.” (QS. aI-Ahzab [33]: 59).

Asbab al-nuzul (sebab penurunan) ayat ini ialah Saudah (istri Nabi) yang bertubuh besar dan mudah
dikenan keluar rumah untuk suatu keperluan. Umar melihatnya dan berkata, “Hai, Saudah, kami
sangat mudah mengenalimu. Untuk apa Engkau keluar‘?”

Saudah langsung pulang, dan melaporkan kejadjan ini kepada Nabi. Nabi menjawab, “Sesungguhnya,
Allah meng~ izinkanmu keluar rumah untuk suatu keperluan.” Lalu, turunlah ayat ini.
Dalam riwayat lain, disebutkan bahwa istri-istri Nabi keluar rumah dan kaum munaflk mengganggu
mereka. Keja~ dian ini diadukan kepada Nabi, dan Nabi menegur mereka (hum munaka). Mereka
menjawab, “Sesungguhnya, kami hanya mengganggu hamba sahaya.” Lalu, turunlah ayat ini.

Secara metode tafsir tematik, bila ayat-ayat Alq‘lran’ dipilah dan dipilih berdasar tema
kandungannya, ayat ter

sebut diperjelas oleh surat anN ur ayat 31:

“Katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali (yang biasa) tampak
darinya. Dan, hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya. . .dan janganlah mereka
memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.... ”

Dalam sebuah hadits riwayat Aisyah r.a. diceritakan, sesungguhnya Asma’ binti Abu Bakar
menghadap Rasulullah dengan mengenakan pakaian yang tipis. Rasulullah Saw. bersabda, “Wahai
Asma’, sesungguhnya wanita itu bila sudah datang masa haid tidaklah pantas baginya terlihat
tubuhnya, kecuali ini dan itu. ” Beliau

menunjukkan wajah dan kedua telapak tangannya. (HR. Abu Dawud).

Di kalangan mufasir, terdapat perbedaan pendapat tentang makna kata “jilbab” dalam surat al-
Ahzab ayat 59 itu. Al-Baqa’i dan Ibnu ‘Asyur, misal, berbeda pendapat. Yang satu mengatakan bahwa
maksudnya adalah pakaian yang longgax‘ dan penutup kepala, yang satu lagi berpendapat f(agai

pakaian yang lebih kecil dari jubah dan penutup kepala yang mulur ke samping kanan dan kiri hingga
menutupi dada.

Di kalangan Imam Mazhab yang Empat (Hanafl, Maliki, Sya£'ie. dan Hambali), batas aurat wanita di
hadapan nonmahram tidaklah berbeda, yakni seluruh tubuh, kecuali wajah dan telapak tangannya.
Mereka hanya berbeda sebagian tentang tangan bagian atas tangan.

Baiklah, mari simak satu-satu biar lebih jelas.

Pertama, Alqur’an sebagai sumber perta-ma hukum Islam hanya membahas tentang “aurat wanita”
melalui dua ayat itu. Tidak ada lagi. Keduanya bersifat mutasyabihat (zhanniyyah, multitafsir), bukan
muhkamat (qath’iyyah, tafsir mutlak). Wajar, di kalangan ahli tafsir dan Faqih, terdapat perbedaan
pendapat tentang “Bagaimana wujud menutup aurat wanita itu?’

Kedua, berdasar pada kronologi turunnya ayat, surat al-Ahzab ayat 59 diturunkan lebih dulu,
kemudian disusul oleh surat an-Nur ayat 31 yang memuat pesan moral supaya “perempuan menjaga
diri dan tidak memamerkan perhiasannya selain yang wajar tampak”. Jadi, dapat disebutkan bahwa
ayat kedua mempakan “tafsir atau penjelas” terhadap ayat pertama.

Hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah itu. yang diamini oleh Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, merupakan
tafsir Nabi Yang menjelaskan tentang aplikasi ayat itu. Hadits tersebul:

mengandung pesan moral “janganlah berpakaz‘an tipis don memperlihatkan selaz’n wajah dan
telapak tangan”. Ya, hanya itu. Jelas, kan, sampai di sini bahwa Alqllr'an (juga hadits) sama sekali
bukan Kitab Desain I(Iambi. Penting diketahui terlebih dahulu, njeh, bahwa Alqur’an dan hadits yang
diturunkan di Arab memih‘ki “sifat 10mg» dalam hal asbab al-nuzul, diksi, dan metaforanya, yang
secara

konten merupakan “respons Allah dan RasuI-Nya terhadap

sebuah peristiwa, atau sebagai penetawylcum baru, atau sebagai bantahan terhadap hukum yang
sudah Eda, atau sebagai penetapan terhadap hukum yang sudah berlakg”. Semua proses itu
berlangsung dalam “lokalitas Arab” di masa itu. Jadi, saya kira, tidak salah bila sebagian cendekiawan
muslim kontemporer mengatakan bahwa Alqur’an 01183 hadits) merupakan “produk budaya Arab”
masa itu.

Upps, buru-buru saya harus tegaskan di sini agar panjenengan tidak lantas nge-judge saya menga
takan Alqur'an bukan kalamullah alias buatan orang Arab. Maksud dari statemen “sifat lokalitas
Arab”A1qur’an itu hanyalah tentang “labelnya”, bukan kandungannya. Kandungan Alqur’an dan
hadits jelas bersifat universal, berlaku sepanjang masa, Shalih likullz' zaman wa makan hatta yauml'
al-qz'yamalz. Saya 1‘an

terhadap hal ini. Sampun Iago? Sifat universal Alqur’an im‘ dituniukkan oleh kah

Hungannya yang memuat ayat-ayat substantif, murdsyabihab, \nultitafsir, Behingga selalu bisa dikail
secara Fwdu‘ttifmakna

dan aplikasikanya di wilayah mana pun dan masa kapan pun. Di luar ayat-ayat yang sifatnya
muhkamat (mutlak) yang memang hanya berkaitan dengan masalah akidah dan ibadah yang mabni,
ayat-ayat mutasyabihat itu (ya termasuk ayat-ayat (entang jilbab atau hijab) selalu terbuka untuk
ditafsirkan, sehingga otomatis ia akan selalu aktual dan relevan dengan ragam kehidupan umat
Islam.

Bayangkan bila ayat-ayat mutasyabihat beginian tidak ada. niscaya Alqur’an akan out of date,
berlaku cucok hanya di Arab, tidak lagi shalih likulli zaman wa makan. Inilah salah satu kemukjizatan
Alqur’an yang diamini oleh seluruh ulama. Di sini, kita layak sekali bersyukur, bukan mungkur.

Lanjut.

Dalam memperlakukan ayat-ayat mutasyabihat, para ahli Ushul Fiqh sepakat bahwa mufasir atau
mujtahid harus selalu berpegang pada “maqashid al-syar’ie” (tujuan dasar sebuah hukum), lalu
dileburkan dengan realitas yang kita hadapi sehingga ‘z‘llat al-hukmi-nya (sebab pembentukan
hukum) menjadi terkait. Maksud saya, kita harus mencari

terlebih dahulu “keyword” (kata kunci) dalam sebuah ayat, mendapatkan “ethico-legaF-nya (pesan
moral), kemudian menarik kesimpulan hukum hasil “perkawinan” kandungan dalil dengan realitas
umat secara produktif.

Prinsip tafsir berbasis metodologi Ushul Fiqh ini jelas menuntut kita untuk: (1) Mampu membaca
“pesan moral” 38th ayat, (2) Mampu membumikan pesan moral itu

dengan realitas zaman, dan (3) Mampu menarik kesimpulan

hukum yang berlandas pada pesan moral ayat dan sekaligm akomodatif terhadap realitas zaman.

Lalu, apa pesan moral dari ayat dan hadits tentangjilbab atau hijab itu? Simpel, lho: “menjaga dirinya
dan tidak memamerkan perhiasannya selain yang wajar tampak”’ “janganlah berpakaian tipis dan
memPe'Hhatkan selain wajah dun telapak tangan”, AGAR “membuat mereka lebih mudah dikenal,
karena itu mereka tidal: diganggu”.

Inilah pesan moral, “maqashid al-syar’z'e" (tujuan dasar sebuah hukum), dari dalil-dalil itu. Sangat
global, bukan? Tidak detail, bukan? Inilah kemukjizatan dalil-dalil itu sehingga ia selalu shalih likulli
zaman wa makan. Selebihnya, secara teknis-aplikatif, umat Islam diberi kebebasan dalam
menafsirkan dan mewujudkan bentuknya. Umat Islam diberi keleluasaan untuk membuat sendiri
tutorial hijab Islami secara kreatif. Nyata, to, di sini bahwa aslinya kita djajarkan untuk keren, bukan
kuthul.
Bahwa pandangan faqih-faqih salaf yang mangatakan “seperti baju lebar" atau “lebih kecil daripada
gamis”, pastikan panjenengan sukses melakukan pembedaan dengan baik terlebih dahulu antara
“dalil” dan “tafsir”. Dali] itu dari Allah dan Rasul-Nya, tafsir itu dari umat Islam. Keduanya memiliki
level autentisitas yang berbeda. Dalil hams kita amini, tafsir tidak wajib. Dalil mutlak kebenarannya.
tafSir tidakDali] it“

absolut, tafsir itu relatif. Peta beginian jangan digebyah-uyah agar kita tidak jadi muslim
berkacamata kuda; hal yang tidak sud diklaim suci sebab tahunya hanya searah, bukan banyak arah.

Setelah panjenengan memahami peta ini, niscaya panje~ nengan takkan kaget lagi menyimak
statemen “tidak ada kewajiban secara syar’ie bagi muslimah Indonesia untuk mengenakan jubah,
gamis, baju kurung, dan sejenisnya yang ala Arab”, sebab kultur dan tradisi kita berbeda jauh dengan
kultur dan tradisi Arab. J ilbab dan hijab Arab tidak wajib hukumnya untuk diangkut ke sini, sebab
kita di sini sama berhak dan shahihnya dengan orang-orang Arab sebagai sesama umat Islam untuk
mengkreasi sendiri bentuk dan model hijab yang lebih cocok dengan kultur dan tradisi kita.

CATAT: muslimah Indonesia tidak wajib hukumnya untuk mengenakan “daster Arab”. jika suka ya
monggo, jika tidak ya ndak menopo.

Plis, deh, panjenengan jangan salah maksud lagi di sini, saya seiring sejalan sama panjenengan yang
mengatakan bah~ wa menutup aurat bagi muslimah (berhijab dan berjilbab) wajib hukumnya.
Tetapi, bentuk dan model hijab dan jilbab itu tidak perlu dibikin saklek sama gaya orang Arab, sebab
memang tidak ada tuntunan dalilnya. Panjenengan mau model Arabian begitu, ya sumanggakke.
Panjenengan yang

demen dengan model up to date ala Paris dan Pasminah, ya halal pula, to.

Yang penting: “Tidak berkain tipz’s, tidak pamer perhiasan, tidak memperlihatkan aurat”.

Mau hijab ala gamis, boleh. Mau hijab berbahan jeans, monggo. Mau hijab model celana kodok, no
problem. Mau hijab motif polkadot, jayyid. Sepanjang hijab yang dipakai sudah memenuhi prinsip
“maqashid al-syar’ie” dimaksud, ya sudah cukup banget untuk disebut hijab syar’ie atau hijab Islami.

Sebagai tambahan refleksi, kita semua niscaya mafhum sekali bahwa apa yang disebut “menjaga diri
agar tidak diganggu” dan “tidak memperlihatkan perhz'asan yang biasa tampak” sebagai rambu-
rambu berhijab itu secara epistemologis sangat bersifat kultural. Ukuran kultural orang Arab jelas
beda dengan ukuran kultural orang Indonesia. Karena
itu, penerapan rambu-rambu itu pun menjadi absah untuk menjadi beragam seiring dengan
beragamnya khazanah kultural yang melingkupi kehidupan umat Islam.

Aspek kultural “aurat wanita adalah seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan telapak tangan” adalah
khas Arab, yang bila itu tidak djpenuhi sangat rentan memicu “gangguan berahi pada wanita”. Di
antara para Faqih, banyak ulama yang memberikan toleransi pada punggung tangan dalam maksud
memudahkannya melakukan hal-hal Yang membutuhkan

kelenturan tangan.

Di sini, aspek kulturalnya berbeda. Di sini, lazim kaum muslimah mengenakan hijab tanpa menutup
kaki dan tangan bagian atas (sebutlah bercelana panjang, berbaju lengan Panjang, dan berjilbab).
Dengan hijab jenis itu, ia telah memenuhi prinsip “menjaga diri agar terhindar darigangguan”. Dan,
lantaran tujuan pokoknya sudah tercapai, maka ia sudah hyak disebut memenuhi tujuan pokok
perintah berhijab itu.

"Ukuran kultur" Indonesia ini jangan coba-coba diangkut ke Arab, sebab ia takkan sukses memenuhi
tujuan pokok dimaksud. Orang Arab sangat rentan makter sekadar ketemu jempol kaki wanita.
Orang kita ya nggak semudah itu untuk makter.

Lalu, bagaimana tentang memperlihatkan perhiasan?

Esensinya sama dengan “menghindarkan diri dari gangguan” itu. Di sini, lazim saja muslimah
mengenakan gelang yang kelihatan. Atau pula, gelang kaki yang kelihatan. Atau pula, beragam
asesoris yang dipasang di luar jilbabnya. Semua itu sah-sah saja untuk ukuran kultur kita, sebab telah
masuk pada kategori “kecuali yang biasa tampak darinya”. Selain soal menghindarkan diri dari
“gangguan berahz‘ lawan jenis', masalah perhiasan ini juga bertujuan memproteksi jiwa kita dari
“ujub, riya’, dan takabur” (minjam istilahmu ya, Kang Felix Siauw, meheeee...). Jadi, bukan hanya
selfte yang bisa begifuan, hijab dan perhiasan pun juga bisa, lho.

Di kita, sulit menemukan fenomena seorang wanita berhasil memantik berahi lawan jenis gara-gara
pakai hells,

kalau panjenengan normal, sih. Kiranya, untuk kontekskuj‘ tural kita, hal-hal berkait perhiasan ini
lebih tepat ke arah “antisipasi kesombongan”. Sebagai sampel, panjenengan bisa tanya Syahrini saja,
apakah ia merasa sombong atau tidak saat menenteng Hermes ke mana-mana gitu. Tanyain, gih,
nanti jawabannya boleh di-share ke saya.
Satu fenomena lain yang ingin saya tambahkan di sini ialah tentang muslimah yang tidak berjilbab,
tetapi sangat berhasil menjaga diri sehingga tidak memantik gangguan berahi lawan jenis itu.

Apakah panjenengan menjadi berahi melihat penampilan sosok semacam Najwa Shihab dan Desy
Anwar? Saya tidak. Kawan-kawan saya semuanya juga tidak. Saya dan kawankawan sesama lelaki
yang normal justru lebih cenderung “gundah gulana” bila berpapasan dengan muslimah-mush'mah
ber-jilbobs, lho, dibanding memandang Najwa Shihab dan Desy Anwar.

Bila panjenengan menanyakan pendapat saya, apakah ini berarti saya menyetujui muslimah tidak
berjilbab, saya akan jawab bahwa saya mengidealkan muslimah berjilbab, dengan jilbab dan hijab
yang sukses “menjaga diri dari gangguan berahi lawan jenis di tempatnya hidup”. Tetapi, saya pun
ingin menandaskan bahwa saya lebih reSpect pada muslimah yang belum berjilbab tetapi sukses
“menjaga diff dari gangguan

berahi lawan jenis di tempatnya hidup" dibanding muslimah berhijab dan berjilbab tetapi gagal
memenuhi prinsip

'mjaga diri dari gangguan berahi lawan jenis di tempatnya

Saya akan lebih menghormati muslimah jenis pertama itu, dengan satu alasan: tujuan pokok ajaran
berhijab dan berjilbab ialah “menjaga din’ dari gangguan berahi lawan jenis di tempatnya hidup”.
Seberapa panjenengan sanggup melaksanakannya, di situlah kadar kemuslimahan panjenengan. Jika
saya diminta memilih, maka saya akan memilih hal yang mbstanu'f daripada formal, kendati saya
jelas lebih demen hal yang substantif itu diikuti oleh hal yang formal.

Kulo nuwun.

Anda mungkin juga menyukai