Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH HUKUM EKONOMI SYARIAH

“Hukum Ekonomi Syariah Dalam Usaha Asuransi, Dana Pensiun Dan Jaminan
Sosial”

Dosen Pengampu: Rahmat Munawar, M.E

Disusun Oleh:

Sarah Lisfiza (0203222051)


Rahma Meisyarah Sihombing (0203222042)

PROGRAM STUDI S-1 HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadiran Allah swt. Yang maha esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini
dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterima kasih
pada bapak dosen yang telah membimbing kami dalam penyelesaian makalah ini.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai “Hukum Ekonomi Syariah Dalam Usaha
Asuransi, Dana Pensiun Dan Jaminan Sosial”. Kami juga menyadari sepenuhnya
bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh
sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang
telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna
tanpa saran yang membangun. Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi
siapapun yang membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna
bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya.

Medan, 1 Maret 2024

Kelompok 9

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………. I

DAFTAR ISI…………………………………………………………………… II

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah………………………………………………… 1


B. Rumusan Masalah………………………………………………………. 3
C. Tujuan………………………………………………………………….... 3

BAB II PEMBAHASAN

1. Hukum Ekonomi Syariah Dalam Usaha Asuransi………………………. 4


2. Hukum Ekonomi Syariah Dalam Manajemen Dana Pensiun……………. 14
3. Hukum Ekonomi Syariah Dalam Jaminan Sosial Kesehatan……………. 17

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ………………………………………………………………. 23

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………. 24

II
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu kewajiban Negara RI adalah melindungi setiap warga negaranya


baik secara fisik, mental, sosial dan ekonomi sebagai timbal balik kesetiaan warga
negara kepada negara baik dalam bentuk pembayaran pajak secara rutin atau
ketundukan pada peraturan hukum. Poin tersebut juga tercakup dalam Pancasila dan
UUD 1945 sebagai konstitusi negara Indonesia yang merupakan buah pemikiran
bangsa ini sejak awal kemerdekaan. Diantara Realisasi dalam kontek perlindungan
adalah dalam bentuk asuransi atau jaminan sosial.

Asuransi atau pertanggungan timbul karena kebutuhan manusia. Seperti telah


dimaklumi, bahwa dalam mengarungi hidup dan kehidupan ini, manusia selalu
dihadapkan kepada sesuatu yang tidak pasti, yang mungkin menguntungkan, tetapi
mungkin pula sebaliknya. Manusia mengharapkan keamanan atas harta benda mereka,
mengharapkan kesehatan dan kesejahteraan tidak kurang sesuatu apapun, namun
manusia hanya dapat berusaha, tetapi Tuhan Yang Maha Kuasa yang menentukan
segalanya. Oleh karena itu, setiap insan tanpa kecuali di alam fana ini selalu
menghadapi berbagai risiko yang merupakan sifat hakiki manusia yang menunjukkan
ketidakberdayaannya di bandingkan Sang Maha Pencipta. Kemungkinan menderita
kerugian yang dimaksud dengan risiko. 1

Setiap manusia, kaya maupun miskin, hidup di negara maju, maupun


berkembang, senantiasa dihadapkan pada risiko yang mengancam kehidupan setiap
saat. Jaminan Sosial (Social security) adalah intervensi melembaga yang dirancang
oleh pemerintah maupun sektor swasta untuk melindungi masyarakat dari berbagai

1
Junaidi Ganie, Hukum Asuransi di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 1.

1
risiko yang timbul dari dirinya (kecelakaan, sakit, meninggal dunia), maupun dari
lingkungannya (PHK, bencana alam, bencana sosial).

Pemerintah sebagai pengemban amanah rakyat bertanggung jawab penuh atas


kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Untuk mewujudkan kemakmuran dan
kesejahteraan, pemerintah menetapkan berbagai macam kebijakan dengan berbagai
programnya. Jika suatu pemerintahan tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar
rakyatnya, mereka akan menaburkan benih-benih kehancuran melalui kegelisahan
sosial dan ketidakstabilan politik.2

Di antara berbagai bentuk jaminan sosial, Jaminan Kesehatan merupakan


sistem yang telah berdiri sejak lama dan sangat diperlukan oleh masyarakat. Jaminan
Kesehatan merupakan pendorong pembangunan dan strategi penting dalam
penanggulangan kemiskinan. Jaminan Kesehatan telah diakui sebagai satu strategi
kebijakan sosial yang penting dalam menopang industri dan pertumbuhan ekonomi,
bukan saja di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat. Akses
terhadap perawatan kesehatan merupakan faktor penting bagi pembangunan ekonomi.
Ini menjelaskan mengapa proporsi besar anggaran dalam strategi penanggulangan
kemiskinan diinvestasikan dalam bidang kesehatan. Kemiskinan sangat mahal
harganya. Kemiskinan menghambat pembangunan ekonomi, menurunkan
produktivitas, dan memicu instabilitas dan konflik sosial.3

2
Umer Capra, Al-Qur'an Menuju Sistem Moneter yang Adil, (Yogyakarta: PT Dana Bakti Prima Yasa,
1997), h. 57.
3
Edi Suharto, Kemiskinan dan Perlindungan Sosial di Indonesia Menggagas Model Jaminan sosial
Universal Bidang Kesehatan, ... h. 59.

2
B. Rumusan Masalah

1. Apa perbedaan antara pendekatan syariah dan pendekatan konvensional dalam


usaha asuransi?
2. Bagaimana Implementasi Hukum Ekonomi Syariah dan Fiqh Muamalah dalam
manajemen Dana Pensiun?
3. Bagaimana prinsip-prinsip hukum ekonomi syariah mempengaruhi
implementasi program jaminan sosial?

C. Tujuan

1. Mengetahui perbedaan antara pendekatan syariah dan pendekatan


konvensional dalam usaha asuransi.
2. Mengetahui kaidah hukum ekonomi syariah dalam manajemen dana pensiun.
3. Mengetahui prinsip- prinsip hukum ekonomi syariah mempengaruhi
implementasi program jaminan sosial.

3
BAB II

PEMBAHASAN

1. Hukum ekonomi syariah dalam usaha asuransi4

• Perbedaan Antara Pendekatan Syariah Dan Pendekatan Konvensional


Dalam Usaha Asuransi

Asuransi merupakan suatu perjanjian di mana penanggung mengikatkan diri


kepada tertanggung dengan mendapat premi, untuk mengganti kerugian, atau tidak
diperolehnya keuntungan yang diharapkan, yang dapat diderita karena peristiwa yang
tidak diketahui lebih dahulu. Asuransi masuk kategori aktivitas kontemporer dalam
hukum Islam dan belum pernah ditemukan dalam literatur fiqh klasik. Asuransi
merupakan lembaga keuangan modern yang melakukan manajemen modern yang
melakukan manajemen risiko yang mungkin dihadapi di masa yang akan datang.
Sebagian ulama melihat asuransi konvensional mengandung unsur- unsur yang
diharamkan, yaitu gharar, maysir dan riba.5

Masalah Gharar pada asuransi konvensional muncul pada dua bentuk:

1. Pada akad yang melandasi permulaan polis. Kontrak asuransi dapat


dikategorikan menggunakan akad pertukaran, yaitu pertukaran pembayaran
premi dengan uang pertanggungan. Gharar muncul di sini karena berapa yang
dibayar tidak diketahui, sedangkan berapa yang akan diterima diketahui. Dalam

4
Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Edisi 2, Cet. ke-6, Jakarta: Kencana-
PrenadaMedia Group, 2016), hlm. 249. Andri Soemitra, Asuransi Syariah, (Medan: Wal Ashri
Publishing dan Pokja Akademik PIU IsDB IAIN Sumatra Utara, 2014). Saidurrahman dan Andri
Soemitra, Buku Pegangan Profesi Pengawas Syariah di Perbankan Syariah dan Asuransi Syariah,
(Medan: CV Manhaji dan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sumatra Utara, 2014). Mardani, Hukum
Bisnis Syariah, Jakarta: Kencana-PrenadaMedia Group, 2014), hlm. 197-201. Abdul Mannan, Hukum
Ekonomi Syariah, Jakarta: Kencana-PrenadaMedia Group, 2011), hlm. 237-282. Otoritas Jasa
Keuangan, Industri Jasa Keuangan Syariah, Bagian Tiga: Asuransi Syariah, Seri Literasi Keuangan
Perguruan Tinggi, Jakarta: OJK, 2016), hlm. 124-156.
5
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 552.

4
asuransi konvensional kontrak/perjanjian dapat dikategorikan sebagai akad
tabadduli atau akad pertukaran; yaitu pertukaran pembayaran premi dengan
uang pertanggungan. Secara syariat dalam akad pertukaran harus jelas berapa
yang dibayarkan dan berapa yang diterima. Keadaan ini akan menjadi rancu
(gharar) karena kita tahu berapa yang akan diterima tetapi tidak tahu berapa
yang akan dibayarkan karena hanya Allah swt yang tahu kapan seseorang akan
meninggal. Dalam konsep syariat Islam keadaan ini akan lain karena akad yang
dipakai bukanlah akad pertukaran/akad tabadduli tetapi konsep ta’awun atau
tolong menolong dan saling menjamin. Dalam konsep asuransi syariah, semua
peserta asuransi menjadi penolong dan penjamin satu sama lainnya. Sehingga
kalau peserta A meninggal, peserta B, C, Z harus membantunya, demikian
sebaliknya.
2. Sumber dana pembayaran dan keabsahan penerimaan uang klaim itu. Pada
asuransi konvensional sumber dana pembayaran tidak dapat dipastikan
bersumber dari mana karena pada prinsipnya premi yang dibayarkan oleh
peserta asuransi sudah menjadi milik perusahaan asuransi dan tidak ada dasar
yang kuat dalam Islam menilai Keabsahan pembayaran klaim seperti ini. Untuk
mengatasi gharar ini dalam konsep asuransi syariah setiap pembayaran premi
sejak awal akan dibagi dua. Bagian pertama masuk ke rekening pemegang
polis, dan satu lagi di masukkan ke rekening khusus peserta yang diniatkan
tabarru’ atau sedekah untuk membantu saudaranya yang lain, Dengan
demikian, dari rekening khusus inilah klaim peserta diambil dan semua sudah
ikhlas memberikannya secara sedekah.6

Masalah Maysir pada asuransi konvensional ditemukan apabila pemegang polis


dengan sebab-sebab tertentu membatalkan kontraknya sebelum masa reversing period
yang umumnya pada tahun ketiga, maka pemegang polis tersebut tidak akan menerima
kembali uang yang telah dibayarkan keeuali sebagian kecil saja. Unsur maysir diartikan

6
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General): Konsep dan Sistem Operasional, Cet
ke-1, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), h. 28.

5
dengan adanya salah satu pihak yang untung namun di pihak lain justu mengalami
kerugian. Hal ini tampak jelas apabila pemegang polis dengan sebab-sebab tertentu
membatalkan kontraknya sebelum masa reversing period, biasanya tahun ketiga, maka
yang bersangkutan tidak akan menerima kembali uang yang telah dibayarkan kecuali
sebagian kecil saja. Reversing period di asuransi syariah bermula dari akad, di mana
setiap peserta mempunyai hak untuk mendapatkan cash value dan mendapatkan semua
uang yang telah dibayarkan, kecuali yang sudah di masukkan ke dalam rekening khusus
(tabarru’) peserta dalam bentuk sedekah.

Masalah riba dieliminasi dengan cara memasukkan akad mudarabah dan/atau


mudarabah musytarakah dan akad wakalah bil ujrah dalam pengelolaan dana. Semua
teknik operasional baik penentuan jumlah tanggungan, investasi, maupun penempatan
dana pihak ketika semua menggunakan instrumen akad syariah yang bebas
pembungaan uang (riba).

Asuransi sebagai praktik muamalah kontemporer yang melakukan manajemen


risiko yang mungkin terjadi di masa yang akan datang baik risiko yang menyangkut
orang perorang maupun yang menyangkut harta benda untuk menghindari terjadinya
kerugian secara ekonomis. Secara konsep upaya melakukan manajemen risiko atas
orang perorang atau harta benda merupakan suatu hal yang mubah karena berada di
wilayah menjadi hukum fiqh muamalah. Sepanjang tidak dijalankan dengan
melibatkan berbagai hal yang terlarang dalam hukum Islam maka usaha asuransi
hukumnya mubah. Nejatullah Al-Siddiqi menekankan bahwa asuransi yang sesuai
dengan prinsip syariah adalah asuransi yang membawa unsur tolong-menolong,
semangat keadilan, dan kerja sama.7

Implementasi hukum ekonomi syariah di asuransi dapat dilihat berdasarkan


sejumlah hal, yaitu pertama, mengenai pedoman umum asuransi yang sesuai dengan

7
Andri Soemitra, Hukum Ekonomi Syariah dan Fiqh Muamalah (Jakarta: Kencana, 2019) h. 211.

6
syariah, kedua, mengenai produk asuransi dan akad/perjanjian yang melandasi asuransi
syariah.8

Terkait dengan pedoman umum asuransi yang sesuai dengan prinsip syariah
dipandu dalam Fatwa DSN MUI No. 21 Tahun 2001 dan fatwa No. 39 tentang asuransi
haji. Dalam fatwa tersebut ditetapkan bahwa asuransi dapat dijalankan berdasarkan
prinsip-prinsip syariah yaitu sebagai usaha saling melindungi dan tolong-menolong di
antara sejumlah orang/pihak melalu investasi dalam bentuk aset dan/atau Tabarru’
yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad
(perikatan) yang sesuai dengan syariah. Akad yang sesuai dengan syariah yang
dimasud adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba,
zhulm (penganiayan), Risywah (suap) barang haram dan maksiat.

Selanjutnya berdasarkan PMK No. 18/PMK.0.10/2010 asuransi syariah wajib


menerapkan sejumlah prinsip dasar, yaitu:9

1. Adanya kesepakatan tolong- menolong (ta’awun) dan saling menanggung (takaful)


di antara para peserta.

2. Adanya kontribusi para peserta ke dalam dana tabarru’.

3. Perusahaan bertindak sebagai pengelola dana tabarru’.

4. Dipenuhinya prinsip keadilan (‘adl), dapat dipercaya (amanah), keseimbangan


(tawazun), kemaslahatan (maslahan), dan keuniversalan (syumul).

5. Tidak mengandung hal-hal yang diharamkan seperti ketidakpastian/ ketidakjelasan


(gharar), perjudian (maysir), bunga (riba), penganiayaan (zhulm), suap (risywah),
maksiat, dan objek haram.

8
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syari’ah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h. 96
9
Hasan Ali, Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 104

7
Selanjutnya dari segi jenis akad yang diterapkan dalam transaksi di asuransi
syariah terdapat sejumlah fatwa yang memandunya, antara lain, fatwa No. 51 tentang
Akad mudarabah musytarakah pada asuransi syariah, fatwa No. 52 tentang akad
wakalah bil ujrah pada asuransi syariah dan reasuransi syariah, fatwa No. 53 tentang
akad tabarru’ pada asuransi syariah, serta fatwa No. 81 tentang pengembalian dana
tabarru’ bagi peserta asuransi yang berhenti sebelum masa perjanjian berakhir.10

Secara umum terdapat dua akad utama pada asuransi syariah, yaitu:

1. Akad Tabarru’

Akad tabarru’ merupakan setiap transaksi yang berkaitan dengan transaksi


yang tidak mengambil keuntungan komersil (nirlaba). Secara umum terdapat tiga
bentuk akad tabarru’, yaitu transaksi meminjamkan uang, transaksi meminjamkan
jasa, dan transaksi memberikan sesuatu. akad tabarru’ secara prinsip tidak boleh
berubah menjadi akad komersil.11

Akad tabarru’ dalam asuransi syariah adalah memberikan dana kebajikan


dengan niat tulus ikhlas untuk tujuan saling membantu. Akad tabarru’ merupakan akad
yang melekat pada semua produk asuransi. Akad tabarru’ diberlakukan antarpeserta
pemegang polis.

Akad tabarru’ yang diterapkan pada asuransi syariah ada dua, yaitu akad hibah
dan Qardh. Akad hibah merupakan akad kebajikan dan tolong menolog antarpeserta,
Akad hibah yang diterapkan ada yang tidak bersyarat (open-end) dan hibah bersyarat
(close-end). Contoh hibah open-end antara lain pada asuransi sosial yang dapat
diberikan kepada siapa saja selama sesuai dengan peruntukan hibah tersebut. Adapun

10
Andri Soemitra, Fatwa fatwa Tematik Ekonomi dan Keuangan Syariah di Indonesia, (Medan: CV
Manhaji dan Fakultas Syariah dan Hukum UINSU, 2016) h. 613. Fatwa DSN MUI dapat diunduh di
https://dsnmui.or.id/produk/fatwa/.
11
Burhanuddin S, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), h. 97

8
hibah bersyarat contoh pada asuransi jiwa dan kerugian yaitu hibah yang ditujukan
kepada peserta asuransi yang turut serta.

Dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 18/PMK.0.10/2010 tentang


Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi dengan Prinsip Syariah Pasal
7 menyebutkan bahwa Akad Tabarru’ memuat sekurang-kurangnya memuat:12

a. Kesepakatan para peserta untuk saling tolong-menolong (ta’awun);

b. Hak dan kewajiban masing-masing peserta secara individu;

c. Hak dan kewajiban peserta secara kolektif dalam kelompok;

d. Cara dan waktu pembayaran kontribusi dan santunan/klaim;

e. Ketentuan mengenai boleh atau tidanya kontribusi ditarik kembali oleh peserta
dalam hal terjadi pembatalan oleh peserta;

f. Ketentuan mengenai alternatif dan persentase pembagian surplus underwriting;

g. Ketentuan lain yang disekapakati; dan

h. Akad tabarru’ tidak dapat diubah menjadi akad tijarah.

Selanjutnya, dalam hal terjadi defisit underwriting dana Tabarru’ maka


perusahaan asuransi atau reasuransi wajib menanggulangi kekurangan tersebut dalam
bentuk qardh (pemberian pinjaman tanpa imbalan apa pun). Apabila pada tahun
berikutnya terjadi surplus underwriting maka perusahaan berhak mengambil kembali
dana yang dipinjamkan.

12
Gemala Dewi, Aspek-Aspek Dalam Perbankan dan Perasuransian Syari‟ah Di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2004), h.138-139

9
Dalam fatwa DSN MUI No. 81 tentang pengembalian dana tabarru’ bagi
peserta asuransi yang berhenti sebelum masa perjanjian berakhir dijelaskan bahwa
peserta asuransi secara individu tidak boleh meminta kembali Dana Tabarru’ dan
Perusahaan asuransi juga tidak berwenang untuk mengembalikan dana tabarru’.
Peserta asuransi secara kolektif sebagai penerima dana tabarru’ memiliki kewenangan
membuat aturan-aturan mengenai penggunaan dana tabarru’ termasuk mengembalikan
dana tabarru’ kepada peserta asuransi secara individu yang berhenti sebelum masa
perjanjian berakhir dan dinyatakan jelas sejak akad dilaksanakan.

2 Akad Mu’awadhat-Tijari

Akad mua’wadhat-tijari yang digunakan pada transaksi asuransi dalam Fatwa


DSN MUI No. 21 Tahun 2001 antara lain wakalah bil ujrah dalam pengelolaan dana
tabarru’ sedangkan untuk pengelolan investasi dana menggunakan akad mudarabah
dan mudarabah musyarakah (Fatwa DSN MUI No. 52 Tahun 2006). Dengan demikian
terdapat tiga akad utama yang digunakan sebagai akad tijari dalam mekanisme asuransi
syariah yaitu akad wakalah bil ujrah, akad mudarabah dan mudarabah musytarakah.

Dalam hal pendgelolaan dana tabarru’ terjadi pemberian kuasa dari peserta
kepada perusahan asuransi untuk mengelola dana peserta. Hubungan para pihak dalam
hal ini adalah akad wakalah dari peserta dan perusahaan asuransi berhak mendapatkan
ujrah (fee). Akad ini diterapkan pada perusahaan asuransi syariah yang mengandung
unsur tabungan (saving) pada asuransi jiwa maupun unsur tabarru’ (nontabungan)
pada asuransi jiwa dan kerugian.

Dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 18/PMK.0.10/2010 disebutkan bahwa


dalam akad wakalah bil ujrah wajib memuat sekurang-kurangnya:

a. Objek yang dikuasakan pengelolaannya, antara lain: kegiatan administrasi,


pengelolaan dana, pembayaran klaim, underwriting, pengelolaan portofolio risiko,
pemasaran, investasi;

10
b. Hak dan kewajiban peserta secara kolektif dan/atau peserta secara individu sebagai
muwakkil (pemberi kuasa);

c. Hak dan kewajiban perusahaan sebagai wakil (penerima kuasa) termasuk kewajiban
perusahaan untuk menanggung seluruh kerugian yang terjadi dalam kegiatan
pengelolaan risiko dan/atau kegiatan pengelolaan investasi yang diakibatkan oleh
kesalahan yang disengaja, kelalaian atau wanprestasi yang dilakukan perusahaan;

d. Batasan kuasa atau wewenang yang diberikan peserta kepada perusahaan;

e. Besaran, cara, dan waktu pemotongan ujrah (fee);

f. Ketentuan lain yang disepakati; dan

g. Dalam hal pengelolaan investasi dana tabarru’ atau dana investasi peserta di
dasarkan akad wakalah bil ujrah, perusahaan tidak berhak memperoleh bagian dari
hasil investasi.

Dalam hal pengelolaan dana investasi baik yang berasal dari dana tabarru’
maupun tabungan (saving) selain menggunakan akad wakalah bil ujrah dapat juga
digunakan akad mudarabah. Perusahaan asuransi bertindak sebagai mudarib
(pengelola dana) dan peserta bertindak sebagai sahibul mal (pemegang polis). Pada
pengelolaan dana tabarru’ hasil investasi yang diperoleh dapat dibagi dua sesuai
dengan porsi yang disepakati bersama.

Dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 18/PMK.0.10/2010 disebutkan bahwa


dalam akad mudarabah wajib memuat sekurang-kurangnya:

a. Hak dan kewajiban peserta secara kolektif dan/atau peserta secara individu sebagai
sahibul mal (pemilik dana);

b. Hak dan kewajiban perusahaan sebagai mudarib (pengelola dana) termasuk


kewajiban perusahaan untuk menanggung seluruh kerugian yang terjadi dalam

11
kegaiatan pengelolaan investasi yang diakibatkan oleh kesalahan disengaja, kelalaian
atau wanprestasi yang dilakukan perusahaan;

Dalam hal pengelolaan investasi dana tabarru’ maupun dana tabungan peserta
dapat pula dikelola dengan akad mudarabah musytarakah. Perusahaan asuransi sebagai
mudarib menyertakan modalnya atau dananya dalam investasi bersama dengan dana
peserta disatukan dalam suatu portofolio investasi. Perusahaan asuransi sebagai
mudarib mengelola keseluruhan investasi dana tersebut.

Dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 18/PMK.0.10/2010 disebutkan bahwa dalam


akad mudarabah musytarakah wajib memuat sekurang-kurangnya:

a. Hak dan kewajiban peserta secara kolektif dan/atau peserta secara individu sebagai
sahibul mal (pemilik dana);

b. Hak dan kewajiban perusahaan sebagai mudarib (pengelola dana) termasuk


kewajiban perusahaan untuk menanggung seluruh kerugian yang terjadi dalam
kegiatan pengelolaan investasi yang diakibatkan oleh kesalahan yang disengaja,
kelalaian atau wanprestasi yang dilakukan perusahaan;

c. Batasan wewenang yang diberikan peserta kepada perusahaan;

d. Cara dan waktu penentuan besar kekayaan peserta dan kekayaan perusahaan;

e. Bagi hasil (nisbah), cara dan waktu pembagian hasil investasi; dan Ketentuan lain
yang disepakati.

Asuransi atau Pertanggungan adalah perjanjian mengikatkan diri kepada


tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada
tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan,
atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita
tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan

12
suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya sesorang yang
dipertanggungkan.13

Salah satu inovasi terbaru dalam bidang asuransi syariah DSN MUI telah pula
mengatur mengenai Wakaf manfaat asuransi dan Manfaat Investasi Asuransi pada
Asuransi Jiwa Syariah dalam Fatwa No. 106/DSN-MUI/X/2016. Dalam fatwa ini
dijelaskan bahwa:

• Ketentuan Terkait dengan Wakaf Manfaat Asuransi

a. Pihak yang ditunjuk untuk menerima manfaat asuransi menyatakan janji yang
mengikat (wa’d mulzim) untuk mewakafkan manfaat asuransi;

b. Manfaat asuransi yang boleh diwakafkan paling banyak 45 persen dari total manfaat
asuransi;

c. Semua calon penerima manfaat asuransi yang ditunjuk atau penggantinya


menyatakan persetujuan dan kesepakatannya; dan

d. Ikrar wakaf dilaksanakan setelah manfaat asuransi secara prinsip sudah menjadi hak
pihak yang ditunjuk atau penggantinya.

• Ketentuan Terkait Wakaf Manfaat Investasi


a. Manfaat investasi boleh diwakafkan oleh peserta asuransi;
b. Kadar jumlah manfat investasi yang boleh diwakatkan paling banyak sepertiga dari
total kekayaan dan/atau tirkah, kecuali disepakati lain oleh semua ahli waris.
• Ketentuan Terkait Ujrah terkait dengan produk wakaf

a. Ujrah tahun pertama paling banyak 45 persen dari kontribusi reguler

13
Kasmir, Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: Rajawali Press, 2013), h. 261

13
b. Akumulasi ujrah tahun berikutnya paling banyak 50 persen dari kontribusi reguler.

2. Hukum ekonomi syariah dalam manajemen dana pensiun

Dana pensiun menurut UU No. 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun adalah
badan hukum yang mengelola dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat
pensiun. Program pensiun syariah diselenggarakan oleh lembaga keuangan syariah
yang mempunyai karakteristik untuk dapat digunakan dalam rangka menjaga
kesinambungan penghasilan seseorang ketika sudah berhenti bekerja atau memasuki
masa pensiun.14

Jaminan bagi kaum pekerja di hari tua, kehilangan orang yang mencari nafkah
dan ketidaksanggupan untuk bekerja merupakan suatu hal yang penting di dalam
tingkatan penghidupan daripada masyarakat. Di bawah sosialisme tingkatannya
bergantung pada tingkatan perkembangan ekonomi. Namun, hubungannya adalah
timbal balik, yaitu bahwa tingkatan jaminan sosial juga memengaruhi ekonomi.15
Jaminan hari tua juga bisa disebutkan untuk jaminan kepada tenaga kerja yang telah
berhenti bekerja atau mengundurkan diri dari perusahaan yang ia jalani dan tidak
memungkinkan lagi baginya bekerja dalam hubungan kerja. Tenaga kerja yang
demikian akan membutuhkan dana yang cukup besar sebagai modal usaha atau untuk
memenuhi kebutuhan lainnya.16

Adapun landasan hukum dana pensiun syariah di Indonesia dapat dilhat


berdasarkan Fatwa-fatwa DSN MUI yang terbit terkait dana pensiun, antara lain fatwa
No. 88/DSN-MUI/XI/2013 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Program
Pensiun Berdasarkan Prinsip Syariah, dan fatwa DSN MUI nomor 99/DSN-

14
Zaeni Asyhadie, Aspek-Aspek Hukum Jaminan Sosial Tenaga Kerja, (Jakarta: Rajawali Press, 2013),
h.160
15
Abbas Salim, Asuransi dan Manajemen Risiko, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 130
16
Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h. 170

14
MUI/XII/2015 tentang Annuitas Syariah untuk program dana pensiun. Telah pula
diterbitkan POJK NO. 33/PO/K 05/2016 tentang Penyelenggaraan Program Pensiun
berdasarkan Prinsip Syariah.17

• Implementasi Hukum Ekonomi Syariah dan Fiqh Muamalah pada Dana


Pensiun

Secara fungsional, dana pensiun syariah menjalankan fungsi yang Sama dengan
dana pensiun secara umumnya. Hanya saja bedanya, kegiatan dana pensiun syariah
menerapkan hukum ekonomi syariah antara lain perikatan yang dilakukan berdasarkan
akad tertentu dan kegiatan investasi dilaksanakan sesuai dengan syariah Islam.

Adapun dari sisi akad yang diselenggarakan dalam dana pensiun syariah
berdasarkan fatwa DSN MUI No. 88/DSN-MUI/XI/2013 tentang Pedoman Umum
Penyelenggaraan Program Pensiun Berdasarkan Prinsip Syariah terdapat lima akad
yang digunakan dan POJK No. 33/ POJK.05/2016, yaitu:

a. Akad hibah, yaitu pemberian dana (mahbub bih) dari pemberi kerja (wahib) kepada
pekerja (mauhub lahu) dalam penyelenggaraan pensiun;

b. Akad hibah bi Syarth, yaitu akad hibah baru efektif berlaku apabila syarat-syarat
tertentu terpenuhi;

c. Akad hibah muqayyadah, yaitu akad hibah di mana pemberi kerja (wahib)
menentukan orang-orang atau pihak-pihak yang berhak menerima manfaat pensiun
termasuk ketidakbolehan mengambil manfaat pensiun sebelum waktunya (locking in);

d. Akad wakalah bil ujrah, yaitu akad wakalah dengan mengambil imbalan upah
(ujrah);

17
Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, h. 291. Otoritas Jasa Keuangan, Industri Jasa
Keuangan Syariah: Bagian Tujuh Dana Pensiun Syariah, h. 248-251. Mardani, Hukum Bisnis Syariah,
h. 203-222 Fatwa DSN MUI dapat diunduh di https://dsnmui.or.id/produk/fatwa/.

15
e. Akad mudarabah, yaitu akad kerja sama usaha antara dana pensiun syariah dengan
pihak; Dana Pensiun Syariah sebagai Sahibul mal, pihak lain sebagai Mudarib
(pengelola), keuntungan dibagi sesuai nisbah yang disepakati, sedangkan kerugian
dibebankan kepada Dana Pensiun Syariah apabila kerugian tersebut terjadi bukan
karena kelalaian pengelola;

f. Akad ijarah, yaitu akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna (manfaat) atas
barang atau jasa, dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah), antara Dana
Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun berdasarkan prinsip syariah sebagai
penyewa (musta’jir) dengan pemberi sewa (mu’ajir) tanpa diikuti pengalihan
kepemilikan atas barang atau jasa itu sendiri.

Selain memperhatikan persoalan akad, dana pensiun syariah juga terikat pada cara
mengelola kekayaan berdasarkan Fatwa DSN MUI No. 40 Tahun 2013 dijelaskan
bahwa kekayaan lembaga keuangan syariah tidak boleh diinvestasikan pada lima
sektor, yaitu:

a. Kegiatan usaha perjudian, dan permainan yang tergolong judi misalnya money game;

b. Usaha lembaga keuangan konvensional;

c. Usaha yang memproduksi atau mendistribusikan serta memperdagangkan makanan


dan minuman yang haram;

d. Usaha yang memproduksi atau mendistribusikan serta memperdagangkan


barang/jasa yang merusak orang, misalnya hiburan malam;

e. Melakukan investasi di perusahaan yang pada saat transaksi tingkat utangnya di


lembaga keuangan ribawi lebin dominan daripada modalnya.

16
3. Hukum ekonomi syariah dalam Jaminan Sosial Kesehatan

Jaminan sosial berasal dari kata Sosial dan Security. Kata Sosial menunjuk pada
istilah masyarakat atau orang banyak (society). Sementara Security diambil dari bahasa
latin “securus” yang bermakna “se” pembebasan atau liberation dan “curus” yang
berarti kesulitan atau uneasiness. Dengan demikian, jaminan sosial secara harfalah
adalah “pembebasan kesulitan masyarakat” atau “suatu upaya untuk membebaskan
masyarakat dari kesulitan.18

Jaminan sosial secara etimologi terdiri atas dua kata yaitu jaminan dan sosial,
jaminan merupakan tanggungan atas pinjaman yang diterima atau janji satu pihak
untuk menanggung kewajiban pihak lain, sedangkan sosial adalah sesuatu yang
berkenaan dengan masyarakat atau rakyat. Kedua arti tersebut jika dianalogiskan pihak
yang satu adalah negara serta pihak yang lain adalah masyarakat, sehingga dapat
diambil kesimpulan bahwa seseorang dalam suatu negara wajib menyetorkan iuran
kepada negara secara kolektif dan universal guna menanggung dan menjamin
kehidupan warganya yang membutuhkan.19

Pemerintah telah menerbitkan UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan


Sosial Nasional (SIN) dan UU NO. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS). BPJS masuk kategori Asuransi kesehatan yang diterapkan
berdasarkan prinsip Asuransi Sosial dan Prinsip Ekuitas. Prinsip Asuransi Sosial
maksudnya adalah mekanisme pengumpulan dana bersifat “wajib” yang berasal dari
iuran guna memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang menimpa peserta
dan/atau anggota keluarganya.20 Iuran untuk orang miskin (Penerima Bantuan Iuran)
dibayar oleh pemerintah dari dana pajak yang dibayarkan kepada BPJS. Prinsip Ekuitas
yang dimaksud adalah adalah tiap peserta yang wajib membayar iuran akan mendapat

18
Emir Soendoro, Jaminan Sosial Solusi Bangsa Indonesia Berdikari, (Jakarta: Dinov ProGRESS
Indonesia, 2009), h.50
19
Naerul Edwin Kiky Aprianto, Kontruksi Sistem Jaminan Sosial Dalam Persfektif Ekonomi Islam,
(Purwokerto: Institut Agama Islam Negeri Purwokerto, 2017), h.240
20
Zaeni Asyhadie, Aspek-Aspek Hukum Jaminan Sosial Tenaga Kerja, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013),
h.26

17
pelayanan sebanding dengan iuran yang dibayarkan. Jaminan sosial kesehatan
masyarakat yang sesuai dengan prinsip syariah telah pula diatur dalam Fatwa DSN
MUI No. 98/DSN-MUI/XII/ 2015.21

Implementasi Hukum Ekonomi Syariah dan Fiqh Muamalah pada Jaminan


Sosial Kesehatan

Jaminan sosial kesehatan masyarakat adalah Penyelenggaraan jaminan


kesehatan sosial kesehatan masyarakat dengan akad antarpihak yang sesuai dengan
prinsip syariah dan tidak mengandung unsur gharar, maysir, dan riba. Dalam Fatwa
DSN MUI No. 98/DSN-MUI/XII/2015 tentang Pedoman Jaminan Sosial Kesehatan
Masyarakat diatur bahwa akad yang digunakan dalam Jaminan Sosial Kesehatan
Masyarakat adalah:

a. Akad hibah adalah pemberian sejumlah dana dari Peserta-Individu kepada Peserta-
Kolektif, dari Pemerintah kepada Penerima Bantuan luran (PBI), dan/atau dari
Pemerintah kepada BPJS Kesehatan sebagai wakil Perserta Kolektif untuk
menanggulangi Dana Jaminan Sosial Kesehatan yang bernilai negatif;

b. Akad qardh adalah pinjaman dari BPIS Kesehatan kepada Peserta Kolektif untuk
menanggulangi kesulitan likuiditas Dana Jaminan Sosial Kesehatan atau pinjaman dari
pemerintah kepada Peserta Kolektif untuk menanggulangi kesulitan likuiditas Dana
Jaminan Sosial Kesehatan apabila pemerintah belum memiliki anggaran khusus;

c. Akad mu’awadhat adalah akad usaha antara BPJS Kesehatan sebagai wakil Peserta
Kolektif dengan Pihak ketiga untuk mengembangkan Dana Jaminan Sosial Kesehatan;

d. Akad Ijarah adalah akad antara BPJS Kesehatan sebagai wakil Peserta Kolektif dan
Faskes untuk melakukan pelayanan kesehatan;

21
Andri Soemitra, fatwa-fatwa Tematik Ekonomi dan Keuangan Syariah di Indonesia, h.694. Fatwa
DSN MUI dapat diunduh di https://dsnmui.or.id/produk/fatwa/.

18
e. Akad Wakalah atau Wakalah bi al- Ujrah adalah akad antara Peserta Kolektif dan
BPJS Kesehatan untuk kegiatan administrasi dan kegiatan lainnya sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah; dan

f. Akad Kafalah adalah akad antara BPJS Kesehatan dan Peserta Kolektif untuk
menanggulangi Dana Jaminan Sosial Kesehatan yang bernilai negatif.

• Implementasi prinsip syariah dalam Jaminan Sosial Kesehatan diatur


sejumlah ketentuan, yaitu ketentuan akad dan personalia hukum:

a. Akad antara Peserta-Individu dan Peserta-Kolektif yang diwakili BPJS Kesehatan


adalah akad hibah dalam rangka saling menolong sesama peserta (ta’awun);

b. Akad antara Pemerintah dan Peserta-Individu sebagai Penerima Bantuan Iuran (PBI)
adalah akad hibah, yang diserahterimakan kepada BPJS Kesehatan sebagai wakil dari
Peserta-Kolektif;

c. Akad antara Peserta-Kolektif dan BPJS Kesehatan adalah akad wakalah atau akad
wakalah bil ujrah;

d. Akad wakalah atau wakalah bil ujrah sebagaimana dimaksud pada angka tiga dapat
mencakup pemberian kuasa untuk:

1. Kegiatan administrasi;
2. Pengelolaan portofolio risiko;
3. Investasi/Pengembangan DJS;
4. Pembayaran klaim (dari BPJS ke Faskes); dan
5. Pemasaran (Promosi)/sosialisasi.

e. Akad antara BPJS Kesehatan dan pihak lain dalam rangka pengembangan Dana
Jaminan Sosial Kesehatan adalah akad mu’awadhat, baik dalam bentuk jual beli, ijarah,
maupun akad yang berbasis bagi hasil;

19
f. Akad antara Pemerintah dan BPJS Kesehatan sebagai wakil Peserta Kolektif adalah
akad hibah untuk menanggulangi Dana Jaminan Sosial Kesehatan yang bernilai
negatif; atau akad qard apabila pemerintah belum memiliki anggaran khusus;

g. Akad antara BPJS kesehatan dengan peserta-kolektif adalah akad kafalah atau akad
qard untuk menanggulangi Dana Jaminan Sosial Kesehatan yang bernilai negatif;

h. Akad antara BPJS Kesehatan dan Peserta-Kolektif adalah akad kafalah atau akad
qardh untuk menanggulangi kesulitan likuiditas aset Dana Jaminan Sosial Kesehatan;

i. Akad antara Pemerintah dan BPJS Kesehatan sebagai wakil peserta-kolektif adalah
akad kafalah atau qardh dalam hal BPJS Kesehatan tidak dapat memberikan talangan,
atau dapat memberikan talangan namun tidak mencukupi untuk menanggulangi
kesulitan likuiditas aset Dana Jaminan Kesehatan; dan

J. Akad antara BPJS Kesehatan dengan Faskes adalah akad ijarah.

• Ketentuan terkait luran dan Layanan

a. BPJS Kesehatan harus memberikan kemudahan bagi semua peserta BPJS di seluruh
wilayah Indonesia untuk mendapatkan pelayanan yang baik sesuai dengan hak mereka;

b. BPJS Kesehatan sebagai wakil Peserta-Kolektif wajib memberikan informasi yang


jelas kepada Peserta Individu terkait jumlah iuran dan manfaat atau cakupan layanan
fasilitas kesehatan yang ditanggung (jenis layanan, tingkat layanan, tenaga medis,
penunjang diagnostik, obat, bentuk-bentuk terapi, dan biaya-biaya layanan kesehatan
lainnya);

c. BPJS Kesehatan sebagai wakil Peserta-Kolektif wajib bertanggungjawab untuk


mengupayakan agar besaran pembayaran imbalan dan membayarnya kepada fasilitas
layanan kesehatan (Faskes) melalui sistem yang adil dan transparan;

20
d. BPJS Kesehatan wajib menunaikan kewajibannya dengan baik kepada Fakes sesuai
perjanjian;

e. Faskes wajib memberikan layanan kesehatan kepada Peserta-Individu sesuai prinsip-


prinsip syariah serta peraturan perundang-undangan yang berlaku; wajib menolong
pasien dan dilarang menolak dan/atau mengabaikannya;

f. Faskes/Rumah Sakit wajib memberikan imbal jasa yang berasal dari BPJS Kesehatan
kepada para dokter dan paramedik serta semua unsur di dalam Faskes sesuai dengan
prinsip keadilan dan prinsip-prinsip syariah serta peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

• Ketentuan terkait Dana Jaminan Sosial Bernilai Negatif

a. Pemerintah wajib menghibahkan dana untuk menutupi negatif DJS;

b. Dalam hal Pemerintah belum memiliki alokasi anggaran untuk menangulangi Dana
Jaminan Sosial bernilai negatif, pemerintah pemerintah dapat menanggulanginya
dengan akad qard; dan

c. dalam hal pemerintah belum menghibahkan dana untuk mencukupi DJS yang
bernilai negatif, maka BPJS Kesehatan wajib memberikan dana talangan kepada DJS
dengan menggunakan akad qard atau kafalah.

• Ketentuan terkait Kesulitan Likuiditas Aset Dana Jaminan Sosial


a) BPJS Kesehatan dapat memberikan talangan berdasarkan akad kafalah atau
qardh kepada aset DS untuk menanggulangi kesulitan likuiditas; dan
b) Dalam hal BPJS Kesehatan tidak dapat memberikan talangan, atau dapat
memberikan talangan namun tidak mencukupi untuk menanggulangi kesulitan
likuiditas aset Dana Jaminan Kesehatan, pemerintah dapat memberikan
talangan berdasarkan akad kafalah atau qard.

21
• Ketentuan terkait Penempatan dan Pengembangan DJS
a) BPJS Kesehatan wajib memiliki rekening penampungan DJS pada bank
syariah;
b) BPJS Kesehatan sebagai wakil Peserta-Kolektif wajib melakukan pengelolaan
portofolio DJS sesuai dengan prinsip-prinsip syariah;
c) BPJS Kesehatan sebagai wakil Peserta-Kolektif tidak boleh mengembangkan
DJS pada kegiatan usaha dan/atau transaksi keuangan yang bertentangan
dengan prinsip-prinsip syariah; dan
d) BPJS Kesehatan sebagai wakil Peserta-Kolektif dalam upaya mengembangkan
DJS harus menggunakan akad-akad yang sesuai prinsip-prinsip syariah.
• Ketentuan terkait Sanksi
a) BPJS Kesehatan boleh mengenakan sanksi (tazir) kepada Pemberi Kerja atau
Peserta-Individu dengan ketentuan berikut:

1. Apabila Pemberi Kerja atau Peserta-Individu terlambat membayar iuran karena


lalai, maka boleh dikenakan sanksi (tazir);

2. Apabila pemberi Kerja atau Peserta-Individu terlambat membayar iuran karena


sebab yang benar menurut syariah dan hukum (misal karena kendala teknis
operasional, kesulitan keuangan yang sangat atau karena ketidaktahuan), maka
BPJS Kesehatan tidak boleh mengenakan sanksi;

3. Tingkatan berat atau ringannya sanksi (tazir) dapat diberlakukan sepadan dengan
jenis dan tingkatan pelanggarannya; dan

4. Dana sanksi (ta’zir) wajib diakumulasikan ke dalam Dana Jaminan Sosial.

b) BPJS Kesehatan boleh dikenakan sanksi (ta’zir) karena terlambat dalam


pembayaran imbalan kepada Faskes sesuai nilai syariah serta peraturan perundang-
undangan yang berlaku; dan
c) Dana sanksi (ta’zir) wajib digunakan untuk Dana Sosial.

22
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Perbedaan antara asuransi konvensional dan syariah jika dilihat dari beberapa
hal yang paling mendasar, yaitu:
1. Keberadaan Dewan Pengawas Syariah dalam perusahaan asuransi syariah. kebijakan
investasi supaya senantiasa sejalan dengan syariat Islam.
2. Prinsip akad asuransi syariah adalah takafuli (tolong-menolong).
Sedangkan akad asuransi konvensional bersifat tabaduli (jual beli antara nasabah
dengan perusahaan).
3. Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi) diinvestasikan
berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil (mudharabah). Sedangkan pada asuransi
konvensional, investasi dana dilakukan pada sembarang sektor dengan sistem bunga

Adapun Pedoman Umum Penyelenggaraan Program Pensiun Berdasarkan


Prinsip Syariah terdapat lima akad yang digunakan dan POJK No. 33/ POJK.05/2016,
yaitu: Akad hibah, Akad hibah bi Syarth, Akad hibah muqayyadah, Akad wakalah bil
ujrah, Akad mudarabah, Akad Ijarah.

Jaminan sosial dapat diartikan secara luas dan dapat pula diartikan secara
sempit. Dalam pengertiannya yang luas jaminan sosial ini meliputi berbagai usaha
yang dapat dilakukan oleh masyarakat dan/atau pemerintah. Jaminan sosial juga
berarti salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin agar seluruh rakyat
dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak. Jaminan sosial merupakan bagian
ruang lingkup dari kesejahteraan sosial, kesejahteraan sosial dalam hukum positif
adalah suatu keadaan sejahtera yang penuh, baik jasmaniah, rohaniah, maupun sosial,
dan bukan hanya perbaikan dari keburukan-keburukan sosial tertentu.

23
DAFTAR PUSTAKA

Ali, H. (2004). Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam,. Jakarta: Kencana.

Anwar, S. (2007). Hukum Perjanjian Syari‟ah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Aprianto, N. E. (2017). Kontruksi Sistem Jaminan Sosial Dalam Persfektif Ekonomi


Islam. Purwokerto: Institut Agama Islam Negeri Purwokerto.

Asyhadie, Z. (2013). Aspek-Aspek Hukum Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Jakarta:


Rajawali Press.

Capra, U. (1997). Al-Qur'an Menuju Sistem Moneter yang Adil. Yogyakarta: PT Dana
Bakti Prima Yasa.

Dewi, G. (2004). Aspek-Aspek Dalam Perbankan dan Perasuransian Syari‟ah Di


Indonesia. Jakarta: Kencana.

Ganie, J. (2013). Hukum Asuransi di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Kasmir. (2013). Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta: Rajawali press.

Lubis, S. K. (2014). Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: Sinar Grafika.

Muslich, A. W. (2010). Fiqh Muamalat. Jakarta: Amzah.

S, B. (2010). Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Salim, A. (2012). Asuransi dan Manajemen Risiko. Jakarta: Rajawali Press.

Soemitra, A. (2019). Hukum Ekonomi Syariah dan Fiqh Muamalah. Jakarta: Kencana.

Soendoro, E. (2009). Jaminan Sosial Solusi Bangsa Indonesia Berdikari. Jakarta:


Dinov ProGRESS Indonesia.

Sula, M. S. (2004). Asuransi Syariah (Life and General): Konsep dan Sistem
Operasional, Cet ke-1. Jakarta: Gema Insani Press.

24

Anda mungkin juga menyukai