“Hukum Ekonomi Syariah Dalam Usaha Asuransi, Dana Pensiun Dan Jaminan
Sosial”
Disusun Oleh:
2024
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadiran Allah swt. Yang maha esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini
dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterima kasih
pada bapak dosen yang telah membimbing kami dalam penyelesaian makalah ini.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai “Hukum Ekonomi Syariah Dalam Usaha
Asuransi, Dana Pensiun Dan Jaminan Sosial”. Kami juga menyadari sepenuhnya
bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh
sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang
telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna
tanpa saran yang membangun. Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi
siapapun yang membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna
bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya.
Kelompok 9
I
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………. I
DAFTAR ISI…………………………………………………………………… II
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan ………………………………………………………………. 23
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………. 24
II
BAB I
PENDAHULUAN
1
Junaidi Ganie, Hukum Asuransi di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 1.
1
risiko yang timbul dari dirinya (kecelakaan, sakit, meninggal dunia), maupun dari
lingkungannya (PHK, bencana alam, bencana sosial).
2
Umer Capra, Al-Qur'an Menuju Sistem Moneter yang Adil, (Yogyakarta: PT Dana Bakti Prima Yasa,
1997), h. 57.
3
Edi Suharto, Kemiskinan dan Perlindungan Sosial di Indonesia Menggagas Model Jaminan sosial
Universal Bidang Kesehatan, ... h. 59.
2
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Edisi 2, Cet. ke-6, Jakarta: Kencana-
PrenadaMedia Group, 2016), hlm. 249. Andri Soemitra, Asuransi Syariah, (Medan: Wal Ashri
Publishing dan Pokja Akademik PIU IsDB IAIN Sumatra Utara, 2014). Saidurrahman dan Andri
Soemitra, Buku Pegangan Profesi Pengawas Syariah di Perbankan Syariah dan Asuransi Syariah,
(Medan: CV Manhaji dan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sumatra Utara, 2014). Mardani, Hukum
Bisnis Syariah, Jakarta: Kencana-PrenadaMedia Group, 2014), hlm. 197-201. Abdul Mannan, Hukum
Ekonomi Syariah, Jakarta: Kencana-PrenadaMedia Group, 2011), hlm. 237-282. Otoritas Jasa
Keuangan, Industri Jasa Keuangan Syariah, Bagian Tiga: Asuransi Syariah, Seri Literasi Keuangan
Perguruan Tinggi, Jakarta: OJK, 2016), hlm. 124-156.
5
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 552.
4
asuransi konvensional kontrak/perjanjian dapat dikategorikan sebagai akad
tabadduli atau akad pertukaran; yaitu pertukaran pembayaran premi dengan
uang pertanggungan. Secara syariat dalam akad pertukaran harus jelas berapa
yang dibayarkan dan berapa yang diterima. Keadaan ini akan menjadi rancu
(gharar) karena kita tahu berapa yang akan diterima tetapi tidak tahu berapa
yang akan dibayarkan karena hanya Allah swt yang tahu kapan seseorang akan
meninggal. Dalam konsep syariat Islam keadaan ini akan lain karena akad yang
dipakai bukanlah akad pertukaran/akad tabadduli tetapi konsep ta’awun atau
tolong menolong dan saling menjamin. Dalam konsep asuransi syariah, semua
peserta asuransi menjadi penolong dan penjamin satu sama lainnya. Sehingga
kalau peserta A meninggal, peserta B, C, Z harus membantunya, demikian
sebaliknya.
2. Sumber dana pembayaran dan keabsahan penerimaan uang klaim itu. Pada
asuransi konvensional sumber dana pembayaran tidak dapat dipastikan
bersumber dari mana karena pada prinsipnya premi yang dibayarkan oleh
peserta asuransi sudah menjadi milik perusahaan asuransi dan tidak ada dasar
yang kuat dalam Islam menilai Keabsahan pembayaran klaim seperti ini. Untuk
mengatasi gharar ini dalam konsep asuransi syariah setiap pembayaran premi
sejak awal akan dibagi dua. Bagian pertama masuk ke rekening pemegang
polis, dan satu lagi di masukkan ke rekening khusus peserta yang diniatkan
tabarru’ atau sedekah untuk membantu saudaranya yang lain, Dengan
demikian, dari rekening khusus inilah klaim peserta diambil dan semua sudah
ikhlas memberikannya secara sedekah.6
6
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General): Konsep dan Sistem Operasional, Cet
ke-1, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), h. 28.
5
dengan adanya salah satu pihak yang untung namun di pihak lain justu mengalami
kerugian. Hal ini tampak jelas apabila pemegang polis dengan sebab-sebab tertentu
membatalkan kontraknya sebelum masa reversing period, biasanya tahun ketiga, maka
yang bersangkutan tidak akan menerima kembali uang yang telah dibayarkan kecuali
sebagian kecil saja. Reversing period di asuransi syariah bermula dari akad, di mana
setiap peserta mempunyai hak untuk mendapatkan cash value dan mendapatkan semua
uang yang telah dibayarkan, kecuali yang sudah di masukkan ke dalam rekening khusus
(tabarru’) peserta dalam bentuk sedekah.
7
Andri Soemitra, Hukum Ekonomi Syariah dan Fiqh Muamalah (Jakarta: Kencana, 2019) h. 211.
6
syariah, kedua, mengenai produk asuransi dan akad/perjanjian yang melandasi asuransi
syariah.8
Terkait dengan pedoman umum asuransi yang sesuai dengan prinsip syariah
dipandu dalam Fatwa DSN MUI No. 21 Tahun 2001 dan fatwa No. 39 tentang asuransi
haji. Dalam fatwa tersebut ditetapkan bahwa asuransi dapat dijalankan berdasarkan
prinsip-prinsip syariah yaitu sebagai usaha saling melindungi dan tolong-menolong di
antara sejumlah orang/pihak melalu investasi dalam bentuk aset dan/atau Tabarru’
yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad
(perikatan) yang sesuai dengan syariah. Akad yang sesuai dengan syariah yang
dimasud adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba,
zhulm (penganiayan), Risywah (suap) barang haram dan maksiat.
8
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syari’ah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h. 96
9
Hasan Ali, Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 104
7
Selanjutnya dari segi jenis akad yang diterapkan dalam transaksi di asuransi
syariah terdapat sejumlah fatwa yang memandunya, antara lain, fatwa No. 51 tentang
Akad mudarabah musytarakah pada asuransi syariah, fatwa No. 52 tentang akad
wakalah bil ujrah pada asuransi syariah dan reasuransi syariah, fatwa No. 53 tentang
akad tabarru’ pada asuransi syariah, serta fatwa No. 81 tentang pengembalian dana
tabarru’ bagi peserta asuransi yang berhenti sebelum masa perjanjian berakhir.10
Secara umum terdapat dua akad utama pada asuransi syariah, yaitu:
1. Akad Tabarru’
Akad tabarru’ yang diterapkan pada asuransi syariah ada dua, yaitu akad hibah
dan Qardh. Akad hibah merupakan akad kebajikan dan tolong menolog antarpeserta,
Akad hibah yang diterapkan ada yang tidak bersyarat (open-end) dan hibah bersyarat
(close-end). Contoh hibah open-end antara lain pada asuransi sosial yang dapat
diberikan kepada siapa saja selama sesuai dengan peruntukan hibah tersebut. Adapun
10
Andri Soemitra, Fatwa fatwa Tematik Ekonomi dan Keuangan Syariah di Indonesia, (Medan: CV
Manhaji dan Fakultas Syariah dan Hukum UINSU, 2016) h. 613. Fatwa DSN MUI dapat diunduh di
https://dsnmui.or.id/produk/fatwa/.
11
Burhanuddin S, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), h. 97
8
hibah bersyarat contoh pada asuransi jiwa dan kerugian yaitu hibah yang ditujukan
kepada peserta asuransi yang turut serta.
e. Ketentuan mengenai boleh atau tidanya kontribusi ditarik kembali oleh peserta
dalam hal terjadi pembatalan oleh peserta;
12
Gemala Dewi, Aspek-Aspek Dalam Perbankan dan Perasuransian Syari‟ah Di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2004), h.138-139
9
Dalam fatwa DSN MUI No. 81 tentang pengembalian dana tabarru’ bagi
peserta asuransi yang berhenti sebelum masa perjanjian berakhir dijelaskan bahwa
peserta asuransi secara individu tidak boleh meminta kembali Dana Tabarru’ dan
Perusahaan asuransi juga tidak berwenang untuk mengembalikan dana tabarru’.
Peserta asuransi secara kolektif sebagai penerima dana tabarru’ memiliki kewenangan
membuat aturan-aturan mengenai penggunaan dana tabarru’ termasuk mengembalikan
dana tabarru’ kepada peserta asuransi secara individu yang berhenti sebelum masa
perjanjian berakhir dan dinyatakan jelas sejak akad dilaksanakan.
2 Akad Mu’awadhat-Tijari
Dalam hal pendgelolaan dana tabarru’ terjadi pemberian kuasa dari peserta
kepada perusahan asuransi untuk mengelola dana peserta. Hubungan para pihak dalam
hal ini adalah akad wakalah dari peserta dan perusahaan asuransi berhak mendapatkan
ujrah (fee). Akad ini diterapkan pada perusahaan asuransi syariah yang mengandung
unsur tabungan (saving) pada asuransi jiwa maupun unsur tabarru’ (nontabungan)
pada asuransi jiwa dan kerugian.
10
b. Hak dan kewajiban peserta secara kolektif dan/atau peserta secara individu sebagai
muwakkil (pemberi kuasa);
c. Hak dan kewajiban perusahaan sebagai wakil (penerima kuasa) termasuk kewajiban
perusahaan untuk menanggung seluruh kerugian yang terjadi dalam kegiatan
pengelolaan risiko dan/atau kegiatan pengelolaan investasi yang diakibatkan oleh
kesalahan yang disengaja, kelalaian atau wanprestasi yang dilakukan perusahaan;
g. Dalam hal pengelolaan investasi dana tabarru’ atau dana investasi peserta di
dasarkan akad wakalah bil ujrah, perusahaan tidak berhak memperoleh bagian dari
hasil investasi.
Dalam hal pengelolaan dana investasi baik yang berasal dari dana tabarru’
maupun tabungan (saving) selain menggunakan akad wakalah bil ujrah dapat juga
digunakan akad mudarabah. Perusahaan asuransi bertindak sebagai mudarib
(pengelola dana) dan peserta bertindak sebagai sahibul mal (pemegang polis). Pada
pengelolaan dana tabarru’ hasil investasi yang diperoleh dapat dibagi dua sesuai
dengan porsi yang disepakati bersama.
a. Hak dan kewajiban peserta secara kolektif dan/atau peserta secara individu sebagai
sahibul mal (pemilik dana);
11
kegaiatan pengelolaan investasi yang diakibatkan oleh kesalahan disengaja, kelalaian
atau wanprestasi yang dilakukan perusahaan;
Dalam hal pengelolaan investasi dana tabarru’ maupun dana tabungan peserta
dapat pula dikelola dengan akad mudarabah musytarakah. Perusahaan asuransi sebagai
mudarib menyertakan modalnya atau dananya dalam investasi bersama dengan dana
peserta disatukan dalam suatu portofolio investasi. Perusahaan asuransi sebagai
mudarib mengelola keseluruhan investasi dana tersebut.
a. Hak dan kewajiban peserta secara kolektif dan/atau peserta secara individu sebagai
sahibul mal (pemilik dana);
d. Cara dan waktu penentuan besar kekayaan peserta dan kekayaan perusahaan;
e. Bagi hasil (nisbah), cara dan waktu pembagian hasil investasi; dan Ketentuan lain
yang disepakati.
12
suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya sesorang yang
dipertanggungkan.13
Salah satu inovasi terbaru dalam bidang asuransi syariah DSN MUI telah pula
mengatur mengenai Wakaf manfaat asuransi dan Manfaat Investasi Asuransi pada
Asuransi Jiwa Syariah dalam Fatwa No. 106/DSN-MUI/X/2016. Dalam fatwa ini
dijelaskan bahwa:
a. Pihak yang ditunjuk untuk menerima manfaat asuransi menyatakan janji yang
mengikat (wa’d mulzim) untuk mewakafkan manfaat asuransi;
b. Manfaat asuransi yang boleh diwakafkan paling banyak 45 persen dari total manfaat
asuransi;
d. Ikrar wakaf dilaksanakan setelah manfaat asuransi secara prinsip sudah menjadi hak
pihak yang ditunjuk atau penggantinya.
13
Kasmir, Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: Rajawali Press, 2013), h. 261
13
b. Akumulasi ujrah tahun berikutnya paling banyak 50 persen dari kontribusi reguler.
Dana pensiun menurut UU No. 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun adalah
badan hukum yang mengelola dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat
pensiun. Program pensiun syariah diselenggarakan oleh lembaga keuangan syariah
yang mempunyai karakteristik untuk dapat digunakan dalam rangka menjaga
kesinambungan penghasilan seseorang ketika sudah berhenti bekerja atau memasuki
masa pensiun.14
Jaminan bagi kaum pekerja di hari tua, kehilangan orang yang mencari nafkah
dan ketidaksanggupan untuk bekerja merupakan suatu hal yang penting di dalam
tingkatan penghidupan daripada masyarakat. Di bawah sosialisme tingkatannya
bergantung pada tingkatan perkembangan ekonomi. Namun, hubungannya adalah
timbal balik, yaitu bahwa tingkatan jaminan sosial juga memengaruhi ekonomi.15
Jaminan hari tua juga bisa disebutkan untuk jaminan kepada tenaga kerja yang telah
berhenti bekerja atau mengundurkan diri dari perusahaan yang ia jalani dan tidak
memungkinkan lagi baginya bekerja dalam hubungan kerja. Tenaga kerja yang
demikian akan membutuhkan dana yang cukup besar sebagai modal usaha atau untuk
memenuhi kebutuhan lainnya.16
14
Zaeni Asyhadie, Aspek-Aspek Hukum Jaminan Sosial Tenaga Kerja, (Jakarta: Rajawali Press, 2013),
h.160
15
Abbas Salim, Asuransi dan Manajemen Risiko, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 130
16
Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h. 170
14
MUI/XII/2015 tentang Annuitas Syariah untuk program dana pensiun. Telah pula
diterbitkan POJK NO. 33/PO/K 05/2016 tentang Penyelenggaraan Program Pensiun
berdasarkan Prinsip Syariah.17
Secara fungsional, dana pensiun syariah menjalankan fungsi yang Sama dengan
dana pensiun secara umumnya. Hanya saja bedanya, kegiatan dana pensiun syariah
menerapkan hukum ekonomi syariah antara lain perikatan yang dilakukan berdasarkan
akad tertentu dan kegiatan investasi dilaksanakan sesuai dengan syariah Islam.
Adapun dari sisi akad yang diselenggarakan dalam dana pensiun syariah
berdasarkan fatwa DSN MUI No. 88/DSN-MUI/XI/2013 tentang Pedoman Umum
Penyelenggaraan Program Pensiun Berdasarkan Prinsip Syariah terdapat lima akad
yang digunakan dan POJK No. 33/ POJK.05/2016, yaitu:
a. Akad hibah, yaitu pemberian dana (mahbub bih) dari pemberi kerja (wahib) kepada
pekerja (mauhub lahu) dalam penyelenggaraan pensiun;
b. Akad hibah bi Syarth, yaitu akad hibah baru efektif berlaku apabila syarat-syarat
tertentu terpenuhi;
c. Akad hibah muqayyadah, yaitu akad hibah di mana pemberi kerja (wahib)
menentukan orang-orang atau pihak-pihak yang berhak menerima manfaat pensiun
termasuk ketidakbolehan mengambil manfaat pensiun sebelum waktunya (locking in);
d. Akad wakalah bil ujrah, yaitu akad wakalah dengan mengambil imbalan upah
(ujrah);
17
Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, h. 291. Otoritas Jasa Keuangan, Industri Jasa
Keuangan Syariah: Bagian Tujuh Dana Pensiun Syariah, h. 248-251. Mardani, Hukum Bisnis Syariah,
h. 203-222 Fatwa DSN MUI dapat diunduh di https://dsnmui.or.id/produk/fatwa/.
15
e. Akad mudarabah, yaitu akad kerja sama usaha antara dana pensiun syariah dengan
pihak; Dana Pensiun Syariah sebagai Sahibul mal, pihak lain sebagai Mudarib
(pengelola), keuntungan dibagi sesuai nisbah yang disepakati, sedangkan kerugian
dibebankan kepada Dana Pensiun Syariah apabila kerugian tersebut terjadi bukan
karena kelalaian pengelola;
f. Akad ijarah, yaitu akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna (manfaat) atas
barang atau jasa, dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah), antara Dana
Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun berdasarkan prinsip syariah sebagai
penyewa (musta’jir) dengan pemberi sewa (mu’ajir) tanpa diikuti pengalihan
kepemilikan atas barang atau jasa itu sendiri.
Selain memperhatikan persoalan akad, dana pensiun syariah juga terikat pada cara
mengelola kekayaan berdasarkan Fatwa DSN MUI No. 40 Tahun 2013 dijelaskan
bahwa kekayaan lembaga keuangan syariah tidak boleh diinvestasikan pada lima
sektor, yaitu:
a. Kegiatan usaha perjudian, dan permainan yang tergolong judi misalnya money game;
16
3. Hukum ekonomi syariah dalam Jaminan Sosial Kesehatan
Jaminan sosial berasal dari kata Sosial dan Security. Kata Sosial menunjuk pada
istilah masyarakat atau orang banyak (society). Sementara Security diambil dari bahasa
latin “securus” yang bermakna “se” pembebasan atau liberation dan “curus” yang
berarti kesulitan atau uneasiness. Dengan demikian, jaminan sosial secara harfalah
adalah “pembebasan kesulitan masyarakat” atau “suatu upaya untuk membebaskan
masyarakat dari kesulitan.18
Jaminan sosial secara etimologi terdiri atas dua kata yaitu jaminan dan sosial,
jaminan merupakan tanggungan atas pinjaman yang diterima atau janji satu pihak
untuk menanggung kewajiban pihak lain, sedangkan sosial adalah sesuatu yang
berkenaan dengan masyarakat atau rakyat. Kedua arti tersebut jika dianalogiskan pihak
yang satu adalah negara serta pihak yang lain adalah masyarakat, sehingga dapat
diambil kesimpulan bahwa seseorang dalam suatu negara wajib menyetorkan iuran
kepada negara secara kolektif dan universal guna menanggung dan menjamin
kehidupan warganya yang membutuhkan.19
18
Emir Soendoro, Jaminan Sosial Solusi Bangsa Indonesia Berdikari, (Jakarta: Dinov ProGRESS
Indonesia, 2009), h.50
19
Naerul Edwin Kiky Aprianto, Kontruksi Sistem Jaminan Sosial Dalam Persfektif Ekonomi Islam,
(Purwokerto: Institut Agama Islam Negeri Purwokerto, 2017), h.240
20
Zaeni Asyhadie, Aspek-Aspek Hukum Jaminan Sosial Tenaga Kerja, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013),
h.26
17
pelayanan sebanding dengan iuran yang dibayarkan. Jaminan sosial kesehatan
masyarakat yang sesuai dengan prinsip syariah telah pula diatur dalam Fatwa DSN
MUI No. 98/DSN-MUI/XII/ 2015.21
a. Akad hibah adalah pemberian sejumlah dana dari Peserta-Individu kepada Peserta-
Kolektif, dari Pemerintah kepada Penerima Bantuan luran (PBI), dan/atau dari
Pemerintah kepada BPJS Kesehatan sebagai wakil Perserta Kolektif untuk
menanggulangi Dana Jaminan Sosial Kesehatan yang bernilai negatif;
b. Akad qardh adalah pinjaman dari BPIS Kesehatan kepada Peserta Kolektif untuk
menanggulangi kesulitan likuiditas Dana Jaminan Sosial Kesehatan atau pinjaman dari
pemerintah kepada Peserta Kolektif untuk menanggulangi kesulitan likuiditas Dana
Jaminan Sosial Kesehatan apabila pemerintah belum memiliki anggaran khusus;
c. Akad mu’awadhat adalah akad usaha antara BPJS Kesehatan sebagai wakil Peserta
Kolektif dengan Pihak ketiga untuk mengembangkan Dana Jaminan Sosial Kesehatan;
d. Akad Ijarah adalah akad antara BPJS Kesehatan sebagai wakil Peserta Kolektif dan
Faskes untuk melakukan pelayanan kesehatan;
21
Andri Soemitra, fatwa-fatwa Tematik Ekonomi dan Keuangan Syariah di Indonesia, h.694. Fatwa
DSN MUI dapat diunduh di https://dsnmui.or.id/produk/fatwa/.
18
e. Akad Wakalah atau Wakalah bi al- Ujrah adalah akad antara Peserta Kolektif dan
BPJS Kesehatan untuk kegiatan administrasi dan kegiatan lainnya sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah; dan
f. Akad Kafalah adalah akad antara BPJS Kesehatan dan Peserta Kolektif untuk
menanggulangi Dana Jaminan Sosial Kesehatan yang bernilai negatif.
b. Akad antara Pemerintah dan Peserta-Individu sebagai Penerima Bantuan Iuran (PBI)
adalah akad hibah, yang diserahterimakan kepada BPJS Kesehatan sebagai wakil dari
Peserta-Kolektif;
c. Akad antara Peserta-Kolektif dan BPJS Kesehatan adalah akad wakalah atau akad
wakalah bil ujrah;
d. Akad wakalah atau wakalah bil ujrah sebagaimana dimaksud pada angka tiga dapat
mencakup pemberian kuasa untuk:
1. Kegiatan administrasi;
2. Pengelolaan portofolio risiko;
3. Investasi/Pengembangan DJS;
4. Pembayaran klaim (dari BPJS ke Faskes); dan
5. Pemasaran (Promosi)/sosialisasi.
e. Akad antara BPJS Kesehatan dan pihak lain dalam rangka pengembangan Dana
Jaminan Sosial Kesehatan adalah akad mu’awadhat, baik dalam bentuk jual beli, ijarah,
maupun akad yang berbasis bagi hasil;
19
f. Akad antara Pemerintah dan BPJS Kesehatan sebagai wakil Peserta Kolektif adalah
akad hibah untuk menanggulangi Dana Jaminan Sosial Kesehatan yang bernilai
negatif; atau akad qard apabila pemerintah belum memiliki anggaran khusus;
g. Akad antara BPJS kesehatan dengan peserta-kolektif adalah akad kafalah atau akad
qard untuk menanggulangi Dana Jaminan Sosial Kesehatan yang bernilai negatif;
h. Akad antara BPJS Kesehatan dan Peserta-Kolektif adalah akad kafalah atau akad
qardh untuk menanggulangi kesulitan likuiditas aset Dana Jaminan Sosial Kesehatan;
i. Akad antara Pemerintah dan BPJS Kesehatan sebagai wakil peserta-kolektif adalah
akad kafalah atau qardh dalam hal BPJS Kesehatan tidak dapat memberikan talangan,
atau dapat memberikan talangan namun tidak mencukupi untuk menanggulangi
kesulitan likuiditas aset Dana Jaminan Kesehatan; dan
a. BPJS Kesehatan harus memberikan kemudahan bagi semua peserta BPJS di seluruh
wilayah Indonesia untuk mendapatkan pelayanan yang baik sesuai dengan hak mereka;
20
d. BPJS Kesehatan wajib menunaikan kewajibannya dengan baik kepada Fakes sesuai
perjanjian;
f. Faskes/Rumah Sakit wajib memberikan imbal jasa yang berasal dari BPJS Kesehatan
kepada para dokter dan paramedik serta semua unsur di dalam Faskes sesuai dengan
prinsip keadilan dan prinsip-prinsip syariah serta peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
b. Dalam hal Pemerintah belum memiliki alokasi anggaran untuk menangulangi Dana
Jaminan Sosial bernilai negatif, pemerintah pemerintah dapat menanggulanginya
dengan akad qard; dan
c. dalam hal pemerintah belum menghibahkan dana untuk mencukupi DJS yang
bernilai negatif, maka BPJS Kesehatan wajib memberikan dana talangan kepada DJS
dengan menggunakan akad qard atau kafalah.
21
• Ketentuan terkait Penempatan dan Pengembangan DJS
a) BPJS Kesehatan wajib memiliki rekening penampungan DJS pada bank
syariah;
b) BPJS Kesehatan sebagai wakil Peserta-Kolektif wajib melakukan pengelolaan
portofolio DJS sesuai dengan prinsip-prinsip syariah;
c) BPJS Kesehatan sebagai wakil Peserta-Kolektif tidak boleh mengembangkan
DJS pada kegiatan usaha dan/atau transaksi keuangan yang bertentangan
dengan prinsip-prinsip syariah; dan
d) BPJS Kesehatan sebagai wakil Peserta-Kolektif dalam upaya mengembangkan
DJS harus menggunakan akad-akad yang sesuai prinsip-prinsip syariah.
• Ketentuan terkait Sanksi
a) BPJS Kesehatan boleh mengenakan sanksi (tazir) kepada Pemberi Kerja atau
Peserta-Individu dengan ketentuan berikut:
3. Tingkatan berat atau ringannya sanksi (tazir) dapat diberlakukan sepadan dengan
jenis dan tingkatan pelanggarannya; dan
22
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perbedaan antara asuransi konvensional dan syariah jika dilihat dari beberapa
hal yang paling mendasar, yaitu:
1. Keberadaan Dewan Pengawas Syariah dalam perusahaan asuransi syariah. kebijakan
investasi supaya senantiasa sejalan dengan syariat Islam.
2. Prinsip akad asuransi syariah adalah takafuli (tolong-menolong).
Sedangkan akad asuransi konvensional bersifat tabaduli (jual beli antara nasabah
dengan perusahaan).
3. Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi) diinvestasikan
berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil (mudharabah). Sedangkan pada asuransi
konvensional, investasi dana dilakukan pada sembarang sektor dengan sistem bunga
Jaminan sosial dapat diartikan secara luas dan dapat pula diartikan secara
sempit. Dalam pengertiannya yang luas jaminan sosial ini meliputi berbagai usaha
yang dapat dilakukan oleh masyarakat dan/atau pemerintah. Jaminan sosial juga
berarti salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin agar seluruh rakyat
dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak. Jaminan sosial merupakan bagian
ruang lingkup dari kesejahteraan sosial, kesejahteraan sosial dalam hukum positif
adalah suatu keadaan sejahtera yang penuh, baik jasmaniah, rohaniah, maupun sosial,
dan bukan hanya perbaikan dari keburukan-keburukan sosial tertentu.
23
DAFTAR PUSTAKA
Capra, U. (1997). Al-Qur'an Menuju Sistem Moneter yang Adil. Yogyakarta: PT Dana
Bakti Prima Yasa.
Kasmir. (2013). Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta: Rajawali press.
Soemitra, A. (2019). Hukum Ekonomi Syariah dan Fiqh Muamalah. Jakarta: Kencana.
Sula, M. S. (2004). Asuransi Syariah (Life and General): Konsep dan Sistem
Operasional, Cet ke-1. Jakarta: Gema Insani Press.
24