Anda di halaman 1dari 14

KULLIYAH AL-KHAMSAH

(KAIDAH KEEMPAT)
Tugas ini disusun untuk memenuhi mata kuliah
Kaidah Fiqhiyyah

Oleh:

Diah Ayu Irawati

Fitrotin Azizah

DosenPengampu:
Nurcholis

INSTITUT AGAMA ISLAM BANI FATTAH


TAMBAK BERAS JOMBANG
2016
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

DAFTAR ISI

BAB I:PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG.....................................................................3

B. RUMUSAN MASALAH.................................................................3

C. TUJUAN PENULISAN...................................................................3

BAB II: PEMBAHASAN

A. Pengertian Qaidah ...........................................................................5


B. Ragam Redaksi ..............................................................................6
C. Dasar Hukum Kaidah......................................................................7
D. Kaidah Cabang.................................................................................8
E. Cakupan ..........................................................................................11
F. Contoh penerapan pada kasus..........................................................12

BAB III: PENUTUP

A. Kesimpulan.....................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................14

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sebagaimana landasan aktifitas umat Islam sehari-hari dalam usaha memahami


maksud-maksud ajaran Islam secara lebih menyeluruh, keberadaan Qawa’id
Fiqhiyyah menjadi sesuatu amat penting. Baik dimata para alhi ushul (usuliyyun)
maupun Fuqaha, pemahaman terhadap Qawaid Fiqhiyyah adalah mutlak
diperlukan untuk melakukan suatu ‘’ijtihad’’ atau pembaruan pemikiran dalam
permasalahan-permasalahan kehidupan manusia

Dengan Qawaid Fiqhiyyah ini para Ulama’ dan Fuqaha dapat menyiapkan garis
hidup bagi umat Islamdalam lingkup yang berbeda dari waktu ke waktu dan
tempat ke tempat. Sebagaimana diketahui Islam memberi kesempatan kepada
umatnya melalui mereka tang memiliki otoritas yaitu para Ulama untuk
melakukan ‘ijtihad’ dengan berbagai cara yang ditentukan oleh Rasulullah SAW,
melalui ijma,qiyas, istihsan,istishab,dan istihlah (masalihul mursalah) dan
sebagainya untuk mencari kebenaran yang tak ditemukan dalan al-Quran maupun
hadits Rasulullah SAW.

Maka dalam makalah ini penulis akan membahas mengenai kaidah ke-empat dari
lima kaidah pokok dalam Qaidah Fiqhiyyah.

B. RUMUSAN MASALAH

Dari uraian latar belakang diatas maka kami meremuskan permasalahan yang
akan kami bahas meliputi pengertian kaidah ‫الضرر يزال‬, ragam redaksinya, dalil
dari kaidah ‫الضرر يزا‬, cakupan, kaidah cabang, contoh penerapan kaidah ‫الضرر يزال‬
pada kasus yang terjadi di era kontemporer ini.

3
C. TUJUAN PENULISAN

Adapun tujuan masalah berangkat dari rumusan masalah diatas adalah untuk
mengetahui pengertian kaidah ‫زال‬FF‫رر ي‬FF‫الض‬, ragam redaksinya, dalil dari kaidah
‫الضرر يزا‬, cakupan, kaidah cabang, contoh penerapan kaidah ‫ الضرر يزال‬pada kasus
yang terjadi di era kontemporer ini.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Qaidah
‫ يزال‬F‫الضرر‬
“Kemadlorotan itu harus dihilangkan “
Redaksi kata-kata dalam qaidah ini, menunjukkan bahwa kemudhoratan yang
telah terjadi wajib dihilangkan.
Adapun dasar / sumber kaidah ini adalah dari sabda Rasulullah SAW:
)‫الضرروالضرار (رواه ابن ماجه‬
Maksud hadis ini: Berbuat madlorotkepada diri sendiri itu tidak boleh, demikian
pula berbuat madlorot kepada orang lain.1
Bila ditinjau dari aspek bahasa kata-kata ‫ ضرر‬dan ‫ ضرار‬mempunyai makna yang
sama, namun obyeknya berbeda. Arti ‫رر‬FF‫ ض‬adalah perbuatan yang dilakukan
seorang diri yang berbahaya hanya pada diri sendiri, sementara ‫رار‬FF‫ ض‬adalah
perbuatan yang bersifat interelasi, yakni dilakukan oleh dua orang / lebih,dan
berbahaya pada diri sendiri serta orang lain. 2
‫ الضرر‬berarti berbuat kerusakan kepada orang lain secara mutlak, mendatangkan
kerusakan terhadap orang lain dengan cara yang tidak diijinkan oleh agama.
Sedangkan tidakan perusakan terhadap orang lain yang diijinkan oleh agama
seperti qishas, diyat, had dan lain-lain tidak dikategorikan berbuat kerusakan
tetapi muwujudkan kemaslahatan.3
Mengutip pendapat beberapa ulama dalam buku Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah karya
Dr.H.Toha Andiko, menurut Ibnu Atsir dalam kitabnya al-Nihayah , la dharara
artinya adalah la yadhurru al-rajulu al-rajulu (tidak diperbolehkan seseorang
berbuat bahaya terhadap saudaranya yang menyebabkan haknya menjadi
berkurang). Sedang al-Dirara menurut Ibnu Atsir adalah la yujazihi ‘ala idhrarihi

1
Moh. Adib Bisri, Risalah Qawaid Fiqh,hlm. 21
2
H.M. Yahya Khusnan Manshur,Ulasan Nadhom Qowaid Fiqhiyyah,(Jombang:Pustaka Al-Muhibbin
2011),hlm.81
3
Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawa’id al-Fiqhiyyah,hlm.252

5
bi idkhal al-dharari ‘alaihi (tidak diperbolehkan orang yang mendapat perlakuan
bahaya dari orang lain membalasnya dengan bahaya)
Menurut al-Zauhari, al-dhiraru adalah lawan kata dari manfaat. Oleh sebab itu,
kata ini mengukuhkan pada kata yang pertama (al-dhararu). Tapi menurut
mayoritas ulama, kedua kata itu artinya berbeda. Ibnu Hajar al-Haitami dalam
kitabnya Syarah al-Arbain al-Nawawiyah mengatakan kata al-dhararu artinya
berbuat kerusakan kepada orang lain dengan tujuan pembalasan yang tidak sesuai
dengan aturan yang ditetapkan oleh agama. Karena kata al-dhiraru yang fi’il
madhinya ikut pada wazan ‫ فاعل‬berarti musyarakah (dua orang melakukan satu
pekerjaan).4
Dari berbagai definisi diatas dapat disimpulkan bahwa seseorang tidak
diperbolehkan berbuat bahaya terhadap orang lain dan membalasnya dengan
perbuatan bahaya, jika mendapat perlakuan bahaya.

B. Ragam Redaksi

Dalam kitab al-Wajiz karya Syeh Muhammad Shodiqi bin Ahnad al-Bauroni
menukil dari kitab Qowaidul Khodimi disebutkan kaidah :
‫ ال يزال بمثله‬F‫الضرر‬5
“kemadlorotan tidak dapat dihilangkan dengan dloror (madlorot) yang sepadan
dengannya”
As –suyuthi menyebutkan dalam kitabnya
‫الضرر يزال بالضرر‬6
“kemadlorotan tidak dapat dihilangkan dengan dloror (madlorot) yang lain”
Contoh: seandainya ada seorang laki-laki yang terluka, ketika dia sujud darahnya
mengalir, akhirnya dia sholat dengan duduk, karena dia meninggalkan sujud lebih
ringan daripada shalat dengan membawa hadas ketika dia sujud. Karena
meninggalkan sujud itu lebih ringan dari pada sholat bersama najis, karena
4
Toha Andiko, Ilmu Qawaid Fiqhiyyah, (Yogyakarta:TERAS,2011),hlm.110.
5
Muhammad Shodiqi bin Ahnad al-Bauroni, al-Wajiz fi Idhohi Qowaid al-Fiqh al-Kulliyyah,
hlm.202.
6
As-Suyuthi, Asybah wa Nadhoir, hlm. 86.

6
sejatinya darah itu najis dan menjijikkan. Maka sebagaimana meninggalkan sujud
dalam kondisi seperti ini bisa menghilangkan madhorot yang lain.

C. Dasar Hukum Kaidah

Kaidah ini ditetapkan berdasarkan dalil naqli dan aqli. Dalil naqli dari kaidah ini
berupa al-qur’an, hadis, dan ijma’. Ayat al-qur’an yang menjelaskan tentang
larangan melakukan dharar diantaranya:
a.       Surat al-Baqarah ayat 231
ّ
‫تمسكوهن ضرارا لتعتدوا‬ ‫وال‬
b.      Surat ath-Thalaq ayat 6
ّ
‫عليهن‬ ّ ‫وال تضار‬
‫ّوهن لتضيّقوا‬
c.       Surat an-Nisa’ ayat 12
‫ بها أو دين غير مضا ّر‬F‫من بعد وصيّة يوصى‬
d.      Surat al-Baqarah ayat 282
‫ر كاتب وال شهيد‬Fّ ‫ وال يضا‬F‫وأشهدوا اذا تبايعتم‬

Sedangkan hadis Nabi yang mendukungnya, diantaranya hadis yang jalur


periwayatannya dianggap valid dan menjadi dasar dari qaidah ini adalah hadis
yang diriwayatkan oleh al-Hakim dari Abi Sa’id al-Hudri:

‫ ضارضاره هللا ومن شاق هللا عليه‬F‫الضرروالضرارمن‬

“Tidak boleh berbuat dharar (bahaya) dan membalas perbuatan bahaya kepada
orang lain, bagi siapa yang berbuat bahaya kepada orang lainmaka Allah akan
berbuat bahaya kepada orang tersebut, dan bagi siapa yang mempersulit orang
lain, maka Allah akan mempersulit dia.”

Potongan hadis diatas juga terdapat dalam riwayat Imam al-Bukhari:

7
‫ومن شاق شاق هللا عليه يوم القيامة‬

“Bagi siapa menyulitkan kepada orang lain, maka Allah akan menyulitkan dia di
hari kiamat nanti.”

D. Kaidah Cabang
1. ‫الضرورة تبيح المحظورات‬
“Keadaan dlorurot dapat memperbolehkan seseorang melakukan perkara yang
asalnya dilarang”
Tetapi apa yang diperblehkan karena dlarurat itu, harus diperkirakan kadar
kedlaruratannya. Jadi kalau dlaruratnya itu sekedar untuk mempertahankan hidup
misalnya, sedangkan seandainya makan sedikit saja sudah hilang dlarurat tersebut,
maka diperbolehkannya makan makanan yang haram (kalau yang ada hanya itu!)
haruslah sedikit saja, kecuali apabila orang yang menderita dlarurat itu hendak
berjalan jauh yang membutuhkan makan kenyang.
Syarat ini mengecualikan beberapa masalah, diantaranya ialah: “Bai’ul-araya dan
Li’an”
a. Bai’ul-araya : menjual korma atau anggur yang masih diatas pohon. Hal ini
mestinya tidak boleh, tetapi karena bagi orang-orang fakir yang sangat
membutuhkan uang, sehingga sangat butuh untuk menjual korma atau anggurnya
yang masih diatas pohon, maka diperbolehkan menjualnya. Kemudian Bai’ul-
araya ini tetap diperbolehkan, meskipun bagi orang kaya.
b. Li’an: Yakni mendakwa isteri telah berzina. Diperbolehkannya li’an ini,asalnya
adalah karena sulitnya mendatangkan empat saksi. Namun kemudian li’an ini
tetap boleh, sekalipun mungkin dapat mengajukan empat saksi.
Tingkat-tingkat dlarurat.
Ada lima tingkat kedlaruratan yang berhubungan dengan kaidah ini yaitu:
a. Dlarurat: yaitu keadaan seseorang y ang apabila tidak segera mendapat
pertolongan, maka ia diperkirakan bisa mati atau hampit mati.

8
Misalnya: ada seseorang yang sangat kelaparan, wajahnya sudah pasi, badan
gemetaran dan keringat dingin berlelehan. Kadar dlarurat inilah yang bisa
menyebabkan diperkenankannya makan makanan yang haram
b. Hajat: yaitu keadaan seseorang yang sekira tidak segera ditolong, menyebabkan
kepayahannya, tetapi tidak sampai menyebabkan kematian, dalam keadaan seperti
ini, orang tersebut tidak bisa menghalalkan barang yang haram.
c. Manfa’at: adalah sesuatu yang dimaksud untuk mencari nilai tambah,seperti
halnya orang yang mengkonsumsi roti gandum dan daging kambing (sebagai
tambahan pada kebutuhan tubuhnya)
d. Zinah: adalah sesuatu yang dimaksudkan untukmencari suatu kepuasan dan
kesenangan (tingkatannya berlebihan namun tetap halal), seperti ingin membeli
pakaian sutra padahal pakaian biasa sudah cukup,dan ingin membeli perhiasan.
e. Fudlul: menganggap ringan barang yang haram dan syubhat.
2. ‫الضرر ال يزال بالضرر‬
“Kesulitan tidak dapat dihilangkan dengan kesulitan baru”

Maksud dari kaidah ini adalah bahwa menghilangkan suatu kemadharatan tidak
boleh menimbulkan kemadharatan lain yang sama atau madharat yang lebih
banyak. Dengan kata lain, dalam menghilangkan madharat, tidak boleh
menimbulkan bahaya yang lain selama memungkinkan, namun jika tidak
memungkinkan maka harus memilih bahaya yang lebih ringan.

Contoh kaidah:

Misalnya seseorang naik sepeda motor. Di depannya ada dua orang berjalan kaki.
Tiba-tiba tanpa dapat dicegah lagi, sepeda motor sudah akan menubruk salah
seorang dari pejalan kaki, maka untuk menghindarinya, pengendara sepeda motor
itu tidak boleh lantas membelokkan sepeda motornya kearah pejalan kaki yang
satunya lagi, sebab demikian itu namanya menghindari bahaya dengan bahaya
lain. Kecuali apabila bahaya yang satu lebih besar daripada bahaya yang lain,
maka berlakulah kaidah:
‫إذااجتمع الضرران فلعليكم بأخفهما‬

9
” manakala berkumpul dua bahaya, maka ambillah yang lebih ringan”7
a. Misalnya seperti contoh diatas, pengendara speda motor boleh
membelokkan sepeda motornya yang akan menubruk orang, kearah seekor
kambing.
b. Jika ada orang kelaparan menemukan bangkai serta makanan milik orang
lain, maka ia memilih untuk memakan bangkai. Sebab di perbolehkannya
memakan bangkai baginya hal ini menurut ketentuan nash, sedangkan di
perbolehkannya makanan milik orrang lain itu menurut ketentuan ijtihad
ulama’.
Kaidah ini mirip dengan kaidah
‫إذااجتمعت المفسدتان فلعيكم بأخفهما‬
“manakala dua mafsadah berkumpul,maka ambillah yang lebih ringan dari
padanya”8
Misalnya: seseorang sakit dan kata dokter harus di operasi, sedangkan operasi itu
berbahaya. Orang tersebut dihadapkan pada pilihan : sakit terus, ataukan sakit
sementara (operasi). Yang lebih bahaya adalah sakit terus, karena itu ia harus
memilih operasi.
Dan dalam contoh lainnya adalah :
1. Orang yang dlorurat tidak boleh maka makanan orang lain yang sama-
sama dlaruratnya.
2. Orang yang dlarurat tidak boleh memotong sebagian dagingnya sendiri.
3. Orang yang dlarurat tidak boleh memakan anak nya sendiri.
3. ‫درء المفاسد اولى من جلب المصالح‬
“menolak kerusakan itu lebih didahulukan daripada menarik
kemaslahatan(kebaikan).”
Dasar kaidah ini adalah firman Allah swt Qs Albaqarah: 219,
"Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada
keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi
dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya".

7
Moh. Adib Bisri, Risalah Qawaid Fiqh,hlm. 23
8
Ibid., hlm.24.

10
Para ulama’ mengutamakan menolak segala kerusakan, daripada menarik segala
kemaslahatan. Oleh karena itu apabila terdapat pertentangan antara mafsadah dan
maslahah, maka yang didahulukan adalah menolak kerusakan.
Misalnya: seorang muslim berkewajiban mendatangi shalat jum’at. Disamping itu,
ia juga berkewajiban menunggui istrinya yang sedang sakit keras, dimana tidak
ada yang menunggu kecuali dia. Ia mesti mempertimbangkan: pergi shalat jum’at
atau menunggui istri?. Kalau ia pergi jum’atan ia mendapat kebaikan, tetapi istri
tidak ada yang merawat, sedangkan jika ia menunggui istri, maka istri terhindar
dari terlantar, namun ia tidak memperoleh pahala jum’atan. Perpegang pada
kaidah ini, maka menunggu istri lebih diutamakan daripada mendatangi shalat
jum’at.
E. Cakupan terbangunnya hukum-hukum syariah
Sebagai salah satu dari al-Qawaid al-Khams, kaidah ini mempunyai skala
cakupan yang sangat luas dan menyeluruh, sehingga mampu menjangkau hampir
semua elemen kehidupan dan menjadi prinsip dasar. Namun dalam cacatan
muhammad Shidqy, initi kaidah ini hanya menegaskan soal kewajiban
menghilangkan dlarar setelah ia menimpa kita. Artiya, permasalahan furu’iyyah
yang termuat didalamnya adalah persoalan dimana dlarar-nya yang sudah terjadi
dan harus segera dihilangkan.9 Banyak permasalahan yang terangkum dalam
kaidah ini, diantaranya adalah formulasi hukum muamalah, hudud, qisash, yang
pada intinya, adalah menolak mudlarat yang sudah terjadi.

F.Contoh penerapan pada kasus

a. Seorang bayi boleh saja menyusu kepada wanita lain, bila air susu ibunya
tidak memadai, atau karena suatu hal, ibu kandung bayi tidak dapat
menyusuinya.

9
Abdul Haq,Formulasi Nalar Fiqih,(Surabaya : Khalista,2009),cet.V,hlm.215

11
Dikatakan haram karena, bahwa Bank Asi ini akan menyebabkan tercampurnya
nasab, karena susuan yang mengharamkan bisa terjadi dengan sampainya susu
keperut bayi tersebut.
Diperbolehkan, jika memenuhi syarat yang sangat ketat yaitu : Setiap asi yang di
kumpulkan di Bank Asi, harus di simpan di tempat khusus dengan menulis nama
pemiliknya dan dipisahkan dari Asi-asi yang lain. Setiap bayi yang mengambil
Asi tersebut harus ditulis juga dan harus di beritahukan kepada pemilik Asi
tersebut supaya jelas nasabnya.10
Islam mengatur, jika si ibu bayi tidak dapat mengeluarkan air susu atau dalam
situasi lain, si ibu bayi meninggal maka si bayi harus di carikan ibu susu. Dalam
hal tersebut dapat di kaitkan dalam kaidah ke 4 yaitu
‫ض َر ُر يُزَ ا ُل‬
َّ ‫“ ال‬kemadlaratan harus di hilangkan” .
Karena untuk memberikan prtolongan kepada semua yang lemah, apapun
kelemahannya. Yang bersangkutan adalah bayi yang baru di lahirkan yang tidak
mempunyai daya dan kekuatan.

b. Seorang suami boleh beristeri lebih dari satu orang jika isteri di dapati cacat /
penyakit, isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri.

10
Mahjudin, masailul fiqhiyyah: Berbagai Kasus Yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini,Cet.V,
(Jakarta: Kalam Mulia,2013)hlm.120.

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Pada qaidah “Ad-dhororu yuzalu” dapat disimpulkan bahwa seseorang tidak
diperbolehkan berbuat bahaya terhadap orang lain dan membalasnya dengan
perbuatan bahaya, jika mendapat perlakuan bahaya.
2. Dalam kitab al-Wajiz karya Syeh Muhammad Shodiqi bin Ahnad al-Bauroni
menukil dari kitab Qowaidul Khodimi disebutkan kaidah :
‫ ال يزال بمثله‬F‫الضرر‬
“kemadlorotan tidak dapat dihilangkan dengan dloror (madlorot) yang sepadan
dengannya”
As –suyuthi menyebutkan dalam kitabnya
‫الضرر يزال بالضرر‬
“kemadlorotan tidak dapat dihilangkan dengan dloror (madlorot) yang lain”
3. Kaidah ini ditetapkan berdasarkan dalil naqli dan aqli. Dalil naqli dari kaidah ini
berupa al-qur’an, hadis, dan ijma’
4. Kaidah cabang dalam Kaidah ini diantaranya:
‫الضرورة تبيح المحظورات‬
“Keadaan dlorurot dapat memperbolehkan seseorang melakukan perkara yang
asalnya dilarang”
‫الضرر ال يزال بالضرر‬
“Kesulitan tidak dapat dihilangkan dengan kesulitan baru”

‫درء المفاسد اولى من جلب المصالح‬


“menolak kerusakan itu lebih didahulukan daripada menarik
kemaslahatan(kebaikan).”

13
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Haq,Formulasi Nalar Fiqih,(Surabaya : Khalista,2009)


Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawa’id al-Fiqhiyyah.
As-Suyuthi, Asybah wa Nadhoir
H.M. Yahya Khusnan Manshur,Ulasan Nadhom Qowaid Fiqhiyyah,
(Jombang:Pustaka Al-Muhibbin 2011).
Mahjudin, masailul fiqhiyyah: Berbagai Kasus Yang Dihadapi Hukum Islam
Masa Kini,Cet.V, (Jakarta: Kalam Mulia,2013)
Moh. Adib Bisri, Risalah Qawaid Fiqh.
Muhammad Shodiqi bin Ahnad al-Bauroni, al-Wajiz fi Idhohi Qowaid al-Fiqh al-
Kulliyyah
Toha Andiko, Ilmu Qawaid Fiqhiyyah, (Yogyakarta:TERAS,2011)

14

Anda mungkin juga menyukai