Anda di halaman 1dari 8

BAB II

A. Kaidah pertama
‫ال ضرر وال ضرار‬
“Tidak boleh membuat bahaya untuk diri sendiri dan orang lain.”
Qaidah ini, berasal dari hadis Nabi yang ditakhrijkan oleh Imam Malik dalam
kitabnya al-Muwatha’ dari Amr bin Yahya dari ayahnya yang digolongkan hadis mursal.
Tetapi hadis itu juga diriwayatkan oleh Imam Al Hakim dalam kitabnya Al-Mustadrak
dan Imam Al-Baihaqy dan ad-Daruquthny dari Sa’ied al-Khudry. Lafadl itu juga
ditakhrijkan oleh Ibnu Majah dari Ibnu Abbas dan Ubadah ash-Shamit. Qaidah yang
berasal dari hadis tersebut berlaku untuk semua lapangan hukum, baik muamalah,
ibadah, munakahat, maupun jinayah.1
Mudharat secara etimologi adalah berasal dari kalimat "al-Dharar" yang berarti
sesuatu yang turun tanpa ada yang dapat menahannya. Al-dharar (‫ ) الضرر‬adalah
membahayakan orang lain secara mutlak, sedangkan al-dhirar (‫ ) الضرار‬adalah
membahayakan orang lain dengan cara yang tidak disyariatkan. Dalam al-Qur’an ayat-
ayat yang mengandung kata yang berakar dari ‫ ضرر‬,Ayat-ayat itu seluruhnya menyuruh
mengusahakan kebaikan dan melarang tindakan merugikan;
 Keharusan mengikuti ajakan perbaikan hubungan (‫ ) إصالح‬suami isteri (QS. al-
Baqarah ayat 228),
 Larangan merujuki isteri dengan maksud yang tidak baik (QS. al-Baqarah ayat
231),
‫ارا ِلت َ ْعتَدُوا‬ ِ ‫َو َال ت ُ ْم‬
ً ‫سكُوهُنَّ ِض َر‬
“Dan janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena
dengan demikian kamu menganiaya mereka.”
 Larangan membuat keputusan yang merugikan dalam pembagian warisan ( QS.
al-Nisa ayat 12),
 Larangan saling merugikan antar anggota rumah tangga suami, isteri dan anak
(QS. al-Baqarah ayat 233), dan

1
Sudirman Suparmin, Al-Qawaid Al-Fiqhiyah Al-Khassah Fil Al-Ibadah Wa Tatbiqatihah, Jurnal Al-Irsyad
Vol. III, 2013. Hal. 7.

1
 Larangan menyusahkan isteri ( QS. al-An’am ayat 6).
Sedangkan Dharar secara terminologi ada beberapa pengertian diantaranya adalah
Abu Bakar al-Jashas, mengatakan makna Dharar adalah ketakutan seseorang pada
bahaya yang mengancam nyawanya atau sebagian anggota badannya.
 Menurut al-Dardiri, Dharar ialah menjaga diri dari kematian atau dari kesusahan
yang teramat sangat.
 Menurut sebagian ulama dari Mazhab Maliki, Dharar ialah mengkhawatirkan
diri dari kematian berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar dugaan.
 Menurut al-Suyuti, Dharar adalah posisi seseorang pada sebuah batas, kalau ia
tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau nyaris
binasa.
 Al-Nadwi mengutip pendapat al-Khusni mengatakan bahwa dhirar adalah
sebagai perbuatan yang menguntungkan diri sendiri tetapi merugikan orang lain,
sedangkan dharar adalah perbuatan yang merugikan orang lain tetapi tidak
menguntungkan diri sendiri.
Berdasarkan pendapat para ulama di atas, dapat diambil simpulan, bahwa Dharar
adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak
diselesaikan maka akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan
manusia.2

B. Kaidah Kedua
‫الضرر یزال‬
“Kemudharatan itu harus dihilangkan.”
Kaidah ini disebut sebagai kaidah dharurah yang berarti adanya suatu keadaan yang
jika aturan hukum dilaksanakan sesuai tuntutan aslinya, seorang mukallaf akan
memperoleh mafsadah yang berhubungan dengan hifdzu an-nafs atau memelihara jiwa.
Kaidah ini disusun berdasarkan Q.S al-Baqarah ayat 173, 195 dan 233, Q.S Al- An’am
ayat 143.
Kaidah ini juga berkaitan dengan kaidah lain yaitu :

2
Fathurrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, Lembaga Pemberdayaan Kualitas Ummat,
Banjarmasin, 2015, Hal. 101-102.

2
‫َان‬ ِ ْ ‫الض ََر ُر یُ ْدفَ ُع بِقَد ِْر‬
ِ ‫اْل ْمك‬
“Kemudharatan itu harus dihindarkan sedapat mungkin.”
Kaidah ini mewajibkan melakukan usaha-usaha preventif agar jangan terjadi suatu
kemudharatan dengan segala daya upaya yang mungkin dapat dilakukan. Penerapan
kaidah ini dicontohkan oleh Umar bin Khattab yang membakar kedai arak agar jangan
sampai terjadi kerusakan-kerusakan yang lebih besar. Kaidah ini semakna dengan
metode saddu dzar’iyah.3
Demikian pula usaha (Ijtihad) Abu Bakar untuk mengadakan penulisan alQuran
agar jangan sampai ada yang hilang atau terlupakan. Begitu juga tindakan
(Ijtihad)Usman bin Affan dalam usahanya mengumpulkan al-Quran untuk dijadikan
sebagai sebuah mushaf. Selanjutnya dalam pelayaran dengan kapal laut, di mana kapal
demikian olengnya dan kesulitan (musyaqqah) yang menimpanya, maka besar
kemungkinan akan tenggelam apabila semua barang yang ada didalamnya tidak dibuang
kelaut. Kondisi semacam itu diperbolehkan membuang barang kelaut meskipun tidak
seizin yang empunya demi kemaslahatan penumpang, yaitu menolak bahaya yang
mengancam keselamatan jiwa mereka karena adanya Masyaqqah.4
Penerapan Qaidah dalam bidang muamalah : “Kemudharatan wajib dihilangkan”.
a. Mengembalikan barang yang telah dibeli lantaran adanya cacat dalam masa khiyar
diperbolehkan. Begitu pula larangan terhadap mahjur (orang yang dilarang
membelanjakan harta kekayaannya ), muflis ( yang jatuh pailit, yang safih ( orang
dungu) untuk bertransaksi. Dasar pertimbangan diberlakukan ketentuan tersebut untuk
menghindarkan sejauh mungkin bahaya yang merugikan pihak-pihak yang terlibat di
dalam transaksi tersebut.
b. Jika seseorang meminjam uang dengan kadar tertentu, kemudian uang tersebut tidak
berlaku lagi karena penggantian uang, atau yang lainnya, maka menurut Abu Yusuf
(w.182 H) orang tersebut wajib mengembalikannya sesuai dengan harga uang tersebut,
yaitu pada hari akhir berlakunya uang pinjaman tersebut.

3
Abddul Ghofur Anshori dan Yulkarnain Harahab, Hukum Islam Dinamika dan Perkembangannya di
Indonesia, Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2008, Hal. 198.
4
Hamsidar, Al Daraaru Yuzalu (Salah Satu Kaidah Ushuliyah) Yang Berkesesuaian Dengan Kondisi
Membahayakan Dan Menyulitkan, Jurnal Ekspose Vol. XXIII, 2014, Hal. 119-120.

3
c. Hakim berhak mencegah orang yang berutang untuk bepergian (safar) atas
permintaan yang punya piutang sehingga ia menunjuk seorang wakil yang mewakilinya
dan tidak boleh ia memberhentikan wakilnya selama ia dalam bepergian, untuk
menghilangkan mudharat (bahaya) bagi yang punya piutang.5

C. Kaidah ketiga
‫الضرر ال یزال بالضرر‬
“Kemudharatan itu tidak dapat dihilangkan dengan kemudharatan yang lain”.
Kaidah ini menjelaskan bahwa suatu perbuatan yang membawa kemudharatan itu
tidak boleh dihilangkan dengan suatu perbuatan yang mendatangkan kemudharatan lain
yang sebanding. Sebab apabila demikian halnya, maka perbuatan tersebut merupakan
perbuatan yang sia-sia belaka. Contoh, bahwa tidak boleh bagi seseorang yang sedang
dalam kelaparan mengambil makanan orang lain yang juga akan mati kelaparan, apabila
makanannya hilang. Begitu pula, bagi seorang dokter dilarang mengobati pasien yang
memerlukan darah, dengan mengambil darah orang lain yang apabila diambil darahnya
akan mengalami kekurangan darah. Melalui kaidah ini dapat pula diambil sebuah
contoh dua orang yang terapung-apung di atas lautan akibat kapal yang ditumpanginyya
pecah. Salah satu dari mereka mendapatkan sekeping papan untuk mengapung di atas
air sekedar bertahan sampai ada tim penolong datang. Tetapi juga kawanya yang juga
ingin sekali menyelamatkan jiwanya dari bahaya maut merebut papan tersebut dan
karena papan itu tidak dapat menampung dua orang ia hatrus mengorbanka kawanya
yang sudah berada di atas papan. Maka tindakan orang yang merebut karena darurat
terhadap sesuatu yang dianggap darurat pula oleh kawan yang direbutnya tidak
dibenarkan oleh syariat.6
Kebolehan berbuat atau meninggalkan sesuatu karena dharar adalah untuk
memenuhi penolakan terhadap bahaya, bukan yang selain yang demikian itu. Dalam
kaitan ini Wahbah az-Zuhaily membagi kepentingan manusia akan sesuatu dengan lima
klasifikasi, yaitu:
a. Dharar, yaitu kepentingan manusia yang diperbolehkan menggunakan sesuatu
yang dilarang, karena kepentingan itu menempati puncak kepentingan manusia,

5
Fathurrahman Azhari, Op.cit, hal. 113-114.
6
Hamsidar, Op.cit, hal. 118-119.

4
apabila tidak dilaksanakan maka mendatangkan kerusakan. Kondisi semacam ini
memperbolehkan segala yang diharamkan atau dilarang, seperti memakai pakaian
sutra bagi lakilaki yang telanjang, dan sebagainya.
b. Hajat, yaitu kepentingan manusia akan sesuatu yang apabila tidak dipenuhi
mendatangkan kesulitan atau mendekati kerusakan. Kondisi semacam ini tidak
menghalalkan yang haram. Misalnya seorang lakilaki yang tidak mampu berpuasa
maka diperbolehkan berbuka dengan makanan halal, bukan makanan haram.
c. Manfaat, yaitu kepentingan manusia untuk menciptakan kehidupan yang layak.
Maka hukum diterapkan menurut apa adanya karena sesungguhnya hukum itu
mendatangkan manfaat. Misalnya makan makanan pokok seperti beras, ikan, sayur-
mayur, lauk-pauk, dan sebagainya.
d. Zienah, yaitu kepentingan manusia yang terkait dengan nilai-nilai estetika.
e. Fudhul, yaitu kepentingan manusia hanya sekedar utuk berlebih-lebihan, yang
memungkinkan mendatangkan kemaksiatan atau keharaman. Kondisi semacam ini
dikenakan hukum sadd al-dzariah, yakni menutup jalan atau segala kemungkinan
yang mendatangkan mafsadah.7

D. Kaidah keempat
‫یحتمل الضرر الخاص ألجل الضرر العام‬
“Kemudharatan yang khusus boleh dilaksanakan demi menolak kemudharatan yang
bersifat umum”.
Contoh penerapan kaidah ini banyak sekali, diantaranya :
1. Boleh melarang tindakan hukum seseorang yang membahayakan kepentingan
umum. Misalnya, mempailitkan suatu perusahaan demi menyelamatkan para
nasabah.
2. Menjual barang-barang debitor yang sudah ditahan demi untuk membayar
utangnya kepada kreditor.
3. Menjual barang-barang timbunan dengan cara paksa untuk kepentingan umum.

7
Fathurrahman Azhari, Op.cit, hal. 103-104.

5
4. Boleh memenjarakan orang yang menolak memberikan nafakah kepada orang-
orang yang wajib dinafkahinya.8

E. Kaidah kelima
‫ ما أبح للضرورة یتقدر بقدرها‬atau ‫الضرورة یقدر بقدرها‬
“Darurat itu dinilai berdasarkan kadarnya, atau apa yang dibolehkan berdasarkan
darurat ditetapkan berdasarkan ukurannya”.
Kaidah ini menunjukkan bahwa segala sesuatu yang dibolehkan karena kondisi
darurat, tidak membebaskannya melakukan hal yang dilarang tersebut sesuai
kehendaknya. Melainkan dibatasi oleh kemudharatan yang mungkin diakibatkannya.
Sehingga tujuan pembolehan itu hanya untuk menghindari terwujudnya kemudharatan
ataupun menghindari kebinasaan. Selain itu, menurut Wahbah Zuhaili, pembolehan itu
hanyalah penghapusan penyiksaan bukan penghapusan kewajiban mengganti. Kaidah
ini berhubungan dengan kaidah sebelumnya. Sehingga penerapannya pun dapat berlaku
dalam satu perbuatan, seperti kebolehan memakan bangkai atau daging babi sepuasnya,
melainkan dalam batas sekedar menyelamatkan jiwa dan raga.
Kebolehan tersebut hanya sekedar untuk menghilangkan kemudharatan yang
sedang menimpa. Maka apabila kemudharatan atau suatu keadaan yang memaksa telah
hilang, maka kebolehan terhadap yang didasarkan atas kemudharatan ini menjadi hilang
pula, artinya perbuatan itu kembali ke-asal mulanya yakni telah dilarang. Ringkasnya,
bahwa darurat itu merupakan suatu keadaan yang dikecualikan. Maka kebolehan yang
diberikan itu tentulah tidak mutlak, tetapi harus diukur dengan kadar yang diperlukan
saja. Misalnya bila boleh mencuri sepotong roti karena lapar, maka tidaklah boleh dia
mencuri sekarung tepung. Oleh karenanya orang yang makan bangkai karena lapar
dibolehkan sekedar untuk perlu mempertahankan jiwa. Sedangkan Imam Malik
membolehkan si yang lapar itu makan sampai kenyang bahkan boleh dijadikan bekalnya
sampai dia menemukan yang lain.9

8
A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih : Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam menyelesaikan Masalah-masalah
yang Praktis, Kencana, Jakarta, 2006, hal. 74.
9
Hamsidar, Op.cit, hal. 116.

6
BAB III

A. Kesimpulan

Ada beberapa kaidah fiqhiyyah yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat
dharuriyyah, yaitu :

‫ال ضرر وال ضرار‬


“Tidak boleh membuat bahaya untuk diri sendiri dan orang lain.”
‫الضرر یزال‬
“Kemudharatan itu harus dihilangkan.”
‫الضرر ال یزال بالضرر‬
“Kemudharatan itu tidak dapat dihilangkan dengan kemudharatan yang lain”.
‫یحتمل الضرر الخاص ألجل الضرر العام‬
“Kemudharatan yang khusus boleh dilaksanakan demi menolak kemudharatan
yang bersifat umum”.
‫ ما أبح للضرورة یتقدر بقدرها‬atau ‫الضرورة یقدر بقدرها‬
“Darurat itu dinilai berdasarkan kadarnya, atau apa yang dibolehkan berdasarkan
darurat ditetapkan berdasarkan ukurannya”.
Pada dasarnya semuanya berkaitan walaupun terpecah penjelasannya menjadi
beberapa cabang.
B. Saran
Bagi seorang hakim hendaklah mengetahui kaidah-kaidah fiqhiyyah, termasuk
salah satunya adalah kaidah yang membahas tentang hal-hal dharuriyyah karena
hal ini dapat membantu ummat dalam menyelesaikan permasalahan hidup
mereka.
Sekiranya jika dalam makalah kami ini terdapat kesalahan, maka sudilah kiranya
pembaca memberikan komentar, kritik dan saran demi perbaikan makalah ini
dimasa yang akan datang.

7
DAFTAR PUSTAKA

Anshori, Abddul Ghofur dan Yulkarnain Harahab. Hukum Islam Dinamika dan
Perkembangannya di Indonesia. Yogyakarta : Kreasi Total Media. 2008.
Azhari, Fathurrahman. Qawaid Fiqhiyyah Muamalah. Banjarmasin : Lembaga
Pemberdayaan Kualitas Ummat. 2015.

Djazuli, A. Kaidah-kaidah Fikih : Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam menyelesaikan


Masalah-masalah yang Praktis. Jakarta : Kencana. 2006.

Hamsidar. Al Daraaru Yuzalu (Salah Satu Kaidah Ushuliyah) Yang Berkesesuaian


Dengan Kondisi Membahayakan Dan Menyulitkan. Jurnal Ekspose Vol.
XXIII. 2014.

Suparmin, Sudirman. Al-Qawaid Al-Fiqhiyah Al-Khassah Fil Al-Ibadah Wa


Tatbiqatihah. Jurnal Al-Irsyad Vol. III. 2013.

Anda mungkin juga menyukai