Anda di halaman 1dari 6

Nama : MUHAMMAD RUSYDAN TAQWA BIN HARUN

Nim : 190103061
Prodi : PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
Dosen : DR. TARMIZI M. JAKFAR, M.Ag
Matakuliah : QAWAID FIQHIYYAH
__________________________________________________________________________________

Kaedah ke-4 : ‫يزال‬ ‫الضرار‬

A - Definisi Dan Konsep Kaedah


Kaidah ini memiliki sudut pandang yang sedikit mirip dengan kaidah sebelumnya.
َّ ‫اَل‬ berkaitan dengan kemudharatan yang terjadi di antara para hamba, dimana
Kaidah ‫ض َر ُر يُ َزا ُل‬
kemudharatan, kesulitan, dan sejenisnya sebisa mungkin dihilangkan di antara para hamba.
Sedangkan kaidah ‫س ْي َر‬ ُ ِ‫ت َْجل‬ ُ‫شقَّة‬
ِ ‫التَّ ْي‬ ‫ب‬ َ ‫اَ ْل َم‬  berkaitan dengan hak Allah, dimana Allah memberikan
kemurahan apabila ada kesulitan-kesulitan yang menimpa hamba-Nya maka Allah akan
memberikan kemudahan-kemudahan.
Kaidah “Ad-Dhararu Yuzalu” memiliki arti bahwa kemudharatan harus dihilangkan. Jadi
konsepsi kaidah ini memberikan pengertian bahwa manusia harus dijauhkan
dari idhrar (tindak menyakiti), baik oleh dirinya maupun orang lain.
Namun Dharar (Dharar) secara etimologi adalah berasal dari kalimat ‫ ض((رر‬yang berarti
kesakitan, kesempitan atau keadaan yang teruk. Sedangkan Dharar secara terminologi
menurut para ulama ada beberapa pengertian diantaranya adalah:
1. Dharar ialah posisi seseorang pada suatu batas dimana kalau tidak mau melanggar
sesuatu yang dilarang maka bisa mati atau nyaris mati.
2. Abu Bakar Al Jashas, mengatakan  “Makna Dharar disini adalah ketakutan
seseorang pada bahaya yang mengancam nyawanya atau sebagian anggota badannya karena
ia tidak  makan”.
3. Menurut Ad Dardiri, “Dharar ialah menjaga diri dari kematian atau dari kesusahan
yang teramat sangat”.
4. Menurut sebagian ulama dari Madzhab Maliki, “Dharar ialah mengkhawatirkan diri
dari kematian berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar dugaan”.
5. Menurut Asy Suyuti, “Dharar adalah posisi seseorang pada sebuah batas dimana
kalau ia tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau nyaris binasa.
Berdasarkan pendapat para ulama di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Dharar adalah
kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka
akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia.
B - Dasar Kaedah
Kaidah tersebut diatas sering diungkapkan dengan apa yang tersebut dalam hadits :

‫ﺍﺭ‬
َ ‫ﺿ َﺮ‬
ِ ‫ﻻﺿ َﺮ َﺭ َﻭﻻ‬
َ
Artinya : ”tidak boleh memudharatkan dan tidak boleh dimudharatkan” (HR. Hakim dan
lainnya dari Abu Sa’id Al-Khudri, HR. Ibnu Majjah dari Ibnu ‘Abbas)
Para ulama berbeda pendapat di dalam makna dharar dan dhirar.
Pendapat pertama, sebagian ulama mengatakan dharar sama dengan dhirar, keduanya
bermakna kemudharatan
Pendapat kedua, sebagian ulama yang lain mengatakan dharar berbeda dengan dhirar. Hal
ini karena Nabi memunculkan kedua lafadz tersebut tanpa terkecuali dan menafikan
kata dhirar sebagaimana dharar. Maka dalam hal ini, berlaku sebuah kaidah dalam bahasa
arab ‫اَلتَّأْ ِك ْي ُد‬  ‫اَل‬ ‫س‬ ِ ْ‫اِلتَّأ‬ ‫ا ْلكَاَل ِم‬ ‫فِي‬ ‫ص ُل‬
ُ ‫س ْي‬ ْ َ ‫اَأْل‬ artinya hukum asal dalam pembicaraan adalah penyebutan
kalimat yang bermakna baru bukan penekanan. Pada dasarnya ketika orang berbicara sebuah
kalimat baru setelah kalimat, maka hukum asalnya dia tidak berniat untuk mengulanginya
atau memberikan penegasan, melainkan kalimat kedua adalah kalimat dengan makna baru
yang berbeda dengan kalimat pertama.
Pada pendapat kedua ini, para ulama berbeda lagi tentang perbedaan dan makna masing-
masing dari dharar dan dhirar.
1. Dharar adalah memberi kemudharatan kepada orang lain agar dirinya mendapatkan
manfaat dengan hal tersebut. Seperti orang yang menanam mangga di halaman
rumahnya lalu tumbuh menjulang hingga ke halaman rumah tetangganya. Tetapi yang
boleh mengambil buah tersebut hanya dia, adapun tetangganya tidak.
Sedangkan dhirar adalah memberi kemudharatan kepada orang lain tetapi dirinya
tidak mendapat manfaat. Seperti ketika dia mengendarai mobil di tengah jalan yang
digenangi oleh air lalu terciprat sehingga mengenai pejalan kaki yang lewat di jalan
tersebut.
2. Dharar adalah memberikan kemudharatan kepada orang lain dengan status dia yang
memulai. Sedangkan dhirar adalah memberikan kemudharatan dengan status
membalas kemudharatan dari orang lain dengan kemudharatan yang lebih parah.
Kesimpulan dari perbedaan-perbedaan pendapat ini yaitu walaupun para ulama berbeda
pendapat dalam memaknai dharar dan dhirar, intinya segala kemudharatan apapun
bentuknya adalah hal yang terlarang yang harus dihilangkan.
C - Kaedah Cabang dan Kasus yang Diselesaikan

1. ‫ح‬ َ ‫ب ا ْل َم‬
ِ ِ ‫ص ال‬ ِ ‫س ِد ُمقَ َّد ٌم َعلَى َج ْل‬
ِ ‫د َْر ُء ا ْلمفَا‬
(menolak kemudharatan lebih diutamakan daripada mendatangkan kemaslahatan)
Kaidah ini diterapkan apabila maslahat dan mudharatnya bertembung, maka didahulukan
untuk meninggalkan maslahat demi menghindarkan diri dari mudharat yang akan timbul
walaupun harus mengorbankan maslahat yang bisa diraih.
Contoh :
1. Berkumur dan mengisap air kedalam hidung ketika berwudhu merupakan sesuatu
yang disunatkan, namun dimakruhkan bagi orang yang berpuasa karena untuk
menjaga masuknya air yang dapat membatalkan puasanya.
2. Pasangan suami isteri yang bergaduh dan tidak bisa berdamai lagi. Meneruskan rumah
tangga adalah maslahat bagi anak-anak dan maruah keluarga. Tetapi jika diteruskan,
boleh membawa kepada kemudaratan yang besar seperti pengabaian hak isteri dan
anak-anak, penyiksaan dan pergaduhan, maka perceraian adalah rahmat bagi menolak
mudarat.

2. َ ‫َان ُر ْو ِع َي أَ ْعظَ ُم ُه َما‬


‫ض َر ًرا‬ ِ ‫ض ا ْل ُم ْف‬
ِ ‫س َدت‬ َ ‫اِ َذا تَ َع‬
َ ‫ار‬
)apabila bertembung dua kemudaratan,maka dihindari yang lebih besar mudaratnya)
Kaidah ini diterapkan apabila dihadapkan pada dua kemudharatan yang tidak bisa dihindari
semuanya secara sekaligus, tidak boleh tidak harus dilakukan dan tidak ada pilihan ketiga.
Maka dalam hal ini sikap yang diambil adalah menempuh kemudharatan yang lebih ringan,
dan menghindari kemudaratan yang lebih berat.
Contoh :
Kisah orang badui yang kencing di masjid. Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, beliau
berkata, Seorang Arab Badui pernah memasuki masjid, lantas dia kencing di salah satu sisi
masjid. Lalu para sahabat menghardik orang ini. Namun Nabi shallallahu alaihi wa
sallam melarang tindakan para sahabat tersebut. Tatkala orang tadi telah menyelesaikan
hajatnya, Nabi shallallahu alaihi wa sallam lantas memerintah para sahabat untuk mengambil
air, kemudian bekas kencing itu pun disirami. (HR Bukhari no. 221 dan Muslim no. 284)
Kencing di masjid adalah mudharat karena dengannya masjid akan terkena oleh najis. Namun
jika orang badui tersebut dilarang maka kemudharatan yang lebih besar akan muncul yaitu air
kencingnya menjadi berhamburan. Pada kasus ini, Nabi dihadapkan pada dua kemudharatan
yang tidak bisa dihindari semua secara sekaligus, maka Nabi menempuh kemudharatan yang
lebih ringan dengan membiarkan orang badui tersebut.
3 ِ ‫يح ا ْل َم ْحظُ ْو َرا‬
‫ت‬ _ُ ِ‫ض ُر ْو َراتُ تُب‬
َّ ‫ال‬
(Kondisi darurat memperbolehkan sesuatu yang dilarang)
Tidak semua keterpaksaan itu memperbolehkan yang haram, namun keterpaksaan itu dibatasi
dengan keterpaksaan yang benar-benar tidak ada jalan lain kecuali hanya melakukan itu,
dalam kondisi ini maka yang haram dapat diperbolehkan memakainya. Batasan darurat
adalah hal yang mengancam eksistensi manusia, yang terkait dengan panca tujuan yaitu:
memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan dan
memelihara kehormatan atau harta benda.1

Contoh:
1. Seseorang di hutan tiada menemukan makanan sama sekali kecuali babi hutan dan
bila ia tidak memakannya akan mati, maka babi hutan itu dapat dimakan sebatas
keperluannya.
2. Kebolehan mengucap kata kufur karna dipaksa, jika tidak mengucapkannya maka
dibunuh.

4. ‫ض ُر ْو َر ِة يُقَ َّد ُر بِقَ َّد ِرهَا‬


َّ ‫َما اُبِ ُح لِل‬
(Apa yang diperbolehkan karena adanya kemudaratan diukur menurut kadar kemudlaratan)
Contoh :
1. Kebolehan memakan bangkai bagi seseorang hanya sekadar dalam ukuran untuk
mempertahankan hidup, tidak boleh melebihi sehingga kenyang. Kecuali jika
perjalanannya masih jauh, dan dia tidak mampu menempuhnya melainkan dengan
kenyang, maka dibolehkan.
2. Kebolehkan doctor lelaki melihat aurat perempuan yang berobat seumpama operasi,
hanya dibolehkan sekadar perlu sahaja. Tidak dibolehkan melihat tempat lain, selain
tempat sakit.

5 َّ ‫اص لِ َد ْف ِع ال‬
. ‫ض َر ِر ا ْل َعا ِّم‬ ُّ ‫ض َر ُر ا ْل َخ‬
َّ ‫يُ ْحتَ َم ُل ال‬
1
Dr. Wahbah az-Zuhaili membagi kepentingan manusia akan sesuatu dengan 5 klasifikasi, yaitu:
a. Dharar, yaitu kepentingan manusia yang diperbolehkan menggunakan sesuatu yang dilarang, karena kepentingan itu
menempati puncak kepentingan manusia, bila tidak dilaksanakan maka mendatangkan kerusakan. Kondisi semacam ini
memperbolehkan segala yang diharamkan atau dilarang, seperti memakai pakaian sutra bagi laki-laki yang telanjang , dan
sebagainya.
b. Hajat, yaitu kepentingan manusia akan sesuatu yang bila tidak dipenuhi mendatangkan kesulitan atau mendekati
kerusakan. Kondisi semacam ini tidak menghalalkan yang haram. Misalnya seorang laki-laki yang tidak mampu berpuasa
maka diperbolehkan berbuka dengan makanan halal, bukan makanan haram.
c. Manfaat, yaitu kepentingan manusia untuk menciptakan kehidupan yang layak. Maka hukum diterapkan menurut apa
adanya karena sesungguhnya hukum itu mendatangkan manfaat. Misalnya makan makanan pokok seperti beras, ikan,
sayur-mayur, lauk-pauk, dan sebagainya.
d. Zienah, yaitu kepentingan manusia yang terkait dengan nilai-nilai estetika.
e. Fudhul, yaitu kepentingan manusia hanya sekedar utuk berlebih-lebihan, yang memungkinkan mendatangkan
kemaksiatan atau keharaman. Kondisi semacam ini dikenakan hukum saddu adz dzariah, yakni menutup segala
kemungkinan yang mendatangkan mafsadah.
(ditempuh kemudharatan yang khusus untuk menolak kemudharatan yang umum)
Contoh :
1. Mengghibah orang yang sering menipu orang lain di hadapan manusia dalam rangka
untuk memperingatkan mereka dari perbuatannya. Asalnya mengghibahinya berarti
memberi kemudharatan untuk dirinya, tetapi tidak mengapa melakukannya demi
menghindarkan kemudharatan yang lebih besar, karena kalau tidak maka akan banyak
manusia yang akan terperdaya. Hal ini sama dengan mengghibah para da’i penyeru
kesesatan demi menghindarkan kaum muslimin dari konten-konten kesesatan yang
dia dakwahkan.

D – Kaedah dan Kasus yang Dikecualikan

1. . ‫ﺭ‬ َ ِ‫ﻀ َﺮ ُﺭ ﻻﻳُ َﺰﺍ ُﻝ ﺑ‬


ِ ‫ﺎﻟﻀ َﺮﺍ‬ َّ ‫ﺍﻟ‬
(kemudaratan tidak boleh dihilangkan dengan kemudaratan)

Contoh :
1. Seseorang yang diancam akan dibunuh apabila tidak membunuh kawannya. Jika dia
dibunuh maka itu adalah kemudharatan, namun jika dia ingin menyelamatkan dirinya
dengan membunuh kawannya tersebut maka itu adalah bentuk menimbulkan
kemudharatan yang sama. Sehingga dalam hal ini dia tidak boleh melakukannya,
karena nyawanya tidak lebih berharga dari pada nyawa kawannya. Dan kemudharatan
tidak boleh ditolak dengan memunculkan kemudharatan yang sama.
2. Seseorang yang miskin, dia mempunyai kawan yang sama-sama miskin. Maka dia
tidak boleh memberikan hartanya kepada kawannya tersebut demi menghilangkan
mudharat pada kawannya karena akan memunculkan mudharat pada dirinya dan
istrinya.

2. Kemudaratan yang lebih kecil tidak dihilangkan dengan kemudaratan yang lebih
besar
Contoh :
1. Dilarang melarikan diri dari peperangan, karena semata mata untuk menyelamatkan
diri. Alasannya karena kalah dalam peperangan lebih besar mudharatnya daripada
menyelamatkan diri, selain itu dalam peperangan hukum yang berlaku sesuai dengan
al-qur’an , QS. At-Taubat : 111. ‫( فيقتل((ون و يقتل((ون‬membunuh atau dibunuh) . Jadi
terbunuh dalam peperangan adalah resiko, hanya bagi mukmin ada nilai tambah yaitu
mati syahid apabila terbunuh dalam peperangan.
2. Jika tersesat bersama seorang nabi didalam hutan, kemudian nabi itu wafat. Tidak
dibolehkan memakan sebahagian daging beliau untuk meneruskan hidup walaupun
dalam keadaan darurat. Berbeza hukumnya apabila mayit itu bukan nabi, dibolehkan.
Hal ini tidak dibolehkan kerana darjat nabi walaupun sudah mati itu lebih mulia
berbanding orang awam yang hidup.
3. Kemudharatan yang memang diizinkan oleh syariat
Kemudharatan yang memang diizinkan oleh syariat tidak dihilangkan dengan alasan
memakai kaedah yang kelima ini. Seperti praktek hudud, hukum qishash, dan hukuman ta’zir
dari ulil amri, secara dzhahir semua ini adalah bentuk mudharat tetapi hakikatnya
mendatangkan maslahat yang lebih besar untuk orang ramai.

Anda mungkin juga menyukai