Anda di halaman 1dari 3

HADIS MUHKAM DAN MUKHTALAF

Oleh Dr. Nasrulloh, Lc., M.Th.I

Hadis itu ditinjau dari segi pengamalannya, ada beberapa istilah.

Hadis ditinjau dari segi pengamalannya, ada empat macam yaitu muhkam, mukhtalaf, nashikh, dan
Mansukh.

Muhkam adalah hadis yang berlawanan dengan mukhtalaf. Nashikh lawannya Mansukh.

Muhkam adalah yang baik, tidak ada cacat, tidak ada kekurangannya, shahih, paten, tidak ada yang
membantah dan menentang dari segi sanad dan matan.

Mukhtalaf adalah hadis yang bertentangan dengan yang lain baik dari segi sanad dan matannya.
Tetapi masih memiliki kemungkinan untuk dikumpulkan, disatukan, dikompromikan.

Kalau tidak bisa, dikompromikan, dalam dunia akademik ada istilah nashikh dan mansukh. Nashikh
itu yang men-nasakh yaitu menghapus atau menggugurkan kandungan hukum hadis sebelumnya.
Hadis nasakh biasanya hadis yang paling terakhir turunnya atau disampaikan oleh Nabi. Kalau
Mansukh hadis yang lebih dulu disampaikan Nabi. Kalau nashikh yang menghapus, itu berarti
nashikh yang terakhir diturunkan.

Disini kita membahas masalah hadis muhkam. Contohnya yang populer hadis innamal a’malu bin
niat wa innama likullim ri in manawa.

Hadis mukhtalaf secara lughoh atau bahasa artinya berbeda. Berasal dari kata ikhtalafa, yakhtalifu.
Secara istilah, ada yang mengatakan mukhtalif, ada yang mengatakan mukhtalaf. Kalau yang
mukhtalif itu berbeda, kalau mukhtalaf yang dibedai. Mukhtalif merupakan isim fail, mukhtalaf
merupakan isim maf’ul. Misal ada dua hadis yang saling bertentangan dan berbeda dari segi
maknanya maupun sanadnya. Namun disini kita berbicara dari segi matannya atau dari segi
redaksinya.

Contohnya hadis pertama yakni hadis shahih Bukhari, Rasulullah bersabda,

‫ وال ها َم َة‬،‫ال َع ْد َوى وال طِ َي َر َة‬


Kata la ‘adwa artinya penyakit tidak bisa menular. Wa la thiyarata artinya tidak bisa qole’ (sial), misal
ada burung lewat di depan rumah maka akan begini (maksudnya sial). Wa la hamata juga mirip
begitu. La ‘adwa ini yang men jadi problem. Kata Rasul, tidak ada penyakit menular.

Hadis ini akan bertentangan dengan sebuah riwayat yang lain.

Hadis kedua yaitu Rasulullah pernah bersabda firra minal majdzum firooroka minal asad yang artinya
kamu larilah dari orang yang memiliki penyakit kulit sebagaimana kamu lari dari harimau.

Inilah dua hadits yang bertentangan yang disebut Hadis mukhtalaf. Lalu bagaimana
menggabungkannya? Ada beberapa opsi yaitu perlu mengetahui terlebih dahulu ketika kita akan
melakukan kegiatan penelitian hadits, jangan hanya sekedar tahu shahih sanadnya saja tetapi juga
harus bisa mengkompromikan matannya.

Pendapat pertama yaitu pendapat Ibnu Sholah, selain beliau mengatakan bahwa sesungguhnya
penyakit itu secara substansi dan zatnya dengan natural tidak bisa menularkan namun Allah SWT
yang membuat sakit bisa menulari yang sehat dengan beberapa sebab sakit baik dengan bersin
seperti corona, dsb. Tetapi masalah sebabnya bisa berbeda-beda, pada dasarnya secara aqidah dan
kenyataan penyakit tidak bisa menular. Contohnya dalam satu rumah, ada yang terkena corona
dapat dari luar entar dimana, namun istri atau suaminya tidak terkena corona. Demikian jelas
penyakit itu tidak bisa menular secara zat kecuali atas izin Allah SWT. Maka, ada do’a-do’a agar
terhindar dari penyakit. Dengan ini kita meyakini bahwa sesungguhnya penyakit tidak berfungsi
tanpa kehendak dari Allah SWT. Banyak orang yang minum racun namun sehat saja, tapi kita tidak
perlu mencobanya.

Bagaimana memahami hadis tersebut? secara zatnya, penyakit tidak bisa menular. Adapun lari dari
orang yang terkena penyakit, secara sebabnya, menular. Kita diperintahkan Rasul untuk
menghormati sebab tetapi tidak lupa dengan hakikatnya.

Pendapat kedua, dua hadis tersebut disampaikan dalam dua keadaan yang berbeda. Hadis yang
menyatakan la ‘adwa disampaikan kepada orang yang sangat kuat yakinnya dan Sudha bertawakkal
sehingga dia meyakini dengan keyakinan yang snagat kuat bahwa penyakit tidak bisa menular.
Seperti banyak orang yang tidak meyakini covid, tetapi bagi orang yang keyakinannya lemah maka
berlaku hadis kedua yang larilah dari orang yang memiliki penyakit kulit. Dua hadis ini berbeda
mukhatabnya atau orang yang diajak bicara, menurut Ulama lain.

Pendapat ketiga yakni menurut ulama lainnya, Hafidz Ibnu Hajar menyatakan sesungguhnya
menafikkan atau meniadakan penularan penyakit itu umum karena Rasulullah bersabda la yu’ti
syaiun syai’a yang artinya tidak bisa menular sesuatu. Tetapi ketika bertentangan dengan hadis
tersebut, maka berbeda lagi. Contohnya, riwayat lain, ketika unta yang sakit kumpul dengan unta
yang sehat lalu kemudian unta yang sehat itu menjadi sakit. Maka siapakah yang menularkan kepada
unta sakit? Yang pertama, Allah SWT yang menjadikan unta ini sakit. Yang kedua, unta yang sehat
menjadi sakit apakah karena ditularkan oleh unta yang sakit? Tentu Allah yang membuatnya sakit.
Adapun perintah untuk lari dari orang yang memiliki penyakit kulit adalah untuk mencegah menutup
pintu-pintu penularan. Supaya manusia tidak meyakini bahwa yang membuat sakit adalah orang
yang memiliki penyakit kulit tadi dan tidak mengira penyakit itu dengan sendirinya bisa menulari.
Yang menjadikannya sakit adalah Allah dengan sebab penularan.

Rasulullah pernah melarang buang air besar atau kecil menghadap atau membelakangi kiblat.
Namun hadis lain Rasulullah justru menghadap atau membelakangi kiblat. Ternyata, larangan
menghadap atau membelakangi kiblat ketika tidak ada penghalang antara tempat sholat dengan
tempat buat hajat. Ketika terdapat penghalang maka tidak masalah jika menghadap atau
membelakangi kiblat, hal ini dilakukan oleh Rasulullah di Madinah.

Ada beberapa kitab yang bisa kita (..) untuk kita mengetahui beberapa hadis yang kita anggap sulit,
tidak bisa dikompromikan, maka ada kitab khusus yang membahas itu, yang ditulis oleh Imam Syafi’I
berjudul kitab Ikhtilaf Al-Hadits. Lainnya ada kitab Ta'wil Mukhtalif Al-Hadits, kitab Tahdzib Al-Atsar
oleh Imam Ath-Thabari, kitab Musykil Al-Atsar, kitab Ta’wil Musykil Al-Atsar, Musykil Al-Hadits oleh
PBNU, Kasyf Al-Musykil.

Kalau ada hadis yang bertentangan, bagaimana kita menghadapinya dan bagaimana solusinya?
Berikut urutan sistematikanya:

Langkah Pertama, mengkompromikan dua hadis yang berbeda. Tidak bisa langsung pilih salah satu
atau kita buang salah satunya.
Langkah Kedua, nashakh. Harus dimansukh. Diambil hadis yang turun belakangan. Contohnya
mengenai kiblat, yang dijadikan acuan adalah hasil perubahan yang merupakan hdis yang
belakangan turun.

Langkah Ketiga, tarjih. Dipertimbangkan. Contoh, ada yang shahih dan dhoif, maka yang diambil
yang shahih.

Hafidz Al-‘Iroqi mengatakan cara mentarjih ada 50 cara/langkah. ‘Ulama ushuliyyun seperti
Fakhrurrozi, Syekh Al-Amidi juga mempunyai beberapa cara/langkah yang lain untuk mentarjih. Jika
digabungkan, bisa mencapai 100 langkah. Beberapa cara mentarjih, diantaranya:

Langkah Pertama, kita perlu lihat sanadnya. Bagaimana sanad dan kualitasnya. Kalau bersambung,
kita dahulukan yang bersambung.

Langkah Kedua, tarjih matan. Mengutamakan hadis qoul daripada hadis fi’li. Mengutamakan hadis
qath'i daripada hadis zhanni.

Anda mungkin juga menyukai