Anda di halaman 1dari 6

Ta'ziyah Yang Sesuai Dengan Sunnah Rasulullah

aslibumiayu.net /6724-taziyah-yang-sesuai-dengan-sunnah-rasulullah.html

admin

FIQIH TAZIYAH

Oleh : Syaikh Musaid bin Qashim Al-Falih

Manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup tanpa orang lain. ia memerlukan bergaul dengan orang lain. Ini
merupakan fitrah. Tidak mungkin ada yang bisa menghindarinya, terlebih lagi pada era global sekarang ini,
dunia layaknya sebuah kampung kecil saja. Berhubungan dengan orang lain, meski terkadang berefek negatif,
manakala berlangsung tanpa kendali, tetapi ia juga merupakan peluang yang bisa mendatangkan beragam
kemaslahatan, sekaligus ladang amal untuk memproleh pahala.

Islam sangat responsif terhadap fenomena ini. Bukan sekedar komunikasi yang bertema dan berskala besar
saja yang diperhatikannya, tetapi hubungan yang sangat kecil pun tak luput dari pantauannya. Ini tiada lain
karena demi kemaslahatan manusia, sebagai makhluk yang berkepribadian mulia. Islam telah memberikan
peraturan dalam masalah muamalah semacam ini, agar dalam pergaulan, manusia tidak melampui batas-batas
koridor yang telah ditentukan syariat. Sehingga pergaulan tersebut tidak merugikan salah satu pihak.
Salah satu dari bentuk muamalah tersebut adalah taziyah. Atau biasa disebut melayat. Bagaimanakah
penjelasan tentang masalah ini?

Untuk menjelaskan masalah taziyah ini, berikut kami ketengahkan ulasan yang diambil dari kitab at Ta`ziyah,
karya Syaikh Musaid bin Qashim al Falih, yang diterbitkan Dar al Ashimah. Semoga bermanfaat.

DEFINISI TAZIYAH
Kata ta`ziyah, secara etimologis merupakan bentuk mashdar (kata benda turunan) dari kata kerja aza.
Maknanya sama dengan al azau. Yaitu sabar menghadapi musibah kehilangan.[1]

Dalam terminologi ilmu fikih, taziyah didefinisikan dengan beragam redaksi, yang substansinya tidak begitu
berbeda dari makna kamusnya.

Penulis kitab Radd al Mukhtar mengatakan : Bertaziyah kepada ahlul mayyit (keluarga yang ditinggal mati)
maksudnya ialah, menghibur mereka supaya bisa bersabar, dan sekaligus mendoakannya.[2]

Imam al Khirasyi di dalam syarahnya menulis: Taziyah, yaitu menghibur orang yang tertimpa musibah dengan
pahala-pahala yang dijanjikan oleh Allah, sekaligus mendoakan mereka dan mayitnya.[3]

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan : Yaitu memotivasi orang yang tertimpa musibah agar bisa lebih
bersabar, dan menghiburnya supaya bisa melupakannya, meringankan tekanan kesedihan dan himpitan
musibah yang menimpanya.[4]

HUKUM FIKIH TAZIYAH


Berdasarkan kesepakatan para ulama, seperti yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah, hukumnya adalah sunnah
[5]. Hal ini diperkuatkan oleh hadits Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, di antaranya :
Sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.

Barangsiapa yang bertaziyah kepada orang yang tertimpa musibah, maka baginya pahala seperti pahala yang
didapat orang tersebut. [HR Tirmidzi 2/268. Kata beliau: Hadits ini gharib. Sepanjang yang saya ketahui, hadits
ini tidak marfu kecuali dari jalur Adi bin Ashim; Ibnu Majah, 1/511].

Dalil lainnya, Abdullah bin Amr bin al Ash menceritakan, bahwa pada suatu ketika Rasulullah Shallallahu alaihi
wa sallam bertanya kepada Fathimah Radhiyallahu anha : Wahai, Fathimah! Apa yang membuatmu keluar

1/6
rumah? Fathimah menjawab,Aku bertaziyah kepada keluarga yang ditinggal mati ini. [HR Abu Dawud, 3/192].

HIKMAH TAZIYAH
Disamping pahala, juga terdapat kemaslahatan bagi kedua belah pihak [6]. Antara lain :

Meringankan beban musibah yang diderita oleh orang yang dilayat.


Memotivasinya untuk terus bersabar menghadapi musibah, dan berharap pahala dari Allah Taala.
Memotivasinya untuk ridha dengan ketentuan atau qadar Allah Taala, dan menyerahkannya kepada Allah.
Mendoakannya agar musibah tersebut diganti oleh Allah dengan sesuatu yang lebih baik.
Melarangnya dari berbuat niyahah (meratap), memukul, atau merobek pakaian, dan lain sebagainya akibat
musibah yang menimpanya.
Mendoakan mayit dengan kebaikan.
Adanya pahala bagi orang yang bertaziyah.

WAKTU TAZIYAH
Jumhur ulama memandang bahwa taziyah diperbolehkan sebelum dan sesudah mayit dikebumikan.[7]

Pendapat lainnya, sebagaimana yang diriwayatkan dari Imam Tsauri, bahwa beliau memandang makruh
taziyah setelah mayitnya dikuburkan. Alasannya, setelah mayitnya dikuburkan, berarti masalahnya juga selesai.
Sedangkan taziyah itu sendiri disyariatkan guna menghibur agar orang yang tertimpa musibah bisa
melupakannya. Oleh karena itu, hendaknya taziyah dilakukan pada waktu terjadinya musibah. Kala itu, orang
yang tertimpa musibah benar-benar dituntut untuk bersabar. [8]

Pendapat yang rajih, yaitu pendapat jumhur ulama. Alasannya, orang yang tertimpa musibah memerlukan
penghibur untuk mengurangi beban musibah yang menghimpitnya. Penglipur ini tentu saja diperlukan, sekalipun
mayitnya sudah dikuburkan, sebagaimana ia memerlukannya sebelum dikuburkan. Bahkan taziyah setelah
mayit dikuburkan hukumnya lebih utama. Sebab, sebelumnya ia sibuk mengurus mayit. Dan orang yang tertimpa
musibah merasa lebih kesepian dan sengsara karena betul-betul berpisah dengan si mayit.[9]

JANGKA WAKTU TAZIYAH


Taziyah disyariatkan dalam jangka waktu tiga hari setelah mayitnya dikebumikan. Jumlah tiga hari ini bukan
pembatasan yang final, tetapi perkiraan saja (kurang lebihnya saja). Dan jumhur ulama menghukumi makruh,
apabila taziyah dilakukan lebih dari tiga hari [10]. Ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa
sallam.

Tidaklah dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari Kiamat, untuk
berkabung lebih dari tiga hari, terkecuali berkabung karena (ditinggal mati) suaminya, yaitu
selama empat bulan sepuluh hari. [HR Bukhari, 2/78; Muslim, 4/202].

Alasan lainnya, setelah tiga hari, biasanya orang yang ditinggal mati, bisa kembali tenang. Maka, tidak perlu lagi
untuk dibangkitkan kesedihannya dengan dilayat. Kendatipun begitu, jumhur ulama membuat pengecualian.
Yaitu apabila orang yang hendak melayatnya, atau orang yang hendah dilayatnya (keluarga yang ditinggal mati)
tidak ada dalam jangka waktu tiga hari tersebut.

Sebagian ulama mazhab Syafiiyah dan Hanabilah membebaskannya begitu saja. Sampai kapan saja, tak ada
pembatasan waktunya. Sebab, menurut mereka, tujuan dari taziyah ini untuk mendoakan, memotivasinya agar
bersabar dan tidak melakukan ratapan, dan lain sebagainya. Tujuan ini tentu saja berlaku untuk jangka waktu
yang lama.

Yang lebih kuat dari dua pendapat ini, adalah pendapat jumhur ulama.

2/6
MENGULANG-ULANG TAZIYAH
Mengulang-ulang taziyah, hukumnya dimakruhkan. Tidak boleh bertaziyah di kuburan, apabila
sebelumnya sudah melakukannya.

Hikmah sekaligus alasannya, karena tujuan dilakukannya taziyah sudah dicapai pada taziyah yang pertama
kali, sehingga tidak perlu diulang lagi, supaya tidak membuat kesedihannya terus menghimpitnya.[11]

KEPADA SIAPA BERTAZIYAH?


Sunnahnya taziyah dilakukan kepada seluruh orang yang tertimpa musibah (ahlul mushibah), baik orang tua,
anak-anak, dan apalagi orang-orang yang lemah. Lebih khusus lagi kepada orang-orang tertentu dari mereka
yang merasakan kehilangan dan kesepian karena ditimpa musibah tersebut. Tetapi para ulama bersepakat,
bahwa seorang lelaki tidak boleh bertaziyah kepada seorang perempuan muda, sebab bisa menimbulkan fitnah
(bahaya), terkecuali mahramnya. [12]

Jika saat taziyah mengetahui adanya kebatilan, maka kebenaran tidak boleh diabaikan atau ditinggalkan.
Orang yang meratap dan merobek bajunya, dan sebagainya, ia tidak boleh dibiarkan. Begitu juga untuk hal-hal
lainnya.

TAZIYAH KEPADA ORANG KAFIR


Ada perbedaan pendapat dalam masalah melayat kepada orang kafir dzimmi (orang kafir dalam perlindungan).
Sebagian ulama Hanafiyah dan Syafiiyah memperbolehkannya [13]. Adapun Imam Ahmad bersikap tawaqquf,
beliau tidak berpendapat apa-apa dalam masalah ini.[14]

Sedangkan para sahabat Imam Ahmad memandang taziyah sama dengan iyadah (menengok atau besuk).
Dan dalam masalah ini, mereka memiliki dua pendapat :

Pertama : Menengok dan melayat orang kafir hukumnya terlarang atau haram [15]. Dalil yang mereka
pergunakan ialah:

Janganlah memulai salam kepada Yahudi dan Nasrani. Apabila kalian berpapasan dengan salah seorang dari
mereka, pepetlah ke tempat yang sempit. [HR Muslim, 7/5]
.
Dalam hal ini, taziyah disamakan dengan memulai salam kepada mereka.

Kedua : Membolehkan taziyah dan menengoknya, dengan dalil hadits berikut ini :




Dahulu ada seorang anak Yahudi yang membantu Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Suatu ketika si anak ini
sakit. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menengoknya. Beliau duduk di dekat kepalanya, dan berkata :
Masuklah ke dalam Islam.
Anak tersebut memandang bapaknya yang hadir di dekatnya. Bapaknya berkata,Patuhilah (perkataan) Abul
Qasim Shallallahu alaihi wa sallam , maka anak itupun masuk Islam. Setelah itu Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam keluar seraya berkata : Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan anak itu dari siksa neraka.
[HR Bukhari, 2/96].

Pendapat yang rajih, yaitu tidak boleh melayat orang kafir dzimmi, terkecuali apabila membawa kemaslahatan -
menurut dugaan yang rajih- misalnya mengharapkannya masuk Islam. Wallahu alam.

MELAYAT ORANG MUSLIM YANG DITINGGAL MATI OLEH SEORANG KAFIR


Jumhur ulama memperbolehkan taziyah kepadanya [16]. Adapun pendapat yang melarangnya, dipegang oleh
Imam Malik dan salah satu riwayat dari mazhab Hanabilah [17].

3/6
Yang rajih dalam masalah ini, ialah pendapat jumhur ulama. Dalilnya ialah, keumuman dalil-dalil yang
memerintahkan taziyah.

APA YANG DIUCAPKAN KETIKA BERTAZIYAH?


Berdasarkan pendapat para ulama dalam masalah ini, bisa disimpulkan bahwa mereka tidak membatasi dan
tidak menentukan bacaan-bacaan khusus yang harus diucapkan ketika bertaziyah.

Ibnu Qudamah berpendapat [18] : Sepanjang yang kami ketahui, tidak ada ucapan tertentu yang khusus dalam
taziyah. Namun, diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah melayat seseorang dan
mengucapkan:

(Semoga Allah merahmatimu, dan memberimu pahala. HR Tirmidzi, 4/60).

Imam Nawawi berpendapat [19], yang paling baik untuk diucapkan ketika taziyah, yaitu apa yang diucapkan
oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam kepada salah seorang utusan yang datang kepadanya untuk memberi
kabar kematian sesorang. Beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepada utusan itu : Kembalilah
kepadanya dan katakanlah kepadanya :

Sesungguhnya adalah milik Allah apa yang Dia ambil, dan akan kembali kepadaNya apa yang Dia berikan.
Segala sesuatu yang ada disisiNya ada jangka waktu tertentu (ada ajalnya). Maka hendaklah engkau bersabar
dan mengharap pahala dari Allah. [HR Muslim, 3/39].

Sebagian ulama mensunnahkan, agar ketika melayat orang muslim yang ditinggal mati oleh orang muslim,
membaca :

Semoga Allah melipatkan pahalamu, memberimu pelipur lara yang baik, dan semoga Dia memberikan rahmat
kepada si mayit. [20]

Menurut Mazhab Syafiiyah, mendoaakan orang yang dilayat atau yang tertimpa musibah dengan
mengucapkan: Semoga Allah mengampuni si mayit, melipatkan pahalamu, dan memberimu pelipur yang baik,
tetapi, ada juga yang berpendapat berdoa dengan doa apa saja.[21]

Adapun ketika melayat seorang muslim yang ditinggal mati oleh seorang kafir, maka cukup dengan mendoakan
orang-orang yang ditinggal mati ini saja dan tidak mendoakan si mayit (yang kafir). Dan melayat orang kafir,
sebagaimana telah dibahas di muka, tidak diperbolehkan, terkecuali membawa kemaslahatan.

Sedangkan mazhab Syafiiyah dan Hanabilah yang membolehkan melayat orang kafir karena ditinggal mati oleh
seorang muslim, memberikan tuntunan doa :

(Semoga Allah memberimu pelipur lara yang baik, dan semoga Dia mengampuni si mayit).

Dan ketika yang meninggal adalah orang kafir, doanya ialah :



(Semoga Allah menggantinya buatmu, dan semoga tidak mengurangi jumlahmu).

Maksudnya, supaya jumlah jizyah (upeti) yang diambil dari mereka tetap besar.[22]

Masalah ini dikomentari oleh Imam Nawawi : Ini sangat bermasalah, sebab berdoa agar orang kafir dan
kekafiran tetap ada atau eksis. Sebaiknya, ini ditinggalkan saja [23] Apa yang dikatakan oleh Imam Nawawi

4/6
adalah benar.

Selanjutnya, apa yang dikatakan oleh orang yang dilayat? Dalam hal ini sama. Tidak ada ketentuan bacaan
khusus yang harus dibaca sebagai jawaban kepada para pelayat.

Ada pendapat dari Mazhab Hanabilah, bahwasanya disunnahkan untuk mengucapkan :

(Semoga Allah mengabukan doamu. Dan semoga Dia mengasihi kita, juga kamu). [24]

DUDUK-DUDUK KETIKA TAZIYAH


Berkumpul dan membaca al Qur`an ketika melayat, bukan petunjuk Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ; baik di
pekuburan ataupun di tempat tidak diajarkan [25]. Jumhur ulama melarang duduk-duduk di tempat orang yang
ditinggal mati. Yang disyariatkan ialah, setelah mayat dikuburkan, sebaiknya kembali kepada kesibukannya
masing-masing. Larangan ini adalah makruh (makruh tanzih) apabila tidak dibarengi kemunkaran-kemunkaran
lain. Adapun jika dibarengi dengan kemungkaran-kemungkaran, misalnya bidah-bidah, maka hukumnya haram.
[26]

Adat yang biasa dilakukan oleh orang-orang, seperti duduk-duduk di tempat orang yang ditinggal
mati, lalu dikeluarkan biaya untuk keperluan ini dan itu, mereka tinggalkan apa yang membuatnya
maslahat; pada saat yang sama, mereka mencela orang yang tidak mau mengikuti dalam acara
tersebut. Dalam acara itu mereka melakukan hal-hal yang tidak disyariatkan, dan ini termasuk
kegiatan bidah yang dicela oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.[27]

Dalam masalah ini ada yang berpendapat memperbolehkannya. Mereka ialah sebagian dari ulama Hanafiyah
dan Malikiyah[28]. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah Radhiyallahu anha , dia
menceritakan, ketika Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam datang, ternyata Ibnu Haritsah, Jafar bin Abu
Thalib dan Abdullah bin Rawahah terbunuh. Lalu beliau duduk. Beliau mengetahui jika di tempat itu ada
kesedihan [HR Muslim, 3/45]
.
Jawabannya atau bantahan dari pendapat ini ialah, bahwa kedatangan Rasulullah dan beliau duduk, tidak
bermaksud untuk taziyah, dan tidak ada indikasi ke arah yang menguatkannya bertaziyah.[29]

Maka dari itu, sebagian lagi dari ulama Hanabilah menyatakan, sebenarnya yang dimakruhkan adalah
menginap di tempat orang yang ditinggal mati, duduk-duduk bagi orang yang sudah pernah melayat
sebelumnya, atau duduk-duduk supaya bisa melayat lebih lama lagi. [30]

Demikianlah beberapa point berkenaan dengan taziyah. Semoga penjelasa

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun X/1427H/2006M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Lihat Mukhtar ash Shihah, hlm. 431; al Qamus al Muhith (4/364) dan Lisan al Arab (15/52).
[2]. Radd al Mukhtar (1/603).
[3]. Syarh al Khirasyi ala Mukhtashar Khalil (2/129).
[4]. Al Adzkar an Nawawiyah, hlm.126. Lihat juga al Majmu (5/304).
[5]. Al Mughni (3/480). Lihat juga al Ifshah (1/193).
[6]. Lihat Syarh al Khirasyi (2/130), al Balighah (2/82).
[7]. Lihat Hasyiyah Radd al Mukhtar (1/604), Syarh al Khirasyi (2/130); al Majmu (5/306), al Mughni, (2/480), al
Inshaf (2/563).
[8]. Al Mughni (3/480), Nail al Authar (4/95).
[9]. Hasyiah Radd al Mukhtar (1/604), al Majmu (5/306).
5/6
[10]. Hasyiah Radd al Mukhtar (1/604), al Majmu (5/306), al Inshaf (2/564), Kasysyaf al Qina (2/160).
[11]. Lihat Hasyiyah Radd al Mukhtar (1/604), al Furu (2/294), al Inshaf (2/564).
[12]. Lihat Syarh al Khirasyi (2/129), al Majmu (5/305), al Adzkar an Nawawiyah hlm. 127, al Mughni (3/480).
[13]. Hasyiyah Radd al Mukhtar (1/604), al Muhadzdzab dicetak bersama al Majmu- (5/304).
[14]. Al Mughni (3/486), Ahkam Ahl adz Dzimmah (1/204).
[15]. Al Inshaf (2/566), Kasysyaf al Qina (2/161).
[16]. Hasyiyah Radd al Mukhtar (1/604), al Majmu (5/306), al Inshaf (2/565).
[17]. Hasyiyah ad Dusuqi (1/419), al Inshaf (2/566).
[18]. Al Mughni (3/480).
[19]. Al Adzkar, hlm. 127.
[20]. Lihat Hasyiyah Radd al Mukhtar (1/604), al Mughni (3/486), al Inshaf (2/565).
[21]. Al Majmu (5/306).
[22]. Al Majmu (5/306), al Mughni (3/486)
[23]. Al Majmu (5/306)
[24]. Al Mughni (3/487), Kasysyaf al Qina (2/161).
[25]. Zadul Maad (1/146).
[26]. Al Adzkar an Nawawiyah, hlm. 127.
[27]. Lihat Fatawa Lajnah Daimah lil Buhuts wal Ifta`, no. 38, diambil dari surat kabar al Muslimun.
[28]. Hasyiyah Radd al Mukhtar (1/604), Syarh al Khirasyi (2/130).
[29]. Lihat Radd al Mukhtar (1/604).
[30]. Kasysyaf al Qina (2/160).

sumber : http://almanhaj.or.id/content/3067/slash/0/fiqih-taziyah/

6/6

Anda mungkin juga menyukai