Anda di halaman 1dari 13

SKILL PERAWATAN SHOLAT JENAZAH

BLOK PERILAKU KESEHATAN

OLEH :

UMI LATIFAH

201710330311086

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

FAKULTAS KEDOKTERAN

2020
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di antara masalah penting yang terkait dengan hubungan manusia dengan manuasia lainnya
adalah masalah perawatan jenazah. Islam menaruh perhatian yang sangat serius dalam
masalah ini, sehingga hal ini termasuk salah satu kewajiban yang harus dipenuhi oleh umat
manusia, khususnya umat Islam. Perawatan jenazah ini merupakan hak si mayat dan
kewajiban bagi umat Islam untuk melakukannya dengan pengurusan yang terbaik. Dalam
kenyataan masih banyak ditemukan dalam kehidupan sehari-hari umat Islam yang belum
mengetahui bagaimana tatacara mengurus jenazah. Masih banyak praktek perawatan jenazah
yang berbau bid’ah (larangan yang tidak pernah dilakukan Nabi Muhammad Saw.). Islam
tidak hanya mengatur apa yang harus diperbuat kepada orang yang sudah meninggal saja,
tetapi juga kepada orang yang sedang sakit yang dimungkinkan akan meninggal. Hal yang
perlu dilakukan bagi orang yang sedang sakit di antaranya adalah: 1.Bagi yang sakit
hendaknya rela dengan apa yang menimpanya dan harus sabar menghadapinya. 2.Orang
yang sakit juga harus takut dengan dosa-dosanya yang selama ini dilakukan dan penuh harap
agar Allah memberikan rahmat kepadanya. Bagaimanapun sakitnya, seseorang tidak boleh
berharap agar segera mati. 3.Kalau ada kewajiban yang harus ditunaikan hendaknya segera
ditunaikan, tetapi kalau belum ditunaikan segera diwasiatkan

1.2 Tujuan Penulisan ini bertujuan untuk menambah pengetahuan tentang perawatan sholat
jenazah

1.3 Manfaat Penulisan referat ini diharapkan dapat menambah pemahaman dan memperluas
wawasan penulis ataupun pembaca mengenai perawatan sholat jenazah
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hal-hal yang harus dilakukan ketika orang meninggal dunia

1. Disunnahkan untuk menutup kedua matanya. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menutup kedua mata Abu Salamah Radhiyallahu ‘anhu ketika dia meninggal dunia. Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َ َ ‫ﻮنُ ﻮﻟُ ﻘَﺎ ﺗَﻰ َﻣ ﻠَ َﻋﻮنُ ﱢﻨ َﻣ ُﺆ ﯾَ ﺔَ ِﻜ ﺋ َ ﻼَ ْﻤ ﱠ اﻟ ِن ﺈَا ﻓً ﺮْ ﯿَ ﻻﱠ ﺧ ِا ْإ ُﻮ ْﻟ ُﻮ ﻘَ ﺗَﻼَ ﻓُ ﺮ‬


ِ َ ‫ﺼ ْﺒ اﻟُ ﻪَ ِﻌ ﺒَ ﺗ‬
َ ‫ﺾ ﺒُا ﻗَ ِذ إَ ﱠ اﻟﺮﱡ وح ِن إ‬

Sesungguhnya ruh apabila telah dicabut, akan diikuti oleh pandangan mata, maka janganlah
kalian berkata kecuali dengan perkataan yang baik, karena malaikat akan mengamini dari apa
yang kalian ucapkan. [HR Muslim].

2. Disunnahkan untuk menutup seluruh tubuhnya, setelah dilepaskan dari pakaiannya yang
semula. Hal ini supaya tidak terbuka auratnya. Dari Aisyah Radhiyallahu a’nha, beliau berkata:

ِ َ ‫ةَ َﺮ ﺒِ ٍﺣ ْد ُﺮ ﺒِ ﺑَ ﱢﻲ ُﺠ َﺳ ﱢﻲ ﻓُ ُﻮ ﺗَﯿ ِﻦ َﺣ ﱠﻢ ﻠَ َﺳ ِو ْﻪ ﯿَ ﻠَ ُﻋ ﱠﻰ اﷲﱠ ﻠ‬


ٍ ‫ﺻ اﷲﱠ َﻮ ُل َﺳ ﱠ ر نَ أ‬

Dahulu ketika Rasulullah meninggal dunia ditutup tubuhnya dengan burdah habirah (pakaian
selimut yang bergaris). [Muttafaqun ‘alaih].

Kecuali bagi orang yang mati dalam keadaan ihram,maka tidak ditutup kepala dan wajahnya.

3. Bersegera untuk mengurus jenazahnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ِ ‫ﺲ ْﺒ ُﺤ ْﺗ نَ أٍ ِﻢ ْﻠ ُﺴ ِﻣ ﺔَﯿﻔِ ِﺠﻲ ﻟِ َﻐ ْﺒ ﻨَ ﯾ َ ﻻ‬ َ َ‫ِﻪ ْﻠ ﻫَ ْأ َﻲاﻧَ ﺮْ ﻬ‬


َ َ ‫ﻇ ْﻦ ﯿَ ﺑ‬

Tidak pantas bagi mayat seorang muslim untuk ditahan di antara keluarganya. [HR Abu Dawud].

Karena hal ini akan mencegah mayat tersebut dari adanya perubahan di dalam tubuhnya. Imam
Ahmad rahimahullah berkata: “Kehormatan seorang muslim adalah untuk disegerakan
jenazahnya.” Dan tidak mengapa untuk menunggu diantara kerabatnya yang dekat apabila tidak
dikhawatirkan akan terjadi perubahan dari tubuh mayit

Hal ini dikecualikan apabila seseorang mati mendadak, maka diharuskan menunggu terlebih
dahulu, karena ada kemungkinan dia hanya pingsan (mati suri). Terlebih pada zaman dahulu,
ketika ilmu kedokteran belum maju seperti sekarang. Pengecualian ini, sebagaimana yang
disebutkan oleh para ulama. [Lihat Asy Syarhul Mumti’ (5/330), Al Mughni (3/367)].

4. Diperbolehkan untuk menyampaikan kepada orang lain tentang berita kematiannya. Dengan
tujuan untuk bersegera mengurusnya, menghadiri janazahnya dan untuk menyalatkan serta
mendo’akannya. Akan tetapi, apabila diumumkan untuk menghitung dan menyebut-nyebut
kebaikannya, maka ini termasuk na’yu (pemberitaan) yang dilarang.
5. Disunnahkan untuk segera menunaikan wasiatnya, karena untuk menyegerakan pahala bagi
mayit. Wasiat lebih didahulukan daripada hutang, karena Allah mendahulukannya di dalam Al
Qur’an.

6. Diwajibkan untuk segera dilunasi hutang-hutangnya, baik hutang kepada Allah berupa zakat,
haji, nadzar, kaffarah dan lainnya. Atau hutang kepada makhluk, seperti mengembalikan
amanah, pinjaman atau yang lainnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ُ ‫ْﻪ ﻨَ ﻰ ﻋ َ ﻀْ ﻘُ ﱠﻰ ﯾ ﺘَ ِﺣ ِﻪ ْﻨ ﯾَ ِﺪ ﺑٌ ﺔَ ﱠﻘ ﻠَ ُﻌ ِﻣ ِﻦ ْﻣ ُﺆ ْﻤ اﻟ ُ ﺲْ ﻔَ ﻧ‬

Jiwa seorang mukmin terikat dengan hutangnya hingga dilunasi. [HR Ahmad, At Tirmidzi, dan
beliau menghasankannya].

Adapun orang yang tidak meninggalkan harta yang cukup untuk melunasi hutangnya, sedangkan
dia mati dalam keadaan bertekad untuk melunasi hutang tersebut, maka Allah yang akan
melunasinya.

7. Diperbolehkan untuk membuka dan mencium wajah mayit. Aisyah Radhiyallahu anha
berkata:

ُ َ ‫ﺖ ﯾَ أ‬ ِ َ ‫ﺖ ﯾَ أَ ﱠﻰ ر ﺘَ ٌﺣ ﱢﺖ ﯿَ َﻣ ُﻮ ﻫَ ٍوﻮنُ ْﻌ ﻈَ َﻣ ْﻦ ﺑَﺎنَ ْﻤ ﺜُ ُﻋ ﱢﻞ ﺒَ ﻘُ ﯾَ ﱠﻢ ﻠَ َﺳ ِو ْﻪ ﯿَ ﻠَ ُﻋ ﱠﻰ اﷲﱠ ﻠ‬


ْ ‫ﺻ اﷲﱠ َﻮ ُل َﺳ ُر‬ ْ ُ ‫ع اﻟ ﱡﺪﻣ‬
ُ ‫ﯿ ِﻞ َﺴ ﺗَﻮ‬
‫ر‬

Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium Utsman bin Madh’un
Radhiyallahu ‘anhu , saat dia telah meninggal, hingga aku melihat Beliau mengalirkan air mata.
[HR Abu Dawud dan At Tirmidzi].

Demikian pula Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu, beliau mencium Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallamn ketika beliau meninggal dunia.

2.2 Makna dan Hukum Sholat jenazah sholat jenazah adalah sholat fardhu kifayah yang
dilaksanakan saat ada umat muslim meninggal dunia. Tujuannya untuk mendoakan mayit agar
Allah berkenan mengampuni dan merahmatinya. Saat melakukan sholat, jenazah harus berada di
hadapan kita. Lalu sholat dilaksanakan dengan empat kali takbir serta diselingi doa dan
shalawat.Melakukan sholat ketika ada orang muslim meninggal dunia, namun tidak disertai
dengan kehadiran jenazah di hadapannya, adalah hal yang dibolehkan. Namun sholat ini bukan
disebut sholat jenazah, melainkan sholat ghaib. Berkaitan dengan masalah pengurusan jenazah,
ada 4 kewajiban terhadap jenazah yang mesti dilakukan oleh orang yang hidup. Empat hal ini
dihukumi fardhu kifayah , artinya harus ada sebagian kaum muslimin yang melakukan hal ini
terhadap mayit. Jika tidak, semuanya terkena dosa.

Empat hal yang mesti dilakukan terhadap mayit oleh yang hidup adalah:
1- Memandikan

2- Mengafani

3- Menyolatkan

4- Menguburkan

Empat hal di atas hanya berlaku pada mayit muslim. Adapun mayit kafir, tidak dishalatkan baik
kafir harbi maupun dzimmi. Boleh memandikan orang kafir, namun cuma dalam dua keadaan.
Dan wajib mengafani kafir dzimmi dan menguburkannya, tetapi hal ini tidak berlaku bagi kafir
harbi dan orang yang murtad. Adapun orang yang mati dalam keadaan ihram (sedang berumrah
atau berhaji), jika dikafani, maka kepalanya tidak ditutup.

2..3 Tata Cara dalam perawatan jenazah

MEMANDIKAN MAYIT 1. Hukum memandikan dan mengkafani mayit adalah fardhu kifayah.
Apabila telah dikerjakan oleh sebagian kaum muslimin, maka bagi yang lain gugur
kewajibannya. Dengan dalil sabda Nabi n tentang seorang muhrim (orang yang mengerjakan
ihram) yang terjatuh dan terlempar dari untanya:

ِ ‫ْﻪ ﯿَ ْﺑ َﻮﻲ ﺛِ ﻓُﻮهُ ﱢﻨ ﻔَ َﻛ ٍو رْ ِﺪ َﺳ ٍوﺎ َء ِﻤ ﺑُﻮهُ ﻠِ ْﺴ اﻏ‬

Mandikanlah dia dengan air dan daun bidara, dan kafanilah dengan dua helai kainnya.
[Muttafaqun ‘alaih].

2.Orang yang paling berhak memandikan seorang mayit, ialah orang yang diberi wasiat untuk
mengerjakan hal ini. Seseorang terkadang berwasiat karena ingin dimandikan oleh orang yang
bertaqwa, orang yang mengetahui hukum-hukum memandikan mayit.

3. Diperbolehkan bagi suami atau isteri untuk memandikan pasangannya. Diriwayatkan dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda kepada ‘Aisyah Radhiyallahu ‘€nha:

ُ ‫ﻚ ْﺘ ﻠَ َﺴ َﻐ ْﻟ ِﻲ ْﻠ ﺒَ ﱢ ﻗ‬
ِ ‫ﺖ ْﻣ َﻮ ﻟ‬ ُ ‫ﻚ ْﺘ ﻨَ ﻔَ َﻛ ِو‬
ُ

Seandainya engkau mati sebelumku, pasti aku akan memandikan dan mengkafanimu. [HR
Ahmad, Ibnu Majah, Ad Darimi].

4. Seorang muslim tidak boleh memandikan dan menguburkan seorang kafir. Allah berfirman
kepada NabiNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

ُ َ ‫ﺎﷲِا ْﺑ ُو َﺮ ﻔَ ْﻛ ُﻢ ﱠﻬ ﻧِ إِ ِه ﺮْ ﺒَﻰ ﻗَ ﻠَ ْﻋ ُﻢ ﻘَ ﺗَﻻَا ًو َﺪ ﺑَ أَﺎتَ ْﻣ ُﻢ ْﻬ ﻨِ ٍﻣ َﺪ َﺣﻰ أَ ﻠَ ﱢ ﻋ ﻞ‬


‫ﺼ ﺗَﻻَ و‬

Janganlah engkau menyalatkan seorang yang mati di antara mereka selama-lamanya, dan
janganlah engkau berdiri di atas kuburnya, sesungguhnya mereka kafir kepada Allah.[At
Taubah:84]
5. Seorang muslim tidak boleh memandikan dan menguburkan seorang kafir. Allah berfirman
kepada NabiNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

ُ َ ‫ﺎﷲِا ْﺑ ُو َﺮ ﻔَ ْﻛ ُﻢ ﱠﻬ ﻧِ إِ ِه ﺮْ ﺒَﻰ ﻗَ ﻠَ ْﻋ ُﻢ ﻘَ ﺗَﻻَا ًو َﺪ ﺑَ أَﺎتَ ْﻣ ُﻢ ْﻬ ﻨِ ٍﻣ َﺪ َﺣﻰ أَ ﻠَ ﱢ ﻋ ﻞ‬


‫ﺼ ﺗَﻻَ و‬

Janganlah engkau menyalatkan seorang yang mati di antara mereka selama-lamanya, dan
janganlah engkau berdiri di atas kuburnya, sesungguhnya mereka kafir kepada Allah.[At
Taubah:84].

Yang dimaksud dengan ayat tersebut, yaitu haram menguburnya seperti mengubur seorang
muslim. Akan tetapi kita gali untuknya lubang, kemudian dimasukkan mayat orang kafir ke
dalam lubang tersebut, atau ditutup dengan sesuatu

6. Kaifiyat memandikan jenazah. Hendaklah dipilih tempat yang tertutup, jauh dari pandangan
umum, tidak disaksikan kecuali oleh orang yang memandikan dan orang yang membantunya.
Kemudian melepaskan pakaiannya semula dipakainya setelah diletakkan kain di atas auratnya,
sehingga tidak terlihat oleh seorangpun. Kemudian dilakukan istinja’ terhadap mayit dan
dibersihkan kotorannya. Sesudah itu dilakukan wudhu’ seperti wudhu’ ketika akan shalat. Akan
tetapi, Ahlul Ilmi mengatakan, tidak dimasukkan air ke dalam mulut dan hidungnya, namun
diambil kain yang dibasahi dengan

air, lalu dipakai untuk menggosokkan giginya dan bagian dalam hidungnya, kemudian dibasuh
kepala dan seluruh tubuhnya, dimulai dengan bagian kanan.

7. Tidak diperbolehkan untuk mendatangi tempat pemandian mayit, kecuali orang yang akan
memandikan dan orang yang membantunya.

8. Ketika memandikan mayit, perlu memperhatikan hal-hal berikut ini: Yang wajib dalam
memandikan mayit adalah sekali. Apabila belum bersih, maka tiga kali dan seterusnya yang
diakhiri dengan hitungan ganjil. Dan disunnahkan untuk menyertainya dengan daun bidara atau
sesuatu yang membersihkan, seperti sabun atau yang lainnya. Hendaknya pada kali yang
terakhir, dicampurkan butir wewangian (kapur). Melepaskan ikatan rambut dan
membersihkannya dengan baik, menguraikan dan menyisir rambutnya, mengikat rambut wanita
menjadi tiga ikatan dan meletakkan di belakangnya. Memulai memandikan dengan bagian
tubuhnya yang kanan, anggota wudhu’nya terlebih dahulu. [Lihat Ahkamul Janaiz, hlm. 48].

9. Apabila tidak ada air untuk memandikan mayit, atau dikhawatirkan akan tersayat-sayat
tubuhnya jika dimandikan, atau mayat tersebut seorang wanita di tengah-tengah kaum lelaki,
sedangkan tidak ada mahramnya atau sebaliknya, maka mayat tersebut di tayammumi dengan
tanah (debu) yang baik, diusap wajah dan kedua tangannya dengan penghalang dari kain atau
yang lainnya.
10. Disunnahkan untuk mandi bagi orang yang telah selesai memandikan mayit. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ْ ‫ﺿ َﻮ ﺘَ ْﯿ ﻠَ ﻓُ ﻪَ ﻠَ َﻤ ﺣْ ﻦَ َﻣ وْ ِﻞ َﺴ ْﺘ َﻐ ْﯿ ﻠَ ﺎ ﻓً ﱢﺘ ﯿَ َﻣ ﱠﻞ َﺴ ْﻏ ﻦَ ﻣ‬
َ ‫ﱠﺄ‬

Barangsiapa yang memandikan mayit, maka hendaklah dia mandi. Dan barangsiapa yang
memikul jenazah, maka hendaklah dia wudhu’. [HR Ahmad, Abu Dawud dan beliau
menghasankannya].

11. Seorang yang mati syahid (terbunuh) di medan perang tidak boleh dimandikan, meskipun dia
dalam keadaan junub, bahkan dikubur dengan pakaian yang menempel padanya.

Dalam hadits Jabir Radhiyallahu ‘anhu :

َ َ ‫ﺼ ْﯾ َﻢ ﻟَ ا وْ ُﻮ ﱠﻠ َﺴ ُﻐ ْﯾ َﻢ َﻟ وْ ِﻢ ِﻬﺎﺋَ ِﻣﻲ ِد ﻓٍ ُﺪ ُﺣ أِا َء َﺪ ﻬُ ِﺷ ْﻦ ﻓَ ِﺪ ﺑَ َﺮ َﻣ أَ ﱠﻢ ﻠَ َﺳ ِو ْﻪ ﯿَ ﻠَ ُﻋ ﱠﻰ اﷲ ﻠ‬


ْ ‫ﺻ ِﻲ ﱠ اﻟﻨﱠﺒ نَ أ‬ ُ َ ‫ِﻢ ْﻬ ﯿَ ﻠَ ﱠ ﻋ ﻞ‬

Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengubur para syuhada’
Uhud dalam (bercak-bercak ) darah mereka, tidak dimandikan dan tidak dishalatkan. [HR Al
Bukhari].

12. Apabila janin yang mati keguguran dan telah berumur lebih dari empat bulan, maka
dimandikan dan dishalatkan. Berdasarkan hadits Al Mughirah yang marfu’:
ْ ُ‫ﺔَ ْﻤ اﻟﺮﱠﺣ َ ِو ةَ ِﺮ ْﻔ َﻐ ْﻤﺎﻟِ ﺑِ ْﻪ ﯾَ ِﺪاﻟَ ِﻮﻰ ﻟَ ْﻋ ُﺪ ﯾَ ِو ْﻪ ﯿَ ﻠَ ﱠﻰ ﻋ ﻠ َ ﺼُ( ﯾ‬
ِ ‫ اﻟ ُﺴ ﻞْ ﱢﻔ اﻟﻄَ و‬:‫ﻂ ﱢﻘ )و ﻓﻲ رواﯾﺔ‬

Seorang anak kecil (dan dalam satu riwayat, janin yang mati keguguran), dia dishalatkan dan
dido’akan untuk kedua orang tuanya dengan ampunan dan rahmat. [HR Abu Dawud dan At
Tirmidzi].

MENGKAFANI MAYIT 1. Yang wajib dari kafan adalah yang menutup seluruh tubuhnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di dalam hadits Jabir Radhiyallahu a’nhu :

ُ ‫ﻪَ ﻨَ ﻔَ ْﻛ ﱢﻦ َﺴ ُﺤ ْﯿ ﻠَ ﻓُﺎهَ ﺧَ ْأ ُﻢ ُﻛ َﺪ َﺣ أَ ﱠﻦ ﻔَ ا َﻛ ِذ إ‬

Apabila salah seorang diantara kalian mengkafani saudaranya, maka hendaklah memperbagus
kafannya. [HR Muslim].

2. Biaya kain kafan diambilkan dari harta mayit, lebih didahulukan daripada untuk membayar
hutangnya. Rasulullah n bersabda tentang seorang yang mati dalam keadaan ihram:

….ِ ‫ْﻪ ﯿَ ْﺑ َﻮﻲ ﺛِ ﻓُ ْه ُﻮ ﱢﻨ ﻔَ َﻛ و‬

… Kafanilah dia dengan dua bajunya. [Muttafaqun ‘alaih]


Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk dikafani dengan pakaian
ihram miliknya sendiri. Demikian pula kisah Mush’ab bin Umair yang terbunuh pada perang
Uhud, kemudian dikafani oleh Rasulullah n dengan pakaiannya sendiri.

3. Disunnahkan untuk dikafani dengan tiga helai kain putih. Karena Rasulullah dikafani dengan
tiga lembar kain putih suhuliyyah, berasal dari negeri di dekat Yaman.

Di beri wewangian dari bukhur (wewangian dari kayu yang dibakar). Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ﺎ ً ﺛَﻼَ ﺛُ ْه ُو ﱢﺮ َﻤ َﺠ ﻓَ ﱢﺖ ﯿَ ْﻤ اﻟُ ُﻢ ْﺗ ﱠﺮ َﻤا َﺟ ِذ إ‬

Apabila kalian memberi wewangian kepada mayit, maka berikanlah tiga kali. [HR Ahmad].

4. Apabila ada beberapa mayit, sedangkan kain kafannya kurang, maka beberapa orang boleh
untuk dikafani dengan satu kafan dan didahulukan orang yang paling banyak hafalan Al
Qur’annya, sebagaimana kisah para syuhada Uhud.

5. Kafan seorang wanita sama seperti kafan seorang lelaki. Syaikh Ibnu Utsaimin berkata:
“Dalam hal ini telah ada hadits marfu’ (kafan seorang wanita adalah lima helai kain, Pen). Akan
tetapi, di dalamnya ada seorang rawi yang majhul (tidak dikenal). Oleh karena itu, sebagian
ulama berkata: “Seorang wanita dikafani seperti seorang lelaki. Yaitu tiga helai kain, satu kain
diikatkan di atas yang lain.” Lihat Asy Syarhul Mumti’ (5/393) dan Ahkamul Janaiz, 65.

SHALAT JENAZAH (MENYALATKAN MAYIT) 1. Hukum shalat jenazah adalah fardhu


kifayah berdasarkan keumuman perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
menyalati jenazah seorang muslim. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang orang
yang bunuh diri dengan anak panah:

ْ ‫ﺻ ﻠَ ا ْﻋ ﱡﻮ ﻠ َ ﺻ‬
َ ‫ُﻢ ِﻜ ﺒِ ﺎﺣ َﻰ‬

Shalatkanlah saudara kalian. [HR Muslim].

2.Tata cara shalat jenazah. a. Imam berdiri sejajar dengan kepala mayit lelaki dan bila mayitnya
wanita, imam berdiri di bagian tengahnya. Makmum berdiri di belakang imam. Disunnahkan
untuk berdiri tiga shaf (barisan) atau lebih. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ُ ُ ‫ﺐ ﺟْ َو ْأ َﺪ ﻘَ ﻓ ٍﻮفُ ﻔ‬
َ ‫ﺻ ﺔَ ﺛ َ ﻼَ ﺛِ ْﻪ ﯿَ ﻠَ ﱠﻰ ﻋ ﻠ َ ﺻْ ﻦَ ﻣ‬ َ

Barangsiapa yang menyalatkan jenazah dengan tiga shaf, maka sesungguhnya dia diampuni. [HR
At Tirmidzi]

b. Kemudian bertakbir yang pertama, membaca Al Fatihah setelah ta’awwudz, tidak membaca
do’a iftitah sebelum Al Fatihah. Kemudian takbir yang kedua, membaca shalawat kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam tasyahhud. Setelah takbir yang ketiga,
membaca do’a untuk mayit. Sebaik-baik do’a adalah sebagai berikut:

‫ﺻﺎ َو ﻨِ ﺒِﺎﺋَ ﻏَﺎ َو ﻧِ ِﺪﺎﻫَ َﺷﺎ َو ﻨِ ﱢﺘ ﯿَ َﻣﺎ َو ﱢﻨ ﯿَ ِﺤ ْﻟ ِﺮ ْﻔ ﱠ اﻏ ُﻢ اﻟﻠﱠﻬ‬ ِ ِ‫ﺎَﺎﻧَ ْﺜ ﻧُ أَ ﺎ َو ﻧِ َﺮ َﻛ َذﺎ َو ﻧ‬


ِ ِ‫ﯿﺮ ﺒَ َﻛﺎ َو ﻧ‬
َ َ ‫ﯿﺮ ﻐ‬

Wahai, Allah! Ampunilah orang yang hidup di antara kami dan orang yang mati, yang hadir dan
yang tidak hadir, (juga) anak kecil dan orang dewasa, lelaki dan wanita kami. [HR At Tirmidzi]

c. Kemudian takbir yang keempat dan berhenti sejenak. Kemudian salam ke arah kanan sekali
salam.

Syaikh Ibnu Utsaimin menegaskan: “Pendapat yang benar, ialah tidak masalah (jika) salam dua
kali, karena hal ini telah tertera di sebagian hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [Lihat
Asy Syarhul Mumti’ (5/424)]

Di antara dalil yang menunjukkan salam dua kali dalam shalat jenazah, yaitu hadits Ibnu Mas’ud.

ِ َ ‫إُ ﱠ اﻟﻨﱠﺎ ﻦُ ﻬَ َﻛ َﺮ ﱠ ﺗ ﻦُ ﻬُ ﻠَ ْﻌ ﻔَ ﯾَ ﱠﻢ ﻠَ َﺳ ِو ْﻪ ﯿَ ﻠَ ُﻋ ﱠﻰ اﷲ ﻠ‬,‫ﺼ ﻼ ِ ﻓِ ْﻢ ﯿِ ْﻠ اﻟﺘﱠﺴ ُ ﻞْ ﺜِ ِﻣ ةَ ﺎ َز ﻨَ ﺠْ ﻰ اﻟَ ﻠَ ُﻋ ْﻢ ﯿِ ْﻠ ﱠ اﻟﺘﱠﺴ ﻦُ اﻫَ ْﺪ ِﺣس‬


‫ةَ ﻲ اﻟ ﱠ‬
‫ثﻼَ ﺛ‬َ ‫ﻼ ُﺧ‬
ِ ‫ﺻ اﷲُﻮ ُل َﺳ َرﺎنَ ٍﻛ َل‬ ِ

“(Ada) tiga kebiasaan (yang pernah) dikerjakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , namun
kebanyakan orang meninggalkannya. Salah satunya, (yaitu) salam dalam shalat jenazah seperti
salam di dalam shalat.” (HR Al Baihaqi). Maksudnya, dua kali salam seperti yang telah kita
ketahui.

d.Disunnahkan mengangkat tangan pada setiap kali takbir. Terdapat hadits yang shahih dari Ibnu
Umar secara mauquf, bahwasanya beliau Radhiyallahu anhuma mengerjakannya. Hadits ini
memiliki hukum marfu’, karena hal seperti ini tidak mungkin dikerjakan oleh seorang sahabat
dengan hasil ijtihadnya.

Ibnu Hajar berkata: “Terdapat riwayat shahih dari Ibnu Abbas, bahwasanya beliau mengangkat
tangannya pada seluruh takbir jenazah.” [Diriwayatkan oleh Sa’id, di dalam At Talkhishul Habir
(2/147)].

3.Tidak diperbolehkan shalat jenazah pada tiga waktu yang dilarang untuk mengerjakan
shalat.Yaitu ketika matahari terbit hingga naik setinggi tombak, ketika matahari sepenggalah
hingga tergelincir dan ketika matahari condong ke barat hingga terbenam. Ini disebutkan
sebagaimana di dalam hadits ‘Uqbah bin ‘Amir.

4. Bagi kaum wanita, diperbolehkan untuk menyalatkan jenazah dengan berjama’ah. Dan tidak
mengapa apabila shalat sendirian, karena dahulu Aisyah Radhiyallahu anhuma menyalatkan
jenazah Sa’ad bin Abi Waqqash.

5. Apabila terkumpul lebih dari satu jenazah dan terdapat mayat lelaki dan wanita, maka boleh
dishalatkan dengan bersama-sama. Jenazah lelaki meskipun anak kecil, diletakkan paling dekat
dengan imam. Dan jenazah wanita diletakkan ke arah kiblatnya imam. Yang paling afdhal di
antara mereka, diletakkan di dekat adalah yang paling dekat dengan imam.

6.Dalam menyalatkan mayit, disunnahkan dengan jumlah yang banyak dari kaum muslimin.
Semakin banyak jumlahnya, maka semakin baik. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:

ُ َ ‫ﯿ ِﻪﻮا ﻓُ ﱢﻌ ﻔُ ﱠ ﺷ ِﻻ إُ ﻪَ ﻟَﻮنُ َﻌ ْﻔ َﺸ ْﯾ ُﻢ ﱡﻬ ﻠُ ًﻛ ﺔَﺎﺋِ َﻣﻮنُ ُﻐ ْﻠ ﺒَ ﯾَﯿ ِﻦ ِﻤ ْﻠ ُﺴ ْﻤ ْاﻟ ِﻦ ٌﻣ ﱠﺔ ُﻣ أِ ْﻪ ﯿَ ﻠَ ﱢﻲ ﻋ ﻠ‬


ِ ‫ﺼ ﺗٍ ﱢﺖ ﯿَ ْﻣ ِﻦﺎ َﻣ ﻣ‬

Tidaklah seorang yang mati, kemudian dishalatkan oleh kaum muslimin, jumlahnya mencapai
seratus orang, semuanya mendo’akan untuknya, niscaya mereka bisa memberikan syafa’at
untuknya. [HR Muslim].

7. Apabila seseorang masbuq setelah imam salam, maka dia meneruskan shalatnya sesuai dengan
sifatnya. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: “Apabila dia salam dan tidak mengqadha’,
tidaklah mengapa. Karena Ibnu Umar berkata,’Tidak mengqadha’. Dan dikarenakan shalat
jenazah merupakan takbir-takbir yang beruntun ketika berdiri’.

8. Apabila tertinggal dari shalat jenazah secara berjama’ah, maka dia shalat sendirian selama
belum dikubur. Apabila sudah dikubur, maka dia shalat jenazah di kuburnya. Ibnul Qayyim
rahimahullah menyebutkan, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat jenazah di kuburan
setelah mayat dikuburkan semalam. Suatu ketika setelah jarak tiga hari dan pernah jarak satu
bulan. Beliau tidak memberikan batas waktu tertentu. [Lihat Zaadul Ma’ad (1/512)].

Jadi diperbolehkan shalat jenazah di kuburan mayat tersebut dan tidak ada batas waktu tertentu,
dengan syarat bahwa ketika mayat tersebut mati, orang yang menyalatkan sudah menjadi orang
yang sah shalatnya.

9. Diperbolehkan shalat ghaib bagi mayat yang belum di shalatkan di tempatnya semula. Karena
Nabi menyalatkan Raja Najasyi yang meninggal dunia ketika Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengetahui berita kematiannya.

10. Diperbolehkan untuk menyalatkan mayat yang dibunuh karena ditegakkan hukum Islam atas
diri si mayit. Sebagaimana di dalam hadits Muslim tentang kisah wanita Juhainah yang berzina,
kemudian bertaubat. Usai dirajam, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyalatkannya.

11. Seorang pemimpin kaum muslimin/ahli ilmu dan tokoh agama tidak menyalatkan orang yang
mencuri harta rampasan perang,atau orang yang mati bunuh diri.

12. Demikian pula bagi orang yang mati sedangkan dia meninggalkan hutang, maka dia juga
dishalatkan.

13. Shalat jenazah boleh dikerjakan di dalam masjid. Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha , beliau
berkata:
ِ ‫ﺻ ِﻣاﷲَ و‬ ِ َ ‫ِﺪ ﺠْ َﺴ ْﻤﻲ اﻟِ ﱠ ﻓ ِﻻ إِ ْﻪ ﯿِ ﺧَ أَ َوﺎء َ ﻀْ ﯿَ ﺑِ ْﻦ ﺑِ ﻞْ ﯿَ ﻬُﻰ َﺳ ﻠَ َﻋ ﱠﻢ ﻠَ َﺳ ِو ْﻪ ﯿَ ﻠَ ُﻋ ﱠﻰ اﷲﱠ ﻠ‬
َ ‫ﺻ اﷲﱠ ُﻮ ُل َﺳ ﱠﻰ ر ﻠ َ ﺎ‬

Demi, Allah! Tidaklah Nabi n menyalatkan jenazah Suhail bin Baidha’ dan saudaranya (Sahl),
kecuali di masjid. [HR Muslim].
BAB 3. KESIMPULAN

sholat jenazah adalah sholat fardhu kifayah yang dilaksanakan saat ada umat muslim meninggal
dunia. Tujuannya untuk mendoakan mayit agar Allah berkenan mengampuni dan merahmatinya.
Saat melakukan sholat, jenazah harus berada di hadapan kita. Lalu sholat dilaksanakan dengan
empat kali takbir serta diselingi doa dan shalawat.Melakukan sholat ketika ada orang muslim
meninggal dunia, namun tidak disertai dengan kehadiran jenazah di

hadapannya, adalah hal yang dibolehkan. Namun sholat ini bukan disebut sholat jenazah,
melainkan sholat ghaib. Berkaitan dengan masalah pengurusan jenazah, ada 4 kewajiban
terhadap jenazah yang mesti dilakukan oleh orang yang hidup. mpath al ini dihukumi fardhu
kifayah , artinya harus ada sebagian kaum muslimin yang melakukan hal ini terhadap mayit.
Jika tidak, semuanya terkena dosa.

mpath al yang mesti dilakukan terhadap mayit oleh yang hidup adalah:

1- Memandikan

2- Mengafani

3- Menyolatkan

4- Menguburkan

mpath al di atas hanya berlaku pada mayit muslim. Adapun mayit kafir, tidak dishalatkan baik
kafir harbi maupun dzimmi. Boleh memandikan orang kafir, namun cuma dalam dua keadaan.
Dan wajib mengafani kafir dzimmi dan menguburkannya, tetapi hal ini tidak berlaku bagi kafir
harbi dan orang yang murtad. Adapun orang yang mati dalam keadaan ihram (sedang berumrah
atau berhaji), jika dikafani, maka kepalanya tidak ditutup.
DAFTAR PUSTAKA

1. Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun VIII/1426H/2005. Diterbitkan Yayasan


Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183
Telp. 0271-761016

2. PERAWATAN JENAZAH Oleh: Dr. Marzuki, M.Ag.

3. Al Iqna’ fi Halli Alfazhi Abi Syuja’ , Syamsuddin Muhammad bin Muhammad Al Khotib,
terbitan Maktabah At Taufiqiyyah.

4. Hasyiyah Al Qoulul Mukhtar fii Syarhi Ghoyatil Ikhtishor (Fathul Qorib) , Muhammad bin
Qosim Al Ghozzi, ta’liq: Dr. Sa’adud Din bin Muhammad Al Kubbi, terbitan Maktabah Al
Ma’arif, cetakan pertama, tahun 1432 H.

5. Mukhtashor Abi Syuja’ (Matan Al Ghoyah wat Taqrib) , Ahmad Al Husain Al Ashfahani Asy
Syafi’i, terbitan Darul Minhaj, cetakan pertama, tahun 1428 H.

Anda mungkin juga menyukai