Anda di halaman 1dari 7

DIABETES MELITUS

Diabetes adalah penyakit kronis serius yang terjadi karena pankreas tidak menghasilkan cukup
insulin (hormon yang mengatur gula darah atau glukosa), atau ketika tubuh tidak dapat secara
efektif menggunakan insulin yang dihasilkannya. Diabetes adalah masalah kesehatan masyarakat
yang penting, menjadi salah satu dari empat penyakit tidak menular prioritas yang menjadi target
tindak lanjut oleh para pemimpin dunia. Jumlah kasus dan prevalensi diabetes terus meningkat
selama beberapa dekade terakhir. (WHO Global Report, 2016).

Diagnosis Diabetes Melitus

 Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah.


 Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan
cara pemeriksaan yang dipakai.
 Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara
enzimatik dengan bahan darah plasma vena.
 Tujuan pemantauan: pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glucometer
 Uji diagnostik DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala/tanda DM
 Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk identifikasi sedini mungkin mereka yang tidak
bergejala, yang mempunyai resiko DM agar bisa dilakukan tindakantindakan yang
berhubungan dengan pencegahan diabetes seperti pengaturan pola makan dan olahraga
yang teratur mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai risiko DM.
 Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok dengan salah satu risiko DM sebagai
berikut :
1. usia >45 tahun
2. Berat badan lebih : BBR > 110% BB idaman atau IMT > 23 kg/m2
3. Hipertensi (≥ 140/90 mmHg)
4. Riwayat DM dalam garis keturunan pertama
5. Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau BB lahir bayi > 4000 gr
6. Kolesterol HDL ≤ 35 mg/dl dan trigliserida ≥ 250 mg/dl
7. Menderita polycistis ovarial syndrome (PCOS)
 Untuk kelompok resiko tinggi yang hasil pemeriksaan penyaringnya negatif pemeriksaan
penyaring ulangan dilakukan tiap tahun, sedangkanbagi mereka yang berusia > 45 tahun
tanpa faktor resiko pemeriksaan penyaring dilakukan setiap 3 tahun
 Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
 Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaankadar glukosa darah
sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi
glukosaoral (TTGO) standar.
 Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokanpenyaring dan diagnosis DM
(mg/dl)

Langkah-langkah untuk menegakkan diagnosis DM

Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada

 Keluhan khas : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak
dapat dijelaskan penyebabnya.
 Keluhan lain : lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, serta
pruritus vulvae pada wanita.
 Jika ada keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl sudah cukup
untuk menegakkan dx DM.
 Hasil pemeriksaan glukosa darah puasa ≥126mg/dl juga dapat digunakan untuk
menegakkan dx DM.
 Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru
sekali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan dx DM. Diperlukan
pemastian lebih lanjut untuk mendapat satu kali lagi angka abnormal.
 Kriteria diagnostik diabetes melitus* dan gangguan toleransi glukosa
- Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena ≥200 mg/dl ATAU
- Kadar glukosa darah puasa (plasma vena ≥126 mg/dl ATAU
- Kadar glukosa plasma ≥200 mg/dl pada dua jam sesudah beban glukosa 75
gram pada TTGO

Nilai atau Indeks Diagnostik lainnya

Untuk dx dan klasifikasi ada indeks tambahan yang dapat dibagi atas 2 bagian :

1. Indeks penentuan derajat kerusakan sel beta. dapat dinilai dari kadar insulin, pro-insulin, dan
sekresi peptida penghubung (C-peptide).

2. Indeks proses diabetogenik untuk penialian proses diabetogenik, saat ini dapat dilakukan
penentuan tipe dan sub-tipe HLA.

Klasifikasi DM Klasifikasi DM yang dianjurkan oleh PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi


Indonesia) adalah yang sesuai dengan anjuran klasifikasi DM menurut American Diabetes
Association (ADA) 1997, sbg berikut :

1. Diabetes Melitus tipe 1 (destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut): -
Autoimun - Idiopatik (tidak diketahui penyebabnya)

2. Diabetes Melitus tipe 2 (bervariasi mulai dari yang terutama dominan resistensi insulin disertai
defisiensi insulin relatif sampai yang terutama defek sekresi insulin disertai resistensi insulin)

3. Diabetes Melitus tipe lain :

A. Defek genetik fungsi sel beta

B. Defek genetik kerja insulin : Resistensi insulin tipe A, leprechaunism, Sindrom Rabson
Mendenhall, diabetes, lipoatrofik,dll

C. Penyakit endokrin pankreas


D. Endokrinopati

E. Karena obat/zat kimia

F. Infeksi

H. Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM : * sindrom Down, sindrom Kleinfelter,
sindrom Turner, dan lain-lain.

4. Diabetes Melitus Gestasional (DMG) : pada masa kehamilan

Antidiabetik digunakan sebagai pengobatan Diabetes Mellitus ada dua jenis, yaitu :

1) Insulin
Insulin adalah polipeptida yang dihasilkan sel-β dari pulau Langherns dan merupakan
kelompok sel yang terdiri dari 1% masa pankreas (Rimbawan dan Siagin, 2004). Pasien
dengan DM tipe 1 membutuhkan 0,5-1,0 U/kg insulin per hari dibagi dalam beberapa
dosis (Triplitt dkk, 2005). Insulin diberikan secara subkutan dengan tujuan
mempertahankan kadar gula darah dalam batas normal sepanjang hari yaitu 80-160 mg%
setelah makan. Insulin dan analognya menurunkan level glukosa darah dengan
menstimulasi uptake glukosa dan menghambat produksi glukosa hepatik. Insulin
menghambat lipofisis di adiposit, menghambat proteolisis dan menaikkan sintesis protein
(Kristina, 2005. Ada 3 macam sediaan insulin yaitu : insulin kerja singkat (short-acting),
insulin kerja sedang (intermediate-acting), insulin kerja panjang dengan mula kerja lebih
lambat. Insulin umumnya diberikan melalui injeksi subkutan. Efek insulin yang paling
sering terjadi adalah hipoglikemik (Anonim, 2008)
2) Obat Hipoglikemik Oral
Antidiabetes oral ditambahkan jika pengelolaan diabetes mellitus dengan pendekatan non
farmakologis, yaitu berupa perencanaan makan/terapi nutrisi medik, kegiatan jasmani dan
penurunan berat badan, belum mencapai sasaran terapi diabetes (Soegondo dkk, 2005).
Obat-obat ini berguna dalam pengobatan pasien diabetes tipe II yang tidak dapat
diperbaiki hanya dengan diet. Pasien yang mungkin berespon terhadap obat hipoglikemik
oral adalah mereka yang diabetesnya berkembang setelah berumur 40 tahun dan telah
menderita diabetes kurang dari 5 tahun (Mycek dkk, 2001). Berdasarkan cara kerjanya
Obat Hipiglikemik Oral (OHO) dibagi menjadi 3 golongan :
a) Pemicu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)
(1) Sulfonilurea
Golongan obat ini bekerja dengan merangsang sel beta pankreas untuk melepaskan
insulin yang tersimpan sehingga obat ini tidak dapat dipakai pada diabetes tipe I.
Mekanisme kerja obat golongan sulfonilurea yaitu, menstimulasi pelepasan insulin yang
tersimpan (stored insulin), menurunkan ambang sekresi insulin, meningkatkan sekresi
insulin sebagai akibat rangsangan glukosa. Obat golongan ini merupakan pilihan untuk
pasien diabetes dewasa dengan berat badan normal dan kurang serta tidak pernah
mengalami ketoasidosis sebelumnya. Sulfonilurea sebaiknya tidak diberikan pada
penyakit hati, ginjal, dan tiroid (Soegondo dkk, 2005). Contoh obat sulfonilurea generasi
pertama adalah asetoheksamida, klorpropamida, tolazamida, dan tolbutamida, sedangkan
generasi kedua antara lain gliburida (glibenklamida), glipizida, glikasida, glimepirida,
dan glikuidon. Obat golongan ini semuanya mempunyai cara kerja yang serupa, berbeda
dalam hal masa kerja, degradasi, dan aktivitas metabolitnya. Pada pemakaian
sulfonilurea, umumnya selalu dimulai dengan dosis rendah untuk menghindari
kemungkinan hipoglikemia (Soegondo dkk, 2005). Untuk menghindari resiko
hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaan seperti orang tua, gangguan faal
ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan
sulfonilurea kerja panjang. Efek sampingnya yang terpenting adalah hipoglikemia yang
dapat terjadi secara terselubung adakalanya tanpa gejala khas, khususnya pada derivat
seperti glibenklamida (Hardman dkk, 2001). Kadar glukosa darah puasa dimonitor setiap
2 minggu dan HbA1C setiap 3 bulan (Anonim, 2007).
(2) Glinid
Glinid merupakan obat generasi baru yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam
obat yaitu : Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenialanin).
Repaglinid dapat menurunkan glukosa darah puasa walaupun mempunyai masa paruh
yang singkat. Sedang nateglinid mempunyai masa tinggal lebih singkat dan tidak
menurunkan glukosa darah puasa. Sehingga keduanya merupakan insulin secretagogue
yang khusus menurunkan glukosa post prandial dengan efek hipoglikemik yang minimal
(Soegondo dkk, 2005). Kadar glukosa darah puasa dimonitor setiap 2 minggu dan
HbA1C setiap 3 bulan, dan kadar glukosa darah post prandial dimonitor pada awal
penggunaan obat ini.
b) Penambah Sensitivitas terhadap Insulin (Insulin Sensitizing)
(1) Biguanid
Biguanid tidak merangsang sekresi insulin dan menurunkan kadar glukosa darah sampai
normal (euglikemia) serta tidak pernah menyebabkan hipoglikemia. Contoh obat
golongan ini adalah metformin. Metformin tidak menyebabkan kenaikan berat badan
seperti pada pemakaian sulfonilurea (Soegondo dkk, 2005). Metformin digunakan
sebagai terapi tunggal dan terapi kombinasi dengan sulfonilurea, glinid, thiazolidindione,
dan insulin. Metformin dikontraindikasikan pada laki-laki dengan serum kreatinin > 1,5
mg/dl dan wanita dengan serum kreatinin > 1,4 mg/dl, pasien gangguan hati, congestive
heart failure (CHF), asidosis metabolik, dehidrasi dan pengguna alkohol berlebih.
Mekanisme kerja yang diusulkan baru-baru ini meliputi stimulasi glikolisis secara
langsung dalam jaringan dengan peningkatan eliminasi glukosa dari darah, penurunan
glukoneogenesis hati, melambatkan absorpsi glukosa dari saluran cerna dengan
peningkatan perubahan glukosa menjadi laktat oleh eritrosit, dan penurunan kadar
glukagon plasma (Katzung, 2002). Efek sampingnya yang paling sering terjadi berupa
gangguan lambung-usus (mual, anorexia, sakit perut, diare), tetapi umumnya bersifat
sementara. Yang lebih serius adalah asidosis asam laktat dan angiopati luas, terutama
pada manula dan insufisiensi hati atau ginjal (Hardman dkk, 2001). Serum kreatinin
dimonitor pada awal penggunaan, kadar glukosa darah puasa dimonitor setiap 2 minggu
dan HbA1C setiap 3 bulan. Dosis efektif maksimum 2g/hari (Anonim, 2007).
(2) Tiazolidindion
Golongan tiazolidindion atau glitazon adalah golongan obat yang juga mempunyai efek
farmakologis untuk meningkatkan sensitivitas insulin. Tiazolidindion (rosiglitazon dan
pioglitazon) berikatan pada peroxisome proliferator activated receptor gamma (PPARγ),
suatu receptor inti di sel otot dan lemak. Reseptor PPARγ terdapat di jaringan target kerja
insulin seperti jaringan adiposa, otot skelet, dan hati, sedang reseptor pada organ tersebut
merupakan regulator homeostasis lipid, diferensiasi adiposit, dan kerja insulin (Soegondo
dkk, 2005). Efek samping yang paling utama dari tiazolidindion (rosiglitazone dan
pioglitazon) adalah udem, terutama pada pasien hipertensi dan congestive cardiac failure
(Walker dan Edward, 2003). Tanda-tanda cairan tubuh yang berlebih, AST dan ALT
perlu. Dikontraindikasikan pada pasien dengan ALT > 2,5 kali di atas nilai normal,
penyakit hati, pengguna alkohol berlebih, penyakit jantung kelas III atau IV (Anonim,
2007).
c) Penghambat Alfa Glukosidase/Acarbose
Salah satu contoh inhibitor α-glukosidase adalah acarbose yang dapat digunakan sebagai
monoterapi atau sebagai kombinasi dengan insulin, metformin, glitazon atau sulfonilurea.
Acarbose merupakan suatu penghambat enzim alfa glukosidase yang terdapat pada
dinding usus halus. Enzim α-glukosidase adalah maltase, isomaltase, glukomaltase dan
sukrase berfungsi untuk menghidrolisis oligosakarida, trisakarida, dan disakarida pada
dinding usus halus (brush border). Inhibisi sistem enzim ini secara efektif dapat
mengurangi pencernaan karbohidrat kompleks dan absorbsinya, sehingga pada penderita
diabetes dapat mengurangi peningkatan kadar glukosa post prandial (Soegondo dkk,
2005) Acarbose juga menghambat enzim α-amilase pankreas yang berfungsi melakukan
hidrolisa polisakarida di dalam lumen usus halus. Obat ini hanya mempengaruhi kadar
glukosa darah pada waktu makan dan tidak mempengaruhi kadar glukosa darah setelah
itu (Soegondo dkk, 2005). Efek samping yang biasa terjadi adalah gangguan GI, seperti
flatulen, bloating, rasa tidak nyaman, dan diare (Dipiro et al., 2005). Kadar glukosa darah
post prandial dimonitor pada awal penggunaan obat ini, dan HbA1C setiap 3 bulan.
Glukosa digunakan jika terjadi hipoglikemia.

Anda mungkin juga menyukai