Anda di halaman 1dari 14

BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

1. Diabetes Melitus tipe 2


1.1 Definisi
Diabetes Melitus (DM) adalah kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin, atau kedua-duanya.1 Diabetes melitus juga dihubungkan dengan gangguan
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein akibat kekurangan absolut atau
related dari sekresi insulin atau gangguan fungsi insulin.2 Menurut WHO, diabetes
melitus merupakan penyakit metabolic yang dapat menyebabkan kerusakan serius
pada jantung, pembuluh darah, mata, ginjal, dan saraf.
Diabetes melitus dapat diklasifikasikan menjadi diabetes melitus tipe 1, tipe
2, diabetes gestasional, diabetes tipe lain. 1 Namun, secara umum diabetes dikenal
dalam dua kelompok besar, yaitu DM tipe 1 dan DM tipe 2.3 Diabetes melitus tipe
2 merupakan kelompok penyakit heterogen yang dikarakteristikan dengan
berbagai derajat resistensi insulin, gangguan sekresi insulin, dan peningkatan
produksi glukosa.4 Diabetes melitus tipe 2 umumnya dijumpai pada usia dewasa
atau lanjut usia dengan hiperglikemia kronik yang berkaitan dengan gaya hidup
dan pola makan.3

1.2 Faktor Risiko


Faktor risiko diabetes melitus tipe 2 antara lain usia, aktivitas fisik, indeks
massa tubuh, tekanan darah, stress, gaya hidup, riwayat keluarga, kolesterol HDL,
triglesirida, hipertensi, usia, DM kehamilan, riwayat abnormalitas glukosa, dan
kelainan lainnya.1,4,5
1.3 Patofisiologi
Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan,
yaitu resistensi insulin dan disfungsi sel β pankreas. Diabetes melitus tipe 2 bukan
disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin
gagal atau tidak mampu merespon insulin secara normal (resistensi insulin).2,5,6
Kondisi resistensi insulin banyak terjadi akibat dari obesitas dan kurangnya
aktivitas fisik, serta faktor penuaan. Pada penderita diabetes melitus tipe 2 dapat
juga terjadi produksi glukosa hepatik yang berlebihan tetapi tidak terjadi
kerusakan sel-sel β langerhans secara autoimun, seperti diabetes melitus tipe 2.
Defisiensi fungsi insulin pada penderita diabetes melitus tipe 2 hanya bersifat
relatif dan tidak absolut. Pada awal perkembangan diabetes melitus tipe 2, sel β
menunjukan gangguan pada sekresi insulin. Pada fase ini, sekresi insulin gagal
mengkompensasi resistensi insulin. Apabila tidak ditangani dengan baik, pada
perkembangan selanjutnya akan terjadi kerusakan sel-sel β pankreas. Kerusakan
sel-sel β pankreas akan terjadi secara progresif dan seringkali akan menyebabkan
defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen. Pada
penderita diabetes melitus tipe 2 memang umumnya ditemukan kedua faktor
tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin.2,5

1.4 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis dari penyakit DM antara lain
A. Poliuri (Sering buang air kecil) dan Polidipsi
Poliuri adalah buang air kecil terutama pada malam hari dan sering daripada
biasanya. Hal ini disebabkan karena glukosa darah melebihi ambang ginjal (>180
mg/dL), sehingga glukosa akan diekskresikan melalui urin. Untuk
mengeksreksikan glukosa melalui urin, tubuh akan menyerap air sebanyak
mungkin ke dalam urin, sehingga urin dalam jumlah besar dapat dikeluarkan dan
penderita akan mengalami buang air kecil yang lebih sering dibandingkan
keadaan normal. Ekskresi urin harian normalnya sekitar 1,5 liter perhari, tetapi
pada pasien DM yang tidak terkontrol, ekskresi urin mencapai lima kali lipat dari
nilai normal. Kondisi ini akan menyebabkan penderita DM sering merasa haus
dan ingin minum air sebanyak mungkin (polidipsi). Hal ini disebabkan karena
ekskresi urine lebih banyak daripada normal, sehingga tubuh akan mengalami
dehidrasi. Untuk mengatasi kondisi tersebut maka rasa haus akan ditimbulkan
pada penderita.1-6
B. Polifagia
Insulin menjadi bermasalah pada penderita DM sehingga pemasukan gula
ke dalam sel-sel tubuh kurang dan energi yang dibentuk menjadi berkurang. Hal
ini akan menyebabkan penderita merasa kurang bertenaga. Selain itu, sel tubuh
pada penderita DM akan mengalami defisit glukosa, sehingga otak akan
menstimulasi pemasukan glukosa melalui peningkatan nafsu makanan dengan
menimbulkan alarm rasa lapar. Hal inilah yang menjadi mekanisme peningkatan
nafsu makan pada penderita DM. 1-6
C. Penurunan Berat Badan
Ketika tubuh tidak mampu mendapatkan energi yang cukup dari glukosa
akibat insensitivitas terhadap insulin, tubuh akan mengkompensasi pembentukan
ATP melalui metabolisme lemak dan protein. Dalam mekanisme sekresi urin,
penderita DM yang tidak terkendali bisa kehilangan sebanyak 500 gr glukosa
dalam urin per 24 jam (setara dengan 2000 kalori perhari hilang dari tubuh).1-6
D. Gejala kronik DM
Gejala kronik diabetes melitus, yaitu kesemutan, kulit terasa panas atau
seperti tertusuk tusuk jarum, rasa kebas di kulit, kram, kelelahan, mudah
mengantuk, pandangan mulai kabur, gigi mudah goyah dan mudah lepas,
kemampuan seksual menurun bahkan pada pria bisa terjadi impotensi, pada ibu
hamil sering terjadi keguguran atau kematian janin dalam kandungan atau dengan
bayi berat lahir lebih dari 4kg.2

1.5 Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksan kadar glukosa darah
enzimatik dengan sampel berupa plasma darah vena. Pemantauan hasil
pengobatan dapat dilakukan dengan glukometer. Penegakkan diagnosis DM tidak
bisa dilakukan hanya dengan dasar adanya glukosuria.1,5 Kecurigaan adanya DM
perlu dipikirkan apabila pasien datang dengan keluhan, seperti5
A. Keluhan klasik DM
Keluhan klasik DM, seperti poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
B. Keluhan lain
Keluhan lain yang sering dijumpai pada penderita DM antara lain badan
terasa lemas, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, dan
pruritus vulva pada wanita.
Selain dari anamnesis, kriteria diagnosis diabetes melitus ditunjang dengan
pemeriksaan glukosa plasma.1,5

Tabel 1. Kriteria diagnosis diabetes melitus

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM


digolongkan sebagai prediabetes yang meliputi Toleransi Glukosa Terganggu
(TGT) dan Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT) atau dari hasil pemeriksaan
HbA1c.1,5
1) Hasil pemeriksaan GDPT didapatkan glukosa plasma puasa antara 100-125
mg/dL dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2 jam < 140 mg/dL
2) Hasil pemeriksaan TGT didapatkan pemeriksaan glukosa plasma 2-jam
setelah TTGO antara 140-199 mg/dL dan glukosa plasma puasa <100
mg/dL
3) Bersma-sama didapatkan GDPT dan TGT
4) Diagnosis prediabeter dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%
Tabel 2. Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis diabetes dan prediabetes

Gambar 1. Cara pelaksanaan TTGO

Pemeriksaan screening dilakukan untuk menegakkan diagnosis DM tipe 2


dan prediabetes pada kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan gejala
klasik DM, yaitu1,5
A. Kelompok dengan berat badan lebih (Indeks Massa Tubuh/IMT ≥23 kg/m 2)
yang disertai dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai berikut:
1) Aktivitas fisik yang kurang
2) First degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam keluarga)
3) Kelompok ras/etnis tertentu
4) Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL> 4Kg atau
mempunyai riwayat diabetes melitus gestasional
5) Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk hipertensi)
6) HDL <35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL
7) Wanita dengan sindrom polikistik ovarium
8) Riwayat prediabetes
9) Obesitas berat, akantosis nigricans
10) Riwayat penyakit kardiovaskular

B. Usia lebih dari 45 tahun tanpa faktor risiko di atas

Kelompok risiko tinggi dengan hasil pemeriksaan glukosa plasma normal


sebaiknya diulang setiap 3 tahun. Sementara pada kelompok prediabetes,
pemeriksaan diulang tiap 1 tahun. Selain itu, pada kondisi yang tidak
memungkinkan dan tidak tersedia fasilitas untuk melakukan pemeriksaan TTGO
maka pemeriksaan screening berupa pemeriksaan glukosa darah kapiler
diperbolehkan untuk patokan diagnosis DM5

1.6 Penatalaksanaan
A. Terapi farmakologis
Terapi farmakologi untuk penderita DM terdiri dari obat oral dan bentuk
suntikan.1-5
1) Obat antihiperglikemia oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemi oral terbagi menjadi 6
golongan, yaitu
a. Pemacu sekresi insulin, misalnya sulfonylurea dan glinid
b. Peningkat sensitivitas terhadap insulin, misalnya metformin dan
tiazolidenedion (TZD)
c. Penghambat alfa glucosidase
d. Penghambat enzim dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4 inhibitor)
e. Penghambat enzim sodium glucose co-transporter 2
Tabel 3. Macam-macam obat antihiperglikemia oral

2) Obat antihiperglikemia suntik


Obat antihiperglikemia suntik, yaitu insulin, agonis GLP-1, dan kombinasi
insulin dan agonis FLP-1.1-5
a. Insulin
Insulin digunakan pada keadaan:
− HbA1C saat diperiksa ≥7,5% dan sudah menggunakan satu atau dua
obat antidiabetes
− HbA1C saat diperiksa>9%
− Penurunan berat badan yang cepat
− Hiperglikemia berat disertai ketosis
− Krisis hiperglikemia
− Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
− Stress berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)
− Kehammilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak
terkendali dengan perencanaan makan
− Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
− Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
− Kondisi perioperative sesuai dengan indikasi

b. Agonis GLP-1
Agonis GLP-1 merupakan obat yang disuntikan secara subkutan untuk
menurunkan kadar glukosa darah dengan cara meningkatkan jumlah GLP-1
dalam darah. Berdasarkan cara kerjanya, obat ini dibagi menjadi dua, yaitu
GLP-1 cara kerja pendek yang memiliki waktu paruh kurang dari 24 jam
dan diberikan sebanyak 2 kali perhari. Sedangkan agonis GLP-1 kerja
panjang diberikan 1 kali perhari, contohnya adalah lixisenatide.5
Bagan 1. Algoritma terapi injeksi GLP 1 RA pada DM tipe 2

Kriteria pengendalian DM didasarkan pada hasil pemeriksaan kadar


glukosa, kadar HbA1c, dan profil lipid. Definisi DM yang terkendali baik adalah
apabila kadar glukosa darah, kadar lipid, dan HbA1c mencapai kadar yang
diharapkan, serta status gizi maupun tekanan darah sesuai dengan target yang
ditentukan.1-5

Tabel 4. Parameter pengendalian DM


B. Terapi Nutrisi Medis
Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM haruslah meliputi makanan
gizi seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori. Penderita DM harus
ditekankan mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis, dan jumlah
kalori. Komposisi makanan yang dianjurkan untuk penderita DM terdiri dari:
1) Karbohidrat
a. Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.
Terutama karbohidrat yang berserat tinggi.
b. Pembatasan karbohidrat total<130 gram/hari tidak dianjurkan
c. Glukosa dalam bumbu diperbolehkan
d. Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi
e. Dianjurkan makan tiga kali sehari dan bila perlu dapat diberikan
makanan selingan, seperti buah atau makanan lain sebagai bagian dari
kebutuhan kalori sehari.
2) Lemak
a. Asupan lemak dianjurkan 20-25% kebutuhan kalori dan tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energi
b. Komposisi yang dianjurkan, yaitu lemak jebuh<7% kebutuhan kalori.
Lemak jenuh tidak ganda (PUFA)< 10%. Selebihnya dari lemak tidak
jenuh tunggal (MUFA) 12-15%. Rekomendasi perbandingan lemak
jenuh: lemak tak jenuh tunggal: lemak tak jenuh ganda adalah 0.8: 1.2:
1. Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah daging berlemak dan susu
fullcream, serta konsumsi kolesterol yang dianjurkan adalah <200
mg/hari
3) Protein
a. Pada pasien dengan nefropati diabetik perlu penurunan asupan protein
menjadi 0,8 g/kgBB/hari atau 10% dari kebutuhan energi dengan 65%
diantaranya bernilai biologis tinggi
b. Penderita DM yang sudah menjalani hemodialisis asupan protein
menjadi 1-1,2gram/kgBB/hari
c. Sumber protein yang baik adalah ikan, udang, cumi, daging tanpa
lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan,
tahu, tempe. Sumber makanan protein dengan kandungan saturated fatty
acid (SAFA) tinggi seperti daging kambing, daging sapi, produk olahan
hewani sebaiknya dikurangi untuk dikonsumsi.
4) Natrium
a. Anjuran asupan nutrium bagi penderita DM sama dengan orang sehat,
yaitu <1500mg perhari.
b. Penderita DM yang memiliki hipertensi
5) Serat
a. Penderita DM dianjurkan untuk mengonsumsi serat dari kacang-
kacangan, buah, dan sayuran, serta sumber karbohidrat tinggi serat.
b. Jumlah konsumsi serat yang disarankan adalah 14 garam/1000 kalori
atau 20-35 gram perhari

1.7 Edukasi
Edukasi penting untuk dilakukan pada penderita DM. selain bertujuan untuk
mencapai pola hidup sehat, edukasi juga ditujukan untuk mencegah komplikasi
yang dapat timbul akibat penyakit DM.1-5
A. Edukasi tingkat awal (dilakukan di pelayanan kesehatan primer)
1) Menjelaskan tentang perjalanan penyakit DM
2) Makna dan perlunya pengendalian, serta pemantauan DM secara
berkelanjutan
3) Penyulit DM dan risikonya
4) Intervensi non-farmakologi dan farmakologis, serta target pengobatan
5) Interaksi antara asupan makanan, aktivitas fisik, dan obat
antihiperglikemia oral, atau insulin, serta obat-obatan lain
6) Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah
atau urin mandiri (dilakukan hanya jika pemantauan glukosa darah
mandiri tidak tersedia).
7) Mengenal gejala dan penanganan awal hipoglikemia
8) Pentingnya latihan jasmani yang teratur
9) Pentingnya perawatan kaki
10) Cara menggunakan fasilitas perawatan kesehatan
B. Edukasi tingkat lanjut (dilakukan di pelayanan kesehatan sekunder dan/atau
tersier)
1) Mengenal dan mencegah penyulit akut DM
2) Pengetahuan mengenai penyulit menahun DM
3) Penatalaksanaan DM selama menderita penyakit lain
4) Rencana kegiatan khusus (contoh: olahraga prestasi)
5) Kondisi khusus yang dihadapi (contoh: hamil, puasa, hari-hari sakit)
6) Hasil penelitian dan pengetahuan masa kini dan teknologi mutakhir
tentang DM
7) Pemeliharaan/ perawatan kaki

Tabel 3. Edukasi perawatan kaki


1. Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki termasuk di pasir dan air
2. Periksa kaki setiap hari dan dilaporkan kepada dokter apabila kulit
terkelupas, kemerahan, atau luka
3. Periksa alas kaku dari benda benda asing sebelum memakainya
4. Selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih, tidak basah, dan
mengoleskan krim pelembab pada kulit kaki yang kering
5. Potong kuku secara teratur
6. Keringkan kaki dan sela-sela jari kaki secara teratur dan setelah dari
kamar mandi
7. Gunakan kaos kaki dari bahan katun yang tidak menyebabkan
lipatan pada ujung-ujung jari kaki
8. Bila dijumpai kalus atau mata ikan, tipiskan secara teratur
9. Jika sudah terdapat kelainan bentuk kaki, gunakan alas kaki yang
dibuat khusus
10. Sepatu tidak boleh terlalu sempit atau longgar. Jangan gunakan
sepatu hak tinggi
11. Hindari penggunaan bantal atau botol berisi air panas untuk
menghangatkan kaki

Daftar Pustaka

1. Purnamasari D. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. In: Ilmu


Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta: Interna Publishinng; 2014. p. 2322.
2. Fatimah RN. Diabete Melitus Tipe 2. Majority. 2016;4(5).

3. Sapra A, Bhandari P. Diabetes Melitus [Internet]. StatPearls Publishing;


2022. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK551501/#_NBK551501_pubdet_

4. Powers AC. Diabetes Mellitus. In: Jameson JL, editor. Harrisons’s


Endrocinology. 2nd ed. New York: MC Graw Hill; 2014. p. 267.

5. PERKENI. Pengelolaan dan Pengobatan Diabetes Melitus Tipe 2 Dewasa.


Pedoman Pengelolaan dan Pencegah Diabetes Melitus Tipe 2 di Indones.
2019;1:132.

6. Lestari L, Zulkarnain Z, Sijid SA. Diabete Melitus: Review, Patofisiologi,


Gejala, Penyebab, Cara Pemeriksaaan, Pengobatan, dan Pencegahan. UIN
Alauddin Makassar [Internet]. 2021;(November):237–41. Available from:
http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/psb

Anda mungkin juga menyukai