Anda di halaman 1dari 64

LAPORAN PENDAHULUAN

DIABETES MILITUS (DM) PADA Ny. R

SANTI WIDIYANTI RAMADANI

2008076

FAKULTAS KEPERAWATAN, BISNIS DAN TEKNOLOGI


PROGRAM STUDI KEPERAWATAN
SEMARANG
2020

LAPORAN PENDAHULUAN
DIABETES MELITUS

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


a. DEFINISI

Diabetes melitus (DM) merupakan sekelompok kelainan metabolik diakibatkan oleh


adanya kenaikan kadar glukosa darah dalam tubuh/hiperglikemia (Smeltzer, Hinkle & Cheever,
2010; Kumar, Abbas & Aster, 2013). Kadar glukosa darah secara normal berkisar antara 70-120
mg/dL. Diagnosis DM ditemukan apabila kadar glukosa sewaktu >200 g/dL, atau gula darah puasa
>126 g/dL, atau tes toleransi glukosa oral >200 mg/dL disertai gejala klasik diabetes yaitu poliuria,
polidipsia dan polifagia (Kumar, Abbas & Aster, 2013). Hiperglikemia pada penderita DM dapat
disebabkan oleh gangguan sekresi hormon insulin, kerja insulin, atau oleh keduanya. Gula darah
normal 80-100mg/dl pada pre diabetes gula darah 100-125mg/dl dan pada diabetes lebih dari
126mg/dl.

b. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi dari diabetes mellitus adalah sebagai berikut :
1) Keluhan Klasik seperti: poliuria (peningkatan pengeluaran urin), polidipsia (timbul rasa
haus terus-menerus), polifagia (rasa lapar yang berlebihan) dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan.
2) Keluhan lain, seperti: lemah, kesemutan, gatal, mata kabut, disfungsi ereksi pada pria
serta pruritus vulva pada wanita.

Kriteria diagnosis DM :

1) Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu (GDS) ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/L).
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil yang dilihat pada suatu hari tanpa
memperhatikan waktu makan terakhir.
2) Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa (GDP) ≥ 126 mg/dl (7,0 mmol). Puasa
diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam.
3) Kadar glukosa plasma 2 jam tes toleransi glukosa oral (TTGO) / (2 jam pasca 75 g
glukosa) ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol). TTGO dilakukan dengan standar WHO,
menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan
ke dalam air.
c. ETIOLOGI
DM Tipe l Diabetes melitus tipe I ditandai oleh penghancuran sel- sel beta pankreas.
Kombinasi faktor genetik, imunologi dan mungkin pula lingkungan (misalnya, infeksi virus)
diperkirakan turut menimbulkan destruksi sel beta.

1) Faktor genetik. Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri, tetapi
mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya diabetes
melitus tipe I. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe
antigen HLA (human leococyte antigen) tertentu. HLA merupakan kumpulan gen yang
bertanggung jawab atas antigen trasplantasi dan lainnya.
2) Faktor imunologi. Pada diabetes tipe I terdapat bukti adanya suatu respons autoimun.
Respons ini merupakan respons abnormal karena antibodi terarah pada jaringan normal
tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah- olah
sebagai jaringan asing.
3) Faktor lingkungan:
a. Virus dan bakteri penyebab DM adalah rubela, mumps, dan human coxsackievirus
B4. Melalui mekanisme infeksi sitolitik dalam sel beta, virus ini mengakibatkan
destruksi atau perusakan sel. Dapat juga, virus ini menyerang melalui reaksi
autoimunitas yang menyebabkan hilanenya bakteri masih belum dapat dideteksi.
Namun, para ahli kesehatan menduga bakteri cukup berperan autoimun dalam sel beta.
Diabetes melitus akibat menyebabkan DM.
b. Bahan toksik atau beracun bahan beracun yang mampu merusak sel beta secara
langsung adalah alloxan, pirinuron (rodentisida), dan streptozoctin (produk dari sejenis
jamur). Bahan lain adalah sianida yang berasal dari singkong (Maulana Mirza, 2009).

Diabetes Tipe II (NIDDM) Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi


insulin mpakan kumpulan gen yang bertanggung belum diketahui. Faktor genetik diperkirakan
menegang peranan dalam proses terjadinya restensi insulin (Smeltzer& Bare, 2001). Diabetes
tipe 2 disebabkan oleh kombinasi dan gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe II masıh
faktor genetik yang berhubungan dengan gangguan sekresi insulin dan resistansi insulin dan
faktor-faktor seperti:

1) Usia (resistansi cenderung meningkat di usia 65 tahun)


2) Obesitas, makan berlebihan, antigen trasplantasi dan proses imun peranan dalam
proses terjadinya stres, serta penuaan
3) Riwayat keluarga dengan diabetes
d. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Laboratorium :
- Kadar glukosa plasma puasa lebih besar atau sama dengan 126 mg/dL (normal: 70–110
mg/dL) pada sedikitnya dua kali pemeriksaan
- Kadar glukosa darah sewaktu 2200 mg/dL (normal: <140 mg/dL)²
- Gula darah postprandial ( yang dilakukan 2 jam setelahh makan dan biasanya dikerjakan
setelah tes gula darah puasa ) 2200 mg/dL
- Hemoglobin glikosilasi (HbAlc) meningkat Urinalisis dapat menunjukkan aseton atau
glukosa Prosedur diagnostik
2) Pemeriksaan oftalmik (pemeriksaan lapang pandang) menunjukkan aseton atau glukosa
e. PENATALAKSANAAN FARMAKOLOGI DAN NON FARMAKOLOGI

Penatalaksanaan DM dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien yang


menderita DM. Periode penatalaksanaan DM yaitu:

a) Jangka pendek, pada masa ini penatalaksanaan bertujuan untuk menghilangkan keluhan
dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman dan tercapainya target pengendalian
glukosa darah.
b) Jangka panjang, bertujuan untuk mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati. Tujuan akhir adalah menurunkan
morbiditas dan mortalitas DM atau mencegah komplikasi, mengurangi angka kesakitan
dan kematian
 Penatalaksanaan non Farmakologi
Tujuan tersebut dapat dicapai dengan pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat
badan dan lipid profile, melalui pengelolaan pasien secara holistik dengan mengajarkan
perawatan mandiri dan perubahan perilaku. Pilar penatalaksanaan DM ada 4 yaitu:
1) Edukasi, edukasi diabetes adalah pendidikan dan pelatihan mengenai pengetahuan
dan ketrampilan bagi pasien diabetes yang bertujuan menunjang perubahan perilaku
untuk meningkatkan pemahaman pasien akan penyakitnya, yang diperlukan untuk
mencapai kesehatan yang optimal, penyesuaian keadaan psikologik serta kualitas
hidup yang lebih baik. Edukasi merupakan bagian integral dari asuhan keperawatan
pasien diabetes.
2) Terapi gizi medis, keberhasilan terapi gizi medis (TGM) dapat dicapai dengan
melibatkan seluruh tim (dokter, ahli gizi, perawat, serta pasien itu sendiri). Setiap
pasien DM harus mendapat TGM sesuai dengan kebutuhannya untuk mencapai
sasaran terapi. Pasien DM perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam
hal jadwal, jenis dan jumlah makanan, terutama pasien yang menggunakan obat
penurun glukosa darah atau insulin. Standar yang dianjurkan adalah makanan
dengan komposisi seimbang baik karbohidrat, protein dan lemak sesuai dengan
kecukupan gizi: Karbohidrat: 60- 70%, protein: 10-15%, lemak: 20-25%. Jumlah
kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stress akut dan kegiatan
jasmani untuk mempertahankan berat badan idaman. Memiliki prinsip 3T :
- Tepat Jumlah : Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi
seimbang baik karbohidrat, protein dan lemak sesuai dengan kecukupan gizi:
Karbohidrat: 60- 70%, protein: 10-15%, lemak: 20-25%. Jumlah kalori
disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stress akut dan kegiatan
jasmani untuk mempertahankan berat badan idaman.
Penentuan gizi BB ideal :
BB ideal = ( TB - 100) – 10% (TB-100)
Penentuan Kalori Basal :
BB ideal x 25 kalori (wanita) / 30 kalori (Laki-laki)
Penyesuaian :
 Kebutuhan basal di tambahkan berdasarkan aktivitas :
- Ringan 10% dari kalori basal
- Sedang 20% dari kalori basal
- Berat 40-100% dari kalori basal
 Pasien kurus, masih tumbuh kembang, terdapat infeksi, sedang hamil
atau menyusui ditambah 20-30% dari kalori basal
 Usia > 40 th : -5 %
 Gemuk : - 20 %
 Usia < 40 th : +5 %
- Tepat Jenis
 Bahan makanan yang harus dihindari: gula murni dan bahan makanan
yang diolah dengan menggunakan gula murni seperti: gula pasir, gula
jawa, madu, sirop. alkohol (Alkohol dapat memperburuk penderita
hiperlipidemia dan dapat mencetuskan hipoglikemia terutama jika tidak
makan).
 Makanan yang dibatasi: sumber hidrat arang kompleks seperti: nasi,
Lemak jenuh , lontong, ketan ,jagung, roti, singkong, talas, kentang,
sagu, mie.
 Batasi natrium untuk menghindari hipertensi
- Tepat jadwal. Antara porsi besar dengan makanan selingan diberi jarak 3 jam
3) Latihan jasmani, kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur
(3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit) merupakan hal penting yang
harus dilakukan untuk menjaga kebugaran, menurunkan berat badan, memperbaiki
sensitifitas insulin sehingga dapat mengendalikan kadar glukosa darah. Latihan
yang dianjurkan adalah latihan yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda
santai, jogging dan berenang. Latihan sebaiknya dilakukan sesuai umur dam status
kesegaran jasmani. Pada individu yang relative sehat, intensitas latihan dapat
ditingkatkan, sedangkan yang sudah mengalami komplikasi DM latihan dapat
dikurangi.
 Penatalaksanaan Farmakologi
Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai
dengan pengaturan makan dan latihan jasmani. Obat-obatan tidak untuk menggantikan
pengaturan makan dan olahraga, maka dari iru ketiganya harus dilaksanakan bersama-
sama dan perlu kontrol gula darah yang teratur. Pengelolaan diabetes secara
farmakologis dapat berupa pemberian:
1) Obat hipoglikemik oral (OHO), berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi atas 4
golongan yaitu:
a) Pemicu sekresi insulin: sulfonilurea dan glinid,
b) Penambah sensitivitas terhadap insulin: biguanid, tiazolidindion,
c) Penghambat glukoneogenesi: Metformin,
d) Penghambat absorbsi glukosa: penghambat glukosidase alfa.
Jenis obat :
a) Sulfonylurea Bekerja dengan cara menstimulasi pelepasan insulin yang
menyimpan, menurunkan ambang sekresi insulin dan meningkatkan sekresi
insulin sebgai akibat rangsangan glukosa
b) Biguanid Menurunkan kadar glukosa darah tapi tidak sampai dibawah normal
c) Inhibitor alfa glukosidase Menghambat kerja enzim alfa glukosidase di dalam
saluran sehingga menurunkan penyerapan dan penurunan hiperglikemia pasca
prandial
2) Insulin, pemberian insulin lebih dini akan menunujukkan hasil klinis yang lebih
baik, terutama masalah glukotosisitas. Hal ini menunjukkan hasil perbaikkan fungsi
sel beta pankreas. Terapi insulin dapat mencegah kerusakan endotel, menekan
proses inflamasi, mengurangi kejadian apoptosis (mekanisme kematian sel) serta
memperbaiki profil lipid. Insulin diperlukan pada keadaan:
a) Penurunan berat badan yang cepat
b) Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
c) Ketoasidosis diabetik
d) Hiperglikemia dengan asidosis laktat
e) Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
f) Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, stroke, infark miokardial)
g) Kehamilan dengan diabetes gestasional yang tidak terkendali dengan
perencanaan makan
h) Gangguan fungsi ginjal dan hati yang berat
i) Kontraindikasi dan ataua alergi OHO

Terapi insulin dapat diberikan secara tunggal berupa: insulin kerja cepat (rapid
insulin), kerja pendek (short acting), kerja menengah (intermediate acting), kerja
panjang (long acting) atau insulin campuran tetap (premixed insulin).

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN ( DIABETES MELLITUS)


a. Pengkajian
1. Keluhan Utama
- Kondisi hiperglikemi: Penglihatan kabur, lemas, rasa haus dan banyak kencing,
dehidrasi, suhu tubuh meningkat, sakit kepala.
- Kondisi hipoglikemi Tremor, perspirasi, takikardi, palpitasi, gelisah, rasa lapar,
sakit kepala, susah konsentrasi, vertigo, konfusi, penurunan daya ingat, patirasa di
daerah bibir, pelo, perubahan emosional, penurunan kesadaran.
2. Riwayat perawatan
- Riwayat penyakit sekarang
Dominan muncul adalah sering kencing, sering lapar dan haus, berat badan
berlebih. Biasanya penderita belum tahu kalau itu penyakit DM, baru tahu setelah
memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan.
- Riwayat kesehatan dahulu
DM dapat terjadi saat kehamilan, penyakit pankreas, gangguan penerimaan insulin,
gangguan homonal, konsumsi obat-obatan seperti glukokortikoid, furosemid,
thiazid, beta bloker, kontrasepsi yang mengandung estrogen.
- Riwayat kesehatan keluarga
Menurun menurut silsilah karena kelainan gen yang mengakibatkan tubuhnya tidak
dapat menghasilkan insulin dengan baik.
3. Pemeriksaan fisik : data fokus
Aktivitas Istirahat
Gejala : Lemah, letih, sulit bergera atau berjalan. Kram otot,tonus otot menurun.
Gangguan tidur/istirahat.

Tanda : Takikardi (detak jantung cepat ) dan Takipnea (nasas cepatpada keadaan
isrtirahat atau dengan aktivitas. Letargi atau disorientasi, koma. Penurunan kekeuatan
otot.

Sirkulasi

Gejala : Adanya riwayat hipertensi, Infark Miokard akut, kebas dan kesemutan
ekstrimitas, Ulkus pd kaki, penyembuhan yang lama .

Tanda : Takikardia. Perubahan tekanan darah postural, hipertensi. Nadi yang menurun
atau tidak ada, Distrimia, Krekels, Kulit panas, kering dan kemerahan, bola mata
cekung.

Integritas Ego

Gejala : Stres, tergantung pada orang lain Masalah financial yang berhubungan dengan
kondisi.

Eliminasi

Gejala : poliuria, nokturia (BAK pada malam hari), Rasa nyeri atau terbakar, ISK,
Nyeri tekan abdomen

Tanda: Urine encer, pucat, kuning, poliuri, anuria.

Makanan dan Cairan

Gejala : hilang nafsu makan, Mual/muntah. Tidak mengikuti diet, peningkatan


masukan glukosa/karbohidrat. Penurunan berat badan , Haus.
Tanda : Kulit kering / bersisik, turgor jelek, Bau halitosis / manis, bau buah (napas
eceton).

Neurosensori

Gejala : Pusing/pening, sakit kepala., Kesemutan, kebas kelemahan pada otot,


Gangguan penglihatan.

Tanda : Disorientasi : mengantuk, letargi, stupor/koma (tahap lanjut). Gangguan


memori (baru, masa lalu), kacau mental, anisietas, peka rangsang.

b. Patofisiologi

Sumber Nanda Nic Noc


c. Diagnosa keperawatan
1. Risiko ketidakseimbangan cairan berhubungan dengan poluri dan dehidrasi.
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
penurunan insulin
3. Ketidakefektifan jaringan perifer berhubungan dengan hipoksia jaringan
4. Keletihan berhubungan dengan kondisi fisiologis (penyakit kronis DM)
5. Resiko infeksi berhubungan dengan penyakit kronis (DM)
6. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan sirkulasi
d. Perencanaan

DX TUJUAN DAN INTERVENSI RASIONAL


KRITERIA
HASIL
Defisit volume Setelah dilakukan Observasi : Observasi :
cairan berhubungan tindakan 1. Monitor status 1. Perubahan status
dengan poluri dan keperawatan hidrasi (frekuensi hidrasi, membran
dehidrasi. selama ... x 24 jam nadi, kekuatan mukosa, turgor
diharapkan nadi, akral, kulit
kebutuhan cairan pengisian kapiler, menggambarkan
pasien terpenuhi kelembapan keadaan umum
dengan kriteria hasil mukosa, turgor klien
: kulit, tekanan 2. Memberikan
 Tanda vital stabil darah) hasil pengkajian
 Turgor kulit baik 2. Monitor berat yang terbaik dan

 Haluran urin badan harian status cairan yang

normal 3. Monitor hasil sedang

 Kadar elektrolit pemeriksaan berlangsung dan

dalam batas laboratorium selanjutnya


( hemaktokrit, dalam
normal Na, K, Cl, berat memberikan
jenis urine, cairan.
BUN). 3. Untuk
4. Monitor mengetahui hasil
jumlah,warna, nilai lab dari
dan berat jenis ( hemaktokrit,
urine Na, K, Cl, berat
Terapeutik : jenis urine,
1. Catat intake- BUN).
output dan hitung 4. Memberikan
balans cairan perkiraan
dalam 24 jam kebutuhan akan
2. Beri asupan cairan, fungsi
cairan sesuai ginjal dan
kebutuhan keefektifan
3. Beri cairan terapi.
intravena jika Terapeutik :
perlu. 1. Menentukan
4. Catat hal-hal hidrasi cairan dan
yang dilaporkan pengeluaran
seperti mual, melalui muntah
muntah, nyeri 2. Mempertahankan
perut, distensi hidrasi atau
lambung. sirkulasi.
Edukasi : 3. Untuk memenuhi
1. Jelaskan tujuan kebutuhan cairan
dan prosedur tubuh.
pemantauan. 4. Kekurangan
2. Informasikan volume cairan
hasil dan elektrolit
pemantauan, mengubah
jika perlu motilitas
lambung, yang
Kolaborasi : sering muntah
1. Kolaborasi muntah, sehingga
pemberian terapi terjadi
diuretik kekurangna
cairan atau
elektrolit.
Edukasi :
1. Jelaskan tujuan
dan prosedur
pemantauan.
2. Informasikan
hasil
pemantauan, jika
perlu

Kolaborasi :
1. Diuretik
meningkatkan
laju aliran urine
dan dapat
mengambat
rearbsorbsi
natrium atau
klorida pada
tubulus ginjal
Ketidakseimbangan Setelah dilakukan Observasi : Observasi :
nutrisi kurang dari tindakan 1. Identifikasi 1. Untuk
kebutuhan tubuh keperawatan status nutrisi mengetahui
berhubungan dengan selama….x24 jam 2. Monitor asupan tentang keadaan
penurunan insulin diharapakan nutrisi makanan dan kebutuhan
kebutuhan pasien 3. Identifikasi nutrisi
terpenuhi dengan faktor yang 2. Untuk menilai
kriteria hasil: mempengaruhi asupan makanan
- Mencerna asupan gizi yang adekuat.
jumlah nutrisi ( mis: 3. Untuk dapat
yang tepat pengetahuan) menilai faktor
- Menunjukan 4. Monitor berat yang
tingkat energi badan mempengaruhi
biasanya 5. Identifikasi pola asupan gizi
- BB stabil atau makan ( mis: 4. Kebersihan
meningkat makanan nutrisi dapat
kesukaan atau diketahui melalui
ketidaksukaan, peningkatan
konsumsi junk berat badan 500
food, makan gr/minggu
terburu-buru) 5. Untuk
6. Monitor hasil mengetahui
laboratorium apakah pasien
( kalori dan telah
Gula darah) melaksanakan
Terapeutik : program diet
1. Ukur yang ditetapkan
antopometri 6. Untuk
komposisi tubuh mengetahui hasil
( mis : IMT) nilai
2. Catat perubahan labioratorium
berat badan kalori dan gula
Edukasi : darah.
1. Jelaskan tujuan Terapeutik :
dan prosedur 1. Untuk
pemantauan. mengetahui
2. Informasikan rentang berat
hasil badan yang
pemantauan, ideal.
jika perlu 2. Untuk
Kolaborasi : mengetahu
1. Kolaborasi perubahan berat
dengan ahli gizi badan serta
untuk tindakan
menentukan keperawatan
jumlah kalori yang dilakukan.
dan jenis Kolaborasi :
nutrien yang 1. Dengan asupan
dibutuhkan, gizi yang sesuai
jika perlu. akan
memperbaiki
status pasien.
Ketidakefektifan Setelah dilakukan Observasi : Observasi :
jaringan perifer tindakan 1. Periksa sirkulasi 1. Perbaikan
berhubungan dengan keperawatan perifer (mis: sirkulasi perifer
hiperglikemia selama ... x24 jam nadi perifer, meningkatkan
diharapkan sirkulasi edema, oksigen yang di
perifer tetap normal pengisian suplai ke otak
Kriteria hasil: kapiler, warna, dan mengurangi
1. Denyut nadi suhu, ankle akumulasi
perifer teraba kuat brachial indexs) metabolit yang
dan reguler 2. Identifikasi menyebabkan
2. Warna kulit di faktor risiko spasme otot
sekitar luka tidak gangguan 2. Untuk
pucat dan sianosis sirkulasi (mis : mengetahui
3. Odema tidak diabetes) faktor penyebab
terjadi dan luka 3. Identifikasi terjadinya
tidak bertambah penggunaan gangguan
parah alat pengikat, sirkulasi
4. Memperhatikan prostesis, 3. Pilih size lebih
kesadaran tentang sepatu, dan besar untuk
faktor keamanaan / pakaian. mencegah
perawatan kaki 4. Periksa penekanan
yang tepat dalam 72 perbedaan sirkulasi
jam sensasi tajam 4. Agar mengetahui
dan tumpul. kelainan pada
5. Periksa gangguan baal
perbedaan 5. Agar mengetahui
sensasi panas kelainan pada
atau dingin. gangguan baal
6. Monitor 6. Kesemutan yang
terjadinya terjadi sementara
parastesia. disebabkan oleh
7. Monitor tekanan pada
perubahan saraf atau
warna kulit terhambatnya
Terapeutik : sirkulasi darah.
1. Lakukan 7. Perubahan warna
perawatan kaki kulit menjadi
dan kuku tanda kurangnya
Edukasi : sirkulasi pada
1. Anjurkan daerah tersebut
penggunaan Terapeutik :
termometer 1. Memotong kuku
untuk menguji harus secara
suhu air. berhati-hati agar
2. Anjurkan tidak terjadi
penggunaan luka
sarung tangan Edukasi :
termal saat 1. Karena pasien
memasak dm mengalami
3. Anjurkan baal maka tidak
memakai bisa merasakan
sepatu lembut panas atau
dan bertumit dingin.
rendah. 2. Untuk
4. Informasikan melindungi
tanda dan tangan saat
gejala darurat memasak
yang harus 3. Agar tidak
dilaporkan mengganggu
(mis: rasa sakit, sirkulasi pada
yang tidak kaki
hilang saat 4. Supaya pasien
istirahat, luka dapat mengetahui
tidak sembuh, tanda dan gejala
hilangnya rasa) darurat
Kolaborasi : Kolaborasi :
1. Kolaborasi 1. Pemberian
pemberian vasodilator dapat
analgesik , jika meningkatkan
perlu. dilatasi.
2. Kolaborasi 2. Berguna unruk
pemberian menambah
kortikosteroid, hormon steroid
jika perlu. di dalam tubuh,
meredakan
peradangan atau
inflamasi, serta
menekan kerja
sistem kekebalan
tubuh yang
berlebihan.
Keletihan Setelah dilakukan Observasi : Observasi :
berhubungan dengan tindakan 1. Identifikasi 1. Membantu
kondisi fisiologis keperawatan gangguan fungsi menentukan
(penyakit kronis selama ... x24 jam tubuh yang derajat kerusakan
DM) diharapkan adanya mengakibatkan dan kesulitan
peningkatan kelelahan. terhadap keadaan
kemampuan dalam 2. Monitor yang dialami.
beraktivitas Kriteria kelelahan fisik 2. Untuk menetahui
hasil: dan emosional. status keleahan
1.Pasien 3. Monitor lokasi klien dan tingkat
mengungkapkan dan emosi
badan tidak letih ketidaknyamana 3. Mengidentifikasi
atau berkurang. n selama kekuatan atau
2.Menunjukan mlakukan kelemahan dan
perbaikan aktivitas dapat
kemampuan untuk Terapeutik : memberikan
berpatisipasi dalam 1. Sediakan informasi
aktivitas lingkungan mengenai
nyaman rendah pemulihan.
stimulus Terapeutik :
( cahaya, suara, 1. Mengingkatkan
kunjungan) rasa nyaman
Edukasi : istirahat serta
1. Jelaskan dukungan
pentingnya fisiologis atau
melakukan psikologis
aktivitas fisik / 2. Meminimalkan
olahraga secara atrofi otot,
rutin. meningkatkan
2. Anjurkan sirrkulasi,
menyusun mencegah
jadwal aktivitas terjadinya
dan istirahat. kontraktur.
3. Ajarkan cara 3. Supaya pasien
mengidentifikasi dapat mengatur
target dan jenis jadwal aktivitas
aktivitas sesuai sesuai
kemampuan kemampuanya
4. Anjurkan 4. Supaya
menghubungi mendapatkan
perawat jika tindakan yang
tanda dan gejala sesuai
kelelahan tidak
berkurang Kolaborasi :
Kolaborasi : 1. Agar kebutuhan
1. Kolaborasi asupan makanan
dengan ahli gizi tercukupi
tentang cara
meningkatkan
asupan
makanan.

Resiko infeksi Setelah dilakukan Observasi : Observasi :


berhubungan dengan tindakan 1. Monitor tanda 1. Diagnosa dini
penyakit kronis keperawatan dan gejala dapat dicegah
(DM) selama ... x24 jam infeksi lokal dan 2. Suhu meningkat
diharapkan infeksi sistemik. mengindikasikan
berkurang Kriteria 2. Monitor tanda terjadinya infeksi
hasil: tanda vital Terapeutik :
1. Suhu normal Terapeutik : 1. Pencegahan
2. Tidak ada 1. Cuci tangan infeksi
tanda- tanda sebelum dan nosokomial
infeksi sesudah kontak 2. Untuk mencegah
dengan pasien masuknya
dan lingkungan mikroorganisme
pasien. ke dalam tubuh .
2. Pertahankan Edukasi :
teknik aseptik 1. Supaya pasien
pada pasien dapat menegtahui
beresiko tinggi tanda dan gejala
Edukasi : infeksi
1. Jelaskan tanda 2. Untuk
dan gejala menurunkan
infeksi. tingkat infeksi
2. Anjurkan Kolaborasi :
meningkatkan 1. Pemberian
asupan cairan antibiotik
dan nutrisi. merupakan
Kolaborasi : pengobatan
1. Pemberian utama dalam
antibiotik jika penatalaksanaan
perlu penyakt infeksi.

Gangguan integritas Setelah dilakukan Observasi : Observasi :


kulit berhubungan tindakan 1. Monitor 1. Untuk
dengan perubahan keperawatan karakteristik menghindari
sirkulasi selama ... x24 jam luka (drainas, infeksi
diharapkan integritas warna, ukuran, Terapeutik :
kulit membaik dan bau) 1. Agar tidak
tidak terjadi Terapeutik : terjadi reaksi
perluasan pada luka 1. Bersihkan luka inflamasi akibat
Kriteria hasil: dengan cairan dari cairan
1. Perbaikan normal salin pembersih luka
metabolik (gula atau Nacl 2. Membuang
darah dalam sesuai jaringan mati
batas normal) kebutuhan dan
2. Bebas dari 2. Bersihkan mempercepat
drainase purulen jaringan proses
3. Menunjukan nekrotik penyembuhan
tanda-tanda 3. Pasang balutan 3. Membantu
penyembuhan sesuai jenis proses
dengan tepi luka luka regenerasi kulit
bersih 4. Pertahankan 4. Untuk
4. Tidak dapat teknik steril melindungi
pembengakakan saat melakukan jaringan dan
pada luka perawatan luka mencegah
5. Ganti balutan infeksi
ssuai jumlah 5. Mempercepat
eksudat dan penyembuhan
drainase. dan mencegah
6. Berikan infeksi
suplemen 6. Membantu
vitamin dan proses
mineral (mis: penyembuhan
vit a vit c, zinc, luka
asam amino) Edukasi :
Edukasi : 1. Agar pasien
1. Jelaskan tanda pengetahuan
dan gejala tanda dan gejala
infeksi. infeksi
2. Ajarkan 2. Agar pasien
prosedur mampu
perawatan luka melakukan
secara mandiri perawatan luka
Kolaborasi : secara mandiri
1. Kolaborasi Kolaborasi :
prosedur 1. Debridement
debridement adalah suatu
(mis : tindakan untuk
enzimatik, menghilangkan
biologis, jaringan mati
mekanis, 2. Pemberian
autolitik) jika antibiotik
perlu merupakan
2. Kolaborasi pengobatan
pemberian utama dalam
antibiotik jika penatalaksanaan
perlu penyakt infeksi.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA Ny. R
DENGAN GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN
DIABETES MILITUS (DM)

SANTI WIDIYANTI RAMADANI

2008076
FAKULTAS KEPERAWATAN, BISNIS DAN TEKNOLOGI
PROGRAM STUDI KEPERAWATAN
SEMARANG
2020

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Ny. R


DENGAN GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN
DIABETES MILITUS (DM)

Pengkajian

I. IDENTITAS
Nama : Tn. W
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 31 tahun
Alamat : Jl. Pondasi No.22, RT.2/RW.17, Kayu Putih.
Tanggal Masuk : 17 September 2017
Tanggal Pengkajian : 18 September 2018
Agama : Islam
Pendidikan : SLTA
Pekerjaan : Tukang Parkir
No. RM : 78175

II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama : kaki kesemutan dan mati rasa sejak 1 bulan yang lalu disertai dengan badan
terasa lemas.
B. Riwayat Penyakit Sekarang
keluhan kaki kesemutan dan mati rasa sejak 1 bulan yang lalu disertai dengan badan terasa
lemas. Kaki sering kesemutan terutama saat setelah duduk bersila atau jongkok dalam waktu
lama. Pasien juga mengaku terkadang tidak terasa sakit jika kakinya tersandung benda.
C. Alergi (obat, makanan, plester, dll)
Pasien mengatakan bahwa pasien tidak mempunyai riwayat alergi obat, makanan, serta
plester.
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah di rawat dirumah sakit pada desember 2019 dengan keluhan yg sama dengan
diagnose DM.
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Ibu kandung Ny. R memiliki riwayat penyakit yang sama berupa diabetes dan memiliki
riwayat penyakit jantung.
F. Kebiasaan/polahidup/life style
Pasien suka minum yang manis-manis atau makanan yang manis.
G. Obat-obat yang digunakan
Pasien mengatakan obat yang di gunakan sekarang adalah obat DM nya dan paracetamol ketika
merasa tidak enak badan.

Genogram:

Keterangan :
: laki-laki
: perempuan
: tinggal satu rumah
: meninggal
: Pasien
III. Pengkajian Keperawatan
1. Persepsi kesehatan & pemeliharaan kesehatan
Jika ada anggota keluarga yang sakit langsung dibawa ke dokter.
Interpretasi :
Pasien mengatakan bahwa ke dokter itu perlu karena kesehatan itu penting.
2. Pola nutrisi/ metabolik
a. Antropometeri
BB sebelum sakit = 62 kg
BB saat ini = 58 kg
TB: 158 cm
IMT= BB/(Tb(m)2) =58/3,16=18,3
Kategori IMT
Underweight < 18,5
Normal 18,5-24,9
Overweight >25
Interpretasi: berdasarkan rumus IMT, pasien termasuk kategori normal
b. Biomedical sign :
Albumin : Tidak terkaji
Globulin : Tidak terkaji
Hemoglobin : Tidak terkaji
Gula darah sewaktu : 325 mg/dl
Gula darah puasa : 250 mg/dl
Kategori Glukosa darah normal:
Gula darah puasa : 80-99 mg/dl
Gula darah sewaktu : 80-145 mg/dl
Interpretasi :
Pada hasil gula darah sewaktu dan gula darah puasa tinggi dalam batasan tidak normal.
3. Pola eliminasi:
a. BAK
1) Frekuensi : 1000cc
2) Warna : berwarna kuning jernih
3) Bau : berbau khas
4) Kemandirian : mandiri
b. BAB
1) Frekuensi : 1x/hari
2) Warna : kuning
3) Bau : bau khas
4) Karakter : berbentuk
5) Kemandirian : mandiri
Interpretasi :
Pola eliminasi yang dialami oleh klien terganggu, karena feses dan urine yang dikeluarkan
tidak sesuai atau tidak normal.
4. Pola aktivitas dan latihan
Pasien dalam melakukan ADL perlu dibantu.
Aktivitas harian (Activity Daily Living)
Kemampuan perawatan diri 0 1 2 3 4
Makan / minum 
Toileting 
Berpakaian 
Mobilitas di tempat tidur 
Berpindah 
Ambulasi / ROM 
Ket: 0: tergantung total, 1: dibantu petugas dan alat, 2: dibantu keluarga, 3: dibantu alat, 4:
mandiri
5. Pola tidur dan istirahat
Durasi : Klien mengatakan tidur pada pukul 22.00 WIB-04.00 WIB (6jam) dan siang hari tidur
selama 1 jam.
Interpretasi : klien mengalami gangguan tidur karena cemas.
6. Pola kognitif dan perseptual
Fungsi Kognitif dan Memori :
Mampu berkomunikasi dan berorientasi dengan baik saat dilakukan pengkajian. Penglihatan klien
kurang berfungsi dengan baik karena mengalami gangguan. Gangguan penglihatan yang
dirasakan adalah pandangan berputar dan merasa benda-benda sekitar bergoyang. Pendengaran ,
pengecapan dan penciuman, klien berfungsi dengan baik. Sensori, klien masih mampu
membedakan sensori tajam dan tumpul sekalipun harus dengan tekanan yang kuat.
Interpretasi :
Pasien mengalami gangguan pada penglihatannya.
7. Pola persepsi diri
a. Gambaran diri : Klien mengatakan sudah tidak bisa bekerja mencari uang.
b. Identitas diri : Pasien merupakan seorang istri dan ibu yang sudah memiliki 3 anak
yang pertama dan kedua sudah menikah dan sudah mempunyai cucu satu.
c. Harga diri : Pasien percaya dirinya dapat sembuh dan segera melakukan aktivitas
sehari hari yaitu menjalani hidup dengan keluarga kecilnya.
d. Ideal Diri : Pasien ingin segera sembuh dan ingin segera bekerja kembali agar bisa
membatu kehidupan keluarganya.
e. Peran Diri : Pasien mengatakan dirinya tidak bisa melakukan kegiatan yang terlalu
berat
Interpretasi :
Pola persepsi diri pasien tidak mengalami gangguan, gambaran diri pasien tidak mengalami
gangguan
8. Pola seksualitas & reproduksi
Pasien mengatakan sudah mempunyai 3 anak. Klien mengatakan tidak pernah memiliki riwayat
gangguan reproduksi.
Interpretasi:
Tidak ada masalah
9. Pola peran dan hubungan
Klien mengatakan perannya klien adalah seorang ibu. Hubungan klien dengan orang terdekat
tidak mengalami masalah. Pasien selalu menjaga kondisinya saat ini dan selalu periksa ke dokter.
Interpretasi :
Pasien tidak mengalami gangguan peran saat sakit.
10. Sistem nilai dan keyakinan
Klien mengatakan klien beragama Islam dan selalu taat dalam menjalankan kewajiban sholatnya
walaupun di tempat tidur
11. Pola koping dan stres
Klien mengatakan apabila ada masalah pasti didiskusikan dengan keluarganya dan saudara
terdekatnya. Klien menyelesaikan masalahnya dengan musyawarah. Klien terlihat cemas dan stres
akan penyakitnya.
IV. PEMERIKSAAN FISIK
A. Pemeriksaan Tanda-Tanda Vital
N : 100x/menit,
RR : 20x/menit,
TD : 150/100 mmHg,
S : 36,5 C
GCS : E4V5M6
B. Pemeriksaan Kepala
Bentuk Kepala: Mesochepal, tidak terdapat deformitas
Rambut : Dominan hitam dan tidak mudah rontok
C. Pemeriksaan Mata
Konjungtiva : Pada mata kanan dan kiri tidak terlihat anemis.
Sklera : Pada mata kanan dan kiri terlihat ikterik
Pupil : Isokor kanan-kiri, diameter 3 mm, reflek cahaya( + / + )
Palpebra : Tidak edema
Visus : Baik
D. Pemeriksaan Hidung
Bentuk : normal, tidak terdapat deformitas
Nafas cuping hidung : tidak ada
Sekret : tidak terdapat sekret hidung
E. Pemeriksaan Mulut
Bibir : Tidak sianosis, tidak kering
Lidah : Tidak kotor, tepi tidak hiperemi
Tonsil : Tidak membesar
Faring : Tidak hiperemis
Gigi : Lengkap
F. Pemeriksaan Telinga
Bentuk : normal, tidak terdapat deformitas
Sekret : tidak ada
Fungsional : pendengaran baik
G. Pemeriksaan Leher
JVP : tidak meningkat
Kelenjar tiroid : tidak membesar
Kelenjar limfonodi : tidak membesar
Trakhea : tidak terdapat deviasi trakhea
H. Pemeriksaan Thorak
1. Paru-paru
Inspeksi : simetris kanan kiri, tidak ada retraksi, tidak ada sikatrik.
Palpasi : vocal fremitus kanan sama kiri
Perkusi : sonor pada seluruh lapang paru, batas paru hepar pada SICV LMC dextra
Auskultasi : suara dasar vesikuler, tidak ada suara tambahan di semua lapang paru
2. Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung
Kanan atas : SIC II LPS dextra
Kanan bawah : SIC IV LPS dextra
Kiri atas : SIC II LMC sinitra
Kiri bawah : SIC IV LMC sinistra
Auskultasi : S1- S2, reguler, tidak ada mur-mur, tidak ada gallop
I. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : tampak asites, sikatrik akibat bekas luka operasi apendiksitis,
Auskultasi : peristaltik normal
Perkusi : pekak pada region abdomen kanan atas sampai 3 jari dibawah arcus   costae dan
tympani di abdomen kanan bawahdan abdomen kiri
Palpasi :supel, terdapat nyeri tekan pada regio bagian atas
J. Pemeriksaan Ekstremitas
Superior : tidak ada deformitas, tidak ada edema, perfusi kapiler baik, tidak anemis, akral
hangat.
Inferior : tidak ada deformitas, tidak ada edema, CRT bagian ujung lebih dari 3 detik,
perfusi kapiler buruk, tidak anemis, akral dingin.

Analisa data
Data Etiologi Masalah keperawatan
Ds : poluri dan dehidrasi Risiko ketidakseimbangan
-Riwayat penyakit diabetes cairan
sejak tahun 2015
-klien mengeluh kaki kesemutan
dan badan lemas
-klien suka makan manis
-pasien mengatakan sekarang
jarang berolahraga
Do:
-pasien tampak lemas
-Gula darah sewaktu : 325 mg/dl
-gula darah puasa : 250 mg/dl
- input 800 cc/ hari
-urine output : >1500 cc/jam

Ds : Penyakit kronis (DM) Risiko infeksi


-Pasien mengatakan kakinya
kesemutan terutama saat setelah
duduk bersila atau jongkok
dalam waktu lama.
-Pasien mengaku terkadang
tidak terasa sakit jika kakinya
tersandung benda
Do :
-Gula darah sewaktu 325 mg/dl
-Gula darah puasa pasien 250
mg/dl.

Ds : kondisi fisiologis Keletihan


-Pasien mengatakan kaki (penyakit kronis DM)
kesemutan saat setelah duduk
dan jongkok
-Badan terasa letih dan lemas
Do :
-tampak berbaring di tempat
tidur

-Gula darah sewaktu : 325 mg/dl


-Gula drah puasa : 250 mg/dl

Diagnosa keperawatan
1. Risiko ketidakseimbangan cairan berhubungan dengan poluri dan dehidrasi.
2. Resiko infeksi berhubungan dengan penyakit kronis (DM)
3. Keletihan berhubungan dengan kondisi fisiologis (penyakit kronis DM)

Intervensi
N
DIAGNOSA NO DX SLKI SIKI
O
1 Risiko D.0036 Setelah dilakukan Manajemen Cairan
ketidakseimba tindakan keperawatan (I.03098)
ngan cairan selama 1x24 jam O
berhubungan diharapkan Risiko - Monitor status hidrasi
dengan poluri ketidakseimbangan - Monitor berat badan
dan dehidrasi cairan teratasi dengan harian
kriteria hasil : T
1. Asupan cairan - Catat intake dan output
meningkat dan hitung balance
2. Keluaran urin cairan
meningkat - Berikan asupan cairan
3. Asupan makanan sesuai kebutuhan
meningkat
K
- Kolaborasi pemberian
diuretic

2 Resiko infeksi D.0142 Setelah dilakukan Pencegahan Infeksi


berhubungan tindakan keperawatan (I.14539)
dengan selama 1x24 jam O
penyakit diharapkan glukosa - Monitor tanda dan
kronis (DM) derajat infeksi gejala infeksi local dan
menurun dengan sistemik
kriteria hasil : T
1. Demam 5 - Berikan perawatan kulit
(menurun) pada daerah edema
2. Kemerahan 5 - Cuci tangan sebelum
(menurun) dan sesudah kontak
3. Nyeri 5 (menurun) dengan pasien dan
4. Bengkak 5 lingkungan pasien
(membaik)
E
- Jelaskan tanda dan
gejala infeksi
- Ajarkan cara
memeriksa luka
- Anjurkan
meningkatkan asupan
cairan

3 Keletihan D.0057 Setelah dilakukan Edukasi aktivitas/istirahat


berhubungan tindakan keperawatan (I.12362)
dengan kondisi selama 1x24 jam O
fisiologis diharapkan tingkat 1. Identifikasi kesiapan dan
(penyakit keletihan membaik kemampuan menerima
informasi
kronis DM) dengan kriteria hasil : T
1. Verbalisasi
1. Jadwalkan pemberian
kepulihan energy pendidikan kesehatan
sesuai kesepakatan
meningkat
2. berikan kesempatan pada
2. Kemampuan pasien dan keluarga untk
bertanaya
melakukan
E
aktivitas rutin
1. jelaskan pentingnya
meningkat melakukan aktifitas
3. Pola istirahat fisik/olahraga secara rutin
2. anjurkan menyusun jadwal
membaik aktifitas dan istirahat
4. Pola napas - ajarkan cara
mengidentifikasi
membaik kebutuhan istirahat

Implementasi
No Hari/ Implementasi Respon Ttd
Tanggal
1. Senin
28/12/2020 1. memonitor status S : -
10.00 hidrasi O : mukosa bibir tampak agak
kering

10.15 2. memonitor berat S : -


badan harian O : BB 58 kg

10.25 3. mencatat intake dan S : Pasien mengatakan sehari


output dan hitung minum 800 cc, makan sekitar
balance cairan 500 cc/hari. BAK sekitar
1000cc/hari, BAB 300cc
O : CM : minum = 1000cc
Makan = 500cc
AM = 290
1790 cc
CK : BAK = 1000cc
BAB = 300cc
IWL : (15x58)/24 = 36,25 cc
1336 cc
BC : CM – CK =
1790 cc - 1336 cc = 454 cc

10.35 4. memberikan asupan S : pasien mengatakan sudah


cairan sesuai makan dan memenuhi cairan
kebutuhan sesuai kebutuhan
O : pasien tampak kooperatif

10.45 5. Berkolaborasi S : pasien mengatakan sudah


pemberian diuretic minum obat sesuai anjuran
dokter
O : Pasien tampak kooperatif
2. Selasa 1. Memonitor tanda dan S : -
29/12/2020 gejala infeksi local O : tidak ada tanda tanda infeksi
09.00 dan sistemik luka bagus bersih dan kering
09.15 2. Memberikan S:-
perawatan kulit pada O : pasien tampak kooperatif
daerah edema

09.30 3. Menjelaskan tanda S : pasien mengatakan sudah


dan gejala infeksi paham tentang tanda dan gejala
infeksi
O : pasien tampak kooperatif

09.50 4. Mengajarkan cara S : Pasien mengatakan sudah


memeriksa luka paham cara memeriksa luka
O : Pasien tampak kooperatif

10.00 5. Mengajarkan senam S : pasien mengatakan mampu


DM mengikuti senam DM
O : Pasien tampak kooperatif
mengikuti
3. Rabu 1. Mengidentifikasi S : Pasien mengatakan sudah
kesiapan dan siap dan mampu menerima
30/12/2020
kemampuan informasi
09.00 menerima informasi O : Pasien tampak kooperatif

S : Pasien mengatakan sudah


09.15 2. Menjadwalkan
siap dan menjadwalkan penkes
pemberian pendidikan
O : Penkes dilakukan hari kamis
kesehatan sesuai
24 desember
kesepakatan

3. Memberikan S : Pasien mengatakan


09.30 kesempatan pada bagaimana cara pola tidur yang
pasien dan keluarga baik
untk bertanaya O : Pasien tampak kooperatif

09.40 S : pasien mengerti pentingnya


4. Menjelaskan
aktifitas fisik olaharaga secara
pentingnya
rutin
melakukan aktifitas
O : pasien tampak kooperatif
fisik/olahraga secara
rutin

10.00 5. Menganjurkan
menyusun jadwal S : pasien mengatakan sudah
aktifitas dan istirahat menyusun jadwal aktifitas dan
istirahat
O : Jadwal aktifitas olaharaga
pasien jam 06.00-07.30, jadwal
istirahat pasien pukul 12.00-
13.00 dan pukul 17.00 – 21.00
10.10
6. Mengajarkan cara
S : Pasien mengatakan sekarang
mengidentifikasi
kebutuhan istirahat sudah mengerti dan paham cara
mengidentifikasi kebutuhan
istirahat

Evaluasi
Hari, Tanggal, Diagnosa Par
No Evaluasi
Jam keperawatan af
1 Selasa 29/12/2020 Risiko S:
11.10 ketidakseimbangan Pasien mengatakan sudah
cairan berhubungan tidak merasa lemas dan
dengan poluri dan kesemutan di kakinya
dehidrasi O:
-Gula darah puasa : 150
mg/dl
-Gula darah sewaktu : 150
mg/dl
-urine output klien 1300
cc/hari
-BAK 7-8 x/hari
A : Masalah Risiko
ketidakseimbangan cairan
teratasi
P : Pertahankan Intervensi

2 Rabu, 30/12/2020 Resiko infeksi S : klien mengatakan tidak


berhubungan dengan terasa kesemutan di kakinya
penyakit kronis (DM) O : luka dikaki sudah bersih
dan kering
A : masalah risiko infeksi
klien teratasi
P : pantau agen penyebab
infeksi klien untuk
mengurangi terjadinya
infeksi
7 Kamis 31/12/2020 Keletihan S : klien mengatakan sudah
tidak lemas lagi
O : klien terlihat dapat
beraktivitas.
A : masalah Keletihan
teratasi sebagian
P : lanjutkan intervensi untuk
mengurangi keletihan
PENUTUP

Kesimpulan
Diabetes mellitus adalah penyakit yang disebabkan oleh penurunan kadar hormon insulin yang
diproduksi oleh kelenjar pankreas yang mengakibatkan meningkatnya kadar glukosa dalam darah.
Penurunan ini mengakibatkan glukosa yang dikonsumsi oleh tubuh tidak dapat diproses secara
sempurna sehingga konsentrasi glukosa dalam darah akan meningkat. Diabetes Mellitus terbagi
menjadi beberapa tipe, yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, DM Sekunder dan DM gestasional. Diabetes
melitus tipe 2 merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Diabetes Mellitus Tipe 2
adalah penyakit gangguan metabolik yang di tandai oleh kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi
insulin oleh sel beta pankreas dan atau ganguan fungsi insulin.
Faktor resiko yang tidak dapat diubah untuk penderita DM tipe 2 diantaranya adalah riwayat
keluarga dengan DM, usia lebih dari 45 tahun, riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir bayi
lebih dari 4000 gram, dan riwayat lahir dengan berat badan rendah. Gejala dari DM 2 sendiri ada 2
yaitu gejala akut dan gejala kronik. Gejala akutnya diantaranya poliphagia, polidipsia, poliuria, nafsu
makan bertambah namun berat badan turun dengan cepat (5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu), dan
mudah lelah. Sedangkan gejala kronik diabetes melitus yaitu kesemutan, kulit terasa panas atau seperti
tertusuk tusuk jarum, rasa kebas di kulit, kram, kelelahan, mudah mengantuk, pandangan mulai kabur,
gigi mudah goyah dan mudah lepas. Penatalaksanaan dan pengelolaan DM dititik beratkan pada 4
pilar penatalaksanaan DM, yaitu edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan intervensi
farmakologis.
Saran
a. Bagi penderita Diabetes Mellitus Tipe II
Bagi penderita Diabetes Mellitus Tipe II diharapkan lebih dapat memeperhatikan kesehatannya,
terutama untuk pola makan dan aktivitas yang dilakukan.
b. Bagi keluarga
Bagi keluarga diharapkan dapat mengawasi atau memperhatikan klien yang sedang menderita
penyakit Diabetes Mellitus Tipe II, karena dukungan dari keluarga adalah yang paling penting bagi
klien.
c. Bagi perawat atau tenaga kesehatan
Bagi perawat ataupun tenaga kesehatan lain diharapkan dapat memberikan pelayanan kesehatan
atau keperawatan yang baik terhadap klien dan bisa bertugas sesuai dengan fungsinya masing-
masing.
DAFTAR PUSTAKA

A Nurarif, H. K. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda Nic-
NOC ( ed. 3). Jogyakarta. Medication Publishing

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (ed.1). Jakarta.
Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2016). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (ed.1). Jakarta. Dewan
Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2016). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (ed.1). Jakarta. Dewan
Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Yasmara, Deni dkk. (2016). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah: Diagnosis NANDA-
(2015-2017): ( Intervensi NIC dan Hasil NOC). Jakarta. EGC

https://www.academia.edu/11400327/Asuhan_Keperawatan_Pada_Pasien_Dengan_Diabetes_melitus
diakses pada 28 Desember 2020 pukul 08.00 WIB
JURNAL PENUNJANG

PENGARUH SENAM KAKI TERHADAP PENURUNAN SKOR NEUROPATI DAN


KADAR GULA DARAH PADA PASIEN DM TIPE 2

Rita Fitri Yulita¹, Agung Waluyo², Rohman Azzam³ Sekolah


Tinggi Ilmu Kesehatan Jenderal Achmad Yani1 Universitas
Indonesia²
Universitas Muhammadiyah Jakarta3
rita.fitriyulita@gmail.com1
ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh senam kaki terhadap penurunan skor neuropati dan
kadar gula darah pada pasien DM tipe 2. Penelitian ini menggunakan desain quasi experiment
dengan pendekatan Pretest-Posttest Control Group Design. Hasil penelitian pada kelompok
intervensi terjadi penurunan bermakna skor neuropati dan kadar gula darah (p=0,001). Sedangkan
pada kelompok kontrol tidak terjadi penurunan secara bermakna skor neuropati (p=0,069) dan kadar
gula darah (p=0,184). Berdasarkan hasil uji mann-withney menunjukkan bahwa ada perbedaan yang
signifikan penurunan skor neuropati dan kadar gula darah antara kelompok intervensi dan kelompok
kontrol (p=0,003; p=0,042). Simpulan, pasien diabetes mellitus tipe 2 yang diberikan tindakan
senam kaki terjadi penurunan skor neuropati dan kadar gula darah.
Kata Kunci : DM Tipe 2, Instrumen MNSI, Kadar Gula Darah, Senam Kaki, Skor Neuropati

ABSTRACT

This study aims to determine the effect of foot exercise on the reduction of neuropathy scores and
blood sugar levels in type 2 DM patients. This study used a quasi experimental design with a
pretest-posttest control group design approach. The results of the study in the intervention group
there was a significant decrease in neuropathy scores and blood sugar levels (p = 0.001). While in
the control group there was no significant decrease in neuropathy scores (p = 0.069) and blood
sugar levels (p = 0.184). Based on the results of the Mann-Withney test, it showed that there was a
significant difference in decreasing neuropathy scores and blood sugar levels between the
intervention group and the control group (p = 0.003; p = 0.042). In conclusion, patients with type 2
diabetes mellitus who were given foot exercises experienced a decrease in neuropathy scores and
blood sugar levels.

Keywords: Type 2 DM, MNSI Instrument, Blood Sugar Levels, Foot Exercise,
Neuropathy Score

PENDAHULUAN
Penyakit kronik yang umum terjadi pada orang dewasa yang membutuhkan pendekatan serta
pengobatan medis yang berkelanjutan dan membutuhkan edukasi perawatan mandiri, salah satunya
adalah penyakit diabetes mellitus (DM) (Lemone, 2016). Diabetes mellitus merupakan penyakit
metabolik dengan karakteristik terjadinya peningkatan kadar gula darah (hiperglikemia), yang
terjadi akibat gangguan sekresi insulin, gangguan aktivitas insulin dan keduanya (Smeltzer & Bare,
2008).Peningkatan kadar gula darah akan memicu produksi hormon insulin oleh kelenjar pankreas,
hal ini berkaitan dengan kadar gula darah meninggi secara terus–menerus sehingga berakibat
rusaknya pembuluh darah, saraf dan struktur internal lainnya. Zat kompleks yang terdiri dari gula di
dalam dinding pembuluh darah menyebabkan pembuluh darah menebal. Akibat penebalan ini maka
aliran darah akan berkurang terutama yang menuju ke kulit dan saraf (Rohmad, 2016). Tanda dan
gejala yang sering dijumpai pada pasien diabetes melitus yaitu poliuria, polidipsia, polifagia, rasa
lelah dan kelemahan otot, berat badan yang turun dengan cepat, kesemutan pada tangan dan kaki,
gatal-gatal, penglihatan menjadi kabur, luka sulit sembuh (Riskesdas, 2013).
Berdasarkan estimasi IDF (International Diabetes Federation), pada tahun 2013 terdapat 382
juta orang yang hidup dengan diabetes di dunia. Pada tahun 2035 jumlah tersebut diperkirakan akan
meningkat menjadi 592 juta orang. Diperkirakan dari 382 juta orang tersebut 175 juta diantaranya
belum terdiagnosis, sehingga dapat mengakibatkan berkembang secara progresif terjadinya
komplikasi diabetes tanpa disadari dan tanpa pencegahan (Infodatin, 2014). Jumlah penderita
diabetes mellitus di Indonesia diprediksi akan terus meningkat, hal ini berkaitan dengan usia
harapan hidup semakin meningkat, diet kurang sehat, kegemukan serta gaya hidup modern seperti
kurangnya aktivitas atau berolahraga karena kesibukan dan tuntutan penyelesaian pekerjaan
(Tarwoto et al., 2012). Hasil Riset Kesehatan Dasar (2013), Indonesia menempati urutan ke-7
dengan 8,5 juta penderita diabetes mellitus setelah Mexic. Angka kejadian diabetes mellitus
mengalami peningkatan dari 1,1% pada tahun 2007 menjadi 2,1% pada tahun 2013 dari keseluruhan
penduduk sebanyak 250 juta jiwa. Prevalensi diabetes mellitus di Indonesia berdasarkan diagnosa
dokter sebesar 1,5% dan berdasarkan diagnosa atau gejala sebesar 2,1%.
Prevalensi diabetes mellitus di Provinsi Jawa Barat dari hasil riset kesehatan dasar pada tahun
2007, berdasarkan diagnosa dokter yaitu sebesar 0,8% (kisaran 0,2% - 1,7%) dan berdasarkan
diagnosa atau gejala sebesar 1,3% (kisaran 0,4% – 2,5%) (Riskesdas, 2009). Kota Cimahi
menempati urutan ke-6 dengan prevalensi 1,0% berdasarkan diagnosa dokter, dan berdasarkan
diagnosa atau gejala menempati urutan ke-7 dengan prevalensi 1,8% (Riskesdas, 2009).
Berdasarkan studi pendahuluan jumlah penderita diabetes mellitus di PERSADIA RS. TK II.
Dustira Cimahi pada bulan Oktober- Desember 2017 sebanyak 150 orang. Seiring dengan
peningkatan jumlah penderita diabetes mellitus maka komplikasi yang terjadi juga semakin
meningkat, salah satunya neuropati. Hampir 60% penderita diabetes mellitus mengalami neuropati
diabetika (Black & Hawks, 2014).
Neuropati perifer merupakan salah satu komplikasi kronik pada pasien diabetes mellitus yang
disebabkan oleh gangguan mikroangiopati. Neuropati perifer sering mengenai bagian distal serabut
saraf, khususnya saraf ekstremitas bawah. Gejala yang timbul pada pasien neuropati perifer adalah
parestesia (rasa tertusuk-tusuk, kesemutan atau peningkatan kepekaan), rasa terbakar (khusus pada
malam hari), kaki terasa baal (patirasa), penurunan fungsi proprioseptif, penurunan sensibilitas
terhadap sentuhan
ringan, penurunan sensibilitas nyeri dan suhu yang membuat penderita neuropati berisiko untuk
mengalami cedera dan infeksi pada kaki tanpa diketahui (Smeltzer & Bare, 2008). Masalah
neuropati perifer jika tidak segera diatasi dan tidak dilakukan penanganan dengan benar maka akan
menyebabkan kaki diabetik (ulkus kaki) bahkan dapat mengalami nekrosis jaringan yang berakhir
pada amputasi (Tarwoto et al., 2012). Untuk mengurangi beratnya gejala neuropati perifer diatas
dibutuhkan tindakan pencegahan. Salah satu tindakan pencegahan yang dapat dilakukan yaitu
melakukan latihan pada kaki dengan benar (Tarwoto et al., 2012). Latihan kaki yang dianjurkan
pada penderita diabetes mellitus yang mengalami gangguan sirkulasi dan neuropati adalah senam
kaki (Soegondo, 2009). Senam kaki adalah kegiatan atau latihan yang dilakukan oleh pasien
diabetes mellitus untuk mencegah terjadinya luka dan membantu melancarkan peredaran darah
bagian kaki (Widianti & Proverawati, 2010).
Menurut Soegondo (2009) latihan senam kaki dapat dilakukan setiap hari secara teratur
dengan posisi berdiri, duduk, dan tidur, dengan cara menggerakan kaki dan sendi-sendi kaki. Peran
kita sebagai perawat adalah membimbing pasien untuk melakukan senam kaki secara mandiri.
Dengan melakukan senam kaki maka dapat menyebabkan pemulihan fungsi saraf perifer dengan
menghambat reduktase aldosa (AR) yang mengakibatkan meningkatnya NADPH (Nicotinamide
Adenine Dinucleotide Fosfat Hidroksida). Peningkatan NADPH dapat berkonstribusi dalam
meningkatkan sintesis nitrat oksida (NO), dimana nitrat oksida (NO) dapat menghilangkan hipoksia
pada saraf perifer. Peningkatan endotel yang berasal dari nitrat oksida (NO) juga dapat
mengakibatkan pemulihan fungsi saraf pada pasien diabetes perifer neuropati (Tarwoto et al., 2012).
Penelitian yang dilakukan oleh Ratnawati & Insiyah (2015) didapatkan bahwa adanya
pengaruh senam kaki terhadap penurunan resiko neuropati perifer berdasarkan skor diabetik
neuropati examination, dengan p value 0,001 (p < 0,05). Penelitian yang dilakukan Rohmad (2016)
di Boyolali dengan judul pengaruh senam kaki terhadap nilai sensori neuropati pada penderita DM
dengan menggunakan alat ukur kuesioner SPNSQ (Subjective Peripheral Neuropathy
Questionnaire) didapatkan bahwa ada pengaruh yang signifikan senam kaki terhadap tingkat sensori
neuropati dengan p value = 0,006. Penelitian yang dilakukan oleh Priyanto (2012) didapatkan
bahwa ada perbedaan secara bermakna rata-rata kadar gula darah sesudah diberikan intervensi
senam kaki dengan p value = 0,000, dan ada pengaruh senam kaki terhadap sensitivitas kaki dengan
p value = 0,000.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Rusandi et al.,(2015) didapatkan bahwa ada perbedaan
secara bermaknarata-rata kadar glukosa darah sesudah diberikan intervensi senam kaki dengan p
value = 0,039, dan ada pengaruh senam kaki terhadap tingkat sensitivitas kaki dengan p value =
0,010. Penelitian yang dilakukan oleh Sulistyowati & Asnindari (2017) hasil penelitian didapatkan
bahwa ada pengaruh senam kaki terhadap kadar gula darah sewaktu pada penderita diabetes
mellitus dengan p value = 0,000.
Tahap awal dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien neuropati perifer ekstremitas
bawah adalah melakukan pengkajian untuk mendeteksi dini neuropati dan menilai perkembangan
tingkat neuropati yang terjadi pada penderita diabetes mellitus.
Menurut ADA (2015) pengkajian neuropati pada pasien diabetes dianjurkan setiap tahun
untuk mencegah komplikasi lebih lanjut. Oleh karena itu diperlukan alat atau tooluntuk mendeteksi
neuropati pada penderita diabetes mellitus. Akan tetapi pemeriksaan neuropati dengan
menggunakan alat atau tool jarang dilakukan dalam pemeriksaan neuropati pada penderita diabetes
khususnya di rumah sakit daerah. Hal ini
disebabkan karena alat atau tool tersebut selain menggunakan alat khusus yang mahal,
membutuhkan waktu yang lama, juga memerlukan keahlian. Sehingga menjadi hambatan bagi
perawat untuk melakukan pengkajian terhadap neuropati pada pasien diabetes (Andrew, 2008).
Oleh karena itu diperlukan alat atau tool yang sederhana, mudah digunakan, reliable, dan
tidak menyita waktu dalam melakukan pengkajian terhadap kejadian neuropati. Berdasarkan hasil
penelitian menunjukkan bahwa tool Michigan Neuropathy Screening Instrument (MNSI)
merupakan tool yang simple, non-invasive, valid dan sensitive dalam mengkaji penurunan persepsi
sensori pada penderita diabetes neuropati (Herman, 2013). Tool ini mempunyai nilai sensitivitas
79%, spesifitas 94% dan akurasi yang baik sehingga sangat bermanfaat untuk digunakan sebagai
instrumen skrining pada diabetic peripheral neuropathy (Aghniya, 2017). Michigan Neuropathy
Screening Instrument (MNSI) merupakan parameter klinis untuk mendeteksi kejadian neuropati.
MNSI ini terdiri dari 2 bentuk pengkajian yaitu berupa riwayat kesehatan kaki dan pemeriksaan
fisik pada kaki (Mete, 2013).

Berdasarkan uraian diatas bahwa latihan senam kaki dapat menurunkan resiko neuropati, nilai
sensori neuropati, sensitivitas kaki, dan dapat menurunkan gula darah. Tetapi belum ada penelitian
senam kaki terhadap skor neuropati dan gula darah. Oleh karena itu tujuan penelitian ini adalah
penulis ingin melihat pengaruh senam kaki terhadap skor neuropati dan gula darah pada pasien
diabetes mellitus tipe 2.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan quasi-experimental design dengan pendekatan pretest-posttest
with control group design. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara consecutive
sampling. Jumlah sampel yang digunakan adalah 16 responden yang masuk dalam kelompok
intervensi dan 16 responden yang masuk dalam kelompok kontrol.

Penelitian ini dilakukan di Persadia RS. TK. II Dustira Cimahi dan waktu penelitiandilakukan
pada bulan 25 Juni-15 Juli 2018. Alat pengumpulan data pada penelitian ini berupa kuesioner
(meliputi karakteristik responden seperti jenis kelamin dan lama menderita diabetes mellitus),
Instrumen pengukuran skor neuropati yaitu Michigan Neuropathy Screening Instrument (MNSI),
Instrumen pengukuran kadar gula darah yaituglucometer digital bermerk onetouch, SOP
pengukuran kadar gula darah, SOP pelaksanaan senam kaki, serta lembar observasi.
Analisis univariat dilakukan untuk mendiskripsikan semua variabel yang diteliti. Adapun
variabel yang dianalisis dengan univariat adalah skor neuropati dan kadar gula darah yang
merupakan data numerik dengan menghitung mean, standar deviasi, nilai maksimum dan minimum
dengan confidence interval 95%. Untuk karakteristik jenis kelamin dan lama menderita diabetes
mellitus dengan menghitung frekuensi dan presentase. Analisis bivariat dilakukan untuk
membuktikan hipotesis penelitian yaitu dengan melihat perbedaan skor neuropati dan kadar gula
darah sebelum dan setelah diberikan senam kaki pada kelompok intervensi, perbedaan skor
neuropati dan kadar gula darah sebelum dan setelah pengukuran pada kelompok kontrol, perbedaan
skor neuropati dan kadar gula darah setelah diberikan senam kaki antara kelompok intervensi dan
kelompok kontrol. Uji statistik bivariat yang akan digunakan uji wilcoxon, uji T dependent, uji
mann-withney.
HASIL PENELITIAN
Karakteristik Responden

Tabel. 1

Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin pada Kelompok


Intervensi dan Kelompok Kontrol Tahun 2018 (N=32)

Kelompok Pemberian Senam Kaki


Variabel Interven Kontr Total (%)
si ol
N % n % n %
Jenis
Kelamin
Laki-laki 6 50 6 50 12 100
Perempuan 10 50 10 50 20 100

Berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol
responden yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 6 orang (50%) dan responden yang berjenis
kelamin perempuan sebanyak 10 orang (50%).

Tabel. 2

Distribusi Responden Berdasarkan Lama Menderita Diabetes Mellitus


pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Tahun 2018 (N=32)

Kelompok Pemberian Senam Kaki


Variabel Intervensi Kontrol Total (%)
n % n % n %
Lama Menderita
DM
< 5 tahun 5 45, 6 54, 11 10
5 5 0
≥ 5 tahun 11 52, 10 47, 21 10
4 6 0

Berdasarkan tabel 2 pada kelompok intervensi responden dengan lama menderita diabetes
mellitus < 5 tahun sebesar (45,5%) dan pada kelompok kotrol sebesar (54,5%). Sedangkan
responden yang lama menderita diabetes mellitus ≥ 5 tahun pada kelompok intervensi sebesar
(52,4%) dan pada kelompok kontrol (47,6%).

Tabel. 3

Rata-rata Skor Neuropati Sebelum dan Sesudah Intervensi


pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Tahun 2018 (N=32)

Variabel Kelomp Pengukur Mean SD 95% CI


ok an
Interven Sebelum 8,88 1,36 8,15-
si 0 9,60
Skor Sesudah 7,06 1,28
neuropa 9
ti
Kontrol Sebelum 8,31 1,740 7,39-
9,24
Sesudah 8,75 1,57
1

Berdasarkan tabel 3 rata-rata skor neuropati pada kelompok intervensi sebelum diberikan
senam kaki sebesar 8,88 (95% CI: 8,15-9,60) dengan standar deviasi 1,360 dan rata-rata skor
neuropati setelah diberikan senam kaki sebesar 7,06 dengan standar deviasi 1,289. Sedangkan pada
kelompok kontrol rata-rata skor neuropati sebelum
pengukuran sebesar 8,31 (95% CI: 7,39-9,24) dengan standar deviasi 1,740 dan rata-rata skor
neuropati sesudah pengukuran sebesar 8,75 dengan standar deviasi 1,571.

Tabel. 4

Rata-rata Kadar Gula Darah Sebelum dan Sesudah Intervensi pada


Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Tahun 2018 (N=32)

Variabel Kelomp Pengukur Mean SD 95% CI


ok an
Intervens Sebelum 200,8 23,58 188,31-
i 8 2 213,44
Kadar Gula Sesudah 179,7 20,21
Darah 5 1
Kontrol Sebelum 188,8 27,82 173,99-
1 1 203,64
Sesudah 194,1 26,04
3 1

Berdasarkan tabel 4 rata-rata kadar gula darah pada kelompok intervensi sebelum diberikan
senam kaki sebesar 200,88 (95% CI: 188,31-213,44) dengan standar deviasi 23,582 dan rata-rata
kadar gula darah setelah diberikan senam kaki sebesar 179,75 dengan standar deviasi 20,211.
Sedangkan pada kelompok kontrol rata-rata kadar gula darah sebelum pengukuran sebesar 188,81
(95% CI: 173,99-203,64) dengan standar deviasi 27,821 dan rata-rata kadar gula darah sesudah
pengukuran sebesar 194,13 dengan standar deviasi 26,041.

Perbedaan Skor Neuropati dan Kadar Gula Darah pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2
Sebelum dan Sesudah Senam Kaki pada Kelompok Intervensi
Tabel. 5

Perbedaan Skor Neuropati Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2


Sebelum dan Sesudah Intervensi Pada Kelompok Intervensi Tahun
2018

Variabel Pengukur Median p Value


an
(Minimum-
Maksimum)
Skor Sebelum 8,50 (7 - 11) 0,001*
Neuropati
Sesudah 6,50 (6 - 9)

Berdasarkan tabel 5 didapatkan hasil bahwa nilai median skor neuropati pada pasien diabetes
mellitus tipe 2 sebelum diberikan senam kaki adalah 8,50 dengan nilai minimum 7 dan nilai
maksimum 11. Sedangkan nilai median skor neuropati pada pasien diabetes mellitus tipe 2 sesudah
diberikan senam kaki adalah 6,50 dengan nilai minimum 6 dan nilai maksimum 9. Selisih median
antara skor neuropati sebelum dan sesudah diberikan senam kaki adalah 2. Sehingga dapat ditarik
kesimpulan skor neuropati sebelum diberikan senam kaki berbeda dengan skor neuropati setelah
diberikan senam kaki, dalam arti terjadi penurunan. Hasil uji statistik didapatkan p Value = 0,001,
maka dapat disimpulkan ada perbedaan yang signifikan skor neuropati sebelum dan sesudah
diberikan senam kaki pada kelompok intervensi
Tabel. 6

Perbedaan Kadar Gula Darah Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2


Sebelum dan Sesudah Intervensi Pada Kelompok Intervensi Tahun
2018

Selisih P
Variabel Pengukura Mean (SD) Mean 95% CI Valu
n (SD) e
Kadar Sebelum 200,88
Gula (23,582) 21,125 17,678- 0,001
(6,469) 24,572 *
Darah Sesudah 179,75
(20,211)

Berdasarkan tabel 6 rata-rata kadar gula darah pada pasien diabetes mellitus tipe 2 sebelum
diberikan senam kaki adalah 200,88 dengan standar deviasi 23,582. Sedangkan rata-rata kadar gula
darah pada pasien diabetes mellitus tipe 2 sesudah diberikan senam kaki adalah 179,75 dengan
standar deviasi 20,211. Selisih rata-rata antara kadar gula darah sebelum dan sesudah diberikan
senam kaki dalah 21,125 dengan standar deviasi 6,469 dan 95% CI 17,678-24,572. Sehingga dapat
ditarik kesimpulan kadar gula darah sebelum diberikan senam kaki berbeda dengan kadar gula darah
setelah diberikan senam kaki, dalam arti terjadi penurunan. Hasil uji statistik didapatkan p Value =
0,001, maka dapat disimpulkan ada perbedaan yang signifikan kadar gula darah sebelum dan
sesudah diberikan senam kaki pada kelompok intervensi.

Perbedaan Skor Neuropati dan Kadar Gula Darah pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2
Sebelum dan Sesudah Pengukuran pada Kelompok Kontrol

Tabel. 7

Perbedaan Skor Neuropati dan Kadar Gula Darah pada Pasien Diabetes Mellitus
Tipe 2 Sebelum dan Sesudah Pengukuran pada Kelompok Kontrol Tahun 2018
(N=32)

Variabel Mean (SD) SelisishMean p-


(SD) Value
Skor
Neuropati 8,31 (1,740) 0,438 (0,892) 0,069
Sebelum 8,75 (1,571)
Sesudah
Kadar Gula
Darah Sebelum 188,81 (27,821) 5,313 (15,257) 0,184
Sesudah 194,13 (26,041)

Berdasarkan tabel 7 didapatkan hasil bahwa rata-rata skor neuropati pada pasien diabetes
mellitus tipe 2 sebelum pengukuran adalah 8,31 dengan standar deviasi 1,740. Sedangkan rata-rata
skor neuropati pada pasien diabetes mellitus tipe 2 sesudah pengukuran adalah 8,75 dengan standar
deviasi 1,571. Selisih rata-rata antara skor neuropati sebelum dan sesudah pengukuran adalah 0,438
dengan standar deviasi 0,892 dan 95% CI 0,913-0,038. Hasil uji statistik didapatkan p Value =
0,069, maka dapat disimpulkan tidak ada perbedaan yang signifikan skor neuropati sebelum dan
sesudah pengukuran pada kelompok kontrol.Rata-rata kadar gula darah pada pasien diabetes
mellitus tipe 2 sebelum pengukuran adalah 188,81 dengan standar deviasi 27,821. Sedangkan rata-
rata skor neuropati pada pasien diabetes mellitus tipe 2 sesudah pengukuran adalah 194,13 dengan
standar deviasi 26,041. Selisih rata-rata antara kadar gula darah sebelum dan sesudah pengukuran
adalah 5,313 dengan standar deviasi 15,257 dan 95% CI 13,442-2,817. Hasil uji statistik didapatkan
p Value = 0,184, maka dapat disimpulkan tidak ada perbedaan yang signifikan kadar gula darah
sebelum dan sesudah pengukuran pada kelompok kontrol.
Perbedaan Skor Neuropati dan Kadar Gula Darah pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2
Setelah Senam Kaki pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol

Tabel. 8

Perbedaan Skor Neuropati Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Sesudah Intervensi
pada Kelompok Intervensi dan Kontrol Tahun 2018 (N=32)
Variabel Kelomp Median p
ok Value
(Minimum-
Maksimum)
Skor Neuropati Interven 6,50 (6 - 9) 0,003
si
Kontrol 8,50 (7 - 11)
Kadar Gula Interven 169,50 (160 - 226) 0,042
Darah si
Kontrol 182,00 (168 - 256) 0,042

Berdasarkan tabel 8 didapatkan hasil bahwa nilai median skor neuropati pada pasien diabetes
mellitus tipe 2 setelah diberikan senam kaki pada kelompok intervensi adalah 6,50 dengan nilai
minimum 6 dan nilai maksimum 9. Sedangkan rata-rata skor neuropati pada pasien diabetes mellitus
tipe 2 setelah diberikan senam kaki pada kelompok kontrol adalah 8,50 dengan nilai minimum 7 dan
nilai maksimum 11. Hasil uji statistik didapatkan p Value = 0,003, maka dapat disimpulkan ada
perbedaan yang signifikan skor neuropati setelah diberikan senam kaki pada kelompok intervensi
dan kelompok kontrol.Nilai median kadar gula darah pada pasien diabetes mellitus tipe 2 setelah
diberikan senam kaki pada kelompok intervensi adalah 169,50 dengan nilai minimum 160 dan nilai
maksimum 226. Sedangkan nilai median kadar gula darah pada pasien diabetes mellitus tipe 2
setelah diberikan senam kaki pada kelompok kontrol adalah 182,00 dengan nilai minimum 168 dan
nilai maksimum 256. Hasil uji statistik didapatkan p Value = 0,042, maka dapat disimpulkan ada
perbedaan yang signifikan kadar gula darah setelah diberikan senam kaki pada kelompok intervensi
dan kelompok kontrol.

PEMBAHASAN
Karakteristik Responden Jenis
Kelamin
Hasil penelitian didapatkan bahwa mayoritas jenis kelamin responden pada penelitian ini
adalah perempuan sebanyak 10 orang (50%) baik pada kelompok intervensi maupun kelompok
kontrol. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Alexander (2013) dimana
diabetisi perempuan lebih banyak dibandingkan dengan diabetisi laki-laki. Hal ini sesuai dengan
teori yang menyatakan bahwa neuropati pada diabetisi perempuan dikaitkan dengan adanya hormon
estrogen. Secara hormonal, estrogen akan menyebabkan perempuan lebih banyak terkena neuropati
akibat penyerapan iodium pada usus terganggu sehingga proses pembentukan serabut mielin saraf
tidak terjadi (Melanie, 2014).
Menurut Rosyida (2016) menyatakan bahwa seorang perempuan memiliki resiko lebih besar
daripada laki-laki untuk mengalami komplikasi penyakit diabetes mellitus yaitu neuropati perifer,
karena perbedaan hormon pada laki-laki dan perempuan mempengaruhi timbulnya neuropati.
Tingginya kadar estrogen pada perempuan dapat mengganggu penyerapan iodium yang berperan
dalam proses pembentukan myelin saraf. Sedangkan kadar testosteron pada laki-laki melindungi
tubuh dari diabetes mellitus tipe 2, tetapi tidak pada perempuan.
Perempuan juga memiliki kecenderungan untuk mengalami diabetes terutama pasca
menopause. Hal ini berkaitan dengan hormon estrogen dan progesteron yang mempengaruhi sel-sel
tubuh merespon insulin. Kedua hormon tersebut memiliki efek antagonis terhadap kadar glukosa
darah yaitu reseptor hormon estrogen pada sel β pankreas yang menyebabkan pelepasan insulin
yang merupakan hormon terpenting dalam homeostasis glukosa dalam darah dan hormon
progesteron yang memiliki sifat anti-insulin serta dapat menjadikan sel-sel kurang sensitif terhadap
insulin yang menyebabkan terjadinya resistensi insulin dalam tubuh (Aghniya, 2017).
Penelitian yang dilakukan Aghniya (2017) menyatakan bahwa pada distribusi jenis kelamin
yang menderita diabetes mellitus perempuan lebih banyak daripada laki- laki. Perempuan memiliki
kecenderungan mengalami obesitas dibandingkan laki-laki, perempuan memiliki LDL atau
kolesterol jahat tingkat trigliserida yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Jumlah lemak
pada laki-laki dewasa rata-rata berkisar antara 15-20 % dari berat badan total, dan pada perempuan
sekitar 20-25%. Jadi peningkatan kadar lipid (lemak darah) pada perempuan lebih tinggi
dibandingkan pada laki-laki, sehingga faktor resiko terjadinya diabetes mellitus pada perempuan 3-7
kali lebih tinggi dibandingkan pada laki-laki yaitu 2-3 kali (Aghniya, 2017). Semakin banyak
jaringan lemak pada tubuh, maka tubuh semakin resisten terhadap kerja insulin. Lemak dapat
memblokir kerja insulin sehingga glukosa tidak dapat diangkut ke dalam sel dan menumpuk dalam
pembuluh darah, sehingga terjadi peningkatan kadar glukosa darah (Aghniya, 2017).

Lama Menderita Diabetes Mellitus


Hasil penelitian didapatkan bahwa mayoritas responden dengan lama menderita diabetes
mellitus pada penelitian ini adalah ≥ 5 tahun dimana pada kelompok intervensi sebanyak 11
responden (52,4%) dan pada kelompok kontrol sebanyak 10 responden (47,6%). Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Hutapea (2016) yang mengatakan bahwa neuropati paling
banyak terdapat pada diabetisi yang telah menderita diabetes mellitus dalam rentang 1-10 tahun.
Kejadian neuropati ringan lebih sering ditemukan pada diabetisi yang telah menderita diabetes
mellitus < 5 tahun. Sedangkan kejadian neuropati sedang dan neuropati berat lebih sering ditemukan
pada diabetisi yang telah menderita diabetes mellitus ≥ 5 tahun.
Penelitian yang dilakukan Carine (2014) rata-rata pasien neuropati diabetik telah menderita
diabetes mellitus selama 10 tahun. Ditemukan adanya neuropati dengan durasi diabetes mellitus
lebih dari 3 tahun sebanyak 35-40 % dan 70 % pada diabetes dengan durasi diabetes mellitus lebih
dari 5 tahun. Semakin lama seseorang menyandang diabetes mellitus, semakin besar angka kejadian
neuropati diabetes. Menurut Vincent (2016) bahwa tingkat keparahan dari neuropati dapat
meningkat sejalan dengan lamanya menderita diabetes mellitus. Hal tersebut dapat terjadi karena
keadaan hiperglikemia yang lama. Peningkatan kadar gula darah akan memicu produksi hormon
insulin oleh kelenjar pankreas, hal ini berkaitan dengan kadar gula darah meninggi secara terus–
menerus sehingga berakibat rusaknya pembuluh darah, saraf dan struktur internal lainnya. Zat
kompleks yang terdiri dari gula di dalam dinding pembuluh darah dapat menyebabkan pembuluh
darah menebal. Akibat penebalan ini maka aliran darah akan berkurang terutama yang menuju ke
kulit dan saraf sehingga dapat menyebabkan terjadinya neuropati (Rohmad, 2016).
Menurut penelitian yang dilakukan Aghnia (2017) menyatakan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara lamanya menderita diabetes mellitus dengan terjadinya Diabetic Peripheral
Neuropathy (DPN) dengan nilai OR rata-rata sebanyak 0,25 yang berarti bahwa semakin lama
durasi diabetes mellitus maka resiko terjadinya Diabetic Peripheral Neuropathy (DPN) meningkat
sebanyak 25%. Hal ini dikarenakan semakin lama durasi seseorang menderita diabetes maka dapat
meningkatkan terjadinya berbagai macam komplikasi baik mikrovaskuler maupun makrovaskuler.
Teori ini juga didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan Aghnia (2017) bahwa prevalensi
dari sindroma neuropati pada tungkai bawah meningkat sampai 42% setelah 10 tahun dan berlanjut
seiring dengan durasi penyakit diabetes mellitus.

Karakteristik Skor Neuropati pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol


Rata-rata skor neuropati pada kelompok yang diberikan senam kaki mengalami penurunan
menjadi 7,06 setelah diberikan senam kaki. Hal tersebut menunjukkan bahwa senam kaki mampu
menurunkan rata-rata skor neuropati pada kelompok intervensi. Hal ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Ratnawati & Insiyah (2015) didapatkan nilai rearata sebelum perlakuan 7,67
dan sesudah perlakuan 5,37. Dari hasil rerata tersebut terdapat perbedaan nilai yang menunjukkan
makna terjadinya penurunan resiko neuropati. Sedangkan pada penelitian ini rata-rata skor
neuropati setelah pengukuran pada kelompok kontrol sebesar 8,75 tidak mengalami penurunan bila
dibandingkan dengan kelompok intervensi. Keadaan tersebut diatas dikarenakan pada kelompok
intervensi diberikan senam kaki sedangkan pada kelompok kontrol tidak diberikan senam kaki.
Latihan kaki yang dianjurkan pada penderita diabetes mellitus yang mengalami gangguan
neuropati adalah senam kaki (Soegondo, 2009). Senam kaki adalah kegiatan atau latihan yang
dilakukan oleh pasien diabetes mellitus untuk mencegah terjadinya luka dan membantu
melancarkan peredaran darah bagian kaki (Widianti & Proverawati, 2010). Menurut Waspadji
(2012) senam kaki merupakan salah satu terapi yang diberikan oleh seorang perawat yang bertujuan
untuk melancarkan peredaran darah yang terganggu, karena senam kaki diabetes dapat membantu
memperbaiki peredaran darah yang terganggu dan memperkuat otot-otot kecil kaki pada pasien
diabetes mellitus dengan neuropati. Selain itu dapat memperkuat otot betis dan otot paha, juga
mengatasi keterbatasan gerak sendi dan mencegah terjadinya deformitas.

Karakteristik Kadar Gula Darah Pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol
Rata-rata kadar gula darah pada kelompok yang diberikan senam kaki mengalami penurunan
menjadi 179,75 setelah diberikan senam kaki. Hal tersebut menunjukkan bahwa senam kaki mampu
menurunkan rata-rata kadar gula darah pada kelompok intervensi. Sedangkan pada kelompok
kontrol rata-rata kadar gula darah setelah pengukuran sebesar 194,13 tidak mengalami penurunan
bila dibandingkan dengan kelompok intervensi. Keadaan tersebut diatas dikarenakan pada
kelompok intervensi diberikan senam kaki sedangkan pada kelompok kontrol tidak diberikan senam
kaki. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sulistyowati (2017) bahwa hasil
pengukuran kadar gula darah sewaktu pretest pada responden kelompok eksperimen adalah 182,38,
dan pada posttest adalah 142,94. Sedangkan pada kelompok kontrol, pengukuran kadar gula darah
sewaktu pretest diperoleh rata-rata 177,88, dan rata-rata posttest adalah 178,81.
Penelitian yang dilakukan oleh Priyanto (2012) didapatkan bahwa hasil pengukuran kadar
gula darah pada kelompok intervensi sebelum senam kaki diberikanadalah 271,94 dan setelah
diberikan menjadi 243,23. Sedangkan pada kelompok kontrol sebelum pengukuran adalah 264,08
dan setelah pengukuran 273,35. Hal tersebut menunjukkan bahwa senam kaki mampu menurunkan
rata-rata kadar gula darah pada kelompok intervensi dibandingkan pada kelompok kontrol. Keadaan
tersebut dikarenakan pada kelompok kontrol tidak diberikan senam kaki.
Kadar gula darah pada orang yang mengalami diabetes mellitus cenderung dapat dikontrol
atau diturunkan dengan melakukan aktivitas, salah satunya yaitu senam kaki. Senam kaki harus
dilakukan secara teratur, terukur, serta dilakukan secara baik dan benar. Senam kaki yang dilakukan
dengan sungguh-sungguh, ditujukan sampai keluarnya keringat akan mampu menstimulus pankreas
dalam memproduksi insulin sehingga lama kelamaan kadar glukosa darahpun menurun (Priyanto,
2012).

Perbedaan Skor Neuropati pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Sebelum dan Sesudah
Senam Kaki pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol
Hasil uji statistik menunjukkan skor neuropati pada pasien diabetes mellitus tipe 2 sebelum
dan sesudah senam kaki pada kelompok intervensi ada perbedaan yang signifikan dengan p value
0,001. Sedangkan skor neuropati pada pasien diabetes mellitus tipe 2 sebelum dan sesudah
pengukuran pada kelompok kontrol tidak ada perbedaan yang signifikan dengan p value 0,069.
Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Rohmad (2016) yang menunjukkan adanya perbedaan
antara pre-post test pada kelompok perlakuan dengan hasil p value 0,000 (p < 0,05). Sedangkan
pada kelompok kontrol hasil p value 0,073 (p > 0,05) yang artinya tidak ada perbedaan antara pre-
post test pada kelompok kontrol, dikarenakan kelompok kontrol tidak diberikan latihan senam kaki.
Penurunan skor neuropati tersebut sejalan dengan penelitian Satriadi (2013) yang melakukan
senam kaki selama 6 minggu didapatkan hasil dari uji t-berpasangan mengenai pengaruh senam
kaki terhadap skor neuropati bahwa pada kelompok eksperiment terjadi penurunan bermakna
neuropati dengan p value 0,000. Sedangkan pada kelompok kontrol tidak ada penurunan bermakna
neuropati dengan p value 0,168. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian ini bahwa
terdapat penurunan skor neuropati yang signifikan setelah diberikan senam kaki pada kelompok
intervensi, namun waktu pemberian senam kaki tersebut tidak sama dengan penelitian ini karena
senam kaki yang dilakukan pada peneliti ini sebanyak 6 kali dimana seminggu dilakukan 3 kali
selama 2 minggu dengan setiap tindakan dilakukan selama 30 menit. Sedangkan pada kelompok
kontrol tidak diberikan senam kaki sehingga tidak terjadi penurunan skor neuropati.
Jika masalah neuropati perifer tidak segera diatasi dan tidak dilakukan penanganan dengan
benar maka akan menyebabkan kaki diabetik (ulkus kaki) bahkan dapat mengalami nekrosis
jaringan yang berakhir pada amputasi (Tarwoto et al., 2012). Untuk mengurangi beratnya gejala
neuropati perifer dibutuhkan tindakan pencegahan. Salah satu tindakan pencegahan yang dapat
dilakukan yaitu melakukan latihan pada kaki dengan benar (Tarwoto et al., 2012). Latihan kaki yang
dianjurkan pada penderita diabetes mellitus yang mengalami gangguan sirkulasi dan neuropati
adalah senam kaki (Soegondo, 2009). Senam kaki adalah kegiatan atau latihan yang dilakukan oleh
pasien diabetes mellitus untuk mencegah terjadinya luka dan membantu melancarkan peredaran
darah bagian kaki (Widianti & Proverawati, 2010).
Perbedaan Kadar Gula Darah pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Sebelum dan Sesudah
Senam Kaki pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol
Hasil uji statistik menunjukkan kadar gula darah pada pasien diabetes mellitus tipe 2 sebelum
dan sesudah senam kaki pada kelompok intervensi ada perbedaan yang signifikan dengan p value
0,001. Sedangkan kadar gula darah pada pasien diabetes mellitus tipe 2 sebelum dan sesudah
pengukuran pada kelompok kontrol tidak ada perbedaan yang signifikan dengan p value 0,184.
Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Sulistiowati & Asnindari (2017) mengenai perbedaan
kadar gula darah sewaktu sebelum (pretest) dan sesudah (posttest) pada kelompok eksperimen,
didapatkan hasil p value 0,000. Sedangkan pada kelompok kontrol didapatkan hasil p value sebesar
0,079.
Penelitian yang dilakukan oleh Priyanto (2012) senam kaki dilakukan 3 kali seminggu selama
4 minggu. Hasil penelitian yang didapatkan bahwa ada perbedaan secara bermakna rata-rata kadar
gula darah sesudah diberikan intervensi senam kaki dengan p value = 0,000. Sedangkan senam kaki
yang dilakukan dalam penenilitian ini sebanyak 6 kali yaitu 3 kali seminggu, selama 2 minggu
dengan setiap tindakan dilakukan selama 30 menit. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Rusandi et al., (2015) senam kaki dilakukan pada kelompok intervensi sebanyak 6 kali selama 2
minggu yaitu tiap kali tindakan dilakukan selama 30 menit, 3 kali dalam seminggu selama 2
minggu. Hasil penelitian yang didapatkan bahwa ada perbedaan secara bermakna rata-rata kadar
glukosa darah sesudah diberikan intervensi senam kaki dengan p value = 0,039.
Hal diatas didukung oleh Soegondo (2009); Widianti & Proverawati (2010) yang menyatakan
bahwa senam kaki dapat dilakukan sebanyak 3-5 kali dalam seminggu dengan durasi 10-20 menit
untuk menurunkan kadar gula darah. Senam kaki yang dilakukan secara teratur, terukur, serta
dilakukan secara baik dan benar, ditujukan sampai keluarnya keringat akan mampu menstimulus
pankreas dalam memproduksi insulin sehingga lama kelamaan kadar glukosa darahpun menurun
(Priyanto, 2012).

Perbedaan Skor Neuropati pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Setelah Senam Kaki pada
Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol
Hasil uji statistik menunjukkan skor neuropati pada pasien diabetes mellitus tipe 2 setelah
senam kaki pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol ada perbedaan yang signifikan dengan
p value 0,003. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Aplihah & Wulandari (2016) yang
menyatakan terdapat perbedaan bermakna pada skor neuropati sesudah diberikan perlakuan senam
kaki dengan p value 0,000. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ratnawati & Istiyah
(2015) didapatkan hasil bahwa adanya pengaruh senam kaki terhadap penurunan resiko neuropati
perifer berdasarkan skor diabetik neuropati examination, dengan p value 0,001 (p < 0,05). Penelitian
yang dilakukan Rohmad (2016) kuesioner SPNSQ (Subjective Peripheral Neuropathy
Questionnaire). Didapatkan hasil bahwa ada pengaruh yang signifikan senam kaki terhadap tingkat
sensori neuropati berdasarkan SPNSQ (Subjective Peripheral Neuropathy Questionnaire), dengan p
value = 0,006.
Hal tersebut diperkuat oleh Waspadji (2012) bahwa senam kaki diabetes bermanfaat untuk
memperbaiki gejala-gejala neuropati perifer. Dengan melakukan senam kaki maka dapat
menyebabkan pemulihan fungsi saraf perifer dengan menghambat reduktase aldosa (AR) yang
mengakibatkan meningkatnya NADPH (Nicotinamide Adenine Dinucleotide Fosfat Hidroksida).
Peningkatan NADPH dapat
berkonstribusi dalam meningkatkan sintesis nitrat oksida (NO), dimana nitrat oksida (NO) dapat
menghilangkan hipoksia pada saraf perifer. Peningkatan endotel yang berasal dari nitrat oksida
(NO) juga dapat mengakibatkan pemulihan fungsi saraf pada pasien diabetes perifer neuropati
(Tarwoto et al., 2012).
Pengaruh senam kaki terhadap kadar glukosa darah penderita diabetes melitus tipe 2 karena
senam kaki menggerakkan otot-otot kaki secara aktif. Menggerakan otot kaki dapat menekan
pembuluh darah, sehingga merangsang sel endotel. Terangsangnya sel endotel mengakibatkan
pengeluaran zat nitrit oksit (NO), dimana zat nitrit oksit (NO) ini di produksi dari perubahan asam
amino yaitu L arginin menjadi L sitrulin, dengan bantuan enzim nitrit oksit sintase, yang akan
menghasilkan guamosin mono pospat (GMP), sehingga menyebabkan otot polos pembuluh darah
relaksasi. Apabila otot polos pembuluh darah relaksasi, maka pembuluh darah perifer akan
vasodilatasi. Aliran darah di perifer pun akan lancar, dan saraf yang ada di perifer pun akan
mendapatkan oksigen dan nutrisi, maka sel saraf pun dapat menyampaikan transmisi-transmisi
sarafnya, sehingga ada perbaikan sel saraf sensori perifer. Artinya pada pasien neuropati diabetik
akan mengalami penurunan skor neuropati. (Black & Hawk, 2014; Sherwood, 2016; Tarwoto et al.,
2012)

Perbedaan Rerata Kadar Gula Darah pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Setelah Senam
Kaki pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol
Hasil uji statistik menunjukkan kadar gula darah pada pasien diabetes mellitus tipe 2 setelah
senam kaki pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol ada perbedaan yang signifikan dengan
p value 0,042. Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Priyanto (2012) dari
hasil penelitian tersebut terdapat perbedaan bermakna pada kadar gula darah sewaktu sesudah
diberikan perlakuan senam kaki dengan p value 0,02. Sejalan dengan penelitianyang dilakukan oleh
Rusandi, et al., (2015) didapatkan bahwa ada perbedaan secara bermaknarata-rata kadar glukosa
darah sesudah diberikan intervensi senam kaki dengan p value = 0,039.
Penurunan kadar gula darah sewaktu ini sebagai salah satu indikasi terjadinya perbaikan pada
pasien diabetes melitus. Oleh karena itu pemberian aktivitas senam kaki merupakan salah satu cara
yang efektif dalam mengelola pasien diabetes melitus. Senam kaki diabetes adalah suatu latihan
atau gerakan-gerakan yang dilakukan oleh kedua kaki secara bergantian atau bersamaan untuk
memperkuat atau melenturkan otot-otot di daerah tungkai bawah terutama pada kedua pergelangan
kaki dan jari-jari kaki (Darmayanti, 2015).
Pengaruh senam kaki terhadap kadar glukosa darah penderita diabetes melitus tipe 2 karena
senam kaki menggerakkan otot-otot kaki secara aktif. Menggerakan otot kaki dapat meningkatkan
kontraksi otot-otot ekstremitas bawah seperti otot fleksor hip, fleksor ektensor knee, dan yang paling
utama yaitu otot-otot pergerakan ankle (dorsal fleksor, plantar fleksor, invertor, dan evertor).
Peningkatan kontraksi otot-otot ekstremitas bawah dapat meningkatkan permeabilitas membran,
sehingga adanya peningkatan aliran darah. Apabila aliran darah meningkat maka membran kapiler
lebih banyak yang terbuka dan banyak nya reseptor insulin yang aktif, mengakibatkan peningkatan
transfort glukosa melalui glucose transporter (GLUT)–4 ke dalam membran sel. Peningkatan
transfor glukosa, dapat mengakibatkan terjadinya mekanisme peningkatan adenosin monofosfat
(AMP) otot. Peningkatan AMP ini dapat mengakibatkan perubahan metabolisme glukosa (glukosa
akan di rubah menjadi ATP sebagai sumber energi). Semakin meningkat transfort glukosa melalui
glucose
transporter (GLUT)–4 ke dalam membran sel maka dapat menyebabkan glukosa dalam darah
berkurang (Sulistyowati & Asnindari, 2017).

SIMPULAN
Karakteristik responden penelitian ini yaitu jenis kelamin perempuan pada kelompok
intervensi dan kelompok kontrol lebih banyak menderita diabetes mellitus tipe 2 dibandingkan jenis
kelamin laki-laki. Karakteristik lama menderita diabetes mellitus pada kelompok intervensi dan
kelompok kontrol lebih banyak dialami responden ≥ 5 tahun daripada < 5 tahun.
Rata-rata skor neuropati dan kadar gula darah pada kelompok intervensi sebelum dan sesudah
diberikan senam kaki terjadi penurunan dibandingkan pada kelompok kontrol. Terdapat perbedaan
skor neuropati dan kadar gula darah sebelum dan sesudah diberikan senam kaki pada kelompok
intervensi. Tidak terdapat perbedaan skor neuropati dan kadar gula darah sebelum dan sesudah
diberikan senam kaki pada kelompok kontrol. Terdapat perbedaan skor neuropati dan kadar gula
darah setelah diberikan senam kaki antara kelompok intervensi dan kontrol.

SARAN
Bagi Pelayanan Keperawatan

Perawat dapat mengembangkan program senam kaki dalam asuhan keperawatan mandiri pada
pasien diabetes mellitus. Kepala Persadia dapat memprogramkan senam kaki diabetes mellitus 3
kali dalam seminggu untuk hasil yang lebih efektif. Selain itu diharapkan kepala Persadia beserta
perawat dapat mengaplikasikan Michigan Neuropathy Screening Instrument (MNSI) yang
merupakan parameter klinis untuk mendeteksi kejadian neuropati pada penderita diabetes mellitus.

Bagi Pendidikan Kesehatan


Penelitian ini diharapkan bisa dijadikan tambahan ilmu pengetahuan keperawatan khususnya
keperawatan medikal bedah pada sistem endokrin yang berkaitan dengan intervensi keperawatan
mandiri pada pasien diabetes mellitus tipe 2.

Bagi Peneliti Selanjutnya


Direkomendasikan pada peneliti selanjutnya agar penggunaan obat hiperglikemi oral (OHO)
dapat dikontrol, serta mampu mengidentifikasi kejadian neuropati perifer pada penderita diabetes
mellitus yang mempunyai dua atau lebih penyakit penyerta, dan pada variabel perancu dianalisis
lebih lanjut sehingga dapat diketahui seberapa besar pengaruh variabel perancu pada penelitian.

DAFTAR PUSTAKA
Aghniya. R. (2017). Hubungan Lamanya Menderita Diabetes Mellitus dengan Terjadinya Diabetic
Peripheral Neuropathy pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 di Grha Diabetik Surakarta.
http://eprints.ums.ac.id/51812/. Diperoleh tanggal 18 Agustus 2018
Alexander A. (2013). The Sensory Symptoms of Diabetic-Lipoic Acid. Diabetes Care.
http://care.diabetesjournals.org/content/diacare/26/3/770.full.pdf. Diperoleh tanggal 10
Juli 2018

Andrew, A. (2008). Comprehensive Foot Examination and Risk Assessment. Diabetes Care, 31(8).
https://pdfs.semanticscholar.org/9fe2/a99d7152f47fdd.pdf
Aplihah, A., & Wulandari, W. (2016). Pengaruh Senam Kaki Diabetik dan Terapi Kelereng
terhadap Neuropati Perifer Diabetes Mellitus Tipe 2. http://lppm-
stikes.faletehan.ac.id/ejurnal/index.php/fale/article/view/86. Diperoleh pada tanggal 10 Juli
2018

Black, B., & Hawks, H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah Management Klinis untuk Hasil yang
Diharapkan. Edisi 8. Buku 2. Jakarta: Elsevier
Carine, S. (2014). Muscle Weakness and Foot Deformities Relationship to Neuropathy and Foot
Ulceration in Caucasian Diabetic Men. Diabetes Care.
http://care.diabetesjournals.org/content/diacare/27/7/1668.full.pdf. Diperoleh tanggal 10 Juli
2018

Darmayanti, D. (2015). Diabetes Mellitus & Penatalaksanaan Keperawatan.

Yogyakarta: Nuha Medika


Herman, H. (2013). Use of Michigan Neuropathy Screening Instrument as a Measure of Distal
Symmetrical Peripheral Neuropathy in Type 1 Diabetes : Results from the Diabetes Control
and Complications Trial/Epidemiology of Diabetes Interventions and Complications.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3641573/ Diperoleh pada tanggal 2 Maret
2018
Hutapea, H. (2016). Gambaran Klinis Neuropati pada Pasien Diabetes Melitus di Poliklinik.
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/eclinic/article/viewFile/12115/1 69 6. Diperoleh pada
tanggal 8 Juli 2018

Infodatin. (2014). Diabetes. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. Diambil
kembali dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin-diabetes.pdf Diperoleh
pada tanggal 19 Maret 2018

Lemone, P. (2016). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Endokrin Edisi
5. Jakarta: EGC
Melanie, A. (2014). Gender Differences in the Onset of Diabetic Neuropathy. J Diabetes
Complications. http://www.jdcjournal.com/article/S1056-
8727(07)00074-8/pdf Diperoleh tanggal 8 Juli 2018

Mete, M. (2013). Comparison of Efficiencies of Michigan Neuropathy Screening Instrument,


Neurothesiometer, and Electromyography for Diagnosis of Diabetic Neuropathy.
https://www.hindawi.com/journals/ije/2013/821745/ Diperoleh tanggal 2 Maret 2018
Priyanto, P. (2012) Pengaruh Senam Kaki terhadap Sensitivitas Kaki dan Kadar Gula Darah pada
Anggregat Lansia Diabetes Mellitus di Magelang.
jurnal.unimus.ac.id/index.php/psn12012010/article/download/853/907 Diperoleh pada
tanggal 9 Maret 2018

Ratnawati, R., & Insiyah, I. (2015). Pengaruh Senam Kaki terhadap Penurunan Resiko Neuropati
Perifer dengan Skor Diabetik Neuropathy Examination pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2
di Puskesmas Sibera Kota Surakarta. jurnal.poltekkes-
solo.ac.id/index.php/JKG/article/download/354/316 Diperoleh tanggal 9 Maret 2018

Riskesdas. (2009). Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Provinsi Jawa Barat Tahun 2007.
Diambil dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI.

http://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&cd=1&ved=2ahUKEwie_Ky97K
LaAhWCro8KHUghDzAQFjAAegQIBhAB&url=http%3A%2F
%2Fterbitan.litbang.depkes.go.id%2Fpenerbitan%2Findex.php%2Flpb%2Fcatalog
%2Fdownload% 2F63%2F92%2F2361&usg=AOvVaw0VgLcn5xff2fpWQ1bO9eRN.
Diperoleh tanggal 23 Maret 2018
Riskesdas. (2013). Riset Kesehatan Dasar. Diambil dari Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementrian Kesehatan
RI.www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%202013.p df
Diperoleh pada tanggal 19 Maret 2018
Rohmad, R. (2016). Pengaruh Senam Kaki terhadap Nilai Sensori Neuropati pada Penderita
Diabetes Mellitus di Desa Nepen Kecamatan Teras Boyolali.
digilib.stikeskusumahusada.ac.id/files/disk1/32/01-gdl-hanifnurro-1591-1-artikel- 9.pdf.
Diperoleh pada tanggal 9 Maret 2018

Rosyida, R. (2016). Gambaran Neuropati Perifer pada Diabetisi di Wilayah Kerja Puskesmas
Kedungmundu Semarang.
eprints.undip.ac.id/49953/2/SKRIPSI_KHANA_ROSYIDA.pdf Diperoleh pada tanggal 9 Maret
2018

Rusandi, D., Prabowo, T., & Adinugraha, T. S. (2015). Pengaruh Senam Kaki Diabetes terhadap
Tingkat Sensitivitas Kaki dan Kadar Glukosa Darah pada Penderita Diabetes Mellitus di
Kelurahan Banyuraden Gamping Sleman. Stikes Jenderal Achmad Yani

Satriadi. R. (2013). Pengaruh Senam Kaki Diabetes terhadap Skor Neuropati Diabetik di Kaki pada
Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 di Poliklinik Penyakit Dalam RSUD Pasamaan Barat.
http://scholar.unand.ac.id/14228/. Diperoleh tanggal 31 Juli 2018
Sherwood, S. (2016). Fisiologi Manusia dari Sel ke Sel. Edisi 8. Jakarta: EGC
Smeltzer, S., & Bare, B. (2008). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner Suddarth.
Volume 2 Edisi 8. Jakarta: EGC
Soegondo, S. (2009). Penatalaksanaan Diabetes Mellitus. Jakarta: FKUI
Sulistyowati, S., & Asnindari, A. (2017). Pengaruh Senam Kaki terhadap Kadar Gula Darah
Sewaktu pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 di Wilayah Kerja Puskesmas Cawas.
http://digilib.unisayogya.ac.id/2509/ pada tanggal 19 Maret 2018
Tarwoto, T., Wartonah, W., Taufiq, I., & Mulyani, L. (2012). Keperawatan Medikal Bedah
Gangguan Sistem Endokrin. Jakarta: CV Trans Info Media
Vincent, A. M. (2016). Arbor A. Oxidative Stress in the Pathogenesis of Diabetic Neuropathy.
http://press.endocrine.org/doi/pdf/10.1210/er.2003-0019 Diperoleh pada tanggal 10 Juli 2018

Waspadji, W. (2012). Petunjuk Praktis Bagi Penyandang Diabetes Tipe 2. Jakarta: FKUI
Widianti, W., & Proverawati, P. (2010). Senam Kesehatan. Aplikasi Senam untuk Kesehatan.
Yogyakarta: Nuha Medika
Upaya Peningkatan Kualitas Hidup Penderita DM dengan Memberikan
Pelatihan Senam Diabetes

Yusran Haskas1, Sitti Nurbaya2

1*. STIKES Nani Hasanuddin Makassar, Jl. Perintis Kemerdekaan VIII, No. 24, Kota Makassar,
Indonesia, 90245
2. STIKES Nani Hasanuddin Makassar, Jl. Perintis Kemerdekaan VIII, No. 24, Kota Makassar,
Indonesia, 90245

*e-mail: yusranhaskas@stikesnh.ac.id

Abstrak

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi kematian akibat tingginya prevalensi
diabetes melitus adalah dengan meningkatkan kualitas hidup penderita. Hal tersebut dapat dicapai
dengan manajemen diri penderita terkait mengelola dan menangani penyakitnya. Bentuk upaya yang
dapat dilakukan antara lain membantu meningkatkan kualitas hidup penderita diabetes melitus
dengan memberikan pelatihan senam diabetes sehingga dapat terhindar dari berbagai potensi
komplikasi. Senam diabetes dipilih dikarenakan aktivitas fisik yang teratur merupakan salah satu
bagian dari manajemen diabetes melitus yang dapat dilakukan oleh penderita diabetes. Senam
diabetes dianggap dapat membantu mencegah atau menunda perkembangan diabetes, sehingga
apabila dilakukan secara teratur dapat meningkatkan kepekaan tubuh penderita terhadap insulin dan
membantu mengatur kadar glukosa darah. Metode yang dilakukan adalah memberikan pelatihan yang
bertujuan untuk menambah pengetahuan dan pemahaman penderita dalam memanajemen diri terkait
mengelola dan menangani penyakitnya. Hasil pelaksanaan pengabdian masyarakat ini antara lain
adanya perbedaan kadar glukosa darah sebelum dan setelah dilakukan pelatihan senam, sehingga
penderita diabetes melitus menyadari pentingnya melakukan aktivitas fisik untuk mengontrol kadar
glukosa darah dan meningkatkan kualitas hidupnya.

Kata Kunci : Kualitas Hidup, Pelatihan Senam Diabetes

Pendahuluan
Diabetes melitus merupakan gangguan metabolisme yang ditandai akibat defisiensi insulin atau
berkurangnya aktivitas biologis insulin atau keduanya dengan prevalensi yang terus meningkat setiap
tahun (Rumahorbo, 2015). Peningkatan prevalensi tersebut disebabkan karena tidak terkontrolnya
kadar gula darah penderita. Berdasarkan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), prevalensi
diabetes di Indonesia mengalami peningkatan dari 1.1% pada tahun 2007 menjadi 2.1% pada tahun
2013 (Kemenkes, 2013).
Diabetes melitus merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi dari penyakit tidak
menular di Sulawesi Selatan sebesar 41.56% (Sulsel, 2012). Gejala penyakit diabetes melitus dari
satu penderita ke penderita lain cukup bervariasi, bahkan mungkin tidak menunjukkan gejala apapun
sampai pada saat tertentu. Kota Makassar merupakan salah satu bagian di Sulawesi Selatan yang
memiliki tingkat prevalensi diabetes melitus yang tinggi.Tingginya angka prevalensi tersebut
menunjukkan bahwa penyakit diabetes melitus memerlukan perhatian dan penanganan serius
(Kesehatan, 2016).
Sebagaimana yang diketahui, penyakit diabetes melitus adalah penyakit tidak dapat
disembuhkan, akan tetapi penderita diabetes melitus dapat hidup sehat apabila dapat mengontrol gula
darah dengan baik (Sibuea, Soedjodibroto, & Ndraha, 1997). Sehingga pengendalian diabetes melitus
sangat diperlukan sebab tujuan dari pengendaliannya adalah menjaga agar kadar gula darah tetap
pada tingkat yang normal. Adapun empat pilar penatalaksanaan diabetes melitus antara lain edukasi,
terapi gizi medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologis (Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia, 2011).
Latihan jasmani merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan diabetes melitus tipe 2. Selain
berfungsi untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki
sensitivitas insulin sehingga dapat memperbaiki kendali glukosa darah (Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia, 2011). Beberapa penelitian menunjukkan latihan fisik bermanfaat untuk meningkatkan
sensitivitas sel tubuh terhadap insulin sehingga dapat mengontrol kadar gula darah serta mengurangi
risiko komplikasi kardiovaskular dan neurologis pada penderita diabetes (Thomas, Elliott, &
Naughton, 2006). Sehingga dapat dikatakan bahwa salah satu faktor penting yang menunjang kualitas
hidup individu dengan diabetes melitus tipe 2 melalui manajemen diri diabetes melitus adalah
aktivitas fisik.
Aktivitas fisik merupakan segala bentuk gerakan yang dapat menyebabkan pembakaran kalori
pada tubuh, seperti berjalan, membersihkan rumah serta aktivitas lainnya. Selama melakukan
aktivitas fisik, otot-otot akan aktif menggunakan glukosa sebagai sumber energi. Sehingga dengan
aktivitas fisik yang teratur akan membantu mencegah terbentuknya glukosa dalam darah. Akan
tetapi kebanyakan individu tidak mendapatkan aktivitas fisik yang cukup,
apalagi dengan banyaknya perkembangan teknologi dan kehidupan modern telah membuat
banyaknya bentuk aktivitas fisik biasa pada kehidupan sehari-hari terhapuskan. Salah satu model
latihan fisik bagi penderita diabetes melitus yang dikembangkan di Indonesia antara lain adalah
dengan Senam Diabetes.
Senam diabetes yang dilakukan sehari-hari secara teratur dapat memperbaiki profil lemak,
menurunkan berat badan dan menjaga kebugaran. Selain itu akan meningkatkan sensitivitas insulin
sehingga akan menurunkan glukosa darah. Senam diabetes yang dianjurkan antara lain bersifat
aerobik. Penggunaan glukosa pada otot yang aktif dalam hal tersebut akan meningkat, akan tetapi
tidak disertai dengan peningkatan insulin. Hal tersebut disebabkan oleh meningkatnya kepekaan
reseptor insulin diotot pada saat berolahraga (Sinaga & Hondro, 2012).
Senam diabetes merupakan senam fisik yang dirancang menurut usia dan status fisik yang
merupakan bagian dari pengobatan diabetes melitus. Senam diabetes melitus dilakukan secara teratur
selama 30-60 menit sebanyak 3-5 kali dalam seminggu. Penelitian Allen, dkk., (1999),
mengemukakan bahwa olahraga yang teratur dan konsisten dapat menurunkan kebutuhan insulin
sebesar 30-50% dan menurunkan kadar glukosa dalam darah. Hasil penelitian Indriati (1990),
mengatakan bahwa pada penderita diabetes melitus tipe 1 dan 2 adanya pengaruh latihan fisik dengan
turunnya kadar glukosa darah membuktikan dengan penurunan kadar glukosa darah rata-rata 60%
(Sinaga & Hondro, 2012). Sehingga perlu kiranya dilakukan pelatihan senam diabetes terhadap
penderita diabetes.

Metode Pelaksanaan
Pengabdian kepada masyarakat ini berlokasi di RW 001 & RW 002 Kelurahan Katimbang
Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar. Bertujuan untuk mengetahui perbedaan kadar glukosa
dalam darah demi mengontrol dan mengendalikan penyakit diabetes melitus, sehingga sasaran pada
kegiatan ini adalah penderita diabetes melitus yang berada di lokasi kegiatan. Sebelum melaksanakan
pelatihan terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan gula darah sewaktu (GDS) pada peserta untuk
mengetahui kadar glukosa yang dimiliki. Setelah dilakukan pemeriksaan GDS maka peserta
kemudian diberikan pelatihan senam diabetes selama 60 menit sebanyak 3 kali seminggu.
Pemeriksaan GDS dilakukan kembali setelah peserta telah melakukan senam diabetes melitus
sebanyak 3 kali untuk melihat hasil yang diperoleh. Alat dan bahan yang digunakan pada kegiatan ini
adalah glukometer, cekstrip, jarum lancet, alkohol 70%, kapas, laptop, speaker dan jam, serta
instruktur senam. Hasil pemeriksaan GDS kemudian dianalisis untuk melihat perbedaan kadar GDS
sebelum dan setelah pelatihan senam diabetes terhadap pengontrolan glukosa darah penderita,
sehingga dapat terjadi peningkatan terhadap kualitas hidup penderita diabetes melitus.

Hasil
Pelatihan senam diabetes ini mempunyai target yaitu terjadinya peningkatan kualitas hidup penderita diabetes
melitus dengan memberikan pelatihan senam diabetes. Adapun distribusi frekuensi peserta pada
kegiatan ini adalah sebagai berikut :
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Peserta
No Karakteristik n %
Responden
Jenis Kelamin
1 Perempuan 37 88.1
Laki-laki 5 11.9
Tingkat
Pendidikan SD 8 19.1
2 SM 9 21.4
P 15 35.7
10 23.8
SM
A
PT
Pekerjaa
n PNS 7 16.7
3 Wiraswa 8 19.0
sta IRT 7 16.7
Pensiunan 20 47.6
Tota 4 100.
l 2 0
Tabel 1. menunjukkan bahwa distribusi peserta kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini
lebih dominan berdasarkan jenis kelamin yaitu perempuan sebesar 88.1%, tingkat pendidikan
terakhir yaitu SMA sebesar 35.7%, dan pekerjaan sebagai pensiunan sebesar 47.6%.
Gambar 1. Dokumentasi dokumentasi kegiatan senam diabetes yang diikuti oleh peserta pengabdian
kepada masyarakat di RW 001 & RW 002 Kelurahan Katimbang.

Tabel 2. Hasil Uji T Dependen Kadar Glukosa Darah Sewaktu Sebelum dan Setelah Senam Diabetes
(n = 42)

Tabel 2. menunjukkan bahwa hasil uji t-dependen terlihat rata-rata perbedaan antara GDS sebelum
dan setelah senam DM adalah sebesar 9.23, artinya ada penurunan kadar GDS setelah dilakukan
senam DM dengan rata-rata penurum sebesar 9.23 mg/dL. Hasil perhitungan nilai t adalah sebesar
2.15 dengan ρ-value 0.037, artinya ada perbedaan yang signifikan antara rata-rata kadar GDS
sebelum dan setelah intervensi.

Pembahasan
Hasil pengabdian kepada masyarakat ini menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan
pada rata-rata kadar GDS penderita DM sebelum dan setelah mengikuti pelatihan senam diabetes
sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan melakukan senam diabetes ini penderita dapat mengontrol
glukosa darah mereka dalam keadaan stabil dan meningkatkan kualitas hidup mereka. Hasil
penelitian Daulay, Nasution, & Nasution (2015), tentang pengaruh senam diabetes terhadap
penurunan kadar gula darah pasien diabetes melitus di Desa Botung Kecamatan Kotanopan
Kabupaten Mandailing Natal menunjukkan terdapat pengaruh dengan penurunan rata-rata sebesar
49.182 mg/dL (ρ- value = 0.00). Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian Utomo, Azam, &
Ningrum (2012), tentang pengaruh senam terhadap kadar gula darah penderita diabetes mengatakan
bahwa terdapat perbedaam kadar gula darah sewaktu sebelum dan setelah intervensi pada kelompok
terpapar (ρ-value = 0.0001), pada kelompok tidak terpapar (ρ-value = 0.0001), pada kelompok
terpapar dan tidak terpapar (ρ- value = 0.0001) dengan penurunan rata-rata gula darah pada kelompok
terpapar 2.3 kali lebih besar daripada kelompok tidak terpapar (31.5 mg/dL berbanding 13.5 mg/dL),
sehingga senam dikatakan efektif dalam menurunkan kadar gula darah.
Gambar 2. Dokumentasi kegiatan Senam Diabetes

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar gula darah pada orang yang mengalami
diabetes melitus cenderung dapat dikontrol atau diturunkan dengan melakukan aktivitas fisik, dimana
aktivitas tersebut harus dilakukan secara teratur, terukur dan secara baik dan benar. Seperti halnya
kegiatan senam yang dilakukan secara bersungguh- sungguh dan menghasilkan keringat akan mampu
menekan stimulus pankreas dalam memproduksi insulin dalam menekan glukosa darah (Daulay et
al., 2015).
Kegiatan fisik dinamik yang melibatkan otot-otot utama akan menyebabkan terjadinya
peningkatan permeabilitas pada otot yang berkontraksi sehingga saat latihan reseptor insulin akan
lebih banyak dan lebih peka yang berlangsung selama 12-24 jam setelah senam yang menyebabkan
glukosa darah dapat kembali normal (Soegondo, 2007).
Otot yang berkontraksi saat latihan fisik akan meningkatkan aliran darah ke otot guna
menyediakan makanan dan oksigen sebagai sumber energi. Latihan fisik yang intensitas teratur akan
meningkatkan aliran darah ke otot tiga kali lipat, sehingga glukosa sebagai sumber energi utama dan
dominan akan memiliki keseimbangan antara peningkatan
utilisasi glukosa dan produksi glukosa (Afriwardi, 2010). Melakukan olahraga yang baik dan teratur
membuat peningkatan aliran ke otot dengan cara pembukaan kapiler (pembuluh darah kecil di otot)
dan hal tersebut akan menurunkan tekanan pada otot yang pada gilirannya akan meningkatkan
penyediaan dalam jaringan otot itu sendiri (Salindeho, Mulyadi, & Rottie, 2016).
Senam diabetes merupakan jenis senam aerobic low impact yang ditekankan pada gerakan
ritmik otot, sendi, vaskuler dan saraf dalam benruk peregangan dan relaksasi. Upaya berikut sangat
tepat dalam menangani pasien diabetes melitus sekaligus juga mencegah terjadinya komplikasi
dengan mengendalikan diabetes melitus penderita (Salindeho et al., 2016). Menurut Santoso (2010),
manfaat dari senam diabetes antara lain adalah (1) mengontrol gula darah, terutama pada diabetes
melitus tipe 2; (2) menghambat dan memperbaiki faktor risiko penyakit kardiovaskuler yang banyak
terjadi pada penderita diabetes melitus; (3) memperbaiki profil lemak darah dan kolesterol total, serta
memperbaiki sirkulasi dan tekanan darah; (4) menurunkan berat badan, pengaturan olahraga secara
optimal dan diet diabetes melitus pada penderita kegemukan; (5) memperbaiki gejala-gejala
musculoskeletal otot, tulang, sendi, serta gejala-gejala neuropati perifer seperti kesemutan dan kebas;
(6) mencegah terjadinya diabetes melitus yang dini terutama bagi orang- orang dengan riwayat
keluarga DM; (7) mengurangi kebutuhan pemakaian obat oral dan insulin Disimpulkan bahwa
aktivitas yang dilakukan oleh penderita tersebut dapat menekan terjadinya kenaikan gula darah.
Berdasarkan kegiatan ini penderita menyadari pentingnya melakukan aktivitas fisik diantaranya
senam/olahraga dikarenakan dalam mengendalikan glukosa darah tidak akan efektif jika hanya
dengan mengandalkan pengobatan (Ruben, Rottie, & Karundeng, 2016).

Kesimpulan
Berdasarkan kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini dapat disimpulkan bahwa senam
diabetes dapat membantu penderita diabetes melitus dalam mengontrol kadar glukosa dalam darah
sehingga kualitas hidup penderita diabetes melitus yang berada di RW 001 & RW 002 Kelurahan
Katimbang Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar dapat meningkat dengan terkendalinya glukosa
darah penderita

Daftar Pustaka

Afriwardi. (2010). Ilmu Kedokteran Olahraga. Cetakan 1. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Daulay, N. M., Nasution, D. A., & Nasution, S. S. (2015). Pengaruh Senam Diabetes terhadap
Penurunan KAdar Gula darah Pada Pasien Diabetes Melitus di Desa Botung Kecamatan
Kotanopan Kabupaten Mandailing.
Ejurnal.Stikesrshajimdn.Ac.Id.

Kemenkes. (2013). Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan
RI. Retrieved from http://www.depkes.go.id/resources/downl oad/general/Hasil
Riskesdas 2013
Kesehatan, D. (2016). Profil Kesehatan Kota Makassar Tahun 2015. Makassar: Pemerintah Kota

Makassar Dinas Kesehatan Kota Makassar.

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. (2011). Konsensus Pengendalian danPencegahan Diabetes


Melitus Tipe 2 di Indonesia 2011. Perkeni. https://doi.org/10.3732/ajb.1100495
Ruben, G., Rottie, J., & Karundeng, M. Y. (2016). Pengaruh Senam Kaki Diabetes Terhadap
Perubahan Kadar Gula Darah Pada pasien Diabetes Melitus Tipe 2. EJournal Keperawatan.
Rumahorbo, H. (2015). Mencegah Diabetes Melitus dengan Perubahan Gaya Hidup.Bogor: In Media.

Salindeho, A., Mulyadi, & Rottie, J. (2016). Pengaruh senam diabetes melitus terhadap kadar gula

darah penderita diabetes melitus tipe 2 di Sanggar Senam Persadia Kabupaten Gorontalo.

Keperawatan (e-Kp).

Santoso, M. (2010). Senam Diabetes Indonesia Seri 5. Jakarta: Yayasan Diabetes Indonesia.
Sibuea, W. ., Soedjodibroto, W., & Ndraha, S. (1997). Perencanaan Makan bagi Penderita Diabetes

Melitus dengan Sistem Unit. Jakarta: CV. Infomedika.

Sinaga, J., & Hondro, E. (2012). Pengaruh Senam Diabetes Melitus Terhadap Kadar Glukosa Darah
Pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 Di Wilayah Kerja Puskesmas Darusalam Medan 2011. Jurnal
Mutiara Ners, 1(7), 1–7 Soegondo, S. (2007). Edukator Diabetes di Indonesia: Ruang Lingkup dan
Standar Kerja. Jakarta: FKUI.

Sulsel, D. (2012). Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan. Makassar: Dinas Kesehatan Provinsi
Sulawesi Selatan. Thomas, D. E., Elliott, E. J., & Naughton, G. A. (2006). Exercise for type 2 diabetes
mellitus (Review). The Cochrane
Database of Systematic Reviews. https://doi.org/10.1002/14651858.CD002 968.pub2

Utomo, O. M., Azam, M., & Ningrum, D. N. A. (2012). Pengaruh Senam Terhadap Kadar Gula
Darah Penderita Diabetes. Unnes Journal of Public Health.

Anda mungkin juga menyukai