Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN

DIABETES MELITUS TIPE 2

Disusun oleh:

DANA CHRISDAYANTI (I4051161047)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

2016
DIABETES MELITUS TIPE 2

A. DEFINISI
Diabetes Mellitus Tipe 2 merupakan penyakit hiperglikemi akibat insensivitas sel
terhadap insulin. Kadar insulin mungkin sedikit menurun atau berada dalam rentang
normal. Karena insulin tetap dihasilkan oleh sel-sel beta pankreas, maka diabetes
mellitus tipe II dianggap sebagai non insulin dependent diabetes mellitus (Slamet S,
2008). Diabetes melitus tipe 2 adalah defek sekresi insulin, dimana pankreas tidak
mampu menghasilkan insulin yang cukup untuk mempertahankan glukosa plasma yang
normal, sehingga terjadi hiperglikemia yang disebabkan insensitifitas seluler akibat
insulin (Corwin, 2009).

B. ETIOLOGI
Penyebab diabetes melitus tipe 2 adalah karena kegagalan relative sel beta dan
resistensi insulin ( Nurarif, 2016).

C. FAKTOR RESIKO
Menurut ehsa (2010) faktor-faktor resiko tertentu yang berhubungan dengan proses
terjadinya diabetes melitus tipe 2 dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Faktor risiko yang tidak dapat diubah
 Riwayat keluarga diabetes
Seorang anak dapat diwarisi gen penyebab diabetes melitus orang tua. Biasanya,
seseorang yang menderita diabetes melitus mempunyai anggota keluarga yang juga
terkena penyakit tersebut.
 Ras atau latar belakang etnis
Resiko diabetes melitus tipe 2 lebih besar pada hispanik, kulit hitam, penduduk asli
Amerika dan Asia.
 Riwayat diabetes pada kehamilan
Mendapatkan diabetes selama kehamilan atau melahirkan bayi lebih dari 4,5 kg
dapat meningkatkan risiko dianetes melitus tipe 2.
2. Faktor risiko yang dapat diubah
 Usia
Resistensi insulin cenderung meningkat pada usia diatas 65 tahun.
 Pola makan
Makan secara berlebihan dan melebihi jumlah kadar kalori yang dibutuhkan oleh
tubuh dapat memicu timbulnya diabetes melitus tipe 2, hal ini pankreas
mempunyai kapasitas disebabkan jumlah/kadar insulin oleh sel maksimum untuk
disekresikan. Oleh karena itu, mengonsumsi makanan secara berlebihan dan tidak
diimbangi oleh sekresi insulin dalam jumlah memadai dapat menyebabkan kadar
gula dalam darah meningkat dan menyebabkan diabetes melitus.
 Gaya hidup
Makanan cepat saji dan olahraga tidak teratur merupakan salah satu gaya hidup di
jaman sekarang yang dapt memicu terjadinya diabetes melitus tipe 2.
 Obesitas
Seseorang dikatakan obesitas apabila indeks massa tubuh (BMI) ≥ dari 25. HDL <
35 mg/dl dan atau tingkat trigliserida ≥ 250 mg/dl dapat meningkatkan resiko
diabetes melitus 2.
 Hipertensi
Tekanan darah > 140/90 mmHg dapat menimbulkan resiko diabetes melitus tipe 2.
 Bahan-bahan kimia dan obat-obatan
 Penyakit dan infeksi pada pankreas
 Dislipedimia
Adalah keadaaan yang ditandai dengan kadar lemak darah (Trigliserida > 250
mg/dl. Terdapat hubungan antara kenaikan plasma insulin dengan rendahnya HDL
(< 35 mg/dl) sering didapat pada pasien diabetes.

D. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Lingga (2012) bahwa tanda dan gejala diabetes melitus tipe 2 sebagai
berikut.
1. Poliuria
2. Polidipsia
3. Polifagia
4. Penglihatan kabur
5. Mudah mengalami penambahan bobot badan
6. Sulit berkonsentrasi
7. Cepat lelah dan mudah mengantuk
8. Imunitas tubuh rendah, daya sembuh lambat terutama jika mengalami luka pada
tangan dan kaki
9. Pada wanita mudah terinfeksi jamur
10. Mendengar bunyi berdengung serta mati rasa pada tungkai, tangan dan jari-jari
11. Setiap saat merasa lelah, terutama setelah makan siang atau malam
12. Gula darah puasa pada pagi hari lebih tinggi dari 125 mg/dl

E. KOMPLIKASI
Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik akan menimbulkan komplikasi akut dan
kronis sebagai berikut (Sudoyo, 2009 & Hastuti, 2008).
1. Komplikasi akut
 Hipoglikemia
 Hiperglikemia
2. Komplikasi kronis
 Komplikasi makrovaskuler: trombosit otak (pembekuan darah pada sebagian otak),
penyakit jantung koroner, gagal jantung kongestif dan stroke.
 Komplikasi mikrovaskuler: nefropati, diabetik retinopati, neuropati, dan amputasi.

F. PATOFISIOLOGI
Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan yaitu
resistensi insulin dan disfungsi sel B pankreas. Diabetes melitus tipe 2 bukan disebabkan
oleh kurangnya sekresi insulin, namun karena sel sel sasaran insulin gagal atau tidak
mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai “resistensi
insulin” (Teixeria, 2011 & Roithet et al, 2008). Resistensi insulin banyak terjadi akibat
dari obesitas dan kurang nya aktivitas fisik serta penuaan. Pada penderita diabetes
melitus tipe 2 dapat juga terjadi produksi glukosa hepatik yang berlebihan namun tidak
terjadi pengrusakan sel-sel B langerhans secara autoimun seperti diabetes melitus tipe 2.
Defisiensi fungsi insulin pada penderita diabetes melitus tipe 2 hanya bersifat relatif dan
tidak absolut (Hastuti, 2008).
Pada awal perkembangan diabetes melitus tipe 2, sel B menunjukan gangguan pada
sekresi insulin fase pertama,artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi
insulin. Apabila tidak ditangani dengan baik,pada perkembangan selanjutnya akan terjadi
kerusakan sel-sel B pankreas. Kerusakan sel-sel B pankreas akan terjadi secara progresif
seringkali akan menyebabkan defisiensi insulin,sehingga akhirnya penderita memerlukan
insulin eksogen. Pada penderita diabetes melitus tipe 2 memang umumnya ditemukan
kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin.

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mengetahui diabetes tipe-2 adalah sebagai
berikut (Lingga, 2012).
1. Kadar gula puasa (Fasting/F)
Kadar gula puasa normal harus kurang dibawah 100 mg/dl.
2. Kadar gula postprandial (PP)
Dilakukan 2 jam setelah makan makanan berkarbohidrat tinggi atau minum 75 gram
glukosa. Angka tes di atas 130mg/dL mengindikasikan diabetes.
3. Hemoglobin glikosilat (HbA1c)
Pengukuran untuk menilai kadar gula drah selama 120 hari terakhir. Angka di atas
6,1% menunjukkan diabetes.
dan (GTT: glucose tolerance test). Kecuali tes gula darah posprandial, semua test
lainnya harus dilakukan saat dalam keadaan puasa selama 12 jam sebelumnya.
4. Tes toleransi glukosa oral
Setelah berpuasa selama 12 jam lalu meminum larutan 75 gram gula. Kadar gula
darah kemudian akan diuji selama periode 24 jam. Angka gula darah yang normal 2
jam setelah minum larutan gula harus lebih rendah dari 140 mg/dL. Sementara itu
angka yang terukur 0-2 jam harus kurang dari 200 mg/dL.
5. Tes urin
Tes urin digunakan untuk mengetahui kadar albumin, gula dan mikrourea.

H. TATA LAKSANA
Penatalaksanaan diabetes melitus tipe 2 terdapat emapat pilar yaitu sdukasi, terapi gizi
medis, latihan jasmanidan intervensi farmakologi (Ndraha, 2014).
1. Edukasi
Tim kesehatan mendampingi pasien dalam perubahan perilaku sehat yang
memerlukan partisipasi aktif dari pasien dan keluarga pasien. Upaya edukasi
dilakukan secara komphrehensif dan berupaya meningkatkan motivasi pasien untuk
memiliki perilaku sehat. Tujuan dari edukasi diabetes adalah mendukung usaha
pasien penyandang diabetes untuk mengerti perjalanan alami penyakitnya dan
pengelolaannya, mengenali masalah kesehatan/komplikasi yang mungkin timbul
secara dini/saat masih reversible, ketaatan perilaku pemantauan dan pengelolaan
penyakit secara mandiri, dan perubahan perilaku/kebiasaan kesehatan yang
diperlukan. Edukasi pada penyandang diabetes meliputi ketaatan pengunaan obat-
obatan, berhenti merokok, meningkatkan aktifitas fisik, dan mengurangi asupan
kalori dan diet tinggi lemak.
2. Terapi gizi medis
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes yaitu makanan yang seimbang,
sesuai dengan kebutuhan kalori masing-masing individu, dengan memperhatikan
keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah makanan. Komposisi makanan yang
dianjurkan terdiri dari karbohidrat 45%-65%, lemak 20%-25%, protein 10%-20%,
Natrium kurang dari 3g, dan diet cukup serat sekitar 25g/hari
3. Latihan jasmani
Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu, masing-masing selama kurang
lebih 30 menit. Latihan jasmani dianjurkan yang bersifat aerobik seperti berjalan
santai, jogging, bersepeda dan berenang. Latihan jasmani selain untuk menjaga
kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan meningkatkan sensitifitas insulin.
4. Intervensi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan peningkatan pengetahuan pasien,
pengaturan makan dan latihan jasmani. Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan
bentuk suntikan. Obat yang saat ini ada antara lain:
 Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
Pemicu sekresi insulin:
a) Sulfonilurea
Efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Pilihan
utama untuk pasien berat badan normal atau kurang. Sulfonilurea kerja
panjang tidak dianjurkan pada orang tua, gangguan faal hati dan ginjal serta
malnutrisi.
b) Glinid
Terdiri dari repaglinid dan nateglinid. Cara kerja sama dengan sulfonilurea,
namunlebih ditekankan pada sekresi insulin fase pertama. Obat ini baik untuk
mengatasi hiperglikemia Postprandial.
Peningkatan sensitivitas insulin:
a) Biguanid
Golongan biguanid yang paling banyak digunakan adalah
Metformin.Metformin menurunkan glukosa darah melaluipengaruhnya
terhadap kerja insulin pada tingkat seluler, distal reseptor insulin, dan
menurunkan produksi glukosa hati. Metformin merupakan pilihan utama untuk
penderita diabetes gemuk, disertai dislipidemia, dan disertai resistensi insulin.
b) Tiazolidindion
Menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein
pengangkut glukosa sehingga meningkatkan ambilan glukosa perifer.
Tiazolidindion dikontraindikasikan pada gagaljantung karena meningkatkan
retensi cairan.

Penghambat glukoneogenesis:
Biguanid (metformin)
Selain menurunkan resistensi insulin, Metformin juga mengurangi produksi
glukosa hati. Metformin dikontraindikasikan pada gangguan fungsi ginjal dengan
kreatinin serum > 1,5 mg/dL, gangguan fungsi hati, serta pasien dengan
kecenderungan hipoksemia seperti pada sepsis. Metformin tidak mempunyai efek
samping hipoglikemia seperti golongan sulfonylurea. Metformin mempunyai efek
samping pada saluran cerna (mual) namun bisa diatasi dengan pemberian sesudah
makan.

Penghambat glukosidase alfa :


Acarbose
Bekerja dengan mengurangi absorbsi glukosa di usus halus.Acarbose juga tidak
mempunyai efek samping hipoglikemia seperti golongan sulfonilurea. Acarbose
mempunyai efek samping pada saluran cerna yaitu kembung dan flatulens.
Penghambat dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4) Glucagon-like peptide-1 (GLP-1)
merupakan suatu hormone peptide yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus.
Peptida ini disekresi bila ada makanan yang masuk. GLP-1 merupakan
perangsang kuat bagi insulin dan penghambat glukagon. Namun GLP-1 secara
cepat diubah menjadi metabolit yang tidak aktif oleh enzim DPP-4. Penghambat
DPP-4 dapat meningkatkan penglepasan insulin dan menghambat penglepasan
glukagon.

 Obat Suntikan
a) Insulin
- Insulin kerja cepat
- Insulin kerja pendek
- Insulin kerja menengah
- Insulin kerja panjang
- Insulin campuran tetap
b) Agonis GLP-1/incretin mimetik
Bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin tanpa menimbulkan
hipoglikemia, dan menghambat penglepasan glukagon. Tidak meningkatkan
berat badan seperti insulin dan sulfonilurea. Efek samping antara lain
gangguan saluran cerna seperti mual muntah.

I. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI


1. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d penurunan masukan
oral, mual dan muntah.
Diagnosa Noc Nic
Ketidakseimbangan  Nutrional status: food nutrition management
and fluid intake - kolaborasi dengan ahli gizi
nutrisi kurang dari
 Nutional status: untuk menentukan jumlah kalori
kebutuhan tubuh nutrient intake dan nutrisi yang dibutuhkan
 Weigh control pasien
b.d penurunan
Kriteria hasil: - berikan substansi gula
masukan oral, mual  Adanya peningkatan - monitor jumlah nutrisi dari
berat badan sesuai kandungan kalori
dan muntah.
dengan tujuan - yakinkan diet yang dimakan
 Berat badan ideal mengandung tinggi serat untuk
sesuai tinggi badan mencegah konstipasi
 Mampu nutrition monitoring
mengidentifikasi - BB pasien dalam rentang normal
kebutuhan nutrisi - Monitor adanya penurunan berat
 Tidak ada tanda-tanda badan
malnutrisi - Monitor lingkungan selama
makan
- Monitor kulit kering dan
perubahan pigmentasi
- Monitor turgor kulit
- Monitor mual dan muntah
- Monitor kalori dan intake nutrisi

2. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d penurunan sirkulasi darah ke perifer,


proses penyakit (DM)
Diagnosa Noc Nic
Ketidakefektifan  Circulation status Peripheral sensation management
 Tissue Perfusion: (manajemen sensasi perifer)
perfusi jaringan
cerebral - Monitor adanya daerah tertentu
perifer b.d Kriteria hasil: yang hanya peka terhadap
Mendemonstrasikan panas/dingin/tajam/tumpul
penurunan
kemampuan kognitif yang - Monitor adanya paratase
sirkulasi darah ditandai dengan: - Instruksikan keluarga untuk
 Berkomunikasi dengan mengobservasi kulit jika ada lesi
ke perifer,
jelas dan sesuai atau laserasi
proses penyakit dengan kemampuan - Gunakan sarung tangan untuk
 Menunjukkan proteksi
(DM)
perhatian, konsentrasi - Batasi pergerakan di kepala, leher
dan orientasi dan punggung
 Memproses informasi - Monitor kemampuan BAB
 Membuat keputusan
dengan benar
Menunjukkan fungsi
sensori motori cranial
yang utuh: tingkat
kesadaran membaik, tidak
ada gerakan-gerakan
involunter

3. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan umum, tirah baring atau imobilisasi.


Diagnosa Noc Nic
Intoleransi  Energy conservation Activity Therapy
aktivitas b.d  Activity tolerance - Kolaborasikan dengan tenaga
kelemahan  Self care: ADLs rehabilitasi medik dalam
umum, tirah Kriteria hasil: merencanakan program terapi yang
baring atau  Mampu melakukan tepat
imobilisasi. aktivitas sehari-hari - Bantu klien untuk mengidentifikasi
secara mandiri aktivitas yang mampu didilakukan
 Tanda-tanda vital - Bantu untuk memilih aktivitas
normal konsisten yang sesuai dengan
 Energy psikomotor kemampuan fisik, psikologi dan
 Mampu berpindah sosial
dengan atau tanpa - Bantu untuk mengidentifikasi
bantuan alat aktivitas yang disukai
 Sirkulasi status baik - Bantu klien untuk membuat jadwal
latihan di waktu luang
- Bantu untuk mendapatkan alat
bantuan aktivitas seperti kursi roda,
krek
- Monitor respon fisik, emosi, sosial
dan spiritual

4. Defisit perawatan diri mandi b.d kelemahan fisik.


Diagnosa Noc Nic
Defisit  Self care hygiene Self care assistance: bathing/hygiene
perawatan diri Kriteria hasil: - pertimbangkan usia pasien ketika
mandi b.d  Perawatan diri: mempromosikan aktivitas
kelemahan aktivitas kehidupan perawatan diri
fisik. sehari-hari (ADL) - menentukan jumlah dan jenis
mampu untuk bantuan yang dibutuhkan
melakukan aktivitas - menyediakan artikel pribadi yang
perawatan fisik dan diinginkan (misalnya: deodoran,
pribadi secara mandiri sikat gigi, sabun mandi, sampo,
atau dengan alat bantu lotion, dan produk aromaterapi)
 perawatan diri mandi: - menyediakan lingkungan yang
mampu untuk terapeutik
membersihkan tubuh - memfasilitasi menyikat gigi pasien
sendiri secara mandiri - memfasilitasi diri mandi pasien
atau dengan alat bantu - memantau pembersihan kuku
 perawatan diri higiene - memantau integritas kulit pasien
oral: mampu untuk - menjaga kebersihan ritual
merawat mulut dan gigi - memberikan bantuan sampai pasien
secara mandiri dengan sepenuhnya dapat mengansumsikan
atau tanpa alat bantu perawatan diri

5. Resiko syok
Diagnosa Noc Nic
Resiko syok  Self care hygiene Self care assistance: bathing/hygiene
Kriteria hasil: - pertimbangkan usia pasien ketika
 Perawatan diri: mempromosikan aktivitas
aktivitas kehidupan perawatan diri
sehari-hari (ADL) - menentukan jumlah dan jenis
mampu untuk bantuan yang dibutuhkan
melakukan aktivitas - menyediakan artikel pribadi yang
perawatan fisik dan diinginkan (misalnya: deodoran,
pribadi secara mandiri sikat gigi, sabun mandi, sampo,
atau dengan alat bantu lotion, dan produk aromaterapi)
 perawatan diri mandi: - menyediakan lingkungan yang
mampu untuk terapeutik
membersihkan tubuh - memfasilitasi menyikat gigi pasien
sendiri secara mandiri - memfasilitasi diri mandi pasien
atau dengan alat bantu - memantau pembersihan kuku
 perawatan diri higiene - memantau integritas kulit pasien
oral: mampu untuk - menjaga kebersihan ritual
merawat mulut dan gigi - memberikan bantuan sampai pasien
secara mandiri dengan sepenuhnya dapat mengansumsikan
atau tanpa alat bantu perawatan diri

6. Kerusakan integritas kulit jaringan b.d nekrosis kerusakan jaringan (nekrosis luka
ganggrene)
7. Retensi urine b.d inkomplit pengosongan kandung kemih, sfingter kuat dan poliuri
8. Risiko ketidakseimbangan elektrolit
9. Keletihan
Daftar Pustaka

Sudoyo, Aru dkk. 2008. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi III. Jakarta: Interna
Publishing
Hastuti, Rini Tri. 2008. Faktor-faktor Risiko Ulkus Diabetika Pada Penderita Diabetes
Melitus Studi Kasus di RSUD Dr. Moewardi Surakarta [dissertation]. Semarang: Universitas
Diponegoro
Roithet, et al. 2008. Diabetes Millitus A Fundamental and Clinical Text. Philadelphia:
Lippincott William & Wilkins
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. 2009. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi kelima. Jakarta: Interna publishing
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Corwin. Jakarta: Aditya Media
Ehsa, 2010. Diabetes Mellitus. Di akses pada tanggal 8 september 2016, dari link:
http://diabetes-mellitus-dm.html
Teixeria L. 2011. Regular physical exercise training assists in preventing type 2
diabetes development: focus on its antioxidant and anti-inflammantory properties. Biomed
Central Cardiovascular Diabetology
Lingga, Lanny. 2012. Bebas Diabetes Tipe-2 Tanpa Obat. Jakarta: PT AgroMedia
Pustaka
Ndraha, Suzanna. 2014. Diabetes Melitus Tipe 2 dan Tatalaksana Terkini. Jakarta:
Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana Jakarta
Nurarif, Amin Huda & Kusuma Hardhi. 2016. Asuhan Keperawatan Praktis.
Berdasarkan Penerapan Diagnosa Nanda, NIC, NOC Dalam Berbagai Kasus. Jakarta:
Media Action Publishing

Anda mungkin juga menyukai