Anda di halaman 1dari 48

KATA PENGANTAR

‫ اما بعد‬,‫ و الصالة و السالم على نبين محمد وعلى اله واصحا بحه اجمعين‬,‫الحمد هلل رب العا لمين‬

Segala puji hanya milik allah swt atas limpahan rahmat dan kasih
sayangnyalah sehingga makalah tentang penyelenggaraan jenazah ini bisa
terselesaikan tepat pada waktunya.

Terimakasih yang tak terhingga kami ucappkan kepada dosen pembimbing kami,
yang kami muliakan ibu Nanda Himmatul Ulya.M.Hi, karena atas izin allah swt
dan atas bantuan beliaulah makalah ini bisa terselesaikan.

Harapan kami semoga makalah ini bisa menambah wawasan bagi kami khususnya
dan bagi para pembaca pada umumnya , dan semoga makalah ini menjadi amal
jariyah bagi kami sebagai penulis amin ya rabbal ‘alamin

Sintanng

Penulis
DAFTAR ISI

1.

2.

3.

4.
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar belakang
Manusia adalah makhluki yang diciptakan oleh allah swt yang telah
ditetapkan baginya ajalnya. Meskipun tidak ada seorang pun yang tau kapan
ajal menjemputnya, akan tetapi kematian adalah sebuah kepastian yang tidak
dapat dihindari dan tidak dapat ditawar tawar lagi. Allah swt berfirman:

‫ار َوأُد ِْخ َل ْال َجنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ َو َما‬ َ ‫ت ۗ َو ِإ َّن َما ت ُ َوفَّ ْونَ أ ُ ُج‬
ِ َّ‫ور ُك ْم َي ْو َم ْال ِق َيا َم ِة ۖ فَ َم ْن ُزحْ ِز َح َع ِن الن‬ ِ ‫ُك ُّل نَ ْف ٍس ذَائِقَةُ ْال َم ْو‬
ِ ‫ع ْالغُ ُر‬
‫ور‬ ُ ‫ْال َح َياة ُ الدُّ ْن َيا ِإ ََّّل َمت َا‬

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari
kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka
dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung.
Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan (
surah ali imran ayat 185 )

Dan rasulullah bersabda :


Banyak banyaklah kamu mengingat hal yang memutuskan kesenangan , yakni
mati.(HR.tarmizi yang disohihkan oleh ibnu hibban)
Olehnya itu kita sebagai manusia harus senantiasa menyiapkan diri kita
untuk menemui ajal kita, dan salah satu hal yang paling ppenting adalah kita
juga harus bisa mengurus jenazah orang-orang mukmin yang meninggal dunia
, dan mengurus jenazah merupakan fardu kifayah bagi seorang muslim, maka
tidak ada alasan bagi seorang muslim kecuali seorang muslim harus dapat
mengurus jenazah saudaranya, dari hendak meninggalnya, memandikannya
mengkafaninya, menyolati dampai menguburkannya, bahkan sampai pada
menghibur keluarga yang berduka.
Oleh karna itu semoga makalah tentang penyelenggaraan jenazah ini bisa
membantu kita dalam mengetahui hal- hal yang harus kita lakukan terhadap
jenazah.

1
1.2.Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah pada pembahan
makalah ini adalah sebagai berikut:
1.2.1. Apakah yang harus dilakukan oleh seorang muslim terhadap
muslim yang sakit menjelang ajalnya?
1.2.2. Apa yaang harus dilakukan terhadap orang yang telah meninggal
dunia?
1.2.3. Bagaimanakah tata cara memandikan jenazah?
1.2.4. Bagaimanakah tata cara mengkafani jenazah?
1.2.5. Bagaimanakah tata cara mensholati jenazah?
1.2.6. Bagaimanakah tata cara menguburkan jenazah?
1.3. Tujuan penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.3.1. Untuk mengetahui hal hal apasajakah yang harus dilakukan kepada
orang sakit menjelang sakaratul maut
1.3.2. Untuk mengetahui apa yang harus dilakukan terhadap orang yang
sudah meninggal dunia
1.3.3. Untuk mengetahui tatacara memandikan jenazah
1.3.4. Untuk mengetahui tatatcara menkafani jenazah
1.3.5. Untuk mengetahui tatatcara mensholati jenazah
1.3.6. Untuk mengetahui tatacara menguburkan jenazah

2
BAB II

PEMBAHASAN

TATACARA PENYELENGGARAAN JENAZAH

2.1.1. Menjenguk Orang Sakit Dan Hal Hal Yang Harus Dilakukan
Terhadap orang sakit

Di antara masalah penting yang terkait dengan hubungan manusia dengan


manuasia lainnya adalah masalah perawatan jenazah. Islam menaruh perhatian
yang sangat serius dalam masalah ini, sehingga hal ini termasuk salah satu
kewajiban yang harus dipenuhi oleh umat manusia, khususnya umat Islam.
Perawatan jenazah ini merupakan hak si mayat dan kewajiban bagi umat Islam
untuk melakukannya dengan pengurusan yang terbaik.
Dalam kenyataan masih banyak ditemukan dalam kehidupan sehari-hari
umat Islam yang belum mengetahui bagaimana tatacara mengurus jenazah.
Masih banyak praktek perawatan jenazah yang berbau bid’ah (larangan yang
tidak pernah dilakukan Nabi Muhammad Saw.).

Adapun hal-hal yang harus dilakukan orang yang sakit adalah sebagai berikut:

1. Rela terhadap qadha dan qadar Allah, sabar dan berprasangka baik kepadaNya.
2. Diperbolehkan untuk berobat dengan sesuatu yang mubah, dan tidak boleh
berobat dengan sesuatu yang haram, atau berobat dengan sesuatu yang merusak
aqidahnya; misalnya, seperti datang kepada dukun, tukang sihir atau ke tempat
lainnya.

Dari Abu Hurairah,dari Nabi Shllallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda:

ِ ُ‫َما أ َ ْن َز َل هللاُ دَا ًء ِإالَّ أ َ ْن َز َل لَه‬


‫أخرجه البخاري‬.”‫شفَا ًء‬

Allah tidak menurunkan suatu penyakit, kecuali Allah turunkan juga obatnya.
[HR Al Bukhari].

3
Dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َ ‫ِإنَّ هللاَ َخ َلقَ الدَّا َء َوالد ََّوا َء فَتَد‬


َ ‫َاو ْوا َوالَ تَد‬
.‫َاو ْوا ِبح ََرام‬

Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan obatnya, maka berobatlah kalian,


dan jangan berobat dengan sesuatu yang haram. [Dikeluarkan Al Haitsami di
dalam Majma’az Zawa’id].

3. Apabila bertambah parah sakitnya, tidak boleh baginya untuk mengharapkan


kematian. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َ ‫ع بِ ِه ِم ْن قَ ْب ِل أ َ ْن يَأْتِيَهُ إِنَّهُ إِذَا َماتَ أ َ َح ُد ُك ْم ا ْن َق َط َع‬


َ‫ع َملُهُ َوإِنَّهُ َال يَ ِزي ُد ا ْل ُمؤْ ِمن‬ ُ ‫َال يَت َ َمنَّى أ َ َح ُد ُك ْم ا ْل َم ْوتَ َو َال يَ ْد‬
‫ع ْم ُرهُ إِ َّال َخي ًْرا‬ُ

Janganlah salah seorang di antara kalian mengharapkan kematian, dan


janganlah meminta kematian sebelum datang waktunya. Apabila seorang di
antara kalian meninggal, maka terputus amalnya. Dan umur seorang mukmin
tidak akan menambah baginya kecuali kebaikan. [HR Muslim].

4. Hendaknya seorang muslim berada di antara khauf (rasa takut) dan raja’
(berharap).
Diriwayatkan dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam mendatangi seorang pemuda yang dalam keadaan sakaratul maut;
kemudian Beliau bertanya: “Bagaimana engkau menjumpai dirimu?” Dia
menjawab: “Wahai, Rasulullah! Demi Allah, aku hanya berharap kepada Allah,
dan aku takut akan dosa-dosaku.” Kemudian Rasulullah bersabda:

‫اف‬ َّ ُ‫عبْد فِي ِمثْ ِل َهذَا ا ْل َم ْو ِط ِن إِ َّال أ َ ْع َطاه‬


ُ ‫َّللاُ َما يَ ْر ُجو َوآ َمنَهُ ِم َّما يَ َخ‬ ِ ‫ان فِي قَ ْل‬
َ ‫ب‬ ِ َ‫َال يَجْ ت َ ِمع‬

Tidaklah berkumpul dua hal ini ( yaitu khauf dan raja’) di dalam hati seseorang,
dalam kondisi seperti ini, kecuali pasti Allah akan berikan dari harapannya dan
Allah berikan rasa aman dari ketakutannya. [HR At Tirmidzi].

4
5. Wajib baginya untuk mengembalikan hak dan harta titipan orang lain, atau dia
juga meminta haknya dari orang lain. Kalau tidak memungkinkan, hendaknya
memberikan wasiat untuk dilunasi hutangnya, atau dibayarkan kafarah atau
zakatnya.

6. Hendaknya bersegera untuk berwasiat sebelum datang tanda-tanda kematian.


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ُ‫وصي فِي ِه يَبِيتُ لَ ْي َلتَي ِْن إِ َّال َو َو ِصيَّتُهُ َم ْكت ُوبَةٌ ِع ْن َده‬
ِ ُ‫س ِلم لَهُ ش َْي ٌء ي‬
ْ ‫ق ا ْم ِرئ ُم‬
ُّ ‫َما َح‬

Tidak sepatutnya bagi seorang muslim yang masih memiliki sesuatu yang akan
diwasiatkan untuk tidur dua malam kecuali wasiatnya sudah tertulis di dekatnya
[HR Al Bukhari].

Apabila hendak berwasiat dari hartanya, maka tidak boleh berwasiat lebih banyak
dari sepertiga hartanya. Dan tidak boleh diwasiatkan kepada ahli waris. Tidak
diperbolehkan untuk merugikan orang lain dengan wasiatnya, dengan tujuan
untuk menghalangi bagian dari salah satu ahli waris, atau melebihkan bagian
seorang ahli waris daripada yang lain.

2.1.2.Hal-Hal Yang Dikerjakan Ketika Seseorang Sakaratul Maut


1. Mentalqin (menuntun) dengan bacaan Laa ilaaha illallah.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:

‫لَ ِقنُ ْوا َم ْوتَا ُك ْم الَ إِلَهَ إِالَّ هللا‬

Tuntunlah orang yang akan mati di antara kalian dengan bacaan Laa ilaha
illallah. [HR Muslim].

Dari Muadz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa


sallam bersabda:

‫آخ ُر َكالَ ِم ِه الَ ِإلَهَ إِالَّ هللاُ َد َخ َل ا ْل َجنَّ َة‬


ِ َ‫َم ْن كَان‬

5
Barangsiapa yang akhir perkataannya Laa ilaha illallah, dia akan masuk surga.
[HR Al Bukhari].

Apabila berbicara dengan ucapan yang lain setelah ditalqin, maka diulangi
kembali, supaya akhir dari ucapannya di dunia kalimat tauhid.

2. Berdo’a untuknya dan tidak berkata kecuali yang baik.


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َ َ‫يض أ َ ْو ا ْل َم ِيتَ فَقُولُوا َخي ًْرا َف ِإنَّ ا ْل َم َالئِكَةَ يُؤ َِمنُون‬


َ‫علَى َما ت َ ُقولُون‬ َ ‫ِإذَا َحض َْرت ُ ْم ا ْل َم ِر‬

Apabila kalian mendatangi orang sakit atau orang mati, maka janganlah berkata
kecuali yang baik, karena sesungguhnya malaikat mengamini yang kalian
ucapkan. [HR Muslim, Al Baihaqi dan yang lainnya]

Tanda-Tanda Kematian:
Para ulama menyebutkan beberapa tanda, bahwa seseorang sudah bisa dikatakan
mati. Di antaranya:
a. Terhentinya nafas.
b. Kedua pelipisnya melemas.
c. Hidung menjadi lunak.
d. Kulit wajahnya menjadi lebih panjang.
e. Terpisahnya kedua telapak tangan dari kedua lengannya.
f. Kedua kakinya melemas dan terpisah dari kedua mata kaki.
g. Tubuh menjadi dingin.
h. Tanda yang sangat jelas, yaitu adanya perubahan bau pada tubuhnya. [Lihat
Fiqhun Nawazil, Syaikh Bakr Abu Zaid (1/227), Asy Syarhul Mumti’ (5/331)].

Tanda-tanda di atas diketahui dengan tanpa menggunakan alat, dan ada tanda lain
yang bisa diketahui dengan alat-alat kedokteran.

3. Tidak mengapa bagi seorang muslim untuk mendatangi seorang kafir yang
dalam keadaan sakaratul maut untuk menawarkan kepadanya agama Islam.

6
Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: Dahulu ada seorang budak Yahudi
yang melayani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika dia sakit, maka
Rasulullah menjenguknya. Beliau duduk di dekat kepalanya. Kemudian
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ُ‫َّللا‬ ْ َ ‫سلَّ َم فَأ‬


َ ‫سلَ َم فَ َخ َر َج النَّبِ ُّي‬
َّ ‫صلَّى‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ ِ ‫س ِل ْم فَنَ َظ َر إِلَى أ َبِي ِه َوه َُو ِع ْن َدهُ فَقَا َل لَهُ أ َ ِط ْع أَبَا ا ْلقَا‬
َ ‫س ِم‬ ْ َ‫أ‬
‫سلَّ َم َوه َُو يَقُو ُل ا ْل َح ْم ُد ِ َّّلِلِ الَّذِي أ َ ْن َقذَهُ ِم ْن ال َّن ِار‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ

Masuklah ke dalam agama Islam, maka dia melihat ke arah bapaknya yang
berada di sampingnya. Bapaknya berkata: “Taatilah Abul Qasim (ya’ni
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam).” Maka dia masuk Islam, kemudian
Rasulullah keluar, dan Beliau berkata: “Segala puji bagi Allah Yang telah
menyelamatkan dia dari neraka.” [HR Al Bukhari].

2.2. Hal-Hal Yang Harus Dilakukan Terhadap Orang Yang Sudah


Meninggal Dunia

Jika seseorang telah meninggal dunia maka hal-hal yang harus dilakukan
terhadap jenazahnya adalah:

1. Disunnahkan untuk menutup kedua matanya. Karena Rasulullah Shallallahu


‘alaihi wa sallam menutup kedua mata Abu Salamah Radhiyallahu ‘anhu ketika
dia meninggal dunia. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َ َ‫ض تَبِعَهُ ا ْلبَص َُر َفالَ تَقُ ْولُ ْوا إِالَّ َخي ًْرا َف ِإنَّ ا ْل َم َالئِكَةَ يُؤ َِمنُون‬
َ‫علَى َما تَقُولُون‬ َ ِ‫الرو َح إِذَا قُب‬
ُّ َّ‫إِن‬

Sesungguhnya ruh apabila telah dicabut, akan diikuti oleh pandangan mata,
maka janganlah kalian berkata kecuali dengan perkataan yang baik, karena
malaikat akan mengamini dari apa yang kalian ucapkan. [HR Muslim].

2. Disunnahkan untuk menutup seluruh tubuhnya, setelah dilepaskan dari


pakaiannya yang semula. Hal ini supaya tidak terbuka auratnya. Dari Aisyah
Radhiyallahu a’nha, beliau berkata:

7
َ‫سلَّ َم ِحين‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫أَنَّ َر‬
َّ ‫سو َل‬

‫س ِج َي ِببُ ْرد ِحبَ َرة‬


ُ ‫ت ُُوفِ َي‬

Dahulu ketika Rasulullah meninggal dunia ditutup tubuhnya dengan burdah


habirah (pakaian selimut yang bergaris). [Muttafaqun ‘alaih].

Kecuali bagi orang yang mati dalam keadaan ihram,maka tidak ditutup kepala dan
wajahnya.

3. Bersegera untuk mengurus jenazahnya.


Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫س َب ْينَ َظه َْرانَ ْي أ َ ْه ِل ِه‬


َ َ‫س ِلم أ َ ْن تُحْ ب‬
ْ ‫َال يَ ْنبَ ِغي ِل ِجيفَ ِة ُم‬

Tidak pantas bagi mayat seorang muslim untuk ditahan di antara keluarganya.
[HR Abu Dawud].

Karena hal ini akan mencegah mayat tersebut dari adanya perubahan di dalam
tubuhnya. Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Kehormatan seorang muslim
adalah untuk disegerakan jenazahnya.” Dan tidak mengapa untuk menunggu
diantara kerabatnya yang dekat apabila tidak dikhawatirkan akan terjadi
perubahan dari tubuh mayit.

Hal ini dikecualikan apabila seseorang mati mendadak, maka diharuskan


menunggu terlebih dahulu, karena ada kemungkinan dia hanya pingsan (mati
suri). Terlebih pada zaman dahulu, ketika ilmu kedokteran belum maju seperti
sekarang. Pengecualian ini, sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama. [Lihat
Asy Syarhul Mumti’ (5/330), Al Mughni (3/367)].

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Jika ada orang yang bertanya,
bagaimana kita menjawab dari apa yang dikerjakan oleh para sahabat, mereka
mengubur Nabi pada hari Rabu, padahal Beliau meninggal pada hari Senin? Maka
jawabnya sebagai berikut: Hal ini disebabkan
8 untuk menunjuk Khalifah setelah

9
Beliau. Karena Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemimpin
yang pertama telah meninggal dunia, maka kita tidak mengubur Beliau hingga ada
Khalifah sesudahnya. Hal ini yang mendorong mereka untuk menentukan
Khalifah. Dan ketika Abu Bakar dibai’at, mereka bersegera mengurus dan
mengubur jenazah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, jika
seorang Khalifah (Pemimpin) meninggal dunia dan belum ditunjuk orang yang
menggantikannya, maka tidak mengapa untuk diakhirkan pengurusan jenazahnya
hingga ada Khalifah sesudahnya.” [Asy Syarhul Mumti’ 5/333].

4. Diperbolehkan untuk menyampaikan kepada orang lain tentang berita


kematiannya. Dengan tujuan untuk bersegera mengurusnya, menghadiri
janazahnya dan untuk menyalatkan serta mendo’akannya. Akan tetapi, apabila
diumumkan untuk menghitung dan menyebut-nyebut kebaikannya, maka ini
termasuk na’yu (pemberitaan) yang dilarang.

5. Disunnahkan untuk segera menunaikan wasiatnya, karena untuk menyegerakan


pahala bagi mayit. Wasiat lebih didahulukan daripada hutang, karena Allah
mendahulukannya di dalam Al Qur’an.

6. Diwajibkan untuk segera dilunasi hutang-hutangnya, baik hutang kepada Allah


berupa zakat, haji, nadzar, kaffarah dan lainnya. Atau hutang kepada makhluk,
seperti mengembalikan amanah, pinjaman atau yang lainnya. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َ ‫س ا ْل ُمؤْ ِم ِن ُمعَلَّقَةٌ ِب َد ْينِ ِه َحتَّى يُ ْقضَى‬


ُ‫ع ْنه‬ ُ ‫نَ ْف‬

Jiwa seorang mukmin terikat dengan hutangnya hingga dilunasi. [HR Ahmad, At
Tirmidzi, dan beliau menghasankannya].

Adapun orang yang tidak meninggalkan harta yang cukup untuk melunasi
hutangnya, sedangkan dia mati dalam keadaan bertekad untuk melunasi hutang
tersebut, maka Allah yang akan melunasinya.

10
7. Diperbolehkan untuk membuka dan mencium wajah mayit. Aisyah
Radhiyallahu anha berkata:

َ ‫عثْ َمانَ ْبنَ َم ْظعُون َوه َُو َميِتٌ َحتَّى َرأَيْتُ ال ُّد ُمو‬
‫ع تَسِي ُل‬ ُ ‫سلَّ َم يُقَبِ ُل‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫ص َّلى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫َرأَيْتُ َر‬
َّ ‫سو َل‬

Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium Utsman bin


Madh’un Radhiyallahu ‘anhu , saat dia telah meninggal, hingga aku melihat
Beliau mengalirkan air mata. [HR Abu Dawud dan At Tirmidzi].

Demikian pula Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu, beliau mencium
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallamn ketika beliau meninggal dunia.

2.3. Memandikan Jenazah

2.3.1. syarat-syarat jenazah yang perlu dimandikan

Syarat jenazah yang dimandikan adalah sebagai berikut :

1. Mayat orang islam


2. Ada tubuhnya walaupun sedikit
3. Mayat itu bukan mayat orang yang mati syahid

Mandi untuk melepaskan kewajiban itu sekurang – kurangnya satu kalimerata


keseluruh tubuhnya , sesudah najis yang ada ditubuhnya dihilangkan dengan cara
bagaimanapun. Hukum memandikan dan mengkafani mayit adalah fardhu
kifayah. Apabila telah dikerjakan oleh sebagian kaum muslimin, maka bagi yang
lain gugur kewajibannya. Dengan dalil sabda Nabi n tentang seorang muhrim
(orang yang mengerjakan ihram) yang terjatuh dan terlempar dari untanya:

‫سدْر َوك َِفنُوهُ فِي ث َ ْوبَ ْي ِه‬ ِ ‫ا ْغ‬


ِ ‫سلُوهُ بِ َماء َو‬

Mandikanlah dia dengan air dan daun bidara, dan kafanilah dengan dua helai
kainnya. [Muttafaqun ‘alaih].

10
Orang yang paling berhak memandikan seorang mayit, ialah orang yang diberi
wasiat untuk mengerjakan hal ini. Seseorang terkadang berwasiat karena ingin
dimandikan oleh orang yang bertaqwa, orang yang mengetahui hukum-hukum
memandikan mayit.

Dahulu Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu berwasiat supaya dimandikan
oleh isterinya, yaitu Asma’ binti Umais, kemudian dia (Asma’ binti Umais)
mengerjakannya. Dikeluarkan oleh Malik dalam Al Muwatha’, Abdur Razzaq dan
Ibnu Abi Syaibah.

Setelah orang yang diberi wasiat, orang yang paling berhak untuk memandikan
ialah bapaknya, kemudian kakeknya, kemudian kerabat dekat dari ashabahnya
(kerabat lelaki). Jika mereka semua sama di dalam hak ini, maka diutamakan
orang yang paling mengetahui hukum-hukum mengurus jenazah.

Diperbolehkan bagi suami atau isteri untuk memandikan pasangannya.


Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda
kepada ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha:

َ َ‫ت قَ ْب ِل ْي لَغ‬
‫س ْلت ُِك َو َك َف ْنت ُِك‬ ِ ‫لَ ْو ُم‬

Seandainya engkau mati sebelumku, pasti aku akan memandikan dan


mengkafanimu. [HR Ahmad, Ibnu Majah, Ad Darimi].

Bagi seorang lelaki atau wanita, boleh memandikan anak yang di bawah
umur tujuh tahun, baik laki-laki atau perempuan. Ibnul Mundzir berkata,”Telah
sepakat para ulama yang kami pegang pendapatnya, bahwa seorang wanita boleh
memandikan anak kecil laki-laki.” Karena tidak ada aurat ketika hidupnya, maka
demikian pula setelah matinya. [Lihat Al Mulakhash Al Fiqhi (1/207)].

Seorang muslim tidak boleh memandikan dan menguburkan seorang kafir.


Allah berfirman kepada NabiNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

َ ‫علَى أَحَد ِم ْن ُه ْم َماتَ أَبَدًا َوالَ تَقُ ْم‬


‫علَى قَب ِْر ِه إِنَّ ُه ْم َكفَ ُر ْوا ِباهلل‬ َ ‫َوالَ تُص َِل‬
11
Janganlah engkau menyalatkan seorang yang mati di antara mereka selama-
lamanya, dan janganlah engkau berdiri di atas kuburnya, sesungguhnya mereka
kafir kepada Allah.[At Taubah:84].

Yang dimaksud dengan ayat tersebut, yaitu haram menguburnya seperti mengubur
seorang muslim. Akan tetapi kita gali untuknya lubang, kemudian dimasukkan
mayat orang kafir ke dalam lubang tersebut, atau ditutup dengan sesuatu. Karena
Rasulullah n memerintahkan untuk melempar mayat-mayat kaum musyrikin yang
terbunuh dalam Perang Badar ke dalam satu sumur di antara sumur-sumur yang
ada di Badar. [HR Al Bukhari di dalam kitab Al Maghazi].

2.3.2.Cara Memandikan Jenazah

Hendaklah dipilih tempat yang tertutup, jauh dari pandangan umum, tidak
disaksikan kecuali oleh orang yang memandikan dan orang yang membantunya.
Kemudian melepaskan pakaiannya semula dipakainya setelah diletakkan kain di
atas auratnya, sehingga tidak terlihat oleh seorangpun. Kemudian dilakukan
istinja’ terhadap mayit dan dibersihkan kotorannya. Sesudah itu dilakukan wudhu’
seperti wudhu’ ketika akan shalat. Akan tetapi, Ahlul Ilmi mengatakan, tidak
dimasukkan air ke dalam mulut dan hidungnya, namun diambil kain yang dibasahi
dengan air, lalu dipakai untuk menggosokkan giginya dan bagian dalam
hidungnya, kemudian dibasuh kepala dan seluruh tubuhnya, dimulai dengan
bagian kanan.

Hendaknya dicampurkan daun bidara ke dalam air. Daun bidara tersebut dipakai
untuk membersihkan rambut kepala dan janggutnya. Pada kali yang terakhir diberi
kapur (butir wewangian), karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan demikian kepada para wanita yang memandikan putrinya. Beliau
bersabda: “Ambillah kapur pada kali yang terakhir, atau sesuatu dari kapur.”
Kemudian dikeringkan dan diletakkan di atas kain kafan. [70 Su’alan Fi Ahkamil
Janaiz, Syaikh Muhammad Al ‘Utsaimin, hlm. 6].
12
Tidak diperbolehkan untuk mendatangi tempat pemandian mayit, kecuali orang
yang akan memandikan dan orang yang membantunya. Ketika memandikan
mayit, perlu memperhatikan hal-hal berikut ini:

Yang wajib dalam memandikan mayit adalah sekali. Apabila belum bersih, maka
tiga kali dan seterusnya yang diakhiri dengan hitungan ganjil. Dan disunnahkan
untuk menyertainya dengan daun bidara atau sesuatu yang membersihkan, seperti
sabun atau yang lainnya. Hendaknya pada kali yang terakhir, dicampurkan butir
wewangian (kapur). Melepaskan ikatan rambut dan membersihkannya dengan
baik, menguraikan dan menyisir rambutnya, mengikat rambut wanita menjadi tiga
ikatan dan meletakkan di belakangnya. Memulai memandikan dengan bagian
tubuhnya yang kanan, anggota wudhu’nya terlebih dahulu. [Lihat Ahkamul
Janaiz, hlm. 48].

Apabila tidak ada air untuk memandikan mayit, atau dikhawatirkan akan
tersayat-sayat tubuhnya jika dimandikan, atau mayat tersebut seorang wanita di
tengah-tengah kaum lelaki, sedangkan tidak ada mahramnya atau sebaliknya,
maka mayat tersebut di tayammumi dengan tanah (debu) yang baik, diusap wajah
dan kedua tangannya dengan penghalang dari kain atau yang lainnya.Disunnahkan
untuk mandi bagi orang yang telah selesai memandikan mayit.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ْ ‫س ْل َو َم ْن َح َم َلهُ فَ ْل َيتَ َوضَّأ‬


ِ َ‫س َل َم ِيت ًا فَ ْل َي ْغت‬ َ ‫َم ْن‬
َّ ‫غ‬

Barangsiapa yang memandikan mayit, maka hendaklah dia mandi. Dan


barangsiapa yang memikul jenazah, maka hendaklah dia wudhu’. [HR Ahmad,
Abu Dawud dan beliau menghasankannya].

Seorang yang mati syahid (terbunuh) di medan perang tidak boleh


dimandikan, meskipun dia dalam keadaan junub, bahkan dikubur dengan pakaian
yang menempel padanya.

Dalam hadits Jabir Radhiyallahu ‘anhu :


13
‫علَي ِْه ْم‬ َّ َ‫َاء أ ُ ُحد فِي ِد َمائِ ِه ْم َولَ ْم يُغ‬
َ ُ‫سلُ ْوا َولَ ْم ي‬
َ ‫ص َّل‬ ُ ‫سلَّ َم أ َ َم َر بِ َد ْف ِن‬
ِ ‫ش َهد‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫أَنَّ النَّبِ َي‬
َ ُ‫صلَّى هللا‬

Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengubur


para syuhada’ Uhud dalam (bercak-bercak ) darah mereka, tidak dimandikan dan
tidak dishalatkan. [HR Al Bukhari].

Hukum ini khusus bagi syahid ma’rakah (orang yang terbunuh di medan perang).
Adapun orang yang mati terbunuh karena membela hartanya atau kehormatannya,
mereka tetap dimandikan, meskipun mereka juga syahid. Demikian pula orang
yang mati karena wabah tha’un, atau karena penyakit perut, mati tenggelam atau
terbakar. Meskipun mereka syahid, mereka tetap dimandikan. Lihat Asy Syarhul
Mumti’ (5/364).

Apabila janin yang mati keguguran dan telah berumur lebih dari empat bulan,
maka dimandikan dan dishalatkan. Berdasarkan hadits Al Mughirah yang marfu’:

َّ ‫علَ ْي ِه َويُ ْدعَى ِل َوا ِل َد ْي ِه ِبا ْل َم ْغ ِف َر ِة َو‬


‫الرحْ َم ِة‬ َ ‫صلَّى‬ ُ ‫الس ْق‬
َ ُ‫ط) ي‬ ِ :‫الط ْف ُل (و في رواية‬
ِ ‫َو‬

Seorang anak kecil (dan dalam satu riwayat, janin yang mati keguguran), dia
dishalatkan dan dido’akan untuk kedua orang tuanya dengan ampunan dan
rahmat. [HR Abu Dawud dan At Tirmidzi].

Karena setelah empat bulan sudah ditiupkan padanya ruh, sebagaimana dalam
hadits tentang penciptaan manusia yang diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim dari
Abdullah bin Mas’ud.

Hal- hal yang harus diperhatikan ketika memandikan jenazah

1. Memandikan tiga kali atau lebih, sesuai dengan yang dibutuhkan.


2. Memandikan dengan jumlah ganjil.
14
3. Mencampur sebagian dengan sidr/daun bidara, atau yang bisa
menggantikan fungsinya seperti sabun.
4. Mencampur mandi terakhir dengan wangi-wangian seperti kapur
barus/kamper dan ini lebih afdhal. (terkecuali jika yang meninggal sedang
melakukan ihram maka tidak boleh diberi wangi-wangian).
5. Ikatan rambut harus dibuka, lalu rambut dicuci dengan baik.
6. Menyisir rambut.
7. Mengikat mejadi tiga bagian untuk rambut wanita, lalu mebentangkan ke
belakangnya.
8. Memulai memandikan dari bagian kanannya dan anggota wudhunya dan
anggota wudhunya.
9. Laki-laki dimandikan oleh laki-laki juga, dan wanita dimandikan oleh
wanita juga. (Terkecuali bagi suami-istri, boleh saling memandikan,
karena ada dalil sunnah yang memperkuat amalan ini).
10. Memandikan dengan potongan-potongan kain dalam keadaan terbuka
dengan kain di atas tubuhnya setelah membuka semua pakaiannya.
11. Yang memandikan mayyit adalah orang yang lebih mengetahui cara
penyelenggaraan mayat/jenazah sesuai dengan sunnah Nabi Shalallahu
‘alaihi wa sallam, lebih-lebih jika termasuk kerabat keluarga mayyit.

2.4. Mengkafani Jenazah

Setelah mayit dimandikan dengan cukupp sempurna , maka fardhu kifayah


bagi tiap – tiapp orang yang hidup untuk mengkafaninya. Mengkafani mayit
setidak tidanya dengan dengan selapis kain yang dapat menutup seluruh tubuhnya.

Disunnahkan bagi mayat laki-laki dikafani samai tiga lapis kain, tiap- tiap lapis
dari kain kafan ituhendaknya dapat mkenutup seluruhtubuhnya. Mayat laki –laki
mengggunakan lima lapis kain , maka sesudah tigalapis ditambah dengan baju
kurung dan serban.

Kain yang digunakan untuk kafan ialah kain yang halal dipakainya sewaktu
hidupnya dan disunnahkan dengan kain 15
yang berwarna putih dan baru dan diberi
wangi-wangian.
Nabi saw bersabda:

‫البسوا من سيابكم البياض فا نها من خير ثيابكم وكفنوا فيها موتاكم‬

Pakailah dari pakaianmu pakaian yang berwarna putih, sesungguhnya dia adalah
sebaik baik pakaian , dan kafanilah mayat kalian dengannya(HR. At tarmidzi)

Jika kain putih ntidak ada maka boleh mengkafani mayat dengan kain apa saja
yang dappat digunakan untuk mengkafaninya.Jika seandainya kain kafan tidak
mencukupi semua tubuhnya, maka diutamakan menutupi kepalanya sampai ke
sebagian tubuhnya, adapun yang masih terbuka maka ditutupi dengan daun-
daunan yang wangi. (Hal yang seperti ini jarang terjadi paza zaman kita sekarang
ini, tetapi ini adalah hukum syar’i). Jika kain kafan kurang, sementara jumlah
mayat banyak, maka boleh mengkafani mereka secara massal dalam satu kafan,
yaitu dengan cara mebagi-bagi jumlah tertentu di kalangan mereka dengan
mendahulukan orang-orang yang lebih banyak mengetahui dan menghafal Al-
Qur’an ke arah kiblat.

Tidak boleh membuka pakaian orang yang mati syahid yang dipakainya seaktu
mati, ia dikuburkan dengan pakaian yang dipakai syahid. Dianjurkan mengkafani
orang yang mati syahid dengan selembar kain kafan atau lebih di atas pakaian
yang sedang di pakai. Orang yang mati dalam keadaan berihram dikafani dengan
kedua pakaian ihram yang sedang dipakainya.

Hal-hal yang dianjurkan dalam pemakaian kain kafan :

a. Warna putih.
16
b. Menyiapkan tiga lembar.
c. Satu diantaranya bergaris-garis (Ini tidak bertentangan dengan bagian (a)
karena dua hal : – Pada umumnya kain putih bergaris-garis putih, – Di
antara ketiga lembar kafan tadi, satu yang bergaris-garis sedangkan yang
lainnya putih.
d. Memberikan wangi-wangian tiga kali.

Tidak boleh berfoya-foya dalam pemakain kain kafan, dan tidak boleh
lebih dari tiga lembar, karena hal itu menyalahi cara kafan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, dan terlebih lagi perbuatan itu dianggap menyia-nyiakan harta.
Dalam cara mengkafani tadi, mengkafani wanita sama caranya dengan
mengkafani pria karena tidak adanya dalil yang menjelaskan perbedaan itu.

Berikut cara ringkas mengkafani jenazah

Alat-alat perlu disiapkan untuk mengkafani mayat di antaranya adalah


seperti berikut:
a. Kain kafan kurang lebih 12 meter.
b. Kapas secukupnya.
c. Kapur barus yang telah dihaluskan.
d. Kayu cendana yang telah dihaluskan.
e. Sisir untuk menyisir rambut.
f. Tempat tidur atau meja untuk membentangkan kain kafan yang sudah
dipotong-potong.
Cara membuat kain kafan bisa bermacam-macam. Di antara cara yang
praktis adalah seperti berikut:

a. Guntinglah kain kafan menjadi beberapa bagian:

1. Kain kafan sebanyak 3 helai sepanjang badan mayit ditambah 50 cm.


2.Tali untuk pengikat sebanyak 8 helai: 7 helai untuk tali kain kafan dan
satu helai untuk cawat. Lebar tali 5-7 cm.
3. Kain untuk cawat. Caranya dengan menggunting kain sepanjang 50 cm
17
lalu dilipat menjadi tiga bagian yang sama. Salah satu ujungnya dilipat
kira-kira 10 cm lalu digunting ujung kanan dan kirinya untuk lubang tali
cawat. Lalu masukkanlah tali cawat pada lubang-lubang itu. Dalam cawat
ini berilah kapas yang sudah ditaburi kapur barus atau cendana
sepanjang cawat.
4. Kain sorban atau kerudung. Caranya dengan menggunting kain
sepanjang 90/115 cm lalu melipatnya antara sudut yang satu dengan
yang lain sehingga menjadi segi tiga. Sorban ini berguna untuk mengikat
dagu mayit agar tidak terbuka.
5. Sarung. Caranya dengan menggunting kain sepanjang 125 cm atau lebih
sesuai dengan ukuran mayit.
6. Baju. Caranya dengan menggunting kain sepanjang 150 cm atau lebih
sesuai dengan ukuran mayit. Kain itu dilipat menjadi dua bagian yang
sama. Lebar kain itu juga dilipat menjadi dua bagian sehingga
membentuk empat persegi panjang. Lalu guntinglah sudut bagian tengah
menjadi segi tiga. Bukalah bukalah kain itu sehingga bagian tengah kain
akan kelihatan lubang berbentuk belah ketupat. Salah satu sisi dari
lubang itu digunting lurus sampai pada bagian tepi, sehingga akan
berbentuk sehelai baju.

b. Di samping kain kafan perlu juga disiapkan kapas yang sudah dipotongpotong
untuk:

1. Penutup wajah/muka. Kapas ini berbentuk bujur sangkar dengan


ukuran sisi kira-kira 30 cm sebanyak satu helai.
2. Bagian cawat sepanjang kira-kira 50 cm sebanyak satu helai.
3. Bagian penutup persendian anggota badan berbentuk bujur sangkar
dengan sisi kira-kira 15 cm sebanyak 25 helai.
4. Penutup lubang hidung dan lubang telinga. Untuk ini buatlah kapas
berbentuk bulat sebanyak 4 buah.
Di bagian atas kapas-kapas itu ditaburi kapur
18 barus dan cendana yang
sudah dihaluskan.
Adapun cara mengkafani mayat dengan baik dan praktis adalah seperti
berikut:
a. Letakkan tali-tali pengikat kain kafan sebanyak 7 helai, dengan perkiraan
yang akan ditali adalah:
1. bagian atas kepala
2. bagian bawah dagu
3. bagian bawah tangan yang sudah disedekapkan
4. bagian pantat
5. bagian lutut
6. bagian betis
7. bagian bawah telapak kaki.
b. Bentangkan kain kafan dengan susunan antara lapis pertama dengan lapis
lainnya tidak tertumpuk sejajar, tetapi tumpangkan sebagian saja,
sedangkan lapis ketiga bentangkan di tengah-tengah.
c. Taburkan pada kain kafan itu kapus barus yang sudah dihaluskan.
d. Letakkan kain surban atau kerudung yang berbentuk segitiga dengan bagian
alas di sebelah atas. Letak kerudung ini diperkirakan di bagian kepala mayit.
e. Bentangkan kain baju yang sudah disiapkan. Lubang yang berbentuk belah
ketupat untuk leher mayit. Bagian sisi yang digunting dihamparkan ke atas.
f. Bentangkan kain sarung di tengah-tengah kain kafan. Letak kain sarung ini
diperkirakan pada bagian pantat mayit.
g. Bujurkan kain cawat di bagian tengah untuk menutup alat vital mayit.
h. Lalu letakkan mayit membujur di atas kain kafan dalam tempat tertutup dan
terselubung kain.
i. Sisirlah rambut mayat tersebut ke belakang.
j. Pasang cawat dan talikan pada bagian atas.
k. Tutuplah lubang hidung dan lubang telinga dengan kapas yang bulat.
l. Sedekapkan kedua tangan mayait dengan tangan kanan di atas tangan
kirinya.
m. Tutuplah persendian mayit dengan kapas-kapas
19 yang telah ditaburi kapur
barus dan cendana yang dihaluskan, seperti sendi jari kaki, mata kaki
bagian dalam dan luar, lingkaran lutut kaki, sendi jari-jari tangan,
pergelangan tangan, siku, pangkal lengan dan ketiak, leher, dan wajah/muka.
n. Lipatlah kain sarung yang sudah disiapkan.
o. Kenakan baju yang sudah disiapkan dengan cara bagian sisi yang telah
digunting diletakkan di atas dada dan tangan mayit.
p. Ikatkan surban yang berbentuk segitiga dengan ikatan di bawah dagu.
q. Lipatkan kain kafan melingkar ke seluruh tubuh mayit selapis demi selapis
sambil ditarik ujung atas kepala dan ujung bawah kaki.
r. Kemudian talikan dengan tali-tali yang sudah disiapkan.

2.5. Shalat Jenazah

Hukum shalat jenazah adalah fardhu kifayah berdasarkan keumuman perintah


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyalati jenazah seorang muslim.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang orang yang bunuh diri
dengan anak panah:

ِ ‫علَى ص‬
‫َاح ِب ُك ْم‬ َ ‫صلُّ ْوا‬
َ

Shalatkanlah saudara kalian. [HR Muslim].

2.5.1.Tata cara shalat jenazah.

2.5.1.1.Imam berdiri sejajar dengan kepala mayit lelaki dan bila mayitnya wanita,
imam berdiri di bagian tengahnya. Makmum berdiri di belakang imam.
Disunnahkan untuk berdiri tiga shaf (barisan) atau lebih. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:

‫َب‬ ُ ُ‫علَ ْي ِه ثَ َالثَة‬


َ ‫صفُوف فَقَ ْد أ َ ْوج‬ َ ‫صلَّى‬
َ ‫َم ْن‬

Barangsiapa yang menyalatkan jenazah 20


dengan tiga shaf, maka sesungguhnya
dia diampuni. [HR At Tirmidzi]
2.5.1.2.Kemudian bertakbir yang pertama, membaca Al Fatihah setelah
ta’awwudz, tidak membaca do’a iftitah sebelum Al Fatihah. Kemudian takbir
yang kedua, membaca shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sebagaimana dalam tasyahhud. Setelah takbir yang ketiga, membaca do’a untuk
mayit. Sebaik-baik do’a adalah sebagai berikut:

‫يرنَا َوذَك َِر َنا َوأ ُ ْنثَا َنا‬


ِ ‫ير َنا َو َك ِب‬ َ ‫اللَّ ُه َّم ا ْغ ِف ْر ِلح َِي َنا َو َم ِيتِنَا َوشَا ِه ِدنَا َو‬
َ ‫غائِ ِب َنا َو‬
ِ ‫ص ِغ‬

Wahai, Allah! Ampunilah orang yang hidup di antara kami dan orang yang mati,
yang hadir dan yang tidak hadir, (juga) anak kecil dan orang dewasa, lelaki dan
wanita kami. [HR At Tirmidzi]

Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa


sallam, dan beliau menambahkan:

‫س َال ِم ال َّل ُه َّم َال تَحْ ِر ْمنَا أَجْ َر ُه َو َال تَ ْفتِ َّنا‬ َ ُ‫ان َو َم ْن ت َ َوفَّ ْيتَهُ ِمنَّا فَت َ َوفَّه‬
ِ ْ ‫علَى‬
ْ ‫اْل‬ َ ‫اللَّ ُه َّم َم ْن أَحْ يَ ْيت َهُ ِمنَّا َفأَحْ يِ ِه‬
ِ ْ ‫علَى‬
ِ ‫اْل ْي َم‬
‫بَ ْع َد ُه‬

Wahai, Allah! Orang yang Engkau hidupkan di antara kami, maka hidupkanlah
dia di atas keimanan. Dan orang yang Engkau wafatkan di antara kami, maka
wafatkanlah ia di atas keimanan. Wahai, Allah! Janganlah Engkau halangi kami
dari pahalanya, dan janganlah Engkau sesatkan kami sesudahnya. [HR Abu
Dawud].

َ‫اء َوالثَّ ْلجِ َوا ْلبَ َر ِد َونَ ِق ِه ِمن‬


ِ ‫س ْلهُ ِبا ْل َم‬ ِ ‫ع ْنهُ َوأَك ِْر ْم نُ ُزلَهُ َو َو‬
ِ ‫س ْع ُم ْد َخلَهُ َوا ْغ‬ ْ ‫اللَّ ُه َّم ا ْغ ِف ْر لَهُ َو‬
ُ ‫ار َح ْمهُ َوعَافِ ِه َواع‬
َ ‫ْف‬
‫َارا َخي ًْرا ِم ْن د َِار ِه َوأَ ْه ًال َخي ًْرا ِم ْن أ َ ْه ِل ِه َو َز ْو ًجا َخي ًْرا‬ ً ‫ض ِمنَ ال َّدنَ ِس َوأ َ ْب ِد ْلهُ د‬ َ َ‫ب ْاْلَ ْبي‬ َ ‫ا ْل َخ َطا َيا َك َما نَقَّيْتَ الث َّ ْو‬
ِ ‫عذَا‬
‫ب ال َّن ِار‬ َ ‫ب ا ْلقَب ِْر َو ِم ْن‬ِ ‫عذَا‬ َ ‫ِم ْن َز ْو ِج ِه َوأَد ِْخ ْلهُ ا ْل َجنَّةَ َوأ َ ِع ْذهُ ِم ْن‬

Wahai, Allah! Berilah ampunan baginya dan rahmatilah dia. Selamatkanlah dan
maafkanlah ia. Berilah kehormatan untuknya, luaskanlah tempat masuknya,
21
mandikanlah ia dengan air, es dan salju. Bersihkanlah dia dari kesalahan
sebagaimana Engkau bersihkan baju yang putih dari kotoran. Gantikanlah
baginya rumah yang lebih baik dari rumahnya, keluarga yang lebih baik dari
keluarganya semula, isteri yang lebih baik dari isterinya semula. Masukkanlah ia
ke dalam surga, lindungilah dari adzab kubur dan adzab neraka. [HR Muslim
dari ‘Auf bin Malik]

Apabila mayitnya seorang wanita, maka diganti dengan dhamir muannats….

ْ ‫اللَّ ُه َّم ا ْغ ِف ْر لَهَا َو‬


….)‫ار َح ْمهَا‬

2.5.1.3.Kemudian takbir yang keempat dan berhenti sejenak. Kemudian salam ke


arah kanan sekali salam

.Syaikh Ibnu Utsaimin menegaskan: “Pendapat yang benar, ialah tidak masalah
(jika) salam dua kali, karena hal ini telah tertera di sebagian hadits Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [Lihat Asy Syarhul Mumti’ (5/424)]

Di antara dalil yang menunjukkan salam dua kali dalam shalat jenazah, yaitu
hadits Ibnu Mas’ud.

‫از ِة ِمثْ ُل‬


َ ‫ع َلى ا ْل َج َن‬ ْ َّ ‫إِحْ دَاهُنَّ الت‬,‫سلَّ َم يَ ْفعَلُ ُهنَّ ت َ َر َك ُهنَّ النَّاُس‬
َ ‫س ِل ْي ُم‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫ص َّلى هللا‬ ُ ‫ث ِخالَل كَانَ َر‬
َ ِ‫سو ُل هللا‬ ُ َ‫ثَال‬
َ ‫ص‬
‫ال ِة‬ َّ ‫س ِلي ِْم فِي ال‬ْ َّ‫الت‬

“(Ada) tiga kebiasaan (yang pernah) dikerjakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi


wa sallam , namun kebanyakan orang meninggalkannya. Salah satunya, (yaitu)
salam dalam shalat jenazah seperti salam di dalam shalat.” (HR Al Baihaqi).
Maksudnya, dua kali salam seperti yang telah kita ketahui.

Syaikh Al Albani menyatakan, diperbolehkan hanya dengan satu kali salam yang
pertama saja, karena hadits Abu Hurairah:
22
ِ ‫س ِل ْي َمةً َو‬
ً‫اح َدة‬ َ ‫علَ ْيهَا أ َ ْربَ ًعا َو‬
ْ َ ‫سلَّ َم ت‬ َ ‫از ِة فَ َك َّب َر‬
َ َ‫صلَّىعَلَىا ْل َجن‬
َ ‫س َّل َم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫صلَّى هللا‬ ُ ‫أَنَّ َر‬
َ ِ‫سو َل هللا‬

Sesungguhnya Rasulullah dahulu shalat jenazah; Beliau bertakbir empat kali dan
salam satu kali. (HR Ad Daraquthni dan Al Hakim). Al Baihaqi meriwayatkan
dari jalan Abul ‘Anbas dari bapaknya dari Abu Hurairah.(Ahkamul Janaiz, 128).
Dan disunnahkan untuk sirri (pelan) saat mengucapkan salam pada shalat jenazah.

2.5.1.4. Disunnahkan mengangkat tangan pada setiap kali takbir.

Terdapat hadits yang shahih dari Ibnu Umar secara mauquf, bahwasanya beliau
Radhiyallahu anhuma mengerjakannya. Hadits ini memiliki hukum marfu’, karena
hal seperti ini tidak mungkin dikerjakan oleh seorang sahabat dengan hasil
ijtihadnya.

Ibnu Hajar berkata: “Terdapat riwayat shahih dari Ibnu Abbas, bahwasanya beliau
mengangkat tangannya pada seluruh takbir jenazah.” [Diriwayatkan oleh Sa’id, di
dalam At Talkhishul Habir (2/147)].

Tidak diperbolehkan shalat jenazah pada tiga waktu yang dilarang untuk
mengerjakan shalat.Yaitu ketika matahari terbit hingga naik setinggi tombak,
ketika matahari sepenggalah hingga tergelincir dan ketika matahari condong ke
barat hingga terbenam. Ini disebutkan sebagaimana di dalam hadits ‘Uqbah bin
‘Amir.Bagi kaum wanita, diperbolehkan untuk menyalatkan jenazah dengan
berjama’ah. Dan tidak mengapa apabila shalat sendirian, karena dahulu Aisyah
Radhiyallahu anhuma menyalatkan jenazah Sa’ad bin Abi Waqqash. Apabila
terkumpul lebih dari satu jenazah dan terdapat mayat lelaki dan wanita, maka
boleh dishalatkan dengan bersama-sama. Jenazah lelaki meskipun anak kecil,
diletakkan paling dekat dengan imam. Dan jenazah wanita diletakkan ke arah
kiblatnya imam. Yang paling afdhal di antara mereka, diletakkan di dekat adalah
yang paling dekat dengan imam.

Dalam menyalatkan mayit, disunnahkan dengan jumlah yang banyak dari


kaum muslimin. Semakin banyak jumlahnya, maka semakin baik.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
23
‫شفَعُونَ لَهُ إِ َّال ش ُِفعُوا فِي ِه‬ ْ ‫علَ ْي ِه أ ُ َّمةٌ ِم ْن ا ْل ُم‬
ْ َ‫س ِل ِمينَ يَ ْبلُغُونَ ِمائ َةً ُكلُّ ُه ْم ي‬ َ ‫َما ِم ْن َم ِيت تُص َِلي‬
Tidaklah seorang yang mati, kemudian dishalatkan oleh kaum muslimin,
jumlahnya mencapai seratus orang, semuanya mendo’akan untuknya, niscaya
mereka bisa memberikan syafa’at untuknya. [HR Muslim].

َّ ‫شفَّعَ ُه ْم‬
‫َّللاُ فِي ِه‬ َ ‫ش ْيئًا إِ َّال‬ َّ ِ‫ازتِ ِه أ َ ْربَعُونَ َر ُج ًال َال يُش ِْركُونَ ب‬
َ ِ‫اّلِل‬ َ ‫س ِلم يَ ُموتُ فَيَقُو ُم‬
َ ‫علَى َج َن‬ ْ ‫َما ِم ْن َر ُجل ُم‬

TidaUklah seorang muslim meninggal dunia, kemudian dishalatkan oleh


empatpuluh orang yang tidak menyekutukan Allah, niscaya Allah akan
memberikan syafa’at kepada mereka untuknya. [HR Muslim].

Apabila seseorang masbuq setelah imam salam, maka dia meneruskan


shalatnya sesuai dengan sifatnya.

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: “Apabila dia salam dan tidak


mengqadha’, tidaklah mengapa. Karena Ibnu Umar berkata,’Tidak mengqadha’.
Dan dikarenakan shalat jenazah merupakan takbir-takbir yang beruntun ketika
berdiri’.” [Lihat Al Mughni (2/511)]. Apabila tertinggal dari shalat jenazah secara
berjama’ah, maka dia shalat sendirian selama belum dikubur. Apabila sudah
dikubur, maka dia shalat jenazah di kuburnya.

Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa


sallam shalat jenazah di kuburan setelah mayat dikuburkan semalam. Suatu ketika
setelah jarak tiga hari dan pernah jarak satu bulan. Beliau tidak memberikan batas
waktu tertentu. [Lihat Zaadul Ma’ad (1/512)].

Jadi diperbolehkan shalat jenazah di kuburan mayat tersebut dan tidak ada
batas waktu tertentu, dengan syarat bahwa ketika mayat tersebut mati, orang yang
menyalatkan sudah menjadi orang yang sah shalatnya. Diperbolehkan shalat ghaib
bagi mayat yang belum di shalatkan di tempatnya semula. Karena Nabi
menyalatkan Raja Najasyi yang meninggal dunia ketika Beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam mengetahui berita kematiannya.
24
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Pendapat yang
benar, mayat ghaib yang mati di tempat (di negara) yang belum dishalatkan
disana, maka dishalatkan shalat ghaib. Sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyalatkan Najasyi, karena dia mati di lingkungan orang kafir dan belum
dishalatkan di tempatnya tersebut. Apabila sudah dishalatkan, maka tidak
dishalatkan shalat ghaib, karena kewajiban sudah gugur. Suatu saat, Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyalatkan mayat yang ghaib, dan juga suatu
ketika tidak menyalatkannya. Beliau mengerjakan dan Beliau meninggalkannya.
Demikian ini merupakan sunnah. Yang satu dalam keadaan tertentu, dan yang
lainnya dalam keadaan yang berbeda. Wallahu a’lam. Dan ini, juga merupakan
pendapat yang dipilih Ibnul Qayyim rahimahullah.” [Lihat Zaadul Ma’ad (1/520)].

Diperbolehkan untuk menyalatkan mayat yang dibunuh karena ditegakkan


hukum Islam atas diri si mayit. Sebagaimana di dalam hadits Muslim tentang
kisah wanita Juhainah yang berzina, kemudian bertaubat. Usai dirajam, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyalatkannya.

Seorang pemimpin kaum muslimin/ahli ilmu dan tokoh agama tidak


menyalatkan orang yang mencuri harta rampasan perang,atau orang yang mati
bunuh diri. Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mau menyalatkan
seorang yang mencuri harta rampasan perang, akan tetapi Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan para sahabat untuk menyalatkannya. Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ِ ‫علَى ص‬
‫َاحبِ ُك ْم‬ َ ‫صلُّ ْوا‬
َ

Shalatkanlah saudara kalian. [HR Abu Dawud].

Dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mau menyalatkan orang yang mati
karena bunuh diri. Dari Jabir bin Samurah Radhiyallahu ‘anhu , berkata:

َ ‫سهُ ِب َمشَاقِصَ فَلَ ْم يُص َِل‬


‫علَ ْي ِه‬ َ ‫سلَّ َم ِب َر ُجل قَت َ َل نَ ْف‬
َ ‫ع َل ْي ِه َو‬ َ ‫أُتِ َي النَّ ِب ُّي‬
َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬

25
Seseorang yang membunuh dirinya dengan anak panah didatangkan kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Beliau tidak mau menyalatkannya. [HR
Muslim].

Hal ini karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai imam (pemimpin),
maka Beliau tidak mau menyalatkan supaya menjadi pelajaran bagi orang yang
semisalnya. Akan tetapi, bagi kaum muslimin wajib untuk menyalatkannya.
Demikian pula bagi orang yang mati sedangkan dia meninggalkan hutang, maka
dia juga dishalatkan. Shalat jenazah boleh dikerjakan di dalam masjid. Dari
Aisyah Radhiyallahu ‘anha , beliau berkata:

ْ ‫س َه ْي ِل ب ِْن بَ ْيضَا َء َوأَ ِخ ْي ِه ِإ َّال فِي ا ْل َم‬


‫س ِج ِد‬ ُ ‫ع َلى‬
َ ‫سلَّ َم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫ص َّلى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫صلَّى َر‬
َّ ‫سو ُل‬ َ ‫َوهللاِ َما‬

Demi, Allah! Tidaklah Nabi menyalatkan jenazah Suhail bin Baidha’ dan
saudaranya (Sahl), kecuali di masjid. [HR Muslim].

Akan tetapi, yang afdhal, dikerjakan di luar masjid, di tempat khusus yang
disediakan untuk shalat jenazah, sebagaimana pada zaman Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam . [Lihat Ahkamul Janaiz (106), Asy Syarhul Mumti’ (5/444)].

2.6. Menguburkan Jenazah

2.6.1.Mengiringi Jenazah

Hukum mengiringi jenazah adalah fardhu kifayah, karena termasuk hak seorang
muslim.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ع‬ ِ ‫س َال ِم َو ِع َيا َدةُ ا ْل َم ِر‬


ُ ‫يض َوا ِت َبا‬ ٌ ‫ع َلى أ َ ِخ ْي ِه) َخ ْم‬
َّ ‫س َر ُّد ال‬ ْ ‫ب ِل ْل ُم‬
َ ‫س ِل ِم‬ ُ ‫ َي ِج‬:‫(و ِفي ِر َوا َية‬
َ ‫س ِل ِم‬ْ ‫ع َلى ا ْل ُم‬ ْ ‫حَقُّ ا ْل ُم‬
َ ‫س ِل ِم‬
)‫اط ِس (رواه البخاري ومسلم‬ ِ َ‫ا ْل َجنَائِ ِز َوإِجَابَةُ ال َّدع َْو ِة َوتَش ِْميتُ ا ْلع‬

Kewajiban seorang muslim terhadap muslim yang lain ada lima, (yaitu):
menjawab salam, menjenguk orang sakit, mengiringi jenazah, menghadiri
undangannya dan mendo’akan orang yang bersin.
26 [HR Bukhari dan Muslim].
Mengiring jenazah memiliki keutamaan sebagaimana sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

‫ان َقا َل‬


ِ ‫يرا َط‬
َ ‫ان قِي َل َو َما ا ْل ِق‬ َ ِ‫ط َو َم ْن ش َِه َد َها َحتَّى ت ُ ْدفَنَ َفلَهُ ق‬
ِ ‫يرا َط‬ َ ‫علَ ْيهَا فَلَهُ ِق‬
ٌ ‫يرا‬ َ ‫ص َّلى‬ َ َ‫َم ْن ش َِه َد ا ْل َجن‬
َ ُ‫ازةَ َحتَّى ي‬
)‫ِمثْ ُل ا ْل َجبَلَي ِْن ا ْل َع ِظي َمي ِْن (رواه مسلم‬

Barangsiapa yang menyaksikan jenazah hingga dishalatkan, maka dia


memperoleh satu qirath. Dan barangsiapa yang menyaksikannya hingga
dikuburkan, maka dia memperoleh dua qirath,”.kemudian Beliau ditanya: “Apa
yang dimaksud dengan dua qirath?” Beliau menjawab,”Seperti dua gunung yang
besar.” [HR Muslim].

Disunnahkan untuk bersegera ketika berjalan mengangkat jenazah.


Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata : Saya mendengar Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ضعُونَهُ ع َْن ِر َقابِ ُك ْم‬ َ ْ‫از ِة َف ِإ ْن كَانَتْ صَا ِلحَةً قَ َّر ْبت ُ ُمو َها ِإلَى ا ْل َخي ِْر َوإِ ْن كَا َنت‬
َ َ‫غي َْر ذَ ِلكَ كَانَ ش ًَّرا ت‬ ْ َ‫أ‬
َ َ‫س ِرعُوا بِا ْل َجن‬
‫(رواه مسلم‬

Bersegaralah kalian ketika membawa jenazah. Apabila dia orang shalih, maka
kalian akan segera mendekatkannya kepada kebaikan. Dan apabila bukan orang
shalih, maka kalian segera meletakkan kejelekan dari punggung-punggung
kalian. [HR Muslim].

Al Allamah Shiddiq Hasan Khan rahimahullah berkata: “Pendapat yang benar


ketika mengangkat mayit adalah berjalan sedang-sedang saja (tidak terlalu cepat
dan tidak terlalu lambat, Red.). Hadits-hadits yang menjelaskan akan bersegera,
maksudnya tidak terlalu cepat ketika berjalan. Dan hadits-hadits yang
menjelaskan untuk sederhana dalam berjalan, maksudnya bukan berjalan sangat
lambat. Maka (makna) hadits-hadits tersebut digabungkan dengan mengambil
27
tengah-tengah, antara ifrath dan tafrith. [Lihat At Ta’liqat Ar Radhiyyah, Syaikh
Al Albani, hlm. 1/ 454].
Dianjurkan untuk mengangkat jenazah dari seluruh sudut keranda dengan
sifat tarbi’, yakni mengangkat dari empat sudut keranda, berdasarkan perkataan
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu,

ْ ‫ع َوإِ ْن شَا َء َف ْليَ َد‬


‫ع (رواه ابن‬ ْ ‫سنَّ ِة ث ُ َّم إِ ْن شَا َء فَ ْليَتَ َط َّو‬
ُّ ‫ير ُك ِلهَا َف ِإنَّهُ ِم ْن ال‬
ِ ‫س ِر‬
َّ ‫ب ال‬ َ ِ‫ازةً َف ْليَحْ ِم ْل ب‬
ِ ِ‫جَوان‬ َ َ‫َم ْن اتَّبَ َع ِجن‬
)‫ماجه‬

Barangsiapa yang mengikuti jenazah, maka hendaklah dia mengangkat dari


seluruh sudut keranda, karena hal itu merupakan Sunnah. Apabila dia mau, maka
hendaknya mengangkat hingga selesai. Dan kalau dia tidak mau, hendaknya dia
tinggalkan. [HR Ibnu Majah].

Sementara itu, Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Menurutku, yang


rajih dalam masalah ini adalah adanya keluasan dalam mengangkat jenazah. Maka
hendaknya dikerjakan mana yang lebih mudah dan tidak memberatkan dirinya.
Terkadang sifat tarbi’ sulit untuk dikerjakan ketika banyak sekali orang yang
mengiringi jenazah. Jadi akan menyulitkan orang yang mengangkat dan orang
yang lain.” [Lihat Asy Syarhul Mumti’, hlm. 447]

Mengiringi dan mengangkat jenazah adalah khusus bagi kaum lelaki.


Tidak boleh bagi wanita untuk mengiringi jenazah, karena hadits Ummu Athiyah
menyatakan:

َ ‫)نُ ِهينَا ع َْن اتِ َباعِ ا ْل َج َنائِ ِز َولَ ْم يُ ْع َز ْم‬


‫علَ ْينَا (رواه البخاري‬

Kami dilarang untuk mengiringi jenazah, akan tetapi tidak ditekankan kepada
kami. [HR Bukhari].

Diperbolehkan berjalan di belakang jenazah atau di depannya.


Keduanya diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi, yang
afdhal berjalan di belakangnya, sebagaimana mafhum dari sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam : 28

‫ْض َوات َّ ِبعُ ْوا ا ْل َج َنائِ َز )أخرجه الهيثمي‬


َ ‫)ع ُْود ُْوا ا ْل َم ِري‬
Jenguklah orang yang sakit dan ikutilah jenazah. [Dikeluarkan oleh Al Haitsami].

Dan hal ini dikuatkan oleh perkataan Ali Radhiyallahu ‘anhu :

‫صالَتِ ِه فَذًّا‬
َ ‫ع َلى‬
َ ‫الر ُج ِل فِي َج َماعَة‬
َّ ‫صالَ ِة‬ ْ َ‫شي ِ أ َ َما َمهَا َكف‬
َ ‫ض ِل‬ َ ‫ْي َخ ْلفَهَا أَ ْف‬
ْ ‫ض ُل ِم ْن ا ْل َم‬ ُ ‫ا ْل َمش‬
‫)أخرجه ابن أبي شيبة‬

Berjalan di belakang jenazah lebih afdhal daripada berjalan di belakangnya


seperti keutamaan seorang lelaki shalat berjamaah dibandingkan dengan shalat
sendirian. [Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah].

Sedangkan orang yang naik kendaraan berjalan di belakang jenazah. Rasulullah


Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

َ َ‫ف ا ْل َجن‬
‫از ِة (رواه أبو داود‬ َ ‫ِير َخ ْل‬
ُ ‫ب يَس‬
ُ ‫الرا ِك‬
َّ

Seorang yang naik kendaraan berjalan di belakang jenazah. [HR Abu Dawud dan
dishahihkan oleh Syaikh Al Albani].

Yang lebih utama adalah berjalan daripada naik kendaraan. Sebagaimana yang
diriwayatkan Tsauban Radhiyallahu ‘anhu, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam mengiringi jenazah, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi
kendaraan, namun Beliau tidak mau mengendarainya. Ketika pulang, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditawari kendaraan lagi, Beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam menerima dan mengendarainya. Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam ditanya tentang hal itu, Beliau menjawab:

‫شونَ فَلَ َّما ذَ َهبُوا َر ِكبْتُ (رواه أبو داود‬ َ ‫)إِنَّ ا ْل َم َالئِكَةَ كَانَتْ ت َ ْمشِي فَلَ ْم أَك ُْن ِْل َ ْرك‬
ُ ‫َب َو ُه ْم يَ ْم‬

Sesungguhnya malaikat berjalan, maka aku tidak mau mengendarai sedangkan


malaikat berjalan. Kemudian ketika mereka pergi, aku mau mengendarainya. [HR
29
Abu Dawud dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani]. Lihat pembahasan ini dalam
Ahkamul Janaiz, hlm. 73-75.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Dahulu, apabila Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menyalatkan mayit, Beliau mengikutinya sampai kuburan,
berjalan kaki di depannya. Hal ini merupakan sunnah Khulafaur Rasyidin
sesudahnya. Disunnahkan bagi orang yang mengiringinya untuk berjalan di
belakangnya. Apabila berjalan kaki, maka hendaknya mendekat kepada jenazah,
di belakangnya atau di depannya atau di sebelah kanan dan kirinya. Dahulu,
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk bersegera ketika
mengangkat jenazah, sehingga mereka dahulu sungguh berjalan dengan cepat.
Adapun perbuatan manusia pada zaman sekarang dengan melangkah setapak demi
setapak merupakan bid’ah yang dibenci lagi menyelisihi syari’at, dan menyerupai
Ahli Kitab dari Yahudi.” [Lihat Zaadul Ma’ad (1/498)].

Tidak diperbolehkan mengiringi jenazah dengan sesuatu yang menyelisihi


Sunnah.
Misalnya seperti mengeraskan suara ketika menangis, berdzikir, mengucapkan
tarahhum (berdo’a untuk mayit agar diberi rahmat).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Tidak dianjurkan untuk


mengeraskan suara ketika mengiringi jenazah, baik dengan bacaan atau dzikir atau
yang lain. Hal ini merupakan madzhab imam yang empat. Dan inilah yang kami
ketahui dari salaf, dari para sahabat dan tabi’in. Aku tidak mengetahui seorangpun
yang menyelisihinya.” [Lihat Majmu’ Fatawa (24/293,294)].

Diharamkan mengiringi jenazah dengan sesuatu yang mungkar, seperti memukul


kendang, alat musik yang mencerminkan kesedihan, meratap dan yang lainnya.
Demikian pula apabila wanita memukul rebana ketika jenazah diberangkatkan ke
kuburan. Apabila pada acara mengiringi jenazah terdapat kemungkaran,
sedangkan dia tidak mampu untuk menghilangkan seluruhnya, maka dia tetap
mengikuti jenazah tersebut, demikian menurut pendapat yang benar.
30
Pendapat ini merupakan satu diantara dua riwayat dari Imam Ahmad. Dan dia
mengingkari kemungkaran sesuai dengan kemampuannya. [Lihat Al Akhbarul
Ilmiyah Minal Ikhtiyarat Al Fiqhiyyah Li Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah, hlm.
132. Tidak mengapa mengiringi jenazah dengan naik mobil atau kendaraan yang
lain apabila kuburan letaknya jauh.
Dianjurkan bagi orang yang mengiringi jenazah untuk khusyu’ menghayati
kematian dan memikirkan apa yang akan dialami oleh si mayit dan tidak
membicarakan masalah duniawi.

Disunnahkan untuk tidak duduk hingga jenazah diletakkan di tanah. Rasullah


Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ُ ‫ازةً فَ َال تَجْ ِل‬


َ ‫سوا َحتَّى ت ُو‬
)‫ض َع (رواه البخاري ومسلم‬ َ َ‫إِذَا اتَّبَ ْعت ُ ْم َجن‬

Apabila kalian mengikuti jenazah, maka janganlah duduk hingga diletakkan. [HR
Bukhari dan Muslim].

Disunnahkan bagi orang yang telah selesai mengangkat jenazah untuk wudhu’.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

)‫س ْل َو َم ْن َح َم َلهُ فَ ْل َيتَ َوضَّأ ْ (رواه أبو داود والترمذي‬


ِ َ ‫س َل َم ِيت ًا فَ ْل َي ْغت‬ َ ‫َم ْن‬
َّ ‫غ‬

Barangsiapa yang memandikan mayit, maka hendaklah dia mandi. Dan


barangsiapa yang mengangkatnya, maka hendaklah dia berwudhu’. [HR Abu
Dawud, At Tirmidzi dan beliau menghasankannya)].

2.6.2.Mengubur Mayat

Mengangkat dan mengubur mayat merupakan suatu penghormatan


31
kepadanya. Dan hukumnya adalah fardhu kifayah. Allah berfirman:
‫أَلَ ْم نَجْ عَ ِل اْْل َ ْرضَ ِكفَات ًا أَحْ يَآ ًء َوأ َ ْم َوات ًا‬

Bukankah telah Kami jadikan tanah sebagai pelindung bagi kalian. Dalam
keadaan hidup dan mati. [Al Mursalat:25, 26]

‫ث ُ َّم أ َ َماتَهُ فَأ َ ْقبَ َر ُه‬

Kemudian Allah mematikan dan menguburkannya. [‘Abasa:21]

Yang menguburkan mayat adalah kaum lelaki, meskipun mayat tersebut wanita.
Hal ini karena beberapa hal:
– Bahwasanya hal ini dikerjakan oleh kaum muslimin pada zaman Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga pada zaman sekarang.
– Karena kaum lelaki lebih kuat untuk mengerjakannya.
– Jika hal ini dikerjakan oleh kaum wanita, maka akan menyebabkan terbukanya
aurat wanita di hadapan lelaki yang bukan mahramnya.

Dalam masalah ini, wali dari mayit merupakan orang yang paling berhak
menguburkannya, berdasarkan keumuman firman Allah:

ِ ‫ض ُه ْم أ َ ْو َلى ِببَ ْعض فِي ِكتَا‬


ِ‫ب هللا‬ ِ ‫َوأ ُ ْولُوا اْْل َ ْرح‬
ُ ‫َام بَ ْع‬

Dan orang yang memiliki hubungan kerabat sebagian diantara mereka lebih
berhak daripada yang lain. [Al Anfal:75].

Disunnahkan untuk mengubur mayat di kuburan. Karena Rasulullah


Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu mengubur para sahabatnya di kuburan baqi’.
Dan tidak pernah dinukil dari seorang pun dari salaf bahwa Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengubur seseorang di selain kuburan, kecuali sesuatu yang
telah mutawatir bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dikubur di kamarnya.
Karena hal ini merupakan kekhususan Beliau. Sebagaimana hadits ‘Aisyah
Radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:
32
َّ ‫صلَّى‬
ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬
َّ ‫سو ِل‬ ُ ‫س ِم ْعتُ ِم ْن َر‬ َ ‫اختَلَفُوا فِي َد ْفنِ ِه فَقَا َل أَبُو بَكْر‬ ْ ‫سلَّ َم‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬
َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫ض َر‬ َ ِ‫لَ َّما قُب‬
َ ُ ‫َّللاُ نَبِيًّا إِ َّال فِي ا ْل َم ْو ِضع الَّذِي يَ ِج‬
ِ‫ب أ ْن يُ ْدفَنَ فِي ِه فَ َد َفنُ ْوهُ ِفي َم ْو ِضع‬ ِ َّ ‫ض‬ َ ‫ش ْيئًا َما نَسِيتُهُ َقا َل َما قَ َب‬
َ ‫سلَّ َم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ
(‫ش ِه (رواه الترمذي‬
ِ ‫فِ َرا‬

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia, para sahabat


berselisih pendapat dalam masalah tempat untuk mengubur Beliau. Abu Bakar
Radhiyallahu ‘anhu berkata,”Saya mendengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam sesuatu yang aku belum lupa. Beliau bersabda,’Tidaklah Allah
mewafatkan seorang Nabi, kecuali di tempat tersebut wajib untuk dikubur’.”
Kemudian mereka mengubur Beliau di tempat tidurnya. [HR At Tirmidzi].

Orang yang mati syahid dikubur di tempat dia meninggal dunia. Karena Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengembalikan syuhada’
Uhud supaya dikubur di tempat mereka terbunuh. Padahal sebagian syuhada’
sudah dibawa pulang ke Madinah.

Disunnahkan untuk memperluas dan mendalamkan kuburan.


Karena diriwayatkan dari Hisyam bin ‘Amir Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
Dikeluhkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang orang yang
mati terluka pada perang Uhud. Kemudian Beliau bersabda:

ِ ْ‫سعُوا َوأَح‬
(‫سنُوا … (رواه الترمذي‬ ِ ‫احْ ِف ُروا َوأَ ْو‬

Galilah dan luaskanlah, dan baguskanlah kuburan mereka. [HR At Tirmidzi].

Karena yang demikian lebih tertutup bagi mayit dan lebih terjaga dari binatang
buas, dan baunya tidak akan mengganggu orang yang hidup.

Diperbolehkan duduk di dekat kuburan ketika mayat sedang dikubur, untuk


mengingatkan orang yang hadir terhadap kematian, dan diperbolehkan untuk
mengubur mayat di setiap waktu, dan makruh hukumnya mengubur mayat pada
tiga waktu yang dilarang, sebagaimana telah dijelaskan dalam shalat jenazah,
33
kecuali jika karena adanya darurat,, serta diperbolehkan mengubur mayat pada
malam hari. Karena hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu di dalam Al Bukhari
dan Muslim. Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu berkata,”Telah mati seseorang yang
dahulu Nabi menjenguknya. Mati pada malam hari, kemudian para sahabat
menguburnya pada malam itu juga. Ketika pagi, Beliau bertanya, ’Mengapa kalian
tidak memberitahukan kepadaku?’ Kemudian Beliau mendatangi kuburnya, dan
Beliau shalat jenazah di kuburan.” Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
mengingkari mereka mengubur pada malam hari. [Lihat fatwa Lajnah Da’imah di
dalam Fatawa Islamiyyah (2/34)].

Disunnahkan bagi orang yang memasukkan mayat untuk berdo’a.


Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

ُ ‫ع َلى ِملًّ ِة َر‬


)‫س ْو ِل هللاِ (رواه الحاكم‬ ْ ‫ض ْعت ُ ْم َم ْوتَا ُك ْم ِفي قُبُ ْو ِر ِه ْم فَقُ ْولُ ْوا ِب‬
َ ‫س ِم هللاِ َو‬ َ ‫ِإذَا َو‬

Apabila kalian meletakkan jenazah di kuburnya, maka ucapkanlah:

ُ ‫علَى ِملًّ ِة َر‬


ِ‫س ْول هللا‬ َ ‫س ِم هللاِ َو‬
ْ ِ‫( ب‬dengan nama Allah dan di atas agama Muhammad). [HR
Al Hakim].

Diletakkan mayat di kuburnya di atas bagian tubuhnya yang kanan, sedangkan


wajahnya menghadap ke arah kiblat. Hal ini yang dikerjakan oleh kaum muslimin
sejak zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga sekarang, dan yang
dilakukan di seluruh kuburan. [Lihat Ahkamul Janaiz, 151].Disunnahkan bagi
orang yang ada di kuburan untuk melempar tanah tiga kali dengan kedua
tangannya setelah selesai menutup lahad. Karena hadits Abu Hurairah
Radhiyallahu ‘anhu :

ِ ْ‫علَ ْي ِه ِم ْن قِبَ ِل َرأ‬


‫س ِه ثَ َالثًا‬ ِ ‫ازة ث ُ َّم أَتَى َقب َْر ا ْل َم ِي‬
َ ‫ت فَ َحثَى‬ َ َ‫علَى ِجن‬
َ ‫صلَّى‬
َ ‫س َّل َم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫أَنَّ َر‬
َّ ‫سو َل‬
(‫(رواه ابن ماجه‬

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu menyalatkan


jenazah, kemudian Beliau melemparkan tanah dari arah kepalanya tiga kali. [HR
34
Ibnu Majah].
Setelah mengubur mayit, disunnahkan beberapa hal:
1. Untuk meninggikan kuburan sedikit dari tanah sekedar satu jengkal, dan tidak
diratakan dengan tanah supaya berbeda dengan yang lain, sehingga bisa terjaga
dan tidak dihinakan. Karena hadits Jabir Radhiyallahu ‘anhu :

‫أن النبي صلى هللا عليه وسلم ألحد له لحدا ونصب عليه اللبن نصبا ورفع قبره من اْلرض نحوا من شبر‬
(‫(رواه ابن حبان والبيهقي‬

Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggali liang lahad dan


menancapkan batu bata dan meninggikan kuburan sekadar satu jengkal. [HR
Ibnu Hibban dan Al Baihaqi, dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani].

2.Hendaknya kuburan dijadikan membulat bagian permukaannya (seperi punuk


onta). Karena di dalam hadits Sufyan At Tammar disebutkan:

)‫سنَّ ًما (رواه البخاري‬ ُ ‫(وقَب َْر أَبِي بَكْر َو‬


َ ‫ع َم َر) َم‬ َ ‫سلَّ َم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫َرأَيْتُ قَب َْر النَّبِي‬
َ ُ‫صلَّى هللا‬

Aku melihat kubur Nabi (dan kubur Abu Bakar dan Umar) membulat. [HR
Bukhari].

3.Agar diberi suatu tanda dengan batu atau yang lainnya, supaya dikuburkan di
dekatnya orang yang mati dari keluarganya. Karena ketika Utsman bin Madh’un
meninggal dunia, beliau meminta untuk diambilkan sebuah batu, kemudian beliau
meletakkannya di dekat kepalanya. Dan beliau bersabda:

(‫أَتَعَلَّ ُم ِبهَا قَب َْر أ َ ِخي َوأ َ ْدفِنُ ِإ َل ْي ِه َم ْن َماتَ ِم ْن أ َ ْه ِلي (رواه أبو داود‬

Supaya aku mengetahui kuburan saudaraku dan aku akan mengubur di dekatnya
orang yang mati dari keluargaku. [HR Abu Dawud].

4.Tidak diperbolehkan mentalqin mayit setelah dikubur, sebagaimana talqin yang


35
dikenal pada zaman sekarang, yaitu dengan menuntun syahadat la ilah illallah.
Akan tetapi, hendaklah berdiri di dekat kubur kemudian berdo’a. Dan orang yang
hadir agar memintakan ampunan bagi mayit. Di beliau berkata:dalam hadits
Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu,

‫ت‬ َ ‫ست َ ْغ ِف ُروا ِْل َ ِخي ُك ْم َو‬


ِ ‫سلُوا َلهُ بِالتَّثْبِي‬ ْ ‫علَ ْي ِه فَقَا َل ا‬
َ ‫ف‬ ِ ِ‫غ ِم ْن َد ْف ِن ا ْل َمي‬
َ َ‫ت َوق‬ َ ‫سلَّ َم إِذَا فَ َر‬
َ ‫ع َل ْي ِه َو‬ َّ ‫ص َّلى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫كَانَ النَّبِ ُّي‬
(‫سأ َ ُل (رواه أبو داود‬
ْ ُ‫فَ ِإنَّهُ ْاْلنَ ي‬

Dahulu, apabila Nabi selesai dari mengubur mayit, Beliau berdiri di dekatnya
dan bersabda: “Mohonkanlah ampunan untuk saudara kalian dan mintakan
supaya dia diberikan keteguhan, karena sekarang ini dia sedang ditanya”. [HR
Abu Dawud].

Setiap orang berdo’a sendiri-sendiri tanpa adanya komando (berjamaah). [Lihat


Ahkamul Janaiz (153-156), Ash Shalat, Dr. Abdullah Ath Thayyar, hlm. 289].

Diperbolehkan untuk mengeluarkan (membongkar kembali) mayat dari dalam


kuburnya untuk tujuan yang benar, seperti kalau dia dikubur sebelum dimandikan
dan dikafani. Bagi seseorang tidak disunnahkan untuk menggali kuburnya
sebelum dia mati. Karena Nabi dan para sahabatnya tidak pernah mengerjakan
perbuatan seperti ini. Dan seseorang tidak mengetahui kapan dan dimana dia akan
mati. Apabila maksudnya untuk mempersiapkan dirinya menghadapi kematian,
maka hal ini dengan mengamalkan amal shalih. [Lihat Al Akhbarul Ilmiyyah,
hlm. 134].

Tidak diperbolehkan menulis sesuatu di atas kuburan.


Diriwayatkan dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

‫علَ ْي َها َوأَ ْن ت ُو َطأَ(رواه‬


َ ‫علَ ْيهَا َوأَ ْن يُ ْبنَى‬ َ َ ‫ور َوأ َ ْن يُ ْكت‬
َ ‫ب‬ ُ ُ‫سلَّ َم أ َ ْن ت ُ َجصَّصَ ا ْلقُب‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫ص َّلى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫نَهَى النَّ ِب ُّي‬
(‫الترمذي‬

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang di atas kuburan diberi warna dan
ditulis sesuatu. Dan Beliau melarang di atasnya dibangun dan diinjak. [HR At
Tirmidzi]. 36
Rasulullah melarang mengubur orang kafir di kuburan kaum muslimin dan
sebaliknya. Tidak boleh menambahkan sesuatu di atas kuburan, baik dengan tanah
atau bangunan. Karena hadits Jabir Radhiyallahu ‘anhu yang marfu’, beliau
berkata:

َ ‫علَى ا ْلقَب ِْر أ َ ْو يُ َزا َد‬


(‫علَ ْي ِه… (رواه النسائي‬ َ ‫سلَّ َم أ َ ْن يُ ْبنَى‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫نَهَى َر‬
َّ ‫سو ُل‬

Rasulullah melarang mendirikan bangunan di atas kuburan atau ditambahkan


kepadanya tanah. [HR An Nasa-i, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani].

Dibenci berjalan di atas kuburan dengan mengenakan alas kaki tanpa ada
udzur. Namun apabila ada udzur, seperti tempatnya sangat panas atau terdapat
banyak duri, maka tidak mengapa berjalan dengan mengenakan sandal. Didalam
hadits Basyir bin Nahik (bekas budak Rasulullah), ia berkata:

‫ب‬
َ ‫َاح‬ِ ‫ع َل ْي ِه نَ ْع َال ِن فَ َقا َل يَا ص‬
َ ‫ور‬ ِ ُ‫سلَّ َم … َف ِإذَا َر ُج ٌل يَ ْمشِي فِي ا ْلقُب‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬ َّ ‫سو َل‬ُ ‫شي َر‬ ِ ‫بَ ْينَ َما أَنَا أ ُ َما‬
‫سلَّ َم َخلَعَ ُه َما فَ َر َمى بِ ِه َما‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬
َّ ‫سو َل‬ ُ ‫ف َر‬ َ ‫الر ُج ُل فَلَ َّما ع ََر‬
َّ ‫س ْبتِيَّتَ ْيكَ فَ َن َظ َر‬ ِ ‫س ْبتِيَّتَي ِْن َو ْي َحكَ أ َ ْل‬
ِ ‫ق‬ ِ ‫ال‬
(‫(رواه أبو داود‬

Ketika aku berjalan bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,


tiba-tiba ada seseorang yang berjalan di kuburan dengan mengenakan sandal.
Kemudian Beliau bersabda: “Wahai, orang yang mengenakan sandal! Celakalah
engkau! Lepaskanlah dua sandalmu!” Kemudian lelaki tersebut melihat
sandalnya. ketika dia melihat Rasulullah melepas sandalnya, maka dia melepas
dan melempar kedua sandalnya. [HR Abu Dawud, dan dihasankan oleh Syaikh Al
Albani].

Diharamkan memasang lampu di kuburan.


Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, beliau37berkata:

‫س ُر َج (رواه أبو داود و‬


ُّ ‫اج َد َوال‬
ِ ‫س‬َ ‫علَ ْيهَا ا ْل َم‬
َ َ‫ور َوا ْل ُمت َّ ِخ ِذين‬
ِ ُ‫ت ا ْلقُب‬
ِ ‫سلَّ َم َزائِ َرا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫لَعَنَ َر‬
َّ ‫سو ُل‬
(‫الترمذي‬
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita-wanita yang ziarah
kubur dan orang-orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid, dan orang
yang memasang lampu padanya. [HR Abu Dawud dan At Tirmidzi].

Diharamkan mengubur satu mayat di atas kuburan orang lain, kecuali


diperkirakan kuburan yang pertama sudah menjadi tanah. Dalilnya, ialah apa yang
dikerjakan kaum muslimin sejak zaman Nabi hingga zaman sekarang, bahwa
seseorang di kuburnya sendirian. Syaikh Ibnu Utsaimin t berkata: “Tidak ada
bedanya ketika mengubur dalam satu waktu, yaitu dimasukkan dua kuburan
secara bersamaan atau hari ini dikubur seseorang kemudian besok dikubur orang
lain,” kemudian beliau berkata: “Kecuali dalam keadaan darurat, seperti
banyaknya orang yang mati, kemudian orang yang menguburnya sedikit. Dalam
kondisi seperti ini, tidak mengapa apabila dimasukkan dua atau tiga orang dalam
satu kuburan.” [Lihat Asy Syarhul Mumti’ (5/461)].

Disunnahkan untuk mengumpulkan kerabat yang mati di satu pekuburan, dan


haram hukumnya mengumpulkan beberapa mayat dalam satu liang lahad, kecuali
ada hal darurat dan Diharamkan pula menyembelih dan makan dari sembelihan
tersebut di kuburan. Syaikhul Islam rahimahullah berkata: Haram hukumnya
menyembelih dan berqurban di kuburan, meskipun si mayat telah bernadzar, atau
dia telah memberikan syarat; maka syaratnya batil dan dianggap tidak sah. Karena
hadits Anas, beliau berkata: Telah bersabda Rasulullah:

(‫س َال ِم (رواه أبو داود‬ ِ ْ ‫ع ْق َر فِي‬


ْ ‫اْل‬ َ ‫َال‬

Tidak ada sembelihan untuk si mayat dalam agama Islam. [HR Abu Dawud].

Dan beliau berkata: “Mengeluarkan shadaqah ketika mengiringi jenazah


merupakan perbuatan yang dibenci, karena menyerupai menyembelih di
38
kuburan.” [Lihat Al Akhbarul Ilmiyyah, 135].

Tidak boleh membaca Al Qur’an di kuburan. Karena tidak pernah


diriwayatkan dari Nabi dan para sahabatnya. Maka perbuatan ini termasuk bid’ah.
Tidak boleh meletakkan pelepah kurma atau yang lainnya di atas kuburan. Karena
hal ini termasuk bid’ah dan berprasangka yang jelek kepada mayit.
Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan pelepah kurma di atas dua
kuburan ketika Beliau mengetahui bahwa keduanya sedang disiksa. Adapun kita
tidak mengetahui hal tersebut.

Tidak boleh meletakkan kain hijau di atas keranda yang tertuliskan ayat
kursi. Karena hal ini termasuk meremehkan terhadap ayat-ayat Allah.
Hal ini tidak pernah ada di dalam Sunnah dan tidak pernah dikerjakan oleh
seorang pun di antara para sahabat dan tabi’in. Seandainya perbuatan seperti ini
baik, pasti mereka telah mendahului kita dalam mengamalkannya. Terlebih lagi
apabila terdapat keyakinan yang salah bahwa perbuatan ini akan bermanfaat bagi
si mayit. Padahal yang benar, tidak akan bermanfaat sama sekali bagi si mayit.
[Lihat Ash Shalat, hlm. 293].

2.7. Takziyah Kepada Keluarga Mayit


Harus kita ketahui, kematian adalah taqdir dan ketentuan dari Allah.

َ ‫َمآأَص‬
َ ‫َاب ِمن ُّم ِصيبَة إِالَّ بِ ِإ ْذ ِن هللاِ َو َمن يُؤْ ِمن بِاهللِ يَ ْه ِد قَ ْلبَهُ َوهللاُ بِ ُك ِل ش َْىء‬
‫ع ِلي ٌم‬

Tidak ada suatu musibahpun yang menimpa seseorang, kecuali dengan ijin Allah;
Dan barangsiapa yang beriman kepadaNya, niscaya Allah akan memberi
petunjuk hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. [At
Taghabun:11].

Apabila seseorang yakin ketika dia tertimpa musibah, kehilangan suami atau anak
dan kerabatnya, bahwa semua itu dengan ijin dari Allah, maka Allah akan
memberikan taufik kepada hatinya untuk rela terhadap taqdirNya.

39 menghibur keluarga mayit dengan


Adapun yang dimaksud dengan takziyah, yaitu
menganjurkan supaya mereka bersabar terhadap taqdir Allah dan mengharapkan
pahala dariNya. Waktu takziyah, dimulai ketika terjadinya kematian, baik
sebelum dan setelah mayat dikubur, sehingga hilang dan terlupakan kesedihan
mereka.

Takziyah kepada keluarga mayit adalah Sunnah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa


sallam bersabda:

‫س ْبحَانَهُ ِم ْن ُحلَ ِل ا ْلك ََرا َم ِة يَ ْو َم ا ْل ِقيَا َم ِة (رواه ابن ماجه‬


ُ ُ‫َّللا‬ َ ‫) َما ِم ْن ُمؤْ ِمن يُ َع ِزي أ َ َخا ُه ِب ُم ِصيبَة ِإ َّال َك‬
َّ ‫سا ُه‬

Tidak ada seorang mukmin yang memberikan takziyah kepada saudaranya dalam
suatu musibah, kecuali Allah akan memberikan kepadanya dari pakaian
kehormatan pada hari kiamat. [HR Ibnu Majah, dihasankan oleh Syaikh Al
Albani]Sebaik-baik ucapan takziyah adalah takziyah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada putrinya Zainab, ketika Zainab mengirim utusan kepada
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan bahwa bayinya meninggal
dunia. Beliau bersabda:

ْ ‫صبِ ْر َو ْلتَحْ تَس‬


‫ِب‬ َ ‫إِنَّ ِ َّّلِلِ َما أ َ َخذَ َولَهُ َما أ َ ْع َطى َو ُك ُّل ش َْيء ِع ْن َدهُ بِأَجَل ُم‬
ْ َ ‫س ًّمى َف ْلت‬

Sesungguhnya milik Allah untuk mengambilnya dan milikNya untuk diberikan,


dan segala sesuatu disisiNya dengan ketentuan yang sudah ditetapkan waktunya.
Maka, hendaknya engkau sabar dan ihtisab. [HR Bukhari].

Disunnahkan untuk membuat makanan bagi keluarga mayit, karena mereka sibuk
dengan musibah yang menimpanya.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan hal itu, ketika Ja’far bin
Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu mati syahid. Beliau bersabda:

َ ‫صنَعُوا ِْل ِل َج ْعفَر َط َعا ًما َف ِإنَّهُ قَ ْد أَتَا ُه ْم أ َ ْم ٌر‬


(‫شغَلَ ُه ْم (رواه أبو داود‬ ْ ‫ا‬
40
Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far
p karena telah datang perkara yang
menyibukkan mereka. [HR Abu Dawud, dihasankan oleh Syaikh Al Albani].
Keluarga mayit tidak dibenarkan membuat makanan untuk orang yang datang,
karena hal ini akan menambah atas musibah mereka dan menyerupai perbuatan
orang jahiliyah. Yakni termasuk niyahah yang dilarang oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari Jarir bin Abdullah Al Bajali, beliau berkata:

‫ص ْنعَةَ ال َّطعَ ِام ِم ْن النِيَا َح ِة (رواه ابن ماجه‬ ِ ِ‫ع إِلَى أ َ ْه ِل ا ْل َمي‬
َ ‫ت َو‬ َ ‫ُكنَّا نَ َرى ِاالجْ تِ َما‬

Kami dahulu menganggap berkumpul di tempat keluarga mayit, dan mereka


membuatkan makanan kepada orang yang datang termasuk niyahah. [HR Ibnu
Majah, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani].

Tidak boleh sengaja berkumpul untuk takziyah di tempat manapun juga, baik di
rumah atau di tempat yang lain, dan tidak boleh juga mengumumkannya, karena
tidak ada dalilnya. Dan sebagian Salaf menganggap, bahwa hal ini termasuk
niyahah (meratap). Tidak diperbolehkan membaca Al Qur’an ketika takziyah,
terlebih menyewa orang-orang untuk membaca Al Qur’an dan berkumpul dengan
suatu hidangan makanan sebagaimana banyak terjadi di kalangan kaum muslimin.
Ketika takziyah, tidak boleh mengkhususkan pakaian dengan satu warna tertentu,
seperti warna hitam. Karena hal ini tidak pernah dikerjakan oleh Salaf. Bagi orang
yang sedih, tidak boleh merobek bajunya atau menampar pipinya atau berteriak
dengan ucapan jahiliyah.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫وب أ َ ْو َدعَا ِب َدع َْوى ا ْلجَا ِه ِليَّ ِة (رواه مسلم‬


َ ُ‫ق ا ْل ُجي‬ َ ‫ب ا ْل ُخدُو َد أ َ ْو‬
َّ ‫ش‬ َ ‫لَي‬
َ ‫ْس ِمنَّا َم ْن ض ََر‬

Tidak termasuk dari golongan kami orang yang memukul pipinya atau merobek
bajunya atau menyeru dengan seruan jahiliyah. (HR Muslim).
41

Dari Abu Musa Al Asy’ari Radhiyallahu ‘anhu , beliau berkata:


َ ‫سلَّ َم بَ ِر‬
‫ئ ِم ْن‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫سلَّ َم إِنَّ َر‬
َّ ‫سو َل‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬ َ ‫أَنَا بَ ِري ٌء ِم َّم ْن بَ ِر‬
ُ ‫ئ ِم ْنهُ َر‬
َّ ‫سو ُل‬
‫الصَّا ِلقَ ِة َوا ْلحَا ِلقَ ِة َوالشَّاقَّ ِة (رواه البخاري‬

Saya berlepas diri dari orang yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berlepas diri dari mereka. Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berlepas diri dari orang yang mengangkat suaranya ketika tertimpa
musibah dan orang yang mencukur rambutnya dan orang yang merobek bajunya.
[HR Bukhari].

Diperbolehkan menangisi mayit. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam


menangis ketika Ibrahim, putra Beliau meninggal dunia. Beliau bersabda:

َ ‫إ ِِنَّ ا ْلعَ ْينَ ت َ ْد َم ُع َوا ْل َق ْل‬


‫ب يَحْ َزنُ َولَ ِك ْن َال نَقُو ُل إِ َّال َما يَ ْرضَى َربُّنَا َو ِإنَّا بِ ِف َراقِكَ يَا إِب َْرا ِهي ُم لَ َمحْ ُزونُونَ (رواه‬
‫)البخاري ومسلم‬

Air mata mengalir dan hati menjadi sedih, akan tetapi kita tidak mengucapkan
kecuali apa yang diridhai oleh Allah. Dan kami sungguh sedih berpisah
denganmu, wahai Ibrahim. [HR Bukhari dan Muslim].

Selama tidak adanya nadab (yakni menyebut-nyebut kebaikan mayit dengan huruf
nadab, yaitu “ya”) dan niyahah (yakni meratapi mayit dengan mengeraskan suara
dengan satu alunan). [Lihat Asy Syarhul Mumti’ (489/493)]. Para ulama telah
sepakat haramnya niyahah, yaitu dengan menyebut-nyebut kebaikan mayit dengan
mengeraskan suaranya. Karena dalam hal ini terdapat perbuatan jahiliyah, serta
tidak menerima terhadap taqdir dan ketentuan Allah. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:

ٌ ‫س ْر َبا ٌل ِم ْن قَ ِط َران َود ِْر‬


(‫ع ِم ْن ج ََرب) رواه مسلم‬ َ ‫النَّائِحَةُ ِإذَا لَ ْم تَت ُْب قَ ْب َل َم ْوتِهَا تُقَا ُم يَ ْو َم ا ْل ِقيَا َم ِة َو‬
ِ ‫علَ ْيهَا‬

Orang yang meratap apabila dia tidak bertaubat sebelum meninggal dunia, maka
dia akan dibangkitkan pada hari kiamat, sedangkan pada tubuhnya pakaian dari
42
ter dan baju besi dari kudis. [HR Muslim].
Dan dari Umar Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau
bersabda:

َ ‫ب ِفي قَب ِْر ِه ِب َما ِني َح‬


(‫علَ ْي ِه (رواه مسلم‬ ُ َّ‫ا ْل َم ِيتُ يُ َعذ‬

Seorang mayit akan disiksa di kuburnya dengan sebab niyahah yang ditujukan
kepadanya. [HR Muslim].

Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu,

َ‫سلَّ َم َقا َل إِنَّ ا ْل َميِت‬


َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫ع َم َر فَ َقا َل َمه ًْال يَا بُنَيَّةُ أَلَ ْم ت َ ْعلَ ِمي أَنَّ َر‬
َّ ‫سو َل‬ َ ْ‫أَنَّ َح ْفصَةَ بَكَت‬
ُ ‫علَى‬
(‫علَ ْي ِه (رواه مسلم‬ َ ‫َاء أ َ ْه ِل ِه‬ ُ َّ‫يُعَذ‬
ِ ‫ب بِبُك‬

Sesungguhnya Hafshah menangisi kematian Umar.” Beliau berkata,”Sabarlah,


wahai saudariku. Tidakkah engkau mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,’Sesungguhnya seorang mayit akan disiksa karena
tangisan keluarganya’.” [HR Muslim].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Menurut pendapat yang benar, bahwa
mayit akan tersiksa karena tangisan yang ditujukan kepadanya sebagaimana
disebutkan oleh hadits-hadits yang shahih.” [Lihat Majmu’ Fatawa (24/369,370)].

Tidak diperbolehkan mencela orang yang sudah meninggal dunia.


Dari ‘Aisyah, beliau berkata: Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam :

(‫سبُّوا ْاْل َ ْم َواتَ فَ ِإنَّ ُه ْم قَ ْد أ َ ْفض َْوا إِلَى َما قَ َّد ُموا (رواه البخاري‬
ُ َ ‫َال ت‬

Janganlah kalian mencela orang yang sudah mati, karena mereka mendapatkan
dari apa yang telah mereka kerjakan. [HR Bukhari].

Disunnahkan untuk ziarah kubur dengan tujuan untuk mengambil pelajaran dan
mengingatkan kematian, meskipun ziarah kubur
43 orang yang mati dalam keadaan
kafir.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:

ْ َ‫ستَأْذَ ْنتُ َر ِبي فِي أَ ْن أ‬


‫ستَ ْغ ِف َر لَهَا َف َل ْم‬ ْ ‫سلَّ َم قَب َْر أ ُ ِم ِه فَبَكَى َوأ َ ْبكَى َم ْن ح َْولَهُ َفقَا َل ا‬
َ ‫ع َل ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫ار النَّ ِب ُّي‬
َ ‫َز‬
(‫ور َف ِإ َّنهَا تُذَ ِك ُر ا ْل َم ْوتَ (رواه مسلم‬ ُ ‫ور قَب َْر َها فَأ ُ ِذنَ ِلي فَ ُز‬
َ ُ‫وروا ا ْلقُب‬ َ ‫ستَأْذَ ْنتُهُ فِي أ َ ْن أ َ ُز‬
ْ ‫يُؤْ ذَ ْن ِلي َوا‬

Nabi ziarah kubur ibunya. Beliau menangis dan membuat orang-orang yang di
sampingnya menangis. Beliau bersabda,”Aku telah minta ijin dari Rabb-ku untuk
memohonkan ampunan untuk ibuku, akan tetapi Allah tidak mengijinkanku.
Kemudian aku minta ijin untuk ziarah ke kuburannya, maka Allah mengijinkan
kepadaku. Ziarahlah kalian ke kuburan, karena akan mengingatkan kalian
kepada kematian. [HR Muslim].

Disunnahkan bagi orang yang ziarah kubur untuk mengucapkan do’a.


Diantara do’a yang masyru’, dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha :

َّ ‫ستَأ ْ ِخ ِرينَ َوإِنَّا إِ ْن شَا َء‬


ُ‫َّللا‬ ْ ‫ستَ ْقد ِِمينَ ِمنَّا َوا ْل ُم‬
ْ ‫َّللاُ ا ْل ُم‬ ْ ‫علَى أ َ ْه ِل ال ِد َي ِار ِم ْن ا ْل ُمؤْ ِمنِينَ َوا ْل ُم‬
َّ ‫س ِل ِمينَ َويَ ْر َح ُم‬ َ ‫س َال ُم‬
َّ ‫ال‬
(‫بِ ُك ْم لَ َال ِحقُونَ (رواه مسلم‬

Semoga keselamatan bagi kalian yang tinggal di sini dari kaum mukminin dan
muslimin. Semoga Allah merahmati orang yang terdahulu dan orang yang
kemudian. Dan kami, insya Allah akan menyusul kalian. [HR Muslim].

Dari Buraidah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Dahulu Rasulullah Radhiyallahu


‘anhu, mengajarkan kepada para sahabat, apabila mereka keluar ke kuburan, maka
satu diantara mereka berdo’a:

ٌ ‫َّللاُ( ِب ُك ْم ) لَ َال ِحقُونَ ( أَ ْنت ُ ْم لَ َنا فَ َر‬


‫ط َونَحْ نُ لَ ُك ْم‬ ْ ‫علَ ْي ُك ْم أ َ ْه َل ال ِد َي ِار ِم ْن ا ْل ُمؤْ ِم ِنينَ َوا ْل ُم‬
َّ ‫س ِل ِمينَ َو ِإنَّا ِإ ْن شَا َء‬ َ ‫س َال ُم‬
َّ ‫ال‬
(‫َّللاَ لَ َنا َولَ ُك ْم ا ْلعَا ِفيَةَ (رواه مسلم‬ َّ ‫سأ َ ُل‬ ْ َ ‫تَبَ ٌع ) أ‬

Semoga keselamatan bagi kalian yang ada di sini dari kaum mukminin dan
muslimin. Dan kami, insya Allah, sungguh akan menyusul kalian. Kalian lebih
44
dahulu daripada kami dan kami mengikuti kalian. Saya minta kepada Allah
kesejahteraan untuk kami dan kalian. [HR Muslim].
Tidak boleh bagi wanita untuk ihdad (berkabung) lebih dari tiga hari, kecuali
apabila ditinggal mati suaminya; maka dia ihdad selama empat bulan sepuluh hari.
Kecuali apabila dia hamil, maka selesai masa ihdadnya ketika dia melahirkan
kandungannya.

Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah berkata: “Telah menjadi


kebiasaan di beberapa negara Islam pada zaman sekarang adanya perintah untuk
ihdad (berkabung) karena meninggalnya seorang raja atau pemimpin selama tiga
hari atau kurang atau lebih, disertai dengan liburnya kantor-kantor pemerintahan
dan pengibaran bendera. Tidak diragukan lagi, bahwa hal ini menyelisihi syari’at
Islam dan tasyabbuh dengan musuh-musuh Islam. Padahal telah datang hadits-
hadits yang shahih yang melarang dan memperingatkan tentang ihdad, kecuali
bagi seorang istri, (dia) diperbolehkan ihdad ketika ditinggal mati suaminya
selama empat bulan sepuluh hari. Sebagaimana boleh bagi wanita untuk ihdad
tidak lebih dari tiga hari, apabila ada kerabatnya yang mati. Adapun selain itu,
maka dilarang. Dan tidak ada tuntunannya di dalam syari’at yang sempurna ini
dalil yang membolehkan ihdad terhadap seorang raja atau pemimpin atau orang
lain. Padahal telah meninggal dunia pada zaman Nabi putra Beliau, (yaitu)
Ibrahim dan tiga orang putrinya, dan Beliau tidak pernah ihdad sama sekali. Dan
pada waktu itu, terbunuh panglima-panglima perang Mu’tah, Beliau pun tidak
ihdad. Kemudian Beliau wafat, sedangkan Beliau makhluk yang paling mulia.
Kematian Beliau merupakan musibah yang paling besar. Akan tetapi, tidak
seorangpun diantara sahabat yang melakukan ihdad….” [Lihat Majmu Al Fatawa
(1/415)].

Ada beberapa amalan orang hidup yang akan bermanfaat bagi mayit. Diantaranya:
– Do’a seorang muslim untuknya.
– Apabila walinya mengqadha’ puasa nadzarnya.
45
– Apabila walinya atau orang lain melunasi hutangnya.
t
– Amal yang dikerjakan oleh anaknya yang shalih, maka kedua orang tuanya akan
memperoleh pahala yang serupa.
– Amalan shalih dan shadaqah jariyah
DAFTAR PUSTAKA

1. Rasyid,,sulaiman,haji.fiqih islam, sinar baru algensindo,bandung 1986


2. Rifai,mohamad, H.drs ,fiqih islam pt toha putra,semarang 2 1978
46
3. Rifai,mahammad,h,drs,, fiqih islam lengkap,pt toha putra,semarang 1978

Anda mungkin juga menyukai