Anda di halaman 1dari 5

KAIDAH-KAIDAH FIKIH KHUSUS DI BIDANG AHWAL ASY-SYAKHSHIYYAH

Kaidah yang khusus di bidang ahwal asy-syakhshiyyah (hukum keluarga) menjadi penting karena
perhatian sumber hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadis kepada masalah-masalah keluarga sangat
besar. Hal ini terbukti jumlah ayat yang berhubungan dengan hukum keluarga menempati nomor dua
setelah ibadah mahdhah. Artinya, Al-Qur’an dan Al-Hadis setelah memberi tuntunan yang cukup untuk
pembinaan pribadi muslim dengan ajaran ibadah mahdhah, kemudian beralih kepada pembinaan
kehidupan keluarga muslim yang menjadi unsur terkecil dalam pembinaan masyarakat dan komunitas
muslim.[2]

Dalam hukum Islam, hukum keluarga ini meliputi : pernikahan, waris, wasiat, wakaf dzurri (keluarga),
dan hibah di kalangan keluarga. Kaidah-kaidah yang khusus di bidang ini antara lain:

1.

‫اع التَّحْ ِر ْي ُم‬ َ ‫األَصْ ُل فِي اإَل ب‬


ِ ‫ْض‬
Artinya: “Hukum asal pada masalah seks adalah haram”

Maksud kaidah ini adalah dalam hubungan seks, pada asalnya haram sampai datang sebab-sebab yang
jelas dan tanpa meragukan lagi yang menghalalkannya, yaitu dengan adanya akad pernikahan.[3]
Contohnya, pemuda dan pemudi haram melakukan seks di luar nikah, akan tetapi berbeda halnya
apabila pemuda dan pemudi tersebut telah melakukan akad nikah, maka menjadi halal apabila
melakukan seks.

2.

‫اج‬ ِ ْ‫ق لِل َّزوْ َج ِة َعلَى َزوْ ِجهَا إِاَّل فِي ُح ُدوْ ِدأَ َوا ِم ِر ال َّشر‬
ِ ‫ع فِ ْي َما يَ ْم ِسى ال َّز َو‬ َّ ‫اج َواَل َح‬ ِ ‫ج َعلَى زَو َجتِ ِه إِاَّل فِي ُح ُدوْ ِد يَ ْم‬
ِ ‫س لِل َّز َو‬ ِ ْ‫ق لِل َّزو‬
َّ ‫اَل َح‬

Artinya: “Tidak ada hak bagi suami terhadap isterinya kecuali dalam batas-batas pernikahan dan tidak
ada hak bagi isteri terhadap suaminya kecuali dalam batas-batas perintah syariah yang berhubungan
dengan pernikahan”

Kaidah di atas menggambarkan kedudukan yang seimbang antara suami dan isteri yang sama sebagai
subjek hukum yang penuh. Apabila suami memberikan sesuatu sebagai hibah kepada isterinya atau
isteri memberikan sesuatu kepada suaminya, maka seorang pun tidak dapat mencampurinya. Masing-
masing pihak, suami atau isteri tidak boleh menarik kembali hibahnya setelah penyerahan atau ijab
kabul terjadi.[4] Contohnya juga seperti harta isteri yang didapat dari orang tuanya, maka suami tidak
boleh mengambilnya, kecuali atas izin isterinya.

3.

‫ت َعلَ ْي ِه األُ ْخ َرى فَاَل يَجُو ُز ال َج ْم ُع بَ ْينَهُ َما‬ ْ ‫ُكلُّ ا ْم َرأَتَي ِْن لَوْ قُ َّد َر‬
ْ ‫ت إحْ دَاهُ َما َذ َكرًا َو ُح ِّر َم‬

Artinya: “Setiap dua orang wanita apabila salah satunya ditakdirkan (dianggap) sebagai laki-laki dan
diharamkan untuk nikah di antara keduanya, maka kedua wanita haram untuk dimadu”
Contohnya, haram memadu seorang wanita dengan bibinya, karena apabila bibi itu kita anggap laki-laki,
maka haram dia menikahi keponakannya. Demikian pula memadu seorang wanita dengan anak
perempuan saudara wanita tersebut. Haram pula memadu seorang wanita dengan perempuan dari
anaknya. Haram memadu seorang perempuan dengan saudaranya, karena apabila salah seorangnya
dianggap laki-laki, dia haramkan nikah dengan saudarannya.

4.

ِ ‫النِّكَا ُح اَل يُ ْف ِس ُد بِفَ َسا ِد الصدَا‬


‫ق‬

Artinya: “Akad nikah tidak rusak dengan rusaknya mahar”

Contohnya, Anton mewakilkan dalam akad nikah dengan menyebut maharnya kemudian si wakil
menambah mahar tadi, misalnya dari 100 gram emas menjadi 150 gram emas, maka nikahnya tetap sah
dan kepada wanita tadi diberikan mahar mitsli

5.

‫ق أَوْ لَى‬ ْ َّ‫ُكلُّ عُضْ ٍو َح َّر َم الن‬


ٍ ‫ظ َر إِلَ ْي ِه َح َّر َم َم َّسهُ بِطَ ِر ْي‬

Artinya: “Setiap anggota tubuh yang haram dilihat, maka lebih-lebih haram pula dirabanya”

6.

ً‫اَل يُ َج ِّو ُز ُم ْسلِ ُم كَافِ َرة‬

Artinya: “Wali yang muslim tidak boleh menikahkan wanita yang kafir”

Contohnya, Abu Bakar adalah seorang muslim yang memiliki anak beragama kafir, maka ia tidak boleh
atau tidak sah menjadi wali anaknya yang kafir tadi. Wanita yang kafir tidak memilki wali nasab, tetapi
dapat diwakilkan oleh wali hakim.

7.

‫صفَ ٍة لَم يَقَ ْع ُدوْ نَ ُوجُوْ ِدهَا‬ َ ‫ق الطَّاَل‬


ِ ِ‫ق ب‬ َ َ‫َم ْن َعل‬

Artinya: “Barangsiapa yang menggantungkan talak kepada suatu sifat, maka talak tidak jatuh tanpa
terwujudnya sifat tadi”

Di Indonesia sudah umum menggantungkan talak kepada sesuatu hal, yaitu yang disebut dengan ta’liq
talak. Talak menjadi jatuh apabila ta’liq talaknya terwujud dengan syarat si isteri tidak rela dan
mengajukan gugatan ke pengadilan.[5]

Contohnya, Qadir sewaktu akad nikah menyebut ta’liq talak, maka apabila dilanggar, talak tersebut
jatuh dengan terwujudnya sifat tersebut, umpamanya tidak memberi nafkah isteri selama tiga bulan.

8.
ُ‫الوطَ ِء تُوْ َجبُ ال ِع َّدة‬ ٍ ‫ق أَوْ فَس‬
َ ‫ْخ بَ ْع َد‬ ٍ ‫ُكلُّ فِرْ قَ ٍة ِم ْن طَاَل‬

Artinya: “Setiap perceraian karena talak atau fasakh sesudah campur, maka wajib ‘iddah”

Kaidah – kaidah Fikih yang Khusus di Bidang Jinayah

Fiqh jinayah adalah hukum Islam yang membahas tentang aturan berbagai kejahatan dan sanksinya;
membahas tentang pelaku kejahatan dan perbuatannya. Dalam fiqh jinayah dibicarakan pula upaya-
upaya preventif, rehabilitatif, edukatif, serta upaya-upaya represif dalam menanggulangi kejahatan
disertai tentang teori-teori tentang hukuman.

Dalam konteks ini, Jaih Mubarok dan Enceng Arif Faizal telah menyusun buku yang berjudul, “Kaidah
Fiqh Jinayah”. Dalam buku tersebut, tidak kurang dari seratus kaidah dan dhabith-nya.

Di antara kaidah-kaidah khusus fiqh jinayah yang penting antara lain :

ّ‫ال جر يمة و ال عقو بة بالىنص‬

“ Tidak ada jarimah (tindak pidana) dan tidak ada hukuman tanpa nash (aturan)”

Dalam sejarah hukum Islam, tidak pernah suatu perbuatan dianggap sebagai tindak pidana dan tidak
pernah dijatuhi hukuman sebelum perbuatan tersebut dinyatakan sebagai tindak pidana dan diberi
sanksinya baik oleh Al-Qur’an maupun Al-Hadis. Hal ini berlaku sejak Nabi pindah ke Madinah yaitu
sekitar 14 abad abad yang lalu atau pada abad ke-7 M.

Semakna dengan kaidah di atas adalah :

ّ‫ال حكم أل فعال العقال ء قبل ورود النّص‬

“Tidak ada hukuman bagi orang berakal sebelum datangnya nash”

‫إ د رء وا الحدو د با ل ّشبها ت‬

“Hindari hukuman had karena ada syubhat”

‫التّعز ير يدور مع المصلحة‬

“Sanksi ta’zir (berat ringannya) bergantung kepada kemaslahatan”

Seperti diketahui bahwa sanksi ta’zir berkaitan dengan tindak pidana ta’zir. Tindak pidana ta’zir ada 3
macam, yaitu : pertama, tindak pidana hudud atau qisas yang dikukuhkan oleh Al-Qur’an dan Al-Hadis
tetapi tidak memenuhi syarat untuk dijatuhi hukuman had atau qisas, seperti percobaan pencurian,
perampokan, perzinaan atau pembuhan. Kedua, kejahatan-kejahatan yang dikukuhkan oleh Al-Qur’an
dan Al-Hadis tetapi tidak disebutkan sanksinya. Sanksinya diserahkan kepada pemerintah (ulil amri),
seperti penipuan, saksi palsu, perjudian, penghinaan, dan lain sebagainya. Ketiga, kejahatan-kejahatan
yang ditentukan oleh pemerintah demi untuk kemaslahatan rakyatnya, seperti aturan lalu lintas,
perlindungan hutan, dan lain sebagainya. Sanksi ta’zir yang terberat adalah hukuman mati, sedangkan
yang teringan adalah berupa peringatan.

‫التّعز ير إلى اإلمام على قدر عظم الجرم و صغره‬

“Berat ringannya sanksi ta’zir diserahkan kepada Imam (hakim) sesuai dengan besar kecilnya kejahatan
yang dilakukan”

Kaidah ini memberi kewenangan kepada hakim dalam menjatuhkan berat ringannya hukuman. Sudah
barang tentu juga harus dipertimbangkan daya preventif dan represif (al-radd’ wa al-jazr) dari hukuman
tersebut serta dipertimbangkan pula daya edukatif dan rehabilitatif bagi yang bersangkutan

‫العبرة في الحدود بحال وجو دها ال حال إستفائها‬

“Yang dijadikan pegangan dalam menentukan tindak pidana hudud adalah pada waktu untuk
dilakukannya tindak pidana tersebut bukan pada waktu sempurnanya tindak pidana tersebut”

Maksud kaidah ini adalah apabila seseorang melakukan kejahatan, maka yang dinilai kejahatannya
adalah pada waktu dilakukannya, bukan sesudah sempurna diproses kejahatannya atau sesudah
diproses di pengadilan. Contohnya : seorang mencuri, kemudian tertangkap tangan. Harta yang dicuri
pada waktu tertangkap tangan belum sampai kepada nisab, maka dia tidak akan terkena sanksi potong
tangan. Meskipun hartanya bertambah setelah pencurian sehingga sampai kepada nisab, si pencuri
hanya kena sanksi ta’zir.

‫يضا ف الفعل إلى الفاعل ال االمر ما لم يكن مجبرا‬

“Suatu perbuatan itu dipertanggungjawabkan oleh pelaku bukan kepada yang memerintahkan selama
perintahnya tidak bersifat paksaan”

Kaidah di atas dalam kasus pidana termasuk dalam turut berbuat tidak langsung. Dalam kasus tersebut,
pelaku yang langsung harus bertanggung jawab apabila perintah itu tidak bersifat paksaan.
‫جنا ية العجماء جبار‬

“Tindakan jahat binatang tidak dikenai sanksi”

Kaidah ini lebih tegas lagi dalam hadis Nabi :

‫العجماء جر حها جبار‬

“Pelukaan karena binatang tidak ada sanksinya” (HR. Bukhari Muslim dari Abu Hurairah)

Daftar pustaka

A. Djazuli, Ilmu Fiqih : Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, Jakarta: kencana, 2006

A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih : Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah -masalah
yang Praktis, Jakarta: Kencana, 2010.

As-subki,imam tajudin, abd Wahab. Al asybah wa an nadhair.beirut: dar el kutub islamiyah,


1414H/1991M

Anda mungkin juga menyukai