Uas Pak Mufron - Arini Izzatunni'Mah
Uas Pak Mufron - Arini Izzatunni'Mah
NEGARA
Arini Izzatunni’mah
izzatarini@gmail.com
Ma’had Aly Al-Tarmasi Pacitan
Abstrak : Ada perbedaan yang tajam antara Hukum Islam disatu pihak
dan Hukum Perdata atau Pidana di lain pihak dalam menanggapi
hubungan seks diluar nikah.
Dalam pasal 272 KUH Perdata dijelaskan bahwa setiap anak yang
dilahirkan diluar nikah (antara gadis dan jejaka) dapat diakui, sekaligus
dapat disahkan, kecuali anak-anak yang dibenihkan dari hasil zina atau
anak sumbang. Adapun yang dimaksud dengan anak sumbang adalah
anak yang lahir dari hubungan antara laki- laki dan wanita yang dilarang
kawin antara keduanya (anak melanggar darah).
Pendahuluan
Ada dua macam istilah yang biasa dipergunakan bagi pelaku zina,
yaitu zina muhsan dan zina ghairu muhsan. Yang dimaksud dengan zina
muhsan adalah zina yang dilakukan oleh orang yang telah atau pernah
menikah, sedangkan zina ghairu muhsan adalah zina yang dilakukan oleh
orang yang belum pernah menikah.
nasab dan hak waris anak di luar nikah. Bagaimana mendudukan nasab
dan hak waris anak tersebut?
Pertama, jika perempuan yang hamil itu dinikahi secara syar’i yakni
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan syarat dan rukunnya, maka berlaku
hukum nasab, wali, waris, dan nafkah.
Kedua, jika perempuan yang hamil itu tidak dinikahi secara syar’i, maka
ada tafsil (rinci): (1) Jika anak (janin) tersebut lahir pada saat ibunya
belum dinikahi siapapun, maka anak itu bernasab kepada ibunya saja; (2)
jika anak tersebut lahir setelah ibunya dinikahi baik oleh ayah
2
Ibid hal. 180
biologisnya atau orang lain, di sini ada tafsil: (a) jika (janin) lahir lebih
dari 6 bulan (dari akad nikah), maka nasab anak itu jatuh kepada suami
ibunya. Tetapi (b) jika lahir kurang dari 6 bulan (akad nikah), maka anak
itu tidak bisa bernasab kepada suami ibunya. Mereka mengutip salah
satunya keterangan Al-Mawardi yang mengangkat perbedaan pendapat di
kalangan ulama fikih sebagai berikut:
فَ َم ْذهَبُ ال َّشافِ ِع ِّي َأ َّن،ت فِ َرا ًشا َأِل َح ٍد يَ ْل َحقُهَا َولَ ُدهَا
ْ ت ال َّزانِيَةُ َخلِيَّةً َولَ ْي َسِ َفََأ َّما ِإ ْن َكان
يَ ْل َحقُهُ ْال َولَ ُد ِإ َذا ا َّدعَاهُ بَ ْع َد: ُّ َوقَا َل ْال َح َس ُن ْالبَصْ ِري،ُق بِال َّزانِي َوِإ ِن ا َّدعَاه ُ ْال َولَ َد اَل يَ ْل َح
ُ يَ ْل َحقُه: َوقَا َل ِإ ْب َرا ِهي ُم النَّخَ ِع ُّي،ق ب ُْن َراهَ َو ْي ِه
ُ ْحاَ يرينَ َوِإس ِ ال اب ُْن ِس َ َ َوبِ ِه ق،قِيَ ِام ْالبَيِّنَ ِة
ِإ ْن:َ َوقَا َل َأبُو َحنِيفَة،ك ْال َموْ طُو َءةَ َوِإ ْن لَ ْم يَ ِّد ِع ِه َ َْال َولَ ُد ِإ َذا ا َّدعَاهُ بَ ْع َد ْال َح ِّد َويَ ْل َحقُهُ ِإ َذا َمل
َوِإ ْن لَ ْم يَتَزَ َّوجْ هَا لَ ْم يَ ْل َح ْق بِ ِه،ق بِ ِه ْال َولَ ُد
َ تَزَ َّو َجهَا قَ ْب َل َوضْ ِعهَا َولَوْ بِيَوْ ٍم لَ ِح
Artinya, “Jika perempuan itu kosong, yakni tidak menikah sampai
persalinan, maka anak itu dinisbahkan kepadanya. Menurut Madzhab
Syafi’i, anak itu tidak dinisbahkan kepada lelaki yang berzina meskipun
ia mengakuinya. Menurut Al-Hasan Al-Bashari, hal itu dimungkinkan
jika lelaki tersebut mengakuinya disertai bukti. Pendapat ini dipakai oleh
Ibnu Sirin dan Ibnu Rahawaih. Ibrahim An-Nakha’i mengatakan, anak itu
dinisbahkan kepada seorang lelaki bila ia mengakuinya setelah sanksi
had dan anak itu dinisbahkan kepada seorang lelaki bila ia memiliki
budak perempuan meskipun ia tak mengakui bayi itu sebagai anaknya.
Imam Hanafi mengatakan, anak itu dinisbahkan kepada seorang lelaki
yang menikahi ibunya meskipun sehari sebelum persalinan. Tetapi jika
lelaki itu tidak menikahi ibunya, maka anak itu tidak bisa dinisbahkan
kepadanya,” (Lihat Abul Hasan Al-Mawardi, Al-Hawi Al-Kabir, [Beirut:
Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1994 M/1414 H], cetakan pertama, juz VIII,
halaman 162).
Daftar Pustaka