Anda di halaman 1dari 6

KEDUDUKAN ANAK HASIL ZINA MENURUT AGAMA DAN

NEGARA

Arini Izzatunni’mah
izzatarini@gmail.com
Ma’had Aly Al-Tarmasi Pacitan

Abstrak : Ada perbedaan yang tajam antara Hukum Islam disatu pihak
dan Hukum Perdata atau Pidana di lain pihak dalam menanggapi
hubungan seks diluar nikah.
Dalam pasal 272 KUH Perdata dijelaskan bahwa setiap anak yang
dilahirkan diluar nikah (antara gadis dan jejaka) dapat diakui, sekaligus
dapat disahkan, kecuali anak-anak yang dibenihkan dari hasil zina atau
anak sumbang. Adapun yang dimaksud dengan anak sumbang adalah
anak yang lahir dari hubungan antara laki- laki dan wanita yang dilarang
kawin antara keduanya (anak melanggar darah).

Konsekuensi yuridis dari pengertian zina, ditinjau dari segi hukum


pidana adalah bahwa yang dapat dihukum hanyalah hubungan seks yang
dilakukan oleh orang yang sudah bersuami atau beristri, sedangkan
mereka yang melakukan hubungan seks dari kalangan gadis dan jejaka
tidak dikenai hukuman pidana. Hal ini dapat dilihat dari pasal 284
Sedangkan menurut Hukum Islam, para fuqaha mendifinisikan zina
sebagai berikut : Zina adalah memasukkan dzakar ke dalam faraj yang
bukan istrinya, bukan campur secara subhat dan menimbulkan kelezatan.

Pendahuluan

Dalam hukum Islam, melakukan hubungan seks antara laki-laki


dan wanita tanpa diikat oleh akad nikah yang sah disebut zina. Hubungan
tersebut tanpa dibedakan apakah pelakunya gadis, bersuami atau janda,
jejaka beristri atau duda.

Secara istilah, para fuqaha mendifinisikan zina sebagai berikut : Zina


adalah memasukkan dzakar ke dalam faraj yang bukan istrinya, bukan
campur secara subhat dan menimbulkan kelezatan. Sedangkan menurut
Taqiyudin dalam Kifayatul Akhyar 1menjelaskan, batasan zina yang
mewajibkan had adalah memasukkan minimal hasafah dzakar ke dalam
faraj yang diharamkan, bukan wati’ subhat.

Ada dua macam istilah yang biasa dipergunakan bagi pelaku zina,
yaitu zina muhsan dan zina ghairu muhsan. Yang dimaksud dengan zina
muhsan adalah zina yang dilakukan oleh orang yang telah atau pernah
menikah, sedangkan zina ghairu muhsan adalah zina yang dilakukan oleh
orang yang belum pernah menikah.

Islam tidak menganggap bahwa zina ghairu muhsan yang


dilakukan oleh gadis atau perjaka sebagai perbuatan biasa, melainkan
1
Imam Taqiyudin, Kifayat Al-Akhyar, Juz II, tt Hal. 178
tetap menganggapnya sebagai zina yang harus dikenakan hukuman (had)
zina. Hanya saja kuantitas dan frekuensinya hukuman antara zina muhsan
dan ghairu muhsan ada perbedaan. Bagi muhsan hukumannya di rajam
sampai mati, sedangkan bagi ghairu muhsan hukumannya dicambuk
seratus kali.

Adapun syarat-syarat seorang dapat dikategorikan muhsan adalah sebagai


berikut : Syarat-syarat ihsan ada empat : baligh, berakal, merdeka dan
terdapatnya senggama dalam nikah yang sah .2 Islam melarang zina
dengan peringatan yang keras, bahkan memberikan sanksi pada mereka
yang melakukannya. Larangan yang bijaksana mengenai zina dimulai
dengan perintah tidak boleh mendekati zina.

Status anak di luar nikah

nasab dan hak waris anak di luar nikah. Bagaimana mendudukan nasab
dan hak waris anak tersebut?

Pertama, jika perempuan yang hamil itu dinikahi secara syar’i yakni
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan syarat dan rukunnya, maka berlaku
hukum nasab, wali, waris, dan nafkah.
Kedua, jika perempuan yang hamil itu tidak dinikahi secara syar’i, maka
ada tafsil (rinci): (1) Jika anak (janin) tersebut lahir pada saat ibunya
belum dinikahi siapapun, maka anak itu bernasab kepada ibunya saja; (2)
jika anak tersebut lahir setelah ibunya dinikahi baik oleh ayah
2
Ibid hal. 180
biologisnya atau orang lain, di sini ada tafsil: (a) jika (janin) lahir lebih
dari 6 bulan (dari akad nikah), maka nasab anak itu jatuh kepada suami
ibunya. Tetapi (b) jika lahir kurang dari 6 bulan (akad nikah), maka anak
itu tidak bisa bernasab kepada suami ibunya. Mereka mengutip salah
satunya keterangan Al-Mawardi yang mengangkat perbedaan pendapat di
kalangan ulama fikih sebagai berikut:

‫ فَ َم ْذهَبُ ال َّشافِ ِع ِّي َأ َّن‬،‫ت فِ َرا ًشا َأِل َح ٍد يَ ْل َحقُهَا َولَ ُدهَا‬
ْ ‫ت ال َّزانِيَةُ َخلِيَّةً َولَ ْي َس‬ِ َ‫فََأ َّما ِإ ْن َكان‬
‫ يَ ْل َحقُهُ ْال َولَ ُد ِإ َذا ا َّدعَاهُ بَ ْع َد‬: ُّ‫ َوقَا َل ْال َح َس ُن ْالبَصْ ِري‬،ُ‫ق بِال َّزانِي َوِإ ِن ا َّدعَاه‬ ُ ‫ْال َولَ َد اَل يَ ْل َح‬
ُ‫ يَ ْل َحقُه‬:‫ َوقَا َل ِإ ْب َرا ِهي ُم النَّخَ ِع ُّي‬،‫ق ب ُْن َراهَ َو ْي ِه‬
ُ ‫ْحا‬َ ‫يرينَ َوِإس‬ ِ ‫ال اب ُْن ِس‬ َ َ‫ َوبِ ِه ق‬،‫قِيَ ِام ْالبَيِّنَ ِة‬
‫ ِإ ْن‬:َ‫ َوقَا َل َأبُو َحنِيفَة‬،‫ك ْال َموْ طُو َءةَ َوِإ ْن لَ ْم يَ ِّد ِع ِه‬ َ َ‫ْال َولَ ُد ِإ َذا ا َّدعَاهُ بَ ْع َد ْال َح ِّد َويَ ْل َحقُهُ ِإ َذا َمل‬
‫ َوِإ ْن لَ ْم يَتَزَ َّوجْ هَا لَ ْم يَ ْل َح ْق بِ ِه‬،‫ق بِ ِه ْال َولَ ُد‬
َ ‫تَزَ َّو َجهَا قَ ْب َل َوضْ ِعهَا َولَوْ بِيَوْ ٍم لَ ِح‬
Artinya, “Jika perempuan itu kosong, yakni tidak menikah sampai
persalinan, maka anak itu dinisbahkan kepadanya. Menurut Madzhab
Syafi’i, anak itu tidak dinisbahkan kepada lelaki yang berzina meskipun
ia mengakuinya. Menurut Al-Hasan Al-Bashari, hal itu dimungkinkan
jika lelaki tersebut mengakuinya disertai bukti. Pendapat ini dipakai oleh
Ibnu Sirin dan Ibnu Rahawaih. Ibrahim An-Nakha’i mengatakan, anak itu
dinisbahkan kepada seorang lelaki bila ia mengakuinya setelah sanksi
had dan anak itu dinisbahkan kepada seorang lelaki bila ia memiliki
budak perempuan meskipun ia tak mengakui bayi itu sebagai anaknya.
Imam Hanafi mengatakan, anak itu dinisbahkan kepada seorang lelaki
yang menikahi ibunya meskipun sehari sebelum persalinan. Tetapi jika
lelaki itu tidak menikahi ibunya, maka anak itu tidak bisa dinisbahkan
kepadanya,” (Lihat Abul Hasan Al-Mawardi, Al-Hawi Al-Kabir, [Beirut:
Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1994 M/1414 H], cetakan pertama, juz VIII,
halaman 162).

Daftar Pustaka

Imam Taqiyudin, Kifayat Al-Akhyar, Juz II, tt Hal. 178


Ibid hal. 180

Anda mungkin juga menyukai