BAB II Tesis
BAB II Tesis
LANDASAN TEORI
diarahkan kejalan yang baik, khususnya bagi orang tua, dan tidak boleh
satu kewajiban orang tua terhadap anaknya yang telah digariskan oleh agama
Islam.23 Dalam kamus umum bahasa indonesia anak secara etimologis diartikan
dengan manusia yang masih kecil ataupun manusia yang belum dewasa. 24
Menurut Kosnan “Anak-anak adalah manusia muda dalam umur muda dalam jiwa
perempuan, dimana dengan prosesnya pembuahan dari sel sperma dan sel telur
bertemu sehingga menjadi seorang anak yang terlahir dari rahim seorang
perempuan yang disebut dengan ibu sehingga anak tersebut adalah anak kedua
orang tuanya tersebut.26 Jadi anak adalah sebutan bagi keturunan yang lahir dari
pasangan suami-isteri atau yang lahir bukan dari pasangan suami isteri.
Zina secara harfiah berarti fahishah, yaitu perbuatan keji. Sedangkan zina
dalam pengertian istilah adalah hubungan kelamin antara seorang lelaki dengan
23
Husain, Abdul Razaq, Islam wa Tiflu, Alih Bahasa Azwir Butun, Hak-hak Anak dalam
Islam, (Jakarta: Fika Hati Aniska, 1992), h. 53.
24
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Balai Pustaka : Amirko,
1984), h. 25.
25
R.A. Koesnan, Susunan Pidana dalam Negara Sosialis Indonesia, (Bandung :Sumur,
2005) , h. 113.
26
Prodjodikoro, Wirjono., Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Sumur Bandung,
1960), h. 72.
20
21
seorang perempuan yang satu sama lain tidak terikat dalam hubungan perkawinan
yang sah.27 Dalam ensiklopedi Islam cyril glasse, zina adalah hubungan seksual di
luar nikah yang merupakan satu diantara dosa besar dan sebuah kejahatan. 28 Ibnu
karena nikah sah dan bukan karena pemilikan hamba sahaya. 29 Menurut Wahbah
Al-Zuhaili pengertian zina dalam bahasa dan hukum adalah sama, yaitu
tanpa kepemilikan maupun nikah subhat.30 Para fuqaha (ahli hukum Islam)
haram, bukan karena syubhat, dan atas dasar syahwat. 31 Beberapa pendapat ulama
dilakukan oleh orang mukalaf terhadap farji manusia (wanita) yang bukan
27
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 37.
28
Ensiklopedi Islam (Ringkas) Cyril Glasse, cet, ke-3, penerjemah: Ghufron A. Mas’adi,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 450.
29
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Bandung: Pustaka Setia, 2000),
h. 69.
30
Wabah Al-Zuhaili, Al-Fiqih Al-Islami Wa Adlatuhu, , jilid VI, Cet 3, (Damaskus: Daar
Fikr,989) 432
31
Lihat, Abdurrahmad Doi, Tindak Pidana Syariat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992),
h, 31.
32
Lihat, Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 6-
7.
22
“Zina adalah nama bagi persetubuan yang haram dalam qubul (kemaluan)
kepadanya berlaku hukum Islam, dan wanita tersebut bukan miliknya dan
dalam farji yang diharamkan karena zatnya tanpa ada syubhat dan menurut
bahwa anak zina adalah anak yang dilahirkan tanpa adanya ikatan perkawinan
yang sah menurut agama. Fathur Rahman dalam bukunya ilmu waris berpendapat
bahwa anak zina ialah anak yang lahir diluar perkawinan yang sah menurut
syari’at.33 Adapun perkawinan yang sah dan diakui di Indonesia ialah perkawinan
“anak zina adalah anak yang dilahirkan dari hasil hubungan badan di luar nikah
yang sah menurut syari’at Islam”.34 Hampir serupa dengan pendapat Muhammad
33
Fathur Rahman, Ilmu Waris, cet. ke-3, (Bandung: al-Ma’arif, 1994), h. 223.
34
Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Al-Jami’ fii Fiqhi an-Nisaa’, penerjemah: M.
Abdul Ghoffar, cet. ke- 25, (Jakarta: Pustaka al- Kautsar, 2007), h. 545.
23
Hasbi ash-Shiddieqy, “anak zina adalah anak yang dikandung oleh ibunya dari
seorang laki-laki yang menggaulinya tanpa nikah yang dibenarkan oleh syara”.35
Dilihat dari pengertian di atas, maka secara umum anak zina berarti anak
yang lahir dari hubungan suami istri tanpa adanya ikatan pernikahan yang sah
menurut hukum Islam. Dengan begitu, seorang anak dapat dikatakan anak zina
apabila:
dapat disebut sebagai anak zina, meskipun anak itu dinasabkan kepada
ibunya.
seorang anak yang lahir dari suatu perkawinan yang sah dan dianggap sah.
Dengan demikian, anak yang tidak sah dalam hubungan keluarga, kedudukannya
tidak sama dengan anak yang sah dan tidak dapat menuntut persamaan hak seperti
kedudukan anak yang sah pada laki-laki yang menjadi suami ibunya, sekalipun
35
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqi, Fiqhul Mawarits, cet. ke-1, (Jakarta: Bulan Bintang,
1973), h. 282.
24
laki-laki tersebut yang menyebabkan anak tidak sah itu lahir. Pandangan Islam
terhadap anak dapat dilihat dari hadis Nabi Saw yang berbunyi: 36
maka dosanya akan menurun kepada anak dan keturunannya, sesuai dengan bunyi
hadis di atas bahwasanya setiap anak yang lahir kemuka bumi ini dalam keaadaan
suci, hanya orang tuanya yang akan mengarahkan kemana selanjutnya anak itu
berlabuh didalam dunia ini. Dalam hukum Islam adanya tenggang waktu
sekurang-kurangnya enam bulan sejak saat pernikahan kedua orang tua sampai
lahirnya anak, juga tenggang waktu maksimal harus ada antara putusnya
pernikahan atau putusnya iddah dengan lahirnya anak.37 Tenggang waktu tersebut
36
Abi Al-Husain Muslim Ibn Al-Hajjaj Al-Qusairi An-Naisaburi, Shahih Muslim,
( Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 1995), h. 1066.
37
Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Terjemah: Ahmad Abu Al Majdi, jilid 2, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2011), h. 355.
25
Adanya tenggang waktu tersebut dapat mempermudah untuk mengetahui sah atau
tidaknya anak yang dilahirkan. Seorang anak tidak dapat dinasabkan kepada
bapaknya sebagai anak sah, jika anak tersebut dilahirkan kurang dari waktu enam
bulan setelah akad nikah, sebab tenggang waktu yang paling pendek yang harus
ada antara kelahiran sang anak dengan pernikahan itu adalah enam bulan. Hal ini
berarti jika ada anak yang dilahirkan sebelum usia pernikahan orang tuanya
mencapai enam bulan, maka anak itu tidak dapat dinasabkan kepada bapaknya
sebagai anak sah.38 Masih dalam hukum Islam, status kedudukan anak zina tidak
dinasabkan kepada laki-laki yang menzinai ibu anak tersebut, meskipun diketahui
bahwa secara hukum alam anak zina tersebut adalah anaknya, yang berarti Allah
Swt menakdirkan terciptanya anak zina tersebut sebagai hasil percampuran air
mani laki-laki tersebut dengan wanita yang dizinainya. Akan tetapi secara hukum
syar’i, anak itu bukan anaknya, karena lahirnya anak tersebut dengan sebab yang
Berdasarkan hal tersebut, anak yang lahir dari hasil perzinaan tidak
antara keduanya pun tidak berlaku.39 Menurut analisa penulis, akibat hukum
terjadi karena adanya hubungan dalam nasab, jika terputusnya nasab, maka segala
akibat hukum bisa gugur. Adapun hukum yang tidak berlaku antara keduanya
yaitu:
mewarisi.
4. Laki-laki tersebut tidak bisa menjadi wali anak itu dalam pernikahan
bumi ini adalah dalam keadaan suci, maka anak zina adalah suci, namun
kedudukan anak zina dalam Islam dianggap cacat karena tidak dinasabkan kepada
lelaki yang menghamili ibunya. Anak zina tetap dinasabkan kepada ibunya dan
Indonesia no 11 tahun 2012 “anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab,
Kedudukan anak hasil perzinaan dalam Islam juga disamakan dengan anak
seorang suami yang menuduh isterinya melakukan zina dan tidak mendatangkan
empat orang saksi selain dirinya sendiri, sumpah tersebut dilakukan sebanyak
empat kali dan di kali kelima diiringi dengan ucapan “laknat Allah atasku jika
sumpah yang aku lakukan adalah dusta“. Sang isteri juga diberi kesempatan
menolak li’an suaminya dengan bersumpah sebanyak empat kali dan di kali
kelima diiringi dengan ucapan “laknat Allah atasku jika kesaksian dan sumpah
yang dilakukan suamiku adalah benar.“ Apabila kesaksian itu telah dilaksanakan,
maka hakim akan menceraikan mereka, menafikan ikatan nasab anak itu dari
suaminya, dan menjadikan anak itu bernasab pada ibunya. 41 Oleh karena itu,
segala bentuk hukum yang timbul dalam kasus anak li’an juga menjadi hukum
bagi anak zina karena sama-sama dinasabkan kepada ibunya, artinya anak zina
40
Putusan fatwa Majlis Ulama Indeonesia no 11 tahun 2012 tentang kedudukan anak hasil
zina dan perlakuan terhadapnya.
41
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: kencana, 2008), h. 176.
27
dalam Islam mempunyai kedudukan yang digariskan kepada ibu dan keluarga
ibunya.
Setiap anak yang telah lahir ke dunia ini, tentunya punya hak-hak yang
harus didapatkan didalam kehidupannya. Menurut Abu al- Ainain Badran, anak
a. Hak nasab agar anak terjaga dari kehinaan, kesia-siaan dan selamat dari
cela.
b. Hak susuan agar anak terjaga dari kelaparan dan kehausan yang dapat
menyebabkan kematian.
c. Hak nafkah pemberian nafkah ini berlaku selama anak belum bisa mandiri
dengan ekonominya.
d. Hak hadhanah hingga anak dapat mandiri sendiri dengan segala ilmu dan
budi pekerti.
e. Hak perwalian atas diri dan hartanya hingga punya kecakapan
sendiri.42
tanggung jawab suami dan isteri melalui tali pernikahan yang sah menurut agama.
terjadinya hubungan nasab, hubungan perwalian, hak asuh anak, nafkah dan lain-
syari’at Islam salah satunya adalah untuk menjaga keturunan ( hifdz nasb), namun
kosekuensi hukum yang terjadi akibat anak yang lahir diluar pernikahan yang sah
Qudâmah bahwa anak zina tidak dinasabkan kepada bapaknya apabila tidak
diminta penasabannya. Ini menunjukkan bahwa anak itu tidak dianggap anak
42
Abu al-‘Ainain Badran, al-Fiqh al-Muqara fi al-Ahwal al-Shahsiyyah, (Beirut: Dar
al-Nahdah al-‘Arabiyyah, tt.), h. 484.
28
Pandanga Islam, anak yang lahir dari rahim seorang perempuan mempunyai
melihat kepada cara bagaimana perempuan itu hamil, baik dalam perkawinan atau
perzinahan. Kalau menggunakan kata “anak sah” sebagai ganti “nasab” bagi
seorang ibu, maka setiap anak yang dilahirkannya adalah anak sah, karena
hubungan nasab antara ibu dengan anak berlaku secara alamiah. Dari itu para
ulama sepakat, bahwa anak yang lahir karena perzinahan tetap mempunyai
Hak anak zina dalam konsepsi Islam harus dilihat secara menyeluruh,
tidak hanya terbatas pada perbuatan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya.
(persetubuhan tanpa ada ikatan perkawinan) merupakan sebuah dosa besar, namun
kaitan dengan anak yang dilahirkan dari perbuatan tersebut tidaklah sepantasnya
harus menerima hukuman atas dosa yang dilakukan oleh kedua orang tuanya.
Karena jika setiap anak diberikan pilihan terhadap kelahirannya, maka sudah
dapat dipastikan tidak akan ada seorang anak pun yang mau dilahirkan dari hasil
perbuatan zina. Banyak orang berfikiran sempit, yang menyatakan bahwa anak
yang dilahirkan dari hubungan yang haram tetap akan menjadi “anak haram”
padahal dalam terminologi Islam tidak pernah dikenal istilah “anak haram” dan
hal tersebut jelas akan bertentangan dengan firman Allah Swt yang berbunyi:
Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang
paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Mengenal (QS. Al-Hujurat: 13)
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Panggilan itu bersifat umum
tidak hanya untuk orang yang beriman akan tetapi untuk seluruh manusia yang
ada dibumi dan menjelaskan bahwa permulaan manusia adalah diciptakan dari
keturunannya. Jika seorang anak telah dihukum sebagai anak yang lahir di luar
hukum menyangkut hak dan kewajiban antara anak, ibu yang melahirkannya dan
1. Hak Nasab/Keturunan
anaknya.45 Meskipun secara sekilas terlihat tidak manusiawi dan tidak berimbang
44
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (jakarta: Lentera Hati, 2012), h. 252.
45
Ibnu Qudamah, Al Mughni, tahqiq: Syarafuddin Khathab, Sayyid Muhammad Sayyid,
Sayyid Ibrahim Shadiq, jilid 8, (Jakarta: Pustaka Azzam, t.th), h. 626-627.
30
antara beban yang diletakkan di pundak pihak ibu saja, tanpa menghubungkannya
dengan laki-laki yang menjadi ayah biologis anak tersebut, namun ketentuan
demikian dinilai menjunjung tinggi nilai-nilai norma yang ada dalam hukum
Islam dan kehidupan didalam menjalankan tujuan syari’at itu sendiri. Adapun
sebab di mana seseorang mendapatkan warisan salah satu dari tiga perkara, yaitu:
empat mazhab sepakat bahwa anak hasil zina itu tidak memiliki nasab dari pihak
laki-laki, dalam arti, dia tidak memiliki bapak, meskipun si laki-laki yang
menzinahinya itu mengaku bahwa dia itu anaknya. Pengakuannya tidak dianggap,
karena anak tersebut hasil hubungan di luar nikah. Hal ini, sama saja baik si
wanita yang dizinahi itu bersuami ataupun tidak bersuami. Artinya anak itu
berpendapat bahwa anak yang lahir karena perbuatan zina adalah keturunan
orang yang mengaku, sebab pada kenyataannya ia memang berbuat zina dengan
ibu si anak, sebagaimana penetapan nasab anak itu kepada ibunya. Penetapan ini
dimaksudkan agar si anak tidak terlantar, tidak mendapat mudharat, dan tidak
terkena aib, karena perbuatan yang tidak ia lakukan. Sebab, orang yang tidak
berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.47 Pendapat di atas menurut penulis
sangat berbeda dengan pendapat Jumhur. Jumhur berpendapat anak zina tidak
pernikahan yang sah diantara keduanya. Artinya tidak menasabkan anak zina
kepada ayah biologisnya dan memberikan hukuman yang berat bagi pelaku
46
Gus Arifin, Menikah Untuk Bahagia, (Jakarta: Kompas Gramedia, 2010), h. 277.
47
Komite Fakultas Syari’ah Al Azhar, Hukum Waris, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing,
2011), h. 402.
31
syari’at.
2. Hak Nafkah
nasab, jadi karena status anak zina menurut hukum Islam hanya mempunyai
hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya saja, maka yang wajib
memberikan nafkah anak tersebut adalah ibunya dan keluarga ibunya saja. Namun
demikian, ayah biologisnya oleh hakim dapat memberikan hukuman ta’zir berupa
anak tersebut dewasa dan mandiri, selain hukuman had tetap berlaku atas
dirinya.48 kemudian apabila ada orang menemukan anak zina ternyata tidak baik
cara mengasuh atau mendidiknya atau tidak dapat dipercaya dalam penggunaan
bantuan keuangan misalnya dari Baitul Mal dan dari masyarakat Islam, maka
wajib dicabut hak perwaliannya atas anak itu dan pemerintah wajib mengurusi,
mengawasi dan mencukupi kebutuhan hidupnya.49 Jadi nafkah anak zina dalam
Islam sepenuhnya ditanggung oleh kelaurga ibunya, tetapi negara wajib turun
tangan memberikan hukuman kepada pelaku zina agar memberikan nafkah kepada
anak biologisnya.
3. Hak Perwalian
melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas
nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua, orang tua yang masih hidup,
48
Neng Djubaedah, Perzinaan Dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia
ditinjau Dari Hukum Islam, (Jakarta : Kencana Prenada media Group, 2010), h. 170.
49
Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah Kapita Sekekta Hukum Islam, Edisi II Cet. 2,
(Jakarta : Masagung, 1991), h. 39.
32
orang dewasa terhadap utusan orang yang “kurang” dalam kepribadian dan
orang lain, baik ia setuju maupun tidak. Perwalian adalah pengaturan orang
dewasa terhadap utusan orang yang “kurang” dalam kepribadian dan hartanya.
Apabila dalam satu kasus bahwa anak yang lahir akibat dari perbuatan zina
(di luar perkawinan) tersebut ternyata wanita, dan setelah dewasa anak akan
menikah, maka ayah biologisnya tidak berhak dan tidak sah untuk menikahkannya
(menjadi wali nikah) disebabkan tidak ada hubungan antara keduanya menurut
tentang “Hukum Islam Tentang Anak Luar Nikah” menyebutkan tidak adanya
wali dari ayah biologisnya. Jika anak di luar nikah kebetulan adalah wanita dan
menggunakan wali hakim.52 Sebagai kesimpulannya, hak perwalian bagi anak zina
adalah wali hakim, karena tidak adanya hubungan hukum dengan ayah
biologisnya.
4. Hak Hadhanah
anak yang masih kecil, laki-laki atau perempuan atau sudah besar, tetapi belum
tamyiz, atau yang kurang akalnya, belum dapat membedakan antara yang baik dan
50
Imam Jauhari, Hukum Perwaliyan Anak Zina dan Hak Warisnya, Jurnal Ilmu Hukum,
no. 54,th, XIII, agustus 2011, h.16.
51
Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid 10, (Jakarta; Gema Insani, 2011), h.
82.
52
Tim Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Analisa Hukum Islam Tentang Anak Luar
Nikah, (Jakarta : 2004) , h.53
33
buruk, belum mampu dengan bebas mengurus diri sendiri dan belum tahu
mengerjakan sesuatu untuk dan memelihara dari suatu yang menyakiti dan
akalnya agar mampu menempuh tantangan hidup serta memikul tanggung jawab.53
Hadhanah adalah salah satu bentuk dari kekuasaan dan kepemimpinan seseorang
terhadap anak yang tidak dipelihara dan terancam keselamatannya, karena itu,
kepadanya.54 Dalam istilah fikih yang dimaksud dengan hadhanah dalam arti
adalah pemeliharaan anak yang masih kecil setelah terjadinya putus perkawinan.
Hal ini dibicarakan dalam fikih karena secara praktis antara suami dan istri telah
ibunya.55 Namun dalam kasus anak zina, hadhanah diserahkan kepada ibunya
karena anak zina bernasab kepada ibunya, hanya saja ayah biologisnya diberikan
ta’zir oleh hakim untuk memberikan apa yang dibutuhkan oleh anak tersebut
5. Hak Warisan
Sebagai akibat dari hubungan nasab seperti yang telah dikemukakan, maka
keluarga ibunya saja. Dalam kitab fikih lima mazhab disebutkan bahwa, sepakat
ulama empat mazhab tidak memberikan hak warisan untuk anak zina, karena anak
zina sama halnya dengan anak mula’anah, hanya ada kaitannya dia dengan
53
Sayyid Sabiq, Fiqih Al-Sunnah III, terj. Nor Hasanuddin, (Jakarta: Pena Pundi Aksara,
2006), h. 288
54
Ibid, h. 60.
55
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h.
328
34
ibunya.56 Begitu juga dengan Wahbah Az Zuhaili dalam kitabnya Fiqhul Islam Wa
warisan kepada anak zina disebabkan anak zina sama halnya dengan anak li’an,
yang hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya saja, atau anak zina hanya
bisa saling mewarisi dari pihak ibu dan kerabat ibunya saja. 57 Jadi anak hasil zina
hanya mempunyai hak mendapatkan warisan dengan pihak ibunya dan keluarga
a. Pengertian Warisan
teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap
manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang jelas. Syari’at Islam
dunia kepada ahli warisnya, dari kerabat dan nasabnya, baik dari jenis laki-laki
berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian
pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau
56
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2004), h. 576.
57
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid 10, (Jakarta: Gema Insani, 2011),
h. 488.
58
Muhammad Ali Al-Sabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, ter. A.M Basamalah
(Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h.33.
35
Kata waris berasal dari bahasa Arab yang diambil dari kata “warisa”,
“yarisu”, “wirsan”, yaitu isim failnya “wārisun” yang artinya ahli waris.59
seseorang kepada orang lain. Atau dari suatu kaum kepada kaum yang lain. Jika
penulis pahami dari segi bahasa waris adalah setiap yang berpindah dari satu
kepemilikan itu bisa disebut warisan. Waris adalah berbagai aturan tentang
perpindahan hak milik seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli
warisnya. Dalam istilah lain, waris disebut juga dengan fara‟idh artinya bagian
tertentu yang dibagi menurut agama Islam kepada semua yang berhak
menerimanya.60
Kata waris terdapat dalam berbagai bentuk, makna tersebut dapat kita
39:74)
59
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Cet ke-8, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990),
h. 496.
60
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Mawaris, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 13
61
Ahmad Rofiq, Hukum Islam diIndonesia, Cet. Ke-4 (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2000), h. 355
36
Maryam,19:6)
miras) lazim juga disebut dengan faraid, yaitu jamak dari kata faridah diambil
dari kata fard yang bermakna “ ketentuan atau takdir “. Al-fard dalam terminologi
syar’i ialah bagian yang telah ditentukan untuk ahli waris. Adapun dalam istilah
umum, waris adalah perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia
kepada ahli waris yang masih hidup. Pengertian tersebut sejalan dengan apa yang
disampaikan oleh Wiryono Projodikoro, definisi waris adalah soal apakah dan
pada waktu ia meninggal akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.62
telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup, yang ketentuan-ketentuan
tersebut berdasarkan pada al-Quran dan Hadits.63 Menurut Hasby Ash Shiddieqy
dalam mendefinisikan faraidh sebagai suatu ilmu yang dengan ilmu itu dapat kita
ketahui orang yang menerima pusaka, kadar yang diterima oleh tiap-tiap ahli
seseorang yang meninggal dunia kepada orang lain yang masih hidup dengan
62
Wiryono Projodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, (Bandung: Sumur, 1983), h. 13.
63
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat
minangkabau, ( Jakarta: Gunung Agung : 1984 ), Cet. 1,h. 3.
64
Hasby Ash Shiddieqy, Fiqh Mawaris, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), Cet. 1,h. 18.
37
fiqih al-mawaris (ilmu waris) disebut juga hukum kewarisan islam, hukum
hukum waris Islam, sementara hukum warisan memiliki konotasi umum, bisa
mencangkup hukum waris adat atau hukum waris yang diatur dalam kitab
memiliki sumber dan dasar pijakan terhadap ketentuan itu, terlebih lagi tentang
hukum kewarisan. Dasar hukum kewarisan ini terdapat dalam Al-Qur’an, Hadist,
65
Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h. 4.
38
perihal pembagian satu orang laki-laki sama dengan dua orang perempuan,
beserta kelipatanya. Artinya jika terdapat dua orang laki-laki berarti bagianya
yang melebihi anak perempuan dianggap cukup untuk menunjukkan bahwa laki-
untuk anak laki-laki merupakan pembagian harta warisan yang telah disyari’atkan
Abdullah. Pada saat itu Jabir yang mengalami sakit keras dan hidup sebagai
seorang kalalah dengan sembilan saudari nya bertanya kepada Rasul Saw,
perihal bagaimana mengelola hartanya jika nantinya dia mati.67 Sahabat Jabir
disebut kalalah karena dia jika meninggal nantinya tidak memiliki ahli waris
selain saudari-saudarinya tersebut. Dia tidak memiliki anak dan ayah yang masih
hidup pada saat itu. Jadi secara definitif kata kalalah diartikan dengan seseorang
yang tidak memiliki (tidak meninggalkan ketika mati nanti) anak dan orang tua. 68
Definisi tersebut sebenarnya memiliki esensi yang sama dengan yang dinarasikan
dalam ayat di atas. Bagi yang berkondisi kalalah maka saudara yang dipunyai-
lah yang menjadi ahli waris dari si mayyit tersebut. Adapun nominal dari bagian
mereka (saudari perempuan baik sebapak atau sekandung) adalah setengah dari
harta. Jika saudari perempuan tersebut tidak memiliki anak, maka bagi saudara
laki-laki, baik sebapak atau sekandung berhak mendapatkan sebagian dari tirkah.
(berdua) dua pertiga dari tirkah. Dengan kata lain bilangan nominal dua pertiga
67
Faisal bin ‘Abdul ‘Aziz, Taufiq al-Rahman fi Durus al-Qur’an, Al-Maktabah al-
Syamilah (Riyadh: Dar al-Asimah: 1996), Juz 2, h. 22.
68
Muhammad bin Muhammad bin Abd al-Razzaq al-Husaini, Taj al-‘Arus min Jawahir
al-Qamus, Al-Maktabah al-Syamilah (tanpa penerbit: Dar al-Hidayah, tt), Juz 30,h. 344.
40
pertiga dari tirkah. Nominal tersebut berhak didapatkan para ahli waris jika telah
terselesaikannya wasiat dan lunasnya hutang. Hal ini memang secara eksplisit
tidak ada dalam ayat di atas, namun penulis mengkiaskannya dengan kedua ayat
عن بن عبّاس رضى اهلل عنه عن النبي صلى اهلل عليه وسلم قال الحقوا الفرائض بأهلها
69
.)فما بقي فهو ألولى رجل ذكر(رواه البخارى
Artinya : “Dari Ibnu Abbas ra. Dari Nabi saw, berkata ia: berikanlah faraidh
(bagian yang telah ditentukan dalam al-Quran) kepada yang berhak
dan sisanya berikanlah kepada keluarga laki-laki yang terdekat”.
ح دثنا قتيب ة اخبرن ا ابن لهيع ه عن عم ر وبن ش عيب عن ابي ه عن ج ده ان الن بي ص لى اهلل
عليه وسلم قال ايما رجل عا هر بحرة او امه فلو لد ولد زنا ال يرث واليورث) رواه
70
)الترمذي
69
Al-Bukhari, Al-Jami’ li al-Shahih al-Bukhari, Jilid VII, (Kairo: Daru al-Mathaba’ah al-
bi, t.th), h.181.
70
At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, (Beirut: Darul Fikr, 1994), juz 4, h. 38
41
وكانت حامال وكان ابنها يدعى:فى حديث المالعنين الذي يرويه سهل بن سعد قال
ثم جرت السنة في ميراثها انها ترثه ويرث منها ما فرض اهلل له (روله البخ اري:المه قال
71
.)ومسلم
Artinya: ”Dalam hadits suami istri yang bermula‟anah yang diriwayatkan oleh
Sahal bin Sa’id itu, sahal berkata : Bahwa perempuan tersebut sedang
hamil, sedang anak dibangsakan kepada ibunya. Maka menurut sunnah
(cara) yang berlaku, bahwa anak tersebut menjadi ahli waris dari ibunya
dan ibunya menjadi ahli waris dari anaknya menurut apa yang telah
ditetapkan Allah. ( HR. Bukhari dan Muslim).
memberikan harta warisan kepada yang berhak. Dalil-dalil tersebut di atas, secara
meninggal dunia, dan harta warisan terhadap anak zina. Itulah dasar hukum bahwa
memberikan warisan itu wajib bedasarkan perintah Allah Swt dan nabi
Muhammad Saw.
c. Zawil Furud dan Zawil Arham (ahli waris dalam hukum Islam)
Zawil Furud adalah ahli waris yang dapat bagian tertentu sebagaimana
yang ditentukan dalam al-Quran maupun sunnah. Furudlu menurut istilah fiqih
mawaris, ialah saham yang sudah ditentukan jumlahnya untuk waris pada harta
peninggalan, baik dengan nash maupun dengan ijma’.72 Mereka menerima harta
warisan dalam urutan yang pertama. Ahli waris yang secara hukum syara’ berhak
menerima warisan karena tidak ada yang menutupnya. Para ahli waris zawil furud
ada tiga belas, empat dari laki-laki yaitu: suami, ayah, kakek, saudara laki-laki
seibu. Sembilan dari perempuan yaitu: nenek atau ibunya ibu dan ibunya bapak,
71
Al-Bukhari, Al-Jami’ li al-Shahih al-Bukhari, Jilid VII, (Kairo: Daru al-Mathaba’ah al-
bi, t.th), h.182.
72
Hasby Ash Shiddieqy, Fiqh Mawaris, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), Cet. 1,h. 74.
42
ibu, anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan
Secara bebas, arti bahasa zawil furud adalah orang-orang yang mempunyai
saham (bagian) pasti. Secara istilahi zawil furud adalah ahli waris yang sahamnya
seperdelapan dari warisan).73 Adapun zawil furud terbagi menjadi dua macam,
yaitu :
Zawil Furud Sababiyah, yaitu ahli waris yang mendapatkan harta warisan
disebabkan karena hubungan pernikahan.74 Zawil Furud Sababiyah ini terdiri
dari:
1. Suami
2. Isteri
Zawil Furud Nasabiyyah, yaitu ahli waris yang mendapatkan harta warisan
disebabkan keturunan.75 Zawil Furud Nasabiyyah ini terdiri dari:
1. Ayah
2. Ibu
3. Anak perempuan
4. Cucu perempuan dari anak laki-laki
5. Saudara perempuan sekandung
6. Saudara perempuan seayah
7. Saudara laki-laki seibu
8. Saudara perempuan seibu
9. Kakek
10. Nenek atau ibunya ibu dan ibunya ayah.
Adapun Zawil Arham Secara umum berarti orang yang memiliki hubungan
73
Al-Yasa Abu Bakar, Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian Perbandingan Terhadap
Penalaran Hazairin dan Penalaran Fikih Mazhab, (Jakarta: INIS, 1998), h. 140.
74
Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris, cet. I, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007),
h. 19.
75
Ibid, h. 20.
43
Artinya: Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta
berjihad bersamamu Maka orang-orang itu termasuk golonganmu
(juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan Kerabat itu
sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan
kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
segala sesuatu.
kerabat dengan pewaris, namun tidak dijelaskan bagiannya dalam al-Qur’an dan
atau Hadis Nabi sebagai zawil furud dan tidak pula dalam kelompok ashabah.
Bila kerabat yang menjadi ashabah adalah laki-laki, maka zawil arham itu adalah
Shabuni menjelaskan bahwa zawil arham adalah kerabat mayat yang tidak
termasuk zawil furud ataupun ‘ashabah, seperti saudara laki-laki ibu saudara
perempuan ibu, saudara perempuan ayah, cucu laki-laki dari anak perempuan, dan
Menurut penelitian Ibnu Rusyd, ahli waris yang termasuk dalam zawil
arham adalah:
76
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, cet. ke-1, (Bogor: Kencana,2003), h.
149.
77
Lihat Athoillah, Fiqh Waris, "Metode Pembagian Waris Praktis", (Bandung: Yrama
Widya, 2013), h .116.
44
ini mendapat warisan atau tidak. Dalam hal ini Zaid Ibnu Tsabit dan sahabat-
sahabat yang mengikutinya tidak memberikan harta warisan kepada zawil arham.
Dengan pengertian, apabila orang yang meninggal tidak ada meninggalkan ahli
waris dari zawil furud atau ‘ashabah, maka harta warisan yang ditinggalkannya
diserahkan kepada baitul mal. Pendapat ini dipegang pula oleh golongan tabi’in,
dan ulama Dzahiriyah di antaranya Ibnu Hazm. Mereka ini mengemukakan alasan
kecilnya penerimaan para ahli waris bagi golongan zawil furud dan ketentuan
tentang ‘ashabah saja. Sedangkan ketentuan ahli waris zawil arham tidak
dijelaskan sama sekali. Dengan demikian menetapkan adanya hak dan ketentuan
hukum baru yang tidak tercantum dalam nash yang sharih.79 Menurut penulis
zawil arham adalah orang yang mempunyai hubungan kerabat secara mutlak.
Arham adalah jamak dari rahim, rahim bermakna tempat anak di dalam perut ibu.
zawil arham memiliki pengertian golongan kerabat yang tidak termasuk golongan
zawil furud dan ‘ashabah. Tidak diragukan lagi bahwa zawil arham termasuk
didalamnya, walaupun bukan mereka yang disebut secara khusus di dalam ayat
tersebut. Tetapi eksistensi dari ayat itu sudah memberi persepsi bahwa semua
kerabat lebih berhak dari pada orang lain didalam menerima warisan. Oleh sebab
Dalam tergabung lengkapnya ahli waris pada kasus kewarisan, maka akan
timbullah persoalan pengutamaan sesama ahli waris itu. Ada yang perlu
didahulukan untuk mewaris dan adapula yang menempati urutan agak dibelakang.
dengan istilah hijab mahjub.80 Hijab secara bahasa (etimologi) berarti al-man’u
adanya ahli waris lain. Dengan kata lain, hilangnya hak mewarisi seseorang,
karena adanya ahli waris yang lebih utama dari padanya, karena itu haknya
tertutup.81 Adapun ahli waris yang ditutup hak pusakanya karena adanya
Dalam buku Ahmad rafiq disebutkan hijab secara harfiyah berarti satir,
penutup atau penghalang, orang yang menghalangi disebut hajib, dan orang yang
terhalang disebut mahjub. Hijab ada dua, pertama hijab nuqsan yaitu menghalangi
yang berakibat mengurangi bagian ahli waris yang mahjub, seperti suami,
terkurangi menjadi ¼. Kedua hijab hirman yaitu menghalangi secara total. Hak-
hak waris si mahjub tertutup sama sekali dengan adanya ahli waris yang
80
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, cet. ke-8, (Jakara: Sinar Grafika,
2004), h. 85.
81
Moh. Muhibin Abdul Wahid, Hukum kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan Hukum
Positif di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h., 80.
82
ibid, h. 80.
46
bagian ½, tetapi karena bersama anak laki-laki, menjadi tertutup sama sekali. 83
Sementara itu Hazairin memberi defenisi tentang hijab, yaitu semacam sistem
keutamaan yang menentukan siapa yang berhak menyingkirkan orang lain ikut
1. Perbedaan agama yaitu orang Islam tidak mendapat pusaka dari orang
yang kafir, demikian juga sebaliknya. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw:
85
)الكافر المسلم (رواه المسلم
Artinya: “Dari Usamah bin Zaid ra. Bahwasanya Nabi SAW Bersabda:
Seseorang muslim tidak menjadi ahli waris dari orang yang bukan
muslim, dan orang bukan muslim tidak pula menjadi ahli waris dari
Para ulama mazhab sepakat bahwa non muslim tidak bisa mewarisi
muslim, tetapi mereka berbeda pendapat tentang apakah seorang muslim bisa
seorang muslim bisa mewarisi non muslim.86 Akan tetapi menurut Mazhab yang
empat, yaitu Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hambali mengatakan bahwa seorang
83
Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, cet. ke-3, (Yogyakarta : Gama
Media, 2001), h. 71.
84
Abdul Siddiq, Hukum Waris Islam, (Jakarta: Bina Pustaka, 1984), h. 59.
85
Albani, M.Nashiruddin, Mukhtashar Shahih Muslim, Alih bahasa oleh: Elly Lathifah,
cet. ke-1, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), h. 470.
86
Hajar M, Hukum Kewarisan Islam, cet. ke-1, (Pekanbaru: Alaf Riau, 2007), h. 32.
47
muslim tidak bisa mewarisi non muslim. 87 Adapun alasan Imamiyah, Umar, Muaz
dan Mua’wiyah berpendapat seorang muslim bisa mewarisi non muslim adalah
menggunakan qiyas karena adanya dalil sunnah yang kuat yang bertentangan
dengan analaog tersebut.88 Tentang orang murtad, ulama sepakat bahwa semua
harta orang yang diperoleh selama murtad tersebut diserahkan ke negara (baitul
mal). Harta yang didapat sebelum murtad diperselisihkan ulama. Abu Hanifah
berpendapat bahwa harta itu diwariskan kepada ahli warisnya. Bila murtad itu
seorang laki-laki, sejak dinyatakan sebagai murtad, hartanya sudah dapat diwarisi
oleh ahli waris. Akan tetapi bila yang murtad itu seorang perempuan,
hartanya belum boleh diwariskan sebelum perempuan itu mati atau benar-benar
berpendapat bahwa tidak ada perbedaan antara murtad laki-laki dan perempuan.
Maliki, Syafi’i dan Ahmad mengatakan bahwa seluruh harta si murtad disimpan
di kas negara. jika ia mati atau terbunuh dalam peperangan, harta tersebut
berstatus fai’.89
dari si mayyit Perbedaan agama dalam hal ini adalah jika antara ahli waris dan al-
muwarris salah satunya beragama Islam, yang lain bukan Islam. Misalnya, ahli
2. Perbudakan
87
Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, terjemah
oleh : Masykur, Afif Muhammad dan Idrus al-Kaff, (Jakarta: Lentera, 2011), cet. ke-27, h. 541.
88
Hajar M, ibid,
89
Fai’ adalah harta yang diperoleh dari non muslim secara damai untuk kepentingan
umum, seperti dari pajak, dan termasuk juga dari si murtad
48
Dalam hal kewarisan, terjadi dua hal yang bertentangan, yaitu di satu pihak
melepaskan hak milik kebendaan, dan dilain pihak menerima hak milik kebendaan
oleh karena itu, terhalangnya hamba sahaya dalam hal kewarisan dapat ditinjau
Seorang hamba sahaya tidak dapat mewarisi harta peninggalan ahli warisnya,
bila:
menjadi kesepakatan para ulama bahwa mewariskan kepaa orang asing itu
Ali Ahmad al-Jurjawi mengatakan bahwa budak itu tidak dapat mewarisi
harta peninggalan tuannya, bila ia telah meninggal. Ini disebabkan status budak itu
sendiri adalah sebagai harta milik bagi tuannya. Oleh karena itu, seorang budak
yang fungsinya sebagai harta milik tuannya tidak boleh mewarisi harta milik
seandainya ia mati meninggalkan harta kepada ahli warisnya sendiri. Ini karena ia
juga, seorang budak yang sifat kebudakannya tidak penuh, seperti budak
mukhattab. Menurut imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan ulama Jumhur,
mereka tidak dapat mewarisi harta peninggalan keluarganya dan tidak dapat
(humanisme) dan rahmat yang menjadi ide dasar ajaran Islam. Ini ditunjukkan
memerdekakan budak merupakan salah satu alternatif yang harus ditempuh. Ini
3. Pembunuhan
"ليس للقات ل من الم يراث.م. ق ال رس ول اهلل ص: عن عم ر بن ش عيب عن ابي ه عن ج ده ق ال
93
)شيء"(رواه النساء
91
Dian Khairul Umam, Fikih Mawaris, cet. ke-3, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), h. 31-
32.
92
Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia , h. 38.
93
Al-Imam Abi Abd Al-Rahman Ahmad bin Syu‟aib Al-Nasa‟i, Kitab Al-Sunan Al-
Kubra, juz 4, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1991), h. 79. Lihat juga Al-Imam Al- Alamah
50
Artinya: Artinya: Dari Umar ibn Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya berkata:
oleh agama. Namun dalam beberapa keadaan tertentu pembunuhan itu bukan
suatu kejahatan yang membuat pelakunya berdosa. Dalam hal ini pembunuhan itu
Pembunuhan secara hak dan tidak melawan hukum. Yaitu pembunuhan yang
Pembunuhan secara tidak hak dan melawan hukum, yaitu pembunuhan yang
dilarang oleh agama dan terhadap pelakunya dikenakan sanksi dunia dan
atau di akhirat.94
yang lemah menyatakan behwa pembunuhan secara hak tidak menjadi halangan
hak kewarisan. Ulama Hambali mengatakan bahwa pembunuhan tidak secara hak
Muhammad bin Ali bin Muhammad Al-Syaukani, Nailul Authar, jilid 4, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-
Arabi, 2000), h. 142.
94
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, h. 193.
95
Lihat, Khatib, Syarbayniy, Mughni al-Muhtaj, (Mekkah: Dar al-Katib al-Arabiy, t.th).
24.
51
hak dan tidak melawan hukum tidak mengakibatkan terhalang menjadi ahli waris.
menghalangi hak kewarisan, seperti pembunuhan yang dilakukan oleh anak yang
dilakukan oleh orang yang tidak cakap. Sedangkan pembunuhan yang tidak
96
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, h. 193.
97
Ali Abri, Pengantar Studi Mawaris, cet. ke-1, ( Pekanbaru: Suska Press, 2006), h. 12-
13.
98
Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia , h. 33.
52
a. Pembunuhan sengaja
b. Pembunuhan mirip sengaja.
c. Pembunuhan tidak langsung yang disengaja.
Jadi menurut penulis pembunuhan yang dilakukan oleh seseorang itu dapat
Akibatnya, akan merajalelalah kekacauan dan tidak akan ada ketenangan dan
pidana yang sangat berat, dan menurut akal, pembunuhan tidaklah patut
dibiarkan.
4. Berlainan negara
Pengertian negara adalah suatu wilayah yang ditempati suatu bangsa yang
kedaulatan tersendiri dan tidak ada ikatan kekuasaan dengan negara asing.
Maka dalam konteks ini, negara bagian tidak dapat dikatakan sebagai negara yang
berdiri sendiri, karena kekuasaan penuh berada pada negara federal. Adapun
berbeda negara yang menjadi penghalang mewarisi adalah apabila antara ahli
waris dan muwarisnya berdomisili di dua negara yang berbeda kriterianya seperti
53
tersebut di atas. Apabila dua negara sama- sama negara muslim, menurut ulama,
antara ahli waris dan muwarisnya non-muslim, tidak berhalangan bagi mereka
untuk saling mewarisi demikian juga jika antara dua warga negara sama-sama
muslim.99 Jadi menurut penulis yang menjadi penghalang berlainan negara adalah
jika negara tersebut bukan negara Islam, namun menurut penulis jika sesama
pewaris dan yang mewarisi masih sama-sama muslim masih boleh untuk saling
mewarisi.
Menurut penulis, bahwa orang yang terhijab tidak berhak menerima harta
warisan, sama halnya dengan orang yang terhalang. Bedanya, orang yang
menentukan orang tersebut tidak bisa menerima warisan sama sekali. Sedangkan
orang yang terhijab disebabkan karena adanya kerabat lain yang lebih utama.
Seseorang yang terhijab ditanggap tidak ada, sehingga tidak berpengaruh kepada
ahli waris lain. Namun ahli waris yang terhijab tetap berstatus sebagai ahali waris.
Sedangkan ahli waris yang terhalang tidak dapat di sebut ahli waris.
Hijab terdiri dari dua macam, yaitu hijab hirman dan hijab nuqsan:
Hijab hirman, yaitu tertutupnya (hilangnya) hak seseorang ahli waris untuk
seluruhnya, karena adanya ahli waris yang lebih utama dari padanya,
seperti saudara dari orang yang meninggal dunia tertutup (hilang) haknya
jika yang meninggal dunia itu meninggal anak atau cucu. Demikian pula
cucu jika ada anak laki-laki yang meninggal dunia. Dari seluruh kerabat
yang tidak dapat tertutup (hijab) haknya (kecuali jika ada penghalang).
99
Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia , h. 39.
54
Hijab Nuqsan, yaitu bergesernya hak seseorang ahli waris dari bagian
yang besar menjadi bagian yang kecil, karena adanya ahli waris lain yang
mempengaruhinya.
yang dilakukan seorang pria dan wanita di luar ikatan pernikahan yang sah.
Sedangkan menurut Al-Jurjani, bisa dikatakan zina apabila telah memenuhi dua
unsur yaitu:
dua macam pengertian zina, yaitu: menurut etimologi dan terminologi. 100 Zina
perkawinan, yang dilakukan oleh orang-orang yang berada dalam status bersuami
KUH Perdata adalah: “Pada waktu yang sama, seorang lelaki hanya boleh terikat
perkawinan dengan satu orang perempuan saja dan seorang perempuan hanya
ialah perpaduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa
Anak zina merupakan anak dalam kelompok atau golongan yang paling
dengan anak sumbang tidak dapat diakui oleh orang tua biologisnya, sehingga
secara hukum (yuridis) seorang anak yang dilahirkan dari perzinahan tidak akan
memiliki ayah maupun ibu, karena itu seorang anak zina tidak akan memiliki hak
ditentukan dalam Pasal 867 ayat 2 KUHPerdata, yaitu sebatas hak untuk
biologisnya setelah memperhitungkan jumlah dan keadaan para ahli waris yang
Dalam undang undang no 1 tahun 1974 juga disebutkan bahwa anak zina
ialah anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, sedangkan perkawinan yang
101
Kitab undang undang hukum perdata pasal 27 ayat 1
102
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Polites, 1996), h. 209.
103
D.Y. Witanto,Hukum Keluarga (Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin), (Jakarta :
Prestasi Pustaka,2012), h. 40
56
1. Apabila orang tua salah satu atau keduanya masih terikat dengan
atau pria lain yang mengakibatkan hamil dan melahirkan anak, maka anak
2. Apabila orang tua anak di luar kawin itu masih sama-sama bujang,
mereka mengadakan hubungan seksual dan hamil serta melahirkan anak, maka
Beda keduanya adalah, anak zina dapat diakui oleh orang tua
biologisnya, sedangkan anak di luar kawin dapat juga di akui orang tua
anak diluar nikah menurut hukum positif mempunyai dua pengertian, yaitu: anak
diluar nikah adalah arti luas dan anak diluar nikah dalam artian yang sempit.105
a. Anak diluar nikah dalam artian luas adalah anak yang lahir diluar pernikahan
dibenihkan seorang pria sedangkan perempuan atau pria itu ada dalam
Anak sumbang adalah anak yang lahir dari seorang ibu yang dilarang
b. Anak luar nikah dalam arti sempit adalah : anak yang lahir diluar perkawinan
yang sah.
Anak zina merupakan jenis anak luar kawin dalam pengertian luas (anak
tidak sah). Timbulnya istilah anak zina dalam pengertian hukum perdata barat
dipengaruhi oleh asas monogamy secara mutlak yang dianut oleh KUHPerdata,
dimana pada waktu yang sama seorang laki-laki hanya boleh terikat perkawinan
dengan seorang perempuan dan seorang perempuan hanya boleh terikat dengan
seorang laki-laki saja, prinsip tersebut berbeda dengan prinsip poligami terbatas
yang dianut oleh hukum Islam dimana dalam suatu keadaan tertentu di waktu
yang sama seorang laki-laki boleh untuk terikat dengan satu, dua, tiga dan empat
orang perempuan. Jadi zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh seorang
laki-laki atau perempuan yang sedang terikat perkawinan yang sah dengan
seorang perempun atau laki-laki yang bukan isteri atau suaminya, sehingga hanya
pelaku yang sedang terikat perkawinan yang sah saja yang dapat dijerat pasal 284
KUHP. Jika salah satu dari pelaku zina tidak sedang terikat perkawinan yang sah
maka dia tidak bisa divonis melakukan perbuatan zina, tetapi divonis telah
turut serta melakukan zina dan dibebani tanggung jawab yang sama dengan
Masih dalam pandangan hukum positif, yang dimaksud dengan anak zina
adalah anak yang dilahirkan tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah dan tercatat
dalam lembaran negara, seperti bunyi undang undang no 1 tahun 1974, bahwa
anak zina ialah anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, sedangkan
106
Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2005), h. 57.
58
hukum positif, anak zina adalah anak yang lahir dari hubungan perkawinan tidak
Dalam kehidupan keluarga setiap anak yang lahir dari ikatan perkawinan,
diterima sebagai pembawa bahagia. Tetapi adakalanya anak bukan terlahir dari
kedua orang tua yang sama, kedudukan anak demikian pada umumnya tidak sama
dimata kedua orang tua, baik dalam curahan kasih sayang juga kelak dengan
pembagian harta waris. Masih tentang kedudukan anak. Akan tetapi kemungkinan
si anak lahir dari hubungan diluar pernikahanan. Anak seperti itu sering disebut
“anak haram jaddah”. Sebutan yang tidak dikenal dalam masyarakat yang beriman
kedudukan seorang anak di atur dalam Bab IX tentang kedudukan anak Pasal 42-
44.
Pasal 42 ayat 1: “Anak yang sah adalah anak yang di lahirkan dalam atau sebagai
akibat dari perkawinan yang sah”.
107
Mulyana W. Kusumah (penyunting), Hukum dan Hak-Hak Anak, (Jakarta : Rajawali,
1986), h. 5.
59
kedudukan hubungan perdata antara anak dan bapak atau ibunya. Dengan
demikian pada dasarnya anak luar nikah dengan ayah biologisnya tidak terdapat
suatu hubungan hukum. Hubungan hukum itu baru akan terjadi apabila ayah
tersebut memberikan pengakuan bahwa anak luar nikah itu adalah anaknya. Untuk
selanjutnya, status anak luar nikah yang mendapatkan pengakuan ini menjadi anak
luar nikah yang diakui. Namun mengenai hubungan hukum anak luar nikah
dengan orang tuanya ini telah diatur lebih lanjut melalui Pasal 43 ayat 1 UU
nomor 1 Tahun 1974. Pasal tersebut menyatakan “bahwa seorang anak yang
dan keluarga ibunya”. Dengan demikian seorang anak luar nikah secara otomatis
mempunyai hubungan hukum dengan ibu dan keluarga ibunya tanpa harus
280 KUHPerdata.
anak luar nikah dengan ayahnya. Hal inilah yang merupakan salah satu hal yang
membedakan kedudukan hukum atara anak luar nikah dan anak sah. Tidak seperti
anak luar nikah, anak sah mempunyai hubungan hukum dengan kedua orang
tuanya tanpa perlu adanaya pengakuan terlebih dahulu. Dalam Pasal 43 ayat 2
menyebutkan bahwa, kedudukan anak dalam ayat 1 selanjutnya akan diatur dalam
peraturan pemerintah tersendiri, namun sampai dengan saat ini pemerintah belum
60
tentang Perkawinan tidak mengatur tentang kedudukan anak luar kawin, sehingga
pengaturan yang jelas dan terperinci. Sebagai akibat dari hubungan perdata
dengan pihak ibu dan keluarga ibunya, anak tersebut hanya akan mendapatkan
hak waris dari ibu dan keluarga ibunya saja, termasuk segala bentuk pemeliharaan
sampai anak itu dewasa hanya menjadi tanggung jawab ibunya. Sekilas saja
untuk membenihkan anak tersebut dalam rahim ibunya pasti ada peran dari pihak
laki-laki sebagai ayah biologisnya. Lalu karena si ayah tidak mengakui atau tidak
terputus dengan si ayah, padahal hubungan hukum tersebut sangat diperlukan oleh
si anak untuk bisa menuntut hak pemeliharaan yang wajar seperti halnya anak-
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki
108
D.Y. Witanto,Hukum Keluarga (Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin), (Jakarta :
Prestasi Pustaka,2012), h. 145.
61
kedudukan anak zina dalam Hukum Positif mempunyai kedudukan yang sama
dengan anak hasil dari perkawinan yang sah, selagi ayah biologisnya mengakui
bahwa anak itu adalah anak hasil hubungan dengan ibunya dan dapat dibuktikan
dengan alat bukti yang menurut hukum mempunyai hubungan darah dengan ayah
biologisnya.
Anak merupakan Anugerah Tuhan yang harus dijaga oleh orang tuanya,
setiap anak yang lahir mempunyai hak menjadi kewajiban orang tua untuk
memberikannya. Dalam Hukum Positif yang di atur dalam UU No. 1 Tahun 1974
tentang perkawinan, di bedakan adanya anak yang sah dan anak yang tidak sah,
memperoleh haknya dari orang tuanya, demikian pula kewajiban orang tua
terhadap anaknya. Setiap anak yang lahir ke dunia ini baik itu yang di kenal
sebagai anak sah, anak luar kawin, anak zina maupun anak sumbang pada
dasarnya mempunyai hak dan kewajiban sebagai subyek hukum serta mempunyai
kedudukan yang sama dimata hukum. Tentang kewajiban orang tua seperti diatur
kewajiban orang tua yang dimaksud berlaku sampai anak itu mandiri atau dapat
berdiri sendiri.
Pada prinsipnya hak-hak dan kewajiban anak seperti yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Bab III Pasal
4 s/d 19 serta diikuti kewajiban serta tanggung jawab keluarga dan orang tuda
62
Tahun 2002 disebutkan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab
untuk :109
timbul antara seorang anak dengan orang tuanya. Hubungan hukum yang
dimaksud disini akan membawa akibat-akibat hukum yaitu hak dan kewajiban
Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam110, dinyatakan bahwa anak yang lahir di luar
ibunya saja. Hal demikian secara hukum anak tersebut sama sekali “tidak dapat
yang melahirkannya itu. Tetapi lain cerita setelah adanya Putusan Mahkamah
ayah biologisnya, asal bisa dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan mendapat
pengakuan dari lelaki yang menghamili ibunya. Begitu juga nafkah , ayah
mengurus harta kekayaan anak itu. Lebih lanjut ditentukan dalam Pasal 308
jawab baik atas kepemilikan harta kekayaan tadi maupun atas segala hasil dari
adalah ibu si anak tersebut karena anak zina tersebut dinisbahkan kepada
ibunya.
b. Hak Perwalian
Ketentuan wali nikah yang ditentukan dalam Pasal 19 Kompilasi Hukum Islam
adalah:
- Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus di penuhi bagi
calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahinya.
- Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi
syarat hukum Islam yakni muslim, akil dan baligh.
- Ketentuanhukum yang sama sebagaimana ketentuan hukum terhadap anak
luar nikah tersebut, sama halnya dengan status hukum semua anak yang
lahir di luar pernikahan yang sah sebagaimana disebutkan diatas.
Menurut Pasal 23 Kompilasi Hukum Islam wali nikah baru dapat bertindak
sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak mungkin menghindarkannya atau
tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan. Dalam hal
wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali
c. Hak waris
Pada dasarnya, mereka yang berhak mewarisi adalah mereka yang mempunyai
hubungan dengan pewaris. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 832
KUHPerdata yang menyatakan bahwa yang berhak untuk menjadi ahli waris
ialah para keluarga sedarah, baik sah maupun luar nikah dan si suami atau istri
64
yang hidup terlama.111 Jadi pada asasnya menurut Pasal tersebut, untuk dapat
Hubungan darah ini dapat dibagi menjadi hubungan darah yang sah dan
hubungan darah yang tidak sah atau hubungan darah luar nikah. Hubungan
darah yang sah adalah hubungan darah yang ditimbulkan sebagai akibat
pengakuan anak secara sah.112 Pasal 186 Kompilasi Hukum Islam bahwa anak
ibunya dan keluarga dari pihak ibunya. Tetapi setelah adanya putusan
Mahkamah Konstitusi maka anak zina mendapat warisan dari pihak lelaki yang
pengakuan.
a. Pengertian warisan
dan kewajiban serta harta kekayaan seorang yang telah meninggal dunia kepada
orang yang masih hidup.113 Waris adalah hak waris, sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 834 KUH Perdata.114 Waris juga diartikan sebagai orang yang berhak
menerima harta pusaka dari orang yang telah meningggal. 115 Dalam KHI waris
disebutkan dengan hukum waris. Pasal 171 KHI Inpres Nomor 1 Tahun 1991
111
KUHPerdata, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h. 221.
112
J.Satrio, Hukum Waris, (bandung : Penerbit Alumni, 1992), h. 29.
113
Muslih Maruzi, Pokok-Pokok Ilmu Waris, Cet, ke- 1, (Semarang: Pustaka Rizki
Putra. ,1997), h. 6.
114
Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), h. 574.
115
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 1556.
65
siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.116
hukum yang mengatur nasib kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia dan
akan sampai pada empat masalah pokok yang dimana yang satu dengan yang yang
timbul pertanyaan bagaimana hubungan yang meninggal dunia itu dengan yang di
meninggal dengan harta yang ditinggalkan, siapa yang mengurus atau mewarisi,
dan bagaimana caranya hubungan yang meninggal dunia dengan harta benda yang
harta benda (kekayaan) dari orang yang meninggal dunia dengan orang-orang
116
Kompilasi Hukum Islam, Departemen Agama RI, (Jakarta: 2007), h. 114.
117
Tamakiran S, Asas-Asas Hukum Waris Menurut Tiga Sistim Hukum, (Bandung:
Pionir Jaya,2000), h. 24.
118
M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Kitab
Undang- Undang Hukum Perdata (Edisi Revisi), (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h. 82.
66
b. Dasar Hukum
Dasar hukum waris dalam KUHPerdata diatur dalam Buku II, bab 12 dan
16, terutama Pasal 528 tentang hak mewarisi diidentikan dengan hak kebaendaan.
Selanjutnya ketentuan Pasal 584, menyangkut hak waris sebagai salah satu cara
KUHPerdata ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan ahli hukum, karena
mereka berpendapat bahwa dalam hukum kewarisan tidak hanya tampak sebagai
hukum benda saja, tetapi terkait beberapa aspek lainnya, misalnya hukum
perorangan dan hukum kekeluargaan. Dalam Pasal 831 bila beberapa orang, yang
antara seorang dengan yang lainnya ada hubungan pewarisan, meninggal karena
suatu kecelakaan yang sama, atau meninggal pada hari yang sama, tanpa diketahui
siapa yang meninggal lebih dahulu, maka mereka dianggap meninggal pada saat
yang sama, dan terjadi peralihan warisan seorang kepada yang lainnya.119
Sedangkan dasar hukum warisan untuk anak zina tertuang dalam Pasal 43
dan keluarga ibunya”, dan Pasal 186 Kompilasi Hukum Islam “Anak yang lahir di
luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan
keluarga dari pihak ibunya”. penulis mencantumkan pasal tersebut sebagai dasar
hukum warisan anak zina, karena anak zina tidak mendapatkan warisan dari pihak
ayah biologisnya, arti hubungan perdata tersebut adalah memiliki segala hak-hak
yang diperoleh anak pada umumnya, hanya saja anak zina memperoleh dari pihak
ibunya saja.
119
Kitab undang undang hukum perdata pasal 831
67
Dalam KHI pasal 171 disebutkan, Pewaris adalah orang yang pada saat
beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan, sedangkan ahli
waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan
darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak
Indonesia, tertuang dalam Buku II KHI. Hak waris anak secara eksplisit
dinyatakan tegas pada Pasal 171 huruf c yaitu: Ahli waris adalah orang yang
perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum
untuk menjadi ahli waris. Lebih jelasnya Pasal 174 Kompilasi Hukum Islam
menetapkan:121
2. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya:
anak, ayah, ibu, janda atau duda.
Menurut Pasal 832 KUHPerdata, yang berhak menjadi ahli waris ialah
keluarga sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun yang di luar
perkawinan, dan suami atau isteri yang hidup terlama, menurut peraturan-
peraturan berikut ini. Bila keluarga sedarah dan suami atau isteri yang hidup
120
Kompilasi hukum islam pasal 171
121
Ibid,.
68
terlama tidak ada, maka semua harta peninggalan menjadi milik negara, yang
wajib melunasi utang-utang orang yang meninggal tersebut, sejauh harga harta
beragama selain Islam meninggal dunia, maka yang digunakan adalah sistem
Hukum Perdata (“KUHPerdata”). Sedangkan dalam KHI Pasal 172 “ahli waris
dipandang beragama Islam apabila diketahui dari Kartu identitas atau pengakuan
atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang
tertuang dalam Pasal 173 KHI menyebutkan bahwa “seorang terhalang menjadi
ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum
yang sangat keji dan sangat dilarang dalam agama bedasarkan larangan Allah Swt:
itu adalah faahisah (perbuatan yang keji) dan seburuk-buruk jalan (yang
Bahkan karena pengharaman yang sangat kuat, para pelaku zina dalam
hukum islam diancam dengan hukuman rajam, cambuk sebanyak 100 kali serta
diasingkan selama satu tahun, hal ini juga bedasarkan perintah Allah Swt:
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-
tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kamu
kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu
beriman kepada Allah, dan hari akherat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman
mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.” (Q.S An-
Nur: 2).
perzinahan yang terjadi dan semakin meningkat pada kalangan anak- anak muda,
bahkan juga orang yang sudah menikah sangatlah meresahkan. Karena hal itu
anak zina kepada ayah biologisnya, menurut penulis adalah mendukung perbuatan
zina. Penulis sangat setuju bilamana anak zina dilindungi oleh negara supaya anak
tersebut tidak dikucilkan dalam kehidupan sehari hari, tetapi penulis tidak setuju
bilamana anak zina ini diberikan warisan dan dinasabkan kepada ayah biologisnya
secara syar’i. Jika dinasabkan secara syar’i, maka akan merusak tujuan syari’at
jika dilihat disatu sisi, namun jika dilihat dari sisi lain ini juga mendukung
ada lima: yaitu memelihara jiwa, agama, akal, nasab, dan harta. Menurut penulis,
pemberian warisan kepada anak zina hanya akan menimbulkan berbagai masalah
yang lain, seolah tidak ada kerugian yang didapatkan setelah melakukan
perzinahan, karena efek dari zina tersebut telah dilindungi sebagaimana mestinya.
Memang setiap orang tidak memikul dosa orang lain, dan setiap anak yang lahir
itu dalam keadaan suci, dan jauh hari islam memberikan solusi terhadap
permasalahan ini mengenai anak zina dinasabkan kepada ibunya dan keluarga
ibunya dan mendapatkan warisan dari pihak ibunya saja sebagaimana tersebut
ح دثنا قتيب ة اخبرن ا ابن لهيع ه عن عم ر وبن ش عيب عن ابي ه عن ج ده ان الن بي ص لى اهلل
عليه وسلم قال ايما رجل عا هر بحرة او امه فلو لد ولد زنا ال يرث واليورث) رواه
123
)الترمذي
hukuman bagi pelaku zina, supaya berkurangnya zina, juga undang-Undang harus
menganggap siapa saja yang melakukan hubungan diluar perkawinan yang sah
baik dia sudah beristeri/suami atau belum beristri/suami adalah melakukan tindak
keturunan, jiwa, agama, disebabkan tidak adanya zina, maka tidak ada anak yang
lahir dengan utus nasab/keturunan, terganggu kejiwaan karena malu hidup sebagai
anak yang lahir dari perbuatan orang tuanya dan menjaga keutuhan hukum Allah