Anda di halaman 1dari 52

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Anak Zina dalam Hukum Islam

1. Pengertian Anak Zina

Anak sebagai amanat Allah Swt. Perlu dipelihara, dibimbing dan

diarahkan kejalan yang baik, khususnya bagi orang tua, dan tidak boleh

mengabaikannya, menelantarkan hak-hak nya, karena termasuk kedalam salah

satu kewajiban orang tua terhadap anaknya yang telah digariskan oleh agama

Islam.23 Dalam kamus umum bahasa indonesia anak secara etimologis diartikan

dengan manusia yang masih kecil ataupun manusia yang belum dewasa. 24

Menurut Kosnan “Anak-anak adalah manusia muda dalam umur muda dalam jiwa

dan perjalanan hidupnya karena mudah terpengaruh untuk keadaan sekitarnya”. 25

Pengertian anak menunjukkan adanya hubungan antara seorang laki-laki dan

perempuan, dimana dengan prosesnya pembuahan dari sel sperma dan sel telur

bertemu sehingga menjadi seorang anak yang terlahir dari rahim seorang

perempuan yang disebut dengan ibu sehingga anak tersebut adalah anak kedua

orang tuanya tersebut.26 Jadi anak adalah sebutan bagi keturunan yang lahir dari

pasangan suami-isteri atau yang lahir bukan dari pasangan suami isteri.

Zina secara harfiah berarti fahishah, yaitu perbuatan keji. Sedangkan zina

dalam pengertian istilah adalah hubungan kelamin antara seorang lelaki dengan
23
Husain, Abdul Razaq, Islam wa Tiflu, Alih Bahasa Azwir Butun, Hak-hak Anak dalam
Islam, (Jakarta: Fika Hati Aniska, 1992), h. 53.
24
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Balai Pustaka : Amirko,
1984), h. 25.
25
R.A. Koesnan, Susunan Pidana dalam Negara Sosialis Indonesia, (Bandung :Sumur,
2005) , h. 113.
26
Prodjodikoro, Wirjono., Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Sumur Bandung,
1960), h. 72.

20
21

seorang perempuan yang satu sama lain tidak terikat dalam hubungan perkawinan

yang sah.27 Dalam ensiklopedi Islam cyril glasse, zina adalah hubungan seksual di

luar nikah yang merupakan satu diantara dosa besar dan sebuah kejahatan. 28 Ibnu

Rusyd memberikan defenisi zina sebagai persetubuan yang dilakukan bukan

karena nikah sah dan bukan karena pemilikan hamba sahaya. 29 Menurut Wahbah

Al-Zuhaili pengertian zina dalam bahasa dan hukum adalah sama, yaitu

persetubuhan seorang laki-laki dengan seorang perempuan pada faraj ( vagina )

tanpa kepemilikan maupun nikah subhat.30 Para fuqaha (ahli hukum Islam)

sepakat mengartikan zina, yaitu melakukan hubungan seksual dalam arti

memasukkan zakar (kelamin pria) ke dalam kelamin wanita yang dinyatakan

haram, bukan karena syubhat, dan atas dasar syahwat. 31 Beberapa pendapat ulama

tentang zina diantaranya32:

a. Pendapat mazhab Maliki

Mazhab Maliki sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir Audah,

memberikan definisi sebagai berikut: “Zina adalah persetubuan yang

dilakukan oleh orang mukalaf terhadap farji manusia (wanita) yang bukan

miliknya secara disepakati dengan kesengajaan.”

b. Pendapat mazhab Hanafi

27
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 37.
28
Ensiklopedi Islam (Ringkas) Cyril Glasse, cet, ke-3, penerjemah: Ghufron A. Mas’adi,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 450.
29
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Bandung: Pustaka Setia, 2000),
h. 69.
30
Wabah Al-Zuhaili, Al-Fiqih Al-Islami Wa Adlatuhu, , jilid VI, Cet 3, (Damaskus: Daar
Fikr,989) 432
31
Lihat, Abdurrahmad Doi, Tindak Pidana Syariat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992),
h, 31.
32
Lihat, Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 6-
7.
22

“Zina adalah nama bagi persetubuan yang haram dalam qubul (kemaluan)

seorang perempuan yang masih hidup dalam keadaan ikhtiar (tanpa

paksaan) di dalam negeri yang adil yang dilakukan oleh orang-orang

kepadanya berlaku hukum Islam, dan wanita tersebut bukan miliknya dan

tidak ada syubhat dalam miliknya.”

c. Pendapat mazhab Syafii

Mazhab Syafi’i sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir Audah,

memberikan definisi sebagai berikut. “Zina adalah memasukkan zakar ke

dalam farji yang diharamkan karena zatnya tanpa ada syubhat dan menurut

tabi’atnya menimbulkan syahwat.”

d. Pendapat mazhab Hambali

“Zina adalah melakukan perbuatan keji (persetubuan), baik terhadap qubul

(farji) maupun dubur.”

Dari beberapa pengertian ‘anak’ dan ‘zina’ di atas, dapat disimpulkan

bahwa anak zina adalah anak yang dilahirkan tanpa adanya ikatan perkawinan

yang sah menurut agama. Fathur Rahman dalam bukunya ilmu waris berpendapat

bahwa anak zina ialah anak yang lahir diluar perkawinan yang sah menurut

syari’at.33 Adapun perkawinan yang sah dan diakui di Indonesia ialah perkawinan

yang diakui oleh masing-masing agamanya dan kepercayaannya dan dicatat

menurut peraturan yang berlaku. Menurut Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah,

“anak zina adalah anak yang dilahirkan dari hasil hubungan badan di luar nikah

yang sah menurut syari’at Islam”.34 Hampir serupa dengan pendapat Muhammad

33
Fathur Rahman, Ilmu Waris, cet. ke-3, (Bandung: al-Ma’arif, 1994), h. 223.
34
Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Al-Jami’ fii Fiqhi an-Nisaa’, penerjemah: M.
Abdul Ghoffar, cet. ke- 25, (Jakarta: Pustaka al- Kautsar, 2007), h. 545.
23

Hasbi ash-Shiddieqy, “anak zina adalah anak yang dikandung oleh ibunya dari

seorang laki-laki yang menggaulinya tanpa nikah yang dibenarkan oleh syara”.35

Dilihat dari pengertian di atas, maka secara umum anak zina berarti anak

yang lahir dari hubungan suami istri tanpa adanya ikatan pernikahan yang sah

menurut hukum Islam. Dengan begitu, seorang anak dapat dikatakan anak zina

apabila:

a. Anak tersebut dilahirkan dari rahim seorang perempuan yang telah

melakukan hubungan seksual dengan seorang laki-laki. Sehingga

apabila seorang perempuan yang belum pernah melakukan hubungan

seksual dengan seorang laki-laki, maka anak yang dilahirkannya tidak

dapat disebut sebagai anak zina, meskipun anak itu dinasabkan kepada

ibunya.

b. Perempuan dan laki-laki yang melakukan hubungan badan tersebut

belum menikah atau sudah menikah, tetapi melakukan hubungan badan

dengan laki-laki atau perempuan lain dan melahirkan anak.

2. Kedudukan Anak Zina

Kedudukan anak menurut hukum Islam, pada prinsipnya hanya mengakui

seorang anak yang lahir dari suatu perkawinan yang sah dan dianggap sah.

Dengan demikian, anak yang tidak sah dalam hubungan keluarga, kedudukannya

tidak sama dengan anak yang sah dan tidak dapat menuntut persamaan hak seperti

kedudukan anak yang sah pada laki-laki yang menjadi suami ibunya, sekalipun

35
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqi, Fiqhul Mawarits, cet. ke-1, (Jakarta: Bulan Bintang,
1973), h. 282.
24

laki-laki tersebut yang menyebabkan anak tidak sah itu lahir. Pandangan Islam

terhadap anak dapat dilihat dari hadis Nabi Saw yang berbunyi: 36

‫ال َأ ْخَب َرنِي َأبُ و َس لَ َمةَ بْ ُن َع ْب ِد‬َ َ‫ي ق‬ ِّ ‫الز ْه ِر‬


ُّ ‫س َع ْن‬ ِ َّ
ُ ُ‫َح َّد َثنَا َع ْب َدا ُن َأ ْخَب َرنَ ا َع ْب ُد الله َأ ْخَب َرنَ ا يُ ون‬
‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم َم ا ِم ْن‬ ِ ُ ‫ال رس‬
َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ َ َ‫ال ق‬َ َ‫ض َي اللَّهُ َع ْن هُ ق‬ ِ ‫َأن َأب ا ُهر ْي رةَ ر‬
َ َ َ َ َّ ‫ال َّر ْح َم ِن‬
ِِ ِِ ِّ َ‫ُود ِإاَّل يولَ ُد َعلَى ال ِْفطْر ِة فََأبواهُ يه ِّو َدانِِه َأو ين‬ ٍ ‫مو ل‬
َ ‫يمةُ بَ ِه‬
ً‫يمة‬ َ ‫ص َرانه َْأو يُ َم ِّج َسانه َك َما ُت ْنتَ ُج الْبَ ِه‬ ُ ْ َُ ََ َ ُ َْ
‫يل‬ ِ َِّ ِ َّ ‫س و َن فِ َيه ا ِمن ج ْد َعاء ثُ َّم ي ُق ول فِط‬ ُّ ‫اء َه ْل تُ ِح‬
َ ‫َّاس َعلَْي َه ا اَل َت ْب د‬َ ‫ْرةَ الله التي فَطَ َر الن‬ َ َ َ َ ْ َ ‫َج ْم َع‬
)‫(رواه البخارى ومسلم‬ ‫ِّين الْ َقيِّ ُم‬ ُ ‫ك الد‬ َ ِ‫لِ َخل ِْق اللَّ ِه َذل‬
Artinya: Telah menceritakan kepada kami 'Abdan, Telah mengabarkan kepada
kami Abdullah, Telah mengabarkan kepada kami Yunus dari Az Zuhri
dia berkata: Telah mengabarkan kepadaku Abu Salamah bin
Abdurrahman bahwa Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata:
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Seorang bayi tidak
dilahirkan (ke dunia ini) melainkan ia berada dalam kesucian (fitrah).
Kemudian kedua orang tuanyalah yang akan membuatnya menjadi
Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi sebagaimana hewan yang dilahirkan
dalam keadaan selamat tanpa cacat. Maka, apakah kalian merasakan
adanya cacat? kemudian beliau membaca firman Allah yang berbunyi:
Tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrahnya itu, tidak ada perubahan terhadap ciptaan Allah.” (HR.
Bukhari dan Muslim).
Islam tidak mengenal adanya dosa turunan, bahwa jika orang tua berdosa,

maka dosanya akan menurun kepada anak dan keturunannya, sesuai dengan bunyi

hadis di atas bahwasanya setiap anak yang lahir kemuka bumi ini dalam keaadaan

suci, hanya orang tuanya yang akan mengarahkan kemana selanjutnya anak itu

berlabuh didalam dunia ini. Dalam hukum Islam adanya tenggang waktu

sekurang-kurangnya enam bulan sejak saat pernikahan kedua orang tua sampai

lahirnya anak, juga tenggang waktu maksimal harus ada antara putusnya

pernikahan atau putusnya iddah dengan lahirnya anak.37 Tenggang waktu tersebut

sangat penting untuk menghilangkan keragu-raguan demi kepastian hukum.

36
Abi Al-Husain Muslim Ibn Al-Hajjaj Al-Qusairi An-Naisaburi, Shahih Muslim,
( Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 1995), h. 1066.
37
Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Terjemah: Ahmad Abu Al Majdi, jilid 2, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2011), h. 355.
25

Adanya tenggang waktu tersebut dapat mempermudah untuk mengetahui sah atau

tidaknya anak yang dilahirkan. Seorang anak tidak dapat dinasabkan kepada

bapaknya sebagai anak sah, jika anak tersebut dilahirkan kurang dari waktu enam

bulan setelah akad nikah, sebab tenggang waktu yang paling pendek yang harus

ada antara kelahiran sang anak dengan pernikahan itu adalah enam bulan. Hal ini

berarti jika ada anak yang dilahirkan sebelum usia pernikahan orang tuanya

mencapai enam bulan, maka anak itu tidak dapat dinasabkan kepada bapaknya

sebagai anak sah.38 Masih dalam hukum Islam, status kedudukan anak zina tidak

dinasabkan kepada laki-laki yang menzinai ibu anak tersebut, meskipun diketahui

bahwa secara hukum alam anak zina tersebut adalah anaknya, yang berarti Allah

Swt menakdirkan terciptanya anak zina tersebut sebagai hasil percampuran air

mani laki-laki tersebut dengan wanita yang dizinainya. Akan tetapi secara hukum

syar’i, anak itu bukan anaknya, karena lahirnya anak tersebut dengan sebab yang

tidak dibenarkan oleh syari’at, yaitu perzinaan.

Berdasarkan hal tersebut, anak yang lahir dari hasil perzinaan tidak

dinasabkan kepada laki-laki yang menyebabkan ia lahir, maka seluruh hukum

antara keduanya pun tidak berlaku.39 Menurut analisa penulis, akibat hukum

terjadi karena adanya hubungan dalam nasab, jika terputusnya nasab, maka segala

akibat hukum bisa gugur. Adapun hukum yang tidak berlaku antara keduanya

yaitu:

1. Antara laki-laki penzina dan anak zinanya, keduanya tidak saling

mewarisi.

2. Laki-laki tersebut tidak wajib memberi nafkah kepada anak zinanya.


38
Fathur Rahman, Ilmu Waris, cet. ke-3, (Bandung: al-Ma’arif, 1994), h. 221.
39
D.Y. Witanto, Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin, (Jakarta :
Prestasi Pustaka, 2012), h. 88.
26

3. Laki-laki tersebut bukan mahram bagi anak zinanya

4. Laki-laki tersebut tidak bisa menjadi wali anak itu dalam pernikahan

(jika dia wanita).

Sebagaimana penulis sebutkan di atas, bahwa anak yang lahir ke muka

bumi ini adalah dalam keadaan suci, maka anak zina adalah suci, namun

kedudukan anak zina dalam Islam dianggap cacat karena tidak dinasabkan kepada

lelaki yang menghamili ibunya. Anak zina tetap dinasabkan kepada ibunya dan

keluarga ibunya, sebagaimana terdapat dalam putusan fatwa Majlis Ulama

Indonesia no 11 tahun 2012 “anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab,

waris, dan nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya”.40

Kedudukan anak hasil perzinaan dalam Islam juga disamakan dengan anak

li’an. Ahmad Syarifuddin menyebutkan, Li’an adalah sumpah yang diucapkan

seorang suami yang menuduh isterinya melakukan zina dan tidak mendatangkan

empat orang saksi selain dirinya sendiri, sumpah tersebut dilakukan sebanyak

empat kali dan di kali kelima diiringi dengan ucapan “laknat Allah atasku jika

sumpah yang aku lakukan adalah dusta“. Sang isteri juga diberi kesempatan

menolak li’an suaminya dengan bersumpah sebanyak empat kali dan di kali

kelima diiringi dengan ucapan “laknat Allah atasku jika kesaksian dan sumpah

yang dilakukan suamiku adalah benar.“ Apabila kesaksian itu telah dilaksanakan,

maka hakim akan menceraikan mereka, menafikan ikatan nasab anak itu dari

suaminya, dan menjadikan anak itu bernasab pada ibunya. 41 Oleh karena itu,

segala bentuk hukum yang timbul dalam kasus anak li’an juga menjadi hukum

bagi anak zina karena sama-sama dinasabkan kepada ibunya, artinya anak zina
40
Putusan fatwa Majlis Ulama Indeonesia no 11 tahun 2012 tentang kedudukan anak hasil
zina dan perlakuan terhadapnya.
41
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: kencana, 2008), h. 176.
27

dalam Islam mempunyai kedudukan yang digariskan kepada ibu dan keluarga

ibunya.

3. Hak-hak Anak Zina

Setiap anak yang telah lahir ke dunia ini, tentunya punya hak-hak yang

harus didapatkan didalam kehidupannya. Menurut Abu al- Ainain Badran, anak

yang lahir dari perkawinan sah mempunyai lima hak, yaitu:

a. Hak nasab agar anak terjaga dari kehinaan, kesia-siaan dan selamat dari
cela.
b. Hak susuan agar anak terjaga dari kelaparan dan kehausan yang dapat
menyebabkan kematian.
c. Hak nafkah pemberian nafkah ini berlaku selama anak belum bisa mandiri
dengan ekonominya.
d. Hak hadhanah hingga anak dapat mandiri sendiri dengan segala ilmu dan
budi pekerti.
e. Hak perwalian atas diri dan hartanya hingga punya kecakapan
sendiri.42

Munculnya hak-hak bagi anak didalam Islam disebabkan oleh adanya

tanggung jawab suami dan isteri melalui tali pernikahan yang sah menurut agama.

Dengan adanya pernikahan inilah muncul sebab akibat hukum, misalnya

terjadinya hubungan nasab, hubungan perwalian, hak asuh anak, nafkah dan lain-

lain. Di dalam Islam sangat menghargai kehidupan manusia, bahkan tujuan

syari’at Islam salah satunya adalah untuk menjaga keturunan ( hifdz nasb), namun

kosekuensi hukum yang terjadi akibat anak yang lahir diluar pernikahan yang sah

adalah putusnya hubungan nasab dengan ayah. Sebagaimana alasan Ibnu

Qudâmah bahwa anak zina tidak dinasabkan kepada bapaknya apabila tidak

diminta penasabannya. Ini menunjukkan bahwa anak itu tidak dianggap anak

42
Abu al-‘Ainain Badran, al-Fiqh al-Muqara fi al-Ahwal al-Shahsiyyah, (Beirut: Dar
al-Nahdah al-‘Arabiyyah, tt.), h. 484.
28

secara syar’i, sehingga tidak dapat dinasabkan kepadanya sama sekali. 43

Pandanga Islam, anak yang lahir dari rahim seorang perempuan mempunyai

hubungan nasab dengan perempuan yang mengandung dan melahirkannya, tanpa

melihat kepada cara bagaimana perempuan itu hamil, baik dalam perkawinan atau

perzinahan. Kalau menggunakan kata “anak sah” sebagai ganti “nasab” bagi

seorang ibu, maka setiap anak yang dilahirkannya adalah anak sah, karena

hubungan nasab antara ibu dengan anak berlaku secara alamiah. Dari itu para

ulama sepakat, bahwa anak yang lahir karena perzinahan tetap mempunyai

hubungan keturunan dengan ibu

Hak anak zina dalam konsepsi Islam harus dilihat secara menyeluruh,

tidak hanya terbatas pada perbuatan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya.

Tidak ada seorangpun yang dapat menyangkal bahwa perbuatan zina

(persetubuhan tanpa ada ikatan perkawinan) merupakan sebuah dosa besar, namun

kaitan dengan anak yang dilahirkan dari perbuatan tersebut tidaklah sepantasnya

harus menerima hukuman atas dosa yang dilakukan oleh kedua orang tuanya.

Karena jika setiap anak diberikan pilihan terhadap kelahirannya, maka sudah

dapat dipastikan tidak akan ada seorang anak pun yang mau dilahirkan dari hasil

perbuatan zina. Banyak orang berfikiran sempit, yang menyatakan bahwa anak

yang dilahirkan dari hubungan yang haram tetap akan menjadi “anak haram”

padahal dalam terminologi Islam tidak pernah dikenal istilah “anak haram” dan

hal tersebut jelas akan bertentangan dengan firman Allah Swt yang berbunyi:

       


       
     
43
Ibnu Qudamah, Al Mughni, tahqiq: Syarafuddin Khathab, Sayyid Muhammad Sayyid,
Sayyid Ibrahim Shadiq, jilid 8, (Jakarta: Pustaka Azzam, t.th), h. 626-628
29

Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang
paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Mengenal (QS. Al-Hujurat: 13)

Dari ayat tersebut mengindikasikan bahwa Sang Pencipta sendiri tidak

pernah mengelompokkan manusia berdasarkan status kelahirannya. Dalam tafsir

al misbah dijelaskan bahwa, “hai manusia, sungguh kami telah menciptakan

kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Panggilan itu bersifat umum

tidak hanya untuk orang yang beriman akan tetapi untuk seluruh manusia yang

ada dibumi dan menjelaskan bahwa permulaan manusia adalah diciptakan dari

seorang laki-laki Adam dan seorang perempuan yaitu Hawa. 44 Kedudukan

manusia dihadapan Tuhan hanya dibedakan berdasarkan nilai ketaqwaannya.

Agama Islam tidak pernah mengajarkan dosa orang tua dapat

diwariskan/diturunkan kepada anaknya, atau harus turut ditanggung oleh

keturunannya. Jika seorang anak telah dihukum sebagai anak yang lahir di luar

perkawinan sebagaimana disebutkan di atas, maka terdapat beberapa akibat

hukum menyangkut hak dan kewajiban antara anak, ibu yang melahirkannya dan

ayah/bapak biologisnya, yaitu :

1. Hak Nasab/Keturunan

Jumhur sepakat bahwa tidak menyambungkan nasab anak zina kepada

bapak biologisnya walaupun bapak biologisnya mengakui bahwa itu adalah

anaknya.45 Meskipun secara sekilas terlihat tidak manusiawi dan tidak berimbang

44
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (jakarta: Lentera Hati, 2012), h. 252.
45
Ibnu Qudamah, Al Mughni, tahqiq: Syarafuddin Khathab, Sayyid Muhammad Sayyid,
Sayyid Ibrahim Shadiq, jilid 8, (Jakarta: Pustaka Azzam, t.th), h. 626-627.
30

antara beban yang diletakkan di pundak pihak ibu saja, tanpa menghubungkannya

dengan laki-laki yang menjadi ayah biologis anak tersebut, namun ketentuan

demikian dinilai menjunjung tinggi nilai-nilai norma yang ada dalam hukum

Islam dan kehidupan didalam menjalankan tujuan syari’at itu sendiri. Adapun

sebab di mana seseorang mendapatkan warisan salah satu dari tiga perkara, yaitu:

Pernikahan yang sah, hubungan karena pernikahan dan Nasab/Keturunan. 46 Imam

empat mazhab sepakat bahwa anak hasil zina itu tidak memiliki nasab dari pihak

laki-laki, dalam arti, dia tidak memiliki bapak, meskipun si laki-laki yang

menzinahinya itu mengaku bahwa dia itu anaknya. Pengakuannya tidak dianggap,

karena anak tersebut hasil hubungan di luar nikah. Hal ini, sama saja baik si

wanita yang dizinahi itu bersuami ataupun tidak bersuami. Artinya anak itu

tidak memiliki bapak.

Berbeda Ishaq ibnu Rahawaih, Ibnu Taimiyah, dan Ibnul Qayyim

berpendapat bahwa anak yang lahir karena perbuatan zina adalah keturunan

orang yang mengaku, sebab pada kenyataannya ia memang berbuat zina dengan

ibu si anak, sebagaimana penetapan nasab anak itu kepada ibunya. Penetapan ini

dimaksudkan agar si anak tidak terlantar, tidak mendapat mudharat, dan tidak

terkena aib, karena perbuatan yang tidak ia lakukan. Sebab, orang yang tidak

berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.47 Pendapat di atas menurut penulis

sangat berbeda dengan pendapat Jumhur. Jumhur berpendapat anak zina tidak

dinasabkan kepada laki-laki yang menghamili ibunya, karena tidak terjadinya

pernikahan yang sah diantara keduanya. Artinya tidak menasabkan anak zina

kepada ayah biologisnya dan memberikan hukuman yang berat bagi pelaku
46
Gus Arifin, Menikah Untuk Bahagia, (Jakarta: Kompas Gramedia, 2010), h. 277.
47
Komite Fakultas Syari’ah Al Azhar, Hukum Waris, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing,
2011), h. 402.
31

perzinahan agar terjaganya keturunan, agama, sehingga tercapai tujuan daripada

syari’at.

2. Hak Nafkah

Dalam Islam, timbulnya segala aspek hukum disebabkan adanya hubungan

nasab, jadi karena status anak zina menurut hukum Islam hanya mempunyai

hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya saja, maka yang wajib

memberikan nafkah anak tersebut adalah ibunya dan keluarga ibunya saja. Namun

demikian, ayah biologisnya oleh hakim dapat memberikan hukuman ta’zir berupa

kewajiban memberikan biaya nafkah, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain sampai

anak tersebut dewasa dan mandiri, selain hukuman had tetap berlaku atas

dirinya.48 kemudian apabila ada orang menemukan anak zina ternyata tidak baik

cara mengasuh atau mendidiknya atau tidak dapat dipercaya dalam penggunaan

bantuan keuangan misalnya dari Baitul Mal dan dari masyarakat Islam, maka

wajib dicabut hak perwaliannya atas anak itu dan pemerintah wajib mengurusi,

mengawasi dan mencukupi kebutuhan hidupnya.49 Jadi nafkah anak zina dalam

Islam sepenuhnya ditanggung oleh kelaurga ibunya, tetapi negara wajib turun

tangan memberikan hukuman kepada pelaku zina agar memberikan nafkah kepada

anak biologisnya.

3. Hak Perwalian

Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk

melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas

nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua, orang tua yang masih hidup,

48
Neng Djubaedah, Perzinaan Dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia
ditinjau Dari Hukum Islam, (Jakarta : Kencana Prenada media Group, 2010), h. 170.
49
Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah Kapita Sekekta Hukum Islam, Edisi II Cet. 2,
(Jakarta : Masagung, 1991), h. 39.
32

tidak cakap melakukan perbuatan hukum.50 Perwalian juga merupakan pengaturan

orang dewasa terhadap utusan orang yang “kurang” dalam kepribadian dan

hartanya. Menurut Ulama Hanafiyah, perwalian adalah melaksanakan ucapan atas

orang lain, baik ia setuju maupun tidak. Perwalian adalah pengaturan orang

dewasa terhadap utusan orang yang “kurang” dalam kepribadian dan hartanya.

Yang dimaksud kurang disini adalah orang yang tidak sempurna. 51

Apabila dalam satu kasus bahwa anak yang lahir akibat dari perbuatan zina

(di luar perkawinan) tersebut ternyata wanita, dan setelah dewasa anak akan

menikah, maka ayah biologisnya tidak berhak dan tidak sah untuk menikahkannya

(menjadi wali nikah) disebabkan tidak ada hubungan antara keduanya menurut

pendapat Jumhur. Dalam analisa Tim Direktorat Pembinaan Peradilan Agama

tentang “Hukum Islam Tentang Anak Luar Nikah” menyebutkan tidak adanya

wali dari ayah biologisnya. Jika anak di luar nikah kebetulan adalah wanita dan

hendak melangsungkan pernikahan ia tidak dinikahkan oleh bapaknya tetapi

menggunakan wali hakim.52 Sebagai kesimpulannya, hak perwalian bagi anak zina

adalah wali hakim, karena tidak adanya hubungan hukum dengan ayah

biologisnya.

4. Hak Hadhanah

Hadhanah menurut Sayyid Sabiq adalah melakukan pemeliharaan anak-

anak yang masih kecil, laki-laki atau perempuan atau sudah besar, tetapi belum

tamyiz, atau yang kurang akalnya, belum dapat membedakan antara yang baik dan

50
Imam Jauhari, Hukum Perwaliyan Anak Zina dan Hak Warisnya, Jurnal Ilmu Hukum,
no. 54,th, XIII, agustus 2011, h.16.
51
Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid 10, (Jakarta; Gema Insani, 2011), h.
82.
52
Tim Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Analisa Hukum Islam Tentang Anak Luar
Nikah, (Jakarta : 2004) , h.53
33

buruk, belum mampu dengan bebas mengurus diri sendiri dan belum tahu

mengerjakan sesuatu untuk dan memelihara dari suatu yang menyakiti dan

membahayakannya, mendidik serta mengasuhnya, baik fisik maupun mental atau

akalnya agar mampu menempuh tantangan hidup serta memikul tanggung jawab.53

Hadhanah adalah salah satu bentuk dari kekuasaan dan kepemimpinan seseorang

terhadap anak yang tidak dipelihara dan terancam keselamatannya, karena itu,

hadhanah hukumnya wajib sebagaimana juga wajibnya memberi nafkah

kepadanya.54 Dalam istilah fikih yang dimaksud dengan hadhanah dalam arti

sederhana ialah “pengasuhan” dan “pemeliharaan”. Dalam arti lebih lengkap

adalah pemeliharaan anak yang masih kecil setelah terjadinya putus perkawinan.

Hal ini dibicarakan dalam fikih karena secara praktis antara suami dan istri telah

terjadi perpisahan sedangkan anak-anak memerlukan bantuan dari ayah dan/atau

ibunya.55 Namun dalam kasus anak zina, hadhanah diserahkan kepada ibunya

karena anak zina bernasab kepada ibunya, hanya saja ayah biologisnya diberikan

ta’zir oleh hakim untuk memberikan apa yang dibutuhkan oleh anak tersebut

hingga anak itu dewasa.

5. Hak Warisan

Sebagai akibat dari hubungan nasab seperti yang telah dikemukakan, maka

anak zina hanya mempunyai hubungan waris-mewarisi dengan ibunya dan

keluarga ibunya saja. Dalam kitab fikih lima mazhab disebutkan bahwa, sepakat

ulama empat mazhab tidak memberikan hak warisan untuk anak zina, karena anak

zina sama halnya dengan anak mula’anah, hanya ada kaitannya dia dengan

53
Sayyid Sabiq, Fiqih Al-Sunnah III, terj. Nor Hasanuddin, (Jakarta: Pena Pundi Aksara,
2006), h. 288
54
Ibid, h. 60.
55
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h.
328
34

ibunya.56 Begitu juga dengan Wahbah Az Zuhaili dalam kitabnya Fiqhul Islam Wa

Adillatuhu disebutkan bahwa ulama mazhab sepakat untuk tidak memberikan

warisan kepada anak zina disebabkan anak zina sama halnya dengan anak li’an,

yang hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya saja, atau anak zina hanya

bisa saling mewarisi dari pihak ibu dan kerabat ibunya saja. 57 Jadi anak hasil zina

hanya mempunyai hak mendapatkan warisan dengan pihak ibunya dan keluarga

ibunya saja, karena anak itu dinasabkan kepada ibunya.

4. Warisan Anak Zina

a. Pengertian Warisan

Syari’at Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat

teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap

manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang jelas. Syari’at Islam

juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal

dunia kepada ahli warisnya, dari kerabat dan nasabnya, baik dari jenis laki-laki

dan perempuan. Al-Qur'an menjelaskan secara detail bahwa hukum-hukum yang

berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian

yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap

pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau

bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu.58

56
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2004), h. 576.
57
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid 10, (Jakarta: Gema Insani, 2011),
h. 488.
58
Muhammad Ali Al-Sabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, ter. A.M Basamalah
(Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h.33.
35

Kata waris berasal dari bahasa Arab yang diambil dari kata “warisa”,

“yarisu”, “wirsan”, yaitu isim failnya “wārisun” yang artinya ahli waris.59

Sedangkan makna waris menurut bahasa ialah berpindahnya sesuatu dari

seseorang kepada orang lain. Atau dari suatu kaum kepada kaum yang lain. Jika

penulis pahami dari segi bahasa waris adalah setiap yang berpindah dari satu

kepemilikan itu bisa disebut warisan. Waris adalah berbagai aturan tentang

perpindahan hak milik seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli

warisnya. Dalam istilah lain, waris disebut juga dengan fara‟idh artinya bagian

tertentu yang dibagi menurut agama Islam kepada semua yang berhak

menerimanya.60

Kata waris terdapat dalam berbagai bentuk, makna tersebut dapat kita

temukan dalam al-Qur’an, yang antara lain:61

 Mengandung makna “mengganti kedudukan” (QS. al-Naml, 27:16)

         

    

    

 Mengandung makna “memberi atau menganugerahkan” (QS. al-Zumar,

39:74)

        

       

59
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Cet ke-8, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990),
h. 496.
60
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Mawaris, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 13
61
Ahmad Rofiq, Hukum Islam diIndonesia, Cet. Ke-4 (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2000), h. 355
36

 Mengandung makna “mewarisi atau meminta warisan” (QS. al-

Maryam,19:6)

        

Dalam literatur fikih Islam, kewarisan (al-muwaris kata tunggalnya al-

miras) lazim juga disebut dengan faraid, yaitu jamak dari kata faridah diambil

dari kata fard yang bermakna “ ketentuan atau takdir “. Al-fard dalam terminologi

syar’i ialah bagian yang telah ditentukan untuk ahli waris. Adapun dalam istilah

umum, waris adalah perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia

kepada ahli waris yang masih hidup. Pengertian tersebut sejalan dengan apa yang

disampaikan oleh Wiryono Projodikoro, definisi waris adalah soal apakah dan

bagaimanakah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang

pada waktu ia meninggal akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.62

Amir Syarifuddin juga mengemukakan bahwa kewarisan adalah seperangkat

ketentuan-ketentuan yang mengatur cara-cara peralihan hak dari seseorang yang

telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup, yang ketentuan-ketentuan

tersebut berdasarkan pada al-Quran dan Hadits.63 Menurut Hasby Ash Shiddieqy

dalam mendefinisikan faraidh sebagai suatu ilmu yang dengan ilmu itu dapat kita

ketahui orang yang menerima pusaka, kadar yang diterima oleh tiap-tiap ahli

waris dan cara membaginya.64

Dengan demikian secara garis besar penegertian warisan dapat penulis

simpulkan yaitu pemindahan berbagai hak dan kewajiban tentang kekayaan

seseorang yang meninggal dunia kepada orang lain yang masih hidup dengan

62
Wiryono Projodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, (Bandung: Sumur, 1983), h. 13.
63
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat
minangkabau, ( Jakarta: Gunung Agung : 1984 ), Cet. 1,h. 3.
64
Hasby Ash Shiddieqy, Fiqh Mawaris, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), Cet. 1,h. 18.
37

memenuhi syarat dan rukun dalam mewarisi. Di Indonesia terdapat penyebutan

fiqih al-mawaris (ilmu waris) disebut juga hukum kewarisan islam, hukum

warisan, hukum kewarisan dan hukum waris, yang sebenarnya terjemahan

bebas dari kata mawaris. Bedanya, fiqih al-mawaris menunjukkan identitas

hukum waris Islam, sementara hukum warisan memiliki konotasi umum, bisa

mencangkup hukum waris adat atau hukum waris yang diatur dalam kitab

undang-undang hukum perdata.65

b. Dasar Hukum Warisan

Tentunya setiap permasalahan atau ketentuan yang ada di dunia ini

memiliki sumber dan dasar pijakan terhadap ketentuan itu, terlebih lagi tentang

hukum kewarisan. Dasar hukum kewarisan ini terdapat dalam Al-Qur’an, Hadist,

yang kemudian dijelaskan dalam tafsir dan pemahaman pemahaman fikih.

 Dasar hukum dari ayat Al-Qur’an:

1. Q.S. Al-Nisa’ (4): 11:

         


          
       
           
         
          
       
          
Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-
anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian
dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih
dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan;
jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo
harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya

65
Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h. 4.
38

seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu


mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak
dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat
sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka
ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas)
sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Dalam tafsir al-Baidawi, yang berjudul Anwar al-Tanzil wa Asraru al-

Ta’wil menjelaskan bahwa Allah memerintah dan mengamanahkan kepadamu

perihal pembagian satu orang laki-laki sama dengan dua orang perempuan,

beserta kelipatanya. Artinya jika terdapat dua orang laki-laki berarti bagianya

sama dengan empat orang perempuan. Anak laki-laki memiliki kekhususan

mendapatkan bagian lebih banyak daripada perempuan dengan tujuan untuk

menunjukkan bahwa laki-laki memiliki keutamaan. Dan bagian anak laki-laki

yang melebihi anak perempuan dianggap cukup untuk menunjukkan bahwa laki-

laki memiliki keutamaan dibanding perempuan.66 Bagian dua banding satu

untuk anak laki-laki merupakan pembagian harta warisan yang telah disyari’atkan

dalam oleh Allah yang telah tercantum dalam al-Qur’an.

2. Q.s. Al-Nisa’ (4): 176:

        


           
         
        
        
      
Artinya: Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah
memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang
66
Lihat Nashiruddin Abu Sa’id ‘Abdullah al-Baidawi, Anwar al-Tanzil wa Asraru al-
Ta’wil, juz II, Al-Maktabah al-Syamilah, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, 1418 H), h. 62.
39

meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara


perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari
harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai
(seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak, tetapi
jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli
waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka
bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang
saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya
kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

Ayat di atas diturunkan sebagai jawaban atas kegundahan Jabir bin

Abdullah. Pada saat itu Jabir yang mengalami sakit keras dan hidup sebagai

seorang kalalah dengan sembilan saudari nya bertanya kepada Rasul Saw,

perihal bagaimana mengelola hartanya jika nantinya dia mati.67 Sahabat Jabir

disebut kalalah karena dia jika meninggal nantinya tidak memiliki ahli waris

selain saudari-saudarinya tersebut. Dia tidak memiliki anak dan ayah yang masih

hidup pada saat itu. Jadi secara definitif kata kalalah diartikan dengan seseorang

yang tidak memiliki (tidak meninggalkan ketika mati nanti) anak dan orang tua. 68

Definisi tersebut sebenarnya memiliki esensi yang sama dengan yang dinarasikan

dalam ayat di atas. Bagi yang berkondisi kalalah maka saudara yang dipunyai-

lah yang menjadi ahli waris dari si mayyit tersebut. Adapun nominal dari bagian

mereka (saudari perempuan baik sebapak atau sekandung) adalah setengah dari

harta. Jika saudari perempuan tersebut tidak memiliki anak, maka bagi saudara

laki-laki, baik sebapak atau sekandung berhak mendapatkan sebagian dari tirkah.

Jika saudara perempuan tersebut berjumlah dua maka bagi merekam

(berdua) dua pertiga dari tirkah. Dengan kata lain bilangan nominal dua pertiga

dari tirkah tersebut dibagi dua sehingga masing-masing mendapatkan satu

67
Faisal bin ‘Abdul ‘Aziz, Taufiq al-Rahman fi Durus al-Qur’an, Al-Maktabah al-
Syamilah (Riyadh: Dar al-Asimah: 1996), Juz 2, h. 22.
68
Muhammad bin Muhammad bin Abd al-Razzaq al-Husaini, Taj al-‘Arus min Jawahir
al-Qamus, Al-Maktabah al-Syamilah (tanpa penerbit: Dar al-Hidayah, tt), Juz 30,h. 344.
40

pertiga dari tirkah. Nominal tersebut berhak didapatkan para ahli waris jika telah

terselesaikannya wasiat dan lunasnya hutang. Hal ini memang secara eksplisit

tidak ada dalam ayat di atas, namun penulis mengkiaskannya dengan kedua ayat

yang ada sebelumnya yang mensyaratkan kedua hal tersebut.

 Dasar Hukum dari Hadits Nabi Saw:

1. Hadist dari Ibnu Abbas ra.

‫عن بن عبّاس رضى اهلل عنه عن النبي صلى اهلل عليه وسلم قال الحقوا الفرائض بأهلها‬
69
.)‫فما بقي فهو ألولى رجل ذكر(رواه البخارى‬

Artinya : “Dari Ibnu Abbas ra. Dari Nabi saw, berkata ia: berikanlah faraidh
(bagian yang telah ditentukan dalam al-Quran) kepada yang berhak
dan sisanya berikanlah kepada keluarga laki-laki yang terdekat”.

2. Hadist dari ‘Amr Ibn Syu’aib

‫ح دثنا قتيب ة اخبرن ا ابن لهيع ه عن عم ر وبن ش عيب عن ابي ه عن ج ده ان الن بي ص لى اهلل‬
‫عليه وسلم قال ايما رجل عا هر بحرة او امه فلو لد ولد زنا ال يرث واليورث) رواه‬
70
)‫الترمذي‬

Artinya: Qutaibah menceritakan kepada kami, Ibnu Lahi’ab menceritakan


kepada kami, dari ‘Amr ibn Syu’aib dari ayahnya dari datuknya:
sesungguhnya Nabi SAW bersabda: “Siapa saja laki-laki yang berzina
dengan seorang perempuan merdeka atau hamba sahaya, maka
anaknya itu adalah anak zina, dia tidak dapat mewarisi dan diwarisi.
(HR. Tirmidzi)

3. Hadist dari Sahal Ibn Sa’id

69
Al-Bukhari, Al-Jami’ li al-Shahih al-Bukhari, Jilid VII, (Kairo: Daru al-Mathaba’ah al-
bi, t.th), h.181.
70
At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, (Beirut: Darul Fikr, 1994), juz 4, h. 38
41

‫ وكانت حامال وكان ابنها يدعى‬:‫فى حديث المالعنين الذي يرويه سهل بن سعد قال‬
‫ ثم جرت السنة في ميراثها انها ترثه ويرث منها ما فرض اهلل له (روله البخ اري‬:‫المه قال‬
71
.)‫ومسلم‬

Artinya: ”Dalam hadits suami istri yang bermula‟anah yang diriwayatkan oleh
Sahal bin Sa’id itu, sahal berkata : Bahwa perempuan tersebut sedang
hamil, sedang anak dibangsakan kepada ibunya. Maka menurut sunnah
(cara) yang berlaku, bahwa anak tersebut menjadi ahli waris dari ibunya
dan ibunya menjadi ahli waris dari anaknya menurut apa yang telah
ditetapkan Allah. ( HR. Bukhari dan Muslim).

Hadis Nabi Saw di atas secara zahir menunjukkan perintah untuk

memberikan harta warisan kepada yang berhak. Dalil-dalil tersebut di atas, secara

umum telah menjelaskan mengenai pembagian harta warisan orang yang

meninggal dunia, dan harta warisan terhadap anak zina. Itulah dasar hukum bahwa

memberikan warisan itu wajib bedasarkan perintah Allah Swt dan nabi

Muhammad Saw.

c. Zawil Furud dan Zawil Arham (ahli waris dalam hukum Islam)

Zawil Furud adalah ahli waris yang dapat bagian tertentu sebagaimana

yang ditentukan dalam al-Quran maupun sunnah. Furudlu menurut istilah fiqih

mawaris, ialah saham yang sudah ditentukan jumlahnya untuk waris pada harta

peninggalan, baik dengan nash maupun dengan ijma’.72 Mereka menerima harta

warisan dalam urutan yang pertama. Ahli waris yang secara hukum syara’ berhak

menerima warisan karena tidak ada yang menutupnya. Para ahli waris zawil furud

ada tiga belas, empat dari laki-laki yaitu: suami, ayah, kakek, saudara laki-laki

seibu. Sembilan dari perempuan yaitu: nenek atau ibunya ibu dan ibunya bapak,

71
Al-Bukhari, Al-Jami’ li al-Shahih al-Bukhari, Jilid VII, (Kairo: Daru al-Mathaba’ah al-
bi, t.th), h.182.
72
Hasby Ash Shiddieqy, Fiqh Mawaris, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), Cet. 1,h. 74.
42

ibu, anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan

sekandung, saudara perempuan seibu, saudara perempuan sebapak, dan isteri.

Secara bebas, arti bahasa zawil furud adalah orang-orang yang mempunyai

saham (bagian) pasti. Secara istilahi zawil furud adalah ahli waris yang sahamnya

telah ditentukan secara terperinci (seperdua, sepertiga, seperempat, seperenamatau

seperdelapan dari warisan).73 Adapun zawil furud terbagi menjadi dua macam,

yaitu :

 Zawil Furud Sababiyah, yaitu ahli waris yang mendapatkan harta warisan
disebabkan karena hubungan pernikahan.74 Zawil Furud Sababiyah ini terdiri
dari:
1. Suami
2. Isteri

 Zawil Furud Nasabiyyah, yaitu ahli waris yang mendapatkan harta warisan
disebabkan keturunan.75 Zawil Furud Nasabiyyah ini terdiri dari:
1. Ayah
2. Ibu
3. Anak perempuan
4. Cucu perempuan dari anak laki-laki
5. Saudara perempuan sekandung
6. Saudara perempuan seayah
7. Saudara laki-laki seibu
8. Saudara perempuan seibu
9. Kakek
10. Nenek atau ibunya ibu dan ibunya ayah.

Adapun Zawil Arham Secara umum berarti orang yang memiliki hubungan

kekerabatan (hubungan darah) dengan orang yang meninggal, berdasarkan (QS.

Al- Anfal: 75).

73
Al-Yasa Abu Bakar, Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian Perbandingan Terhadap
Penalaran Hazairin dan Penalaran Fikih Mazhab, (Jakarta: INIS, 1998), h. 140.
74
Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris, cet. I, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007),
h. 19.
75
Ibid, h. 20.
43

      


       
        

Artinya: Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta
berjihad bersamamu Maka orang-orang itu termasuk golonganmu
(juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan Kerabat itu
sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan
kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
segala sesuatu.

Ahli waris zawil arham adalah orang-orang yang mempunyai hubungan

kerabat dengan pewaris, namun tidak dijelaskan bagiannya dalam al-Qur’an dan

atau Hadis Nabi sebagai zawil furud dan tidak pula dalam kelompok ashabah.

Bila kerabat yang menjadi ashabah adalah laki-laki, maka zawil arham itu adalah

perempuan atau laki-laki melalui garis keturunan perempuan.76 M. Ali Ash-

Shabuni menjelaskan bahwa zawil arham adalah kerabat mayat yang tidak

termasuk zawil furud ataupun ‘ashabah, seperti saudara laki-laki ibu saudara

perempuan ibu, saudara perempuan ayah, cucu laki-laki dari anak perempuan, dan

cucu perempuan dari anak perempuan.77

Menurut penelitian Ibnu Rusyd, ahli waris yang termasuk dalam zawil
arham adalah:

1. Cucu (laki-laki atau perempuan) garis perempuan.


2. Anak perempuan dan cucu perempuan saudara laki-laki (bint al- akh).
3. Anak perempuan dan cucu perempuan saudara-saudara perempuan (bint al-
ukht).
4. Anak perempuan dan cucu perempuan paman (bint al-‘amm).
5. Paman seibu (al-‘amm li al-umm).
6. Anak dan cucu saudara-saudara laki-laki seibu (aulad al-akh li al- umm).
7. Saudara perempuan bapak (al-‘ammah).
8. Saudara-saudara ibu (al-khal atau al-khalah).
9. Kakek dari garis ibu (al-jadd min jihad al-umm).

76
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, cet. ke-1, (Bogor: Kencana,2003), h.
149.
77
Lihat Athoillah, Fiqh Waris, "Metode Pembagian Waris Praktis", (Bandung: Yrama
Widya, 2013), h .116.
44

10. Nenek dari pihak kakek (al-jaddah min jihat al-jadd).78

Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan apakah zawil arham

ini mendapat warisan atau tidak. Dalam hal ini Zaid Ibnu Tsabit dan sahabat-

sahabat yang mengikutinya tidak memberikan harta warisan kepada zawil arham.

Dengan pengertian, apabila orang yang meninggal tidak ada meninggalkan ahli

waris dari zawil furud atau ‘ashabah, maka harta warisan yang ditinggalkannya

diserahkan kepada baitul mal. Pendapat ini dipegang pula oleh golongan tabi’in,

kebanyakan fuqaha, diantaranya, Maliki, Syafi’i, Auza’iy, para ulama madinah

dan ulama Dzahiriyah di antaranya Ibnu Hazm. Mereka ini mengemukakan alasan

bahwa dalam ayat-ayat Mawaris, tuhan hanya menjelaskan ketentuan besar

kecilnya penerimaan para ahli waris bagi golongan zawil furud dan ketentuan

tentang ‘ashabah saja. Sedangkan ketentuan ahli waris zawil arham tidak

dijelaskan sama sekali. Dengan demikian menetapkan adanya hak dan ketentuan

besar kecilnya penerimaan pusaka zawil arham berarti menambah ketentuan

hukum baru yang tidak tercantum dalam nash yang sharih.79 Menurut penulis

zawil arham adalah orang yang mempunyai hubungan kerabat secara mutlak.

Arham adalah jamak dari rahim, rahim bermakna tempat anak di dalam perut ibu.

zawil arham memiliki pengertian golongan kerabat yang tidak termasuk golongan

zawil furud dan ‘ashabah. Tidak diragukan lagi bahwa zawil arham termasuk

didalamnya, walaupun bukan mereka yang disebut secara khusus di dalam ayat

tersebut. Tetapi eksistensi dari ayat itu sudah memberi persepsi bahwa semua

kerabat lebih berhak dari pada orang lain didalam menerima warisan. Oleh sebab

itulah, zawil arham lebih diutamakan dari pada baitul mal.


78
Ahmad Ropiq, Hukum Islam di Indonesia, cet. ke-3, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1998), h. 79.
79
Ali Abri, Pengantar Studi Mawaris, cet. ke-1, ( Pekanbaru: Suska Press, 2006), h. 40.
45

d. Hijab Mahjub dalam Warisan

Dalam tergabung lengkapnya ahli waris pada kasus kewarisan, maka akan

timbullah persoalan pengutamaan sesama ahli waris itu. Ada yang perlu

didahulukan untuk mewaris dan adapula yang menempati urutan agak dibelakang.

Penyelesaian persoalan ini ada kalanya dilakukan dengan merumuskan kelompok

keutamaan dan ada kalanya dengan mempergunakan lembaga yang dikenal

dengan istilah hijab mahjub.80 Hijab secara bahasa (etimologi) berarti al-man’u

(menghalangi, mencegah). Adapun secara istilah (terminologi) adalah

terhalangnya seseorang dari sebagian atau semua harta warisannya karena

adanya ahli waris lain. Dengan kata lain, hilangnya hak mewarisi seseorang,

karena adanya ahli waris yang lebih utama dari padanya, karena itu haknya

tertutup.81 Adapun ahli waris yang ditutup hak pusakanya karena adanya

ahli waris yang lebih utama disebut dengan mahjub.82

Dalam buku Ahmad rafiq disebutkan hijab secara harfiyah berarti satir,

penutup atau penghalang, orang yang menghalangi disebut hajib, dan orang yang

terhalang disebut mahjub. Hijab ada dua, pertama hijab nuqsan yaitu menghalangi

yang berakibat mengurangi bagian ahli waris yang mahjub, seperti suami,

seharusnya menerima bahagian ½, karena bersama anak perempuan, bagiannya

terkurangi menjadi ¼. Kedua hijab hirman yaitu menghalangi secara total. Hak-

hak waris si mahjub tertutup sama sekali dengan adanya ahli waris yang

menghijab. Misalnya, saudara perempuan sekandung semula berhak menerima

80
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, cet. ke-8, (Jakara: Sinar Grafika,
2004), h. 85.
81
Moh. Muhibin Abdul Wahid, Hukum kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan Hukum
Positif di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h., 80.
82
ibid, h. 80.
46

bagian ½, tetapi karena bersama anak laki-laki, menjadi tertutup sama sekali. 83

Sementara itu Hazairin memberi defenisi tentang hijab, yaitu semacam sistem

keutamaan yang menentukan siapa yang berhak menyingkirkan orang lain ikut

serta dalam mawaris.84

Sebab yang menghijab atau mendinding menurut hukum waris Islam:

 Sifat khas yang ada pada seseorang

1. Perbedaan agama yaitu orang Islam tidak mendapat pusaka dari orang

yang kafir, demikian juga sebaliknya. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw:

‫ق ال ال ي رث المس لم الك افر وال ي رث‬.‫م‬.‫عن أس امة بن زي د رض ي اهلل عنهم ا عن الن بي ص‬

85
)‫الكافر المسلم (رواه المسلم‬

Artinya: “Dari Usamah bin Zaid ra. Bahwasanya Nabi SAW Bersabda:

Seseorang muslim tidak menjadi ahli waris dari orang yang bukan

muslim, dan orang bukan muslim tidak pula menjadi ahli waris dari

orang muslim”( HR.Muslim).

Para ulama mazhab sepakat bahwa non muslim tidak bisa mewarisi

muslim, tetapi mereka berbeda pendapat tentang apakah seorang muslim bisa

mewarisi non muslim. Imamiyah, Umar, Muaz, dan Mua’wiyah berpendapat:

seorang muslim bisa mewarisi non muslim.86 Akan tetapi menurut Mazhab yang

empat, yaitu Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hambali mengatakan bahwa seorang

83
Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, cet. ke-3, (Yogyakarta : Gama
Media, 2001), h. 71.
84
Abdul Siddiq, Hukum Waris Islam, (Jakarta: Bina Pustaka, 1984), h. 59.
85
Albani, M.Nashiruddin, Mukhtashar Shahih Muslim, Alih bahasa oleh: Elly Lathifah,
cet. ke-1, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), h. 470.
86
Hajar M, Hukum Kewarisan Islam, cet. ke-1, (Pekanbaru: Alaf Riau, 2007), h. 32.
47

muslim tidak bisa mewarisi non muslim. 87 Adapun alasan Imamiyah, Umar, Muaz

dan Mua’wiyah berpendapat seorang muslim bisa mewarisi non muslim adalah

analogi kepada dibolehnya laki-laki muslim menikahi perempuan ahli kitab

sebagaimana dikemukakan pada ayat 5 surah al-Maidah. Sedangkan jumhur tidak

menggunakan qiyas karena adanya dalil sunnah yang kuat yang bertentangan

dengan analaog tersebut.88 Tentang orang murtad, ulama sepakat bahwa semua

harta orang yang diperoleh selama murtad tersebut diserahkan ke negara (baitul

mal). Harta yang didapat sebelum murtad diperselisihkan ulama. Abu Hanifah

berpendapat bahwa harta itu diwariskan kepada ahli warisnya. Bila murtad itu

seorang laki-laki, sejak dinyatakan sebagai murtad, hartanya sudah dapat diwarisi

oleh ahli waris. Akan tetapi bila yang murtad itu seorang perempuan,

hartanya belum boleh diwariskan sebelum perempuan itu mati atau benar-benar

bergabung dengan musuh. Aliran Zaidiyah, abu Yusuf dan Muhammad

berpendapat bahwa tidak ada perbedaan antara murtad laki-laki dan perempuan.

Maliki, Syafi’i dan Ahmad mengatakan bahwa seluruh harta si murtad disimpan

di kas negara. jika ia mati atau terbunuh dalam peperangan, harta tersebut

berstatus fai’.89

Jadi perbedaan Agama adalah salah satu penghalang mendapatkan warisan

dari si mayyit Perbedaan agama dalam hal ini adalah jika antara ahli waris dan al-

muwarris salah satunya beragama Islam, yang lain bukan Islam. Misalnya, ahli

waris beragama Islam, muwarrisnya beragama kristen, atau sebaliknya.

2. Perbudakan
87
Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, terjemah
oleh : Masykur, Afif Muhammad dan Idrus al-Kaff, (Jakarta: Lentera, 2011), cet. ke-27, h. 541.
88
Hajar M, ibid,
89
Fai’ adalah harta yang diperoleh dari non muslim secara damai untuk kepentingan
umum, seperti dari pajak, dan termasuk juga dari si murtad
48

Perbudakan menjadi penghalang mewarisi, bukanlah karena status

kemanusiaannya, tetapi semata-mata karena status formalnya sebagai hamba

sahaya (budak). Mayoritas ulama sepakat bahwa seorang budak terhalang

menerima warisan karena ia dianggap tidak cakap melakukan perbuatan hukum. 90

Dalam hal kewarisan, terjadi dua hal yang bertentangan, yaitu di satu pihak

melepaskan hak milik kebendaan, dan dilain pihak menerima hak milik kebendaan

oleh karena itu, terhalangnya hamba sahaya dalam hal kewarisan dapat ditinjau

dari dua jurusan, yaitu:

I. Mempusakai harta peninggalan dari ahli warisnya

Seorang hamba sahaya tidak dapat mewarisi harta peninggalan ahli warisnya,

bila:

 Ia dipandang tidak cakap mengurusi harta milik. Seandainya ia diberikan

pusaka dari kerabat-kerabatnya yang telah meninggal, secara yuridis harta

pusaka yang teleh diterimanya itu jatuh ke tangan majikannya.

 Status kekeluargaan terhadap kerabat-kerabatnya sudah putus sehingga ia

telah menjadi keluarga asing yang bukan keluarganya. Padahal sudah

menjadi kesepakatan para ulama bahwa mewariskan kepaa orang asing itu

tidak boleh dan hukumnya adalah batal.

Ali Ahmad al-Jurjawi mengatakan bahwa budak itu tidak dapat mewarisi

harta peninggalan tuannya, bila ia telah meninggal. Ini disebabkan status budak itu

sendiri adalah sebagai harta milik bagi tuannya. Oleh karena itu, seorang budak

yang fungsinya sebagai harta milik tuannya tidak boleh mewarisi harta milik

tuannya, yang dalam hal ini adalah dirinya sendiri.

II. Mempusakai harta peninggalannya kepada ahli warisnya.


90
Ibid,h.25.
49

Seorang budak tidak boleh mewariskan harta harta peninggalannya

seandainya ia mati meninggalkan harta kepada ahli warisnya sendiri. Ini karena ia

di anggap melarat dan tidak mempunyai harta peninggalan sedikitpun. Demikian

juga, seorang budak yang sifat kebudakannya tidak penuh, seperti budak

mukhattab. Menurut imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan ulama Jumhur,

mereka tidak dapat mewarisi harta peninggalan keluarganya dan tidak dapat

mewariskannya kepada keluarganya (ahli warisnya) karena ia belum bebas secara

sempurna.91 Islam sangat tegas tidak menyetujui adanya perbudakan, sebaliknya

Islam sangat menganjurkan agar setiap budak hendaknya dimerdekakan. Pada

hakikatnya, perbudakan tidak sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan

(humanisme) dan rahmat yang menjadi ide dasar ajaran Islam. Ini ditunjukkan

melalui adanya sanksi-sanksi hukum, bagi pelaku pelanggaran atau kejahatan,

memerdekakan budak merupakan salah satu alternatif yang harus ditempuh. Ini

dimaksudkan agat secepatnya perbudakan dihapuskan dari muka bumi.92 Jadi

perbudakn/budak tidak berhak mendapatkan warisan, disebabkan budak itu adalah

harta bagi pemiliknya.

3. Pembunuhan

Pembunuhan menghalang seseorang untuk mendaptkan hak warisan dari

orang yang dibunuhnya. Hal ini didasarkan oleh hadits Nabi:

‫ "ليس للقات ل من الم يراث‬.‫م‬.‫ ق ال رس ول اهلل ص‬: ‫عن عم ر بن ش عيب عن ابي ه عن ج ده ق ال‬

93
)‫شيء"(رواه النساء‬
91
Dian Khairul Umam, Fikih Mawaris, cet. ke-3, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), h. 31-
32.
92
Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia , h. 38.
93
Al-Imam Abi Abd Al-Rahman Ahmad bin Syu‟aib Al-Nasa‟i, Kitab Al-Sunan Al-
Kubra, juz 4, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1991), h. 79. Lihat juga Al-Imam Al- Alamah
50

Artinya: Artinya: Dari Umar ibn Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya berkata:

Rasulullah saw. Bersabda: “Tidak ada hak bagi pembunuh sedikitpun

untuk mewarisi.”(HR. Al-Nasa‟i).

Pada dasarnya pembunuhan adalah suatu kejahatan yang dilarang keras

oleh agama. Namun dalam beberapa keadaan tertentu pembunuhan itu bukan

suatu kejahatan yang membuat pelakunya berdosa. Dalam hal ini pembunuhan itu

dikelomppokkan menjadi dua, yaitu:

 Pembunuhan secara hak dan tidak melawan hukum. Yaitu pembunuhan yang

pelakunya tidak dinyatakan pelaku kejahatan atau dosa. Seperti pembunuhan

terhadap musuh dalam medan perang, pembunuhan dalam membela jiwa,

harta, dan kehormatan.

 Pembunuhan secara tidak hak dan melawan hukum, yaitu pembunuhan yang

dilarang oleh agama dan terhadap pelakunya dikenakan sanksi dunia dan

atau di akhirat.94

Pendapat yang kuat dikalangan ulama Syafi’iyah menetapkan bahwa

pembunuhan dalam bentuk apapun menghalang hak kewarisan. Namun pendapat

yang lemah menyatakan behwa pembunuhan secara hak tidak menjadi halangan

menjadi halangan untuk mendapatkan hak kewarisan.95 Ulama Maliki dan

pengikutnya mengatakan bahwa pembunuhan yang menghalangi hak kewarisan

adalah pembunuhan sengaja. Sedangkan pembunuhan tersalah tidak menghalangi

hak kewarisan. Ulama Hambali mengatakan bahwa pembunuhan tidak secara hak

dan melawan hukum menjadi halangan mewarisi, sedangkan pembunuhan secara

Muhammad bin Ali bin Muhammad Al-Syaukani, Nailul Authar, jilid 4, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-
Arabi, 2000), h. 142.
94
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, h. 193.
95
Lihat, Khatib, Syarbayniy, Mughni al-Muhtaj, (Mekkah: Dar al-Katib al-Arabiy, t.th).
24.
51

hak dan tidak melawan hukum tidak mengakibatkan terhalang menjadi ahli waris.

Adapun menurut ulama Hanafi berpendapat bahwa pembunuhan yang

menghalang hak kewarisan adalah pembunuhan yang dikenakan sanksi qishash.

Pembunuhan yang tidak berlaku padanya qishash meskipun sengaja tidak

menghalangi hak kewarisan, seperti pembunuhan yang dilakukan oleh anak yang

belum dewasa.96 Adapun pembunuhan yang tidak menjadi penghalang

mempusakai menurut ulama Hanafiyah, adalah:97

a. Pembunuhan tidak langsung, misalnya seseorang menggali lobang,


kemudian keluarganya terperosok ke dalam lobang tersebut mengakibatkan
kematian. Ini tidak menyebabkan adanya qishash, kaffarah dan tidak pula
menghalangi memperoleh harta warisan.
b. Pembunuhan karena hak, sebab adanya firman tuhan dalam surat al-Isra’ayat
33.
c. Pembunuhan yang dilakukan oleh orang yang tidak cakap bertindak,
seperti orang gila dan anak yang belum sampai umur (baligh). Mereka ini
tidaklah mukallaf, tidak dihadapkan kepadanya perintah-perintah atau
beban-beban agama.

Pembunuhan yang dianggap halangan mempusakai menurut ulama

hanabilah, ialah pembunuhan-pembunuhan yang dibebani sanksi qishash,

kaffarah, diyat dan ganti rugi, seperti pembunuhan-pembunuhan sengaja, mirip

sengaja, tersalah, dianggap tersalah, tidak langsung, dan pembunuhan yang

dilakukan oleh orang yang tidak cakap. Sedangkan pembunuhan yang tidak

menjadi penghalang mempusakai menurut mereka, ialah pembunuhan yang tidak

dibebani sanksi-sanksi tersebut diatas, seperti untuk melaksanakan had atau

qishash, untuk membela diri dan sebagainya.

Ulama Mazhab Malikiyah menyatakan bahwa pembunuhan yang menjadi

penghalang mewarisi adalah:98

96
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, h. 193.
97
Ali Abri, Pengantar Studi Mawaris, cet. ke-1, ( Pekanbaru: Suska Press, 2006), h. 12-
13.
98
Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia , h. 33.
52

a. Pembunuhan sengaja
b. Pembunuhan mirip sengaja.
c. Pembunuhan tidak langsung yang disengaja.

Sementara pembunuhan yang tidak menjadi penghalang mewarisi adalah:


a. Pembunuhan karena khilaf.
b. Pembunuhan yang dilakukan oleh orang yang tidak cakap melakukan perbuatan
hukum.
c. Pembunuhan yang dilakukan karena hak atau tugas, seperti algojo yang
melaksanakan tugas hukuman qishash, dan,
d. Pembunuhan karena ‘uzur untuk membela diri.

Jadi menurut penulis pembunuhan yang dilakukan oleh seseorang itu dapat

meneyebabkan terhalang untuk mendapatkan warisan setelah dilihat dan diteliti

pembunuhan jenis apa yang telah dilakukan. Hikmahnya ialah seandainya

pembunuh tidak dilarang mengambil warisan, niscaya banyak orang melakukan

pembunuhan terhadap kerabat mereka agar mereka dapat menguasai hartanya.

Akibatnya, akan merajalelalah kekacauan dan tidak akan ada ketenangan dan

ketentraman. Disamping itu pembunuhan pada hakikatnya merupakan tindak

pidana yang sangat berat, dan menurut akal, pembunuhan tidaklah patut

dibiarkan.

4. Berlainan negara

Pengertian negara adalah suatu wilayah yang ditempati suatu bangsa yang

memiliki angkatan bersenjata sendiri, kepala negara tersendiri, dan memiliki

kedaulatan tersendiri dan tidak ada ikatan kekuasaan dengan negara asing.

Maka dalam konteks ini, negara bagian tidak dapat dikatakan sebagai negara yang

berdiri sendiri, karena kekuasaan penuh berada pada negara federal. Adapun

berbeda negara yang menjadi penghalang mewarisi adalah apabila antara ahli

waris dan muwarisnya berdomisili di dua negara yang berbeda kriterianya seperti
53

tersebut di atas. Apabila dua negara sama- sama negara muslim, menurut ulama,

tidak menjadi penghalang saling mewarisi antara warga negara. Malahan

mayoritas ulama mengatakan, bahwa meskipun negaranya berbeda apabila

antara ahli waris dan muwarisnya non-muslim, tidak berhalangan bagi mereka

untuk saling mewarisi demikian juga jika antara dua warga negara sama-sama

muslim.99 Jadi menurut penulis yang menjadi penghalang berlainan negara adalah

jika negara tersebut bukan negara Islam, namun menurut penulis jika sesama

pewaris dan yang mewarisi masih sama-sama muslim masih boleh untuk saling

mewarisi.

Menurut penulis, bahwa orang yang terhijab tidak berhak menerima harta

warisan, sama halnya dengan orang yang terhalang. Bedanya, orang yang

terhalang tidak berhak mendapat warisan disebabkan adanya aturan yang

menentukan orang tersebut tidak bisa menerima warisan sama sekali. Sedangkan

orang yang terhijab disebabkan karena adanya kerabat lain yang lebih utama.

Seseorang yang terhijab ditanggap tidak ada, sehingga tidak berpengaruh kepada

ahli waris lain. Namun ahli waris yang terhijab tetap berstatus sebagai ahali waris.

Sedangkan ahli waris yang terhalang tidak dapat di sebut ahli waris.

Hijab terdiri dari dua macam, yaitu hijab hirman dan hijab nuqsan:

 Hijab hirman, yaitu tertutupnya (hilangnya) hak seseorang ahli waris untuk

seluruhnya, karena adanya ahli waris yang lebih utama dari padanya,

seperti saudara dari orang yang meninggal dunia tertutup (hilang) haknya

jika yang meninggal dunia itu meninggal anak atau cucu. Demikian pula

cucu jika ada anak laki-laki yang meninggal dunia. Dari seluruh kerabat

yang tidak dapat tertutup (hijab) haknya (kecuali jika ada penghalang).
99
Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia , h. 39.
54

 Hijab Nuqsan, yaitu bergesernya hak seseorang ahli waris dari bagian

yang besar menjadi bagian yang kecil, karena adanya ahli waris lain yang

mempengaruhinya.

B. Anak Zina dalam Hukum Positif

1. Pengertian Anak Zina dalam Hukum Positif

Dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia, zina adalah perbuatan asusila

yang dilakukan seorang pria dan wanita di luar ikatan pernikahan yang sah.

Sedangkan menurut Al-Jurjani, bisa dikatakan zina apabila telah memenuhi dua

unsur yaitu:

 Adanya persetubuhan (sexual intercourse) antara dua orang yang berbeda


jenis kelaminnya (heterosex).
 Tidak adanya keserupaan atau kekeliruan (syubhat) dalam perbuatan sek (sex
act).

Pembahasan mengenai pengertian anak zina baiknya penulis menjelaskan

dua macam pengertian zina, yaitu: menurut etimologi dan terminologi. 100 Zina

menurut etimologi adalah perbuatan bersetubuh yang tidak sah. Sedangkan

menurut terminologi adalah diartikan sebagai perbuatan seorang laki-laki yang

melakukan hubungan seksual dengan seorang perempuan yang menurut naluriah

kemanusiaan perbuatan ini dianggap wajar, namun diharamkan oleh syara’.

Dalam pandangan hukum positif, zina hanyalah hubungan kelamin diluar

perkawinan, yang dilakukan oleh orang-orang yang berada dalam status bersuami

atau beristri sajalah yang dianggap sebagai perbuatan zina.

Berdasarkan ketentuan Pasal 284 KUHP yang dimaksud dengan

perbuatan zina adalah:


100
Risalah Nasikun, Tafsir Ahkam : Beberapa Perbuatan Pidana dalam Hukum Islam,
(Yogyakarta : Bina Ilmu, 1984), h. 44.
55

“seorang pria yang telah kawin melakukan persetubuhan padahal

diketahuinya Pasal 27 KUHPerdata berlaku baginya”. Adapun bunyi pasa 27

KUH Perdata adalah: “Pada waktu yang sama, seorang lelaki hanya boleh terikat

perkawinan dengan satu orang perempuan saja dan seorang perempuan hanya

dengan satu orang lelaki saja.”101Sedangkan yang dimaksud dengan persetubuhan

ialah perpaduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa

dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota laki-laki masuk ke dalam

anggota perempuan, sehingga mengeluarkan air mani.102

Anak zina merupakan anak dalam kelompok atau golongan yang paling

rendah kedudukannya dibandingkan dengan kelompok atau golongan anak yang

lain. Berdasarkan ketentuan dalam KUHPerdata bahwa anak zina bersama-sama

dengan anak sumbang tidak dapat diakui oleh orang tua biologisnya, sehingga

secara hukum (yuridis) seorang anak yang dilahirkan dari perzinahan tidak akan

memiliki ayah maupun ibu, karena itu seorang anak zina tidak akan memiliki hak

keperdataan apa-apa dari orang tua biologisnya kecuali sebagaimana yang

ditentukan dalam Pasal 867 ayat 2 KUHPerdata, yaitu sebatas hak untuk

mendapatkan nafkah hidup seperlunya berdasarkan kemampuan orangtua

biologisnya setelah memperhitungkan jumlah dan keadaan para ahli waris yang

sah menurut Undang-Undang.103

Dalam undang undang no 1 tahun 1974 juga disebutkan bahwa anak zina

ialah anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, sedangkan perkawinan yang

sah dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan, dan

101
Kitab undang undang hukum perdata pasal 27 ayat 1
102
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Polites, 1996), h. 209.
103
D.Y. Witanto,Hukum Keluarga (Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin), (Jakarta :
Prestasi Pustaka,2012), h. 40
56

dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, pasal 2 ayat 1 dan 2

UU.No.1/1974).104 Adapun dalam praktik hukum perdata di Indonesia atau hukum

positif, pengertian anak zina ada dua macam, yaitu :

1. Apabila orang tua salah satu atau keduanya masih terikat dengan

perkawinan lain, kemudian mereka melakukan hubungan seksual dengan wanita

atau pria lain yang mengakibatkan hamil dan melahirkan anak, maka anak

tersebut di namakan anak zina, bukan anak luar kawin.

2. Apabila orang tua anak di luar kawin itu masih sama-sama bujang,

mereka mengadakan hubungan seksual dan hamil serta melahirkan anak, maka

anak itu disebut anak diluar nikah.

Beda keduanya adalah, anak zina dapat diakui oleh orang tua

biologisnya, sedangkan anak di luar kawin dapat juga di akui orang tua

biologisnya apabila mereka menikah, dalam akta perkawinan dapat di cantumkan

pengakuan (erkennen) di pinggir akta perkawinannya. Dengan demikian definisi

anak diluar nikah menurut hukum positif mempunyai dua pengertian, yaitu: anak

diluar nikah adalah arti luas dan anak diluar nikah dalam artian yang sempit.105

a. Anak diluar nikah dalam artian luas adalah anak yang lahir diluar pernikahan

karena perzinahan dan anak sumbang.

 Anak zina adalah anak yang dilahirkan seorang perempuan atau

dibenihkan seorang pria sedangkan perempuan atau pria itu ada dalam

perkawinan dengan orang lain.

 Anak sumbang adalah anak yang lahir dari seorang ibu yang dilarang

kawin menurut undang-undang dengan lelaki yang membenih-kannya.


104
Undang-undang no 1,tahun 1974.
105
KUHPdt, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cet-II, (Yogyakarta: Pustaka
Yustisia, 2008), h. 74.
57

b. Anak luar nikah dalam arti sempit adalah : anak yang lahir diluar perkawinan

yang sah.

Anak zina merupakan jenis anak luar kawin dalam pengertian luas (anak

tidak sah). Timbulnya istilah anak zina dalam pengertian hukum perdata barat

dipengaruhi oleh asas monogamy secara mutlak yang dianut oleh KUHPerdata,

dimana pada waktu yang sama seorang laki-laki hanya boleh terikat perkawinan

dengan seorang perempuan dan seorang perempuan hanya boleh terikat dengan

seorang laki-laki saja, prinsip tersebut berbeda dengan prinsip poligami terbatas

yang dianut oleh hukum Islam dimana dalam suatu keadaan tertentu di waktu

yang sama seorang laki-laki boleh untuk terikat dengan satu, dua, tiga dan empat

orang perempuan. Jadi zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh seorang

laki-laki atau perempuan yang sedang terikat perkawinan yang sah dengan

seorang perempun atau laki-laki yang bukan isteri atau suaminya, sehingga hanya

pelaku yang sedang terikat perkawinan yang sah saja yang dapat dijerat pasal 284

KUHP. Jika salah satu dari pelaku zina tidak sedang terikat perkawinan yang sah

maka dia tidak bisa divonis melakukan perbuatan zina, tetapi divonis telah

turut serta melakukan zina dan dibebani tanggung jawab yang sama dengan

pembuat zina itu sendiri.106

Masih dalam pandangan hukum positif, yang dimaksud dengan anak zina

adalah anak yang dilahirkan tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah dan tercatat

dalam lembaran negara, seperti bunyi undang undang no 1 tahun 1974, bahwa

anak zina ialah anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, sedangkan

perkawinan yang sah dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

106
Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2005), h. 57.
58

kepercayaan, dan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku

pasal 2 ayat 1 dan 2 UU.No.1/1974). Jadi menurut penulis, dalam pandangan

hukum positif, anak zina adalah anak yang lahir dari hubungan perkawinan tidak

sah menurut agama masing-masing.

2. Kedudukan Anak Zina dalam Hukum Positif

Dalam kehidupan keluarga setiap anak yang lahir dari ikatan perkawinan,

diterima sebagai pembawa bahagia. Tetapi adakalanya anak bukan terlahir dari

kedua orang tua yang sama, kedudukan anak demikian pada umumnya tidak sama

dimata kedua orang tua, baik dalam curahan kasih sayang juga kelak dengan

pembagian harta waris. Masih tentang kedudukan anak. Akan tetapi kemungkinan

si anak lahir dari hubungan diluar pernikahanan. Anak seperti itu sering disebut

“anak haram jaddah”. Sebutan yang tidak dikenal dalam masyarakat yang beriman

kepada Tuhan. Walaupun kehadiran si anak tanpa hubungan perkawinan yang

menjadi sebab adalah “orang tuanya”.107

Didalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan,

kedudukan seorang anak di atur dalam Bab IX tentang kedudukan anak Pasal 42-

44.

Pasal 42 ayat 1: “Anak yang sah adalah anak yang di lahirkan dalam atau sebagai
akibat dari perkawinan yang sah”.

Pasal 43 ayat 1: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai


hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.” Ayat
2, kedudukan anak tersebut pada ayat 1 di atas selanjutnya
akan di atur dalam peraturan pemerintah.
Pasal 44 ayat 1, Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan
oleh istrinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya
telah berbuat zina dan anak itu akibat dari pada perzinaan

107
Mulyana W. Kusumah (penyunting), Hukum dan Hak-Hak Anak, (Jakarta : Rajawali,
1986), h. 5.
59

tersebut. Ayat 2, Pengadilan memberikan keputusan tentang


sah/ tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.

Sedangkan dalam Pasal 280 KUHPerdata disebutkan bahwa dengan

pengakuan yang dilakukan terhadap seorang anak luar nikah, timbullah

kedudukan hubungan perdata antara anak dan bapak atau ibunya. Dengan

demikian pada dasarnya anak luar nikah dengan ayah biologisnya tidak terdapat

suatu hubungan hukum. Hubungan hukum itu baru akan terjadi apabila ayah

tersebut memberikan pengakuan bahwa anak luar nikah itu adalah anaknya. Untuk

selanjutnya, status anak luar nikah yang mendapatkan pengakuan ini menjadi anak

luar nikah yang diakui. Namun mengenai hubungan hukum anak luar nikah

dengan orang tuanya ini telah diatur lebih lanjut melalui Pasal 43 ayat 1 UU

nomor 1 Tahun 1974. Pasal tersebut menyatakan “bahwa seorang anak yang

dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya

dan keluarga ibunya”. Dengan demikian seorang anak luar nikah secara otomatis

mempunyai hubungan hukum dengan ibu dan keluarga ibunya tanpa harus

dilakukan pengakuan terlebih dahulu sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal

280 KUHPerdata.

Akan tetapi pengakuan seperti yang ditentukan dalam Pasal 280

KUHPerdata itu tetap diperlukan untuk menciptakan hubungan hukum antara

anak luar nikah dengan ayahnya. Hal inilah yang merupakan salah satu hal yang

membedakan kedudukan hukum atara anak luar nikah dan anak sah. Tidak seperti

anak luar nikah, anak sah mempunyai hubungan hukum dengan kedua orang

tuanya tanpa perlu adanaya pengakuan terlebih dahulu. Dalam Pasal 43 ayat 2

menyebutkan bahwa, kedudukan anak dalam ayat 1 selanjutnya akan diatur dalam

peraturan pemerintah tersendiri, namun sampai dengan saat ini pemerintah belum
60

juga mengeluarkan peraturan pemerintah tentang kedudukan anak luar kawin

sedangkan PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan tidak mengatur tentang kedudukan anak luar kawin, sehingga

sampai sekarang persoalan tentang kedudukan anak luar kawin pengaturannya

masih terkatung-katung. Karena Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan hanya

menyebutkan tentang hubungan keperdataannya saja, sedangkan terhadap hak-

haknya yang harus dilindungi sebagai seorang manusia tidak mendapat

pengaturan yang jelas dan terperinci. Sebagai akibat dari hubungan perdata

dengan pihak ibu dan keluarga ibunya, anak tersebut hanya akan mendapatkan

hak waris dari ibu dan keluarga ibunya saja, termasuk segala bentuk pemeliharaan

sampai anak itu dewasa hanya menjadi tanggung jawab ibunya. Sekilas saja

ketentuan tersebut mengandung ketidakadilan bagi si ibu dan anaknya, karena

untuk membenihkan anak tersebut dalam rahim ibunya pasti ada peran dari pihak

laki-laki sebagai ayah biologisnya. Lalu karena si ayah tidak mengakui atau tidak

kawin dengan si perempuan itu, maka hubungan keperdataannya itu menjadi

terputus dengan si ayah, padahal hubungan hukum tersebut sangat diperlukan oleh

si anak untuk bisa menuntut hak pemeliharaan yang wajar seperti halnya anak-

anak yang lain pada umumnya.108

Kemudian muncul Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010

yang menyatakan bahwa “anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai

hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki

sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan

teknologi dan/atau alat bukti lainnya. Akhirnya penulis menyimpulkan bahwa

108
D.Y. Witanto,Hukum Keluarga (Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin), (Jakarta :
Prestasi Pustaka,2012), h. 145.
61

kedudukan anak zina dalam Hukum Positif mempunyai kedudukan yang sama

dengan anak hasil dari perkawinan yang sah, selagi ayah biologisnya mengakui

bahwa anak itu adalah anak hasil hubungan dengan ibunya dan dapat dibuktikan

dengan alat bukti yang menurut hukum mempunyai hubungan darah dengan ayah

biologisnya.

3. Hak-hak Anak Zina dalam Hukum Positif

Anak merupakan Anugerah Tuhan yang harus dijaga oleh orang tuanya,

setiap anak yang lahir mempunyai hak menjadi kewajiban orang tua untuk

memberikannya. Dalam Hukum Positif yang di atur dalam UU No. 1 Tahun 1974

tentang perkawinan, di bedakan adanya anak yang sah dan anak yang tidak sah,

seperti diatur dalam Pasal 42 dan 43. Dalam Pasal 42 Undang-Undang

Perkawinan, tidak menimbulkan sebagai persoalan anak yang sah dalam

memperoleh haknya dari orang tuanya, demikian pula kewajiban orang tua

terhadap anaknya. Setiap anak yang lahir ke dunia ini baik itu yang di kenal

sebagai anak sah, anak luar kawin, anak zina maupun anak sumbang pada

dasarnya mempunyai hak dan kewajiban sebagai subyek hukum serta mempunyai

kedudukan yang sama dimata hukum. Tentang kewajiban orang tua seperti diatur

dalam Pasal 45 Undang-Undang Perkawinan yang menyebutkan bahwa kedua

orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya,

kewajiban orang tua yang dimaksud berlaku sampai anak itu mandiri atau dapat

berdiri sendiri.

Pada prinsipnya hak-hak dan kewajiban anak seperti yang diatur dalam

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Bab III Pasal

4 s/d 19 serta diikuti kewajiban serta tanggung jawab keluarga dan orang tuda
62

dalam Bab IV bagian keempat. Dalam Pasal 26 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 disebutkan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab

untuk :109

o Mengasuh, memelihara, mendidik, melindungi anak, menumbuh


kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya
dan
o Mencegah terjadinya pernikahan pada usia anak-anak.

Hubungan hukum yang terjadi akibat adanya perkawinan diartikan

sebagai hubungan kekeluargaan serta hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang

timbul antara seorang anak dengan orang tuanya. Hubungan hukum yang

dimaksud disini akan membawa akibat-akibat hukum yaitu hak dan kewajiban

tertentu antara lain:

a. Hak Nasab dan Nafkah

Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam110, dinyatakan bahwa anak yang lahir di luar

perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga

ibunya saja. Hal demikian secara hukum anak tersebut sama sekali “tidak dapat

dinasabkan” kepada ayah/bapaknya biologisnya, meskipun secara nyata

ayah/bapak biologisnya tersebut merupakan laki-laki yang menghamili wanita

yang melahirkannya itu. Tetapi lain cerita setelah adanya Putusan Mahkamah

Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 dengan menyambunngkan nasab kepada

ayah biologisnya, asal bisa dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan mendapat

pengakuan dari lelaki yang menghamili ibunya. Begitu juga nafkah , ayah

biologisnya tidak berhak memberikan nafkah kepada anak anak hasil

perzinahan. Pasal 307 KUHPerdata menyatakan bahwa setiap pemangku

kekuasaanorang tua terhadap seorang anak yang belum dewasa, harus


109
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
110
Kompilasi Hukum Islam
63

mengurus harta kekayaan anak itu. Lebih lanjut ditentukan dalam Pasal 308

KUHPerdta bahwa pemangku kekuasaan orang tua ini harus bertanggung

jawab baik atas kepemilikan harta kekayaan tadi maupun atas segala hasil dari

barang-barang yang mana ia diperbolehkan menikmatinya. Jadi menurut

penulis selain bertanggung jawab atas kepemilikan harta kekayaan si anak

adalah ibu si anak tersebut karena anak zina tersebut dinisbahkan kepada

ibunya.

b. Hak Perwalian

Ketentuan wali nikah yang ditentukan dalam Pasal 19 Kompilasi Hukum Islam

adalah:

- Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus di penuhi bagi
calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahinya.
- Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi
syarat hukum Islam yakni muslim, akil dan baligh.
- Ketentuanhukum yang sama sebagaimana ketentuan hukum terhadap anak
luar nikah tersebut, sama halnya dengan status hukum semua anak yang
lahir di luar pernikahan yang sah sebagaimana disebutkan diatas.

Menurut Pasal 23 Kompilasi Hukum Islam wali nikah baru dapat bertindak

sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak mungkin menghindarkannya atau

tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan. Dalam hal

wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali

nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.

c. Hak waris

Pada dasarnya, mereka yang berhak mewarisi adalah mereka yang mempunyai

hubungan dengan pewaris. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 832

KUHPerdata yang menyatakan bahwa yang berhak untuk menjadi ahli waris

ialah para keluarga sedarah, baik sah maupun luar nikah dan si suami atau istri
64

yang hidup terlama.111 Jadi pada asasnya menurut Pasal tersebut, untuk dapat

mewarisi, seseorang harus mempunyai hubungan darah dengan sipewaris.

Hubungan darah ini dapat dibagi menjadi hubungan darah yang sah dan

hubungan darah yang tidak sah atau hubungan darah luar nikah. Hubungan

darah yang sah adalah hubungan darah yang ditimbulkan sebagai akibat

hubungan anatara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dan adanya

pengakuan anak secara sah.112 Pasal 186 Kompilasi Hukum Islam bahwa anak

yang lahir diluar perkawinan mempunyai hubungan saling mewarisi dengan

ibunya dan keluarga dari pihak ibunya. Tetapi setelah adanya putusan

Mahkamah Konstitusi maka anak zina mendapat warisan dari pihak lelaki yang

menghamili ibunya jika dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan

pengakuan.

4. Warisan Anak Zina dalam Persfektif Hukum Positif

a. Pengertian warisan

Istilah waris dapat diartikan sebagai suatu perpindahan berbagai hak

dan kewajiban serta harta kekayaan seorang yang telah meninggal dunia kepada

orang yang masih hidup.113 Waris adalah hak waris, sebagaimana yang diatur

dalam Pasal 834 KUH Perdata.114 Waris juga diartikan sebagai orang yang berhak

menerima harta pusaka dari orang yang telah meningggal. 115 Dalam KHI waris

disebutkan dengan hukum waris. Pasal 171 KHI Inpres Nomor 1 Tahun 1991

menentukan bahwa hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang

111
KUHPerdata, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h. 221.
112
J.Satrio, Hukum Waris, (bandung : Penerbit Alumni, 1992), h. 29.
113
Muslih Maruzi, Pokok-Pokok Ilmu Waris, Cet, ke- 1, (Semarang: Pustaka Rizki
Putra. ,1997), h. 6.
114
Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), h. 574.
115
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 1556.
65

pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-

siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.116

Sedangkan hukum waris dalam KUHPerdata diartikan “kesemuanya kaidah

hukum yang mengatur nasib kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia dan

menentukan siapa orangnya yang dapat menerimanya”. 117 Idris Ramulyo

memberikan pendapat bahwa apabila kita membicarakan masalah warisan makan

akan sampai pada empat masalah pokok yang dimana yang satu dengan yang yang

lainnya tidak dapat terpisahkan.118 Masalah pokok tersebut adalah:

 Adanya seseorang yang meninggaldunia


 Adanya harta peninggalan
 Meninggalkan orang-orang yang mengurusi dan berhak atas harta
peninggalannya (ahli waris)
 Keharusan adanya hukum kewarisan yang menentukan siapa saja ahli waris
dan berapa bagiannya masing-masing.

Bila seseorang manusia sebagai individu meninggal dunia, maka akan

timbul pertanyaan bagaimana hubungan yang meninggal dunia itu dengan yang di

tinggalkan, serta kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi, terutama dalam

masalah kekayaan dari orang yang meninggal dunia. Yang demikian

membutuhkan aturan-aturan yang mengatur bagaimana caranya hubungan yang

meninggal dengan harta yang ditinggalkan, siapa yang mengurus atau mewarisi,

dan bagaimana caranya hubungan yang meninggal dunia dengan harta benda yang

ditinggalkan. Jadi masalah yang timbul dalam kewarisan adalah masalah-masalah

harta benda (kekayaan) dari orang yang meninggal dunia dengan orang-orang

yang ditinggalkan (ahli waris).

116
Kompilasi Hukum Islam, Departemen Agama RI, (Jakarta: 2007), h. 114.
117
Tamakiran S, Asas-Asas Hukum Waris Menurut Tiga Sistim Hukum, (Bandung:
Pionir Jaya,2000), h. 24.
118
M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Kitab
Undang- Undang Hukum Perdata (Edisi Revisi), (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h. 82.
66

b. Dasar Hukum

Dasar hukum waris dalam KUHPerdata diatur dalam Buku II, bab 12 dan

16, terutama Pasal 528 tentang hak mewarisi diidentikan dengan hak kebaendaan.

Selanjutnya ketentuan Pasal 584, menyangkut hak waris sebagai salah satu cara

untuk memperoleh hak kebendaan. Penempatan hukum kewarisan dalam Buku II

KUHPerdata ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan ahli hukum, karena

mereka berpendapat bahwa dalam hukum kewarisan tidak hanya tampak sebagai

hukum benda saja, tetapi terkait beberapa aspek lainnya, misalnya hukum

perorangan dan hukum kekeluargaan. Dalam Pasal 831 bila beberapa orang, yang

antara seorang dengan yang lainnya ada hubungan pewarisan, meninggal karena

suatu kecelakaan yang sama, atau meninggal pada hari yang sama, tanpa diketahui

siapa yang meninggal lebih dahulu, maka mereka dianggap meninggal pada saat

yang sama, dan terjadi peralihan warisan seorang kepada yang lainnya.119

Sedangkan dasar hukum warisan untuk anak zina tertuang dalam Pasal 43

ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan “anak yang

dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya

dan keluarga ibunya”, dan Pasal 186 Kompilasi Hukum Islam “Anak yang lahir di

luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan

keluarga dari pihak ibunya”. penulis mencantumkan pasal tersebut sebagai dasar

hukum warisan anak zina, karena anak zina tidak mendapatkan warisan dari pihak

ayah biologisnya, arti hubungan perdata tersebut adalah memiliki segala hak-hak

yang diperoleh anak pada umumnya, hanya saja anak zina memperoleh dari pihak

ibunya saja.

119
Kitab undang undang hukum perdata pasal 831
67

c. Ahli Waris Menurut Hukum Positif

Dalam KHI pasal 171 disebutkan, Pewaris adalah orang yang pada saat

meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan

beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan, sedangkan ahli

waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan

darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak

terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.120 Hukum kewarisan di

Indonesia, tertuang dalam Buku II KHI. Hak waris anak secara eksplisit

dinyatakan tegas pada Pasal 171 huruf c yaitu: Ahli waris adalah orang yang

pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan

perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum

untuk menjadi ahli waris. Lebih jelasnya Pasal 174 Kompilasi Hukum Islam

menetapkan:121

1. Kelompok‐kelompok ahli waris terdiri dari:

a. Menurut hubungan darah:


‐ golongan laki‐laki terdiri dari: ayah, anak laki‐laki, saudara laki‐laki,
paman dan kakek.
‐ golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan
dari nenek.
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari : duda atau janda.

2. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya:
anak, ayah, ibu, janda atau duda.

Menurut Pasal 832 KUHPerdata, yang berhak menjadi ahli waris ialah

keluarga sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun yang di luar

perkawinan, dan suami atau isteri yang hidup terlama, menurut peraturan-

peraturan berikut ini. Bila keluarga sedarah dan suami atau isteri yang hidup

120
Kompilasi hukum islam pasal 171
121
Ibid,.
68

terlama tidak ada, maka semua harta peninggalan menjadi milik negara, yang

wajib melunasi utang-utang orang yang meninggal tersebut, sejauh harga harta

peninggalan mencukupi untuk itu.

Dalam penerapan hukum waris di indonesia, apabila seorang pewaris yang

beragama selain Islam meninggal dunia, maka yang digunakan adalah sistem

pewarisan berdasarkan Hukum Waris sesuai dengan Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata (“KUHPerdata”). Sedangkan dalam KHI Pasal 172 “ahli waris

dipandang beragama Islam apabila diketahui dari Kartu identitas atau pengakuan

atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang

belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya”.

Adapun penghalang kewarisan dalam hukum positif ialah sebagaimana

tertuang dalam Pasal 173 KHI menyebutkan bahwa “seorang terhalang menjadi

ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum

yang tetap, dihukum karena”:

a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya

berat para pewaris;

b. dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris

telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun

penjara atau hukuman yang lebih berat.

C. Kritik Hukum Terhadap Warisan Anak Zina

Sebagaimana yang kita ketahui, bahwasanya zina adalah bentuk perbuatan

yang sangat keji dan sangat dilarang dalam agama bedasarkan larangan Allah Swt:

        


69

Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina, karena sesungguhnya zina

itu adalah faahisah (perbuatan yang keji) dan seburuk-buruk jalan (yang

ditempuh oleh seseorang).” (Q.S Al-Israa: 32).

Bahkan karena pengharaman yang sangat kuat, para pelaku zina dalam

hukum islam diancam dengan hukuman rajam, cambuk sebanyak 100 kali serta

diasingkan selama satu tahun, hal ini juga bedasarkan perintah Allah Swt:

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-
tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kamu
kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu
beriman kepada Allah, dan hari akherat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman
mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.” (Q.S An-
Nur: 2).

Adapun tujuan daripada pelaksanaan hukuman itu adalah untuk

memberikan efek jera kepada pelaku perzinahan, karena dengan terjadinya

perzinahan akan mengakibatkan hancurnya tujuan syari’at. Maraknya kasus

perzinahan yang terjadi dan semakin meningkat pada kalangan anak- anak muda,

bahkan juga orang yang sudah menikah sangatlah meresahkan. Karena hal itu

dikhawatirkan akan merusak moral seseorang. Disamping rusaknya moral

seseorang, dengan terjadinya kasus perzinahan yang terus meningkat, ditakutkan

akan menimbulkan penyakit diantaranya HIV, AIDS, sipilis dan sebagainya.

Sehingga Maqashid al-Syari’ah akan berdampak kepada kehancuran. Maqaṣhid

al-syari’ah dijelaskan oleh Imam as-Syatibi bahwa syari’at bertujuan

mewujudkan kemaslahatan hidup manusia di dunia maupun di akhirat untuk

mewujudkan kemaslahatan tersebut harus dengan adanya bukti-bukti atau dalil-

dalil yang jelas.122


122
As-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Usul as-Syari’ah, Jilid II (Kairo: Mustafa Muhammad,
t.th.), h. 6
70

Jika dalam sebuah keputusan memberikan legalitas menghubungkan nasab

anak zina kepada ayah biologisnya, menurut penulis adalah mendukung perbuatan

zina. Penulis sangat setuju bilamana anak zina dilindungi oleh negara supaya anak

tersebut tidak dikucilkan dalam kehidupan sehari hari, tetapi penulis tidak setuju

bilamana anak zina ini diberikan warisan dan dinasabkan kepada ayah biologisnya

secara syar’i. Jika dinasabkan secara syar’i, maka akan merusak tujuan syari’at

jika dilihat disatu sisi, namun jika dilihat dari sisi lain ini juga mendukung

Maqaṣhid al-syari’ah yaitu menjaga keturunan. Adapun Maqaṣhid al-syari’ah

ada lima: yaitu memelihara jiwa, agama, akal, nasab, dan harta. Menurut penulis,

pemberian warisan kepada anak zina hanya akan menimbulkan berbagai masalah

yang lain, seolah tidak ada kerugian yang didapatkan setelah melakukan

perzinahan, karena efek dari zina tersebut telah dilindungi sebagaimana mestinya.

Memang setiap orang tidak memikul dosa orang lain, dan setiap anak yang lahir

itu dalam keadaan suci, dan jauh hari islam memberikan solusi terhadap

permasalahan ini mengenai anak zina dinasabkan kepada ibunya dan keluarga

ibunya dan mendapatkan warisan dari pihak ibunya saja sebagaimana tersebut

dalam hadis nabi Saw:

‫ح دثنا قتيب ة اخبرن ا ابن لهيع ه عن عم ر وبن ش عيب عن ابي ه عن ج ده ان الن بي ص لى اهلل‬
‫عليه وسلم قال ايما رجل عا هر بحرة او امه فلو لد ولد زنا ال يرث واليورث) رواه‬
123
)‫الترمذي‬

Artinya: “Qutaibah menceritakan kepada kami, Ibnu Lahi’ab menceritakan


kepada kami, dari ‘Amr ibn Syu’aib dari ayahnya dari datuknya:
sesungguhnya Nabi SAW bersabda: “Siapa saja laki-laki yang berzina
dengan seorang perempuan merdeka atau hamba sahaya, maka
anaknya itu adalah anak zina, dia tidak dapat mewarisi dan diwarisi.
(HR. Tirmidzi)”
123
At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, (Beirut: Darul Fikr, 1994), juz 4, h. 38
71

Maka sangat tepat bilamana yang harus ditekankan kembali adalah

hukuman bagi pelaku zina, supaya berkurangnya zina, juga undang-Undang harus

menganggap siapa saja yang melakukan hubungan diluar perkawinan yang sah

baik dia sudah beristeri/suami atau belum beristri/suami adalah melakukan tindak

pidana perzinahan. Penguatan hukuman bagi pezina tebtu akan menyelamatkan

keturunan, jiwa, agama, disebabkan tidak adanya zina, maka tidak ada anak yang

lahir dengan utus nasab/keturunan, terganggu kejiwaan karena malu hidup sebagai

anak yang lahir dari perbuatan orang tuanya dan menjaga keutuhan hukum Allah

Swt yang telah ditetapkan dalam agama islam.

Anda mungkin juga menyukai