BIDANG KEISLAMAN
Dosen Penguji: Prof. Dr. H. Abdullah Karim, M.Ag
NIM : 170104020136
1
Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 1998), 13.
2
Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, 14-17.
- Agar manusia mengEsakan-Nya
b. Hukum Mempelajari Ilmu Tauhid
Hukum mempelajari ilmu tauhid adalah fardu ’ain atau wajib bagi setiap mukallaf
(orang yang akil dan baliqh), laki laki dan perempuan.
٤ َو َلمۡ َي ُكن لَّهُۥ ُكفُ ًوا أَ َح ۢ ُد٣ َلمۡ َيل ِۡد َو َلمۡ يُو َل ۡد٢ ص َم ُد
َّ ٱهَّلل ُ ٱل١ قُ ۡل ه َُو ٱهَّلل ُ أَ َح ٌد
3
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2011), 27.
1. Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. 2. Allah adalah Tuhan yang
bergantung kepada-Nya segala sesuatu. 3. Dia tiada beranak dan tidak pula
diperanakkan, 4. dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."
ِ ۖد ٓاَّل إِ ٰلَهَ إِاَّل هُ َو ٱلر َّۡح ٰ َم ُن ٱلرٞ ٰ َو ِحَٞوإِ ٰلَهُ ُكمۡ إِ ٰلَه
١٦٣ َّحي ُم
163. dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia
yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
4
Ansharullah, Ilmu Tauhid (Kajian Rukun Iman), 12.
5
Ansharullah, Ilmu Tauhid (Kajian Rukun Iman), 10.
6
Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, 21.
7
Ansharullah, Ilmu Tauhid (Kajian Rukun Iman), 34.
d. Munafik adalah sebutan bagi orang yang secara lahiriah beragama Islam, tetapi
jiwa atau batinnya tidak beriman. Secara lahir ia mengaku beriman kepada Allah
mengaku beragama Islam tetapi hatinya tidak beriman.8
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan : Pembedaan antara islam dan iman. Ini terjadi apabila
kedua-duanya disebutkan secara bersama-sama, maka ketika itu islam ditafsirkan dengan amalan-
amalan anggota badan sedangkan iman ditafsirkan dengan amalan-amalan hati, akan tetapi bila
disebutkan secara mutlak salah satunya (islam saja atau iman saja) maka sudah mencukupi yang
lainnya. Seperti firman Allah Ta’ala “ Dan Aku telah ridho islam menjadi agama kalian.” ( al-
Maidah : 3 ) maka kata Islam disini sudah mencakup islam dan iman (Ta’liq syarah
Arba’in hlm.17).
8
Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, 22.
2) Ulama tauhid berpendapat: ilmu produk dari akal, pengetahuan tentang Tuhan
dapat diperoleh dengan akal dengan tidak meninggalkan nash. Ulama tasawuf:
ilmu/kebenaran pasti itu dari terkaan batin.
Tauhid objeknya berkaitan dengan masalah kepercayaan sedangkan fiqih
berkaitan dengan hukum perbuatan lahiriah/amaliyah tauhid menguatkan aqidah dan
syariah fiqih mengambil hukum dari perbuatan/peristiwa yang belum secara rinci di
jelaskan oleh nash.
Tauhid memberi corak mewarnai aqidah agama dengan petunjuk nash yng
dikokohkan rasio atau akal dan cendrung membentuknya dengan rasio. Tasawuf
bertujuan merasakan aqidah dengan hati nurani dan bukann membahasnya lewat akal
dan logika melainkan dengan perasaan. Tauhid produk pemahaman akal dengan tidak
meninggalkan agama. Sedang tasawuf kebenaran berasal dari terkaan batin atau
intuisi.
Untuk memahami kandungan kalamullah, untuk mengetahui cara dan gaya serta
metode yang digunakan para mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an, untuk mengetahui
persyaratan –persyaratan dalam menafsirkan al-Qur’an.
3. Hakekat al-Qur’an
Hakekat al-Qur’an yaitu makna yang berdiri pada dzat Allah, Menurut al-Ghazali
hakikat al-Qur’an adalah kalam yang berdiri pada dzat Allah yaitu suatu sifat yang qadim
diantara sifat-sifat-Nya.10
Wahyu adalah yang dibisikkan kedalam sukma diilhamkan dan isyarat cepat yang
seperti dirahasiakan.11 Perbedaan antara ilham dengan wahyu, ilham yaitu perasaan halus
9
Erwandi Gunawan Dly, pengertian al-Qur’an dan ulumul Qur’an/ studi al-Qur’an, urgensi mempelajari
studi al-Qur’an . Diakses dari situs: http://erwandigunawandly.blogspot.co.id/2014/05/pengertian-al-quran-
dan-ulumul-quran.html Pada tanggal 02 Juni 2017.
10
Tengku M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2010), 8.
11
Tengku M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR, 8.
yang diyakini jiwa dan terdorong untuk memenuhinya dengan tidak merasa dari mana
datangnya. Adapun wahyu adalah irfan yang diperoleh manusia pada jiwanya dengan
meyakini bahwa yang demikian itu dari Allah, baik dengan perantara atau tidak.12
5. Kedudukan Al-Qur’an
Al-Qur’an sebagai wahyu, berita dan khabar, pedoman hidup, al-Quran sebagai
sesuatu yang abadi, al-Qur’an dinukil secara mutawatir, sumber segala sumber hukum.
Sebagai sumber hukum pertama dan utama, dan pedoman hidup manusia. Juga sumber
disiplin ilmu keislaman: ilmu tauhid, hukum, tasawuf, filsafat, sejarah Islam, pendidikan
Islam.
Fungsi sebagai: mauizah (nasehat), syifa, hudan, rahmat, furqan. Selain itu juga
sebagai mukjizat, sumber dari segala sumber hukum, hakim tertinggi, penguat kebenaran
agama.
Maqasid adalah tajuk pembicaraan utama dan prinsip-prinsip asas yang ditujukan
oleh surah dan ayat al-Qur’an serta pengetahuan tentang risalah Islam, akidah, akhlak,
ibadah, hukum, dan syarah.
Kandungan al-Qur’an: tauhid, janji dan ancaman, ibadah dan kisah umat terdahulu.
Living qur’an adalah Al-Qur’an yang hidup dimasyarakat dan diamalkan oleh
masyarakat. Al-Qur’an diyakini, kemudian diamalkan dan ada motivasi pengamalan/apa
yang menjadi tujuannya .
Tafsir: menyingkap maksud suatu lafaz yang musykil. Menurut az-Zarkasyi tafsir
adalah ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhamad saw,
menerangkan makna-maknaya serta mengeluarkan hukum dan hikmahnya. Tafsir
menyingkapkan apa yang dimaksud oleh lafaz dan membebaskan sesuatu dari
pemahaman.
Ta’wil menurut bahasa: menerangkan, menjelaskan. Ta’wil berasal dari kata ‘aul
yang berarti ruju (kembali), as-shaf (memalingkan). Menurut istilah: memalingkan lafal
dari maknanya yang tersurat kepada makna yang lain (batin) yang dimiliki lafal itu, jika
makna lain tersebut dipandang sesuai dengan ketentuan al-Qur’an dan sunnah. Adapun
sasarannya adalah ayat-ayat mutasyabihat.
Tarjamah: salinan dari satu bahasa kebahasa yang lain, atau mengganti, menyalin,
memindahkan kalimat dari satu bahasa kebahasa yang lain.
11. Beberapa tahapan dalam studi Al-Qur’an
Penelusuran makna dengan lafal al-Qur’an yang ingin dicari, buka kamus mu’jam,
wujuh nazhair, nadhratun na’im. Aplikasi al-Qur’an.
Konsep dasar studi hadis yaitu Segala perkataan, perbuatan, ketetapannya, dan
perjanjian dari nabi muhammad saw, untuk menetapkan hukum di dalam agama islam.
Studi sanad dan matan, studi perspektif hadis di masyarakat, studi pemikiran terhadap
hadis.15
Ruang lingkup pembahasan ilmu Hadits atau ilmu musthalah Hadits pada garis
besarnya meliputi ilmu Hadits Riwayah dan ilmu Hadits Dirayah.16
15
M. Alawi Maliki, Ilmu Ushul Hadis, penj. Adnan Qohar (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 37.
16
M. Alawi Maliki, Ilmu Ushul Hadis, penj. Adnan Qohar, 39.
Hadis yaitu segala perkataan Nabi, perbuatan, dan hal ihwal.17
Sunah yaitu segala yang disandarkan dari Nabi SAW baik berupa perkatan,
perbuatan, taqrir, perangai, budi pekerti, perjalanan hidup, baik sebelum diangkat
menjadi rasul maupun sesudahnya.18
Khabar yaitu mencakup semua hal yang datang dari Nabi, sahabat dan tabi’in, baik
perkataan, perbuatan, maupun ketetapan.19
Atsar yaitu segala sesuatu yang diriwayatkan dari sahabat, dan boleh juga
disandarkan kepada perkataan Nabi.20
Kesamaannya bahwa pengertian hadis, sunah, khabar, dan atsar memiliki kesamaan
maksud yaitu segala sesuatu yang disandarkan dari Nabi, atau kepada sahabat, atau
kepada tabi’in, baik yang berupa perkataan, perbuatan, taqrir, atau sifat-sifat. Sedangkan
yang membedakan antara yang datang dari Rasulullah atau sahabat, atau tabi’in, adalah
keterangan-keterangan dalam periwayatanya.21
Kedudukan hadis sebagai sumber hukum islam ke dua setelah Al-qur’an dan menjadi
sebagai sumber hukum syariat islam yang tetap.22
Fungsi hadis terhadap Al-Qur’an yaitu sebagai bentuk menjelaskan kandungan dan
cara-cara melaksanakan ajaran yang terdapat dalam Al-Qur’an seperti:23
a. Bayan at-Taqrir yaitu menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan di
dalam Al-qur’an.
b. Bayan al-Tafsir yaitu untuk memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat
Al-Qur’an yang masih bersifat global, memberikan persyaratan/batasan ayat-ayat
17
Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), 2.
18
M. Alawi Maliki, Ilmu Ushul Hadis, penj. Adnan Qohar, 45.
19
M. Alawi Maliki, Ilmu Ushul Hadis, penj. Adnan Qohar, 46.
20
M. Alawi Maliki, Ilmu Ushul Hadis, penj. Adnan Qohar, 47.
21
M. Alawi Maliki, Ilmu Ushul Hadis, penj. Adnan Qohar, 47.
22
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, 49.
23
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, 58-66.
Al-Qur’an yang bersifat mutlak, dan menghkususkan terhadap ayat-ayat Al-
Qur’an yang masih bersifat umum.
c. Bayan at-Tasyri yaitu mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak
didapati dalam al-Qur’an atau dalam al Quran hanya ada pokok-pokoknya saja
d. Bayan al-Naskh yaitu adanya dalil syara yang mengubah suatu hukum (ketentuan)
meskipun jelas, Karena telah berakhir masa keberlakuannya serta tidak bisa
diamalkan lagi
Perkembangan hadis pada periode Nabi pada masa itu umat islam dapat secara
langsung memperoleh hadis dari Rasul sehingga sahabat dapat berguru dan bertanya
langsung tentang segala sesuatu yang mereka tidak mengetahuinya.24 tempat pertemuan
mereka seperti di masjid, rumah, pasar, ketika dalam perjalanan (safar) dan ketika
muqmin (berada di rumah) diantara acara-acranya yaitu melalui para jamaah majlis al-
ilmi melalui majlis tersebut para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima
hadis kedua dalam banyak kesempatan rasul juga menyampaikan hadisnya melalui
sahabat tertentu yang kemudian disampaikan pada sahabat yang lain, yang ketiga melalui
ceramah atau pidato ditempat terbuka. Selain itu pada masa ini rasul hanya menyuruh
menghafalkan hadis dan melarang untuk di tulis.
Perkembangan hadis pada masa sahabat dalam hal ini hadis tidak terlalu berkembang
karena sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran Al-qur’an. maka
diantara perkembangana yaitu pada masa ini sahabat betul-betul memelihara pesan nabi
dan mengamalkan hadis nabi, sahabat sangat berhati hati dalam meriwayatkan hadis cara
meriwayatkan hadis pada masa ini yaitu dengan cara periwayatan lafzi dan dengan
periwayatan maknawi.25
24
Teungku M. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits (Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2009), 29.
25
Mohammad Nor Ichwan, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis (Semarang: RaSAIL Media Group, 2013), 138.
Perkembangan hadis pada masa ini tidak jauh berbeda denngan sahabat, hanya saja
pada masa ini para sahabat ahli hadis sudah menyebar ke berbagai wilayah kekuasaan
islam maka kepada merekalah para tabi’in mempelajari hadis diantara penyebarannya
yaitu pertama melalui pembinaan hadis seperti di Makkah Madinah, Kufah, Syam, Mesir,
Maghribi, Andalusi, Yaman dan Khurasan. Pada masa ini juga umat islam menjadi
terpecah belah kedalam beberapa kelompok yang mana efek negatifnya bermunculanlah
hadis-hadis palsu. Maka pada masa ini lahirlah rencana untuk mendorong diadakanya
kodifikasi hadis.26
Pada periode ini pemerintah islam yang dipimpin oleh Khalifah umar bin Abdul Aziz
melalui intruksinya agar memperhatikan dan mengumpulkan hadis dari para
penghafalnya. Hal ini dilator belakngi karena kehawatiran hilangnya hadis hadis dengan
meninggalnya para ulama di medan perang juga khawatirnya tercampurnya hadis shahih
dengan hadis palsu hal tersebut dilakukan dengan dua masa:27
a. Masa penyaringan hadis terjadi ketika pemerintah dipegang oleh dinasti Bani
Abbas pada masa al Makmun sampai dengan al-Muktadir dilatarbelakngi pada
periode tadwin belum berhasil memisahkan beberapa hadis mauquf dan maqthu
dari hadis marfu juga beberapa hadis yang daif dari yang shahih bahkan hadis
yang maudhu tercampur pada yang sahih. Maka pada masa ini ulama bersungguh-
sungguh mengadakan penyaringan hadis yang diterimanya melalui kaidah-kaidah
yang diterimanya
b. Masa pengembangan dan penyempurnaan sistem penyusunan kitab-kitab hadis
dalam masa ini penyusunan lebih mengarah kepada usaha mengembangkan
dengan beberapa variasi pentadwinan terhadap kitab-kitab yang sudah ada
diantarnya mengumpulkan isi kitab shahih bukhari dan Muslim.
26
Mohammad Nor Ichwan, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, 151.
27
Mohammad Nor Ichwan, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, 156.
Dalam tataran praktiknya, ilmu hadis sudah ada sejak periode awal islam, paling
tidak, dalam arti dasar-dasarnya. Ilmu ini muncul bersamaan dengan mulainya
periwayatan hadis yang disertai dengan tingginya perhatian dan selektivitas sahabat
dalam menerima riwayat yang sampai kepada mereka. Berawal dengan cara yang sangat
sederhana, ilmu ini berkembang sedemikian rupa seiring dengan berkembangnya masalah
yang dihadapi.
Pada periode Rasulullah SAW., kritik atau penelitian terhadap suatu riwayat (hadis)
yang menjadi cikal bakal ilmu hadis terutama ilmu hadis dirayah dilakukan dengan cara
yang sederhana sekali. Apabila seorang sahabat ragu-ragu menerima suatu riwayat dari
sahabat lainnya, ia segera menemui Rasulullah SAW atau sahabat lain yang dapat
dipercaya utnuk mengonfirmasikannya. Setelah itu, barulah ia menerima dan
mengamalkan hadis tersebut.
Pada periode sahabat, penelitian hadis yang menyangkut sanad maupun matan hadis
semakin menampakkan wujudnya. Abu Bakar Ash-Shiddiq (573-634 H; khalifah pertama
dari Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun atau empat khalifah Besar), misalnya, tidak mau menerima
suatu hadis yang disampaian oleh seseorang, kecuali yang bersangkutan maupun
mendatangkan saksi untuk memastikan kebenaran riwayat yang disampaikannya.
Ali bin Abi Thalib Khalifah terakhir dari Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun menetapkan
persyaratan tersendiri. Ia tidak mau menerima suatu hadis yang disampaikan oleh
seseorang, kecuali orang yang menyampaikannya bersedia diambil sumpah atas
kebenaran riwayat tersebut. Meskipun demikian, ia tidak menurut persyaratan tersebut
terhadap sahabat-sahabat yang paling dipercaya kejujuran dan kebenaranya, seperti Abu
Bakar Ash-Shiddiq.
Pada akhir abad ke-12 H, barulah penelitian atau pengkritikan hadis mengambil
bentuk sebagai ilmu hadis teoretis, di samping bentuk praktis seperti dijelaskan di atas.
Imam Asy-Syafi’i adalah ulama pertama yang mewariskan teori-teori ilmu hadisnya
secara tertulis sebagaimana terdapat dalam karya monumentalnya Ar-Risalah (kitab usul
fiqih) dan Al-Umm (kitab fiqh).
Dalam catatan sejarah perkembangan hadis, diketahui bahwa ulama yang pertama
kali berhasil menyusun ilmu hadis dalam suatu disiplin ilmu lengkap adalah Al-Qadi Abu
Muhammad Al-Hasan bin Abd. Ar-Rahman bin Khalad Ar-Ramahurmuzi (265-360 H)
dalam kitabnya, Al-Muhaddits AL-Fashil bin Ar-Rawi wa Al-Wa’i.28
Hadis Shahih adalah hadits yang muttasil (bersambung) sanadnya, diriwayatkan oleh
orang adil dan dhobith(kuat daya ingatan) sempurna dari sesamanya, selamat dari
kejanggalan (syadz), dan cacat (‘ilat).30
Hadis hasan adalah hadits yang tidak berisi informasi yang bohong, tidak
bertentangan dengan hadits lain dan Al-Qur'an dan informasinya kabur, serta memiliki
lebih dari satu Sanad31
Hadis Dhaif adalah Setiap hadis yang tingkatannya berada dibawah hadits hasan
(tidak memenuhi syarat sebagai hadis shahih maupun hasan).32
30
M. Alfatih Suryadilaga dkk, Ulumul Hadis, 224.
31
M. Alfatih Suryadilaga dkk, Ulumul Hadis, 261.
32
M. Alfatih Suryadilaga dkk, Ulumul Hadis, 276.
10. Klasifikasi hadis ditinjau dari segi kuantitas
Mutawatir dan Ahad.
Hadis Mutawatir, yaitu hadis yang memiliki banyak sanad dan mustahil perawinya
berdusta atas Nabi Muhammad saw, sebab hadis itu diriwayatkan oleh banyak orang dan
disampaikan kepada banyak orang.33
Hadits Marfu’ adalah Hadits yang disandarkan kepada Rasulullah SAW baik dari segi
perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat.35
Hadits Mauquf adalah Hadits yang disandarkan kepada sahabat dari segi perkataan,
perbuatan atau pendapat.36
Hadits Maqtu’ adalah hadits yang disandarkan kepada Tabi’in dari segi perkataan ,
perbuatan.37
Tabiin: orang yang bertemu dengan sahabat dan beriman kepada Nabi serta
meninggal dunia dalam keadaan beriman
Mukhadramun: adalah orang yang hidup pada masa jahiliyyah dan pada masa Nabi
lalu masuk Islam tapi tidak sempat melihat Nabi, menurut pendapat shahih mukhadramun
dimasukkan dalam golongan tabiin.
33
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, 96.
34
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, 107.
35
Abdullah Karim, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis (Banjarmasin: COMDES, 2005), 129.
36
Abdullah Karim, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, 131.
37
Abdullah Karim, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, 134.
14. Gelar-gelar ulama hadis
a. Thalibul hadits, yaitu orang yang baru mulai menggeluti hadits
b. Al-Musnid, yaitu orang yang meriwayatkan hadits dengan menyebutkannya
secara bersanad baik ia memiliki pengetahuan tentangnya ataupun tidak memiliki
kecuali hanya sekedar meriwayatkan.
c. Al-Muhaddits, yaitu orang yang bergelut dalam ilmu hadits riwayah dan dirayah
serta menelaah banyak riwayat-riwayat dan mengetahui keadaan para perawinya
menurut jarh ta’dil.
d. al-Hafiz, lebih tinggi tingkatanya dari pada muhaddits dimana jumlah rijal yang ia
ketahui dari setiap thabaqat lebih banyak dari yang tidak ia ketahui. Ada yang
berpendapat bahwa ia adalah orang yang hafal 100 ribu hadits disertai
pengetahuannya tentang keadaan perawinya menurut jarh wa ta’dil.
e. Al-Hujjah, yaitu orang yang hafal 300 ribu hadits disertai pengetahuan-
pengetahuannya tentang keadaan para perawinya menurut jarh wa ta’dil.