Anda di halaman 1dari 5

Tafsir QS.

Al-Hijr ayat 18

• M. Quraish Shihab (al-Mishbah)

"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di langis gugusan bintang-bintang dan Kami telah
menghiasinya bagi para pemandang, dan Kami menjaganya dari setiap setan yang terkutuk,
kecuali yang mencuri-curi pendengaran lalu ia dikejar oleh semburan api yang terang."

Ayat ini menyatakan, Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di langit gugusan bintang-
bintang yang, jika mereka sadari, tidak perlu lagi mereka menuntut bukti dan Kami telah
menghiasinya, yakni langit itu, bagi para pemandang sehingga langit dan hiasannya itu dapat
memuaskan nalar dan rasa manusia dan mengantarnya percaya kepada keesaan Allah swt. dan,
di samping itu, Kami juga menjaganya dari setiap setan yang terkutuk, kecuali bagi yang
mencuri-curi pendengaran, yakni percakapan para malaikat, lalu ia dikejar oleh semburan api
yang terang. Kata (‫ )بروج‬buruj adalah bentuk jamak dari (‫ )برج‬burj, yang dari segi bahasa
bermakna istana atau benteng. Ada ulama yang memahaminya dalam arti bintang-bintang. la
dinamai demikian karena besar dan agungnya, dan banyak juga yang memahaminya dalam arti
tempat-tempat peredaran bintang-bintang tertentu. Apa pun makna yang dipilih, semuanya
menunjukkan kekuasaan Allah swt.

Ibn 'Asyur memahami kata (‫ )بروج‬buruj dalam arti yang kedua. Bintang-bintang itu tampak
berbentuk titik-titik yang bila dibuatkan garis dengan mengikuti titik-titik itu, bentuknya akan
terlihat seperti binatang atau alat-alat tertentu. Orang-orang terdahulu menjadikannya sebagai
tempat perjalanan matahari yang berjumlah dua belas sebanyak bilangan bulan dalam setahun,
yang diberi nama: Capricornus, Aquarius, Pisces, Aries, Taurus, Gemini, Cancer, Leo, Virgo,
Libra, Scorpio, dan Sagitarius.

Dahulu, orang percaya bahwa bintang-bintang dan benda-benda langit adalah dewa-dewa yang
mempunyai pengaruh pada bumi dan isinya. Ilmu perbintangan mengetahui atau astrologi
merupakan salah satu cabang sihir yang mengetahui gerak benda-benda langit, dipercaya oleh
masyarakat dapat mengetahui apa yang akan terjadi bagi seseorang, bahkan dapat berdampak
bagi masyarakat dan manusia seluruhnya. Munculnya bintang ini dan bintang itu juga dipercaya
sebagai pertanda sesuatu. Dalam Perjanjian Baru (Matius 2), disebutkan bahwa orang orang
Majusi mengetahui kelahiran Isá as, setelah mereka melihat bintangnya di Timur. Atas dasar
astrologi, mereka juga menentukan hari-hari, bahkan jam-jam yang baik dan buruk untuk
melakukan aktivitas. Dari sini, lahir apa yang diduga orang sebagai hari baik dan hari sial.
Masyarakat Arab Jahiliah pun memercayai hal serupa. Ilmu perbintangan dimasukkan oleh Nabi
saw. dalam bagian ilmu sihir. "Barang siapa yang mempelajari satu ilmu dari bintang-bintang
(astrologi), dia telah mempelajari satu bagian dari sihir. Sihirnya akan bertambah dengan
bertambahnya ilmu perbintangan itu" (HR. Abû Dáud dan Ibn Mâjah). Rasul saw. juga
memperingatkan bahwa "Siapa yang berkunjung kepada peramal dan bertanya sesuatu
kepadanya (dan ia membenarkannya), shalatnya tidak diterima Allah selama empat puluh hari"
(HR. Muslim dan Ahmad).

Para agamawan tidak berbeda pendapat dalam menetapkan kekufuran bagi siapa saja yang
percaya bahwa bintang-bintang adalah tuhan-tuhan, baik dipuja maupun tidak. Adapun bahwa
ia mempunyai pengaruh terhadap aktivitas manusia -maka kepercayaan semacam ini pun
sangat tidak direstui Islam- walau para ulama tidak menilainya sebagai kekufuran. Ia adalah
suatu kemunkaran dan kebodohan yang seharusnya tidak menyentuh seorang muslim.
"Bintang- bintang hanya dijadikan Allah untuk hiasan langit, melontar setan, dan sebagai
penunjuk arah bagi manusia. Hanya tiga hal itu yang disebut dalam al-Qur'an." Demikian
dikemukakan dalam kumpulan hadits sahih Bukhâri. Kini, walau kepercayaan menyangkut
astrologi sudah tidak sepenuhnya sama dengan kepercayaan masa lampau, dan benda-benda
langit tidak lagi dipercaya sebagai dewa-dewa, masih ada saja yang percaya bahwa bintang-
bintang mempunyai pengaruh dalam aktivitas manusia.

Ayat-ayat di atas menginformasikan bahwa langit dipelihara oleh Allah Swt. dari setan sehingga
mereka hanya mampu mencuri-curi pendengaran.

Kata (‫ )استرق‬istaraqa terambil dari kata (‫ )سرق‬saraqa yang berarti mencuri. Penambahan huruf
sin dan ta' pada kata itu memberi arti upaya pencurian yang disertai oleh rasa takut yang
mencekam pelakunya.

Kata (‫ )رجيم‬rajim biasa diterjemahkan terkutuk dan dipahami juga dalam arti yang hina. Ini
karena masyarakat masa lampau melempar seseorang yang dihina. Ada yang berpendapat
bahwa kata itu berasal dari kata (‫ )الرجام‬ar Rujam yang berarti batu. Pelemparan orang-orang
yang dihina telah dikenal sejak zaman Nabi Nuh as. sebagaimana diisyaratkan oleh QS. asy-
Syuara [26]: 116. Agaknya, hukum rajam yang dijatuhkan kepada para pezina yang telah
menikah juga bertujuan menghina pelaku kejahatan itu, di samping membersihkan dan
membentengi masyarakat dari kejahatan tersebut.

Di tempat lain, al-Qur'an mengabadikan ucapan jin yang menyatakan bahwa:

"Sesungguhnya kami dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit untuk mendengar-
dengarkan (berita-beritanya). Tetapi sekarang, barang siapa yang (mencoba) mendengar-
dengarkan (seperti itu) tentu akan menjumpai panah api yang mengintai (untuk
membakarnya)" (QS, al-Jinn [72]:9).

Maksudnya, dahulu sebelum diutusnya Nabi Muhammad saw. mereka dengan mudah naik ke
langit dan dengan tenang mendengarkan pembicaraan para malaikat, tetapi kini, walau masih
memiliki kemampuan, upaya menuju ke langit dan ketenangan mendengar pembicaraan itu
diusik dengan semburan api. Kalau tadinya mereka dengan leluasa mendengar apa saja,
kemudian menginformasikannya kepada tukang-tukang tenung dan peramal yang menyembah
atau tunduk kepada mereka, sejak diutusnya Nabi Muhammad saw. kemampuan tersebut
sudah sangat terbatas sehingga sejak itu mereka hanya dapat mencuri-curi pendengaran.
Dengan demikian, kalaupun mereka dapat memberi informasi kepada rekan-rekannya dari
golongan manusia atau jin maka informasi itu hanya sepotong-sepotong atau bahkan keliru.
Tidak jarang para peramal yang berhubungan dengan jin membumbui dan menambah-nambah
informasi jin yang setengah-setengah itu.

Dalam konteks ini, Allah swt. berfirman:

"Apakah akan Aku beritakan kepadamu, kepada siapa setan-setan itu turun? Mereka turun
kepada setiap pendusta lagi yang banyak dosa" (QS. asy-Syu'ara [26]: 221-222).

Imam Bukhâri meriwayatkan melalui Abû Hurairah, bahwa Nabi saw. bersabda, "Apabila Allah
swt. menetapkan suatu ketetapan, para malaikat merendahkan sayap mereka pertanda tunduk
pada ketetapan-Nya bagaikan rantai yang menyentuh batu yang halus serta takut kepada-Nya,
Maka, apabila ketakutan mereka telah reda, (sebagian) mereka bertanya kepada sebagian yang
lain, 'Apa yang disampaikan Tuhan?' Maka, yang ini menjawab kepada yang bertanya, 'Allah
swt. Menetapkan yang hak, Dia Mahatinggi lagi Mahabesar' (sambil menyampaikan apa yang
ditetapkan Allah swt.). Ketika itu, para jin yang mencuri-curi pendengaran dalam keadaan
seperti ini (perawi hadits ini menunjukkan tangan kanannya dengan merenggangkan jari-jarinya
satu di atas yang lain). Ketika itu, boleh jadi yang mencuri pendengaran terkena semburan api
sehingga membakarnya dan boleh jadi juga ia luput dari semburannya sehingga ia dapat
menyampaikannya kepada jin yang ada di bawahnya dan akhirnya sampai ke bumi dan diterima
oleh tukang sihir atau tenung lalu ia berbohong seratus kebohongan dan ia dipercaya. Orang-
orang yang mendengar dan memercayainya berkata, 'Bukankah pada hari ini dan itu ia
menyampaikan kepada kita ini dan itu, dan ternyata benar?' yakni benar menyangkut apa yang
didengar dari langit. Hadits serupa diriwayatkan juga oleh Imam Muslim dalam sahihnya,
melalui Ibn 'Abbâs, dia berkata, "Aku diberitakan oleh salah seorang sahabat Nabi saw. dari
kelompok al-Anshâr (penduduk Madinah) bahwa pada suatu malam mereka duduk bersama
Nabi saw., tiba-tiba ada cahaya bintang menyembur." Rasul saw. bertanya, "Apa yang kalian
duga pada masa Jahiliah bila terjadi semburan demikian?" Mereka menjawab, "Allah swt. dan
Rasul-Nya yang lebih mengetahui. Kami tadinya berkata (percaya) bahwa pada malam itu lahir
atau mati seorang agung." Rasul saw. menjawab, "la tidak menyembur karena kematian atau
kelahiran seseorang, tetapi Tuhan kita Yang Mahasuci dan Mahatinggi nama-Nya, apabila
menetapkan sesuatu, para malaikat pemikul Arsy (singgasana llahi) bertasbih, kemudian
penghuni langit di bawah mereka juga bertasbih hingga sampai tasbih kepada penduduk langit
dunia." Mereka yang berada di bawah para malaikat pemikul 'Arsy bertanya, "Apa yang
difirmankan Tuhan?" Maka, mereka menyampaikan apa yang difirmankan-Nya itu. Penduduk
langit pun saling bertanya dan memberitakan hingga sampai kepada penghuni langit dunia.
Ketika itu, jin mencuri-curi pendengaran, lalu menyampaikannya kepada rekan-rekan mereka.
Maka, apa yang mereka sampaikan sebagaimana yang mereka dengar adalah benar, tetapi
mereka mencampurnya dengan kebohongan dan menambah-nambahnya".

Para ulama berbeda pendapat menyangkut makna kata-kata yang digunakan al-Qur'an dan
sunnah itu. Ada yang berpendapat penjagaan langit, semburan api, dan sebagainya
menyangkut persoalan yang dipaparkan ini hanyalah perumpamaan dan penggambaran atau
ilustrasi tentang pemeliharaan Allah swt. terhadap al-Qur'an dari segala macam kerancuan
serta penegasan tentang ketidakmampuan jin membatalkan tuntunan lahi. Setan, menurut
mereka, adalah lambang keburukan, kedurhakaan, dan pembangkangan, malaikat adalah
sebaliknya, sedangkan penyemburan api terhadap setan adalah kekukuhan
pemeliharaan/penjagaan.

Berbeda dengan pendapat ini adalah yang menafsirkannya secara harfiah atau paling sedikit
tidak menjelaskan apa yang dimaksud oleh kata-kata yaig digunakan kedua sumber ajaran Islam
itu. Mereka tidak mempertanyakan di mana penjaga langit itu, siapa mereka, dan bagaimana
mereka melontar karena al-Qur'an tidak menjelaskannya, dan tidak juga ditemukan hadits sahih
yang dapat menjadi sumber informasi. Mereka menekankan bahwa kita tidak boleh menolak
atau meragukan persoalan yang diinformasikan agama menyangkut penyemburan dengan
syihab atau syuhub (meteor atau panah api) dengan dalih ada hukum-hukum alam yang
mengatur peredaran planet-planet dan benda-benda langit, walaupun dalam saat yang sama
kita harus mengakui keberadaan dan keniscayaan hukum-hukum alam itu karena, seperti tulis
Sayyid Quthub salah seorang penganut aliran ini: "Persoalan penjagaan langit, penyemburan
setan, dan semacamnya bukan persoalan kita. Apalagi, bukankah tidak mustahil dalam
peredarannya itu ia menyemburkan panah-panah api ke arah setan-setan dan jin, dan bukan
pulakah peredaran seluruh planet -yang menyemburkan api maupun yang tidak- kesemuanya
tunduk kepada kehendak Allah swt. yang menetapkan hukum-hukum tersebut?"

Selanjutnya, para ulama yang menetapkan makna kalimat-kalimat di dalam pengertian hakiki-
nya berbeda pendapat menyangkut kemampuan mencuri pendengaran yang dilakukan oleh
para jin itu, apakah hingga kini mereka masih dapat melakukannya atau tidak lagi. Yang
menafikan berpegang kepada firman Allah swt.

"Sesungguhnya mereka benar-benar dijaubkan dari mendengar" (QS. asy Sya'ara' [26]: 212).

Sedang, yang berpendapat mereka masih dapat mendengarkan -walau dengan sangat terbatas-
merujuk kepada firman Allah swt.
"Mereka menghadapkan pendengaran itu, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang
pendusta" (QS. asy-Syu'ara' (26]: 223).

Kata "mereka", menurut pendukung pendapat terakhir ini, adalah para setan/jin itu, bukannya
manusia yang menerima berita dari setan.

Hadits yang diriwayatkan Bukhåri di atas mendukung pendapat yang menyatakan bahwa jin
masih memiliki kemampuan mendengar berita-berita langit, tetapi kemampuan tersebut sudah
sangat terbatas. Ibn Khaldůn dalam Muqaddimah-nya berpendapat bahwa para jin hanya
terhalangi mendengar satu macam dari berita-berita langit yaitu yang berkaitan dengan berita
diutusnya Nabi Muhammad saw., tidak selainnya. Atau, seperti yang ditulis oleh pakar tafsir,
Mahmud al-Alusi, boleh jadi juga keterhalangan itu hanya terbatas menjelang kehadiran Nabi
Muhammad saw., bukan sebelumnya dan bukan juga sesudah kehadiran beliau sebagai Rasul.

Ayat-ayat di atas berbicara tentang keindahan, yang dirangkaikan dengan pemeliharaan dan
kejauhan dari setan. Ini memberi kesan tentang perlunya memberi perhatian kepada keindahan
tetapi yang disertai dengan pemeliharaan diri dan kejauhan dari segala macam keburukan lahir
dan batin serta terhindar dari segala rayuan dan godaan setan.¹

Footnote: M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah jilid 6, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 431-437

Anda mungkin juga menyukai