Anda di halaman 1dari 7

1. Mengemukakan kosa kata, contoh pada penafsiran QS.

Al-Fatihah ayat 4 kata ad-din, HAMKA


menerangkan bahwa ad-din tidak hanya berarti agama saja, tetapi juga berarti pembalasan, yang
dikaitkan dengan yaumul hisab di akhirat kelak.

2. Munasabah/korelasi ayat, contoh pada penafsiran QS. Al-Fatihah ayat 4, maliki yaumid-din, yang
berhubungan dengan ayat 3, Ar-Rahmanir-Rahim. HAMKA menerangkan bahwa sifat Pengasih lagi
Penyayang Allah diseimbangkan dengan sifat-Nya yang adil di akhirat kelak, manusia diberikan-Nya
berbagai nikmat dan kemudahan selama hidup di dunia, namun jika mereka dibiarkan begitu saja tanpa
nanti dimintai pertanggungjawaban atas segala nikmat dan kemudahan itu, niscaya akan terjadi
kerusakan dan kehancuran di muka bumi ini, maka Allah mengingatkan kepada manusia bahwa selain
Dia memiliki sifat yang sangat baik kepada manusia, Dia juga dapat menyiksa orang-orang yang
membangkang dari jalan yang benar. Contoh lain dari ini adalah seperti pada QS. Al-Hijr ayat 49-50 yang
artinya, "Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku bahwa Aku adalah Yang Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang, dan sesungguhnya adzab-Ku adalah adzab yang sangat pedih".

3. Menyebutkan Asbabub Nuzul (Latar belakang turunnya ayat, contoh pada penafsiran QS. Al-Baqarah
ayat 186, HAMKA mengutip asbabun nuzul ayat tersebut, yakni:

Menurut riwayat dari Ibnu Jarir, dan Ibnu Abi Hatim dan Abusy Syaikh dan Ibnu Mardawaihi yang
mereka terima dari riwayat as-Shalt bin Hakim, yaitu seorang sahabat Anshar, yang diterima pula dari
ayahnya dan ayahnya menerima dari neneknya, bahwa seorang laki-laki pernah bertanya kepada
Rasulullah s.a.w.: "Ya Rasulullah. Apakah Tuhan kita itu Dekat dari kita, sehingga dapat kita seru dengan
suara lembut ataukah Dia jauh, sehingga kita seru Dia dengan suara keras?" Mendengar pertanyaan itu,
Nabi pun terdiam. Lalu turunlah ayat ini, yang menerangkan bahwa Tuhan itu Amat Dekat kepada kita.
Dengan keterangan ayat ini terjawablah pertanyaan itu dan terjawab pula pertanyaan dari kebanyakan
manusia.

4. Mengemukakan dalil-dalil dari Hadist, Sahabat, tabiin, contoh pada penafsiran QS. Al-Fatihah ayat 6,
HAMKA mengutip dalil-dalil dari Hadist, Sahabat, tabiin untuk menafsirkan ayat tersebut, yakni:

Menurut riwayat lbnu Abi Hatim dari lbnu Abbas, menurut beliau yang dimaksud dengan meminta
ditunjuki jalan yang lurus, tafsirnya ialah mohon ditunjuki agamaMu yang benar.

Menurut beberapa riwayat dari ahli-ahli Hadis, daripada Jabir bin Abdullah, yang dimaksud dengan
Shirofhol Mustaqim ialah Agama Islam. Dan menurut beberapa riwayat lagi, Ibnu Mas'ud mentafsirkan
bahwa yartg dimaksud dengan Shirothol Mustaqim ialah Kitab Allah (al-Quran).

Menurut yang dirawikan oleh lmam Ahmad, Termidzi, an-Nasa'i, Ibnu Jarir, Ibnul Mundzir, Abu syaikh,
al-Hakim, Ibnu Mardawaihi dan al-Baihaqi, sebuah Hadis Rasulullah s.a.w., diriwayatkan daripada an-
Nawwas lbnu Sam'an, pernah Rasulullah s.a.w. berkata, bahwasanya Allah Ta'ala telah membuat satu
perumpamaan tentang shiro thal Mustaqim itu; bahwa di kedua belah jalan itu ada dua buah dinding
tinggi. Pada kedua dinding tinggi itu ada beberapa pintu terbuka, dan di atas tiap-tiap pintu itu ada
lelansir penutup (Serdiyn). Sedang di ujung jalan tengah yang lurus (Shirathal Mustaqim) itu ada seorang
berdiri memanggil-manggil: "Wahai sekalian manusia, masuklah ke dalam Shirat ini semuanya, jangan
kamu berpecah-belah", dan ada pula seorang penyeru dari atas Shirat. Maka apabila manusia hendak
membuka salah satu diri pintu-pintu itu berkatalah dia: "Celaka! Jangan engkau buka itu! Kalau dia
engkau buka, niscaya engkau akan terperosok ke dalam." Maka kata Rasulullah selanjutnya: Jalan Shirat
itu ialah Islam, dan kedua dinding sebelah menyebelah itu ialah segala batas-batas yang ditentukan
Allah. Dan banyak pintu-pintu terbuka itu ialah segala yang diharamkan Allah. Penyeru yang menyeru di
ujung jalan itu ialah Kitab Allah, dan penyeru yang menyeru dari atas itu ialah Wa'izh (Pemberi Nasihat)
dari Allah yang ada dalam tiap-tiap diri Muslim". Berkata lbnu Katsir dalam tafsimya bahwa Hadis ini
hasan lagi shahih'.

Maka semua penafsiran tadi dapatlah digabungkan menjadi satu Shirothol Mustoqim memang agama
yang benar, dan itulah Agama lslam' Dan sumber petunjuk dalam Islimitu tidak lain ialah al-Quran, dan
semuanya dapat diambil contohnya dari perbuatan Nabi Muhammad s.a.w. dan sahabat-sahabat beliau
yang utama. Hanya seorang Ulama saja mengeluarkan tafsir agak sempit, yaitu Fudhail bin lyadh.
Menurut beliau Shirothal Mustaqim ialah jalan pergi naik Haji.

5. Mengemukakan penafsiran sendiri, contoh pada penafsiran QS. Al-Fatihah ayat 6 tentang kata al-
mustaqim. HAMKA menerangkan sebagai berikut:

Menurut pelajaran ilmu ukur ruang, garis lurus ialah jarak yang paling dekatdi antara dua titik. Maka di
dalam Shirothol Mustaqim yang kita mohonkan ini, dua titik itu ialah: yang pertama titik kita sebagai
hamba, yang kedua titik Allah sebagai Tuhan kita.

Kita berjalan menuju Dia dan kita datang dari Dia. Mau atau tidak mau, namun kita adalah dari Dia,
menuju Dia, dan bersama Dia. Oleh karena banyaknya rintangan, kerapkali kita lupa akan hal itu. Atau
ada mengetahui,tetapi tidak tahu jalan mana yang akan ditempuh. Kadang-kadang disangka sudah jalan
lurus itu yang ditempuh, padahal sudah terbelok kepada yang lain.

Kita memohon agar Dia sendiri menunjuki kita jalan lurus itu, sehingga sampai dengan cepat kepada
yang dituju, jangan membuangkan waktu pada usia yang hanya sedikit, merencah-rencah dan
terperosok ke jalan lain. Maka yang diminta ialah agar seluruh keperibadian kita, yang mengandung akal,
nafsu, syahwat, perasaan, kemauan, terkumpul menjadi satu dalam petunjuk hidayat Tuhan.

Inilah puncaknya permohonan, yang tadi pada ayat sebelumnya telah kita nyatakan, bahwa hanya
kepadaNya saja kita memohonkan pertolongan, kita tidak hendak meminta benda. Kita tidak hendak
meminta rumah bagus, kekayaan melimpah, dan lain-lain hal yang remeh. Kita memohonkan pokoknya,
yaitu petunjuk. Dan yang lain adalah terserah.

Kalau petunjuk jalan lurus itu tidak diberi, walaupun yang lain hal yang remeh diberikan-Nya, maka yang
lain itu besar kemungkinan akan mencelakakan kita.
Allah SWT berfirman:

‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬ ۤ ٰ ‫اْل‬ ‫هّٰللا‬


ِ َ‫س اَ ْن تَحْ ُك ُموْ ا بِا ْل َع ْد ِل ۗ اِ َّن َ نِ ِع َّما َي ِعظُ ُك ْم بِ ٖه ۗ اِ َّن َ كَا نَ َس ِم ْي ۢ ًعا ب‬
‫ص ْيرًا‬ ِ ‫ۙ واِ َذا َح َك ْمتُ ْم َب ْينَ النَّا‬ ِ ‫اِ َّن َ يَأْ ُم ُر ُك ْم اَ ْن تُؤَ ُّدوا ا َ مٰ ن‬
َ  ‫ت اِ ٰلى اَ ْهلِهَا‬

innalloha ya`murukum an tu`addul-amaanaati ilaaa ahlihaa wa izaa hakamtum bainan-naasi an


tahkumuu bil-'adl, innalloha ni'immaa ya'izhukum bih, innalloha kaana samii'am bashiiroo

"Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila
kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh,
Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha
Melihat."

(QS. An-Nisa' 4: Ayat 58)

* Via Al-Qur'an Indonesia http://quran-id.com

Allah SWT berfirman:

‫َر َّواُ ْن ٰثى َو َج َع ْل ٰن ُك ْم ُشعُوْ بًا َّوقَبَٓائِ َل لِتَ َعا َرفُوْ ا ۗ اِ َّن اَ ْك َر َم ُك ْم ِع ْن َد هّٰللا ِ اَ ْت ٰقٮ ُك ْم ۗ اِ َّن هّٰللا َ َعلِ ْي ٌم َخبِ ْي ٌر‬ ۤ
ٍ ‫ٰيا َ يُّهَا النَّا سُ ِانَّا َخلَ ْق ٰن ُك ْم ِّم ْن َذك‬
yaaa ayyuhan-naasu innaa kholaqnaakum min zakariw wa unsaa wa ja'alnaakum syu'uubaw wa
qobaaa`ila lita'aarofuu, inna akromakum 'indallohi atqookum, innalloha 'aliimun khobiir

"Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan,
kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.
Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah
Maha Mengetahui, Maha Teliti."

(QS. Al-Hujurat 49: Ayat 13)

* Via Al-Qur'an Indonesia http://quran-id.com

Allah SWT berfirman:

ٍ َ‫ق ااْل ِ ْن َسا نَ ِم ْن َعل‬


‫ق‬ َ َ‫ ۚ  َخل‬

kholaqol-insaana min 'alaq

"Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah."

(QS. Al-'Alaq 96: Ayat 2)

* Via Al-Qur'an Indonesia http://quran-id.com

Allah SWT berfirman:

‫ٰۤيا َ يُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا اَل يَسْخَ رْ قَوْ ٌم ِّم ْن قَوْ ٍم ع َٰۤسى اَ ْن يَّ ُكوْ نُوْ ا خَ ْيرًا ِّم ْنهُ ْم َواَل نِ َسٓا ٌء ِّم ْن نِّ َسٓا ٍء ع َٰۤسى اَ ْن يَّ ُك َّن َخ ْيرًا ِّم ْنه َُّن ۚ  َواَل ت َْل ِم ُز ۤوْ ا اَ ْنفُ َس ُك ْم َواَل تَنَا‬
ٰ ‫ك هُم‬
َ‫الظّلِ ُموْ ن‬ ٓ ٰ ُ ‫ق ب ْع َد ااْل ْيما ن ۚ وم ْن لَّم يتُبْ فَا‬
ُ َ ِ‫ولئ‬ َ ْ َ َ ِ َ ِ َ ُ ْ‫س ااِل ْس ُم ْالفُسُو‬ ِ ‫بَ ُزوْ ا بِا اْل َ ْلقَا‬
َ ‫ب ۗ بِ ْئ‬

yaaa ayyuhallaziina aamanuu laa yaskhor qoumum ming qoumin 'asaaa ay yakuunuu khoirom min-hum
wa laa nisaaa`um min nisaaa`in 'asaaa ay yakunna khoirom min-hunn, wa laa talmizuuu anfusakum wa
laa tanaabazuu bil-alqoob, bi`sa lismul-fusuuqu ba'dal-iimaan, wa mal lam yatub fa ulaaa`ika humuzh-
zhoolimuun
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena)
boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula
perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain, (karena) boleh jadi perempuan (yang
diolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu
sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan
adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka
itulah orang-orang yang zalim."

(QS. Al-Hujurat 49: Ayat 11)

* Via Al-Qur'an Indonesia http://quran-id.com

Allah menjadikan manusia sebagai pengemban tugas dalam menjalankan hukum -hukum-Nya, salah
satunya adalah dalam berinteraksi kepada sesamanya dalam memenuhi kebutuhan bersama, dalam hal
ini adalah perjanjian kerja sama. Namun selain dalam perjanjian kepada sesama manusia, Allah juga
mengharuskan kepada manusia untuk menetapkan perjanjian yang kokoh kepada-Nya, yaitu ad-Din atau
agama dimana manusia sebelumnya sudah berikrar pada Allah bahwa Allah adalah Tuhan mereka
semua dan perjanjian lainnya yang dilakukan manusia kepada Allah yang tidak boleh dilanggar,
sebagaimana firman-Nya yang artinya, Maka, Allah menanamkan kemunafikan dalam hati mereka
sampai pada waktu mereka menemui-Nya, karena mereka telah mengingkari janji yang telah mereka
ikrarkan kepada-Nya dan (juga) karena mereka telah berdusta". (QS. At-Taubah : 77). Ayat dan tafsir
ayat yang menjelaskan perihal ini adalah sebagai berikut:

Allah telah menciptakan manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki ketergantungan kepada manusia
lainnya dan ketidakmampuan bagi salah satu dari mereka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa
bantuan dari yang lainnya, maka berdasarkan pada hal ini, Allah menetapkan kepada manusia agar
menjalin hubungan yang baik kepada sesamanya, seperti selalu mendahulukan berbaik sangka kepada
orang lain atau dengan menjauhi perkataan-perkataan yang dapat menyinggung perasaan orang lain,
sebagaimana yang akan dipaparkan sebagai berikut:

(Al-Mishbah) : setelah sebelumnya Allah melarang kaum muslimin untuk berpecah belah dan
mempererat kerenggangan yang telah terjadi dikalangan mereka, pada ayat ini Allah memberi petunjuk
tentang beberapa hal yang harus dihindari agar tidak terjadi pertikaian. Kata Yaskhar/memperolok-olok,
yaitu menyebut kekurangan pihak lain dengan tujuan menertawakan yang bersangkutan, baik dengan
ucapan, perbuatan, atau tingkah laku. Kata Qaum/sekelompok manusia, digunakan pertama kali untuk
menunjuk kelompok laki-laki. Karena kata yang digunakan untuk jamak laki-laki juga bisa digunakan
kepada perempuan, sebagai contoh al-mu'minun yang mencakup mu'minin dan mu'minat. Namun pada
ayat ini juga digunakan kata yang menunjuk kepada wanita secara khusus yaitu nisa'karena hal seperti
ini sering terjadi dikalangan wanita dibandingkan laki-laki. Kata talmizu terambil dari kata nallamz yang
menurut Ibnu Asyur adalah ejekan langsung yang dihadapkan kepada yang diejek, baik dengan isyarat,
bibir, tangan, atau kata-kata yang dipahami sebagai ejekan atau ancaman. Ini adalah salah satu bentuk
kekurangajaran. Ayat ini melarang melakukan al-lamz terhadap diri sendiri sedang maksudnya adalah
orang lain. Firman-Nya, "asa an yakunu khairan minhum" yang artinya boleh jadi yang diejek itu lebih
baik daripada yang mengejek, mengisyaratkan tentang adanya tolak ukur kemuliaan yang menjadi dasar
penilaian Allah yang boleh jadi berbeda dengan tolak ukur manusia secara umum. Hal ini menegaskan
bahwa jika orang menggunakan tolak ukur Allah dalam menilai orang lain, maka dia tidak akan pernah
mengejek orang lain.

Firmannya, asa an yakumU KInaran mum yang arınya Doten jau yang urejek nu lebih baik daripada yang
mengejek, mengisyaratkan tentang adanya tolak ukur kemuliaan yang menjadi dasar penilaian Allah
yang boleh jadi berbeda dengan tolak ukur manusia secara umum. Hal ini menegaskan bahwa jika orang
menggunakan tolak ukur Allah dalam menilai orang lain, maka dia tidak akan pernah mengejek orang
lain. Kata Tanabazu terambil dari kata an-nabz yang artinya gelar buruk. Tanabazu adalah hubungan
timbal balik yang berarti saling memberi gelar buruk. Hal ini dikarenakan gelar buruk sering diberikan
secara langsung dan terang-terangan, sehingga menimbulkan balasan gelar buruk dari yang diberi
kepada yang memberi. Namun tidak semua gelar buruk itu adalah yang dilarang pada ayat ini. Kata
AHsm yang dimaksud oleh ayat ini bukanlah nama, tetapi sebutan. Dengan demikian ayat tersebut
bagaikan menyatakan, "seburuk-buruk sebutan adalah menyebut seseorang dengan sebutan yang
mengandung makna kefasikan setelah dia disifati dengan sifat keimanan". Ada juga yang memahami
kata al-ismdengan tanda." Hablu min Allah yaitu hubungan kita dengan Allah, hal ini berdasarkan
tuntunan agama dan syariat yang ditetapkan oleh Allah, dapat berupa ahkam, ketakwaan iman maupun
keikhlasan hati yang harus dilakukan oleh manusia dalam mencari ridho-Nya. Selain hal demikian itu,
manusia juga dituntut sebagai makhluk yang harus menjalin hubungan yang baik antar sesama makhluk
(hablu min al-nas), dapat berupa perjanjian dan kebaikan-kebaikan lainnya, tanpa adanya hubungan
antar sesama manusia maka hidup tak akan berjalan seimbang karena manusia hidup saling
membutuhkan satu sama lain. Hubungan antar sesama dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hidup
masing-masing individu. Bahwa yang juga termasuk dalam katagori hubungan manusia dengan manusia
adalah hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Hubungan ini dapat berupa koreksi diri, yaitu
mengevaluasi perbuatan yang telah dilakukan dari segi agama dan berusaha memperbaiki kesalahannya
untuk masa yang akan datang. Dan dapat juga berhubungan dengan eksternal nya, yaitu amar ma'ruf,
nahi munkar, dan memberikan kebaikan kepada mereka. Diantara pentingnya melaksanakan hablu min
Allah dan hablu min al-as dalam kehidupan ini, manusia dapat memperoleh kebahagiaan bathin dan
jasmani, dimana dia dapat bahagia menjalani kehidupannya secara spritual, maupun secara jasmani
yang "M. jilid 12, (Jakarta: Penerbit Lentera

DAFTAR PUSTAKA Al-Maraghy, Ahmad Musthafa, Tafsir A-Maraghy Juz XII, Semarang: CV. Toha Putra Al-
Qurthuby, Syekh Imam, Tafsir A-Qurthuby jilid 2 Jakarta: Pustaka Azzam, 2013 Al-Qurthuby, Syekh
Imam, Tafsir Al-Qurthuby jilid 6, Jakarta: Pustaka Azzam, 2010 Al-Qurthuby, Syekh Imam, Tafsir AF-
Qurthuby jilid 9 Jakarta: Pustaka Azzam, 2008 Ath-Thabari, Abu Ja'far Muhammad bin Jarir, Tafsir Ath-
Thabari jilid 5, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008 Basyir, Hikmat, Tafsir Al-Muyassar jilid 1, Semanggi: An-
Naba, 2011 Hamka, Tafsir AI-Azhar juz 1, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983 Katsir, Ibnu, Tafsir ibnu Katsir
jilid 1 terj, Bogor: Pustaka Imam Syafi'i, 2004 Lentera Abadi, 2010 RI, Departemen Agama, Al-Qur'an dan
Tafsirnya edisi disempurnakan jilid II, Jakarta: Penerbit RI, Departemen Agama, Al-Qur'an dan PT. Dana
Bhakti Wakaf, 1990 Semarang, 1987 Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah jilid 1, Tangerang: Penerbit
Lentera Hati, 2001 Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah jilid 12, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2002
edis Yogyakarta: Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah jilid 6, Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 2002

Anda mungkin juga menyukai