A. Ulmul Qur’an
1. Ilmu al-Maki wa al Madani
Ilmu makki wal madani adalah macam-macam ilmu al-Qur’an yang pokok, berkisar
disekitar makki dan madani.
- Fungsinya: membantu dalam menafsirkan, meresapi gaya bahasa , dan
mengetahui sejarah hidup Nabi saw.
- Cara mengetahui makki dan madani dari riwayat para sahabat dan tabiin.
- Cara membedakannya dapat dilihat dari:
a. Segi turunnya
b. Tempat turunnya
c. Segi sasarannya
- Ciri khas makki yaitu:
a. Berisi ajakan kepada tauhid
b. Peletakkan dasar-dasar hukum
c. Menyebutkan kisah-kisah nabi terdahulu
d. Suku katanya pendek-pendek
- Ciri khas madani
a. Berisi kewajiban/had
b. Menyebutkan tentang orang-orang munafik
c. Dialog dengan ahli kitab
d. Seruan kepada ahli kitab
e. Menjelaskan ibadah dan muamalah
f. Menyingkap perilaku orang munafik
Dalam cakupan ruang Makkiyah ialah surah-surah atau ayat-ayat al-Qur’an yang
diturunkan kepada Nabi ketika sedang berada di Makkah atau sekitarnya, baik
sebelum beilau berhijrah ke Madnah atau sesudahnya. Dalam periode waktu Makkah
ialah surah-surah dan ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan sebelum Nabi berhijrah
ke Madinah meski ayat-ayat itu di turunkan diluar kota Makkah. Bagi mereka yang
mengacu kepada subjek makkiyah yaitu ayat-ayat yang diturunkan kepada penduduk
Makkah. Dan bagi yang mengacu kepada konten Makkkiyah yaitu surah-surah atau
ayat-ayat yang menampilkan cerita-cerita mengenai para nabi dan umat-umat
terdahulu.
احسب هذه اآلية نزلت فىكذا... (saya kira ayat ini diturunkan berkenaan
dengan ……)
ما احسب نزلت هذه اآلية اال فىكذا...(saya kira ayat ini tidak diturunkan
kecuali berkenaan dengan …)
- Cara mengetahui asbabun nuzul dengan cara mengambil riwayat yang
shahih, melakukan tarjih, dan bisa juga dengan kompromi (jama).
3. Ilmu Qira’at
- Qiraat jamak dari qiraah yang berarti bacaan. Menurut istilah qiraat adalah salah
satu mazhab atau aliran dalam pengucapan al-Qur’an yang dipilih oleh salah satu
imam qura.
- Tujuh imam qiraat yang terkenal adalah: Abdullah bin Katsir ad-Dari, Nafi’ bin
Abdurrahman bin Na’im, Abdullah bin Yashibi, Abu Amar, Ya’qub, Hamzah
dan Ashim.
- Dari segi kualitas, qiraah dibagi menjadi lima bagian yaitu:
a. Qiraah mutawatir
b. Qiraah masyhur
c. Qiraah ahad
d. Qiraah syadz
e. Qiraah maudhu
a. Gaya bahasa
b. Susunan kalimat atau uslub
c. Kemujizatan ilmiah/ isyarat ilmiah
d. Hukum ilahi yang sempurna
e. Ketelitian redaksinya
B. TAFSIR
1. TAFSIR,TERJEMAH DAN TA’WIL :
a. Tafsir secara bahasa artinya, menjelaskan, menerangkan. Menurut istilah adalah
usaha yang bertujuan untuk menjelaskan Al-qur’an atau ayat-ayatnya atau lafadz-
lafadznya, agar yang tidak jelas menjadi jelas, yang samar-samar menjadi terang,
yang sulit dipahami menjadi mudah dipahami, sehingga Al-qur’an sebagai
pedoman hidup manusia benar-benar dapat dipahami, dihayati dan diamalkan,
demi tercapanya kebahagiaan hidup didunia dan akhirat.
b. Ta’wil secara bahasa memalingkan, mensiasati atau mengembalikan makna pada
proporsi yang sesungguhnya. Menurut istilah yakni memalingkan lafadz-lafadz
yang ada didalam Al-qur’an dari maknanya yang zahir kepada makna lain
(makna batin), sehingga dengan cara demikian pengertian yang diperoleh lebih
cocok dan sesuai dengan jiwa Ajaran Al-qur’andan sunnah Rasulullah saw.
c. Terjemah: yaitu mengalih/memindahkan pembicaraan (menterjemahkan kalam)
dari satu bahasa kebahasa lain. Terjemah terbagi menjadi 2:
-Terjemah Harfiah: yaitu terjemah yang dalam pengungkapan makna terlalu
terikat dengan sesunan kata perkata yang ada pada bahasa pertama, makna-
makna yang terungkap hanya berupa makna kosa kata.
-Terjemah Tafsiriah/terjemah maknawiah: yaitu terjemah yang dalam
mengungkapkan makna tidak terikat dengan susunan kata perkata yang ada
dalam bahasa pertama, tetapi yang penting ialah bagai mana mengungkapkan
makna-makna yang dikehendaki dengan sebaik=baiknya.
Persamaan dan perbedaan tafsir dan ta’wil.
Persamaan: sama-sama bertujuan untuk mejelaskan dan menerangkan makna ayat Al
qur’an
Perbedaannya: ta’wil berkenaan dengan ayat yang khusus (contoh ayat mutasyabihah)
sedangkan tafsir berkenaan yang umum, tafsir menerangkan makna lafadz (ayat) melalui
pendekatan riwayat sedangkan ta’wil menggunakan pendekatan dirayah (kemampuan
ilmu).
2. SEJARAH TAFSIR
a. Pada masa nabi
Sejarah tafsir pertama kali ada mulai sejak ayat-ayat al-Qur’an di turunkan. Dalam
praktiknya, ketika Rasulullah menerima wahyu berupa ayat al-Qur’an, kemudian Rasulullah
menyampaikan wahyu tersebut kepada sahabat dan menjelaskannya berdasarkan apa yang
beliau terima dari Allah Subḥānahu wa Ta’ālā. Sebagai mana riwayat dari Siti ‘Aisyah
Raḍiyallahu ‘Anha yang mengatakan bahwa Rasulullah tidak menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an
kecuali beberapa ayat yang telah diajarkan oleh Jibril Alayhi al-Salam. Dalam penyampaiannya,
tidak semua ayat dalam Al Qur’an dijelaskan oleh Nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam. Beliau
hanya menjelaskan ayat-ayat yang makna dan maksudnya tidak diketahui oleh para sahabat.
Adapun metode rasul dalam menafsirkan, beliau tidak berlebih-lebihan dalam menafsirkan.
Tafsir beliau hanya menjelaskan yang masih global, menjelaskan ayat-ayat yang masih sulit
untuk dipahami, mengkhususkan yang umum, mengikat yang mutlak dan menjelaskan makna
lafadz yang lain.
b. Sahabat
Tafsir pada masa ini mulai muncul setelah Rasulullah Salla Allah ‘Alayhi wa Sallam wafat.
Sebelumnya pada waktu Nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam masih hidup, tak ada seorangpun dari
sahabat yang berani menafsirkan Al Qur’an, hal ini karena Nabi masih berada di tengah-tengah
mereka, sehingga ketika ditemukan suatu permasalahan, para sahabat cukup menayakannya
kepada Nabi dan permasalahan tersebut akan selesai. Abdullah ibn Abbas yang wafat pada
tahun 68 H, adalah tokoh yang biasa dikenal senagai orang pertama dari sahabat nabi yang
menafsirkan al-Qur’an setelah nabi Muhammad Ṣallallah Alayhi wa Sallam. Ia dikenal dengan
julukan “Bahrul Ulūm” (Lautan Ilmu), Habrul Ummah (Ulama’ Umat), dan Turjamanul Qur’an
(Penerjemah Al-Qur’an) sebagaimana telah diriwayatkan di atas, bahwa nabi pernah berdo’a
kepada Allah agar Ibnu Abbas diberi ilmu pengetahuan tentang ta’wil al-Qur’an (lafadz-lafadz
yang bersifat ta’wil dalam al-Qur’an). adapun Bentuk dan karakteristik tafsir Sahabat Sahabat
dalam menafsirkan al-Qur’an cenderung pada penekanan arti lafadz yang sesuai serta
menambahkan qawl (perkataan atau pendapat) supaya ayat al-Qur’an mudah dipahami.
d. Era tadwin
Pembukuan tafsir dilakukan dalam lima periode yaitu;
1. Periode Pertama
Pada zaman Bani Muawiyyah dan permulaan zaman Abbasiyah yang masih memasukkan ke
dalam sub bagian dari hadits yang telah dibukukan sebelumnya. Pembukuan tafsir dilakukan
secara bersama-sama dengan pembukuan hadist. Hadist dibukukan dengan beberapa bab dan
tafsir merupakan salah satu dari bab-bab tersebut. Bahkan dikatakan bahwa hampir seluruh
himpunan hadist yang banyak sekali jumlahnya dan tersusun menurut materinya pasti memuat
bab tafsir al-Qur’an, yakni sekumpulan kabar yang keluar dari Rasulullah sallallahualaihi
wasallam dalam menafsirkan al-Quran.Ketika itu belum ada tulisan khusus yang berisi tafsir al-
Qur'an baik surat demi surat ataupun ayat demi ayat
2. Periode Kedua
Pemisahan tafsir dari hadits dan dibukukan secara terpisah menjadi satu buku tersendiri. Dengan
meletakkan setiap penafsiran ayat dibawah ayat tersebut, setiap ayat al-Qur'an diberi tafsiran
dan dibukukan menurut urutannya dalam mushaf (tartib mushafi). Pembukuan seperti ini selesai
dilakukan oleh sejumlah ulama, antara lain Ibnu Majah (w: 273 H), Ibnu Jarir at-Thobary (w:
310 H) dan Ibnu Hatim (w: 327 H). Semua tafsir ini mereka tulis berdasarkan periwayatan
(isnad) kepada Rasulullah, sahabat, tabi'in dan tabi'it tabi'in; dan sebagian besar yang dimuat
dalam tafsir-tafsir tersebut adalah tafsir bil-ma'tsur.
3. Periode Ketiga
Membukukan tafsir dengan meringkas sanadnya dan menukil pendapat para ulama’ tanpa
menyebutkan orangnya. Hal ini menyulitkan dalam membedakan antara sanad yang shahih dan
yang dhaif yang menyebabkan para mufassir berikutnya mengambil tafsir ini tanpa melihat
kebenaran atau kesalahan dari tafsir tersebut.
Pada tahap ini tafsir belum keluar dari garis tafsir bil-ma'tsur. priode sebelumnya dilengkapi
dengan penulisan sanad secara lengkap, pada tahap ini para ulama menghilangkan sanad
tersebut. Mereka meriwayatkan tafsir dari para mufassir sebelumnya tanpa menyebutkan nama
mufassir yang dimaksud.
Keinginan agar hadist lebih fokus pada matan serta mudah untuk dipahami masyarakat yaitu
dengan menghilangkan sanadnya sehingga terlihat ringkas, namun ternyata penghilangan sanad
inilah penyebab yang paling berbahaya diantara sebab-sebab pemalsuan. Karena dengan
dihilangkannya sanad ini akan menjadikan orang yang melihat sebuah kitab, cenderung
menganggap shohih semua yang ada di dalamnya.
4. Periode Keempat
Pembukuan tafsir banyak diwarnai dengan buku – buku tarjamahan dari luar Islam. Sehingga
metode penafsiran bil aqly (dengan akal) lebih dominan dibandingkan dengan metode bin naqly
( dengan periwayatan). Pada periode ini juga terjadi spesialisasi tafsir menurut bidang keilmuan
para mufassir. Pakar fiqih menafsirkan ayat Al-Qur’an dari segi hukum seperti Alqurtuby. Pakar
sejarah melihatnya dari sudut sejarah seperti ats-Tsa’laby dan Al-Khozin dan seterusnya.Pada
tahap ini tafsir melangkah lebih luas lagi, kalau dulu tafsir hanya membatasi diripada
periwayatan tafsir dari para ulama salaf, maka tafsir pada tahap ini menggabungkan tafsir bir-
ra'yi (tafsir 'aqli, rasional) dengan tafsir naqli.
Semua kitab tafsir ini biasanya memuat hanya tentang tafsir bil ma’tsur kecuali kitab
yang dikarang ibn Jarir yang menyertakan pendapat dan menganalisannya serta mengambil
istinbath yang mungkin ditarik dari ayat al-qur’an. Pada perkembangan selanjutnya, ada banyak
tokoh yang mengkodifikasikan tafsir bil ma’tsur tanpa mengemukakan periwayatan sanadnya
dan hanya mengemukakan pendapat – pendapatnya sendiri serta tidak membedakan periwayatn
yang shahih atau tidak. Karena adanya kecurigaan pemalsuan, muncullah studi – studi kritis
yang berhasil menemukan dan menyingkap sebagian riwayat palsu sehingga para mufasir dapat
berhati –hati.
2). Diantara kitab tafsir yang memuat tentang tafsir bil ma’tsur yakni :
-Tafsir Jami’ul Bayan ( Ibnu Jarir Ath Thabary)
-Tafsir Al– Qur- anul ‘Adhim ( Al Hafidh ibnu Katsir)
-Tafsir Asbabun Nuzul (Alwahidy)
-Tafsir Ad Durrul Mantsur fit Tafsir bil Ma’tsur (As Suyuthy)
b. Tahlily
Penafsiran tahlily adalah metode penafsiran Al qur’an yang dilakukan dengan cara
menjelaskan ayat-ayat al qur’an dalam berbagai aspek serta menjelaskan maksud yang
terkandung didalamnya sehingga kegiatan mufassir hanya menjelaskan ayat demi ayat,
surat demi surat, makna lafaz tertentu, susunan kalimat, persesuaian kalimat satu dengan
kalimat yang lain, asbabun nuzul, nasikh mansukh, yang berkenaan dengan ayat yang
ditafsirkan.
#Kelebihan metode ini adalah dapat mengetahui dengan mudah tafsir suatu surat atau
ayat. Karena susunan tertib ayat atau surat mengikuti susunan bagaimana terdapat dalam
mushaf, Mudah mengetahui Relevansi atau munasabah antara suatu surat atau ayat
dengan surat atau ayat lainya. Adapun kelemahanya adalah metode ini tidak mampu
memberikan jawaban tuntas terhadap persoalan-persoalan yang yang dihadapi.
Diantara kitab-kitab tafsir yang menggunakan corak ini adalah:
1.Tafsir al qur’an al’Azim, karya Ibnu Katsir
2. Ma’alim al-Tanzil, Karya Al-Baghawi
c. Muqarran
Metode tafsir muqarran (perbandingan atau komparatif) adalah metode yang ditempuh
oleh seorang mufassir dengan cara mengambil sejumlah ayat Al-qur’an, kemudian
mengemukakan penafsiran para ulama tafsir terhadap ayat-ayat itu.
Adapun kelebihan dan kelemahan metode muqarran adalah:
1)Kelebihannya
a) Metode tafsir ini dinilai sebagai metode yang objektif dan kritis.
b) Membuka pintu untuk selalu bersikap toleran terhadap pendapat-pendapat orang lain
yang kadang-kadang jauh berbeda dari pendapat kita dan tidak mustahil ada kontroversi.
2) Kelemahannya
a) Metode ini kurang dapat dijadikan untuk menjawab permasalahan sosial yang tumbuh
di tengah masyarakat. Karena metode ini lebih menekankan perbandingan daripada
pemecahan masalah.
b) Tidak dapat digunakan untuk menafsirkan seluruh ayat Al-qur’an seperti halnya tafsir
tahliliy dan ijmaliy.
d. Maudhu’i
Tafsir Maudhu’i adalah Merupakan penafsiran yang ditempuh oleh seorang mufassir
dengan cara menghimpun seluruh ayat-ayat al qur’an yang berbicara tentang suatu
masalah/tema (maudhu’) serta mengarah kepada satu pengertian dan satu tujuan,
sekalipun ayat-ayat itu (cara) turunnya berbeda, tersebar di berbagai surat dalam Al
qur’an dan berbeda pula waktu dan tempat turunya. Adapun kitab yang menggunakan
metode Maudhu’i ini adalah; Ayat Al qasam fy Al qur’an karya Dr. Ahmad Kamal
Mahdy,
Adapun kelebihan dan kelemahan metode maudhu’iy ini adalah:
# Kelebihannya.
1. tafsir ini memberikan jawaban langsung terhadap masalah yang dihadapi masyarakat
dengan sangat mendalam.
2. Menafsirkan Al-qur’an dengan Al-qur’an sebagaimana diutamakan oleh tafsir
maudhu’iy adalah cara terbaik yang telah disepakati.
3. Kemungkinan yang lebih terbuka untuk mengetahui suatu permasalahan secara lebih
sempurna dan mendalam.
#Kelemahannya
1. Memenggal ayat Al-qur’an:
2. Membatasi pemahaman ayat: dengan diterapkanya tema (judul) penafsiran, maka
pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada permasalahan yang dibahas tersebut.
8. HERMENEUTIKA
Kata “hermeneutika”, dalam bahasa Indonesianya yang kita kenal, secara etimologi berasal dari
istilah Yunani, dari kata kerja hermeneuein, yang berarti “menafsirkan”,memberi pemahaman,
atau menerjemahkan. Menurut istilah Hermeneutika adalah satu disiplin yang berkepentingan
dengan upaya memahami ma’na atau arti dan maksud dalam sebuah konsep pemikiran.
Kata hermeneia dinisbatkan pada Dewa Hermes, dari sanalah kata itu berasal. Dewa Hermes
mempunyai kewajiban untuk menyampaikan pesan (wahyu) dari Jupiter kepada manusia. Dewa
Hermes bertugas untuk menerjemahkan pesan Tuhan dari gunung Olympuske dalam bahasa
yang dimengerti oleh manusia. Jadi hermeneutika ditujukan kepada suatu proses mengubah
sesuatu atau situasi yang tidak bisa dimengerti sehingga dapat dimengerti (Richard E. Palmer).
Ada tiga komponen dalam proses tersebut; mengungkapkan, menjelaskan, dan menerjemahkan.
ada tiga kesamaan antara tafsir Al-Qur’an dengan hermeneutika. Kesamaan itu tercakup
dalam tiga unsur utama hermeneuein yang mana dalam tafsir Al-Qur’an dapat dimasukkan
dalam kategori kegiatan hermeneuein tersebut. Pertama, dari segi adanya pesan, berita yang
seringkali berbentuk teks, tafsir Al-Qur’an jelas menafsirkan teks-teks yang terdapat dalam
Kitab Suci Al-Qur’an; Kedua, harus ada sekelompok penerima yang bertanya-tanya atau merasa
asing terhadap pesan itu, dalam hal ini kaum Muslimin pembaca Al-Qur’an, baik yang
berbahasa Arab apalagi yang tidak berbahasa Arab. Pesan-pesan Al-Qur’an harus dijelaskan
sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan petunjuk dan pedoman kehidupan mereka; Ketiga,
adanya pengantara yang dekat dengan kedua belah pihak. Untuk unsur ketiga ini pengantara
paling dekat dengan sumber, Allah SWT, yaitu Nabi Muhammad SAW, sehingga seluruh
mufassir menjadikan Rasulallah SAW sebagai rujukan utama dalam menafsirka pesan-pesan
Allah.