Anda di halaman 1dari 18

HADITS ABU HURAIRAH TENTANG BERITA BAHWA SETIAP ANAK

TERLAHIR DENGAN MEMBAWA FITRAHNYA ( AL-BUKHARI, ABU DAWUD )

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hadits Tarbawi

dengan dosen pengampu Dr. H. Istikhori, S.S.I., S.S., Lc., MA.

Disusun oleh :

Novia Anggella ( 191105010471 )

Siti Nuraida ( 191105010430 )

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS IBN KHALDUN

BOGOR

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur dengan menyebut nama Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah mengenai hadits Abu Hurairah tentang
berita bahwa setiap anak terlahir dengan membawa fitrahnya.
Adapun maksud dari pembuatan makalah ini yaitu agar pembaca mengetahui
dan memahami hadits Abu Hurairah tentang berita bahwa setiap anak terlahir dengan
membawa fitrahnya dengan lebih luas. Kami ucapkan terima kasih kepada dosen mata
kuliah Hadits Tarbawi, Bapak Dr.H. Istikhori, S.S.I., S.S., Lc., MA. atas bimbingannya
serta teman-teman dan berbagai sumber yang telah membantu. Semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.

Kami menyadari akan kelemahan dan kekurangan, baik dari segi susunan
kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, kami menerima segala saran dan kritik
agar ke depannya lebih baik.

Bogor, Maret 2020

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Secara kodrati anak memerlukan pendidikan atau bimbingan dari orang


dewasa. Dasar ini dapat di mengerti dari kebutuhan-kebutuhan dasar yang di miliki
oleh setiap anak yang hidup di dunia ini. Anak adalah amanat dari Allah SWT
kepada kita, masing-masing dari kita berharap anaknya menjadi anak yang baik,
shalih dan shalihah maka dari itu dibutuhkan optimalisasi tanggung jawab dan
peran dari orang tua.

Meskipun pada dasarnya seorang anak lahir di atas fitrah. Atas dasar fitrah,
anak dibekali berbagai potensi dasar untuk mengetahui segala sesuatu yang
mungkin ada, bahkan anak dapat mengetahui adanya Tuhan semesta alam. Akan
tetapi perlu diperhatikan bahwa fitrah manusia tersebut tidaklah akan berkembang
dengan sendirinya, melainkan memerlukan bimbingan dan tuntunan atau arahan
untuk pengembangannya. Bimbingan, tuntunan dan arahan itu mutlak diperlukan
agar anak dapat sampai kepada kebenaran yang hakiki karena di sadari bahwa
dengan akalnya manusia tidak akan sanggup mencapai hal itu secara utuh karena
sesuatu yang baik jika tidak di jaga dan di rawat, ia akan menjadi tidak baik akibat
pengaruh faktor-faktor eksternal. Pendidikan dan pengarahan yang baik terhadap
anak sebenarnya sudah harus dimulai sejak anak tersebut belum lahir bahkan
sebelum anak tersebut ada di dalam kandungan ibunya.

Anak pada perkembangannya sering terjadi gangguan oleh beberapa faktor


diantaranya faktor internal pada diri anak atau faktor lingkungan dimana ia berada.
Anak dari hari ke hari berinteraksi dengan lingkungannya baik orang tua, keluarga
maupun masyarakat sekitar. Nilai-nilai hakiki, sentuhan kasih sayang, dan semua
perlakuan yang menyenangkan akan membentuk keperibadiannya yang positif bagi
anak.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa pengertian hadits setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah?
2. Apa saja matan hadits setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah?
3. Bagaimana jika hadits setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah dikaitkan
dengan pendidikan?
1.3. Tujuan
1. Untuk memahami pengertian hadits setiap anak dilahirkan dalam keadaan
fitrah?
2. Untuk memahami matan hadits setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah?
3. Untuk memahami hadits setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah dikaitkan
dengan pendidikan
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Fitrah

Secara bahasa fitrah artinya al khilqah yaitu keadaan asal ketika manusia


diciptakan oleh Allah ( Lisaanul Arab 5/56, Al Qamus Al Muhith 1/881)1. Yang di
maksud dengan agama yang fitrah ialah Islam. Setiap manusia lahir dalam
keadaan Islam, sebagaimana sabda Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi
Wasallam:

َّ‫ قَا َل َرسُو ُل هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َما ِم ْن َموْ لِ ٍد إِال‬: ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ قَا َل‬ ُ ‫َح ِدي‬
ِ ‫ْث أبِي هُ َري َْرةَ َر‬
ً‫َصِّرا نِ ِه َويُ َمجِّ َسانِ ِه َك َما تُ ْنتَ ُج ْالبَ ِهي َمةُ بَ ِهي َمة‬ ْ ِ‫يُولَ ُد َعلَى ْالف‬
َ ‫ط َر ِة فَأ َ بَ َواهُ يُهَ ِّودَا نِ ِه َويُن‬
‫َجم َعا َء هَلْ تُ ِحسُونَ فِيهَا ِمن َجدعا َ َء‬
Artinya :

“ Diriwayatkan dari Abu Hurairah R.A katanya : Rasulullah SAW. Bersabda:


“Setiap anak dilahirkan dalam keadaaan fitrah ( suci bersih ). Kedua
orangtuanyalah yang membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.
Sebagaimana seekor ternak yang melahirkan anak nya ( dengan sempurna
kejadian dan anggotanya ), apakah kamu menganggap hidung, telinga dan
anggota yang lainnya terpotong? “

Adapun yang melatarbelakangi munculnya hadits tersebut adalah


sebagaimana diriwayatkan yang bersumber dari Aswad, katanya : “ Aku datang
kepada Rasulullah SAW. Dan ikut berperang bersama beliau. Kami meraih
kemenangan dalam perang itu, namun pada hari itu pembunuhan berlangsung terus
menerus menimpah anak-anak. Kejadian ini dilaporkan kepada Nabi SAW. Lalu
beliau bersabda : “ Keterlaluan, sampai hari ini mereka masih saling membunuh
sehingga anak-anak banyak yang terbunuh. Berkatalah seorang laki-laki, Ya
Rasulullah, mereka adalah anak-anak dari orang musyrik. Rasulullah SAW.
bersabda: “ Ketahuilah, sesungguhnya penopang kami adalah anak anak orang

1 Al Qamus Al Muhith 1/881


musrik itu. Jangan membunuh keturunan, jangan membunuh keturunan. “
Kemudian beliau bersabda:

“Setiap anak dilahirkan dalam keadan fitrah. Maka ia tetap dalam keadaan fitrahnya
itu sampai lidahnya bebicara. Kedua orangtuanyalah yang menjadikannya sebagai
Yahudi, Nasrani atau Majusi”.

Maka manakala bayi itu dibiarkan pada keadaan dan tabiatnya,  tidak ada
pengaruh luar yang mempengaruhinya berupa pendidikan yang merusak atau taklid
kepada kedua orangtuanya dan yang selainnya niscaya bayi tersebut kelak akan
melihat petunjuk kearah tauhid dan kebenaran Rasul dan hal ini merupakan
gambaran atau nalar yang baik yang akan menyampaikannya kearah petunjuk dan
kebenaran sesuai dengan petunjuk yang asli dan kelak tidak akan memilih kecuali
memilah-milah (agama, ajaran) yang hanif. 

Allah Ta’ala juga berfirman:

‫ق هَّللا ِ َذلِ َك‬ َ َّ‫فَأَقِ ْم َو ْج َهكَ لِلدِّي ِن َحنِيفًا فِ ْط َرتَ هَّللا ِ الَّتِي فَطَ َر الن‬
ِ ‫اس َعلَ ْي َها اَل تَ ْب ِدي َل لِ َخ ْل‬
ِ ‫الدِّينُ ا ْلقَيِّ ُم َولَ ِكنَّ أَ ْكثَ َر النَّا‬
َ‫س اَل يَ ْعلَ ُمون‬
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah);
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Ar -Rum: 30)

Seoang ulama ahli tafsir yaitu Imam Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini:
“Maksudnya adalah tegakkan wajahmu dan teruslah berpegang pada apa yang
disyariatkan Allah kepadamu, yaitu berupa agama Nabi Ibrahim yang hanif, yang
merupakan pedoman hidup bagimu, yang Allah telah sempurnakan agama ini
dengan puncak kesempurnaan. Dengan itu berarti engkau masih berada pada
fitrahmu yang salimah (lurus dan benar). Sebagaimana ketika Allah ciptakan para
makhluk dalam keadaan itu. Yaitu Allah menciptakan para makhluk dalam
keaadan mengenal-Nya, mentauhidkan-Nya dan mengakui tidak ada yang berhak
disembah selain Allah” (Tafsir Ibnu Katsir, 6/313)2.

2 Tafsir Ibnu Katsir


Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: “Islam adalah agama yang
fitrah yang pasti akan diterima oleh semua orang yang memiliki fitrah
yang salimah”. Artinya orang yang memiliki jiwa yang bersih sebagaimana ketika
ia diciptakan pasti akan menerima ajaran-ajaran Islam dengan lapang dada.

2.2  Analisa Matan Hadits tentang Setiap Anak dilahirkan dalam keadaan Fitrah
Menurut Muhammad Shalahuddin al-Adlabi terdapat empat macam tolak ukur
matan yaitu:
1.    Kajian Linguistik
2.    Tidak bertentangan dengan petunjuk Al-Quran
3.    Tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat
4.    Tidak bertentangan dengan akal sehat3

1.    Kajian Linguistik
Dalam kajian linguistik hadits tentang pengaruh orang tua terhadap pendidikan

anak, menggunakan lafadz ‫ َر ِة‬c ‫ ُد َعلَى ا ْلفِ ْط‬c َ‫ ٍد إِالَّ يُول‬c ِ‫ا ِمنْ َم ْول‬cc‫َم‬ sebagai kata kunci
menganalisa kebahasaan. Lafadz tersebut berarti setiap anak dilahirkan dalam keadaan
fitrah. Dalam pandangan Islam, kemampuan dasar atau pembawaan disebut
dengan fitrah. Secara etimologis, fitrah berarti sifat asal, kesucian, bakat, dan
pembawaan sejak lahir. Sedangkan secara terminologi fitrah adalah tabiat yang siap
menerima agama Islam.
Dalam kaitannya dengan teori kependidikan dapat dikatakan,
bahwa fitrah mengandung implikasi kependidikan yang berkonotasi kepada paham
convergent. Karena fitrah mengandung makna kejadian yang di dalamnya berisi potensi
dasar beragama yang benar dan lurus  yaitu Islam. Namun potensi dasar ini bisa diubah
oleh lingkungan sekitarnya.4 Sejalan dengan hadits di atas, fitrah merupakan modal
seorang bayi untuk menerima agama tauhid dan tidak akan berbeda antara bayi yang
satu dengan bayi lainnya. Dengan demikian, orang tua dan pendidik berkewajiban
memberikan pendidikan dengan cara berikut :

3 Muhammad Shalahudin al-Aadlabi, Manhaj Naqd al- Matn  ( Beirut: Dar al- Afaq al- Jadidah, 1983),
hlm. 238
4 Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam  (Jakarta: Ciputat Pres,  2002),  hlm. 7-
8.
Pertama, membiasakan anak untuk mengingat kebesaran dan nikmat Allah serta
mengesakan Allah melalui tanda-tanda kekuasaan-Nya dan menginterpretasikan
berbagai gejala alam melalui penafsiran yang dapat mewujudkan tujuan pengokohan
fitrah anak agar tetap berada dalam kesucian dan kesiapan untuk mengagungkan Allah.
Kedua, membiasakan anak-anak untuk mewaspadai penyimpangan-penyimpangan
yang kerap membiasakan dampak negatif terhadap diri anak,  misalnya tayangan film,
berita-berita dusta, atau gejala kehidupan lain yang tersalurkan melalui media informasi.
Anak- anak harus diberi pemahaman tentang bahaya kezaliman, kehidupan yang bebas,
dan kejahatan perilaku melalui metode yang sesuai dengan kondisi anak, misalnya
dengan melalui dialog, cerita, atau pemberian contoh yang baik. Melalui cara itu, anak-
anak akan terhindar dari peyahudian, penasranian, atau pemajusian seperti yang
disyariatkan hadits di atas.
2. Tidak bertentangan dengan petunjuk Al-Qur'an
Allah berfirman dalam al-Qur’an Surat Ar- Rum ayat 30,

ُ‫ق هَّللا ِ َذلِ َك الدِّين‬ ِ ‫فَأَقِ ْم َو ْج َهكَ لِلد‬


َ َّ‫ِّين َحنِيفًا فِ ْط َرتَ هَّللا ِ الَّتِي فَطَ َر الن‬
ِ ‫اس َعلَ ْي َها اَل تَ ْب ِدي َل لِ َخ ْل‬
ِ ‫ا ْلقَيِّ ُم َولَ ِكنَّ أَ ْكثَ َر النَّا‬
َ‫س اَل يَ ْعلَ ُمون‬

Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, (tetaplah
atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada
perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus tetapi kebanyakan manusia
tidak mengetahui.( Q.S. Ar-Rum: 30).
Berdasarkan pada ayat di atas terbukti bahwa sabda Rasulullah SAW melalui hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari ini tidaklah sama sekali bertentangan dengan Al-
Quran. Melalui ayat tersebut di atas membuktikan bahwa manusia diciptakan oleh Allah
mempunyai naluri beragama, yaitu agama Tauhid, maka tidak wajar kalau manusia
tidak baragama tauhid. Mereka tidak beragama tauhid karena pengaruh lingkungan.
3.  Tidak bertentangan dengan hadits yang lebih kuat
َّ‫سلَّ َم َما ِمنْ َم ْولِ ٍد إِال‬
َ ‫سو ُل هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ قَا َل َر‬: ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ قَا َل‬ ِ ‫ث أبِي ه َُر ْي َرةَ َر‬ ُ ‫َح ِد ْي‬
cً‫ه َك َما تُ ْنت َُج ا ْلبَ ِهي َمةُ بَ ِهي َمة‬cِ ِ‫سان‬ ِّ َ‫يُولَ ُد َعلَى ا ْلفِ ْط َر ِة فَأ َ بَ َواهُ يُ َه ِّودَا نِ ِه َويُن‬
َ ‫ نِ ِه َويُ َم ِّج‬c‫ص َرا‬
‫نجدعا َ َء‬
َ ‫سونَ ِفي َها ِم‬
ُ ‫َجم َعا َء َه ْل ت ُِح‬
Artinya :

“ Diriwayatkan dari Abu Hurairah R.A katanya : Rasulullah SAW. Bersabda: “Setiap
anak dilahirkan dalam keadaaan fitrah ( suci bersih ). Kedua orangtuanyalah yang
membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi. Sebagaimana seekor ternak yang
melahirkan anak nya ( dengan sempurna kejadian dan anggotanya ), apakah kamu
menganggap hidung, telinga dan anggota yang lainnya terpotong? “ Kemudian Abu
Hurairah membaca ayat dari surat ar-Rum : 30” Ini (tetaplah atas) fitrah Allah yang
telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah,
itulah agama yang lurus.” (HR: Bukhari).

Hadits diatas berfungsi sebagai pembanding, juga memberikan pengertian bahwa begitu
besarnya pengaruh orang tua terhadap pendidikan anak, karena orangtuanyalah yang
menjadikan anaknya Yahudi, Nasrani dan Majusi. Oleh sebab itu, orang tualah yang
berperan penting dalam pendidikan anaknya. Kedua hadis  tersebut menunjukkan
pentingnya pendidikan anak.5

4.    Tidak Bertentangan dengan Akal Sehat, Indera dan Fakta Sejarah


Berdasarkan hadis di atas tentang pengaruh orang tua terhadap pendidikan anak,
dapat diketahui bahwa jika anak tumbuh di dalam keluarga yang menyimpang, belajar
di lingkungan yang sesat dan bergaul dengan masyarakat yang rusak, maka anak akan
menyerap kerusakan itu, terdidik dengan akhlak yang paling buruk, di samping
menerima dasar-dasar kekufuran dan kesesatan. Kemudian anak akan beralih dari
kebahagian kepada kesengsaraan, dari keimanan kepada kemurtadan dan dari Islam
kepada kekufuran. Jika semua ini telah terjadi, maka sangat sulit mengembalikan anak
kepada kebenaran.6

5 Muhammad Shalahudin al-Aadlabi, Manhaj Naqd al- Matn  ( Beirut: Dar al- Afaq al- Jadidah, 1983),
hlm. 238

6 Muhammad Shalahudin al-Aadlabi, Manhaj Naqd al- Matn  ( Beirut: Dar al- Afaq al- Jadidah, 1983),
hlm. 238
Dapat dipahami bahwa fitrah sebagai pembawaan sejak lahir bisa dipengaruhi
oleh lingkungan sekitarnya, bahkan ia tak dapat berkembang sama sekali tanpa adanya
pengaruh lingkungan tersebut. Namun demikian, meskipun fitrah dapat dipengaruhi
oleh lingkungan, tetapi kondisinya tidak netral. Ia memliki sifat yang dinamis, reaktif
dan responsive terhadap pengaruh dari luar. Dengan istilah lain, dalam proses
perkembangannya, terjadi interaksi saling mempengaruhi antara fitrah dan lingkungan
sekitarnya, sampai akhir hayat manusia.

2.3 Hubungan Fitrah dengan Pendidikan Islam

Allah telah menciptakan manusia dengan tujuan agar manusia menjadi Hamba
Allah yang mengabdi (ibadah) kepada Allah SWT. Firman Allah SWT dalam Al-
Qur’an Surah Adz-Dzariyat ayat 59 yaitu: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”.

Allah Al-Khaliq (Pencipta) dan Al-Mushowwir (Pendesain), pasti telah


mendesain penciptaan manusia baik dari bahan dan prosesnya, sedemikian rupa agar
hasil akhirnya lahir suatu makhluk manusia yang bisa mengabdi (ibadah) kepada Allah
SWT. Jadi fitrahnya manusia adalah mengabdi atau beribadah kepada Allah SWT
karena fitrahnya manusia adalah mengabdi (ibadah) kepada Allah SWT, maka manusia
dengan struktur jasmani dan rohaninya pasti bisa dipakai untuk mengabdi (ibadah)
kepada Allah. Rohani dan jasmani manusia pasti cocok dan dipakai untuk beribadah.
Sebaliknya jika dipakai maksiat (membangkang) kepada Allah pasti tidak nyaman, dan
dipastikan akan cepat rusak dan celaka. Sungguh kecelakaan manusia adalah karena
penyimpangan dari “fitrahnya”.

Hakikat Konsep fitrah bila dikaitkan dengan pendidikan Islam sebenarnya


sangat bersifat religius yang lebih menekankan pada pendekatan keimanan. Sebab,
setiap manusia yang dilahirkan membawa potensi yang disebut dengan potensi
keimanan terhadap Allah ( tauhid ). Pengertian fitrah di dalam Al Qur’an adalah
gambaran bahwa sebenarnya manusia diciptakan oleh Allah dengan diberi naluri
beragama, yaitu agama tauhid. Oleh karena itu, manusia yang tidak beragama tauhid
merupakan penyimpangan atas fitrahnya.
Manusia dalam pandangan Islam adalah khalifah Allah di muka bumi. Sebagai
duta Tuhan, dia memiliki karakteristik yang multidimensi, yakni pertama, diberi hak
untuk mengatur alam ini sesuai kapasitasnya. Dalam mengemban tugas ini, manusia
dibekali wahyu dan kemampuan mempersepsi. Kedua, dia menempati posisi terhormat
di antara makhluk Tuhan yang lain. Anugerah ini diperoleh lewat kedudukan, kualitas
dan kekuatan yang diberikan Tuhan kepadanya. Ketiga, dia memiliki peran khusus yang
harus dimainkan di planet ini, yaitu mengembangkan dunia sesuai dasar dan hukum-
hukum yang ditetapkan oleh Tuhan.

Potensi akal secara fitrah mendorong manusia memahami simbol-simbol, hal-hal


yang abstrak, menganalisa, memperbandingkan maupun membuat kesimpulan dan
akhirnya memilih maupun memisahkan yang benar dan salah.

Menurut Jalaluddin, akal dapat mendorong manusia berkreasi dan berinovasi


dalam menciptakan kebudayaan serta peradaban. Manusia dengan kemampuan akalnya
mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, mengubah serta merekayasa
lingkungannya, menuju situasi kehidupan yang lebih baik, aman dan nyaman.

Sebelum terlalu jauh kita mengulas tentang hubungan konsep fitrah dan hubungannya
dengan pendidikan Islam ada baiknya kita telusuri terlebih dahulu tujuan dari
pendidikan Islam secara umum. Secara general tendensi dari pendidikan Islam itu
sendiri adalah mengetahui hakikat kemanusiaan menurut Islam, yakni nilai-nilai ideal
yang diyakini serta dapat mengangkat harkat dan martabat manusia.

Menurut Achmadi, meletakkan keterangan tujuan pendidikan Islam dalam “Tiga


karakteristik” yakni tujuan tertinggi atau akhir, tujuan umum dan tujuan khusus.7 Tujuan
tertinggi adalah bersifat mutlak, tidak mengalami perubahan karena sesuai dengan
konsep Ilahi yang mengandung kebenaran mutlak dan universal. Tujuan tertinggi atau
akhir ini pada dasarnya sesuai dengan tujuan hidup manusia dan peranannya sebagai
ciptaan Allah. Salah satu perilaku identitas Islami itu sendiri pada hakikatnya adalah
mengandung nilai perilaku manusia yang didasari atau dijiwai oleh iman dan taqwa
kepada Allah sebagai sumber kekuasaan mutlak yang harus ditaati.

7 Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme-Teosentris (Yogjakarta: Pustaka Pelajar,


2005), hlm. 94
Tujuan selanjutnya adalah tujuan umum yang berbeda substansinya dengan
tujuan pertama yang cenderung mengarah kepada nilai filosofis. Tujuan ini lebih
bersifat empirik dan realistik. Menurut ahli tafsir mengemukakan tujuan umum bersifat
tetap, berlaku di sepanjang tempat, waktu dan keadaan. Tujuan umum berfungsi sebagai
arah yang taraf pencapaiannya dapat diukur karena menyangkut perubahan sikap,
perilaku dan kepribadian subjek didik, sehingga mampu menghadirkan dirinya sebagai
sebuah pribadi yang utuh. Itulah yang disebut realisasi diri (self realization). 8 Sementara
tujuan khusus merupakan pengkhususan atau operasionalisasi tujuan tertinggi atau akhir
dan tujuan umum pendidikan Islam. Tujuan khusus bersifat relatif sehingga
dimungkinkan untuk diadakan perubahan dimana perlu sesuai dengan tuntutan dan
kebutuhan, selama tetap berpijak pada kerangka tujuan tertinggi atau akhir dan umu.

Menurut Achmadi, pengkhususan tujuan pendidikan Islam tersebut didasarkan


pada kultur dan cita-cita suatu bangsa dimana pendidikan itu diselenggarakan minat,
bakat, dan kesanggupan subjek didik dan tuntunan kondisi pada kurun waktu tertentu.9

Konsep fitrah dalam hubungannya dengan pendidikan Islam mengacu pada tujuan
bersama dalam menghadirkan perubahan tingkah laku, sikap dan kepribadian setelah
seseorang mengalami proses pendidikan. Menjadi masalah adalah bagaimana sifat dan
tanda-tanda (indikator) orang yang beriman dan bertaqwa.

Maka konsep fitrah terhadap pendidikan Islam dimaksudkan di sini, bahwa


seluruh aspek dalam menunjang seseorang menjadi menusia secara manusiawi adanya
penyesuaian akan aktualisasi fitrah-Nya yang diharapkan yakni pertama, konsep fitrah
mempercayai bahwa secara alamiah manusia itu positif (fitrah), baik secara jasadi,
nafsani (kognitif dan afektif) maupun ruhani (spiritual). Kedua, mengakui bahwa salah
satu komponen terpenting manusia adalah qalbu. Perilaku manusia bergantung pada
qalbunya. Di samping jasad dan akal, manusia memiliki qalbu. Dengan qalbu tersebut
manusia dapat mengetahui sesuatu (di luar nalar) berkecenderungan kepada yang benar
dan bukan yang salah (termasuk memiliki kebijaksanaan, kesabaran, dan memiliki
kekuatan mempengaruhi benda dan peristiwa).10

8 Ibid, hlm. 98
9 Ibid, hlm. 103
10 Ahmad Faqih HN, “Menggagas Psikologi Islami: Mendayung di Antara Paradigma Kemodernan dan
Turats Islam” dalam Artikel Mingguan Islam (20 Januari 2000), hlm. 203
Menghubungkan keterangan ini secara ilmiah dengan adanya teori pendidikan
Islam maka secara disiplin ilmu merupakan konsep pendidikan yang mengandung
berbagai teori yang dapat dikembangkan dari hipotesa-hipotesa yang bersumber dari Al
Qur’an maupun hadis baik dari segi sistem, proses dan produk yang diharapkan mampu
membudayakan umat manusia agar bahagia dan sejahtera dalam hidupnya. 11 Inilah yang
disebut secara implikasi konsep fitrah kecenderungan anak pada yang benar dalam
memiliki secara pendekatan ilmiah kekuatan mempengaruhi benda dan peristiwa.
Sedangkan pendidikan bila diberikan pengertian dari al-Qur’an makadari kalangan
pendidikan Islam meletakkan pada tiga karakteristik di antaranya Rabb, ta’lim dan
ta’dib dimaksud dalam al-Qur’an. 

Dari ketiga kata tersebut, Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqy dalam bukunya al-
Mu’jam al Mufahras li Alfadz al-Qur’an al-Karim telah menginformasikan bahwa di
dalam al-Qur’an kata Tarbiyah dengan berbagai kata yang serumpun diulang sebanyak
lebih dari 872 kali.12 Kata tersebut berakar pada kata Rabb. Kata ini sebagaimana
dikutip oleh Abuddin Nata dari al-Raghib al-Ashfahany, pada mulanya berarti al-
Tarbiyah yaitu insy’ al-syaihalan fa halun ila hadd al-tamam yang artinya
mengembangkan atau menumbuhkan sesuatu setahap demi tahap sampai pada batas
yang sempurna.13

Dalam perspektif pendidikan islam, fitrah manusia di maknai dengan sejumlah


potensi yang menyangkut kekuatan-kekuatan manusia. Kekuatan tersebut meliputi
kekuatan hidup (upaya mempertahankan dan melestarikan hidupnya), kekuatan rasional
(akal), dan kekuatan spiritual (agama). Ketiga kekuatan bersifat dinamis dan terkait
secara integral. Konsep fitrah, menurut islam juga berbeda dengan teori konvergensi
oleh William Stern. Dalam pandangan islam perkembangan potensi manusia itu bukan
semata-mata di pengaruhi oleh lingkungan semata dan tidak bisa ditentukan melalui
pendekatan kuantitas sejauh mana peranan keduanya (potensi dan lingkungan) dalam
membentuk kepribadian manusia. 
Mendidik anak dengan cara memberikan kebebasan kepada anak didik sesuai
dengan kebutuhan Pemberian kebebasan ini tentunya tidak mutlak, melainkan dalam

11 Ibid, hlm. 10
12 Muhammad Fuad Abd al-Baqy, Mu’jam al-Mufahrass li Alfadz al-Qur’an al-Karim, (Beirut: Dar al-
Fikr, 1987), hlm. 285-299.
13 Al-Raghib al-Asfahany, Mu’jam Mufradat li alfadz al-Qur’an, ( Beirut: Dar al-Fikr,tt), hlm.198.
batas-batas tertentu sesuai dengan kebutuhan, sebab anak adalah objek yang masih
dalam proses penyembuhan dan belum memiliki kepribadian yang kuat. Ia belum dapat
memilih sendiri terhadap masalah yang dihadapi. Karena itu ia memerlukan petunjuk
guna memilih alternatif dari beberapa alternatif yang ada. 
Konsep fitrah juga menuntut agar pendidikan islam harus bertujuan mengarahkan
pendidikan demi terjalinnya ikatan yang kuat seorang manusia dengan Allah.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa fitrah manusia dekat dengan tauhid.
Tauhid telah menjadi esensi dari semua bentuk agama.  Konsep tauhid inilah yang
memberikan tekanan kekuasaan Allah yang harus dipatuhi dalam kurikulum pendidikan
Islam. Sebagaimana dalam firman Allah QS. Al A’raf: 172.

‫ ادم من ظهورهم ذريتهم واشهدهم علي انفوسهم الست بربكم‬c‫واذ اخذ ربك من بني‬
‫قالو بلى شهدنا ان تقولو يوم القيامة انا كنا عن هذا غافلين‬
Arinya: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam
dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): “Bukankah aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan
kami), Kami menjadi saksi”. (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat
kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang
lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”,
2.4 Macam-Macam Potensi Manusia
Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa fitrah mengacu kepada potensi yang
dimiliki manusia. Potensi itu diantaranya yaitu,
1. Potensi beragama
Perasaan keagamaan adalah naluri yang dibawa sejak lahir bersama ketika manusia
dilahirkan. Manusia memerlukan keimanan kepada zat  tertinggi yang unggul di
luar dirinya dari alam benda yang dihayati olehnya. Naluri beragama mulai tumbuh
apabila manusia dihadapkan pada persoalan-persoalan yang melingkupinya. Akal
akan insaf bahwa kesempurnaan ilmu hanyalah bagi pencipta alam jagat raya ini,
yaitu Allah. Islam bertujuan merealisasikn penghambaan sang hamba kepada
Tuhannya saja. Memberantas perhambaan sesama hamba Tuhan. Insan dibawa
menyembah kehadirat Allah penciptanya dengan tulus ikhlas tersisih dari syirik
atau sembarang penyekutuannya.
2. Kecenderungan moral
Kecenderungan moral erat kaitannya dengan potensi beragama. Ia mampu untuk
membedakan yang baik dan buruk. Atau yang memiliki hati yang dapat
mengarahkan kehendak dan akal. Apabila dipandang dari pengertian fitrah seperti
di atas, maka kecenderungan moral itu bisa mengarah kepada dua hal sebagaimana
terdapat dalam surat Asy-Syam ayat 7 “Dan jiwa serta penyempurnaannya
(ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan)  dan
ketakwaannya.”
3. Manusia bersifat lembut, lentur (fleksible). Manusia mampu dibentuk dan diubah.
Ia mampu menguasai ilmu pengetahuan, menghayati adat, nilai, atau aliran baru.
Atau meninggalkan adat, nilai dan aliran lama, dengan cara interaksi sosial baik
dengan lingkungan yang bersifat alam atau kebudayaan. Allah berfirman tentang
bagaimana sifat manusia yang mudah lentur, terdapat dalam surat Al Insan ayat 3:
“Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur
dan ada pula yang kafir.”
4. Kecenderungan bermasyarakat
Manusia juga memiliki kecenderungan bersosial dan bermasyarakat.
Menurut Ibnu Taimiyah, dalam diri manusia setidaknya terdapat tiga potensi
(fitrah), yaitu:
a)  Daya intelektual (quwwat al-‘aql), yaitu potensi dasar yang memungkinkan
manusia dapat membedakan nilai baik dan buruk. Dengan daya intelektualnya,
manusia dapat mengetahui dan meng-Esakan Tuhannya.
b) Daya ofensif (quwwat al-syahwat), yaitu potensi dasar yang mampu
menginduksi obyek-obyek yang menyenangkan dan bermanfaat bagi kehidupannya,
baik secara jasmaniah maupun rohaniah secara serasi dan seimbang.
c)  Daya defensif (quwwat al-ghadhab) yaitu potensi dasar yang dapat
menghindarkan manusia dari segala perbuatan yang membahayakan dirinya.
Namun demikian, diantara ketiga potensi tersebut, di samping agama potensi akal
menduduki posisi sentral sebagai alat kendali (kontrol) dua potensi lainnya. Dengan
demikian, akan teraktualisasikannya seluruh potensi yang ada secara maksimal,
sebagaimana dalam kitab dan ajaran-ajaranNya. Penginkaran dan pemalsuan
manusia akan posisi potensi yang dimilikinya itulah yang akan menyebabkannya
melakukan perbuatan moral.
Menurut Ibnu Taimiyah membagi fitrah manusia kepada dua bentuk, yaitu:
  1. Fitrah al gharizat
Merupakan potensi dalam diri manusia yang dibawanya sejak lahir.
Bentuk fitrah ini berupa nafsu, akal, dan hati nurani. Fitrah (potensi) ini dapat
dikembangkan melalui jalan pendidikan.
 2. Fitrah al munazalat
Merupakan potensi luar manusia. Adapun fitrah ini adalah wahu ilahi yang
diturunkan Allah untuk membimbing dan mengarahkan fitrah al
gharizat berkembang sesuai dengan fitrahnya yang hanif. Semakin tinggi interaksi
antara kedua fitrah tersebut, maka akan semakin tinggi pula kualitas manusia.
Dari semua penjelasan mengenai potensi manusia, tampak jelas bahwa lingkungan
semakin baik penempatan fitrah yang dimiliki manusia, maka akan semakin baiklah
kepribadiannya. Demikian pula sebaliknya, penempatan dan pembinaan fitrah yang
dimiliki tidak pada fitrahnya maka manusia akan tergelincir dari tujuan hidupnya.
Untuk itu salah satu pembinaan fitrah dengan pendidikan.

BAB III
PENUTUP
SIMPULAN
Setelah melihat uraian di atas maka dapat disimpulkan :
1.    Bahwa hadits tentang setiap anak dalam keadaan fitrah adalah berkualitas shahih
dikarenakan telah memenuhi syarat-syaratnya yaitu sanadnya bersambung (muttasil),
Para perawinya ‘adil  dan dhabith (kuat hafalannya), tidak mengandung unsur-
unsur syadz dan dan tidak mengandung kecacatan (‘illat) yang dapat merusak
keabsahan hadits.
2.    Orang tua dan pendidik berkewajiban  memberikan pendidikan dengan cara berikut :
Pertama, membiasakan anak untuk mengingat kebesaran dan nikmat Allah, serta
semangat mencari dalil yang shahih dan mengesakan Allah.
Kedua, membiasakan anak-anak untuk mewaspadai penyimpangan-penyimpangan yang
kerap membiasakan dampak negatif terhadap diri anak.

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Armai. 2002. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat
Pres.
Suparta. 2010. Ilmu Hadits. Jakarta: Rajawali Pres.

Khan, Majid, dkk. 2005 Ulumul Hadits. Jakarta: Pusat Studi Wanita.

Anda mungkin juga menyukai