Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

SOSIOLOGI HUKUM
“Hukum dan Lingkungan Sosial (Hubungan Hukum dengan Perubahan Sosial,
Pranata Sosial, Kaedah Sosial, dan Kelompok Sosial)”

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM (MANDIRI)


KELAS : A

Dosen Pengajar :
Dr. Dahlil Marjon, S.H., M.H.

KELOMPOK VI :
Agnesia Wettry Sagita : 2120113048
Glorya Kalicya : 2120113054
Imelda Hardi : 2120113042
Israr Abdi : 2120113052

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2021

1
KATA PENGANTAR

Puji Syukur Alhamdulillah karena hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah
melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga penulisan makalah
yang berjudul “Hukum dan Lingkungan Sosial (Hubungan Hukum dengan Perubahan
Sosial, Pranata Sosial, Kaedah Sosial, dan Kelompok Sosial)” dapat selesai pada
waktunya untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Hukum.

Dalam pembuatan makalah ini, harus diakui pembuatannya masih jauh dari kata
sempurna baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Terhadap belum
sempurnanya makalah ini, tim penulis terbuka untuk menerima segala masukan dan kritik
yang bersifat membangun dari pembaca sehingga dapat melakukan perbaikan makalah
sehingga menjadi makalah yang baik dan benar serta mengembangkan cara berfikir tentang
Sosiologi Hukum dengan baik.

Selanjutnya ucapan terima kasih kepada Bapak Dr. Dahlil Marjon, S.H., M.H.
selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas yang telah mengajar dan membekali
ilmu sosiologi hukum dari berbagai literatur. Demikian, dalam upaya memberi cakrawala baru
dalam perkuliahan Sosiologi Hukum besar harapan kiranya makalah ini dapat memberikan
kontribusi untuk kelas MIH A Pascasarjana Unand TA 2021/2022.
Akhir kata diharapkan semoga makalah ini bisa memberi manfaat ataupun inspirasi
bagi para pembaca.

Padang, 22 Oktober 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..………………………………………………………………………………………………… i


DAFTAR ISI .……………………………………………………………………………………………………………. ii
BAB I PENDAHULUAN ……..……………………………………………………………………………..… 1
A. Latar Belakang ………………………………………………….………………………………….…… 1
B. Rumusan Masalah ……………………..…………………………………………………………….… 2
C. Tujuan Penulisan ……………………………………………………………………………………….. 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Hubungan Hukum dengan Perubahan Sosial ………………………………………………… 3
B. Hubungan Hukum dengan Pranata Sosial …………………………………………………….. 7
C. Hubungan Hukum dengan Kaidah Sosial …………………………………………………….. 15
D. Hubungan Hukum dengan Kelompok Sosial ……………………………………………….…19
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………………………………………………………………………… 26
B. Saran ……………………………………………………………………………………………………… 27
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………………………………….….. 28

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada hakikatnya masyarakat dapat dipandang dari dua sudut, yaitu sudut
struktural dan sudut dinamikanya. Segi struktural masyarakat yaitu keseluruhan jalinan
antara unsur-unsur sosial politik yakni kaidah-kaidah sosial, Iembaga-Iembaga sosial,
kelompok-kelompok serta lapisan-lapisan sosial. Sedangkan dinamika masyarakat adalah
proses sosial dan perubahan-perubahan sosial. Dengan proses sosial diartikan sebagai
pengaruh timbal balik antara berbagai segi kehidupan bersama atau interaksi sosial.
lnteraksi sosial adalah hubungan antara orang perorangan, antara kelompok-kelompok
manusia maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia.
Dalam kehidupan bermasyakat pasti terdapat dinamika-dinamika perubahan. Saat
ini perubaha-perubahan tersebut berjalan begitu cepatnya, sehingga kadang-kadang agak
membingungkan. Perubahan tersebut terikat oleh tempat dan waktu, akan tetapi karena
sifatnya yang berantai, maka keadaan tersebut berlangsung terns menerus walaupun
kadang-kadang diselingi oleh keadaan dimana masyarakat yang bersangkutan
mengadakan reorganisasi unsur-unsur struktural dari masyarakat yang terkena proses
perubahan tadi.
Pada dasamya kehidupan didunia ini tidak terlepas dari perubahan terhadap suatu
lingkungan, baik lingkungan fisik, lingkungan biologis, maupun lingkungan sosial manusia.
Selo Soemardjan seperti yang dikutip oleh Soerjono Soekanto bahwa peruabahan-
perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga-lembaga-lembaga
kemasyarakatan didalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya,
termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola perikelakukan diantara kelompok-
kelompok dalam masyarakat.
Kita sekarang berada di tengah-tengah masyarakat dan kehidupan sosial yang
kompleks, yang tidak sederhana lagi. Oleh karena itu, lebih efisien apabila kita
menempatkan pembicaraan kita di dalam konteks masyarakat dan lingkungan yang
demikian itu. Untuk lebih tegasnya, pembicaraan kita mengenai masalah penegakan
hukum akan ditempatkan dalam konteks masyarakat yang sudah menjadi semakin
kompleks tersebut. Dimana nantinya akan dijelaskan bagaimana hubungan hukum dengan
Perubahan Sosial, Pranata Sosial, Kaidah-Kaidah Sosial, dan Kelompok Sosial.

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hubungan hukum dengan Perubahan Sosial?
2. Bagaimana hubungan hukum dengan Pranata Sosial?
3. Bagaimana hubungan hukum dengan Kaidah Sosial?
4. Bagaimana hubungan hukum dengan Kelompok Sosial?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui hubungan hukum dengan perubahan sosial
2. Mengetahui hubungan hukum dengan pranata sosial
3. Mengetahui hubungan hukum dengan kaidah sosial
4. Mengetahui hubungan hukum dengan kaidah sosial

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hubungan Hukum dengan Perubahan Sosial

Perubahan Sosial
Perubahan sosial merupakan perubahan yang terjadi dalam sistem sosial. Lebih
tepatnya, ada perbedaan antara keadaan sistem tertentu dalam jangka waktu yang berlainan.
Saat mengatakan adanya perubahan sosial pasti yang ada di benak seseorang adalah sesuatu
yang terjadi setelah jangka waktu tertentu dan ada perbedaan dari sebelumnya. Untuk itu
terdapat tiga konsep dalam perubahan sosial, yaitu :
1. Studi mengenai perbedaan;
2. Studi harus dilakukan pada waktu yang berbeda; dan
3. Pengamatan pada sistem sosial yang sama.
Artinya untuk dapat melakukan studi Perubahan Sosial, harus melihat adanya
perbedaan atau perubahan kondisi objek yang menjadi fokus studi, kemudian harus dilihat
dalam konteks waktu yang berbeda, maka dalam hal ini hendaknya menggunakan studi
komparatif dalam dimensi waktu yang berbeda. Dan setelah itu objek yang menjadi fokus
studi komparasi harus merupakan objek yang sama. Jadi dalam perubahan sosial
mengandung adanya unsur dimensi ruang dan waktu. 1

Dimensi ruang menunjuk pada wilayah terjadinya perubahan sosial serta kondisi yang
melingkupinya, yang mana di dalamnya mencakup konteks sejarah (history) yang terjadi pada
wilayah tersebut. Sedangkan dimensi waktu meliputi konteks masa lalu, sekarang dan masa
depan. Proses perubahan dalam masyarakat itu terjadi karena manusia adalah mahluk yang
berfikir dan bekerja, disamping itu selalu berusaha untuk memperbaiki nasibnya serta
sekurang-kurangnya berusaha untuk mempertahankan hidupnya. Namun ada juga yang
berpendapat bahwa perubahan sosial dalam masyarakat itu terjadi karena keinginan manusia
untuk menyesuaikan diri dengan keadaan disekelilingnya atau disebabkan oleh ekologi. Dalam
proses perubahan pasti ada yang namanya jangka waktu atau kurun waktu tertentu, ada dua
istilah yang berkaitan dengan jangka waktu perubahan sosial yang ada di masyarakat, yaitu
ada evolusi dan revolusi, adanya evolusi atau perubahan dalam jangka waktu yang relatif
lama, itu akan tetap mendorong masyarakat ataupun sistem-sistem sosial yang ada atau unit-
unit apapun untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya.2

1 Nanang Martono, “Sosiologi Perubahan Sosial”, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012, hal 2.
2 S. N. Eisenstadt, “Revolusi Dan Transformasi Masyarakat”, Jakarta: CV Rajawali, 1986, hal 77.

3
Perkembangan Hukum
Perkembangan hukum di Indonesia bergerak tidak kalah cepat jika dibandingkan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan (sains). Hal ini dapat dikaji bahwa hukum tidak
hanya sebagai suatu dogmatis yang hanya memandang hukum sebagai aturan atau dogma
atau cara pandang sepihak dari sudut positivisme hukum, yang harus diterima apa adanya,
namun hukum berkembang sebagai suatu alternatif yang bisa mengikuti perkembangan
masyarakat, sesuai kebutuhan di era tersebut. Hukum berkembang melalui serangkaian
proses analisa dari berbagai aliran yang mendasarinya. Dimulai dari embrio pemahaman ilmu
sosial dari para filsuf terkemuka di dunia sampai pada ahli-ahli hukum yang mencetuskan
perkembangannya di abad ke-21 ini. Satu hal yang perlu dipahami pula bahwa ilmu hukum
bukanlah ilmu statis yang tidak berkembang, karena perkembangannya senantiasa ada
sejalan dengan perkembangan masyarakat yang melingkupinya.
Perkembangan hukum di Indonesia tidak terlepas dari Pancasila sebagai sumber dari
segala sumber hukum di Indonesia. Perlu cita-cita etis yang menyemangati seluruh bangsa
dan yang cukup kuat untuk mempertahankan kita masing-masing, menurut kedudukan
masing-masing, dalam fokus pada pemajuan bangsa. Pancasila adalah konsensus agung
bangsa Indonesia bahwa kita semua bersatu, bahwa tidak boleh ada diskriminasi di antara
kita, dan konsensus itu mendapat kekuatannya dari lima sila, yaitu nilai-nilai yang amat
berakar dalam hati bangsa Indonesia, yang sekaligus merupakan cita-cita untuk diwujudkan,
seperti yang terungkap dalam lima sila Pancasila, yang menjadi roh dalam penegakan hukum
dan perkembangan ilmu hukum di Indonesia.3
Perkembangan Sistem Hukum Nasional semestinya tidak meninggalkan sumber
hukum materiil sebagai dasar pembentukan sistem hukum yang mencerminkan semangat
nasionalisme Indonesia. Sumber hukum materiil yang dicerminkan dengan Pancasila, cita
masyarakat Indonesia, nilai-nilai, norma-norma, kekeluargaan, musyawarah, gotong royong,
toleransi dan sebagainya yang menjadi ciri dari masyarakat Indonesia harus menjadi skala
prioritas dalam melakukan penataan terhadap sistem hukum Indonesia ke depannya.
Semangat nasionalisme tentunya harus terpancar dari perkembangan sistem hukum nasional.
Dalam artian, tidak dibenarkan meninggalkan semangat di atas dengan cara menggunakan
konsep-konsep yang lainnya yang secara nyata bertentangan sehingga menyebabkan sistem
hukum nasional menjadi terganggu. Hal tersebut khususnya tercermin dalam Pasal 24 F yang
menentukan bahwa negara menata dan mengembangkan sistem hukum nasional dengan

3 Laurensius Arliman, “Peranan Metodologi Penelitian Hukum Di Dalam Perkembangan Ilmu Hukum Di
Indonesia,” Soumatera Law Review 1, no. 1 (2018): hal 124-125.

4
memelihara dan menghormati keberagaman nilai-nilai hukum dan sumber-sumber hukum
yang hidup dalam masyarakat.4 Oleh karenanya, perkembangan sistem hukum nasional harus
berorientasi kepada kebijakan berupa pilihan hukum yang berlaku, sistem hukum yang akan
dianut, dasar filosofis yang digunakan dalam pembentukan hukum, termasuk kebijakan agar
mendasarkan hukum nasional dari asas-asas umum yang berlaku. Selanjutnya, pembangunan
sistem hukum Indonesia seharusnya mengarah kepada cita negara ( staatsidee) Indonesia
yang sejauh mungkin harus dibangun secara khas dalam arti tidak meniru paham
individualisme liberalisme yang justru telah melahirkan kolonialisme dan imperialisme yang
harus ditentang, ataupun paham kolektivisme ekstrim seperti yang diperlihatkan dalam
praktek di lingkungan negara-negara sosialis-komunis. Dengan kata lain, semangat yang
melandasi pemikiran para pendiri Republik Indonesia adalah semangat sintesis, semangat
untuk melakukan kombinasi atau semangat untuk menciptakan suatu paham baru.5 Patut juga
untuk dipahami, bahwa sistem hukum itu merupakan sistem abstrak (konseptual) karena
terdiri dari unsur-unsur yang tidak konkret, yang tidak menunjukkan kesatuan yang dapat
dilihat. Unsur-unsur dalam sistem hukum mempunyai hubungan yang khusus dengan unsur-
unsur lingkungannya. Selain itu juga dikatakan, bahwa sistem hukum merupakan sistem yang
terbuka, karena peraturan-peraturan hukum dengan istilah-istilahnya yang bersifat umum,
terbuka untuk penafsiran yang berbeda dan untuk penafsiran yang luas.6

Hubungan Perubahan Sosial dengan Perkembangan Hukum


Ada dua pendapat yang bertolak belakang tentang hubungan antara kaidah-kaidah
hukum (legal precepts) dan sikap-sikap serta perilaku masyakarat. Menurut pendapat yang
pertama, hukum ditentukan oleh perasaan keadilan (sense of justice) dan sentimen moral dari
populasi, dan legislasi hanya dapat mencapai hasil bila tetap berada dekat secara relatif
dengan norma-norma sosial yang berlaku (prevailing social norms). Menurut pendapat yang
lain, hukum khususnya legislasi, adalah wahana ( vehicle) dimana evolusi sosial yang
terprogram dapat dilakukan.” Pada satu sisi ekstrim, terdapat pandangan bahwa hukum
adalah perubah tak bebas (dependent variable), yang ditentukan dan dibentuk oleh pamali-
pamali yang ada (current mores) dan opini-opini dari masyarakat. Menurut pendapat atau
posisi ini, perubahan hukum adalah tidak mungkin kecuali didahului oleh perubahan sosial,
reformasi hukum tidak dapat melakukan apa-apa kecuali mengkodifikasi hukum. Jelas hal ini

4 Soetanto Soepiadhy, “Undang-Undang Dasar 1945: Kekosongan Politik Hukum Makro”, Kepel Press, 2004, hal
20.
5 Ni‟matul Huda, “Hukum Tata Negara Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Konstitusi Indonesia,” PSH FH UII,

1999, hal 3.
6 Titik Triwulan, “Pengantar Ilmu Hukum”, Prestasi Pustakarya, 2006, hal 90.

5
tidak benar, dan mengabaikan fakta bahwa sepanjang sejarah institusi-institusi hukum telah
ditemukan untuk “mempunyai peranan yang jelas, dan bukan pengertian yang meraba-raba,
sebagai suatu instrumen yang mengatur (set off), memonitor, atau meregulasi fakta atau
kecepatan dari perubahan sosial.”
Pendapat ekstrim lainnya diberikan oleh pakar hukum Soviet, seperti P.P. Gureyev dan
P.I. Sedugin (1977), yang melihat hukum sebagai instrumen untuk melakukan rekayasa sosial
(social engineering). Pendapat mereka, adalah “selama periode transisi dari kapitalisme ke
sosialisme, Negara Soviet telah menggunakan legislasi secara luas untuk mengarahkan
masyarakat, memulai dan mengembangkan bentuk-bentuk sosial ekonomi, menghapuskan
setiap bentuk eksploitasi, dan meregulasi berdasarkan tenaga kerja dan konsumsi dari produk-
produk tenaga kerja sosial (products of social labour). Ia menggunakan legislasi untuk
membuat dan meningkatkan lembaga-lembaga sosialis demokratis, untuk membuat hukum
dan ketertiban yang keras (firm law and order), melindungi sistem sosial dan keamanan
Negara, dan mengembangkan sosialisme”.7 Sedangkan dalam masyarakat modern, peranan
hukum dalam perubahan sosial lebih daripada hanya interest teoritis saja. Dalam banyak
bidang kehidupan sosial, seperti pendidikan, hubungan rasial, perumahan, transportasi,
penggunaan energi, dan perlindungan lingkungan, hukum telah disandari sebagai instrumen
perubahan yang penting.
Ada beberapa cara untuk mempertimbangkan peranan hukum dalam perubahan sosial. Dalam
suatu artikelnya yang sangat berpengaruh, “Hukum dan Perubahan Sosial,“ Dror
membedakan antara aspek tak langsung dan aspek langsung dari hukum dalam perubahan
sosial. Dror mengatakan bahwa “hukum memainkan peranan tak langsung dalam perubahan
sosial dengan membentuk berbagai institusi sosial, yang pada gilirannya mempunyai dampak
langsung terhadap masyarakat“. Ia menggunakan ilustrasi sistem wajib belajar yang
memainkan peranan penting tidak langsung dalam perubahan dengan memperkuat operasi
institusi-institusi pendidikan, yang pada gilirannya akan memainkan peranan langsung dalam
perubahan sosial. Ia menekankan bahwa hukum berinteraksi secara langsung dalam banyak
kasus dengan institusi-institusi sosial, membentuk adanya hubungan langsung antara hukum
dan perubahan sosial. Sebagai contoh, hukum yang diundangkan untuk melarang poligami
mempunyai pengaruh besar langsung terhadap perubahan sosial, dengan tujuan utamanya
perubahan dalam pola-pola perilaku yang penting. Namun ia mewanti-wanti, bahwa
perbedaannya tidaklah absolut tapi relative, pada banyak kasus penekanannya lebih kepada

7http://mjrsusi.wordpress.com/2007/12/14/hukum-dan-perubahan-sosial html diakses 29 September 2021 pukul


20.00.

6
dampak langsung dan kurang pada dampak tidak langsung terhadap perubahan sosial, yang
dalam kasus lainnya hal kebalikannya yang berlaku”.8
Di sisi lain Achmad Ali mengungkapkan, bahwa ada dua hal yang penting yang
berhubungan dengan perubahan-perubahan hukum dan perubahan-perubahan masyarakat
yaitu:
1. Perubahan masyarakat harus mendapatkan penyesuain oleh hukum. Dengan kata
lain, hukum menyesuaikan diri dengan perubahan masyarakat dan ini
menunjukkan sifat pasif hukum; dan
2. Hukum berperan untuk menggerakkan masyarakat menuju suatu perubahan yang
terencana. Disini hukum berperan aktif, dan inilah yang sering disebut sebagai
fungsi hukum a tool of social engineering, sebagai alat rekayasa masyarakat.
Pengakuan (recognition) peranan hukum sebagai suatu instrumen dari perubahan
sosial telah semakin menguat di masyarakat kontemporer. Hukum melalui respons legislatif
dan administratif terhadap kondisi-kondisi sosial dan ide-ide baru, selain melalui interpretasi
kembali dari konstitusi, statuta atau preseden, secara meningkat tidak hanya
mengartikulasikan atau mengambil peranan penting tetapi juga menentukan arah dari
perubahan-perubahan social besar. Sehingga, perubahan sosial yang dicoba melalui hukum
adalah suatu jejak (trait) dasar dari dunia modern.
Dengan demikian, menjadi semakin jelas bahwa hukum dan perubahan sosial memiliki
korelasi yang sangat erat karena di antara hukum dan perubahan sosial mempunyai saling
ketergantungan. Pada satu sisi perubahan-perubahan sosial harus seiring dengan kaidah-
kaidah hukum, dan pada sisi yang lain justru kaidah-kaidah hukum yang harus menyesuaikan
diri dengan perubahan-perubahan sosial tertentu.

B. Hubungan Hukum dengan Pranata Sosial

Pranata sosial terbentuk melalui norma-norma atau kaidah-kaidah yang biasanya


terhimpun atau berkisar (bersentripetal atau pengaruh ke titik pusat) di sekitar fungsi-fugsi
atau tugas-tugas masyarakat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok karena tujuannya
adalah mengatur cara berpikir dan cara bertindak untuk memenuhi kebutuhan pokok. Ada
himpunan kaidah yang berfungsi pemenuhan pokok yang lain. Dengan kata lain bahwa
pranata sosial merupakan himpunan kaidah-kaidah atau norma-norma. Supaya hubungan
yang ada di dalam masyarakat mempunyai kekuatan mengikat berbeda-beda, diperlukan

8 http://mjrsusi.wordpress.com/2007/12/14/hukum-dan-perubahan-sosial

7
sebuah pranata sosial budaya, yang dimana mempuyai fungsi-fungsi dan aturan untuk
memenuhi kebutuhan dalam hidup bermasyarakat.
Suatu sistem tata tingkah laku dalam hubungan yang berpusat kepada aktivitas-
aktivitas dalam bentuk memenuhi berbagai kebutuhan khusus dalam masyarakat. Pranata
sosial berasal dari bahasa asing social institutions, itu sebabnya ada beberapa ahli sosiologi
yang mengartikannya sebagai lembaga kemasyarakatan, di antaranya adalah Soerjono
Soekanto.9 Lembaga kemasyarakatan diartikan sebagai himpunan norma dari berbagai
tindakan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kebutuhan masyarakat. Dengan
kata lain, pranata sosial merupakan kumpulan norma (sistem norma) dalam hubungannya
dengan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat.
Tugas hukum tidak lain dari pada mencapai keserasian antara kepastian hukum
dengan kesebandingan hukum secara bersamaan. Apabila kaedah atau norma telah dipahami
dan ditaati oleh masyarakat maka dapat dikatakan bahwa kaedah-kaedah tersebut telah
melembaga. Himpunan kaedah yang oleh masyarakat dianggap mengatur kebutuhan-
kebutuhan pokok lazimnya disebut lembaga sosial atau pranata sosial. Hukum sebagai Pranata
Sosial meliputi:

1. Hukum Sebagai Suatu Institusi


Suatu sistem norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat
di pandang penting atau secara formal, sekumpulan kebiasaan dan tata kelakuan yang
berkisar pada suatu kegiatan pokok manusia. Di dalam masyarakat dijumpai berbagai
institusi yang masing-masing diperlukan oleh masyarakat itu untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhannya dan memperlancar jalannya pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut.
Oleh karena fungsinya yang demikian itu maka masyarakat sangat membutuhkan
kehadiran institusi tersebut. Institusi bergerak di sekitar kebutuhan tertentu manusia. Agar
kita berbicara mengenai adanya suatu institusi yang demikian itu, kebutuhan yang
dilayaninya terlebih dulu harus mendapatkan pengakuan oleh masyarakat. Pengakuan di
sini diartikan, bahwa masyarakat disitu memang telah mengakui pentingnya kebutuhan
tersebut bagi kehidupan manusia. Diantara berbagai kebutuhan tersebut adalah,
pengadaan pangn dan lain kebutuhan fisik, agama, pendidikan, keadilan dan kebutuhan
untuk mempertahankan diri. Pengakuan terhadap kebutuhan-kebutuhan tersebut
menyebabkan perlunya masyarakat mengusahakan agar ia dipelihara dan di
selenggarakan secara saksama. Untuk menyelenggarakannya secara saksama barang

9 Soerjono Soekanto. 2007. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Geafindo, hal. 34.

8
tentu pemenuhan akan kebutuhankebutuhan tersebut tidak dapat diserahkan kepada
kemampuan dan kegiatan masingmasing orang secara sendiri. Justru kehadiran
masyarakat adalah untuk mengusahakan agar anggota masyarakat itu dapat dipenuhi
kebutuhannya secara bersama- sama.

2. Hukum Sebagai Kontrol Sosial


Dalam memandang hukum sebagai alat kontrol sosial manusia, maka hukum
merupakan salah satu alat pengendali sosial. Alat lain masih ada sebab masih saja diakui
keberadaan pranata sosial lainnya (misalnya keyakinan, kesusilaan). Kontrol sosial
merupakan aspek normatif kehidupan sosial. Hal itu bahkan dapat dinyatakan sebagai
pemberi defenisi tingkahg laku yang menyimpang dan akibat-akibat yang ditimbulkannya,
seperti berbagai larangan, tuntutan, dan pemberian ganti rugi. 10
Hukum sebagai alat kontrol sosial memberikan arti bahwa ia merupakan sesuatu yang
dapat menetapkan tingkah laku manusia. Tingkah laku ini dapat didefenisikan sebagai
sesuatu yang menyimpang terhadap aturan hukum. Sebagai akibatnya, hukum dapat
memberikan sanksi atau tindakan terhadap si pelanggar. Karena itu, hukum pun
menetapkan sanksi yang harus diterima oleh pelakunya. Hal ini berarti bahwa hukum
mengarahkan agar masyarakat berbuat secara benar menurut aturan sehingga
ketentraman terwujud.
Sanksi hukum terhadap perilaku yang menyimpang, ternyata terdapat perbedaan di
kalangan suatu masyarakat. Tampaknya hal ini sangat berkait dengan banyak hal, seperti
keyakinan agama, aliran falsafat yang dianut. Dengan kata lain, sanksi ini berkaitan
dengan kontrol sosial.
Fungsi hukum sebagai alat kontrol sosial dapat berjalan dengan baik bila terdapat hal-
hal yang mendukungnya. Pelaksanaan fungsi ini sangat berkaitan dengan materi hukum
yang baik dan jelas. Selain itu, pihak pelaksana sangat menentukan. Orang yang akan
melaksanakan hukum ini tidak kalah peranannya. Suatu aturan atau hukum yang sudah
memenuhi harapan suatu masyarakat serta mendapat dukungan, belum tentu dapat
berjalan dengan baik bila tidak didukung oleh aparat pelaksana yang kimit terhadap
pelaksanaan hukum. Hal yang terakhir inilah yang sering dikeluhkan oleh masyarakat
Indonesia. Aparat sepertinya dapat dipengaruhi oleh unsur-unsur lain yang sepatutnya
tidak menjadi faktor penentu, seperti kekuasaan, materi dan pamrih serta kolusi. Citra
penegak hukum masih rawan.

10 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial (Bandung :Alumni, 1983), hal. 35.

9
3. Struktur Hukum, Substansi Hukum & Kultur Hukum
Menurut Lawrence M. Friedman, dalam setiap sistem hukum terdiri dari 3 (tiga) sub
sistem, yaitu sub sistem substansi hukum (legal substance), sub sistem struktur hukum
(legal structure), dan subsistem budaya hukum (legal culture).11 Substansi hukum meliputi
materi hukum yang diantaranya dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
Struktur hukum menyangkut kelembagaan (institusi) pelaksana hukum, kewenangan
lembaga dan personil (aparat penegak hukum). Sedangkan kultur hukum menyangkut
perilaku (hukum) masyarakat. Ketiga unsur itulah yang mempengaruhi keberhasilan
penegakan hukum di suatu masyarakat (negara), yang antara satu dengan lainnya saling
bersinergi untuk mencapai tujuan penegakan hukum itu sendiri yakni keadilan. Secara
sederhana, teori Friedmann itu memang sulit dibantah kebenarannya. Namun, kurang
disadari bahwa teori Friedman tersebut sebenarnya didasarkan atas perspektifnya yang
bersifat sosiologis (sociological jurisprudence).12 Yang hendak diuraikannya dengan teori
tiga sub-sistem struktur, substansi, dan kultur hukum itu tidak lain adalah bahwa basis
semua aspek dalam sistem hukum itu adalah budaya hukum.13
a. Struktur hukum (Legal Structure)
“The structure of a system is its skeleton or framework;it is the permanent
shape, the institutional body of the system, the though rigid nones that keep the
process flowing within bounds… The structure of a legal system consists of elements
of this kind: the number and size of courts; their jurisdiction (that is, what kind of
cases they hear, and how and why); and modes of appeal from one court to another.
Structure also means how the legislature is organized, how many members.., what a
president can (legally) do or not do, what procedures the police department follows,
and so on. Structure, in a way, is a kind of cross section of the legal system? A kind
of still photograph, which freezes the action .”14
Berdasarkan pengertian tersebut secara singkat dapat dikatakan bahwa
struktur hukum berkaitan dengan kelembagaan atau penegak hukum termasuk
kinerjanya (pelaksanaan hukum). Pola yang memperlihatkan tentang bagaimana
hukum itu dijalankan menurut ketentuan-ketentuan formalnya. Struktur ini

11 Lawrence M. Friedman, Hukum Amerika: Sebuah Pengantar, Terjemahan dari American Law An Introduction,
2nd Edition, Alih Bahasa: Wisnu Basuki, Jakarta: Tatanusa, 2001, hal. 6-8.
12 http://www.informasiahli.com/2016/04/filsafat-hukum-aliransociological-jurisprudence.html diakses 29

September 2021 pukul 19.00.


13 http://tugasmakalah96.blogspot.co.id/2017/04/sistem-hukum-menurut-law -rence- m.html diakses 29

September 2021 pukul 22.00.


14 Lawrence W. Friedman, American Law: An Introduction. New York: W.W. Norton and Co, 1984, hal. 5.

10
memperlihatkan bagaimana pengadilan. Pembuatan hukum dan dan lain-lain badan
serta proses hukum itu berjalan dan dijalankan. Selanjutnya Friedman menegaskan
bahwa hukum memiliki elemen pertama dari sistem hukum. Yang merupakan
lembaga-lembaga hukum seperti kepolisian, kejaksaan, kehakiman,kepengacaraan
dan lain-lain.
Konsep ini pada hakikatnya ketidakpercayaan terhadap birokrasi yang banyak
menggunakan jalan pintas dalam menggunakan hukum hanya untuk kepentingan
dirinya semata. Oleh sebab itu Romli Atmasasmita menganjurkan perubahan atau
rekayasa tidak hanya terjadi pada ruang-ruang sosial tetapi juga harus terjadi
perubahan terhadap lembaga birokrasi. Rekayasa birokrasi dan rekayasa masyarakat
yang dilandaskan pada sistem norma, sistem perilaku dan sistem nilai yang bersumber
pada Pancasila sebagai ideologi bangsa. 15

b. Substansi Hukum (Legal Substance)


“The substance is composed of substantive rules and rules about how
institutions should behave. By this is meant the actual rules, norm, and behavioral
patterns of people inside the system …the stress here is on living law, not just rules in
law books.” 16
Substansi berarti aturan, norma, dan pola perilaku orang-orang di dalam sistem
yang sebenarnya ... penekanannya adalah hukum hidup (living law), bukan hanya
peraturan dalam perundang-undangan (law in book)." Substansi atau isi hukum
sebagai acuan dalam penegakan hukum mempunyai peran penting sebagai pedoman
atau pegangan bagi penegak hukum dalam melakukan wewenangnya. Hal ini berarti
kelemahan isi hukum akan mengakibatkan penegakan hukum tidak efektif sehingga
tujuan yang hendak dicapai tidak terpenuhi.
Seringkali substansi hukum yang termuat didalam suatu produk perundang-
undangan dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan kelompok tertentu. Sehingga
hukum yang dihasilkan tidak resposif terhadap perkembangan masyarakat. akibat
yang lebih luas adalah hukum dijadikan sebagai alat kekuasaan dan sebagai
pengontrol kekuasaan atau membatasi kesewenangan yang berkuasa.
c. Kultur Hukum (Legal Culture)
“The legal culture, system their beliefs, values, ideas and expectation. Legal
culture refers, then, to those ports of general culture customs, opinions ways of doing

15 Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif, Yogyakarta; Genta Publishing, 2012, hal. 97.
16 Lawrence W. Friedman, loc.cit.

11
and thinking that bend social forces toward from the law and in particular ways. …in
other word, is the climinate of social thought and social force wicch determines how
law is used, avoided, or abused.” 17

Kultur hukum menyangkut budaya hukum yang merupakan sikap manusia


(termasuk budaya hukum aparat penegak hukumnya) terhadap hukum dan sistem
hukum. Sebaik apapun penataan struktur hukum untuk menjalankan aturan hukum
yang ditetapkan dan sebaik apapun kualitas substansi hukum yang dibuat tanpa
didukung budaya hukum oleh orang-orang yang terlibat dalam sistem dan masyarakat
maka penegakan hukum tidak akan berjalan secara efektif.
Budaya hukum, lebih mengarah pada sikap masyarakat, kepercayaan
masyarakat, nilai-nilai yang dianut masyarakat dan ide-ide atau pengharapan mereka
terhadap hukum dan sistem hukum. Dalam hal ini kultur hukum merupakan gambaran
dari sikap dan perilaku terhadap hukum, serta keseluruhan faktor-faktor yang
menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempat yang sesuaidan dapat
diterima oleh warga masyarakat dalam kerangka budaya masyarakat. Semakin tinggi
kesadaran hukum masyarakat, maka akan tercipta budaya hukum yang baik dan dapat
merubah pola pikir masyarakat selama ini. Secara sederhana tingkat kepatuhan
masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum.
Dari paparan Lawrence W. Friedman tersebut, kultur hukum merupakan suatu hal
yang vital di dalam sistem hukum, yaitu suatu “tuntutan”, “permintaan” atau
“kebutuhan” yang datangnya dari masyarakat atau pemakai jasa hukum yang
berkaitan dengan ide, sikap, keyakinan, harapan dan opini mengenai hukum. Oleh
karena itu budaya hukum masyarakat dapat juga diartikan sebagai nilai-nilai dan sikap
serta perilaku anggota masyarakat dalam kehidupan hukum. Budaya hukum
masyarakat tercermin oleh perilaku pejabat (eksekutif, legislatif maupun yudikatif),
tetapi juga perilaku masyarakat. Budaya hukum masyarakat juga dapat diberikan
batasan yang sama dengan kesadaran hukum. Namun kesadaran hukum berbeda
dengan perasaan hukum karena perasaan hukum merupakan produk penilaian
masyarakat secara spontan yang tentu saja bersifat subjektif, sedangkan kesadaran
hukum lebih merupakan hasil pemikiran, penalaran, dan argumentasi yang dibuat oleh
para ahli, khususnya ahli hukum. Kesadaran hukum adalah abstraksi (para ahli)
mengenai perasaan hukum dari para subjek hukum. Dalam konteks pembicaraan

17 Lawrence W. Friedman, loc.cit.

12
tentang sistem hukum, yang dimaksud dengan budaya hukum masyarakat ini adalah
kesadaran hukum dari subjek-subjek hukum suatu komunitas secara keseluruhan.
Dari sisi individu, kesadaran hukum merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang
terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang
diharapkan ada. Sebenarnya yang ditekankan adalah nilai-nilai tentang fungsi hukum
dan bukan suatu penilaian hukum terhadap kejadian-kejadian yang konkrit dalam
masyarakat yang bersangkutan.18 Suatu keadaan yang dicita-citakan adalah adanya
kesesuaian antara hukum dengan sistem nilai-nilai tersebut, konsekuensinya adalah
bahwa perubahan pada sistem nilai-nilai harus diikuti dengan perubahan hukum atau
di lain pihak hukum harus dapat dipergunakan sebagai sarana untuk mengadakan
perubahan pada sistem nilai-nilai tersebut. Dengan demikian bahwa masalah
kesadaran hukum sebetulnya merupakan masalah nilai-nilai sehingga kesadaran
hukum adalah konsepsi-konsepsi abstrak di dalam diri manusia, tentang keserasian
antara ketertiban dengan ketentraman yang dikehendaki atau yang sepantasnya. 19

4. Hukum Dan Kekuasaan


Founding fathers republik ini telah mencita-citakan Indonesia sebagai negara yang
berdasarkan hukum (Rechtstaat) bukan kekuasaan (Machtstaat), senada dengan hal
tersebut dalam Undang-Undang Dasar 1945 juga telah ditegaskan bahwa Negara
Indonesia adalah Negara Hukum.20 Sebagai konsekuensi dari negara hukum tersebut,
maka negara Indonesia harus menjunjung tinggi supremasi hukum dengan berasaskan
pada prinsip dasar dari negara hukum yaitu equality before the law yang artinya adalah
setiap orang mempunyai kedudukan yang sama di mata hukum. Sebagai suatu negara
hukum, maka sudah selayaknya juga segala sesuatu yang dijalankan dalam kehidupan
bernegara dan bermasyarakat juga harus berada dalam koridor hukum, artinya dalam
masyarakat mutlak diperlukan hukum untuk mengatur hubungan antara warga
masyarakat dan hubungan antara masyarakat dengan negara.
Bahwa Hukum membutuhkan kekuasaan, tanpa kekuasaan akan tinggal sebagai
keinginan atau ide-ide belaka tetapi ia juga tidak bisa membiarkan kekuasaan itu untuk
menunggangi hukum. Bahwa hukum tanpa kekuasaan akan tinggal sebagai
keinginankeinginan atau ide-ide belaka. Situasi konflik antara keduanya terjadi oleh karena
kekuasaan seringkali tidak bisa menerima pembatasan-pembatasan. Sebaliknya, hukum

18 Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Jakarta: CV Rajawali, 1982: 152
19 Ibid, hal. 159.
20 Vide Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945

13
itu bekerja dengan cara memberikan pembatasan-pembatasan. Dengan mengutarakan
seperti itu kita melihat dengan jelas persoalan yang kita hadapi sekarang, yaitu hubungan
antara hukum dan kekuasaan. Suatu konflik yang utama antara keduanya terjadi oleh
karena kekuasaan dalam bentuknya yang paling murni tidak bisa menerima pembatasan-
pembatasan. Menurut ahli sosiologi, kekuasaan bisanya diartikan sebagai suatu
kemampuan untuk memaksa kehendaknya kepada orang lain.
Dengan demikian, dalam konsep tentang kekuasaan itu, dominasi dari seorang
terhadap atau atas orang lain, termasuk ciri yang utama. Hubungan antara hukum dan
kekuasaan tidak hanya terwujud dalam bentuk seperti dikemukakan diatas yaitu sebagai
sarana untuk mengontrol kekuasaan yang ada pada orang-orang. Hukum tidak hanya
membatasi kekuasaan, ia juga menyalurkan dan memberikan kekuasaan kepada orang-
orang. Dengan demikian, maka hukum itu merupakan sumber kekuasaan, karena melalui
dialah kekuasaan itu dibagi-bagikan dalam masyarakat. Kekuasaan seperti ini tidak hanya
diberikan kepada orang atau individu, melainkan juga kepada badan atau kumpulan
orang-orang, misalnya kekuasaan di bidang kenegaraan. Yang penting bagi kita adalah
untuk melihat perbedaan antara kekuasaan sebagai konsep yang murni dan kekuasaan
yang di atur oleh hukum. Kekuasaan yang diatur oleh hukum, merupakan suatu yang
terkendali, baik isi ruang lingkup prosuder memperolehnya, kesemuanya ditentukan oleh
hukum. Karena hukum itu memberikan pembatasanpembatasan yang demikian itu maka
institusi hukum itu hanya bisa berjalan dan berkembang dengan seksama di dalam suatu
lingkungan sosial dan politik yang bisa dikendalikan secara efektif oleh hukum.

5. Hukum Dan Keadilan


Berkaitan dengan hal tersebut, Satjipto Raharjo21 mengemukakan bahwa dalam setiap
masyarakat harus ada hukum yang mengatur perilaku-perilaku dan tata kehidupan
anggota masyarakat. Untuk adanya tata hukum dalam masyarakat diperlukan komponen
kegiatan yaitu pembuatan norma-norma hukum, pelaksana norma-norma hukum tersebut
dan penyelesaian sengketa yang timbul dalam suasana tertib hukum tersebut. Apabila
melihat bahwa di kehidupan masyarakat di Indonesia saat ini, maka dapat dilihat bahwa
telah banyak peraturan-peraturan yang dikeluarkan untuk menjaga kelangsungan hidup
bernegara dan bermasyarakat. Dikeluarkannya peraturan-peraturan tersebut
menggambarkan adanya norma-norma hukum yang diciptakan untuk mengatur hak dan
kewajiban dari negara dan masyarakat. Pelaksanaan dari peraturan-peraturan yang

21 Sajipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung : Alumni, 1979. hal. 102.

14
mengandung norma-norma hukum tersebut pada dasarnya merupakan bagian dari
penegakan hukum karena penegakan hukum adalah suatu upaya untuk menjaga agar
hukum harus ditaati. Pelanggaran atau penyimpangan dari hukum yang berlaku akan
dikenakan sanksi sesuai ketentuan yang diatur dalam hukum. Dalam hal inilah hukum
pidana digunakan. Dengan demikian, penegakan hukum dengan menggunakan perangkat
hukum pidana maupun hukum perdata juga merupakan upaya untuk mencari keadilan.
Merupakan hal yang esensial bagi kehidupan manusia, namun kadang keadilan hanya
menjadi bahan perdebatan tiada akhir, apa itu keadilan, dimana itu keadilan, bagaimana
wujud keadilan, dimana itu keadilan dan kapan seseorang memperoleh keadilan, sehingga
keadilan muncul hanya sebagai wacana perdebatan. Keadilan harus diwujudkan, agar
mampu memaknai supremasi hukum, menghilangkan imparsialitas hukum dan tetap pada
entitas keadilan.
Hubungan hukum dan keadilan walaupun sifat dasarnya abstrak, seolah-olah hanya
menjadi ruang lingkup tela’ah filsafat. Tetapi kelestarian sebagai relafensi antara hukum
dan keadilan selalu terjaga. Lintasan sejarah dari seluruh aliran pemikiran dalam ilmu
hukum senantiasa memperjuangkan keadilan, entah dari sudut manapun caranya
memandang hukum, baik hukum dipandang sebagai objek, maupun hukum dipandang
sebagai bagian dari subjek yang melekat dalam diri personal. Harus diakui segala analisis,
pembongkaran, dekonstruksi, hingga kritik terhadap hukum dalam tataran implementatif
semuanya terikat dengan kehendak untuk mewujudkan hukum dalam tujuannya untuk
mencapai keadilan. Itu sebabnya pembagian keadilan yang pernah dikemukakan oleh
aristoteles hingga sekarang tetap relevan untuk menyentuh terhadap segala tindakan
untuk mempertahankan hukum dalam sisinya.

C. Hubungan Hukum dengan Kaidah Sosial

Dalam pergaulan sehari-hari, manusia tidak bisa lepas dari yang namanya kaidah atau
norma, yang pada hakikatnya bertujuan untuk menghasilkan kehidupan bersama dan
tentram. Didalam pergaulan hidup tersebut, manusia akan mendapatkan berbagai macam
pengalaman tentang cara bagaimana memenuhi kebutuhan pokok yang dalam hal ini seperti
sandang, pangan dan papan. Dari pengalaman tersebut tentunya ada yang bersifat positif
maupun negatif.
Pada kenyataannya dalam kehidupan manusia di dalam pergaulan masyarakat diliputi
oleh peraturan atau norma hidup yang mempengaruhi tingkah laku manusia di dalam
masyarakat. Adanya suatu norma untuk memberi petunjuk kepada manusia bagaimana

15
seorang harus bertindak dalam masyarakat serta perbuatan–perbuatan mana yang harus
dijalankan dan perbuatan mana pula yang harus dihindari. Apabila perilaku warga masyarakat
menuruti norma atau kaidah maka perbuatannya dipandang wajar atau normal, dan apabila
sebaliknya dianggap tidak normal atau menyimpang, sehingga akan menerima reaksi dari
masyarakat. Dapat dikatakan suatu kaidah atau norma adalah ukuran atau pedoman untuk
berperilaku atau bersikap, bertindak dalam hidup.
Pada dasarnya, dalam sistem hokum di Indonesia terdapat adanya perbedaan-
perbedaan antara kaidah-kaidah sosial yang tidak tertulis dan yang tetulis atau undang-
undang namun tetap ada kesatuan, oleh karennya antara hukum dan kaidah sosial sifatnya
saling mengisi artinya kaidah sosial mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat dalam
hal-hal hukum tidak mengaturnya. Kaidah hukum dan sosial tidak hanya saling mengisi tetapi
juga saling memperkuat. Yang pada kesimpulannya, bahwa kaidah hukum, agama, adat,
kesusilaan dan sosial merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan artinya kaidah-
kaidah tersebut akan selalu ada selama manusia masih menempatkan dirinya sebagai mahluk
sosial (zoon politikon). Kesimpulan lain dari uraian diatas adalah sanksi yang diatur atau tidak
diatur oleh undang-udang merupakan hal terpenting untuk dapat menata ketertiban dalam
masyarakat sosial dengan tujuan untuk mencapai suatu keadilan dan keteraturan dalam
kehidupan bermasyarakat.
Kaidah Sosial atau Norma Sosial adalah ketentuan-ketentuan tentang baik buruk
perilaku manusia di tengah pergaulan hidupnya dan peraturan hidup yang mengatur tingkah
laku manusia dalam bermasyarakat, dengan menentukan perangkat-perangkat atau penggal-
penggal aturan yang bersifat perintah dan anjuran serta larangan-larangan. Ketentuan
larangan untuk perbuatan-perbuatan yang apabila di lakukan atau tidak dilakukan dapat
membahayakan kehidupan bersama, sebaliknya perintah-perintah adalah ditujukan agar
dilakukan perbuatan-perbuatan yang dapat memberi kebaikan bagi kehidupan bersama.
Apabila perilaku masyarakat menuruti norma atau kaidah maka perbuatannya dipandang
normal atau wajar, dan apabila sebaliknya tidak normal atau menyimpang sehingga akan
menerima reaksi masyarakat. Dapatlah dikatakan bahwa apa yang diartikan dengan kaidah
adalah patokan atau ukuran atau pedoman untuk berperilaku atau bersikap tindak dalam
hidup. Apabila ditinjau bentuk hakikatnya, maka kaidah merupakan perumusan suatu
pandangan mengenai perikelakuan.
Menurut purnadi purbacaraka dan soerjono soekanto dalam bukunya yang berjudul
Perihal Kaidah Hukum, mengatakan bahwa “apa yang diartikan dengan kaidah adalah patokan

16
atau ukuran atau pedoman bertingkah laku/berperilakuan atau bersikap tindak dalam
masyarakat, dalam hidup.22
Menurut Kuntoro Basuki Kaidah Sosial adalah pedoman tingkah laku manusia dalam
hidup bermasyarakat, yang fungsinya melindungi kepentingan manusia baik sebagai individu
maupun sebagai makhluk sosial dengan jalan menertibkan. Kaidah Sosial masih berhubungan
dengan Konformitas atau penyesuaian, dimana seseorang harus menyesuaikan dirinya
terhadap lingkungan agar seseorang bisa diterima di lingkungannya.
Sedangkan Kaidah hukum adalah peraturan yang dibuat atau yang dipositifkan secara
resmi oleh penguasa masyarakat atau penguasa negara, mengikat setiap orang dan
berlakunya dapat dipaksakan oleh aparat masyarakat atau aparat negara, sehingga
berlakunya kaidah hukum dapat dipertahankan. Kaidah hukum ditujukan kepada sikap lahir
manusia atau perbuatan nyata yang dilakukan manusia. Kaidah hukum tidak mempersoalkan
apakah sikap batin seseorang itu baik atau buruk, yang diperhatikannya adalah bagaimana
perbuatan lahiriyah orang itu.
Karena ada kaidah hukum maka hukum dapat dipandang sebagai kaidah. Hukum
sebagai kaidah adalah sebagai pedoman atau patokan sikap tindak atau perikelakuan yang
pantas atau diharapkan. Pada konteks ini masyarakat memandang bahwa hukum merupakan
patokan-patokan atau pedoman-pedoman yang harus mereka lakukan atau tidak boleh
mereka lakukan. Pada makna ini aturan-aturan kepala adat atau tetua kampung yang harus
mereka patuhi bisa dianggap sebagai hukum, meskipun tidak dalam bentuk tertulis. Kebiasaan
yang sudah lumrah dipatuhi dalam suatu masyarakat pun meskipun tidak secara resmi
dituliskan, namun selama ia diikuti dan dipatuhi dan apabila yang mencoba melanggarnya
akan mendapat sanksi, maka kebiasaan masyarakat ini pun dianggap sebagai hukum.
Dalam kaidah sosial, ada terdapat berbagai macam kaidah-kaidah, antara lain:

1. Kaidah Agama
Kaidah agama merupakan aturan-aturan yang berisi perintah maupun larangan yang
besumber pada kitab suci masing-masing agama. Misalnya saja, bagi umat Islam, kaidah
agama bersumber pada Al-Qur’an, atau injilyang menjadi sumber kaidah agama bagi yang
memeluk agama Kristen. Kaidah agama bukanlah kaidah yang bersifat mengikat kepada
seluruh warga Negara Indonesia, kaidah ini tergantung pada agama apa yang dianut oleh
warga tersebut. Oleh karenanya kaidah agama Islam tidak dapat diterapkan kepada
individu atau masyarakat yang beragama Kristen, ataupun sebaliknya.

22 Yulies Tiena Masriani, Pengantar HukumIndonesia (Jakarta, Sinar Grafika, 2008), Hal. 1.

17
2. Norma / Kaidah Kesusilaan
Kaidah Susila adalah kaidah yang paling tua dan paling asli, terdapat didalam sanubari
manusia sendiri karena manusia makhluk bermoral, tanpa melihat kebangsaan atau
masyarakat: “Tidak mengindahkan norma Susila berarti asusila.” 23
Kaidah kesusilaan ada yang bersifat actual dan ada yang bersifat fundamental. Yang
bersifat actual misalnya; jangan iri hati, jangan todak senonoh, jangan membenci, jangan
memfitnah dll. Sedangkan yang fundamental yang merupakan dasar dari kaidah-kaidah
tersebut adalah pandangan tentang perilaku atau sikap tidak tindak bahwa sesorang harus
bersih hatinya, baik akhlaknya ,berjiwa luhur sebagai pancaran untuk dapat bersusila
dalam pergaulan hidup.

3. Kaidah Kesopanan
Inti dari kaidah kesopanan adalah kebiasaan, kepatuhan, dan kepantasan yang berlaku
di masyarakat. Kaidah kesopanan ini diikuti dan ditaati sebagai pedoman yang mengatur
tingkah laku manusia terhadap manusia yang ada disekitarnya. Satu golongan manusia
tertentu dapat menetapkan peraturan-peraturan tertentu mengenai kesopanan, yaitu apa
yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh seseorang dalam masyarakat itu.
Dengan demikian, kaidah kesopanan tidak mempunyai lingkungan pengaruh yang
luas,jika dibanding dengan kaidah agama dan kesusilaan.

4. Kaidah Hukum
Kaidah hukum ialah peraturan-peraturan yang dibuat dan dilaksanakan oleh Negara,
berlaku dan dipertahankan secara paksa oleh alat-alat Negara seperti pisi, jaksa, hakim
dan sebagainya. Dengan demikian memaksa merupakan sifat khas dari kaidah atau norma
hokum meskipun demikian, memaksa tidak dapat diartikan sebagai kesewenang-
wenangan, sebab paksaan disini dimaksutkan untuk mempertahankan kelangsungan
hidup masyarakat yang berarti pula kepentingan-kepentingan setiap anggota masyarakat
yang berada pada masyarakat yang bersangkutan. Tindakan ini diperlukan karena
tindakan tersebut tidak bisa diserahkan kepada kehendak baik setiap anggota masyarakat
semata-mata. Dalam tata hokum paksaan harus digunakan untuk menjamin di taatinya
peraturan-peraturan yang sangat dibutuhkan dalam melaksanakan kepentingan-
kepentingan yang justru merupakan kerangka acuan tata hukum itu sendiri.

23 R. Soeroso. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. 2011. Halaman 216.

18
Pada intinya, setiap perilaku masyarakat dalam kehidupan sehari-hari tidak bisa
terlepas dari kaidah atau norma-norma yang berlaku di masyarakat. Hal ini bertujuan untuk
menjaga ketertiban dan ketentraman dalam masyarakat. Dalam masyarakat terdapat
berbagai golongan dan aliran. Walaupun golongan dan aliran beraneka ragam dan masing-
masing mempunyai kepentingan sendiri, akan tetapi kepentingan bersama mengharuskan
adanya ketertiban dalam kehidupan masyarakat. Keamanan dalam masyarakat akan
terpelihara bila mana tiap warga masyarakat itu tidak mengganggu sesamanya. Bila
keamanan terganggu, maka masyarakat akan kacau. Maka norma (suatu aturan) akan
memberi batasan aturan yang bersifat perintah dan anjuran serta larangan-larangan.
Ketentuan-ketentuan larangan untuk perbuatan-perbuatan yang apabila dilakukan atau tidak
dilakukan dapat membahayakan kehidupan bersama, sebaliknya perintah-perintah adalah
ditujukan agar dilakukan perbuatan-perbuatan yang dapat memberi kebaikan bagi kehidupan
bersama.
Disisi lain, yang justru merupakan kerangka acuan tata hokum itu sendiri. Ada dua
alasan utama mengapa ketiga kaidah sosial selain kaidah hokum tersebut dinilai tidak mampu
menjamin ketertiban masyarakat:
a. Masih banyak hal-hal penting guna menjaga ketertiban dan keamanan dalam masyarakat
yang tidak diatur dalam ketiga norma tersebut, seperti lawangan berkendaraan di sebelah
kanan, aturan-aturan dalam lalu lintas di jalan, urusan bank perseroan terbatas dan lain-
lain.
b. Ketiga kaidah sosial tersebut tidak memiliki sanksi yang tegas jika salah satu dari
peraturannya dilanggar. memang pelanggaran terhadap norma agama diancam dengan
hukuman dari Tuhan dan ini berlaku diakhirat, pelanggaran kaidah kesusilaan atau moral
mengakibatkan cemas dan sesal hati bagi pelanggaran yang insaf, demikian juga
pelanggaran terhadap kaidah kesopanan akan mengakibatkan celaan atau pengasingan
dari lingkungan masyarakat. Namun demikian, sanksi atau hukumanseperti itu tidak akan
efektif karena tidak semua orang bahkan banyak orang yang tidak mengenal dan
memberikan perhatian atau memperdulikan terhadap agama, kesusilaan dan kesopanan.
Atas dasar kedua alasan diatas, maka diperlukan adanya suatu peraturan lain yang
dapat menegakkan tata hidup masyarakat, yaitu jenis peraturan yang bersifat memaksa dan
mempunyai sanksi-sanksi yang tegas, serta dilaksanakan dan dipertahankan oleh alat-alat
Negara. Peraturan inilah kemudian dikenal dengan sebutan kaidah hukum.

D. Hubungan Hukum dengan Kelompok Sosial

19
Sebelum membahas tentang hubungan hukum dengan kelompok sosial dalam
masyarakat kita harus memahami pengertian hukum dan kelompok sosial. Istilah hukum
identik dengan istilah law dalam bahasa inggris, droit dalam bahasa Perancis, recht daslam
bahasa Belanda, atau dirito dalam bahasa Italia. Hukum dalam arti luas dapat disamakan
dengan aturan, kaidah, norma, atau ugeran, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, yang
apda dasarnya berlaku dan diakui orang sebagai peraturan yang harus ditataati dalam
kehidupan bermasyarakat dan apabila dilanggar akan dikenakan sanksi.
Menurut Seorjono (2003) kelompok sosial adalah himpunan atau kesatuan manusia
yang hidup bersama, oleh karena adanya hubungan antara mereka. Hubungan tersebut
antara lain menyangkut hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi dan juga suatu
kesadaran untuk saling tolong-menolong.
Suatu kenyataan hidup bahwa manusia itu tidak sendiri. Manusia hidup berdampingan,
bahkan berkelompok – kelompok dan sering mengadakan hubungan antar sesamanya.
Hubungan itu terjadi berkenaan dengan kebutuhan hidupnya yang tidak mungkin selalu dapat
dipenuhi sendiri. Pemenuhan kebutuhan hidup tergantung dari hasil yang diperoleh melalui
daya upaya yang dilakukan. Setiap waktu manusia ingin memenuhi kebutuhannya dengan
baik. Suatu bentrokan akan terjadi kalau dalam suatu hubungan, antara manusia satu dan
manusia lain ada yang tidak memenuhi kewajiban. kelompok atau group adalah kumpulan
dari individu yang berinteraksi satu sama lain, pada umunya hanya untuk melakukan
pekerjaan, untuk meningkatkan hubungan antar individu, atau bisa saja untuk keduanya.
Sebuah kelompok suatu waktu dibedakan secara kolektif, sekumpulan orang yang memiliki
kesamaan dalam aktifitas umum namun dengan arah interaksi kecil.
Suatu kebebasan dalam bertingkah – laku dalam interaksi sosial tidak selamanya akan
menghasilkan sesuatu yang baik. Apalagi kalau kebebasan tingkah laku seseorang tidak dapat
diterima oleh kelompok sosialnya. Oleh karena itu, untuk menciptakan keteraturan dalam
suatu kelompok sosial, baik dalam situasi kebersamaan maupun dalam situasi sosial
diperlukan ketentuan – ketentuan. Ketentuan itu akan membatasi kebebasan tingkah laku.
Ketentuan – ketentuan yang diperlukan adalah ketentuan yang timbul dari dalam pergaulan
hidup atas dasar kesadaran, yang biasanya dinamakan hukum. Jadi, hukum adalah ketentuan
– ketentuan yang timbul dari pergaulan hidup manusia. Hal itu timbul berdasarkan rasa
kesadaran manusia itu sendiri, sebagai gejala – gejala sosial. Gejala – gejala sosial itu
merupakan hasil dari pengukuran baik tentang tingkah laku manusia dalam pergaulan
hidupnya.

20
Mempelajari kelompok sosial merupakan hal yang penting bagi hukum, oleh karena
hukum merupakan abstraksi dari interaksi sosial dinamis di dalam kelompok – kelompok sosial
tersebut. Interaksi sosial yang dinamis tersebut lama – kelamaan karena pengalaman, akan
menjadi nilai – nilai sosial yaitu konsepsi – konsepsi abstrak yang hidup di dalam alam pikiran
bagian terbesar warga masyarakt tentang apa yang dianggap baik dan tidak baik di dalam
pergaulan hidup. Nilai – nilai sosial tersebut biasanya telah berkembang sejak lama dan telah
mencapai suatu kemantaban dalam jiwa bagian terbesar warga masyarakat dan dianggap
sebagai pedoman atau pendorong bagi tata kelakuannya. Adapun fungsi–fungsi dan
efektivitas hukum dalam masyarakat sebagai kelompok sosial adalah:

1. Hukum sebagai Sosial Kontrol


Setiap kelompok masyarakat selalu ada permasalahan sebagai akibat perbedaan
antara yang ideal dan yang actual, antara yang standar dan yang praktis, antara yang
seharusnya atau yang diharapkan untuk dilakukan dan apa yang dalam kenyataan
dilakukan. Standar dan nilai – nilai kelompok dalam masyarakat mempunyai variasi
sebagai faktor yang menentukan tingkah laku individu. Penyimpangan nilai – nilai yang
ideal dalam masyarakat seperti pencurian, perzinaan, ketidakmampuan membayar
hutang, melukai orang lain, pembunuhan, mencemarkan nama baik orang yang baik –
baik, dan sebagainya. Semua contoh itu merupakan bentuk tingkah laku menyimpang
yang menimbulkan persoalan di dalam masyarakat yang sederhana maupun masyarakat
yang modern. Di dalam situasi yang demikian itu, kelompok itu berhadapan dengan
problema untuk menjamin ketertiban bila kelompok itu berhadapan dengan problema
untuk menjamin ketertiban bila kelompok itu menginginkan mempertahankan
eksistensinya.
Fungsi hukum dalam kelompok di atas, yakni menerapkan mekanisme control
sosial yang akan membersihkan masyarakat dari sampah masyarakat yang tidak
dikehendaki sehingga hukum mempunyai fungsi untuk mempertahankan eksistensi
kelompok itu. Anggota kelompok akan berhasil mengatasi tuntutan yang menuju ke arah
penyimpangan, guna menjamin agar kelompok tersebut tetap utuh, ayatu kemungkinan
lain hukum gagal dalam melaksanakan tugasnya sehingga kelompok itu hancur, atau cerai
– berai, atau punah. Oleh karena itu, hukum tampak mempunyai fungsi rangkap. Di satu
pihak dapat merupakan tindakan yang mungkin menjadi demikian melembaga, yaitu
menjadi mantap di antara anggota kelompok masyarakat sehingga hukum mudah dipakai
untuk mencapai tujuan kelompok, dan kelompok itu menganggap tindakan itu sebagai
suatu kewajiban. di lain pihak merupakan tindakan yang berwujud reaksi kelompok itu

21
terhadap tingkah laku yang menyimpang, dan yang diadakan untuk mengendalikan
tingkah laku yang menyimpang itu. Hukum dalam pengertian ini terdiri atas pola tingkah
laku yang dimanfaatkan oleh kelompok untuk mengembalikan tindakan yang jelas
mengganggu usaha – usaha untuk mencapai tujuan kelompok dan yang menyimpang dari
cara yang menyimpang dari cara yang sudah melembaga yang ditujukan untuk mencapai
tujuan kelompok. Hukum dalam fungsinya yang demikian itu, merupakan instrument
pengendalian sosial.
Kelompok masyarakat pada suatu tempat tertentu hancur atau bercerai – berai
atau punah bukanlah disebabkan oleh hukum gagal difungsikan untuk melaksanakan
tugasnya, melainkan tugas hukum harus dijalankan untuk menjadi sosial control atau
social engineering di dalam kehidupan sosial masyarakat. Sebab, tugas dan fungsi hukum
tidak merupakan tujuan itu sendiri, melainkan menjadi instrument yang tidak dapat
digantikan untuk mencapai keseimbangan dalam aktivitas yang dilakukan oleh manusia.

2. Hukum sebagai Alat Untuk Mengubah Masyarakat


Selain hukum sebagai sosial control, juga hukum sebagai alat untuk mengubah
masyarakat. Alat pengubah masyarakat yang dimaksudkan oleh Pound, dianalogikan
sebagai suatu proses mekanik. Hal ini terlihat dengan adanya perkembangan industry dan
transaksi bisnis yang memperkenalkan nilai dan norma baru. Peran “pengubah” tersebut
dipegang oleh hakim melalui “interpretasi” dalam mengadili kasus yang dihidipi secara
“seimbang” (balance). Interpretasi tersebut dapat dilakukan dengan memperhatikan
beberapa hal berikut ini :
a. Studi tentang aspek sosial yang actual dari lembaga hukum;
b. Tujuan dari pembuatan peraturan hukum yang efektif;
c. Studi tentang sosiologi dalam mempersiapkan hukum;
d. Studi tentang metodologi hukum;
e. Sejarah hukum; dan
f. Arti penting tentang alasan dan solusi dari kasus individual yang pada angkatan
terdahulu berisi tentang keadilan yang abstrak dari suatu hukum yang abstrak.
Keenam langkah yang perlu diperhatikan oleh hakim atau praktisi hukum dalam
melakukan “interpretasi” maka perlu ditegaskan bahwa memperhatikan temuan – temuan
tentang keadaan sosial masyarakat melalui bantuan ilmu sosiologi, maka akan terlihat
adanya nilai atau norma tentang “hak” individu yang harus dilindungi, yang semula hanya
merupakan unsur – unsur tersebut kemudian dipegang oleh masyarakat dalam

22
mempertahankan kepada apa yang disebut dengan hukum alam (natural law disebut di
dalam Al – Qur’an Sunatullah).
Pound mengemukakan bahwa agar hukum dapat dijadikan sebagai agen dalam
perubahan sosial atau agent of social change, maka pendapatnya dikuatkan oleh Williams
James yang menyatakan di tengah – tengah dunia yang sangat terbatas dengan
kebutuhan (kepentingan) manusia yang selalu berkembang, maka dunia tidak akan dapat
memuaskan kebutuhan (kepentingan) manusia tersebut”. Di sini terlihat bahwa James
mengisyaratkan “hak” individu yang selalu dituntut untuk dipenuhi demi terwujudnya
suatu kepuasan; tidak akan pernah terwujud sepenuhnya, dan akan selalu ada pergeseran
– pergeseran antara “hak” individu yang satu dengan “hak” individu yang lainnya. Untuk
itulah dituntut peran peraturan hukum (legal order) untuk “mengarahkan” manusia untuk
menyadari “keterbatasan dunia” tersebut, sehingga mereka berusaha untuk membatasi
diri dengan mempertimbangkan sendiri tuntutan terhadap pemuasan kepentingannya,
dan keamanan kepentingannya. Tuntutan yang sama juga akan diajukan oleh individu
lain, sehingga mereka dapat hidup berdampingan secara damai atau berada dalam
keadaan keseimbangan (balance).

3. Efektivitas Hukum
Apabila membicarakan efektivitas hukum dalam masyarakat Indonesia berarti
membicarakan daya kerja hukum dalam mengatur dan/atau memaksa warga masyarakat
untuk taat terhadap hukum. Efektivitas hukum berarti mengkaji kaidah hukum yang harus
memenuhi syarat, yaitu berlaku secara yuridis, sosiologis dan filosofis. Faktor – faktor yang
dapat mempengaruhi hukum yang berfungsi dalam masyarakat adalah sebagai berikut :
a. Kaidah Hukum
Di dalam teori hukum, dapat dibedakan antara tiga hal mengenai berlakunya hukum
sebagai kaidah, yakni sebagai berikut :
1) Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentunya didasarkan pada kaidah
yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan.
2) Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apanila kaidah tersebut efektif. Artinya,
kaidah itu dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima
oleh warga masyarakat (teori kekuasaan), atau kaidah itu berlaku karena adanya
pengakuan dari masyarakat.
3) Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita hukum sebagai nilai
positif yang tinggi.

23
Kalau dikaji secara mendalam agar hukum itu berfungsi maka setiap kaidah hukum
harus memenuhi ketiga unsur kaidah di atas, sebab (1) apabila kaidah hukum hanya
berlaku secara yuridis, ada kemungkinan kaidah itu merupakan kaidah mati; (2) kalau
hanya berlaku secara sosiologis dalam arti teori kekuasaan, kaidah itu menjadi aturan
pemaksa; (3) apabila hanya berlaku secara filosofis, kemungkinan kaidah itu hanya
merupakan hukum yang dicita – citakan (ius consitituendum).
Dari penjelasan di atas, tampak betapa rumitnya persoalan efektivitas hukum di
Indonesia. Sebab, suatu kaidah hukum atau peraturan tertulis benar – benar berfungsi,
senantiasa dapat dikembalikan pada empat faktor, yaitu (1) kaidah hukum atau peraturan
itu sendiri; (2) petugas yang menegakkan atau yang menerapkan hukum; (3) sarana atau
fasilitas yang diharapkan akan dapat mendukung pelaksanaan kaidah hukum; (4) warga
masyarakat yang akan terkena ruang lingkup peraturan tersebut.
b. Penegak Hukum
Penegak hukum atau orang yang bertugas menerapkan hukum mencakup ruang
lingkup yang sangat luas. Sebab, menyangkut petugas pada strata atas, menengah
dan bawah. Artinya di dalam melaksanakan tugas penerapan hukum, petugas
seyogianya harus memiliki suatu pedoman salah satunya peraturan tertulis tertentu
yang mencakup ruang lingkup adalah tugasnya. Di dalam penegakan hukum tersebut,
kemungkinan petugas penegakan hukum menghadapi hal – hal sebagai berikut :
1) Sampai sejauh mana petugas terikat dengan peraturan yang ada;
2) Sampai batas – batas mana petugas berkenan memberikan kebijakan;
3) Teladan macam apakah yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada
masyarakat;
4) Sampai sejauh manakah derajat sinkronisasi penugasan yang diberikan kepada
para petugas sehingga memberikan batas – batas yang tegas pada wewenangnya.
c. Sarana/Fasilitas
Fasilitas atau sarana amat penting untuk mengefektifkan suatu aturan tertentu. Ruang
lingkup sarana dimaksud, terutama sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor
pendukung (seperti kertas dan karbon yang cukup serta mesin tik yang cukup baik,
dan lain sebagainya). Kalau peralatan tersebut sudah ada, maka faktor
pemeliharaannya juga memegang peran yang sangat penting. Memang sering terjadi,
bahwa suatu peraturan sudah difungsikan padahal fasilitasnya belum tersedia lengkap.
Peraturan yang semula bertujuan untuk memperlancar proses, malahan
mengakibatkan terjadinya kemacetan. Mungkin ada baiknya bahwa pada waktu hendak
menerapkan suatu peraturan secara resmi ataupun memberikan tugas kepada petugas,

24
dipikirkan mengenai fasilitas yang berpatokan kepada : (1) apa yang sudah ada
dipelihara terus agar setiap saat berfungsi; (2) apa yang belum ada, perlu diadakan
dengan memperhitungkan jangka waktu pengadaannya; (3) apa yang kurang perlu
dilengkapi; (4) apa yang telah rusak diperbaiki atau diganti; (5) apa yang macet,
dilancarkan; (6) apa yang telah mundur, ditingkatkan.
d. Warga Masyarakat
Salah satu faktor yang mengefektifkan suatu peraturan adalah warga masyarakat.
Warga masyarakat dimaksud adalah kesadarannya untuk mematuhi suatu peraturan
perundang – undangan, dan derajat kepatuhan. Secara sederhana dapat dikatakan,
bahwa derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indicator
berfungsinya hukum yang bersangkutan.

4. Hukum dan Penyelesaian Konflik


a. Hukum dan Kekerasan
Salah satu sumber utama konflik dan kekerasan di berbagai daerah adalah kondisi
penegakan hukum di Indonesia yang sangat lemah. Ditambah lagi dengan berbagai
bentuk diskriminasi dan marginalisasi dalam pengaturan sosial – ekonomi, poltik, dan
pemanfataan sumber daya alam bahkan kehidupan budaya. Berbagai perasaan
ketidakadilan dan ketidakpuasan umum pun berkecamuk dan meledak menjadi
tragedy kemanusiaan yang sangat memilukan dan mengerikan.
b. Hukum dan Demokratisasi
Demokrasi menyangkut kesadaran, perilaku dan struktrur sosial yang relative mapan,
maka pembaruan terhadap hukum yang harus dilakukan oleh bangsa Indonesia akan
membutuhkan waktu yang relative lama. Ini karena masalahnya bukan saja
menyangkut produk hukum berupa perundang – undangan, kebijakan administrasi
atau putusan hakim, tetapi menyangkut pula kesadaran hukum dan struktur sosial
yang menopangnya. Hal ini berkaitan dengan proses demokratisasi yang menyangkut
transofrmasi sosial yang lebih luas.

25
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Perubahan sosial merupakan faktor yang terpenting dalam perkembangan hukum,
karenanya adanya timbal balik antara hukum dan masyarakat dalam konteks faktual,
sebagaimana kita melihat modus berlakunya hukum dalam masyarakat ( Ibi Ius Ubi
Societas).
2. Sebuah pranata sosial memberikan makna kepada kita bentuknya yang abstrak yang
tidak dapat dilihat, akan tetapi mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi tingkah
laku kita khususnya tindakan-tindakan yang harus dilakukan berdasarkan pada
aktivitas yang mengikatnya. Di dalam pranata sosial kita dapat menganalisa adanya
hukum sebagai suatu institusi, hukum sebagai s osial cotrol, struktur hukum, substansi
hukum, kultur hukum, hukum dan kekuasaan, hukum dan keadilan ini terletak pada
masing-masing pranata sosial yang berlaku di masyarakat.
3. Suatu kaidah atau norma merupakan ukuran atau pedoman untuk berperilaku,
bersikap atau bertindak dalam hidup. Kaidah yang berlaku dalam masyarakat berupa
kaidah agama, kaidah kesusilaan, kaidah kesopanan dan kaidah hukum. Maka dari itu,
hukum dan kaidah sosial sifatnya saling mengisi dan menguatkan, artinya kaidah sosial
mengatur kehidupan manusia dalam bermasyarakat yang mana hal-hal hukum tidak
mengaturnya. Pada intinya, setiap perilaku masyarakat dalam kehidupan sehari-hari
tidak bisa terlepas dari kaidah atau norma-norma seperti diatas. Hal ini bertujuan
untuk menjaga ketertiban dan ketentraman suatu masyarakat karena terdapat
berbagai golongan dan aliran yang beraneka ragam.
4. Hukum dan masyarakat memiliki hubungan timbal balik yakni dimana ada hukum disitu
ada masyarakat. Hukum ada untuk mengatur kehidupan bermasyarakat agar
masyarakat memiliki kesadaran hukum mengenai pedoman norma tentang perbuatan
yang boleh dilakukan dan perbuatan yang merupakan penyimpangan dalam kehidupan
masayarakat. Upaya penegakan hukum hanya satu elemen saja dari keseluruhan
persoalan kita sebagai Negara Hukum yang mencita-citakan upaya menegakkan dan
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hukum tidak mungkin akan tegak, jika hukum itu sendiri tidak atau belum
mencerminkan perasaan atau nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakatnya.
Artinya, persoalan yang kita hadapi bukan saja berkenaan dengan upaya penegakan
hukum tetapi juga pembaruan hukum atau pembuatan hukum baru. Salah satu tugas

26
dan wewenang pemerintah adalah menyelenggarakan openbare dienst atau service
publik, yakni pemerintah menyelenggarakan kepentingan umum. Tugas
penyelenggaraan kepentingan umum dijalankan oleh alat pemerintah
(bestuurorgaan= adminsitratief organ)yang bisa terwujud seorangg petugas
(fungsionaris) atau badan pemerintah (openbare lichaam). Untuk melaksanankan
pemerintahan yang baik atau good goverment yakni suatu negara harus mempunyai
asas umum pemerintahaan yang baik yaitu ; asas kejujuran (fair play), asas
kecermatan (zorgvuldigheid), asas kemurnian dan tujuan (zuiverheid van oogmerk),
asas keseimbangan (evenwicthtigheid), asas kepastian hukum (rechts zekerheid).

B. Saran
Melalui makalah ini penulis menyarankan agar pembaca dapat dengan mengerti secara
seksama mengenai hukum sebagai suatu pranata sosial meliputi hukum sebagai suatu
institusi, sebagai sistem sosial, struktur hukum, kultur hukum, hukum dan kekuasaan,
hukum dan keadilan,agar pembaca dapat mengerti dan dapat mengimplementasikan
makalah tersebut.

27
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku
Ali, Achmad. Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Jakarta:
Chandra Pratama, 1996.

Ali, Zainuddin. “Filsafat Hukum”, Jakarta : Sinar Grafika, 2006.

Arliman, Laurensius. “Peranan Metodologi Penelitian Hukum Di Dalam Perkembangan Ilmu


Hukum Di Indonesia.” , Soumatera Law Review 1, 2018.

Atmasasmita, Romli. “Teori Hukum Integratif”, Yogyakarta; Genta Publishing, 2012.

Eisenstadt, S. N. Revolusi Dan Transformasi Masyarakat, Jakarta: CV Rajawali, 1986.

Friedman, Lawrence M. “Hukum Amerika: Sebuah Pengantar, Terjemahan dari American


Law An Introduction, 2nd Edition, Alih Bahasa: Wisnu Basuki” , Jakarta: Tatanusa, 2001.

Friedman, Lawrence W. American Law: An Introduction, New York: W.W. Norton and Co,
1984.

Huda, Ni‟matul. “Hukum Tata Negara Kajian Teoritis Dan Yuridis Terhadap Konstitusi
Indonesia.” PSH FH UII, Yogyakarta, 1999.

Martono, Nanang. Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012.

Rahardjo, Sajipto. “Hukum dan Perubahan Sosial”, Bandung : Alumni, 1979.

Rahardjo, Satjipto. “Hukum dan Perubahan Sosial”, Bandung : Alumni, 1983.

Shalillah, Fithriatus. “Sosiologi Hukum”, Depok : PT RajaGrafindo Persada, 2017.

Soekanto, Soerjono. “Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum”, Jakarta: CV Rajawali,


1982.

28
Soekanto, Soerjono. “Sosiologi Suatu Pengantar”, Jakarta: Raja Geafindo, 2007.

Soepiadhy, Soetanto. Undang-Undang Dasar 1945: Kekosongan Politik Hukum Makro,


Kepel Press, 2004.

Triwulan, Titik. “Pengantar Ilmu Hukum.” Jakarta: Prestasi Pustakarya, 2006.

B. Peraturan Perundang-Undangan
Vide Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945

C. Website / Artikel / Makalah


http://mjrsusi.wordpress.com/2007/12/14/hukum-dan-perubahan-sosial

http://tugasmakalah96.blogspot.co.id/2017/04/sistem-hukum-menurut-law -rence-
m.html

http://www.informasiahli.com/2016/04/filsafat-hukum-aliransociological-
jurisprudence.html

29

Anda mungkin juga menyukai