Anda di halaman 1dari 14

1.

AGAMA

1.1. Pengertian agama:

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, agama adalah “ajaran, system yang
mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dengan
manusia serta lingkungannya. Contohnya agama Islam, agama Kristen, agama Budha”
(KBBI, 2005 edisi ketiga, hal 12). Jadi agama berhubungan dengan ajaran tentang iman
kepada Yang Ilahi, tata cara berhubungan dengan Yang Maha kuasa, tapi juga tata
cara yang berhubungan dengan manusia dan dengan alam atau lingkungan.

Sedangkan menurut Wilhem Schmidt, Henri Pinard de la Boullaye dan beberapa


peneliti lainnya, agama dipahami dari dua aspek yakni secara obyektif dan subyektif
seperti berikut ini. “Objectivement, la religion correspond a un ensemble de croyances
et de comportements qui se referent a une realite concue comme objective, supreme,
transcendante et envers laquelle l’homme individual et collectif se sent relie et
dependant. Subjectivement, la religion se dit de l’attitude des personnes a l’egard des
realites percues comme transcendantes”, (Secara obyektif, agama berhubungan
dengan satu kesatuan dari system kepercayaan dan sikap terhadap sebuah realitas
yang dipahami secara obyektif sebagai kekuatan paling tinggi, transenden dan
kepadanya manusia secara individu dan kolektif merasa bergantung. Secara subyektif,
agama merupakan sikap seseorang terhadap realitas transenden). ( Herve Carrier,
L’EXIQUE de la Culture, hal. 270).

Jadi agama berhubungan dengan kekuatan tertinggi dan transenden yang dialami oleh
manusia baik secara individu maupun sebagai kelompok dan kepada kekuatan yang
dasyat itu manusia menggantungkan hidup dan harapannya. Manusia mendasarkan
hidupnya dengan percaya dan yakin kepadaNya sebagai sumber kebenaran yang
absolute, kekuatan yang pasti yang kepadaNya manusia mendasarkan hidupnya
kepadaNya sebagai yang bisa diandalkan sebagaimana orang Israel percaya
kepadaNya sebagai Pembebas dan Pelindung yang membawa mereka keluar dari
perbudakan di Mesir dan lebih khusus lagi seperti Abraham bapa iman yang percaya
dan taat-setia kepadaNya tanpa ragu sedikitpun.

Ada begitu banyak definisi tentang agama karena ada beberapa sudut pandang yang
digunakan untuk memahami agama. Namun pada intinya agama selalu berhubungan
dengan relasi manusia dengan Yang Ilahi. Agama merupakan satu jawaban dan
penjelasan terhadap tiga ancaman dan tantangan bagi kehidupan manusia yakni: ”La
souffrance, L’ignorance et l’injustice” (Meslin M. 1988, p. 23), (Penderitaan,
ketidaktahuan dan ketidakadilan). Agama membantu memberi penjelasan tentang
eksistensi manusia: dari mana dia berasal dan ke mana dia akan pergi sesudah
kehidupan di dunia ini? Agama juga memberi penjelasan tentang alasan adanya bumi
dan segala isinya ketika manusia akhirnya berbicara tentang Allah sebagai Pencipta
segala sesuatu, atau Allah sebagai ”Causa Prima”, Penyebab utama yang tidak
disebabkan.

Agama selalu dihubungkan dengan ide tentang penyembahan (adorasi) kepada Yang
Ilahi yang ditentukan dan dipersonifikasikan. Kamus mendefinisikan agama sebagai
sebuah kebaktian yang dipersembahkan kepada Yang Ilahi sebagai rasa hormat
manusia kepada sebuah kekuatan tertinggi (superior) yang mengatur masa depan
manusia, sehingga manusia harus taat, memuji dan menyembah (Meslin M. 1988, P.
26)

Ciceron menjelaskan secara baik bahwa agama (religio) adalah kebaktian atau
pemujaan yang ditujukan kepada dewa-dewa menurut kebiasaan atau adat leluhur dan
agama yang paling baik adalah yang paling tertua karena dia sangat dekat dengan
dewa-dewa. Jadi agama (Religio) adalah sebuah sistem kepercayaan dan praktek-
praktek tradisional dari sebuah komunitas manusia yang menghormati dewa-dewa
mereka (Meslin M.1988, P.27)

E. Durkheim mendefinisikan agama dari aspek sosiologi sebagai ”sebuah sistem


solidaritas dari orang-orang yang percaya akan hal-hal kudus atau sakral” (Meslin M.
1988, P.27). Secara objektif, ”agama berhubungan dengan sebuah kebersamaan
orang-orang yang percaya dan sikap-sikap yang mengarah kepada sebuah realitas
yang disadari sebagai objektif, tertinggi, transenden dan kepadanya manusia secara
individu dan bersama-sama mengarahkan dan menggantungkan hidup padanya”.
Secara subyektif, ”agama adalah sikap orang terhadap realitas-realitas yang dianggap
sebagai transenden” (Carrier H. 1992. P.270)

Dalam kaitan dengan budaya dan masyarakat, ”agama selalu dihubungkan dengan
kehidupan sosial seperti: kelahiran, sosialisasi anak, masa pubertas, perkawinan,
keluarga dan kematian” (Carrier H. 1992, P.271). Salah seorang ahli sejarah agama
terkenal, Mircea Eliade berkata: ”Je ne crois pas a la possibilite d’un homme tout a fait
areligieux. Etre ou plutot devenir un homme signifie etre religieux” (Carrier H. 1992, P.
277), (Saya tidak percaya pada kemungkinan bahwa ada orang yang sama sekali tidak
beragama. Ada atau menjadi-manusia berarti ada sebagai orang yang beragama).
Menurut Eliade, semua budaya memiliki karakter sakramental dengan prinsip bahwa
setiap orang hidup secara baik dan manusiawi. ”....vivre en tant qu’etre humain est en
soi un acte religieux car l’alimentation, la vie sexuelle et le travail ont une valeur
sacramentelle” (Carrier H. 1992, P.277), (..hidup sebagai seorang manusia sebenarnya
merupakan sebuah tindakan religius karena pengadaan bahan makanan, kehidupan
seksualitas dan pekerjaan memiliki sebuah nilai sakramental).

Menurut Karen Armstrong, agama tidak boleh menjawabi pertanyaan sekitar jangkauan
akal budi saja atau nalar yakni cara berpikir pragmatis yang berbicara tetang kenyataan
eksternal tapi agama juga berhubungan dengan mitos yakni fokus pada makna yang
tertinggi perjuangan hidup manusia, membantu manusia berdamai dengan hal-hal
kabur dalam jiwa yang sulit dijangkau tapi mempengaruhi pikiran dan perilaku,
mengungkapkan kebenaran yang sangat mendalam tentang kemanusiaan. Tugas
agama mirip dengan seni yakni membantu manusia hidup secara kreatif, damai,
gembira berhadapan dengan situasi tapal batas seperti: kematian, penderitaan,
kesedihan, keputusasaan, ketidakadilan, dsb. (Karen Armstrong. Masa depan Tuhan,
2009 hal 14-15).

Agama bukan terutama menyangkut pikiran manusia tapi lebih pada tindakan ritual dan
perbuatan etis. Spiritualitas sejati harus diekspresikan secara konsisten dalam tindakan
KASIH, merasakan bersama orang lain, terlebih mereka yang menderita atau yang
susah. Agama menyangkut sesuatu yang transenden, Ilahi, level terdalam dan tertinggi
yang sulit diungkapkan dengan kata-kata manusia yang terbatas. Ketika agama
ditafsirkan hanya secara rasional maka akan menimbulkan aliran fundamentalis dan
atheis. Rasionalitas ilmiah bukanlah jalan satu-satunya menuju kebenaran. Tidak boleh
mengandalkan bukti ilmiah tentang Tuhan. Tuhan harus tetap berada dalam keadaan
misterius karena Tuhan tak terbatas. Karena Tuhan tak terbatas maka tidak seorang
pun memiliki kata akhir tentang konsep bagi yang Ilahi, yang ultima sebab Ia terletak di
luar jangkauan kata-kata dan konsep manusia.

1.2. Pengalaman religious:

Pengalaman religius merupakan kata kunci dari semua analisa manusia tentang
fenomena agama yang mengandung ambiguitas atau kebingungan sehingga perlu
dijelaskan sebelum digunakan. Maka ada pertanyaan awal: Apakah pengalaman
religius itu valid atau apakah pengalaman religius itu dibenarkan?

Menurut Kamus Bahasa Perancis: Le Petit Larousse, Experience (Pengalaman) berasal


dari bahasa latin: Experientia yang mengandung dua makna: pertama: pengetahuan
yang dicapai melalui sebuah praktek observasi. Kedua: semua yang diserap oleh
perasaan dan mengandung unsur pengetahuan manusiawi, dan semua fenomena
pengetahuan dan yang bisa dikenal (Le Petit larousse, 1993, hal 419).

Jadi pengalaman berhubungan dengan bukti dan pengetahuan yang dicapai melalui
pengalaman praktek bukan pengetahuan intelektual dan konseptual saja. Pengalaman
religius itu bisa dibenarkan karena terkait dengan refleksi atas pengalaman yang
dihidupi bukan diobservasi. Pengalaman pribadi merupakan pengetahuan langsung,
yang lebih cocok dan lebih benar karena berhubungan dengan psikologi dan perasaan
dari pada pengetahuan konseptual.

Menurut Locke, pengalaman merupakan kesan pertama yang dialami, diterima dan
diakui di luar referensi akal sehat atau akal budi.

Pertanyaan selanjutnya ialah: Apakah pengalaman religius itu memiliki nilai obyektif
atau hanya subyektif belaka? Menurut R. Otto dalam karyanya tentang, Das Heilige
(yang Kudus), dikatakan bahwa “yang kudus sangat berbeda dengan subyek yang
mengalami sebuah obyek biasa” (Meslin M.1988, p.104). Yang kudus tak pernah
dipahami secara murni, tak pernah menjadi obyek pengalaman manusia. “Yang kudus
tidak dikenal, tidak dipahami, tidak dialami pada tingkat yang sama dengan keberadaan
manusia; pengalaman itu ‘Erlebnis’ dalam arti bahwa yang kudus selalu hadir dalam diri
kita sebagai ‘sebuah kekudusan yang dihidupi’, disisipkan dalam sebuah eksistensi
individu, dibatinkan dan dimengerti oleh kesadaran pribadi individu” (Meslin M. 1988, p.
105).

Menurut Antoine Vergote, ada empat kategori pengalaman religius yakni: “pengalaman
penegasan (Confirming) yang berhubungan dengan kekudusan dan intuisi; pengalaman
mengenai jawaban Ilahi (Responsive) yang terkait dengan pengelaman keselamatan,
model misterius dan siksaan ilahi. Pengalaman ekstasi yakni pengalaman keintiman
yang luar biasa dengan yang Ilahi. Pengalaman revelasi atau pewahyuan yang terkait
dengan pengalaman iluminasi khusus” ( Antoine Vergote, Religion, Foi et Incroyance,
1987, hal 114-115).

Antoine Vergote juga berbicara tentang model-model pengelaman religius yakni:


“Pengetahuan intuitif yang terkait dengan relasi pribadi yang intens dan mendalam;
pemahaman yang membawa transformasi yang lebih terarah pada pengelaman yang
dihidupi (Erlebnis); pengetahuan yang merupakan hasil kontak pribadi; pengelaman
mistik; pengelaman yang terkait dengan visi (penglihatan) seseorang yang mengalami
revelasi pribadi yang merupakan pengetahuan langsung melalui persepsi: penglihatan
dan kontak sensitive” (Antoine Vergote, hal 116-119).

1.3. Pengalaman Mistik

Pengalaman mistik merupakan pengalaman terdalam manusia dalam berhubungan


dengan yang Ilahi. Pengalaman mistik menuntut kesadaran yang tajam dan mendalam
sehingga aku disadari sebagai sesuatu yang lain dan berbeda sehingga mau mencari
untuk bersatu. Jadi individualitas menjadi sebuah tantangan dalam persatuan dengan
yang absolute atau yang kudus. Pengalaman mistik merupakan penyangkalan ego
manusia dan kekosongan dalam diri sendiri supaya bersatu dengan yang lain.
Pengalaman mistik adalah keadaan kesatuan dengan suatu realitas lebih tinggi atau
dengan Tuhan yang mempesona, menggairahkan dan tak terlukiskan. Pengalaman
mistik ini diwarnai oleh ciri-ciri seperti: merasa gembira luar biasa, intens, unik dan tak
terlukiskan. Pengalaman itu pun berhubungan dengan pengaruh abadi dan total atas
kehidupan seseorang yang melengkapinya dengan kedamaian, ketenangan,
keselamatan, ketenteraman, cahaya, kebahagiaan, berkah yang tidak ada sebelumnya.
Namun pengalaman itu bersifat sementara dan pasif. Pengalaman ini berhubungan
dengan wujud hakekat moral seseorang, nilai-nilai dan intuisi-intuisi. Bahkan
pengalaman ini tidak bisa dilukiskan, tidak bisa dikomunikasikan dan tidak bisa
dikonsepkan dan tak dapat dibahasakan namun bisa diupayakan melalui sarana
metafora, analogi, paradoks dan perbandingan puitis (Wikidia)
Pengelaman mistik membawa persatuan yang intim dengan Allah dan persatuan itu
akhirnya membawa transformasi bahkan transfigurasi seperti ular yang mengganti
kulitnya sehingga lahir secara baru pula menjadi manusia yang tercerahkan, terangkat
martabatnya menjadi manusia roh, manusia ilahi karena memang manusia adalah
makluk rohani.
Pengelaman mistik berhubungan dengan pengelaman menemukan jalan kepada Allah
tanpa melihat, tanpa memahami dan hanya Allah yang mengarahkan manusia menuju
jiwa seperti seorang buta yang dituntun, kata St. Yohanes dari Salib.
Pengelaman mistik terkait dengan relasi intim dengan yang Ilahi dalam bentuk
psikologis yang disaksikan berupa bentuk persepsi dan perasaan yang dihidupi. Orang
merasakan keintiman yang melebihi kasat mata karena bersatu dalam cinta yang sulit
dijelaskan dengan kata-kata secara konseptual kecuali kalau dihidupi atau dinikmati.
Makanya orang yang mengalaminya merasakan kehilangan diri sendiri (ego) dalam
yang lain seperti tetesan air yang hilang dalam air laut, demikian kata St. Theresia dari
Avila.
Pengelaman mistik akhirnya berhubungan dengan pengelaman kepenuhan Ilahi yang
membawa transformasi dan rekonstruksi diri menuju pemurnian diri demi persatuan
yang mesrah dengan yang Ilahi, pertemuan antara yang manusiawi dan yang
transenden Ilahi melalui kesadaran mendalam tentang kekosongan manusia ciptaan
Tuhan. Kesadaran mendalam untuk bertemu dengan Yang Ilahi yang dicapai melalui
jalan menanjak dan sulit karena orang mendaki dalam kegelapan dan berjalan dalam
kekosongan sebab semua bahasa manusia seperti akal budi tak mampu
mengungkapkan transendensi Ilahi sehingga manusia hanya bertemu dalam
kekosongan diri sendiri.

1.4. Pengalaman Rasional

Pengalaman rasional berhubungan dengan pengaruh ilmu pengetahuan atau nalar


terhadap agama dan Tuhan. Para ilmuwan berusaha menjelaskan eksistensi Allah
dengan bertolak dari alasan rasional semata dan sedikit meninggalkan kebenaran
wahyu dan tradisi. Ungkapan terkenal dari Descartes: ‘cogito ergo sum’ (Aku berpikir
maka aku ada), menjadi dasar untuk “membuktikan keberadaan Tuhan dan realitas
dunia luar” (Karen Armstrong, Masa depan Tuhan, 2009, hal 328). Dengan demikian
Descartes mengklaim bahwa Tuhan adalah sebuah ide “yang jelas dan tegas dalam
pemikiran manusia dan dengan sangat senang hati meletakan kata ‘eksistensi’ kepada
Tuhan” ( Karen A. hal 329). Tuhan dipahami dan diyakini sebagai ‘Wujud tertinggi’ yang
menjadi pokok iman manusia.

Selanjutnya ide tentang Tuhan dan jiwa mulai dibuktikan secara ilmiah melalui
argumentasi filosofis bukannya teologis. Pengaruh ahli matematika dan fisika mulai
nampak dengan memberikan kepastian dan ketepatan kepada eksistensi Tuhan. Tuhan
ditarik kepada pengaruh nalar atau rasionalisasi.

Tetapi seorang ahli matematika dari Perancis yakni: Blaise Pascal (1623-1662)
menekankan bahwa “Tuhan tersembunyi di alam dan bahwa tidak ada gunanya untuk
menemukannya di sana….Kepastian tidak datang dari kontemplasi rasional tentang ide-
ide tapi dari hati, batin manusia….” (Karena A. hal 333-334). Maka orang mulai ragu
dan bingung, apakah orang mau mencari Tuhan dengan nalar/akal budi atau dengan
hati/batin? Apakah Tuhan itu berhubungan dengan eksistensi dan esensi yakni roh dan
jiwa atau ada dan tiada?

1.5. Pengalaman Ambiguitas

Pengalaman ambiguitas merupakan sebuah pengalaman yang ditandai oleh


kemenduaan ketika orang berpikir dan bertanya tentang Tuhan: Apakah Tuhan ada
atau memang tidak ada artinya kosong. Apakah kekosongan itu memiliki makna?
Apakah kekosongan itu bersifat mutlak?

Ketika kita menganalisa “kekosongan (Rien) kita mengalami ketakterbatasan (infinitude)


dan tak bersyarat (inconditionel). Bentuk bahasa negative ini bukanlah negative yang
membawa kita kepada kekosongan (le vide) tapi sesuatu yang mempunyai makna
positip” ( Bernhard Welte, La Lumiere du rien, 1988, hal 56).

Orang sering mengatakan bahwa Tuhan itu tak terbatas dan mutlak. Apakah ini
merupakan pikiran manusia atau memang berangkat dari jurang kekosongan? Manusia
cenderung untuk mengatakan bahwa Tuhan itu tidak ada dan memang kosong. Hal ini
diperkuat lagi oleh pernyataan Nietzsche bahwa “sesudah kematian Allah orang masuk
dalam kekosongan tanpa akhir” ( Bernhard W. hal 57).

Orang selanjutnya menarik kesimpulan bahwa ‘kosong’ itu berarti tak bermakna dan
juga berarti diam (silentium). Dan ‘diam’ itulah ambiguitas atau kemenduaan yang
paling tinggi. “Apakah ada sesuatu sebagai latar belakang yang tersembunyi dari kita
dalam kegelapan kuasa Allah? Ataukah memang kekosongan murni tak bermakna
sama sekali?” (Bernhard W. hal 57-58).

Dengan demikian menjadi jelas bagi kita bahwa ketika kita merasakan kemenduaan
atau ambiguitas tentang Tuhan yang ada atau tiada maka kita tidak harus menarik
kesimpulan bahwa Tuhan itu kosong tak bermakna sebab kekosongan memiliki dua
peluang, bisa ada dan bisa juga tiada. Karena itu tidak boleh ada kata akhir tentang
sesuatu yang mengandung kemenduaan.

2.5. Pengalaman Absurditas

Pengalaman absurditas merupakan pengalaman tidak masuk akal. Kalau yang tak
bermakna bisa menjadi sebuah pengalaman dan diam atau keheningan menjadi
sebuah kemenduaan atau ambiguitas maka keberadaan atau kehidupan kita (Dasein)
juga membuat pengalaman. “Semuanya harus mempunyai makna” ( Bernhard W. p.60)

Pertanyaan selanjutnya adalah: Apakah benar bahwa semuanya mempunyai makna?


Apakah ada banyak hal yang tidak bermakna? Apakah ada hal yang kurang bermkana?
Ada tuntutan dasar berikut ini: “Semuanya seharusnya bermakna”. Inilah dasar
keberadaan kita (Dasein). Dan hal ini hendaknya dicatat dengan baik di dalam hati yang
paling dalam. Namun pernyataan ini tidak menjamin bahwa semua harus bermakna.
Orang juga harus berpikir sebaliknya bahwa semuanya tidak harus bermakna. Maka
orang akhirnya masuk dalam sebuah absurditas (tidak masuk akal).

Albert Camus berbicara tentang kemungkinan adanya absurditas (tidak masuk akal).
Ada keyakinan bahwa semuanya absur (tidak masuk akal) dan tidak ada yang
bermakna. Hidup ini penuh dengan penderitaan dan kesakitan. Jadi hidup manusia ini
tidak bagus. Tapi hidup ini tidak pernah berhenti karena orang terus mencari yang lebih
mendalam, lebih intim dalam kehidupan. Hidup membutuhkan makna yang penuh arti,
termasuk bentuk hidup yang ditandai oleh kepedihan sebagaimana digambarkan oleh
Camus. (Bernhard W. p.61)
Ketegangan antara pernyataan tentang bermakna dan tak bermakna yang mendasari
hidup manusia tidak harus membawa orang kepada kemenduaan atau ambiguitas.
Relasi pribadi misalnya antara suami dan istri dalam hubungan cinta yang ditandai oleh
kesetiaan dalam keterlibatan untuk sebuah keadilan dan kebebasan atau dalam
tindakan serupa.Berdasarkan pengamalan kita bisa melihat bahwa kebaikan seseorang
selalu bermakna, sebaliknya kejahatan yang dilakukan seseorang tidak bermakna.

Lalu pertanyaan berikut ialah: Apa yang sebenarnya bermakna? Perlu digaris bawahi
bahwa setiap hal tertentu sesungguhnya mempunyai makna atau arti keabadian.
Misalnya perbuatan kasih, keadilan, kesetiaan, pertolongan, pengorbanan demi
keadilan tidak pernah terlupakan, semuanya bersifat abadi. Orang tidak pernah
melupakan kebaikan seorang yang sudah meninggal. Kebaikan orang mati selalu
dikenang dan tetap berada bersama dengan kita yang masih hidup.

Alasan di dalam hati yang paling dalam: “Hati merasakan yang bercahaya dalam dirinya
sesuatu yang berharga yang tak pernah hancur dan hilang. Itulah pengalaman
mendalam orang yang tahu bahwa nilai tatapan penuh cinta, tangan persaudaraan
yang datang membantu, atau yang mungkin menyelamatkan, itulah yang terus
berharga dan tak terlupakan, tak bisa dibalas meskipun orangnya sudah meninggal”
(Bernhard W. p. 64)

2.6. Pengalaman Tak bermakna

Apa itu pengalaman tak bermakna? Pengalaman tak bermakna adalah pengalaman
orang modern yang ditandai oleh hidup yang tidak mendalam, pengalaman kesenangan
sesaat yang terasa enak tapi tidak berarti dan membawa belenggu batin. Dengan kata
lain pengalaman tak bermakna adalah pengalaman duniawi dan bersifat sementara.

Pengalaman tak bermakna ini nampak dalam hidup manusia saat ini yang diseret oleh
arus konsumerisme dan hedonism. Manusia lebih cenderung untuk mencari dan
mengejar materi, uang, gaya hidup, jabatan, status social dan ingin terkenal. Orang
hidup menurut keinginanan dan hasratnya bukan menurut kebutuhan. Akibatnya logika
kebutuhan diganti oleh logika keinginan.

Manusia hidup dalam rasa takut (paranoia) dan kekawatiran serta kecemasan. Orang
merasa takut ketinggalan model, takut menjadi tua, takut kehilangan pekerjaan, takut
kehilangan pasangan hidup, takut kehilangan kualitas dan identitas. Tapi orang tidak
berjuang untuk mencari sesuatu yang lebih bermakna dan berarti untuk jangka panjang
yang terkait dengan keselamatan jiwa atau keabadian.

Dunia komoditas, ketelanjangan, tanpa rahasia, dunia yang diwarnai oleh kecabulan,
erotisme, pornografi dan eksploitasi oleh iklan, video, film, internet, whatsap, facebook,
dsbnya. Bahkan orang hidup dalam kebohongan atau hoaks, persaingan yang tidak
sehat dan saling menjatuhkan.

Dunia konsumerisme menetralisir makna yang lebih tinggi dan mendalam yang
berhubungan dengan KeTuhanan, spiritualitas dan transenden hanya untuk mencari
kesenangan duniawi, membentuk jaringan seksual tanpa batas moral dan etika,
melanggar norma adat dan agama, memamerkan tubuh dan kecantikan perempuan
ciptaan Tuhan hanya untuk mencari keuntungan dan kepuasan sesaat.

Akibatnya orang tidak membuat refleksi dan kontemplasi, tidak masuk ke dalam hati
dan pikiran yang terdalam untuk mencari sumber kebenaran dan hikmat. Orang tidak
mencari ruang-ruang kesucian dan spiritualitas serta tujuan akhir perjalanan hidup di
dunia ini. Orang tidak membangun kesatuan dan jaringan metafisik yang membangun
lingkungan spiritual manusia dengan segala dimensi transendentalnya.

2.7. Pengalaman Iman: Inti Pengalaman Religious

Inti dari pengalaman religius adalah iman. Karena ada iman maka ada agama. Obyek
dan penyebab dari agama adalah Allah (Uis Neno). Pengalaman religius merupakan
jawaban atas misteri Ilahi yang terungkap dalam iman. Iman memungkinkan manusia
untuk mengalami Yang Ilahi. Tapi apa itu iman?

Menurut Kitab Suci, iman merupakan suatu hubungan pribadi dengan Allah yang pada
kekuatan dan kepastianNya yang mutlak orang dapat menyandarkan hidupnya. Di
dalam Perjanjian Lama iman selalu dikaitkan dengan tindakan Allah yang
membebasakan umat Israel dari perbudakan di Mesir melalui bantuan para Nabi yakni
para utusan Allah yang membimbing mereka keluar dari tanah perbudakan. Hal ini
nampak jelas dalam ungkapan iman mereka dalam mazmur-mazmur.

Sedangkan menurut Kitab Suci Perjanjian Baru, iman merujuk pada hubungan manusia
dengan Kristus yang bangkit yang menuntut para pengikutNya untuk menyerahkan diri
secara total kepadaNya tanpa ragu sama seperti orang Israel menyerahkan diri kepada
Allah.

Iman adalah “dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala
sesuatu yang tidak kita lihat” (Ibr. 11:1). Orang berharap kepada Tuhan karena tidak
pernah mengecewakan manusia dan percaya kepada Tuhan meskipun tidak melihat
sebab Tuhan pernah bersabda, “berbahagialah mereka yang tidak melihat namun
percaya” hal dikatakan Yesus yang bangkit ketika menampakkan diri kepada para
rasulNya tanpa Thomas yang ragus itu.

Iman merupakan kepercayaan bukan kepastian, apalagi kepastian matematis. Bahkan


iman bukan jalan keluar terhadap masalah kita tetapi jalan masuk untuk terus
merenungkan dan memperdalam serta mencari kehendak Allah dalam hidup kita. Apa
yang Tuhan kehendaki dengan hidup saya ketika saya menghadapi sebuah peristiwa
tertentu?

Iman bahkan menjadi sebuah petualangan yang penuh dengan resiko seperti yang kita
alami dalam sebuah perkawinan ataupun di dalam sebuah persahabatan. Orang tidak
pernah tahu dengan pasti apa yang akan terjadi di dalam sebuah persahabatan atau
perkawinan: apakah kebahagiaan atau kekecewaan? Tentunya kita mengharapkan
kebahagiaan tapi kadang yang terjadi bisa sebaliknya. Ada perkawinan yang berakhir
dengan kekecewaan atau ada persahabatan yang berakhir dengan kekecewaan. Ini
semua membutuhkan keyakinan dan iman bukan?

Pengalaman iman bahkan bisa dilihat sebagai sebuah paradoks yakni menghibur
mereka yang menderita tapi juga bisa membuat menderita mereka yang sudah aman
dan nyaman. Hal ini nampak dalam pengalaman iman Abraham ketika berdoa meminta
keturunan, lalu Tuhan memberikan seorang anak yakni Isak, tapi Tuhan meminta untuk
dipersembahkan dan memang Abraham taat kepada Tuhan dengan mengikuti
permintaan Tuhan. Atau pengalaman iman Bunda Maria yang merasa senang karena
mengandung dan melahirkan seorang anak yang ganteng dan disukai banyak orang
karena bisa membuat mujizat di mana-mana. AjaranNya sangat menarik dan banyak
diminati orang. Tapi Yesus yang hebat ini kemudian ditangkap dan disiksa, menderita
dan digantung di atas salib sampai mati. Namun kemudian bangkit lagi. Maria
menyimpan semuanya dalam hati dan imannya.

Iman merupakan sebuah pengalaman “jatuh dan bangun”, bukan sekali jadi. “Iman tidak
memastikan ke mana anda melangkah tetapi memastikan bahwa anda akan melangkah
ke mana pun. Ibarat perjalanan tanpa peta, perlu kepasrahan total penuh
pengharapan”.

Iman adalah sebuah cara untuk “melihat dengan hati dan pikiran”. Iman membawa hati
dan pikiran pada suatu hubungan yang harmonis dan seimbang. “Iman merupakan
satu-satunya kunci alam semesta” ( Thomas Merton). “Iman memberikan makna akhir
eksistensi manusia dan jawaban atas pertanyaan terkait dengan seluruh kebahagiaan
manusia”.

Namun iman tanpa perbuatan adalah mati (Yak. 2:26). Iman hendaknya nampak dalam
perbuatan nyata. Iman itu bagaikan sebuah pohon yang harus mengahasilkan buah-
buah. Buah-buah iman adalah kebaikan, suka cita, kebenaran, kejujuran, cinta kasih,
keadilan, damai, tanggungjawab, pelayanan, pengorbanan, dan semua perbuatan etis
lainnya.
2.8. Motivasi hidup beragama:

Mengapa orang mau beragama atau percaya kepada Yang Ilahi? Karena hidup ini
sangat terbuka, baik terbuka kepada yang baik maupun kepada yang buruk. Hidup ini
tidak menentu, apakah orang akan hidup baik dan selamat atau sebaliknya orang
mengalami berbagai persoalan dan tantangan hidup. Karenanya orang harus memiliki
sebuah dasar hidup dan pegangan hidup supaya ketika hidup ini diterpa kesulitan maka
orang bisa mencari perlindungan atau sandaran. Orang yang percaya Tuhan
mengandalkan Tuhan sebagai dasar hidup mereka dengan mengandalkan agama atau
iman sebagai kekuatan mereka dalam menghadapi hidup ini yang penuh dengan
ketidakpastian.

Jadi orang percaya dan beragama karena memiliki motivasi pribadi supaya ada sebuah
kekuatan yang melebihi dirinya yang bisa diandalkan kalau ada masalah dalam ziarah
hidupnya. Sebab kalau orang tidak mengandalkan Tuhan maka pada saat krisis dia
akan berlari ke dukun atau peramal untuk menemukan sebuah jalan keluar atas
masalah hidupnya.

Orang percaya kepada Tuhan dan mau beragama karena agama itu membantu orang
untuk hidup mengikuti aturan atau hukum supaya hidup bersama menjadi lebih tertip
dan damai. Sebab agama bukan hanya mengurus hubungan manusia dengan Allah tapi
juga relasi manusia dengan sesamanya.

Orang beragama sebab dia sadar bahwa hidup di dunia ini hanya bersifat sementara,
sesudah hidup pasti orang harus mati, dan agama menjamin kepada hidup sesudah
kematian yakni kehidupan abadi. Agama berbicara tentang surge abadi bagi mereka
yang telah meninggal dunia.

Orang sadar bahwa hidup harus diisi dengan kebaikan, kebenaran, keadilan dan penuh
cinta kasih terhadap sesama sehingga aman dan damai di dunia ini dan mengabdi
hanya pada Tuhan supaya menikmati keselamatan kekal di surga. Kesadaran tentang
pentingnya spiritualitas, peranan dari unsur-unsur transenden dalam hidup manusia.
Pentingnya keseimbangan antara lahir dan bathin, fisik dan psikis, badan dan jiwa,
sacral dan profane, surga dan dunia.

Agama adalah rahmat sebab melalui agama manusia bisa menikmati kedamaian di
dunia ini dengan sesamanya dan akan menikmati keselamatan kekal di surge setelah
kehidupan di dunia ini berakhir. Agama apa saja selalu mengajarkan kebaikan,
kebenaran, cinta kasih dan damai. Tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan atau
perang, tapi kalau ada berarti agama itu salah.

2.9. Agama dan Hasrat manusia:


Manusia memiliki hasrat (desire) bahkan kerinduan yang abadi dan tak terpuaskan
(Eternal desire). Manusia selalu mengejar kesenangan dan kepuasan (Pleasure). Dan
kepuasan (pleasure) merupakan satu-satunya tujuan hasrat manusia. Di dalam hasrat
ada kekosongan (lack/kekurangan). Manusia memiliki kerinduan akan pemenuhan diri
sendiri (Self fulfilling desire), dan ini hanya dipenuhi oleh orang lain (the other). Karena
itu manusia selalu mau hidup bersama orang lain. Tapi ada orabg yang tidak mau hidup
bersama orang lain, maka dia masuk dalam egoism yang ekstrim. Karenanya ada
orang Narsis yakni orang yang jatuh cinta pada dirinya sendiri. Narsisisme merupakan
pemenuhan kerinduan melalui tubuh sendiri. Tubuh sendiri menjadi obyek
kesenangannya.

Hasrat selalu bergerak, setiap kali ada kepuasan, maka akan ada dorongan baru akan
kepuasan yang baru. Hasrat yang satu memproduksi hasrat baru dan manusia mencari
tanpa henti semua obyek pemenuhan hasrat. Itulah sebabnya manusia selalu tidak
puas dengan apa yang dia miliki. Pasar memanfaatkan ketidakpuasan manusia untuk
memproduksi barang dan jasa untuk menarik minat manusia sehingga dia tergantung
dan selalu mau mengejar kerinduannya itu.

Agama berfungsi untuk mengekang dan membatasi hasrat, atau paling kurang memberi
batas-batas bagi hasrat. Ada hasrat yang boleh dan harus dipenuhi tapi ada pula hasrat
yang sebaiknya dibatasi atau dilarang guna kebaikan dan keseimbangan hidup
bersama orang lain, dan terlebih kebaikan hidup kekal.

Tuhan tidak memiliki hasrat karena Tuhan memiliki segalanya. Segala sesuatu adalah
milik Tuhan. Tuhan hanya mempunyai Kehendak (will), dan kehendak lebih tinggi dari
hasrat. Kalau manusia mengikuti kehendak Tuhan maka dia akan memiliki ketenangan
dan kedamaian tapi sebaliknya kalau dia hanya mengikuti hasratnya dan terus
mengejar mimpinya maka dia akan jatuh dalam kesalahan dan dosa.

Hasrat mengendalikan dunia melalui sains dan teknologi. Teknologi menghasilkan


produksi-produksi yang memenuhi hasrat sesaat manusia. Sesuatu yang luhur, mulia,
humanis, metafisik dan transenden hanya ditemukan dalam agama atau dalam Tuhan.
Karena itu manusia diarahkan untuk hidup menurut kehendak Tuhan seperti yang
diajarkan dalam agama.

Agama melatih orang untuk menahan diri dan kerinduannya yang tak terpuaskan itu
dengan doa, korban, puasa dan bersedekah. Melalui puasa orang melatih diri untuk
menahan diri terhadap godaan. Melalui sedekah orang berlajar berbagi dan bersolider
dengan sesamanya yang lebih berkekurangan.

2.10. Pluralitas agama:


Ada beberapa agama besar di dunia ini seperti: Islam, Katolik, Protestan, Hindu-budha,
Kongfuchu, agama tradisional/asli. Tapi ada juga beberapa paham yang tidak sejalan
dengan agama seperti: Atheisme yakni paham yang menyangkal adanya Tuhan.
Agnostisisme adalah paham yang meragukan adanya Tuhan. Mereka tidak tertarik
tentang adanya Tuhan, entah ada atau tidak mereka tidak terlalu memikirkannya.
Pantheisme adalah aliran yang percaya bahwa ada banyak Tuhan atau beberapa
Tuhan. Sekularisme merupakan aliran yang tidak peduli tentang adanya Tuhan dan
karena itu orang lebih focus kepada hal-hal duniawi semata.

2.11. Dialog dan Kerukunan Hidup umat beragama:

Kita perlu bergaul dengan sesama yang berbeda agama karena setiap agama
mempunyai maksud yang mulia yakni untuk kebaikan manusia di dunia ini dan di
akhirat kelak. Agama apa saja tentunya mengajarkan kebaikan, kebenaran, damai,
keadilan dan cinta kasih.

Karena itu kita perlu berdialog dengan sesama yang berbeda agama untuk saling
memperkaya, saling membantu dalam mengarungi dunia ini, terlebih bekerja sama
untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, kejahatan, narkoba,

terorisme, dll. Semua agama mempunyai tujuan yang sama yakni Tuhan, kita hanya
berbeda dalam cara pandang dan jalan masing-masing menuju tujuan yang satu dan
sama yakni Allah dan KeabadianNya.

Kerukunan hidup beragama harus ditegakkan, belajar hidup bersama orang lain secara
damai, saling menghormati dan saling menghargai sebagai saudara sebangsa yang
berbeda keyakinan tetapi satu bangsa dan satu tanah air bersama.

2.12. Radikalisme dan fanatisme agama.

Radikalisme merupakan aliran yang terlalu radikal (Radix bahasa Latin berarti:akar)
yakni terlalu kuat mengakui agamanya sebagai yang paling benar dan tidak ada aliran
lain lagi yang benar sehingga menganggap aliran atau agama lain sebagai yang salah
dan bahkan harus dilawan dengan kekerasan.

Radikal dalam arti positif yakni bahwa orang sungguh berakar dalam agamanya
tentunya hal ini tidak salah, tetapi kalau bergitu berakar dengan menganggap agama
lain tidak memiliki kebenaran dan harus dilawan dengan kekerasan inilah yang salah
dan tentunya harus dihilangkan pandangan seperti ini.
Fanatisme agama adalah aliran yang terlalu keras di dalam pemikiran dan tindakkannya
sehingga menganggap pendapat dan keyakinannya sebagai yang paling benar
sehingga tidak mengakui pendapat dan keyakinan orang lain.

Radikalisme dan fanatisme inilah yang akhirnya menciptakan kekerasan atas nama
agama atau bahkan terorisme atas nama Tuhan untuk membunuh orang lain atas nama
Tuhan. Keyakinan seperti inilah yang harus dihilangkan dari para pemeluk agama.
Orang boleh radikal dalam arti positif tapi tidak boleh fanatic sampai harus membunuh
orang lain atas nama agama.

Anda mungkin juga menyukai