NIM : 19.275
BAB I
1. Pendahuluan
Pengertian Disabilitas berasal dari bahasa Inggris Disabillity, dalam kamus bahasa
Indonesia dikenal dengan istilah “cacat” yang memiliki beberapa arti, yaitu: (1) kekurangan
yang menyebabkan mutunya kurang baik atau kurang sempurna (yang terdapat pada
benda, badan, batin, atau akhlak); (2) lecet (kerusakan, noda) yang menyebabkan
keadaannya menjadi kurang baik (kurang sempurna); (3) cela atau aib; (4) tidak/kurang
sempurna. Dari beberapa pengertian ini tampak jelas bahwa istilah "cacat" memiliki
konotasi yang negatif, peyoratif, dan tidak bersahabat terhadap mereka yang memiliki
kelainan. Persepsi yang muncul dari istilah "penyandang cacat adalah kelompok sosial ini
merupakan kelompok yang serba kekurangan, tidak mampu, perlu dikasihani, dan kurang
bermartabat. Persepsi seperti ini jelas bertentangan dengan tujuan konvensi internasional
yang mempromosikan penghormatan atas martabat "penyandang cacat dan melindungi dan
Tetapi dapat dilihat bahwa dalam hal ini penulis membahas mengenai mereka yang
Adik laki-laki yang mengalami disabilitas intelektual tersebut, dimana dapat dilihat bahwa
Disabilitas Intelektual merupakan suatu disfungsi atau keterbatasan baik secara Intelektual
ataupun adaptif yang dapat diukut atau dapat dilihat yang menimbulkan berkurangnya
kapasitas untuk beraksi dalam cara tertentu. Dimana dalam hal ini dapat diketahui bahwa
Disabilitas Intelektual merupakan suatu kondisi yang terjadi pada masa pertumbuhan
1
Alies Poetri Lintangsari Praktik Pendidikan Bagi Penyandang Disabilitas (Surabaya :Media Nusa Creative, 2022)
105
dimana seseorang akan mempunyai hambatan dalam fungsi Intelektual dan fungsi adaptif
yang akan membuat mereka mengalami kesulitan dalam segala aktifitas seharinya2.
Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa Keadaan warga jemaat dalam suatu gereja
tidaklah sama, baik dari segi pendidikan, ekonomi, status sosial, suku, budaya, dan
sebagainya. Kebutuhan warga jemaat pun berbeda-beda, baik dari tingkat usia (kategorial
anak, remaja, pemuda, lanjut usia), jenis kelamin (perempuan dan laki-laki), dan kondisi
lain nya. Tidak menutup kemungkinan di dalam tubuh gereja hadir juga komunitas rentan,
gereja yang hadir di tanah air sebab kehadirannya dapat saja sejak lahir maupun karena
faktor lain yang dialami dalam perjalanan kehidupannya di dunia. Para penyandang
disabilitas tidak hanya berada di dalam gereja (internal) melainkan juga di luar gereja
(eksternal) sehingga kehadirannya seharusnya menjadi bagian dalam hidup bersama sebuah
tatanan masyarakat3.
BAB II
Pembahasan
oleh Karl Barth, dimana menurut pandangan Blumdhardt yang berulang-ulang diajarkan
olehnya bahwa, Pelayanan Pastoral adalah suatu perjuangan. Mengapa? Karena dosa adalah
suatu kuasa, yang harus dimusnakan. Pelayanan pastoral membawa pembebasan dan
harapan. Pengeruh terbesar dialami oleh Thurneysen dari Karl Barth. Menurut Thurneysen
pengertian tentang manusia. Oleh sebab itu Aggapan Thurneysen mengenai hubungan
2
Endang Sri Wahyuni Upaya Mengatasi Keterbatasan Praktik Personal Hygiena Pada Disabilitas Intelektual
https://www.google.co.id/books/edition/VIDEO_BASED_INSTRUCTIONS/FCVXEAAAQBAJ?
hl=id&gbpv=1&dq=pengertian+Disabilitas+Intelektual&pg=PA7&printsec=frontcover Diakses Pada 30-08-2022
Pukul 20.30 WIB
3
Rosalina S. Lawalata Disabilitas Sebagai Ruang Berteologi (Yogyakarta : Kanisius, 2021) 1
anatar “Injil dan Hukum” sesuai dengan pandangan Barth ia mengajar bahwa hukum
adalah bentuk dari Injil dan Injil adalah isi dari hukum. Dimana menurutnya bahwa
pengertian akan diri sendiri, manusia tidak dapat datang kepada Injil dan kepada
penyembuhan. kebenaran dan keselamatan tidak ia temukan dalam dirinya sendiri, karena
kebenaran dan keselamatan datang kepadanya dari luar, dan hanya dengan jalan itu
manusia ditolong. Maka dari itu pelayanan Pastoral sebagai pemberitaan Firman menurut
Thurneysen adalah satu-satunya bentuk pelayanan pastoral yang benar-benar melayani Injil
sebagai suatu berita kehadiran dan aktifitas Allah yang menyelamatkan dalam Yesus
Kristus. Isi pelayanan ini ialah pengampunan dosa seperti yang kita dengar4.
Selama ini pendekatan Teologis yang kerap dipakai untuk melihat persoalan orang-
orang dengan Disabilitas adalah Kejadian 1: 26-28 “Berfirmanlah Allah: baiklah kita menjadikan
manusia menurut gambar dan rupa kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-
burung di udara dan atas ternak dan atas seluru bumi dan atas segala binatang melata yang merayap
di bumi. Maka Alla menciptakan Manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah
diciptakan-Nya dia laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Dimana dapat dilihat
bahwa ayat ini secara umum ingin menekankan pada kesempurnaan manusia sebagai
ciptaan Allah yang juga sempurna. Pendekatan ini dimaksudkan untuk memperlihatkan
bahwa dengan segala situasinya setiap manusia tetaplah merupakan gambar dan rupa Allah
yang sempurna (Imago Dei). Namun, persoalannya adalah jika melihat kepada orang
kebanyakan yang secara fisik maupun mental utuh dan sempurna, orang dengan disabilitas
mungkin akan tetap merasa berbeda, dan sulit rasanya untuk melihat bahwa dirinya
merupakan gambaran Allah yang sempurna, sehingga pendekatan ini sulit untuk diterima
membiarkan saya berada dalam keadaan yang tidak sempurna dan menderita seperti ini?”.
Oleh sebab itu dapat dilihat bahwa pertanyaan pokok dalam menemukan Identitas kembali
adalah, “Bagaimana mengerti atau menerima ajaran Imago Dei, atau manusia diciptakan sesuai
gambar dan rupa Allah, dalam pemahaman bahwa Allah itu sempurna telah membiarkan
saya menjadi tidak sempurna secara fisik?” Allah sempurna namun menciptakan atau
membiarkan saya sebagai mahluk yang tidak sempurna. Terkait hal ini dapat dilihat bahwa
ada pemikiran lain yang tampaknya mencoba untuk bersikap lebi ramah terhadap orang-
orang dengan disabilitas, yakni dengan menonjolkan sisi lain dari Imago Dei, yaitu soal citra
Allah yang dapat saja hadir dalam bentuk dan rupa manusia, dan apa pun keadaanya
semua manusia tetap berharga sebab setiap manusia adalah citra Allah.
Disinilah Gambar Yesus kemudian menjadi sangat penting bagaimana Yesus sebagai
gambaran dari Allah, atau anak Allah sendiri, telah mengambil rupa seorang manusia atau
dengan beragam kekurangan, baik fisik ,maupun mental. Inilah yang menjadi titik
berangkat bagi penemuan bentuk Kristologi bagi orang-orang dengan Disabilitas 5. Oleh
sebab itu perlu dipergumulkan untuk menemukan relevansi Yesus bagi manusia, yaitu
memampukan Yesus melewati ruang dan waktu melalui kesaksian Alkitab dan Iman setiap
individu. Sehingga dapat ditemukan Kristologi yang ditawarkan kepada kamu Difabel yang
mampu memungkinkan dan juga merasakan solidaritas atas penderitaan para penyandang
cacat atau difabel tersebut, dan dapat dilihat juga bahwa Iman para difabel tersebut kepada
Kristus tersebutlah yang menentukan apakah iman memiliki hati yang beriman.
kalangan World Council of Churches (WCC) sejak dekade 1990-an. Hal ini terbukti dengan
adanya desk untuk memo pulerkan istilah difabled (singkatan dari differently-abled). Istilah
ini sangat penting untuk menekankan bahwa orang orang cacat itu abled, bukan disabled,
sekalipun dengan cara yang berbeda dari orang kebanyakan. Saat ini sebutan yang dipakai
5
Ronald Arulangi, Dari Disabilitas ke Penebusan (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2016),30-32
adalah orang dengan disabilitas (People with Disabilities PWD). Kendaitpun kata disabiltas
yang dirumuskan oleh Ecumenical Disabilitas Advocates Network tetap berdampak Negatif
bagi kondisi psikis dan bagi hubungan sosial bagi pribadi yang mengalaminya. Ditambah
instutusi Teologi kita belum mengembangkan teologi yang berpihak pada pribadi dengan
disabilitas dan justru menjadi dasar penindasan bagi Pribadi dengan Retardasi mental 6.
Amos Yong adalah Teolog yang menjelaskan Jejak-jejak Alkitabiah dan historis Eklesiologis
mengenai perkembangan Disabilitas. Yakni Disabilitas pada zaman Israel Kuno, Disabilitas
pada zaman Gereja Mula-mula, Disabilitas pada kekristenan dan abad-abad pertengahan,
dan Disabilitas pada zaman Reformasi dan awal modernitas. Perkembangan Teologi
Disabilitas dari masa ke masa kini memperlihatkan bahwa sejak awal ada beragam sikap
terhadap kaum Disabilitas. Ada yang menolak dan memandangnya rendah, ada juga
menerima mereka sebagai bagian dari Ciptaan Allah yang harus disambut.
tuduhan yang kuat akan ketidakmampuan untuk melaksanakan fungsi sosial dewasa yang
ableist, orang “normal” telah mengkonstruksi dunia secara fisik dan kognitif untuk memberi
“mencacatkan” mereka yang mempunyai kemampuan yang tidak disukai. Dengan melihat
konsep ini, tubuh yang disabled bukan lagi sebuah objek yang berbeda melainkan sebuah
perangkat relasi-relasi sosial7. Satu tubuh yang disabled tidak dilihat sebagai sebuah entitas
tunggal melainkan dilihat di dalam keterkaitannya dengan tubuh-tubuh yang lain dan juga
Dimana dalam hal ini dapat diketahui bahhwa perlu adanya Pendampingan pastoral
berasal dari kata kerja "mendampingi"- Mendampingi merupakan matu kegiatan menolong
orang lain. Istilah kedua, kata "pastor" dalam bahasa Latin atau dalam bahasa Yunani
disebut "poimen" yang artinya gembala8. Dimana Pertemuan antara pendamping dan yang
didampingi secara sukarela bukan dengan keterpaksaan, sehingga dapat menolong orang
6
John C. Simon, Dari Pengenalan Diri Menuju Majelis Sinode 80 (yogyakarta : Kanisius : 2021) ,41-42
7
Lennard J Davis Enforcing Normalcy: Disability, Deafness, and the Body (London : Verso, 1995) 9-11
8
Aart Van Beek, Pendampingan Pastoral (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2001), 9
yang didampingi, agar dapat menghayati dan menghadapi setiap proses pergumulan
dengan cara memaparkan dan menjelaskan data-data yang diperoleli, baik melalui studi
literatur maupun penelitian di lapangan Kemudian, penulis akan membuat analisa dari data
yang telah dideskripsikan tersebut, sehingga diperoleh pemahaman dan pengetahuan yang
memadai mengenai pendam gan pastoral bagi penderita Disabilitas Intelektual. Dimana
dalam hal ini penulis melakukan penelitian lapangan melalui observasi dengan wawancara
untuk mendapatkan data kualitatif terhadap 3 Responden, yaitu Ibu sebagai kepala rumah
tangga, adik perempuan, adik laki-laki. Untuk Ibu dan kedua adik penulis, masing-masing
digali informasi dari 3 responden tersebut, sedangkan untuk adik saya yang Disabilitas
Intelektual. Dimana dalam ini penulis menggali informasi melalui 4 responden dimana
memiliki pergumulan yang berbeda mengenai pendapat yang diberikan terhadap adik
penulis yang sebagai seorang Disabilitas Intelektual9, akan tetapi melalui hasil wawancara
yang telah dilakukan yaitu adanya harapan supaya adik penulis yang seabagai seorang
dapat bermanfaat dan membuatnya menjadi lebih baik dalam segala hal.
Dapat dilihat bahwa dalam hal ini penulis ingin memberitahukan bahwa dalam hal
ini penulis membahas suatu permasalahan yang terjadi pada adek kandung penulis yang
dimana pada saat lahirnya tidak ada kekurangan apapun (Lahir Normal), tetapi pada suatu
saat adanya suatu kejadian yaitu adek penulis tersebut mengalami step dan proses
pengobatan juga lama sehingga pada saat masa dia ingin sudah bisa berbicara sebelum step
sebetulnya sudah mulai berbicara tetapi dikarenakan itu adanya gangguan yang terjadi
kepadanya hingga pada saat itu dia mengalami kesulitan dalam segala hal, dan adek
pertemuan minggu lalu mengenai pendampingan pastoral terhadap objek secara lebih
(menopang), Guiding (membimbing), dan Reconcilling (mendamaikan). Dimana dalam hal ini
dapat dilihat hal yang bisa menjadi suatu solusi kepada setiap keluarga dimana langkah
pertama ialah Reconcilling (mendamaikan) dalam hal ini dapat dikatakan bahwa fase
terberat dimana keluarga harus bisa mendamaikan diri mereka dengan segela sesuatu yang
terjadi dan tidak menyalahkan siapapun terlebih Tuhan, melainkan harus bisa
mendamaikan diri mereka. Lalu dalam hal tersebut menurut penulis Healing
(menyembuhkan) perlu adanya menyembuhkan dimana dalam hal tersebut keluarga bisa
berkonsultasi dengan para ahli ataupun dengan keluarga lain tentang apa yang dialami
olehnya supaya menemukan cara yang terbaik dalam memberikan pemikiran atau solusi
yang terbaik juga, lalu dapat dilihat juga bahwa dilakukan ialah Sustaining (menopang),
Guiding (membimbing) dimana menurut penulis sesuai dengan apa yang dialami penulis
dalam hal tersebut keluarga harus bisa memberikan sesuatu yang menopang dan
membimbing mereka yang disabilitas supaya dengan bimbingan tersebut dapat menjadi
suatu hal yang menjadi suatu hal yang bermanfaat bagi anak tersebut.
Dimana menurut penulis sesuai dengan apa yang dialami kami bersama keluarga
dimana ketika terjadi sesuatu hal seperti tersebut keluarga harus bisa bangkit dari apa yang
terjadi, lalu sesuai dengan apa yang dialami kami terlebih penulis dimana ketika pada saat
itu penulis selalu membawa adek ketika penulis seding beraktifitas bersama teman-teman
dimana dalam hal tersebut ingin membimbingnya supaya bisa bersosialisasi dengan
lingkungan sekitar lalu keluarga selalu menopangnya dengan melihat perkembangan yang
ada padanya lalu memberikan perhatiaan kepadanya dimana dalam hal tersebut keluarga
sudah berdamai dengan keadaan dan ingin bangkit dari keadaan, sehingga dapat dilihat
bahwa ada perkembangan yang dialami oleh adek penulis tersebut dan kemampuan untuk
berinteraksi dengan ligkungan juga mulai sudah ada keberanian pada dirinya.
BAB IV
KESIMPULAN
Istilah disabilitas atau dalam bahasa inggris disability digunakan untuk menunjukan
ketidak mampuan yang ada sejak dilahirkan atau cacat yang sifatnya permanen Kata istilal
yang di letakkan pada para penyandang cacat (baik dalam bahasa Indonesia atau pun
Inggris) selama ini lebih banyak mengacu kepada kondisi ke tidak mampuan, kelemahan,
ketidak berdayaan, kerusakan dan makna lain yang berkonotasi negatif Seperti tunanetra,
tunarungu minadaksa, tunagrahita, dan bahkan kata cacat itu sendiri merupakan kata yang
negatif10. Tuna berarti hilang atau tidak memiliki, sedangkan cacat berarti rusak. Begitu juga
dalam bahas inggris, ada kata disability yang artinya ke tidak mampuan, invalid yang
berarti tidak lengkap "Kata cacat itu sendiri Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
diartikan sebagai kekurangan yang menyebabkan nilai atau mulut kurang baik atau kurang
sempurna 32 (yang terdapat pada badan, benda batın atau akhlak) Bahwa jika kita
renungkan lagi setiap manusia yang lahir di dunia entah bentuk apapun adalah seorang
dalam bahasa inggris disability digunakan untuk menunjukan ketidak mampuan yang ada
sejak dilahirkan atau cacat yang sifatnya permanen Kata istilal yang di letakkan pada para
penyandang cacat (baik dalam bahasa Indonesia atau pun Inggris) selama ini lebih banyak
mengacu kepada kondisi ke tidak mampuan, kelemahan, ketidak berdayaan, kerusakan dan
makna lain yang berkonotasi negatif Seperti tunanetra, tunarungu minadaksa, tunagrahita,
dan bahkan kata cacat itu sendiri merupakan kata yang negatif.
Tuna berarti hilang atau tidak memiliki, sedangkan cacat berarti rusak. Begitu juga
dalam bahas inggris, ada kata disability yang artinya ke tidak mampuan, invalid yang
berarti tidak lengkap "Kata cacat itu sendiri Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
diartikan sebagai kekurangan yang menyebabkan nilai atau mulut kurang baik atau kurang
sempurna 32 (yang terdapat pada badan, benda batın atau akhlak) Bahwa jika kita
renungkan lagi setiap manusia yang lahir di dunia entah bentuk apapun adalah seorang
pribadi manusia yang utuh dengan keunikannya masing-masing 11. Dalam pandangan
negatif seperti menganggap penyandang disabilitas adalah obyek yang harus di kasihani
dan dianggap tidak mampu atau hanya sebagai penghambat harus dihilangkan, anggapan-
10
Jurnal Perempuan “Mencari Ruang Untuk Difabel”, (Jakarta Selatan : Yayasan JYP Jurnal Perempuan) 18
11
Suharsono “Kamus Besar Bahasa Indonesia” (Semarang ; Widya karya, 2005) 198
anggapan tersebut perlahan harus di kikis. Undang-undang tentang disabilitas telah
menjelaskan secara jelas istilah disabilitas itu sendiri, penyandang disabilitas adalah setiap
orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensork dalam
jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar dapat megalami
hambatan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga lain12.
Daftar Pustaka
12
Tim Indepth Rights PPRBM, “Hak-Hak Penyandang Disabilitas”, (Malang :CBM, 2016), 8
A Abineno J.L.Ch. Pedoman Praktis Untuk Pelayanan Pastoral Jakarta : BPK Gunung Mulia,
2006
Arulangi Ronald, Dari Disabilitas ke Penebusan Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2016
Beek Aart Van, Pendampingan Pastoral Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2001
Davis Lennard J Enforcing Normalcy: Disability, Deafness, and the Body London : Verso, 1995
https://www.google.co.id/books/edition/VIDEO_BASED_INSTRUCTIONS/FCVXEAAAQBAJ?
hl=id&gbpv=1&dq=pengertian+Disabilitas+Intelektual&pg=PA7&printsec=frontcover
Jurnal Perempuan “Mencari Ruang Untuk Difabel” .Jakarta Selatan : Yayasan JYP Jurnal Poetri
Lintangsari Alies Praktik Pendidikan Bagi Penyandang Disabilitas Surabaya :Media Nusa
Creative, 2022
Perempuan Suharsono “Kamus Besar Bahasa Indonesia” .Semarang ; Widya karya, 2005
Rights PPRBM Tim Indepth “Hak-Hak Penyandang Disabilitas”. Malang :CBM, 2016
Simon John C., Dari Pengenalan Diri Menuju Majelis Sinode 80 yogyakarta : Kanisius : 2021