Anda di halaman 1dari 11

BAB II

DISABILITAS DAN MISI SEBAGAI PEMBERDAYAAN

2.1. Pengertian Disabilitas

Disabilitas berasal dari bahasa inggris Disability yang artinya adalah keterbatasan

atau ketidakmampuan seseorang saat melakukan suatu aktivitas, bisa juga diartikan

orang dengan kemampuan yang berbeda, atau biasa dengan istilah cacat mental, cacat

fisik, atau keduanya. Menurut kamus (KBBI), disabilitas adalah suatu kekurangan yang

menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik dan kurang sempurna yang

menyebabkan keteerbatasan secara fisik. Din dalam undang-undang No. 4 Tahin 1997,

disabilitas adalah orang yang memiliki kelainan fisik dan mental yang menghalangi

mereka dalam melakukan kegiatan secara selayaknya.

Di dalam Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan

Perlindungan Anak RI No.10 Tahun 2011 tentang kebijakan Penanganan Anak

berkebutuhan Khusus, termasuk Lampiran, dimuat definisi sebagai berikut:

“Anak Penyandang Disabilitas adalah anak yang memiliki keterbatasan

fisik, mental, intelektual atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam

berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat menemui

hambatan yang menyulitkan untuk berpartipasi penuh dan efektif berdasarkan

kesamaan hak.”1

2.2. Jenis Disabilitas2

2.2.1. Disabilitas Fisik

1
Definisi ini juga dapat ditemukan dalam Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-
undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, Pasal1 ayat 7.
2
Nahar, MENEMUKENALI DAN MENSTIMULASI ANAK PENYANDANG DISABILITAS, Panduan Dasar Orang Tua,
Keluarga dan Pendamping, (Indonesia: Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,2019),
9-51
Disabilitas fisik adalah kehilangan (keseluruhan atau sebagian) dari fungsi tubuh

dalam kegiatan motorik (bergerak) seperti berjalan, motorik halus, berbicara,

pergerakan tangan dan lain-lain.

2.2.2. Disabilitas Sensorik Penglihatan

Kondisi disabilitas sensorik penglihatan atau tunanetra merupakan kondisi

seseorang dimana mengalami kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari yang

menggunakan aktivitas penglihatan. Hal ini disebabkan karena adanya kerusakan pada

mata dan organ-organ lain yang mendukung terjadi proses melihat.

2.2.3. Disabilitas Sensorik Pendengaran

Anak dengan hambatan pendengaran tunarungu adalah anak yang mengalami

hambatan atau gangguan pada organ pendengarannya, sehingga mengalami kehilangan

pendengaran atau pendengarannya terganggu. Sensori pendengaran merupakan organ

penangkap stimulasi yang bersifat auditif, gangguan menunjukkan adanya gangguan

pada fungsi organ pendengarannya

2.2.4. Disabilitas Intelektual

Disabilitas intelektual adalah kondisi dimana seseorang memiliki kekurangan

dalam aspek intelektual secara signifikan dimana usia mental anak terpaut jauh dari

usia kronologisnya (IQ < 70), memiliki dua atau lebih hambatan dalam keterampilan

adaptif (Misal: hambatan dalam komunikasi, kemandirian/bantu diri, keterampilan dala

bidang akademik, dll.), yang terjadi pada masa pertumbuhan anak sampai usia 18

tahun.

2.2.5. Gangguan Perilaku dan Hiperaktifitas (ADHD)

Secara sederhana anak dengan ADHD (Attention deficit hyperactivity disorder)

adalah anak-anak yang memiliki potensi kecerdasan seperti anak-anak lain di usianya

dengan IQ Normal, namun anak ini memiliki gangguan konsentrasi dan tidak bisa diam,
dan kadang disertai dengan perilaku bertindak tanpa dipikir (impulsif). Kondisi

kesulitan konsentrasi dan tidak bisa diamnya secara konsisten muncul di semua tempat

dan keadaan, misalnya: di rumah anak tidak bisa diam dan di sekolah pun demikian.

2.2.6. Disabilitas Mental

Disabilitas mental adalah sindrom yang ditandai dengan gangguan klinis yang

signifikan dalam aspek kognisi, kontrol emosi, atau perilaku dari inidividu yang

diakibatkan karena adanya disfungsi dalam proses psikologis, biologis, atau

perkembangan yang mendasari fungsi mental. Ada banyak kondisi anak yang

mengalami gangguan mental dan salah satu disabilitas mental yang angka kejadiannya

tinggi adalah anak dengan gangguan spektrum autisme. Dalam pembahasan

penyandang disabilitas mental yang akan dibahas dalam buku ini adalah difokuskan

pada anak dengan gangguan spektrum autisme.

2.2.7. Sindroma Down

Anak dengan Sindroma Down atau Down Syndrome(DS) merupakan kelainan

genetik yang terjadi pada kromosom 21, wajah anak mudah dikenali karena memiliki

kekhasan yang sama di seluruh dunia, dengan kelainan yang berdampak pada

keterbelakangan pertumbuhan fisik dan mental.

2.2.8. Disabilitas Multy/Ganda

Penyandang Disabilitas ganda atau multi adalah penyandang disabilitas yang

mempunyai dua atau lebih ragam disabilitas, antara lain disabilitas rungu-wicara dan

disabilitas netra-tuli. Yang dimaksud dengan “dalam jangka waktu lama” adalah jangka

waktu paling singkat 6 (enam) bulan dan/atau bersifat permanen.Disabilitas ganda

terjadi karena adanya kondisi disabilitas yang dialami oleh seseorang lebih dari satu

disabilitas. Kondisi ini dapat terjadi pada saat kelahiran, salah satu disabilitas dibawa
sejak lahir dan lainnya merupakan proses dapatan, atau didapati setelah setelah

kelahiran.

2.3. Disabilitas Dalam Biblika

2.3.1. Disabilitas Menurut Perjanjian Lama

Alkitab tidak berbicara secara khusus mengenai disabilitas. Percakapan tentang orang

buta, tuli, dan lumpuh disejajarkan dengan percakapan tentang kondisi tubuh yang

lemah atau mengganggu. Teks yang menjadi refrensi ketika berbicara tentang orang

yang buta, tuli, dan bisu adalah keluaran 4:11:

Tetapi Tuhan berfirman kepadanya: “Siapakah yang membuat lidah

manusia, siapakah yang membuat orang bisu atau tuli, membuat melihat atau

buta; bukankah aku yakni Tuhan?”

Ayat ini menegaskan, Allahlah yang menciptakan orang-orang yang tidak mampu

berbicara dan mendengar. Pada Konteks ini Allah memperlihatkan kedaulatan-Nya atas

tubuh manusia, yang merupakan bagian dari seluruh ciptaan-Nya. Namun sebaliknya,

Imamat 21:16-23 sering dipakai untuk mendiskriminasi kaum disabilitas. Teks ini

memperlihatkan sikap untuk menjauhkan atau menyingkirkan para kaum disabilitas

yang akan menghampiri altar dan hendak mempersembahkan korban bakaran. 3 Dapat

dilihat bahwa mereka yang hidup dizaman israel kuno tidak terlalu memberi perhatian

pada orang-orang disabilitas mereka lebih menekankan pentingnya dalam hal

persembahan dan korban yang layak, dengan kata lain kaum disabilitas memiliki

kehidupan yang mengalami penderitaan, merasa tertindas dan selalu meminta

kesembuhan dari Allah, karena masyarakat tidak memiliki rasa kasihan terhadap kaum

disabilitas tersebut, dengan kata lain memiliki kesan yang tidak baik dan tidak

memandang kau disabilitas itu juga ciptaan Allah.


3
Jan S. Aritonang dan Asteria T. Aritonang, MEREKA JUGA CITRA ALLAH, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2017).194-195
2.3.2. Disabilitas Menurut Perjanjian Baru

Jika kita membahas kisah Yesus menyembuhkan orang buta, orang lumpuh, orang bisu

dan tuli yang terdapat dalam injil, ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi, yaitu:

a. Beberapa stigma yang diberikan kepada kaum disabilitas ini, yaitu mereka

adalah orang-orang yang tidak bisa berbuat apa-apa dan patut dikasihani

sehingga mereka sangat bergantung pada Yesus yang bisa membebaskan mereka

dari situasi tersebut. Kehadiran Yesus kemudian dimaknai bahwa karyan-Nya

akan membuat “orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi

tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin

diberitakan kabar baik” (Luk. 7:22; bnd. 4:18-19).

b. Kisah-kisah penyembuhan oleh Yesus sering kali terabaikan sebab orang-orang

Yahudi percaya disabilitas berhubungan dengan dosa, kenajisan, dan penyakit.

Pemahaman ini kemudian ditolak oleh Yesus ketika Ia mengatakan, “Bukan dia

dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus

dinyatakan di dalam dia” (Yoh.9:3).

c. Kisah-kisah penyembuhan oleh Yesus memperlihatkan kaitan disabilitas dengan

roh jahat; misalnya ketika Yesus mengusir roh jahat dan menyembuhkan

seseorang, baik secara fisik maupun mental (bnd. Mat. 3:24; 6:16; Mrk. 1:32-34;

Luk. 7:21; Kis. 8:7).

Berdasarkan tiga penjelasan tentang gambaran orang-orang disabilitas menjadi orang-

orang yang tersingkir karena mereka digambarkan sebagai orang-orang yang

bergantung pada kuasa penyembuhan Allah, orang-orang berdosa, dan dirasuki oleh

roh jahat.4

2.4. Pengeritan Misi


4
Jan S. Aritonang dan Asteria T. Aritonang, MEREKA JUGA CITRA ALLAH, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2017).195-196
Misi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah Tugas yang dirasakan orang

sebagai suatu kewajiban untuk melakukannya demi Agama, Ideologi, patriotisme, dan

sebagainya.5

Dalam buku Arie de Kuiper menuliskan secara etimologi bahwa misi berasal dari

bahasa latin “Missio” yang artinya pengutusan dan dalam bahasa

inggris/jerman/Prancis yaitu “Mision”; Belanda “Misie” dipergunakan dalam Gereja

Roma Katolik, Gereja protestan pada umumnya memakai kata “ Zending”. Dalam bahasa

inggris dalam bentuk tunggal “Mision” berarti karya Allah (God Mision) atau tugas yang

diberikan Tuhan kepada kita (Our Mission), sedangkan bentuk jamak menandakan

kenyataan praktis atau pelaksanaan pekerjaan itu untuk Foreign Mission.6

Namun di dalam buku Widi Artanto berjudul Menjadi Gereja Missioner menyatakan

bahwa misi lebih luas dari penginjilan, penginjilan adalah misi, tetapi misi tidak hanya

penginjilan. Misi adalah tugas dari total dari Allah yang mengutus Gereja demi

keselamatan dunia.7 Gereja diutus kedalam dunia untuk mengasihi, melayani, mengajar,

menyembuhkan dan membebaskan. Penginjilan tidak bisa disamakan dengan misi

karena ia merupakan bagian dari misi sehingga tidak dapat diisolasi menjadi aktivitas

yang terpisah. Hal ini menjelaskan bahwa misi memiliki wadah dan tujuan yang luas,

sebagai Gereja harus dapat memahami hal ini karena pada zaman modern ini Gereja

hanya sebagai wadah untuk memberitakan injil dan mengembangkan sistem organisasi

untuk perkembangan Gereja tanpa mempertanyakan arti dan makna keselamatan yang

harus diemban oleh Gereja.

5
Diakses dari internetKBBI 2016, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (Online), http://kbbi.web.id/misi....
Diakses pada tanggal 20 agustus 2020 waktu 18:13 Wib
6
Diakses dari Google Book: Arie de Kuiper, Missiologia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), Hal
10,http://books.google.co.id/books?id=YbWvAuWc29MC&pg=PA3&hl-
id&source=gbs_toc_r&cad=3#v=onepage&q&f=false , diakses pada tanggal 20 agustus 2020 waktu 18:30 Wib
7
Diakses dari Google Book: Widi Artanto, MENJADI GEREJA MISIONER. (Yoyakarta: Kanisius dan BPK Gunung
Mulia, 1997), 33. https://books.google.co.id/books/about/Menjadi_Gereja_misioner_dalam_konteks_In.html?
hl=id&id=cRTkAAAAMAAJ&redir_esc=y, diakses pada tanggal 20 agustus 2020 waktu 19:30 Wib
Di era Post Modern dalam pergeseran misi dari setiap era, mulai dari Era

Pertengahan, Era Reformasi dan Era Pencerahan, Modernisme sendiri sebagai suatu

bentuk peradaban berakar pada kebangkitan akal budi, dari era pencerahan di barat.

Maka akal budi dinobatkan sebagai penuntun perjalanan hidup manusia untuk

mencapai kebahagiaan di Era pencerahan juga ditandai sebagai bangkitnya revolusi

ilmu pengetahuan, dan pada era Postmodern mendorong manusia untuk menghargai

dan keunikan prularitas.8

Menurut David J Bosch beberapa pergeseran dan salah satunya adalah pergeseran

rasional yang dialami oleh manusia beragama dalam era postmodernisme, David J

Bosch tidak menolak rasionalitas sebab manusia membutuhkan rasio sebagai

pendorong ilmu pengetahuan berkembang. Sebab rasionalitas tanpa dimensi religius

hidup manusia terasa kosong. Dengan demikian simbol, tanda dan ritual dipakai bukan

hanya menyentuh rasio manusia juga hati. Aspek-aspek seperti mempertanyakan

rasionalisme, kritik ideologinya, sikap rendah dirinya berhubungan dengan teori-teori

baru yang tidak setuju bahwa bermisi hanya bersifat injil karena Bosch juga

menyatakan bahwa Allah sebagai pencipta atas pikiran kita dan memberikan kita cara

juga untuk berpikir.9 Jadi maksudnya adalah bahwa Allah menciptakan kita tidak hanya

ditakdirkan untuk mengikut Dia tetapi harus mempergunakan apa yang telah Allah

berikan kepada kita manusia

Russel memperlihatkan bahwa model misi yang imperialis, Patriarkis, dan

dikombinasikan dengan imperialisme Eropa abad ke-19 tidak lagi kredibel pada masa

kini. Praktek misi kristen ketika paradigma misi kristen yang bersifat Kognitif-

8
Diakses dari Google Book: Widi Artanto, MENJADI GEREJA MISIONER. (Yoyakarta: Kanisius dan BPK Gunung
Mulia, 1997)(File PDF), Hal 49,
https://books.google.co.id/books/about/Menjadi_Gereja_misioner_dalam_konteks_In.html?
hl=id&id=cRTkAAAAMAAJ&redir_esc=y..... diakses pada tanggal 20 agustus 2020 waktu 19:40 Wib
9
Diakses dari PDF File: David J Bosct, Transforming Mission: Paradigm Shifts in Theology of Mission, (New York:
Orbis Books, 1991), Hal 260.
proposional tetap dipertahankan. Oleh sebab itu, haruslah ditemukan sebuah cara

untuk meruntuhkan paradigma misi yang bersifat absolute, imperialistik dan tidak

relevan ini di tengah masyarakat global yang plural yang sebenarnya membutuhkan

kehadiran kekristenan sebagai saksi keadilan dan kepedulian Allah. 10

Oleh karena itu Misi bukanlah misi yang hanya berpedoman kepada injil dan bukan

pula untuk mengkristenisasikan manusia tetapi dari pemaparan David J Bosch misi itu

hanyalah Tugas yang Allah berikan berlandaskan kebaikan yang manusia lakukan

dengan pola pikir manusia yang sudah di berikan oleh Allah, salah satu Dosen dan

sebagai rektor Stt GMI Bandar Baru Bapak Dr.Sahat M.Lumban Tobing, M.Th selaku

Dosen Mata Kuliah Etika Kristen menekankan bahwa misi bukanlah misi Gereja tetapi

misi adalah Misi Allah yaitu “Damai Sejahtera”.11

Dan dari pernyataan diatas dapat dinyatakan bahwa Etika Misi adalah utusan dan

melakukan Tugas atau Misi Allah yang tidak hanya berpedomankan injili atau

mengkristenisasikan, tetapi menciptakan suatu kedamaian dan penyembuhan

berdasarkan perintah Allah, dengan kata lain bahwa Misi seharusnya adalah tindakan

yang menunjukkan nilai moral, sikap, dan prilaku untuk menyikapi setiap permasalahan

menjadi lebih baik dan damai dengan wadah yang sangat luas.

2.4.1. Misi Menurut Perjanjian Lama

2.4.2. Misi Menurut Perjanjian Baru

2.5. Teori Misi Sebagai Pemberdayaan

2.5.1. Pengertian Pemberdayaan

10
Maraike Joanna Belle Bangun, Menantang Paradigma Misi Kristen yang Bersifat Kognitif-proposional dengan
mengembangkan pengetahuan Historis Misi, (Indonesian Journal of Theology 3/1: July 2015)... Hal 85
11
Dr.Sahat M.Lumban Tobing, Perkuliahan Etika Kristen pertemuan ke 4 STT GMI Bandar Baru, Pada Ajaran
semester genap tahun 2020.
Pemberdayaan adalah terjemahan dari bahasa inggris empowerment. Karena

memiliki makna perencanaan, proses dan Dengan sifat, pemberdayaan berarti memberi

penguatan, pemberdayaan dapat disamakan dengan istilah pengmbangan dan

memampukan yg lemah.12 Pemberdayaan atau pengembangan atau lebih tepatnya

sumber daya manusia adalah hal yang dapat memperluas pemikiran dalam arti

masyarakat diberdayakan untuk melihat dan memilih suatu yang bermanfaat bagi

kehidupannya. Dengan memakai pemikiran ini, dapat dikatakan bahwa masyarakat

yang berdaya adalah yang dapat memilih dan mempunyau kesempatan untuk

mengadakan pilihan-pilihan.13 Dengan kata lain Pemberdayaan adalah kepercayaan

pada kelompok masyarakat untuk bepikiran dan beraktifitas secara kreatif dan

produktif, pemberdayaan membawa individu untuk menemukan rasa keadilan dan

kekuasaan terhadap kelompok individu yang sering diasingkan, dan dibedakan dengan

istilah lain pemberdayaan terdapat unsur melindungi individu menjadikan individu

lebih mandiri dan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dikehidupan kedepannya.

Pemberdayaan merupakan sebuah konsep yang muncul sebagai bagian dari

perkembangan alam pikiran dan kebudayaan masyarakat barat, terutamanya Eropa.

Konsep ini muncul sejak dekade 70-an dan kemudian terus berkembang sampai saat ini.

Kemunculannya hampir bersamaan dengan lahirnya aliran-aliran seperti

eksistensialisme, phenomenologi, personalisme dan kemudian lebih dekat dengan

gelombang neoMrxisme, freudanisme, strukturalisme, dan sosiologi kritik Frankfurt

School. Hampir semua department0lembaga pemerintah non departemen memiliki

program pemberdayaan masyarakat atau konsen dengan ‘isu’ memberdayakan

12
Saifudin Yunus, Suadi, dan Fadli, MODEL PEMBERDAYAAN TERPADU, (Lhok Seumawe: Bandar Publishing,
2017) 1
13
Nanih Machendrawaty dan Agus Ahmad Safei, Perkembangan Masyarakat Islam; dari ideologi, Strategi
sampai Tradisi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001) 41-42
masyarakat yang dicantumkan dalam rencana strategis dan rencana Kerja. Hal seperti

ini juga berlaku di tingkat daerah provinsi dan kabupaten/kota.

Pemberdayaan merupakan satu strategi untuk melaksanakan pembangunan yang

berdasarkan azas kerakyatan. Dimana segala upaya diarahkan untuk memenuhi

keperluan masyarakat. Oleh sebab itu, pemberdayaan diaktualisasikan melaui

partisipasi masyarakat dengan pendampingan yang dilakukan oleh pemerintah atau

lembaga tertentu untuk mentransfer ilmu pengetahuan kepada kelompok masyarakat

yang terorganisir.

Menurut Prijono, S. Onny dan pranarka, A.M.W (1996) pemberdayaan merupakan

proses penguatan individu-individu atau masyarakat supaya mereka berdaya.

Mendorong atau memotivasi mereka agar mempunyai kemampuan atau keperdayaan

dalam menentukan pilihan hidupnya. Pemberdayaan dapat dikatakan sebagai proses

dan tujuan. Sebagai proses pemberdayaan merupakan serangkaian kegiatan untuk

memperkuat daya kelompok lemah dalam masyarakat. Sementara sebagai tujuan,

pemberdayaan untuk mewujudkan perubahan sosial yaitu membuat masyarakat atau

kelompok serta individu menjadi cukup kuat dalam berpartisipasi untuk memenuhi

kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi dan sosial.

Menurut Arbi Sanit (1998) pemberdayaan adalah upaya mentransformasikan

segenap potensi masyarakat menjadi kekuatan, melindungi dan memperjuangkan nilai-

nilai serta kepentingan mereka di dalam segala aspek kehidupan. Dalam hal ini,

penguatan ekonomi dipandang sebagai langkah awal atau dasar, di samping

pematangan budaya dan pemantapan agama untuk memberdayakan masyarakat.

Pengembangan ekonomi dan nilai itu berguna bagi kemandirian serrta penguatan posisi

tawar masyarakat ketika berhadapan dengan kekuatan negara.


Menurut basyid, pemberdayaan masyarakat tidak saja dilakukan melalui

pendekatan teknis tetapi juga pendekatan sosial budaya yang dapat meransang

perubahan tersebut maka peranan pemerintah dapat dilakukan antara lain melalui: (1)

penyediaan sarana prasarana fisik, yang difokuskan pada pemenuhan kebutuhan publik

untuk mendukung sektor pertanian dan lingkungan usaha (2) fasilitas percepatan

pembangunan di wilayah pedesaan. (3) fasilitas pembentukan iklim yang kondusif bagi

perkembangan kreatifitas dan kegiatan ekonomi masyarakat serta investasi. (4)

Penerapan berbagai pola pemberdayaan masyarakat petani.

Menurut burhan (2011) pemberdayaan petani dilakukan dengan cara

memposisikan para petani sebagai mitra atau subjek dalam perencanaan, pelaksanaan

dan pengawasan program pemberdayaan. Untuk itu, pendekatan dapat dilakukan

secara partisipatif dan dialogis memadukan pendekatan dan dari atas dalam

merumuskan program, pendekatan dengan mempertimbangkan kondisi sosio kultural

masyarakat, dan menggunakan agen pembaharu atau tenaga pendamping.. 14

Dalam pemberdayaan, orang miskin dan lemah tidak dipandang sebagai orang

yang serba kekurangan (misalnya, kurang makan, kurang pendapatan, kurang sehat,

kurang dinamis) dan objek pasif penerima pelayanan

2.5.2.

14
Saifudin Yunus, Suadi, dan Fadli, MODEL PEMBERDAYAAN TERPADU, (Lhok Seumawe: Bandar Publishing,
2017) 4

Anda mungkin juga menyukai