Anda di halaman 1dari 6

Richarad Edlin, Pendidikan Kristen dan Worldview, Jurnal Guru Kristen, Jurnal 15.

Istilah “worldview” saat ini ini dapat ditemukan dimana-mana. Belum lama ini, ketika
bepergian di Asia, saya melihat sebuah iklan besar di koran dari organisasi perbankan
besar mengatakan bahwa worldview mereka adalah salah satu alasan utama bagi para
konsumen potensial untuk melakukan perbankan dengan mereka. Umat Kristen telah
menggunakan istilah worldview yang mungkin dipopulerkan melalui buku-buku laris
seperti Visi yang Mentranformasi milik Walsh dan Middleton (1984) dan Pendapatan
Kembali Penciptaan karangan Wolter (2005).

Biasanya, worldview dilihat sebagai latar belakang atau perspektif preteoritikal terhadap
pemikiran dan tingkah laku yang mengarahkan bagaimana kita hidup. Wolter menunjuk
worldview sebagai kerangka komprehensif dari kepercayaan dasar seseorang mengenai
berbagai hal, dan Institut Nasional Pendidikan Kristen (National Institute for Christian
Education atau NICE) di dalam salah satu pedoman belajar mereka menunjuk worldview
sebagai kepercayaan dasar seseorang terhadap hal-hal.

Mungkin dapat membantu untuk mempergunakan kacamata sebagai metafor untuk


worldview. Kita tidak pernah benar-benar sadar akan kacamata kita ketika melihat
berbagai macam benda, tetapi kacamata adalah instrumen yang memperbolehkan kita
untuk melihat dunia sebagai mana kita melihatnya. Tetapi, meski analogi kacamata
berguna, analogi tersebut tidaklah cukup, karena worldview bukan hanya masalah
melihat, tetapi secara lebih fundamentalnya worldview adalah cara untuk “menjadi” di
dunia. Ditambah lagi, seraya kita memulai perjalanan di dalam proses consious (secara
sadar) untuk memeriksa worldview kita – Colson (1999) dan Pearcy (2004) keduanya
memberi garis besar bagaimana melakukan hal ini – worldview kita tidak lagi
preteoritikal.

Di pusat setiap worldview adalah agama, atau komitmen hati. Hal ini karena, seperti
Paulus ingatkan kita melalui kotbah di dalam Kisah Para Rasul 17, Allah telah membuat
setiap manusia untuk menjadi seorang pencari Allah. Plantinga (2002) merefleksikan hal
ini secara kuat melalui bukunya yang sangat berguna, Melibatkan dunia Allah: Sebuah
visi Kekristenan mengenai iman, pembelajaran, dan kehidupan:

Di dalam sebuah doa yang terkenal di awal Pengakuan-nya, Augustine menunjukan


summun bonum dunia: “Ya Allah,” doa Augustine, “Engkau telah membuat kami untuk
diri-Mu sendiri, dan hati kami gelisah sampai ketika ia beristirahat di dalam Engkau.”

Augustine tahu manusia menginginkan Allah. Sesungguhnya, manusia menginginkan


penyatuan dengan Allah: mereka mau masuk ‘kedalam’ Allah, seperti yang Yesus doakan
di dalam Yohanes 17:21. Sampai keingingan ini dipuaskan, keinginan untuk Allah timbul
di setiap jiwa manusia karena hal tersebut adalah bagian dari peralatan standard jiwa
kita. Kita telah diberikan oleh Pencipta kita sensus divinitatis (sebuah ‘perasaan
divinitas’), tulis John Calvin, dan dimana-mana di dunia, meski ketika diekspresikan
sebagai pemberhalaan, perasaan divinitas adalah inti dari agama. Allah telah
menciptakan kita untuk diri-Nya sendiri. Perasaan kita mengenai Allah mengalir di dalam
kita seperti sungai, meski kita mengalihkannya ke arah hal-hal lainnya. Kita manusia
menginginkan Allah meski ketika kita berpikir bahwa apa yang kita benar-benar inginkan
adalah sebidang lembah hijau atau masa senang dari masa lalu kita, atau seseorang
yang kita cintai. Tentu kita menginginkan hal-hal dan sesorang tersebut, namun kita juga
inginkan apa yang dibelakang hal-hal tersebut. “rahasia yang tak terhiburkan” kita, kata
C.S. Lewis, adalah kita penuh kerinduan-kerinduan, terkadang malu-malu dan terkadang
bergairah, yang menunjukan kita lebih dari hal-hal diatas dunia kepada realitas tertinggi
mengenai Allah.

Terminologi-terminologi lain juga telah digunakan untuk mengambarkan worldview


dengan fondasi keagamaan/inti kepercayaan: Francis Schaeffer menggunakan
terminologi titik Integrasi; Neil Postman (1995) menggunakan terminologi ‘tuhan’; dan
para pos-modernis sering menggunakan terminologi metanaratif (atau kurangnya
penggunaan tersebut).

Untuk orang-orang Kristen, sangatlah penting agar worldview kita berdasarkan Alkitab.
Hal ini bukan hanya karena Alkitab seharusnya membentuk worldview kita, tetapi
karena worldview kita juga membentuk bagaimana kita membaca Alkitab, dan
karenanya kita harus secara konstan mengarahkan pola keadaan (dan hermeneutika)
kita secara sadar dan tidak sadar kepada pencarian yang mencolok kepada kitab Injil.
Perbolehkan saya untuk memberikan dua contoh dari cara kita membatasi Allah dan
sabda-Nya ketika eksaminasi ini tidak diperlakukan, satu berhubungan dengan cara pikir
Barat dan yang satunya dengan cara pikir Oriental.

Platonisme dan Budaya Barat

Bagaimana guru-guru memeriksa jika para murid mengerti apa yang telah mereka
ajarkan? Mereka memberikan murid-murid sebuah tes. Tetapi gagasan ini, bahwa untuk
‘mengetahui’ sesuatu secara utama merupakan aktivitas kognitif, mempunyai pangkal
platonik. Alkitab menggunakan terminologi untuk mengetahui secara lebih holistik
dimana seseorang tidak benar-benar mengetahui apa-apa kecuali hal tersebut
dimengerti secara kognitif dan kemudian dilakukan. Karenanya Adam “mengenal”
istrinya Hawa dan mereka mempunyai seorang putra. Hal tersebut memerlukan
tindakan. Yesus (Yohanes 8:32) mengatakan bahwa kita harus mengetahui kebenaran
dan kebenaran itu akan memerdekakan kita. Di dalam Yohanes 14:6 Ia mengatakan
bahwa untuk mengetahui kebenaran adalah untuk masuk kedalam hubungan yang
akrab dengan Dia. Di dalam kedua bagian Yohanes, mengetahui adalah lebih dari
pengertian kognitif sebuah ide.

Di dalam awal pemimpinannya untuk Israel, Yosua (Yosua 1:8) diingatkan bahwa sisi
aplikasi dari ketaatan untuk mengetahui firman Allah dijelaskan oleh Allah kepada Yosua
adalah untuk membaca, memeditasikan, dan lalu melakukannya. Seperti contoh
berlimpah mengenai ketidaksadaran kekurangan dari konsep Yunani untuk
“mengetahui” ini perlihatkan, ketika worldview kita melihat Injil melalui kacamata atau
prasangka penyembah berhala, kita menumbuhkan sebuah worldview pemberhalaan
dan kita juga mengurangi kekuatan dan otoritas firman Allah di dalam hidup dan budaya
kita.

Confusianisme dan Oriental

Di Timur, dimana ketegangan Confusianisme antara rasa malu dan kehormatan


merupakan pilar worldview, model otoritas dan kepemimpinan Alkitab bisa digantikan
oleh tradisi-tradisi kebudayaan. Karenanya, pastur-pastur senior di gereja, atau para
kepala sekolah, atau bahkan orang-orang yang lebih tua dari anda, secara otomatis
dinilai lebih bijaksana dan sewaktu-waktu hampir tidak dapat dikritik. Karenanya,
konsep-konsep Alkitab mengenai jabatan, pertanggungjawaban mutual, dan bidang
kekuasaan sering terlupakan atau diabaikan.

Worldview resmi melawan worldview operasional

Di dalam kedua kasus di atas, apa yang benar-benar terjadi dapat dikatakan sebagai
pemberhalaan kebudayaan. Yaitu norma-norma kebudayaan menggantikan norma-
norma Alkitab untuk merangkai worldview dan pikiran berhala kita, yang karenanya
membentuk bagaimana kita mengetahui dan hidup. Hal ini bisa jadi benar meski kita
mengingkarinya. Sebagai pendidik-pendidik, kita sangatlah familiar dengan perbedaan
antara kurikulum yang tertulis atau resmi dan kurikulum yang sebenarnya atau
operasional. Yang sebelumnya adalah apa yang diumumkan sebagai gaya kurikulum
sekolah, tetapi kurikulum operasional adalah apa yang sebenarnya terjadi di dalam kelas
– yang mungkin mirip atau tidak mirip sama sekali dengan posisi yang tertulis. Hal ini
sama dengan worldview. Orang-orang Kristen bisa menyatakan bahwa mereka
beroperasi di dalam worldview yang setia terhadap Alkitab; ketika di waktu yang sama,
karena ketidakmampuan kita untuk membedakan karena dosa, kita sebenarnya tertipu
oleh pemberhalaan budaya dan worldview operasional kita mungkin tidak memuliakan
Allah sama sekali. Hal inilah yang terjadi kepada Petrus di Alkitab. Setelah ia baru saja
mendeklarasikan Yesus sebagai Messias, Tuhan kita harus menegur dia dan berkata
kepadanya, “enyahlah Iblis” (Markus 8:33). Meskipun maksud dan kasih Petrus murni,
secara operasional Petrus mendukung tindakan yang akan mengalihkan Yesus dari
pelayanan dan tujuanNya. Maka tidaklah heran jika komentator Kristen Dr Os Guinness
(2003) mengutarakan bahwa masalah dari banyak orang Kristen saat ini (dan saya
melihat ini di dalam diri saya sendiri) “adalah bukanlah kita tidak berada di mana kita
seharusnya berada, namun kita bukanlah kita yang seharusnya kita di tempat kita
berada!” (hal. 157).

Karenanya sebagai umat Kristen, terutama umat Kristen yang berhubungan dengan
pendidikan, apa yang harus kita lakukan?

Baru-baru ini Dr Rod Thompson dan saya (Edlin & Thompson, 2006) menyarankan tiga
karakteristik pokok yang kita percaya umat Kristen butuh untuk olah supaya dapat
merenovasi worldview kita agar lebih setia kepada Alkitab. Kita memanggil hasilnya
sebuah worldview yang terformasi – bukanlah reformasi di dalam pengertian
denominasi atau teologika, namun di dalam pengertian “cara untuk menjadi”.

1. Appresiasi untuk sifat kebaikan yang tak terpisahkan dari penciptaan

Ketika Allah menciptakan bumi, Ia berulang-ulang lagi mengatakan, “itu baik.” Dan itu
masih baik. Kebiasaan manusia untuk menciptakan, atau buah dari usaha pekerjaan
manusia (contohnya, pemerintahan, bangunan-bangunan, pemerintahan, budaya-
budaya, Apple iPhone dan seterusnya) adalah juga panggilan Allah. Seperti Paulus
ingatkan kepada pendengar-pendengarnya di Atena di Kisah Para Rasul 17, setiap
pikiran dan aksi manusia adalah respon kesetiaan aau ketidaksetiaan kepada realitas
yang tidak dapat dipungkiri bahwa tenaga penggerak sentral manusia adalah pencarian
untuk mengetahui Allah. Karenanya pengalaman sehari-hari dari umat Kristen melatih
secara setia panggilan ini di setiap aspek kehidupan mereka seharusnya merupakan satu
dari rasa perayaan, terima kasih, terpesonaan, dan pemuridan responsif. Di dalam
pedagogi, desain kurikulum, disiplin, organisasi sekolah, perencanaan strategis,
tataruang kelas dan seterusnya – sesungguhnya di dalam setiap aspek kehidupan
sekolah Kristen – ketaatan dengan rendah hati kepada otoritas dan kesetiaan Allah yang
mendukung dan kreatif kepada janji-janji-Nya melalui Kristus harus menjadi titik awal
untuk pendidikan Kristen.

2. Pengaruh yang membinasakan dari dosa kepada seluruh semesta

Garis dosa yang tidak terputuskan dari Adam kepada kita sekarang telah
menyimpangkan kemampuan manusia untuk hidup taat dihadapan Allah. Hal ini telah
mempengaruhi semua ciptaan yang berkeluh resah dibawah penghakiman Allah dan
menginginkan sebuah restorasi. Kita hidup di bawah terang ketegangan yang tidak
tertahankan ini di dalam semua aspek penciptaan – pernikahan berakhir, tubuh kita
membusuk, pemerintahan berperang, orang tua mengaborsi, kekuasaan mengkorupsi –
dan rasionalisme ekonomi, dengan nafsu yang tidak dapat dipuaskan untuk
pengorbanan manusia (seperti bagaimana Brian Walsh menaruhnya) mendominasi
pendidikan. Tetapi, meski dosa menyimpangkan, dosa tidak menghapuskan meterai
karakter dan kebaikan Allah di dalam penciptaan.

3. Restorasi komprehensif Kristus untuk semua penciptaan

Kitab Injil benar-benar adalah sebuah kabar baik. Allah telah mengatakan ‘iya’ untuk
dunia dan ‘tidak’ untuk dosa di dalam kematian dan kebangkitan Yesus. Untuk diskusi
lebih jauh untuk poin ini, lihat Salib dan Panggilan Kita (Redeemer University College,
2003 hal 1-3). Dia memperoleh segala benda – pepohonan, batu-batu, gajah, kangguru,
kiwi, struktur pemerintahan, musik, seni, literatur, olah raga, sejarah, ekonomi, angkasa
dan aviasi, teknologi, imaginasi dan pendidikan, dan Dia mewenangkan umat-Nya untuk
menjadi saksi-saksi transformasional untuk Injil ini di abad ke dua puluh satu melalui
setiap hal tersebut. Karena Injil ini, umat Kristen yang telah tereformasi, di dalam
kehidupan dan panggilan mereka sehari-hari, sebagai duta besar Allah, menghidupi
worldview ini di dalam harapan, memanggil semua orang dimanapun untuk bertobat
dan menghidupi kehidupan pelayanan yang taat kepada dan penyembahan kepada
Pencipta mereka. Semua pilihan lain mengantarkan kepada keputusasaan, kekacauan,
ketidakpuasan, dan kematian. Kemuliaan dari pendidikan Kristen adalah untuk
menjelajahi arti dari restorasi ini. Ketika anak-anak di dalam sekolah Kristen yang setia
belajar mengenai dunia dan tempat serta tugas mereka di dalamnya, mereka
seharusnya diantarkan untuk menyadari harapan yang mulia milik umat Kristen untuk
kehidupan pelayanan yang memuaskan sekarang dan untuk selamanya ketika mereka
ditantang dengan perayaan kekuasaan dari Kristus diatas segalanya.

Mengambil Tindakan

Ini adalah sebuah kemungkinan. Berkumpulah dengan satu grup kolega-kolega anda dan
lihatlah film ‘Dead Poet Society’. Pertama-tama, anda bisa mengidentifikasi dan
mengkritik worldview yang jelas di dalam film tersebut dan yang berakibat di benturan
keras gaya mengajar dan nilai-nilai. Kedua, anda bisa mendiskusikan bagaimana, melalui
worldview yang menurut Alkitab secara autentik, anda akan menangani situasi
pendidikan yang digambarkan di dalam film ini. Dan hal tersebut akan , secara tidak bisa
dihindari, mengantar anda ke sebuah perbincangan mengenai worldview dan pengaruh
mereka ke dalam seting sekolah anda.

Dr. Richard J. Edlin

References

Colson, C. (1999). How now shall we live? Wheaton. IL: Tyndale

Edlin, R & Thompson R (2006). What’s with the ‘reformed’ idea in Christian education. In
R. Edlin & J. Ireland (Eds.). Engaging the culture: Christians at work in education (pp. 1-6)

Guinness, O. (2003). The Call: Finding and fulfilling the central purpose of your life.
Nashville, TN: W. Publishing.

National Institute for Christian Education, (2006). ED 501 Study Guide [Course Material].
Agnes Banks, NSW: Author

Pearcy, N.R (2004). Total Truth: Liberating Christianity from its cultural captivity.
Wheaton. IL: Crossway

Plantinga, C. (2002). Engaging God’s World: A Christian vision of faith, learning and
living. Grand Rapids, MI: Eerdmans
Postman, N. (1995). The End of Education: Redefining the value of school. New York:
Vantage Books

Redeemer University College. (2003). The Cross and our calling. Ancaster, Canada:
Author

Walsh, B.J & Middleton, J.R (1984). The transforming vision: shaping a Christian
worldview. Downers Grove, IL: InterVarsity Press.

Wolters, AM (2005), Creation Regained: Biblical basis for a reformational worldview


(2nd ed.) Grand Rapids, MI: Eerdmans.

Anda mungkin juga menyukai