Anda di halaman 1dari 25

Nama : Dewi Frisca Tampubolon, S.

Th
NIM : 20.359

KEPEDULIAN TERHADAP DISABILITAS


(TINJAUAN TEOLOGIS IBRANI 12: 12-15)

ABSTRAK
Tulisan ini membahas tentang kepedulian terhadap orang dengan disabilitas
dalam perspektif teologis yang didasarkan pada surat Ibrani 12:12-15. Surat Ibrani
memuat pengajaran yang mengajarkan umat Kristiani untuk saling
memperhatikan dan memperkuat satu sama lain, ini juga berarti termasuk orang
dengan disabilitas. Tulisan ini mengajak pembaca untuk memahami bahwa
kepedulian terhadap orang dengan disabilitas haruslah menjadi bagian dari
komunitas gereja yang mengasihi sesama. Pada dasarnya, disabilitas adalah
kondisi manusia yang perlu diterima dan dihormati. Bukan sebaliknya Keadaan
disabilitas justru dianggap sebagai sebuah tragedi yang seharusnya tidak terjadi
pada seseorang. Oleh karena itu tak sedikit penyandang disabilitas yang merasa
terpinggirkan dan tidak diperhitungkan. Orang-orang dengan keadaan disabilitas
bukan lagi dianggap sebagai subjek, melainkan telah dianggap sebagai objek yang
berarti perlu mendapatkan perhatian dari orangorang yang dianggap normal.
Dalam konteks ini, tulisan ini menekankan bahwa pemaknaan terhadap
kepedulian kepada orang disabilitas yang mampu mendukung mereka semakin
beriman dalam kondisi disabilitasnyasebagai tanggung jawab orang percaya,
sehingga adapun gereja harus menjadi tempat yang inklusif dan ramah
disabilitas, yang tidak hanya menerima tetapi juga menghargai perbedaan. Dengan
demikian, melalui kepedulian dan kasih yang ditunjukkan kepada orang dengan
disabilitas, komunitas gereja dapat menjadi wadah yang memperkuat dan membina
iman serta kebersamaan dalam kasih karunia Tuhan.

1
BAB I PENDAHULUAN

Dalam studi-studi disabilitas, sangat penting untuk melakukan klarifikasi tentang


penggunaan istilah disabilitas. Istilah-istilah lain yang sering diperdebatkan berkaitan
dengan disabiltas adalah difable (differently-able) Dalam konteks masyarakat
Indonesia, kata difable masih terus dipergunakan sebagaimana dianjurkan juga oleh
proposal yang dibuat oleh Dirlak Persetia dalam kaitannya dengan program ini.
Difabel, disabilitas, ketunaan, ketunadayaan, atau keterbatasan diri (bahasa Inggris:
disability) dapat bersifat fisik, kognitif, mental, sensorik, emosional, perkembangan
atau beberapa kombinasi dari ini. Istilah difabel dan disabilitas sendiri memiliki
makna yang agak berlainan. Difabel (different ability: kemampuan berbeda)
didefinisikan sebagai seseorang yang memiliki kemampuan dalam menjalankan
aktivitas berbeda bila dibandingkan dengan orang-orang kebanyakan, serta belum
tentu diartikan sebagai "cacat" atau disabled. Sementara itu, disabilitas (disability)
didefinisikan sebagai seseorang yang belum mampu berakomodasi dengan
lingkungan sekitarnya sehingga menyebabkan disabilitas.1

Penggunaan difable telah lama ditinggalkan dalam studi-studi disabilitas. Istilah


difable hanya sekedar menunjuk pada kenyataan bahwa orang-orang dengan
“kecacatan” adalah orang yang dianggap mempunyai ability yang berbeda dengan
orang-orang yang dianggap “normal.” Maka istilah ini tidak memadai lagi digunakan
ketika soal “kecacatan” atau “kenormalan” dianggap sebagai suatu rekonstruksi yang
dihasilkan oleh pihak yang dominan dalam masyarakat tertentu. Dalam tulisan ini
penulis akan menggunakan kata disabilitas

Kaum disabilitas seharusnya tidak dianggap remeh atau diperlakukan dengan


cara yang tidak tepat. Mereka memiliki kemampuan dan potensi yang berharga bagi
masyarakat, selama orang-orang disekitar mereka tidak hanya fokus pada kondisi
fisik mereka. Kaum disabilitas adalah kelompok sosial yang memiliki keterbatasan

1
https://kemensos.go.id/definisi-penyandang-disabilitas

2
dan perbedaan karakteristik fisik yang membedakannya dari orang-orang pada
umumnya. Namun, mereka tetap merupakan makhluk sosial yang sangat berharga,
yang diciptakan oleh Allah dengan segambar dan serupa dengan gambaran-Nya.
Menurut Tada, kaum disabilitas sangat membutuhkan kasih Allah dan harus didorong
untuk merasakannya. Kesetaraan juga sangat penting, karena mereka juga merupakan
ciptaan Allah dan layak mendapatkan perlakuan yang sama seperti orang lain.
Namun, disayangkan bahwa ada beberapa kalangan yang kurang memberikan
perhatian yang semestinya pada kaum disabilitas, karena keterbatasan dan
ketidakmampuan mereka. Padahal, Alkitab mengajarkan bahwa Allah dapat
menunjukkan kekuasaan-Nya melalui kaum disabilitas. Pendapat ini sejalan dengan
pandangan Diono, yang menyatakan bahwa kaum disabilitas merupakan makhluk
sosial yang memiliki keterbatasan, namun tetap merupakan ciptaan Allah yang sangat
berharga.2

Tidak sedikit orang yang dapat menerima dan memberikan perhatiannya


terhadap penyandang disabilitas. Keadaan disabilitas justru dianggap sebagai sebuah
tragedi yang seharusnya tidak terjadi pada seseorang. Oleh karena itu tak sedikit
penyandang disabilitas yang merasa terpinggirkan dan tidak diperhitungkan. Orang-
orang dengan keadaan disabilitas bukan lagi dianggap sebagai subjek, melainkan
telah dianggap sebagai objek yang berarti perlu mendapatkan perhatian dari
orangorang yang dianggap normal. Dengan kata lain, orang-orang yang dianggap
normal diharapkan memberi kesembuhan bagi penyandang disabilitas. Keadaan
disabilitas sendiri juga dianggap sebagai keadaan yang tidak beruntung. Keadaan
disabilitas itu juga yang memaksa penyandang disabilitas harus hidup secara pasif,

Dalam agama PL atau masa keagamaan Yahudi, terdapat konsep "tzedakah"


yang berarti memberi sumbangan untuk membantu orang yang membutuhkan.
Konsep ini juga mencakup memberikan bantuan dan dukungan kepada orang dengan
disabilitas untuk membantu mereka hidup mandiri dan merdeka. Dalam Talmud,
disebutkan bahwa semua orang diciptakan oleh Tuhan dengan kesetaraan yang sama
2
Joni Tada, Eareckson, Beyond Suffering Study Guide (California: Joni And Friends, 2012).
6

3
dan bahwa kita harus memperlakukan semua orang dengan cara yang adil dan baik.
Selain itu, ada beberapa contoh dalam Alkitab Ibrani tentang orang-orang dengan
disabilitas yang memainkan peran penting dalam sejarah agama Yahudi, seperti
Mefiboset, cucu Saul yang menjadi tuna netra. Dengan demikian, agama dan budaya
Yahudi memberikan pijakan yang kuat untuk memperlakukan orang dengan
disabilitas dengan cara yang baik dan menghargai mereka sebagai bagian integral dari
masyarakat.

Sejalan dengan itu ajaran Yesus Kristus juga sangat memperhatikan orang
yang lemah dan sakit, termasuk orang dengan disabilitas. Yesus banyak melakukan
penyembuhan kepada orang yang cacat, tuli, buta, bisu, dan lain sebagainya. Ajaran
Yesus mengajarkan bahwa setiap orang memiliki nilai yang sama di hadapan Tuhan,
dan bahwa kita harus memperlakukan semua orang dengan kasih dan penghargaan.
Salah satu contoh kisah dalam Alkitab tentang penyembuhan orang dengan disabilitas
adalah kisah mengenai orang buta dari kelahiran, seperti yang dicatat dalam Yohanes
pasal 9. Dalam kisah ini, Yesus menyembuhkan orang buta tersebut dan
memperlihatkan bahwa orang dengan disabilitas juga memiliki keberadaan yang
penting di hadapan Tuhan.

Yesus juga menunjukkan bahwa orang dengan disabilitas tidak harus


dipandang rendah atau diucilkan dari masyarakat, melainkan harus dihargai dan
diberikan kesempatan yang sama untuk berkembang. Selain itu, ajaran Yesus juga
mengajarkan pentingnya kasih sayang dan kepedulian kepada sesama, termasuk
kepada orang dengan disabilitas. Dalam Matius 25:31-46, Yesus mengajarkan bahwa
apa yang kita lakukan kepada sesama, terutama kepada orang yang membutuhkan,
sama halnya kita lakukan kepada Dia sendiri.

Oleh karena itu, kita harus menghormati dan membantu orang dengan
disabilitas agar mereka dapat hidup dengan martabat dan merdeka. Selain itu, ajaran
Yesus juga mengajarkan pentingnya kesabaran dan ketekunan dalam menghadapi
rintangan dan kesulitan hidup. Ajaran Yesus mengajarkan kita untuk selalu
memberikan dukungan dan bantuan kepada orang dengan disabilitas, serta membantu

4
mereka memperoleh kesempatan dan keadilan yang sama, kita harus menghormati
dan memperhatikan orang dengan disabilitas, serta memberikan dukungan dan
bantuan untuk memungkinkan mereka hidup dengan martabat dan merdeka, sejalan
dengan nilai-nilai kasih sayang, kepedulian, kesabaran, dan ketekunan yang diajarkan
oleh Yesus.

Ibrani 12 merupakan bagian dari surat kepada jemaat Ibrani yang membahas
tentang pentingnya ketekunan dan kesetiaan dalam mengikuti Kristus, serta bahaya
dari ketidaktaatan dan penyelewengan iman. Pasal ini juga memperingatkan tentang
bahaya akibat dari menolak belas kasihan Tuhan dan tidak saling memperhatikan
dalam persekutuan, berbicara tentang iman dan disiplin. Bagian ini juga mengandung
beberapa ayat yang dapat dihubungkan dengan pandangan tentang orang dengan
disabilitas. Dalam ayat 12:12-13, disebutkan "Sebab itu teguhkanlah tangan yang
lemah dan lutut yang goyah, dan jalan yang rata dibuatlah untuk kakimu, supaya
jangan yang lumpuh itu menyimpang, melainkan sembuh." Ayat ini mengajarkan kita
untuk membantu orang yang lemah dan goyah, termasuk orang dengan disabilitas,
agar mereka bisa merasa lebih kuat dan dapat berjalan dengan lancar. Dalam ayat
12:15, juga disebutkan, "Usahakanlah damai sejahtera dengan semua orang, dan
kesucian, yang tanpa itu tidak seorangpun akan melihat Tuhan." Pandangan ini
menekankan pentingnya saling menghargai dan menghormati satu sama lain,
termasuk orang dengan disabilitas, karena setiap orang memiliki nilai dan martabat
yang sama di hadapan Tuhan.3

Dari semua pandangan biblis dan konsep-konsep teoritis di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa memperhatikan dan menjadi perduli terhadap disabilitas adalah
tanggung jawab iman kepada Tuhan, bagaimana hal tersebut secara spesifik
dijelaskan dalam Ibrani 12: 12-15 adalah titik pembahasan dalam tulisan ini dalam
relasi lokus surat tersebut yang berkaitan dengan konsep persaudaraan dan saling
memperhatikan dalam gereja pada Ibrani 12: 12-15 dengan penekanan pada aspek
kepedulian terhadap disabilitas. Tulisan ini bertujuan untuk mengeksplorasi
3
Deky Hidnas Yan Nggadas, “Amanuensis, Inspirasi, dan Otoritas Surat-surat Paulus,”
dalam Jurnal Amanat Agung, Volume 5, Nomor 1, (2009): 91-115

5
pandangan teologis tentang kepedulian terhadap orang yang memiliki disabilitas
dalam konteks Ibrani 12:12-15. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi
implikasi praktis dari teologi ini dalam konteks gereja dan masyarakat.

I. RUMUSAN MASALAH
Adapun Rumusan masalah yang akan di elaborasi dalam tulisan ini adalah:

1. Bagaimana pandangan teologis tentang kepedulian terhadap disabilitas

dalam Ibrani 12:12-15 ?

2. Apa saja implikasi teologis tentang kepedulian terhadap disabilitas dalam

Ibrani 12:12-15 dalam konteks gereja dan masyarakat?

BAB II ISI

1. Memaknai Kepedulian dalam PL dan PB


Kepedulian dalam bahasa Ibrani berasal dari kata rhm yang umum digunakan
dalam semua bahasa Semit. Dalam bahasa Akkadia, kata ini bermakna "kasih sayang"
dan "rahim" dan dalam bahasa Ugaritik, kata ini digunakan sebagai kata kerja yang
bermakna "tunjukkan kasih sayang" atau sebagai kata sifat atributif yang bermakna
"penuh kasih sayang, penuh kasih". Dalam bahasa Aram Kuno, kata ini mungkin
merupakan partisip dan muncul dalam rumusan hukum dengan arti "keinginan".
Dalam bahasa Arab, rahima bermakna "kasihanilah, kasihanilah, ampunilah, lemah
lembutlah" dan kata sifat rahman dan rahim menunjukkan rahmat yang cuma-cuma
dan pahala Tuhan untuk perbuatan baik manusia. Kata rhm digunakan dalam banyak
bahasa Semit Selatan, seperti Tigress, Tiger, Harari, dan Ge'ez. Dalam bahasa Ibrani,
kata ini muncul dalam bentuk kata kerja Piel dan digunakan dengan objek yang
diperkenalkan oleh eṯ atau tanpa eṯ, serta dalam bentuk kata sifat atributif.4
4
Dahmen “rhm”dalam Theological Dictionary Of Old Testament Vol. XIII, Johannes G.
Botterweek (ed.), (Grand Rapids, Michigan : WM.B. Eerdmans Publishing Company, 2004),

6
Sementara itu dalam Perjanjian Baru, Kepedulian dalam bahasa Yunani, έλεος
(eleos), memiliki arti kasih sayang, belas kasihan, kasihan, dan penyayang. Dalam
Perjanjian Baru, eleos dan turunannya ditemukan sebanyak 78 kali, terutama dalam
tulisan-tulisan Paulus dan Lukas-Kisah. Penggunaan eleos dalam Perjanjian Baru
mencakup belas kasihan ilahi yang terwujud dalam realitas kesengsaraan manusia dan
belas kasihan manusia kepada manusia yang juga dimotivasi oleh kemurahan Tuhan.
Yesus Kristus dipanggil dengan gelar mesianik "Anak Daud" atau "Tuhan" dalam
seruan minta tolong yang memohon kasih sayang dan belas kasihan-Nya dalam
melayani dan menyembuhkan orang yang membutuhkan.5

2. Latarbelakang dan Penulisan Kitab Ibrani

Kitab dalam Perjanjian Baru yang dikenal sebagai Surat kepada Orang Ibrani
(Kitab Ibrani) adalah sebuah tulisan teologi dari masa awal kekristenan yang ditulis
dengan bahasa Yunani yang baik. Isi kristologi di dalamnya tergolong rumit.
Meskipun dinamakan surat, kitab ini tidak memiliki salam pembuka seperti pada
umumnya pada saat itu. Lebih tepatnya, kitab ini mirip khotbah yang berisi uraian
teologi yang penuh dengan teka-teki. Selain membahas keistimewaan Yesus dalam
konteks tradisi Yahudi, Surat kepada Orang Ibrani juga mengandung unsur filsafat
platonis.

Penulis surat ini tidak mencantumkan namanya sehingga tidak pasti siapa yang
menuliskannya. Pada awal-awal kekristenan hingga Abad Pertengahan, surat ini
diyakini ditulis oleh Rasul Paulus, meskipun tidak dimulai dengan namanya seperti
surat-surat Paulus lainnya. Namun, pandangan ini kehilangan banyak pendukungnya
karena beberapa alasan. 6

1. Pertama, gaya penulisan surat ini berbeda dengan gaya penulisan Rasul
Paulus.
hlm. 438
5
H.H. Esser “έλεοϛ”, dalam The New Testament Theology, Colin Brown vol. II (ed.) (Grand
Rapids, Michigan : Regency Publishing, 1971), hlm. 594
6
Louis Berkhof, Introduction to the New Testament (Michigan, Grand Rapids: 2004), 147

7
2. Kedua, terdapat keterangan dalam surat ini yang menunjukkan bahwa
penulisnya adalah seseorang yang menerima firman Kristus dari orang lain
(Ibrani 2:3), sementara Paulus sendiri mengaku sebagai saksi mata yang telah
melihat Yesus dan dengan demikian memiliki status yang sama dengan rasul-
rasul yang lain. Barnabas dan Apolos juga disebut sebagai kemungkinan
penulis surat ini, namun pandangan ini tidak didukung oleh bukti yang cukup.

Ada banyak spekulasi tentang latar belakang penulisan surat ini. Namun, menurut
Origenes, pemikiran-pemikiran dalam surat ini berasal dari Paulus, tetapi
penulisannya dilakukan oleh seorang murid rasul besar yang tidak disebutkan
namanya. Origenes, seorang teolog Kristen awal, meyakini bahwa ide-ide yang
diungkapkan dalam Surat kepada orang Ibrani berasal dari Paulus, meskipun dia tidak
dapat membayangkan Paulus menulis dengan gaya seperti yang terdapat dalam surat
tersebut.7 Origenes berpendapat bahwa salah satu murid Paulus menulis surat ini
dengan mengingat apa yang pernah dia dengar dari Paulus. Dengan demikian,
pandangan Origenes tidak bertentangan dengan keyakinan banyak orang di komunitas
Kristen bahwa surat ini ditulis oleh Paulus, karena Origenes sendiri mengutip Surat
kepada orang Ibrani sebagai salah satu tulisan Paulus. Meskipun banyak yang
meragukan bahwa Surat kepada orang Ibrani ditulis oleh tangan Paulus sendiri,
kesepakatan yang diyakini secara bersama oleh beberapa ahli yang Umumnya
disepakati bahwa bahkan meskipun jika penulisnya bukan Paulus, 8 gagasan-
gagasannya adalah miliknya.9

Surat Paulus kepada orang Ibrani adalah sebuah tulisan yang tidak memiliki
informasi yang jelas mengenai tempat dan waktu penulisannya. Meskipun demikian,
sebagian besar ahli berpendapat bahwa surat tersebut ditulis sekitar tahun 60-62
Masehi, pada saat yang sama dengan surat-surat Paulus yang lain seperti Filipi,
Kolose, Efesus, dan Filemon. Tujuan dari surat tersebut adalah untuk mendorong
7
Samuel Benyamin Hakh, Perjanjian Baru: Sejarah, Pengantar dan Pokok-pokok
Teologisnya (Jabar: Bina Media Informasi, 2010), 256.
8
Carl R. Holladay, A Critical Introduction to the New Testament (Nashville: Abingdon Press,
2005), 639
9
Louis Berkhof, Introduction to the New Testament (Michigan, Grand Rapids: 2004), 147

8
anggota Yahudi Gereja untuk mempertahankan iman mereka kepada Yesus Kristus
dan untuk tidak kembali ke jalan mereka terdahulu. Surat ini ditulis dalam konteks
tekanan berbagai kesengsaraan yang dialami oleh umat Kristen-Yahudi. Banyak
orang Kristen-Yahudi yang merasa terdesak dan akhirnya menarik diri dari Gereja
dan kembali pada keamanan relatif dari peribadatan orang Yahudi di sinagoge. Paulus
berusaha menunjukkan kepada mereka bahwa hukum Musa sendiri menunjuk kepada
Yesus Kristus dan bahwa hanya melalui Yesus Kristus, mereka dapat memperoleh
keselamatan yang sejati. Dengan demikian, surat Paulus kepada orang Ibrani dapat
dipandang sebagai sebuah tulisan yang bertujuan untuk:

1. Memperteguh iman umat Kristen-Yahudi dan menegaskan pentingnya


keselamatan melalui iman kepada Yesus Kristus.
2. Surat ini memberikan pandangan yang berbeda mengenai hukum Musa dan
3. Menunjukkan bahwa iman kepada Yesus Kristus adalah satu-satunya jalan
untuk memperoleh keselamatan yang sejati.

Penulis surat itu melihat para penerima dalam bahaya murtad dari iman Kristen
mereka. Bahaya ini disebabkan bukan oleh penganiayaan dari luar tetapi oleh
kelelahan dengan tuntutan kehidupan Kristen dan rasa acuh tak acuh yang semakin
berkembang terhadap panggilan mereka (Ibr 2: 1; 4:14; 6: 1-12; 10: 23-32). Tema
utama penulis, imam dan korban Yesus (Ibr 3–10), tidak dikembangkan untuk
tujuannya sendiri tetapi sebagai sarana untuk memulihkan semangat yang hilang dan
memperkuat iman mereka. Tema penting lain dari surat ini adalah ziarah umat Allah
ke Yerusalem surgawi (11:10; 12: 1-3, 18-29; 13:14). Tema ini terkait erat dengan
pelayanan Yesus di tempat kudus surgawi (Ibr 9: 11-10: 22). Penulis menyebut karya
ini sebagai "pesan penghiburan" (Ibr 13:22), sebutan yang diberikan kepada khotbah
sinagoge dalam Kisah Para Rasul 13:15. Oleh karena itu, Ibrani mungkin merupakan
homili tertulis, yang diakhiri dengan bentuk surat (Ibr 13: 22-25). Penulis dimulai
dengan mengingatkan tentang pra-keberadaan, inkarnasi, dan pengangkatan Yesus
(Ibr 1: 3) yang memproklamasikan dia sebagai klimaks dari Firman Allah kepada

9
umat manusia (Ibr 1: 1-3). Dia memusatkan perhatian pada martabat pribadi Kristus,
yang lebih unggul dari malaikat (Ibr 1: 4-2: 2).

Kristus adalah firman keselamatan Allah yang terakhir disampaikan (dalam


hubungannya dengan saksi-saksi terakreditasi untuk ajarannya: bandingkan Ibr 2: 3-
4) bukan hanya dengan kata-kata tetapi melalui penderitaannya dalam kemanusiaan
yang sama dengan dia dan semua orang lain (Ibr 2: 5-16). Pelaksanaan keselamatan
ini melampaui pola yang dikenal oleh Musa, nabi setia Firman Allah meskipun
demikian, karena Yesus sebagai Imam Besar menghapus dosa dan setia kepada Allah
dengan kesetiaan Anak Allah sendiri (Ibr 2: 17-3: 6). Sama seperti ketidaksetiaan
umat menghalangi usaha Musa untuk menyelamatkan mereka, ketidaksetiaan setiap
orang Kristen dapat menghalangi rencana Allah di dalam Kristus (3: 6-4: 13). Kristen
harus mempertimbangkan bahwa kemanusiaan mereka adalah apa yang Yesus ambil
di atas dirinya, dengan semua kekurangan yang ada kecuali kesalahan, dan bahwa dia
menanggung beban itu sampai mati karena ketaatan

BAB III

KEPEDULIAN TERHADAP DISABILITAS

(TINJAUAN TEOLOGIS IBRANI 12: 12-15)

1. Istilah disabilitas sebagai analogi untuk pertumbuhan spiritual Ibrani


12:12-13

Kematian, kebangkitan, dan kenaikan Yesus Kristus melahirkan gereja Kristen


pada Hari Pentakosta. Ribuan orang yang berpindah agama bergabung dengan para

10
rasul dan rekan-rekan awal mereka pada saat itu (Kis. 2:5, 41, 47). Pada akhirnya,
"sejumlah besar imam" (pasal 6:7) dan banyak dari "kelompok orang Farisi" (pasal
15:5) serta orang biasa bergabung dengan gerakan itu (pasal 4:4). Mereka semua
orang Yahudi, dan mereka menghadapi perlawanan yang hebat dari sesama bangsa
mereka di Yudea (1 Tes. 2:14; bandingkan dengan Ibr. 10:32, 33). Karena mereka
berdiri di persimpangan antara dua zaman yang besar, sulit bagi banyak orang Kristen
Ibrani ini untuk melepaskan diri sepenuhnya dari Bait Allah dan ibadah yang
ditentukan. Tampaknya mereka tidak merasakan bahwa tipe telah bertemu dengan
antitipe dalam penampakan Kristus, kematian penebusan-Nya, dan pelayan imamat-
Nya di surga (Mat. 27:50, 51).

Saat gereja dengan cepat memperbesar jumlahnya dalam misi baru untuk orang-
orang bukan Yahudi, beberapa orang Kristen Ibrani mendorong perlunya partisipasi
mereka dalam ritual-rutin Mosaik. Bukti internal. Saat krisis mengerikan dalam
sejarah Yahudi semakin dekat, Surat Ibrani menunjukkan bahwa kondisi rohani
banyak orang Kristen Ibrani mengalami penurunan yang serius. Secara bertahap
kehilangan keyakinan dalam janji Tuhan.

Penulis terus menggunakan istilah atletik sebagai analogi untuk pertumbuhan


spiritual. Pada ayat sebelumnya, ia menyebutkan bahwa disiplin Tuhan adalah
sesuatu yang diharapkan untuk "berlomba-lomba" dalam perlombaan yang
ditugaskan oleh Allah (Ibrani 12:1). Ayat sebelumnya menyebutkan bagaimana
pertumbuhan spiritual datang melalui "pelatihan," dan menggunakan istilah Yunani
yang khusus terkait dengan latihan yang sangat berat (Γεγυμνασμένοις). Di sini, kita
melihat kata-kata yang dengan mudah bisa diucapkan kepada seorang atlet oleh
pelatihnya. Secara spiritual, bagian ini mendorong orang Kristen untuk terus maju
melalui kesulitan. Pengalaman-pengalaman itu tentu sangat menyakitkan pada saat itu
(Ibrani 12:11), tetapi setelah kita melewatinya, kita bisa melihat bagaimana Allah
menggunakan pergumulan itu untuk "melatih" kita.

γεγυμνασμένοις adalah bentuk kata kerja Yunani γυμνάζω (gymnazo), yang


berarti "berolahraga" atau "melatih." Bentuk γεγυμνασμένοις adalah bentuk partisip

11
pasif perfek dalam bentuk jamak datif. Tense perfek dalam bahasa Yunani
menunjukkan tindakan yang telah selesai dengan hasil yang berkelanjutan, sehingga
γεγυμνασμένοις menyiratkan bahwa orang yang dirujuk telah dilatih atau digembleng
di masa lalu, dan sebagai hasilnya, sekarang berada dalam keadaan terlatih atau
digembleng. Suara pasif menunjukkan bahwa subjek dari kata kerja adalah penerima
tindakan. Dalam hal ini, orang yang dirujuk adalah penerima pelatihan atau olahraga.
Akhirnya, bentuk jamak datif menunjukkan bahwa orang yang dirujuk adalah objek
tidak langsung dari kata kerja. Dalam konteks Ibrani 5:14, penulis merujuk kepada
orang Kristen yang sudah dewasa dan telah dilatih melalui praktik untuk
membedakan antara yang baik dan yang jahat.10

Selanjutnya Ibrani ayat ke-12 dimulai dengan konjungsi inferensial διό (sebab
itu), yang dalam hal ini mengaitkan kekhawatiran gereja yang akan menjadi lelah
karena disiplin, mereka harus dikuatkan untuk berlomba. Instruksi praktis dari ayat
12: 12-15 memberikan kejelasan yang lebih besar untuk "melepaskan setiap beban
dan dosa" (12: 1). Mereka harus mengejar perdamaian dan kekudusan serta
menghindari pahit, kebejatan seksual, dan ketidakberagaman supaya mereka tidak
menjadi seperti Esau, ia menukarkan sukacita yang tertunda dari janji itu untuk
kenikmatan sensual sesaat. Meskipun dia kemudian menyesal atas pilihannya, tidak
ada kesempatan untuk bertobat (12: 16-17).

Dalam konteks Kitab Ibrani pasal 12: 12-15, penulis sedang menghadapi
komunitas orang percaya yang menghadapi berbagai tantangan dan kesulitan yang
membuat mereka menjadi lemah secara spiritual. Ia menggunakan frasa konotatif
selain dengan istilah olahraga diatas juga menggunakannya dengan keadaan fisik

10
Merrill C. Tenney, Survey Perjanjian Baru (Malang: Gandum Mas, 1995), 443

12
seperti (χεῖρας) tangan11 dan (γόνατα) lutut12 yang lemah. Bentuk kata "χεῖρας" terdiri
dari dua unsur, yaitu "χεῖρ" yang berarti "tangan" dan akhiran bentuk jamak maskulin
-as. Kata ini merupakan bentuk jamak dari kata "χείρ" yang dapat berarti "tangan"
atau "lengan".

Dalam konteks kitab Ibrani, kata ini sering kali digunakan untuk merujuk pada
kekuatan, kekuasaan, atau usaha seseorang (misalnya "tangan Allah" atau
"menggenggam tangan kuat"). Dalam bentuk jamak, "χεῖρας" merujuk pada dua
tangan atau kedua belah tangan. Dalam teks Ibrani, kata ini sering kali digunakan
secara metaforis untuk merujuk pada usaha atau pekerjaan seseorang (misalnya
"mengerjakan tanganmu sendiri"). Sementara Kata γόνατα dalam bahasa Yunani
adalah bentuk jamak dari kata γόναθος (gonathos) yang berarti "lutut". Bentuk jamak
dari kata ini adalah γόνατα (gonata). Kata ini merupakan kata benda maskulin jamak
dalam bahasa Yunani dan dipakai sebagai bentuk jamak dari kata γόναθος.

Sepanjang kitab, penulis mendorong mereka untuk teguh dalam iman mereka dan
bertahan di tengah tantangan tersebut. Penulis ingin memberi semangat kepada
komunitas dengan mengingatkan mereka tentang posisi superior mereka dalam
sejarah penyelamatan.13

Penulis kemudian mendorong para pembaca untuk mengikuti contoh Yesus dan
bertahan dalam ujian dan kesulitan mereka sendiri. Pada ayat 12-13, penulis
menyimpulkan eksortasi ini dengan mendesak para pembaca untuk "menguatkan"
tangan dan lutut yang lemah mereka dan "membuat jalan yang lurus" bagi kaki
11
Bentuk kata "χεῖρας" terdiri dari dua unsur, yaitu "χεῖρ" yang berarti "tangan" dan akhiran
bentuk jamak maskulin -as. Kata ini merupakan bentuk jamak dari kata "χείρ" yang dapat
berarti "tangan" atau "lengan". Dalam konteks Ibrani, kata ini sering kali digunakan untuk
merujuk pada kekuatan, kekuasaan, atau usaha seseorang (misalnya "tangan Allah" atau
"menggenggam tangan kuat"). Dalam bentuk jamak, "χεῖρας" merujuk pada dua tangan atau
kedua belah tangan. Dalam teks Ibrani, kata ini sering kali digunakan secara metaforis untuk
merujuk pada usaha atau pekerjaan seseorang (misalnya "mengerjakan tanganmu sendiri").
12
Kata γόνατα dalam bahasa Yunani adalah bentuk jamak dari kata γόναθος (gonathos) yang
berarti "lutut". Bentuk jamak dari kata ini adalah γόνατα (gonata). Kata ini merupakan kata
benda maskulin jamak dalam bahasa Yunani dan dipakai sebagai bentuk jamak dari kata
γόναθος.
13
Bnd. Donald Guthrie, Pengantar Perjanjian Baru, Volume 3, terj. Hendry Ongkowidjojo
(Surabaya: Momentum, 2010), 2-3. (1961).

13
mereka. Bahasa ini menunjukkan bahwa para pembaca mengalami kelelahan atau
kelesuan secara spiritual kata itu bukan bermakna denotative sama sekali, kelemahan
merujuk pada keadaan/ kondisi diperbarui dan dikuatkan dalam iman mereka. Dengan
mendesak mereka untuk "membuat jalan yang lurus", penulis mungkin juga mengacu
pada perlunya para pembaca untuk menghindari gangguan dan godaan yang dapat
menjauhkan mereka dari iman mereka. "agar yang lumpuh tidak terpelecok (dalam
bahasa asli lebih baik diterjemahkan: agar yang terkilir tidak sepenuhnya keluar dari
persendian, tetapi justru sembuh) Kata kerja ἐκτραπῇ dapat berarti "dialihkan dari
jalan yang benar," seperti dalam 1 Timotius 1:6; 1 Timotius 5:15; 2 Timotius 4:4;
tetapi karena ini adalah istilah teknis untuk "terkilir," atau "pergeseran," mungkin
memiliki makna sendiri bagi penulis di sini, terutama karena penulis telah
menggunakan istilah olahraga dalam ayat sebelumnya, dan memiliki metafora
"penyembuhan" dalam pikirannya. Dalam penlitian analisis semantic dalam kitab
ibrani oleh Nuansa Purba dalam penelitiannya yang berjudul “An Analysis of
Figurative Expression on The Holy Bible In The Book Of Hebrew” dituliskan
demikian:

“It is clear that the data, the real meaning is not taking from /the
lexical meaning of its sentence. If we interprete the verse literally,
it means that some one has to make the way he walks by feet must
be straight and not to turn to the other destination because the
meaning of the word path in the Oxford Dictionary is way or
track made by people walking’. This literally meaning will not
suit with its context, so we have to interpret it figuratively.
Figuratively, the sentence is also a suggestion to the people. They
should live the way of God wants if they want to recieve the God’s
grace and salvation. The phrase ‘path for your feet’ does not only
mean as its literal time in the world until God call them of the end
of the world comes. So, it is suitable that the writer classifies it
into synecdoche because the verse represents a wider meaning
that it is literal meaning.”

14
Jelas bahwa maknanya yang sebenarnya tidak diambil dari makna leksikal
kalimatnya. Jika kita menafsirkan ayat tersebut secara harfiah, itu berarti seseorang
harus membuat jalannya dengan kaki harus lurus dan tidak berbelok ke arah lain
karena makna kata "path" dalam Kamus Oxford adalah jalan atau jejak yang dibuat
oleh orang-orang yang berjalan. Makna harfiah ini tidak cocok dengan konteksnya,
sehingga kita harus menafsirkannya secara kiasan. Secara kiasan, kalimat tersebut
juga merupakan saran bagi orang-orang. Mereka harus menjalani jalan yang
diinginkan Tuhan jika ingin menerima kasih karunia dan keselamatan Tuhan. Frasa
"path for your feet" tidak hanya berarti seperti maknanya secara harfiah di dunia ini
sampai Tuhan memanggil mereka atau akhir zaman tiba. Oleh karena itu, tepat jika
penulis mengklasifikasikannya sebagai sinekdoke karena ayat tersebut mewakili
makna yang lebih luas daripada makna harfiahnya.14

2. Nasihat mengejar pembaruan spiritual dan solidaritas sosial terhadap


disabilitas dalam Ibrani 14-15

Secara keseluruhan, ayat-ayat ini mengandung makna konotatif sebagai ajakan


untuk bertindak bagi para pembaca, mendorong mereka untuk secara aktif mengejar
pembaruan spiritual dan untuk tetap teguh dalam iman mereka meskipun menghadapi
tantangan yang mereka hadapi dengan apa yang disarankan pada ayat 14- 15
Berusahalah hidup damai dengan semua, mengerjakan kekudusan, tidak menjauhkan
diri dari kasih karunia Allah, tidak menimbulkan kerusuhan dan tidak mencemarkan
banyak orang.

Setelah memaparkan pembahasan di atas maka agaknya secara sekilas pandang


kita tidak dapat menemukan aspek spesifik (konkret) yang bersinggungan secara
langsung kepada himbauan akan kepedulian terhadap disabilitas dalam nats ini secara
harafiah sebab makna yang terkandung di belakang adalah kata metaphor yang
14
Samuel, David, and H Silalahi, ‘An Analysis of Figurative Expressions in the Holy
Bible: John a Thesis’, 2017

15
digunakan penulis untuk menunjuk keadaan yang menghadapi berbagai tantangan dan
kesulitan yang membuat mereka menjadi lemah secara spiritual tidak merujuk pada
kelompok disabilitas secara fisik secara langsung namun untuk menunjukkan situasi
yang melemahkan15

Namun apabila kita membaca dengan perspektif disabilitas dengan mencermati


Pandangan teologis di atas terhadap disabilitas dalam konteks ini dapat diartikan
sebagai panggilan untuk menguatkan dan membantu mereka yang memiliki kesulitan
termasuk kondisi disabilitas, keterbatasan agar tetap beriman. Hal ini dapat dianggap
sebagai panggilan moral dan sosial untuk memperjuangkan hak-hak disabilitas, dan
memberikan dukungan fisik, emosional, dan spiritual bagi mereka yang
membutuhkan.16

Dalam ajaran ini solidaritas Kristen (bdk Ibrani 10:24), kepedulian terhadap
orang yang lemah dan membutuhkan merupakan salah satu nilai yang dijunjung
tinggi. Dalam seluruh surat-surat Paulus, ia menekankan pentingnya mengasihi
sesama dan memperjuangkan dan memperhatikan bagi keadilan dan kondisi social
serta spiritual yang baik bagi semua orang, termasuk disabilitas. Oleh karena itu,
dapat dikatakan bahwa pandangan teologis terhadap disabilitas adalah untuk
membantu mereka dalam mengatasi keterbatasan mereka dan memungkinkan mereka
untuk hidup secara mandiri dan bermartabat. Dalam konteks Ibrani 12, panggilan
untuk "kuatkan tangan yang lemah dan lutut yang goyah" dapat diartikan sebagai
panggilan untuk memperkuat dan mendukung mereka yang memiliki keterbatasan
spiritual oleh berbagai kondisi termasuk kondisi fisik atau mental. Lalu, "luruskanlah
jalan kaki kamu, supaya yang pincang jangan tergelincir, melainkan sembuh" dapat
diartikan sebagai panggilan untuk memberikan dukungan dalam mencapai tujuan
hidup, membantu mereka untuk bergerak maju dan meraih kesembuhan, baik secara
fisik maupun spiritual. Dalam ajaran agama Kristen, setiap orang dianggap sama di
15
Carl R. Holladay, A Critical Introduction to the New Testament (Nashville: Abingdon
Press, 2005), 639
16
Carl R. Holladay, A Critical Introduction to the New Testament (Nashville: Abingdon
Press, 2005), 640 bnd. Ibrani 10: 24” Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita
saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik.”

16
hadapan Tuhan, dan semua orang memiliki hak yang sama untuk diperlakukan
dengan martabat dan keadilan.

Istilah disability adalah istilah modern yang tidak mempunyai kesejajaran


dengan bahasa kuno seperti Ibrani dan Yunani di alkitab. Dialkitab kita membaca
tentang orang yang buta. Tuli, lumpuh dan juga orang yang luka semuanya pada
zaman sekarang kita sebut orang yang difabel, dan orang yang mempunyai kelainan
mental disebut difabel. Jadi, istilah difabel adalah istilah modern yang dibangun atas
pengertian modern terhadap orang-orang difabel sebagai kelompok orang yang
membutuhkan kebutuhan khusus oleh karena perbedaan fungsi fisik atau mental.17

Dari sudut pandang alkitab setiap orang tanpa terkecuali (termasuk


penyandang difabel) adalah gambar dan citra Allah. Maka segala kekurangan yang
terdapat dalam diri manusia, bukanlah penghalang bagi mereka untuk menjadi
gambar dan rupa Allah yang seutuhnya. Gereja seharusnya menerapkan konsep
Alkitab ini dalam memandang manusia sebagai gambar dan citra Allah seutuhnya.
Gereja seharusnya menerapkan konsep Alkitab ini dalam memandang manusia
sebagai gambar dan citra Allah: baik cacat atau sehat, miskin atau kaya, sama sama
dapat menjadi penatalayan di bumi untuk mendukung kehidupan menjadi lebih baik.
Maka segala bentuk diskriminasi terhadap orang cacat tentu sangatlah menyakitkan
hati Tuhan sebagai pencipta karan prbuatan itu berarti merusak gambar dan rupa
Allah. Tubuh manusia dengan segala keberadaan adan keterbatasannya tidak
dianggap sebagai penghalang hubungannya dengan Allah, hubungan manusia dengan
sesama, dan manusia dengan alam sekitar.18

Dalam Alkitab ibrani tidak terdapat istilah paralel dari kata difabel secara
tepat, hanya saja kata cacat jasmani atau ketidak mampuan yang mengarah kepada
kelompok ini dalam Perjanjian Lama diartikan sebagai defects. 19 Dalam Perjanjian
17
Arne Fritzon,”People With disability in the Bible: Who are they and what can we learn
from them?” (Leicester: Intervarsity Press, 1992), hlm. 300
18
Petrus Pardede,Tanggungjawab Manusia Sebagai Imagodei, Maj.IMMANUEL, vol:112,
no.7(Tapanuli Utara: HKBP 2002), hlm. 31-34
19
Saul M. Olyan, Disability In The Hebrew Bible. (Amerika, Cambrigde University Press,
2008), hlm. 1

17
Lama, difabel dialami sebagai tanda kelemahan dan sekaligus dipahami sebagai
sesuatu yang terikat dengan dosa. Perjanjian Lama terlihat bersikap diskriminasi
terhadap penyandang difabel dengan menyebut bahwa mereka tidak dapat mengikuti
kelompok imam (Imamat 21:17-21). Orang cacat, sakit, kerasukan roh jahat dianggap
tidak mengambil bagian dalam berkat Allah perjanjian Allah umat Israel, (Imamat
21:18-20, Ulangan 23:1-2, Imamat 20:27 ; 13:45-46).20 Dengan demikian pada
konteks Perjanjian Lama, orang Cacat selalu didiagnosa serta diawali dengan
pernyataan apa dan siapa yang berdosa, Difabel merupakan hukuman atas perbuatan
yang salah atau berdosa kepada Allah.21

Perjanjian Baru menyebutkan disability itu antara lain adalah, orang tuli yang
tidak mampu berbicara dan mendengar (Markus 7:23), dan ada juga yang tuli untuk
sementara (Lukas 1:20). Lumpuh adalah istilah umum bagi tubuh yang lemah dan
cacat (Johannes 5:5 ; 1Timotius 5:23), sakit lepros atau kusta merupakan sakit kulit
yang sangat ditakuti oleh orang-orang di zaman Alkitab karena mereka akan diisolasi
disituasi tertentu (Lukas 5:18), ada juga orang yang mati sebelah tangannya (Matius
12:10). Orang pada zaman Alkitab menghubungkan kebajikan dengan kebaikan fisik.
Pandanga umum terhadap disability adalah bahwa penyakit dikirim Allah sebagai
hukuman karena dosa (Ulangan 32:39 ; John 9:2). Beberapa dari disability itu juga
diyakini akibat kerasukan roh (Markus 9:17). Tetapi memang Yesus datang
membawa kerajaan Allah sehingga orang yang disability diterima dan bisa
disembuhkan.

Dalam Surat Ibrani, Penulis menggunakan banyak kata yang memiliki arti kasih
karunia. Dalam Surat Ibrani 12:15, “Jagalah supaya jangan ada seorangpun
menjauhkan diri dari kasih karunia Allah”  arti dari kasih karunia tersebut adalah
bahwa Yesus Kristus mengalami penderitaan dan kematian. Kasih karunia Allah ini
terkait erat dengan penderitaan Yesus, yang bertujuan untuk menjadi penyelamat bagi

20
Nancy L. Eisland, Theology of the Disable God; Toward A Liberatory Disability (Nashvile;
Abingdon Press, 1994),hlm. 73-74
21
Ibid., hlm. 80

18
orang-orang yang percaya kepada-Nya. Bandingkan pada bagian yang lain Ibrani 2: 9
juga disinggung tentang pemaknaan kasih karunia Allah.22

Pada bagian ini penulis akan menyoroti pemaknaan kasih karunia Allah dalam
bingkai pembacaan disabilitas terhadap Ibrani 12: 12-15. Prinsip tentang keselamatan
yang dikerjakan Yesus dapat dilihat dari Alkitab bahwa keilahian Kristus adalah bukti
hakikat pribadi-Nya. Yesus Kristus menjadi pribadi manusia untuk menyatakan
kuasa-Nya dan keilahian-Nya bagi setiap umat-Nya agar manusia diselamatkan. 23
Keselamatan ini merupakan rancangan anugerah dari Allah sejak manusia jatuh
dalam dosa (lih. Kej. 3:1-24). Selain anugerah Allah, keselamatan ini diberikan
kepada semua manusia yang percaya kepadaNya dan tidak hanya terbatas kepada
golongan tertentu saja.

3. Implikasi teologis tentang kepedulian terhadap disabilitas dalam Ibrani


12:12-15 dalam konteks gereja dan masyarakat

Yesus menyatakan diri dan hadir untuk orang orang yang berdosa yang
memerlukan keselamatan (lih. Luk.5:31). Keselamatan yang Yesus tawarkan adalah
keselamatan rohani. Pada saat Yesus hadir ke dunia, orang Yahudi dengan keras
menolak Yesus dan tidak percaya bahwa Dia adalah Mesias, dikarenakan
pengharapan akan mesias berhenti kepada Mesias politik dan hal hal yang bersifat
jasmani, sedangkan Yesus hadir menawarkan hal hal yang bersifat rohani. Keadaan
fisik manusia pada waktu itu tidak berubah, mereka tetap ada dalam penjajahan
romawi secara fisik. Namun, mereka terbebas dari dosa karena Yesus yang

22
Bnd Ibrani 2: 9” “Tetapi Dia, yang untuk waktu yang singkat dibuat sedikit lebih rendah
dari pada malaikat-malaikat, yaitu Yesus, kita lihat, yang oleh karena penderitaan maut,
dimahkotai dengan kemuliaan dan hormat, supaya oleh kasih karunia Allah Ia mengalami
maut bagi semua manusia.”
23
R. C. Sproul, Kebenaran-Kebenaran Dasar Iman Kristen (Malang: Literatur Saat, 2005),
159.

19
memberikan keselamatan melalui salib. Apabila dikaitkan dengan kaum disabilitas,
secara fisik kondisi kaum disabilitas tidak berubah. Mereka ada dalam kondisi
mereka, namun mereka mengalami dan menerima keselamatan secara rohani.
Keselamatan rohani mereka tidak dipengaruhi keadaan fisik mereka, namun karena
iman percaya mereka kepada Yesus. Hal ini tentu saja sebuah pengharapan dan
penghiburan, bahwa seluruh manusia termasuk kaum disabilitas, menerima
keselamatan dari Tuhan. Dari bagian ini dapat diambil kesimpulan bahwa kepedulian
terhadap orang yang disabilitas sebagai panggilan moral dan sosial untuk
memperjuangkan hak-hak disabilitas, dan memberikan dukungan fisik, emosional,
dan spiritual bagi mereka yang membutuhkan. Allah menciptakan alam semesta dan
hadir dalam setiap aspek kehidupannya, termasuk dalam kehidupan kaum disabilitas.
Oleh karena itu, pelayanan untuk kaum disabilitas harus diperhatikan dengan
sungguh-sungguh. Gereja harus memandang kaum disabilitas sebagai ciptaan Tuhan
yang maha sempurna dan melihat kehadiran Tuhan dalam kehidupan mereka. Untuk
mewujudkan ini, gereja harus memberikan pelayanan yang sama antara kaum
disabilitas dan non-disabilitas, baik dalam pelayanan rohani maupun pelayanan fisik
seperti memberikan aksesibilitas bagi kaum disabilitas di fasilitas umum, termasuk
gereja.

BAB IV PENUTUP

Ibrani 12 adalah salah satu Pasal dalam Perjanjian Baru di Alkitab yang ditulis
oleh pengarang yang tidak diketahui. Pasal ini membahas tentang iman dan kesetiaan
dalam hidup beragama. Tidak ada topik khusus tentang pandangan disabilitas dalam
Ibrani 12: 12-15 meskipun diungkapkan kata yang secara harafiah dapat dimaknai/
mengindikasi kondisi disabilitas dalam Ibrani 12:12-15. Dalam konteks Kitab Ibrani
pasal 12: 12-15, penulis sedang menghadapi komunitas orang percaya yang
menghadapi berbagai tantangan dan kesulitan yang membuat mereka menjadi lemah
secara spiritual. Ia menggunakan frasa konotatif selain dengan istilah olahraga diatas

20
juga menggunakannya dengan keadaan fisik seperti (χεῖρας) tangandan (γόνατα) lutut
yang lemah. Bentuk kata "χεῖρας" terdiri dari dua unsur, yaitu "χεῖρ" yang berarti
"tangan" dan akhiran bentuk jamak maskulin -as. Kata ini merupakan bentuk jamak
dari kata "χείρ" yang dapat berarti "tangan" atau "lengan".

Dalam konteks kitab Ibrani, kata ini sering kali digunakan untuk merujuk pada
kekuatan, kekuasaan, atau usaha seseorang (misalnya "tangan Allah" atau
"menggenggam tangan kuat"). Dalam bentuk jamak, "χεῖρας" merujuk pada dua
tangan atau kedua belah tangan. Dalam teks Ibrani, kata ini sering kali digunakan
secara metaforis untuk merujuk pada usaha atau pekerjaan seseorang (misalnya
"mengerjakan tanganmu sendiri"). Sementara Kata γόνατα dalam bahasa Yunani
adalah bentuk jamak dari kata γόναθος (gonathos) yang berarti "lutut". Bentuk jamak
dari kata ini adalah γόνατα (gonata). Kata ini merupakan kata benda maskulin jamak
dalam bahasa Yunani dan dipakai sebagai bentuk jamak dari kata γόναθος.

Selanjutnya apabila ayat 14-15 dihubungkan dengan pembacaan disabilitas


dengan Ibrani 10:24 dapat diartikan sebagai panggilan untuk menguatkan dan
membantu mereka yang memiliki kesulitan termasuk kondisi disabilitas, keterbatasan
agar tetap beriman. Hal ini dapat dianggap sebagai panggilan moral dan sosial untuk
memperjuangkan hak-hak disabilitas, dan memberikan dukungan fisik, emosional,
dan spiritual bagi mereka yang membutuhkan.24

Dalam ajaran ini solidaritas Kristen (bdk Ibrani 10:24), kepedulian terhadap orang
yang lemah dan membutuhkan merupakan salah satu nilai yang dijunjung tinggi.
Dalam seluruh surat-surat Paulus, ia menekankan pentingnya mengasihi sesama dan
memperjuangkan dan memperhatikan bagi keadilan dan kondisi social serta spiritual
yang baik bagi semua orang, termasuk disabilitas.

Pemaknaan Dalam konteks seluruh kitab Ibrani, nilai inklusivitas dan


penghormatan terhadap orang-orang yang memiliki kebutuhan khusus sangat penting

24
Carl R. Holladay, A Critical Introduction to the New Testament (Nashville: Abingdon
Press, 2005), 640 bnd. Ibrani 10: 24” Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita
saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik.”

21
dengan mencermati Pandangan teologis dalam konteks ini dapat diartikan sebagai
panggilan untuk menguatkan dan membantu mereka yang memiliki kesulitan
termasuk kondisi disabilitas, keterbatasan agar tetap beriman. Sehingga dalam
pembacaan terhadap disabilitas Hal ini dapat dianggap sebagai panggilan moral dan
sosial orang percaya untuk memperjuangkan hak-hak disabilitas, dan memberikan
dukungan fisik, emosional, dan spiritual bagi mereka yang membutuhkan. Yang
dihubungkan dengan karunia Allah yang egaliter bahwa setiap orang memiliki
martabat yang sama di depan Tuhan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa
dalam konteks keseluruhan kitab Ibrani 12:12-15, pandangan disabilitas adalah
inklusif dan menghormati setiap orang sebagai ciptaan Tuhan.

DAFTAR PUSTAKA

Arne Fritzon,”People With disability in the Bible: Who are they and what can

we learn from them?” (Leicester: Intervarsity Press, 1992), hlm. 300

Carl R. Holladay, A Critical Introduction to the New Testament (Nashville:

Abingdon Press, 2005), 639

Carl R. Holladay, A Critical Introduction to the New Testament (Nashville:

Abingdon Press, 2005), 639

22
Dahmen “rhm”dalam Theological Dictionary Of Old Testament Vol. XIII,

Johannes G. Botterweek (ed.), (Grand Rapids, Michigan : WM.B.

Eerdmans Publishing Company, 2004), hlm. 438

Deky Hidnas Yan Nggadas, “Amanuensis, Inspirasi, dan Otoritas Surat-surat

Paulus,” dalam Jurnal Amanat Agung, Volume 5, Nomor 1, (2009): 91-

115

Deky Hidnas Yan Nggadas, “Amanuensis, Inspirasi, dan Otoritas Surat-surat

Paulus,” dalam Jurnal Amanat Agung, Volume 5, Nomor 1, (2009): 91-

115

Donald Guthrie, Pengantar Perjanjian Baru, Volume 3, terj. Hendry

Ongkowidjojo (Surabaya: Momentum, 2010), 2-3. (1961).

Donny Paskah Martianus Siburian, ‘Agama Kristen Dan Hoax: Peran Agama

Kristen Dalam Menekan Hoax’, BIA’: Jurnal Teologi Dan Pendidikan

Kristen Kontekstual, Volume 4, Nomor 2 (2021): 226-237.

<https://doi.org/10.34307/b.v4i2.257>.

H.H. Esser “έλεοϛ”, dalam The New Testament Theology, Colin Brown vol. II

(ed.) (Grand Rapids, Michigan : Regency Publishing, 1971), hlm. 594

Joni Tada, Eareckson, Beyond Suffering Study Guide (California: Joni And

Friends, 2012). 6

23
Louis Berkhof, Introduction to the New Testament (Michigan, Grand Rapids:

2004), 147

Merrill C. Tenney, Survey Perjanjian Baru (Malang: Gandum Mas, 1995), 443

Nancy L. Eisland, Theology of the Disable God; Toward A Liberatory

Disability (Nashvile; Abingdon Press, 1994),hlm. 73-74

Petrus Pardede,Tanggungjawab Manusia Sebagai Imagodei, Maj.IMMANUEL,

vol:112, no.7(Tapanuli Utara: HKBP 2002), hlm. 31-34

R. C. Sproul, Kebenaran-Kebenaran Dasar Iman Kristen (Malang: Literatur

Saat, 2005), 159.

Samuel Benyamin Hakh, Perjanjian Baru: Sejarah, Pengantar dan Pokok-

pokok Teologisnya (Jabar: Bina Media Informasi, 2010), 256.

Samuel, David, and H Silalahi, ‘An Analysis of Figurative Expressions in the

Holy Bible: John a Thesis’, 2017

Saul M. Olyan, Disability In The Hebrew Bible. (Amerika, Cambrigde

University Press, 2008), hlm. 1

Sproul, R. C. Kebenaran-Kebenaran Dasar Iman Kristen (Malang: Literatur

Saat, 2005), 159.

24
25

Anda mungkin juga menyukai