SURAT PERNYATAAN
Nomor: 5025/JP/FIP.UPTT/IV/2022
Saya yang bertandatangan di bawah ini Tim Redaksi Jurnal Pendidikan dan Konseling
Universitas Tambusai dengan Nomor ISSN 2658-936X (print) dan No. ISSN 2685-9351
(online). Dengan ini menyatakan bahwa artikel dengan judul :
Editor iChief,
Astuti, M.Pd
E-ISSN: 2685-936X (print) Halaman 5921-5935
P-ISSN: 2685-9351 (online) Volume 4 Nomor 6 Tahun 2022
Abstrak
Bilamana pemerintah mengambil langkah untuk mengintervensi pihak-pihak yang melempar isu
primordialisme tersebut, maka dengan cepat pemerintah akan dicap sebagai sosok yang otoriter dan
tidak merangkul aspirasi politik rakyatnya. Padahal, jika ditinjau kembali akar masalahnya, terlihat bahwa
tidak sedikit oknum – yang memiliki agenda khusus – yang berlindung dibalik payung demokrasi. tulisan
ini akan bergulat dengan masalah yang sebenarnya menjadi concern bidang keilmuan lain diluar teologi.
Konten dalam tulisan ini akan cenderung terlihat mengarah kepada diskursus filsafat politik dan memiliki
cakupan pembahasan yang juga cenderung meluas. Namun, saya akan mempertahankan tulisan ini tetap
dalam koridor diskursus teologi dengan menandaskan bahwa teologi memiliki ruang untuk mengkritisi
dan bahkan memberi sumbangsih yang positif bagi dunia politik masa kini.
Kata Kunci: pendidikan politik; emansipasi politik; pancasila; demokrasi
Abstract
If political exchange is allowed to continue, it will certainly harm many parties, both the government and
society. If the government takes steps to intervene with those who raised the issue of primordialism, then
the government will quickly be branded as an authoritarian figure and does not accommodate the political
aspirations of its people. In fact, if we review the root of the problem, it can be seen that there are not a
few individuals – who have special agendas – who take refuge under the umbrella of democracy. This
paper will grapple with problems that are actually of concern to other scientific fields outside of theology.
The content in this paper will tend to lead to political philosophy discourses and have a wider scope of
discussion. However, I will keep this paper within the line of theological discourse by emphasizing that
theology has room to criticize and even make a positive contribution to today's political world.
Keywords: political education; political emancipation; Pancasila; democracy
PENDAHULUAN
Berbicara tentang percaturan politik di Indonesia hari ini, boleh dikatakan sedang dalam
suasana yang kurang kondusif bagi stabilitas negara. Pasalnya, isu agama dan primordialisme
kerap kali dilempar oleh kaum mayoritas sebagai tameng untuk mengukuhkan posisi dan
idealisme mereka di negara yang “katanya” menganut sistem demokrasi.1 Isu primordialisme ini –
sadar tidak sadar – menjadi bahaya laten bagi stabilitas negara. Berkaca pada kasus di negara
seperti Iraq dan Suriah, kedua negara ini mengalami konflik karena dipengaruhi bukan hanya
agenda politik semata, melainkan isu agama yang diracik sedemikian rupa menjadi sebuah bola
panas yang menguntungkan pihak yang memainkannya.
Percaturan politik semacam ini jika dibiarkan terus-menerus berlangsung tentu akan
merugikan banyak pihak, baik itu pemerintah maupun masyarakat. Bilamana pemerintah
mengambil langkah untuk mengintervensi pihak-pihak yang melempar isu primordialisme
tersebut, maka dengan cepat pemerintah akan dicap sebagai sosok yang otoriter dan tidak
merangkul aspirasi politik rakyatnya. Padahal, jika ditinjau kembali akar masalahnya, terlihat
bahwa tidak sedikit oknum – yang memiliki agenda khusus – yang berlindung dibalik payung
demokrasi.2 Beranjak dari titik ini, kita diperhadapkan dengan beberapa pertanyaan mendasar:
“Apakah benar dengan membawa ideologi demokrasi, kita dapat menyampaikan aspirasi sebebas-
bebasnya?” “Ideologi demokrasi macam apa yang sebenarnya sedang berjalan di Indonesia?”
“Bagaimana seyogyanya pemerintah menanggapi cara masyarakat yang menyampaikan
aspirasinya dengan cara-cara yang sesungguhnya tidak mencerminkan nilai demokratis? dan
“Bilamana pemerintah mengakui bahwa sistem dan kebijakan pemerintahan berjalan dengan
nilai-nilai demokrasi, apakah pantas ada intimidasi terhadap kaum minoritas?” Pertanyaan-
pertanyaan tersebut serta sekelumit pertanyaan lainnya mendorong penulis untuk memilih
“Politik Emansipasi, Demokrasi Pancasila, dan Politik Yesus” sebagai topik Ujian Akhir Semester
kelas Filsafat Keilahian Modern.
Sebagai sebuah disclaimer, saya perlu tandaskan bahwa tulisan ini akan bergulat
dengan masalah yang sebenarnya menjadi concern bidang keilmuan lain diluar teologi. Konten
dalam tulisan ini akan cenderung terlihat mengarah kepada diskursus filsafat politik dan memiliki
cakupan pembahasan yang juga cenderung meluas. Namun, saya akan mempertahankan tulisan ini
tetap dalam koridor diskursus teologi dengan menandaskan bahwa teologi memiliki ruang untuk
mengkritisi dan bahkan memberi sumbangsih yang positif bagi dunia politik masa kini.
METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian pustaka. Menurut
Sarwono, penelitian pustaka adalah “mempelajari berbagai buku referensi serta hasil penelitian
sebelumnya yang sejenis yang berguna untuk mendapatkan landasan teori mengenai masalah
1
Kata Mayoritas ini menunjuk pada kaum Islam, secara khusus Islam yang memiliki paham radikal.
2
Dalam hal ini kata “oknum” ditujukan kepada kaum radikal.
JURNAL PENDIDIKAN DAN KONSELING VOLUME 4 NOMOR 6 TAHUN 2022 5922
E-ISSN: 2685-936X (print) Halaman 5921-5935
P-ISSN: 2685-9351 (online) Volume 4 Nomor 6 Tahun 2022
yang akan diteliti.” Metode pustaka yaitu membaca buku-buku, menyelidiki kitab yang berkaitan
dengan pokok bahasan karya ilmiah ini.” setelah dianalisis maka dituangkan di dalam hasil dan
pembahasan berdasarkan hasil tersebut maka dibuatlah satu kesimpulan yang menjadi harapan
dan tujuan penelitian ini.
3
Aksioma adalah sebuah pernyataan, dimana pernyataan tersebut kita terima sebagai suatu kebenaran dan bersifat umum,
tanpa perlu adanya pembuktian dari kita. Bisa juga dikatakan adalah sebuah ketentuan yang pasti atau mutlak kebenarannya.
4
Perlu untuk diketahui bersama, Kedua tokoh tersebut, secara khusus Derrida menekankan keutamaan teks sebagai alat
kontrol atas realitas. Bagi Derrida, ketika manusia mengubah teks, maka ia mengubah realitas.
5
Redifinisi disini boleh dimengerti sebagai pemaknaan ulang akan diri sendiri.
JURNAL PENDIDIKAN DAN KONSELING VOLUME 4 NOMOR 6 TAHUN 2022 5923
E-ISSN: 2685-936X (print) Halaman 5921-5935
P-ISSN: 2685-9351 (online) Volume 4 Nomor 6 Tahun 2022
dari titik ini, kita dapat melihat bahwa sejatinya Subjek tidak dapat berdiri sendiri, ia tidak dapat
lepas dari realitas di sekelilingnya.
Pertanyaan selanjutnya untuk dijawab adalah “apa relevansi pengertian Subjek dan politik
emansipasi?” Jawaban yang paling sederhana adalah bahwa manusia memiliki kontrol terhadap
situasi dan kondisi lingkungan di mana ia tinggal, karena ia memiliki kesadaran untuk mengatasi
kebudayaan. Di samping itu, melalui kebutuhan akan komunikasi dengan Subjek lain sebagai upaya
redefinisi Subjek, Subjek juga dapat mencari sebuah similaritas dengan Subjek lain yang nantinya
akan membentuk prinsip bersama (“komunalisme”) (Sharpe dan Boucher 2010, 18).6 Prinsip
bersama ini dapat mewujud dalam pembentukan kelompok radikalisme dan kelompok liberal
sekalipun.
6
Apa yang mendorong Žižek dalam melihat komunalisme sebagai senjata untuk melawan kapitalisme adalah situasi politik di
Slovenia yang pada waktu itu mengalami kejatuhan rezim komunis dan hegemoni dari kapitalisme yang mengubah struktur
masyarakat.
JURNAL PENDIDIKAN DAN KONSELING VOLUME 4 NOMOR 6 TAHUN 2022 5924
E-ISSN: 2685-936X (print) Halaman 5921-5935
P-ISSN: 2685-9351 (online) Volume 4 Nomor 6 Tahun 2022
diharapkan, yang tersimpan secara potensial, tidak teraktualisasi, dan ditekan di bawah instansi
lembaga politik (Robet 2010, 216).
Di Indonesia, dua wajah politik ini saling berbenturan satu dengan yang lain. Di satu sisi,
aktor politik ingin melanggengkan kekuasaan dan hegemoninya di negeri ini demi memegahkan
diri sendiri, dan di sisi lain wong cilik (rakyat kecil) berjuang mati-matian demi hak yang patutnya
mereka peroleh. Kasus yang paling dekat dengan hal ini adalah demo petani asal Kendeng, Jawa
Tengah, yang merasa dirugikan karena dibukanya pabrik semen yang – menurut petani Kendeng –
akan membawa dampak buruk bagi lingkungan tempat tinggal mereka. Tidak berhenti sampai di
situ, alasan lain yang mendorong mereka untuk berdemo adalah kekuatiran mereka terhadap
pabrik semen yang – bagi mereka – akan mengancam mata pencaharian mereka (News Detik
website 2017). Masalah-masalah semacam ini, tidak bisa tidak, erat kaitannya dengan kapitalisme.
Namun, hal yang saya soroti di sini bukan pada perkara apakah benar petani Kendeng ini dirugikan
dalam banyak hal, tetapi lebih kepada cara petani kendeng ini menyampaikan suaranya di hadapan
publik. Saya mengamati kasus ini cukup memilukan karena media mengabarkan bahwa ada satu
orang yang meninggal dunia karena aksi yang mereka sendiri perbuat. Di samping itu – kasus yang
menjadi concern saya dalam pembahasan ini – aksi membela agama Islam adalah isu yang benar-
benar mendorong stabilitas negara ke arah yang tidak begitu baik. Banyak uang negara yang
terkuras hanya demi menjaga aksi ini terus-menerus. Kemudian, aksi ini juga berhasil mengadu-
domba masyarakat Indonesia. Di media sosial tak jarang dijumpai ujaran kebencian (hate speech)
antara saudara setanah air. Lebih ironisnya lagi, aksi ini dilakukan berulang-ulang hingga membuat
pemerintah harus angkat suara, karena hal ini dianggap sudah merugikan bangsa Indonesia yang
menjunjung tinggi asas persatuan. Jokowi sendiri sudah menyatakan bahwa masyarakat tak boleh
memaksakan kehendaknya demi kepentingan sendiri. “Demo itu boleh, semua masyarakat
diberikan hak, tetapi tidak boleh memaksakan kehendak” (News Detik website 2017).
Menanggapi hal di atas, Žižek menyatakan bahwa politik dapat menghukum etika manusia
dalam berelasi dengan sesamanya (Žižek 2013, 962). Jika kita kembali kepada hal yang telah
disebutkan di atas, maka hal ini sejalan dengan pendapat para filsuf postmodern dan
poststrukturalisme lainnya bahwa “Subjek telah mati”. Mati karena ia berada di bawah bayang-
bayang struktur, bahasa, dan budaya yang mengikatnya. Namun, yang membedakan Žižek dengan
filsuf poststrukturalis lainnya adalah rasa optimismenya akan kemampuan manusia keluar dari
jerat tersebut. Optimisme yang dibawa Žižek inilah yang juga mendorong optimisme saya pada
pemahaman bahwa manusia pada dasarnya dapat keluar dari jerat primordialisme yang membuat
mereka fanatik terhadap etniknya. Namun, saya melihat bahwa perlu ada peran pemerintah dalam
memotori hal ini.
Masyarakat Radikal dan Politik Demokrasi
Žižek dengan tegas menyatakan bahwa persoalan mengenai rasisme tidak akan pernah
selesai. Pasalnya, rasisme dibentuk oleh fantasi manusia terhadap objek tertentu (Robet 2010,
150). Contoh konkretnya adalah ketika tidak sedikit orang Indonesia memandang sinis etnis
Tionghoa. Padahal, usut punya usut, tidak sedikit pula orang yang punya kebencian terhadap
Tionghoa tidak tahu dengan pasti mengapa mereka membenci etnis tersebut. Hal seperti ini kerap
terjadi karena penurun-alihan kebencian dari kerabat kita yang paling dekat, yakni keluarga.
Fantasi yang terus-menerus di bawa ini semakin lama akan menjadi “status” yang melekat di dalam
diri manusia. Kerangka fantasi tersebut akan mendorong seseorang dalam melihat realitas dengan
sudut pandang fantasi: from the real to not real.
Permasalahan mengenai fantasi ini bukannya tidak terjadi di Indonesia. Seperti yang telah
dipaparkan sebelumnya, bahwa kerap terjadi kebencian terhadap etnis tertentu di tanah air.
Ujaran-ujaran kebencian terhadap etnis Tionghoa dapat kita lihat pada kasus yang sama seperti
yang telah dipaparkan di bab sebelumnya, yakni bela Islam. Kita bisa saja berspekulasi bahwa
orang-orang yang membenci etnis Tionghoa ini pada dasarnya tidak tahu mengapa ia harus
membenci etnis tersebut, tetapi doktrinasi fantasi yang dipupuk kepadanya lah yang mendorong
mereka menjadi seorang pembenci Etnis Tionghoa. Sama seperti orang Islam yang membenci
agama Kristen, bukan tidak mungkin mereka adalah produk doktrinasi fantasi orang-orang radikal.
Pertanyaan yang perlu kita jawab sekarang adalah “Bagaimana seyogyanya negara bersikap
terhadap orang-orang radikal?” “Bagaimana cara kita membedakan mana orang yang benar-benar
radikal pada dirinya sendiri dan orang yang menjadi radikal karena doktrinasi yang tidak
bertanggung jawab?”
Žižek memaparkan dengan jelas bahwa dalam politik demokrasi, masyarakat memiliki
ketiga hal berikut (Sharpe dan Boucher 2010, 87).
1. Manusia bebas untuk memilih konsepsi mereka sendiri tentang apa itu yang baik bagi
kemaslahatan mereka. Misalnya dalam memilih ideologi, agama, cita-cita moral, dan
sebagainya.
2. Manusia memiliki hak untuk menjalankan kebebasannya dalam upaya mewujudkan
konsepsi mereka tentang perkembangan manusia. Kebebasan tersebut akan dianggap salah
bilamana melanggar hak “kebebasan” orang lain.
3. Negara harus menjamin kebebasan orang-orang menjadi evaluator atas kebijakan
pemerintah.
Ketiga poin di atas secara umum boleh dikatakan berhasil merangkum pemahaman akan
politik demokrasi. Namun, ada satu kelemahan yang tampaknya belum dirangkul dalam pengertian
demokrasi versi Žižek ini, yakni batasan terhadap “melanggar kebebasan orang lain”. Kita tidak bisa
mereka-reka sejauh mana kebebasan seseorang akan melanggar hak orang lain. Apakah poin
nomor dua tersebut berlaku bilamana ada seseorang yang merasa dirugikan secara personal?
Bagaimana jika kasusnya sebuah tindakan merugikan dilakukan oleh pihak mayoritas dan
merugikan yang minoritas? Bagaimana jika kasusnya sebuah tindakan tertentu merugikan sedikit
pihak, tetapi pihak lain yang jumlahnya lebih banyak tidak merasa dirugikan dan menerima
tindakan tersebut sebagai sesuatu yang benar. Apakah tindakan tersebut akan menjadi salah?
Inilah kompleksitas yang sedang terjadi di Indonesia. Banyak hal yang seharusnya tidak benar
menjadi benar karena dibenarkan oleh mayoritas. Sebaliknya, sesuatu yang benar dapat menjadi
tidak benar bilamana mayoritas tidak menganggap sebuah kebenaran itu tidak benar. Itulah
mengapa ada ungkapan “kebenaran itu relatif”. Kebenaran hanya akan dianggap benar jika diakui
oleh banyak orang.
7
Kata “mayoritas” disini juga merujuk kepada kaum radikal.
JURNAL PENDIDIKAN DAN KONSELING VOLUME 4 NOMOR 6 TAHUN 2022 5927
E-ISSN: 2685-936X (print) Halaman 5921-5935
P-ISSN: 2685-9351 (online) Volume 4 Nomor 6 Tahun 2022
Kedua, demokrasi tidak mewakili seluruh aspirasi masyarakat, karena yang menang dalam
demokrasi hanyalah mereka yang menang dalam voting. Menurut John Nicks, kelemahan dari
sistem politik demokrasi adalah bahwa ia tidak selalu memenangkan apa yang menjadi nilai-nilai
fundamental kita, yakni keadilan (Nicks 2010, 900). Sistem voting tentu membuat pihak yang kalah
harus mengakui kekalahannya dan mengikuti kebijakan yang diambil oleh pihak pemenang. Inilah
yang – menurut saya – membuat Indonesia menjadi rentan akan pemberontakan terhadap
pemerintahan yang sah.
8
Saya katakan masih dalam tahap belajar karena Indonesia menjadi sepenuhnya negara Demokrasi belum lebih dari dua
dekade
JURNAL PENDIDIKAN DAN KONSELING VOLUME 4 NOMOR 6 TAHUN 2022 5928
E-ISSN: 2685-936X (print) Halaman 5921-5935
P-ISSN: 2685-9351 (online) Volume 4 Nomor 6 Tahun 2022
kebijakan politik Jokowi yang bagi saya unik dalam memelihara demokrasi pancasila sebagai
ideologi tertinggi bangsa Indonesia.
Melalui media sosial dan berbagai berita yang dapat diakses secara online, saya mendapati
bahwa Jokowi sedang menggencarkan pembangunan di wilayah Timur. Hal ini tentu bersimpangan
dengan pemerintah-pemerintah sebelumnya. Pra-Jokowi, pemerintah memberi perhatian yang
penuh terhadap pembangunan infrastruktur di provinsi Jawa. Namun, Jokowi menunjukkan hal
yang tampak berbeda. Ia justru memfokuskan pembangunan ke wilayah Timur yang kerap tidak
diperhatikan. Salah satu surat kabar merekam pernyataan Jokowi yang kurang lebih berkata
demikian “Fokus pembangunan saat ini harus diarahkan ke wilayah Timur, demi mengurangi
kesenjangan dengan penduduk wilayah Barat, secara khusus Jawa. Pemerintah ingin
menghilangkan kesan Jawasentris dalam kebijakan pemerintahannya” ( Berita Nusantara website
2017). Dari pernyataan Jokowi ini, kita dapat melihat adanya cita-cita yang sarat akan Pancasila,
yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Pemerintahan Jokowi – dengan segala cita-cita positifnya – tidak selalu tanpa hambatan.
Belakangan ini Jokowi kerap didaulat sebagai pemimpin yang tidak berpihak pada “rakyat(?)”
karena dianggap tidak tegas dalam menangani kasus penistaan agama yang mendakwa Basuki
Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai tersangka. Tentu kita sendiri sebagai masyarakat Indonesia sadar
betul, bahwa Jokowi seringkali dipersalahkan atas proses hukum yang lambat dalam memenuhi
keinginan “kaum radikalis” ini supaya Ahok segera dipenjara. Padahal, ini adalah urusan hakim dan
aparat kepolisian, mengapa mesti mempersalahkan dan melemparkan proses hukum ini seolah
menjadi tanggungjawab presiden yang sebenarnya tidak punya wewenang mengintervensi proses
hukum karena ia terikat konstitusi yang mengharuskan dirinya bersikap netral terhadap semua
golongan?
Demi memuluskan cita-citanya, kaum radikalis membentuk sebuah aliansi yang tujuannya
adalah mendesak pemerintah untuk segera menyelesaikan proses hukum yang panjang, karena
mereka sudah lelah menunggu lebih lama lagi. Mereka ingin memaksakan kehendak mereka
terhadap proses hukum yang sedang berjalan. Pertanyaannya, apakah ini yang dinamakan
demokrasi pancasila? Model demokrasi yang menjadi acuan tanah air? Jika menganalisa langkah
politik kaum radikalis, saya mendapat kesan yang kuat bahwa mereka sedang membawa ideologi
demokrasi liberal sebagai oposisi dari demokrasi pancasila. Ini jelas membahayakan baik bagi
jajaran pemerintahan maupun masyarakat Indonesia, secara khusus yang tidak berpihak pada
kaum radikal.
Kembali pada pertanyaan di sub-bab sebelumnya, apakah desakan kaum radikalis terhadap
Jokowi dapat dikatakan sebagai “vox populi vox dei?” Jika kita memakai model demokrasi liberal
sebagai lensa dalam melihat fenomena ini, maka dapat kita katakan bahwa langkah politik kaum
radikalis berpotensi menjadi benar. Lain hal jika kita memandang fenomena ini dengan
menggunakan kacamata demokrasi pancasila. Apabila kita memakai model demokrasi pancasila
sebagai pijakan dalam melihat fenomena radikalisme, maka dengan tegas harus kita katakan bahwa
baik dari “cara” kaum radikalis menyampaikan aspirasi maupun konten dari “aspirasi” yang
dibawanya, jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai yang dipegang teguh bangsa Indonesia. Oleh
karena itu, harus kita tandaskan bahwa fenomena radikalisme erat kaitannya dengan stabilitas
negara. Namun, bilamana pemerintah hendak mengambil tindakan tegas, maka ia akan
berbenturan dengan nilai demokrasi yang – menurut Mutiani – menjamin peran kelompok-
kelompok yang memiliki kepentingan (Organisasi Masyarakat) (Mutiani 2015, 179).
9
Politik Yesus yang dimaksud di sini bukanlah politik pemerintahan yang umumnya dipahami. Politik Yesus di sini merujuk
kepada sikap-sikap yang Yesus ambil dalam merespon suasana politik dan wajah keagamaan pada masa-Nya berkarya.
JURNAL PENDIDIKAN DAN KONSELING VOLUME 4 NOMOR 6 TAHUN 2022 5930
E-ISSN: 2685-936X (print) Halaman 5921-5935
P-ISSN: 2685-9351 (online) Volume 4 Nomor 6 Tahun 2022
Cukup banyak diskurus teologi yang membahas langkah politik Yesus selama ia
melaksanakan misi-Nya. Ia dikenal dengan cara-cara-Nya yang berbeda (kadang juga dilihat
sebagai sosok kontroversial) dalam mengubah wajah keagamaan dan hukum bangsa Yahudi.
Menurut J.P.M Sweet, Yesus pada masa hidup-Nya memiliki hubungan dengan orang Zelot, bahkan
murid-Nya sendiri ada yang masuk ke dalam bagian gerakan Zelot, yakni Simon orang Zelot (Luk
10:4).10 Namun, Yesus – jika dilihat secara utuh perjalanan misi-Nya – boleh dikatakan bukanlah
sosok yang membenarkan tindakan kekerasan dalam mengupayakan kehendak pribadi seperti
orang-orang Zelot (Sweet 1988, 2-3). Yesus mengutamakan kasih dan kelemahlembutan dalam
melancarkan upaya misi-Nya.
Alan Storkey dalam bukunya yang berjudul “Jesus and Politics: Confronting The Powers”
menyatakan bahwa prinsip politik Yesus adalah yang tidak berpihak pada penindas, tidak
pragmatis, tidak mementingkan agenda pribadi, dan berpihak kepada mereka yang lemah (Storkey
2005, 133). Menambah catatan Storkey, Josef P. Widyatmadja melihat bahwa prinsip politik Yesus
adalah politik yang membebaskan. Politik yang membuat tidak nyaman orang “golongan atas”
dengan segala hegemoninya (Widyatmaja 2010, 119-120).11 Marcus B. Jong lebih senang menyebut
politik Yesus sebagai “politik bela rasa” karena Ia menunjukkan bahwa dirinya mampu lepas dari
jerat kebudayaan yang mengikat-Nya. (Jong 2003, 73).12
Beranjak dari poin di atas, dapatkah kita katakan bahwa politik Yesus sejalan dengan sistem
politik Indonesia, yakni demokrasi pancasila? Dengan melihat asas-asas yang dibangun Yesus
dalam misi-Nya, yakni kasih, tidak pragmatis, mengutamakan mereka yang lemah, dan
membebaskan, maka dapat kita katakan bahwa politik Yesus memiliki similaritas dengan asas-asas
yang dibangun dalam demokrasi pancasila, bukan demokrasi liberal. Demokrasi liberal, sekali lagi,
menurut Thom Brooks hanya mengedepankan pragmatisme golongan masyarakat tertentu sesuai
orientasi dan harapan mereka terhadap agenda-agenda yang ingin dicapai (Brooks 2009, 51).
Yesus adalah representasi dari keseluruhan oposisi terhadap politik yang hanya berpusat
pada hegemoni golongan tertentu. Yesus boleh dikatakan adalah seorang radikal karena ia
mementaskan diri-Nya sebagai sosok yang melawan nilai-nilai yang berlaku pada waktu itu.
Pertanyaannya, apakah Yesus dapat disamakan dengan kelompok radikalis yang sedang
memperjuangkan agamanya di Indonesia? Pertanyaan tersebut akan coba dijawab melalui sub-bab
selanjutnya. Satu hal pasti yang dapat kita setujui bersama melalui pembahasan di atas adalah
bahwa politik Yesus sejalan dengan sistem politik demokrasi pancasila.
10
Zelot adalah salah satu gerakan dalam masyarakat Yahudi yang menentang penjajahan terhadap bangsa Israel dan
melakukan perjuangannya dengan mengangkat senjata dan tidak takut untuk melakukan kekerasan.
11
Golongan atas yang dimaksud di sini adalah para rabi Yahudi yang kerap mengikat banyak orang dengan segala peraturan-
peraturannya.
12
Tindakan Yesus harus diakui memang kerap melawan peraturan-peraturan ala Yahudi yang semestinya menjadi alat
kontrol terhadap perilaku sosial-Nya. Misalnya, ketika Yesus berbicara dengan perempuan Samaria, sebenarnya ia sedang
melanggar hukum yang berlaku pada waktu itu, yakni orang Yahudi tidak boleh bergaul dengan orang Samaria. Sudah orang
Samaria, lawan bicara Yesus adalah perempuan pula, ini semakin mempertegas jati diri Yesus sebagai oposisi dari peraturan
Yahudi yang mengekang.
JURNAL PENDIDIKAN DAN KONSELING VOLUME 4 NOMOR 6 TAHUN 2022 5931
E-ISSN: 2685-936X (print) Halaman 5921-5935
P-ISSN: 2685-9351 (online) Volume 4 Nomor 6 Tahun 2022
Saya tidak sedang bermaksud mendikte kebijakan pemerintah untuk membabi buta
membela kaum minoritas. Ini sama saja membalikkan keadaan, bukan menyetarakan keadaan. Saya
lebih senang menyebut hal ini sebagai pengangkatan martabat kaum minoritas. Pengangkatan
martabat memiliki nilai yang amat penting, karena ini menyangkut hakikat manusia. Jikalau ada
manusia yang dianggap martabatnya lebih rendah dibanding yang lain, bukankah kita juga sedang
merendahkan martabat pencipta manusia? Atau jangan-jangan penciptanya berbeda? Meminjam
istilah Žižek, Pemerintah – sebagai Subjek – mestinya mampu keluar dari jerat primordialisme, dan
menyatakan keadilan yang berangkat dari hati nuraninya sendiri. Hal ini tentu memiliki
konsekuensi logis yang besar, karena perjuangan tentu akan selalu bertemu dengan tantangan.
Yesus sendiri ketika melaksanakan misi-Nya menegakkan keadilan dan kasih di dunia bukan tanpa
tantangan. Ia harus mengorbankan diri-Nya sendiri dimusuhi banyak orang karena motivasi yang
sebenarnya baik, yakni mengangkat harkat dan martabat mereka yang tertindas. Dengan demikian,
jika ingin mewujudkan pemerintahan yang adil, maka banyak tantangan dan resiko yang harus siap
dikunyah. Namun, perjuangan yang dilakukan dengan ketulusan akan selalu berbuah, sama seperti
Yesus yang buah pelayanan-Nya makin dirasakan justru ketika diri-Nya telah mengunyah segala
resiko itu dengan mengorbankan nyawa-Nya sendiri.
KESIMPULAN
Politik di Indonesia semakin hari semakin menunjukkan potretnya yang buram. Hegemoni
terus-menerus menjadi milik kaum mayoritas, dan kaum minoritas hanya dapat diam karena tak
sanggup melawan. Jikalau kaum mayoritas mencoba melawan, maka konsekuensi yang harus
ditanggungnya akan berat. Kaum minoritas hanya dapat bergantung kepada pemerintah yang
memiliki kewibawaan untuk mengubah keadaan menjadi lebih berkeadilan (meski tidak
sepenuhnya mengubah total). Pemerintah perlu melakukan upaya-upaya yang meminimalisir
intimidasi terhadap kaum minoritas, karena pemerintah adalah pelindung bagi rakyatnya. Roma
13:4a dengan jelas mencatat bahwa “pemerintah adalah hamba untuk kebaikanmu”, dan segala
pemerintahan yang ada berasal dari Allah (Rm 13:1). Beranjak dari titik ini, kita sebagai orang
Kristen yang juga menjadi bagian dalam bangsa Indonesia memiliki tugas untuk mendorong
pemerintah mengambil sikap tegas terhadap fenomena ketidakadilan ini. Namun, yang
membedakan dengan kaum radikal adalah kita menyampaikan gagasan ini tidak dengan
melakukan cara-cara yang sama dengan cara kaum radikal, tetapi mengambil bentuk yang lebih
damai dan bersahabat.
Yesus sendiri ketika hendak menyampaikan gagasan-gagasan-Nya tentang kasih dan
keadilan selalu dengan cara-cara yang bersahaja. Contoh konritnya adalah ketika Yesus menohok
banyak orang yang hendak melempari batu terhadap perempuan yang ketahuan berzinah (Yoh
8:2-11). Menurut hukum yang berlaku di bangsa Yahudi, perempuan yang ketahuan berzinah harus
dilempar batu sampai ia mati. Namun, Yesus melawan hukum yang berlaku itu hanya demi
menyelamatkan satu orang. Pertanyaannya, apakah Yesus melakukan cara yang kasar – seperti
kaum radikalis – dalam menyampaikan pandangannya tentang hukum yang berlaku? Tentu tidak!
JURNAL PENDIDIKAN DAN KONSELING VOLUME 4 NOMOR 6 TAHUN 2022 5933
E-ISSN: 2685-936X (print) Halaman 5921-5935
P-ISSN: 2685-9351 (online) Volume 4 Nomor 6 Tahun 2022
Ia memakai cara yang hebat dan mendidik. Bukan membalas kekerasan dengan kekerasan. Inilah
yang juga semestinya kita lakukan dalam menyampaikan aspirasi politik kita. Cara yang damai dan
mendidik akan menjadi salah satu upaya untuk membuat pandangan pihak lain terhadap
Kekristenan lebih jernih lagi. tidak melulu negatif seperti yang terjadi hari ini.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Benny Susetyo. 2004. Vox populi vox dei. Malang: Averroes Press.
Jong, Marcus B. 2003. Kali pertama jumpa yesus kembali. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Myers, Tony. 2003. Slavoj Žižek. London: Routledge.
Nasution, Mirza. 2015. Politik hukum dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Jakarta:
Puspantara.
Robet, Robertus. 2010. Manusia Politik: Subyek Radikal dan Politik Emansipasi di Era
Kapitalisme Global menurut Slavoj Žižek. Tanggerang: Gaya Hidup.
Sharpe, Matthew dan Geoff Boucher. 2010. Žižek on politics. USA: Edinburgh University.
Storkey, Alan. 2005. Jesus and politics: Confronting the powers. USA: Baker Academic.
Sweet, J.P.M. 1988. Jesus and the politics of His day. Australia: Cambridge University
Press.
Widyatmadja, Josef P. 2010. Yesus & wong cilik. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Žižek, Slavoj. 2013. Less Than Nothing: Hegel and The Shadow of Dialectical Materialism. New York:
Verso.
Artikel
Anwarudin, Ahmad. 2013. Subjek dalam Pandangan Dunia Postmodernisme. Lingua: Refleksi
Postmodernisme, Vol. 13, no. 4 (April): 451-476.
Bellini, Paulo. 2014. 21st-century Liberal Democracy and its Contradictions. Lingua:
Journal of Democracy, Vol. 30, no. 5 (Juli): 114-124.
Kaban, Ramon. 2003. Implementasi Demokrasi Pancasila Dalam Kehidupan Bernegara.
Lingua: Journal of Politcs, Vol. 8, no. 4 (Oktober): 290-301.
Mutiani. 2015. Reaktualisasi Pengalaman Nilai Pancasila Untuk Demokrasi. Lingua:
Social Science Education Journal, Vol. 1, no. 4 (Desember): 176-183.
Nicks, John. 2010. Diversity or Solidarity? Making Sense of the “New” Social Democracy.
Lingua: Journal of Diversity, Vol. 90, no. 10 (Juni): 888-904.
Thom Brooks. 2009. A Critique of Pragmatism and Deliberative Democracy. Lingua:
Journal of Society, Vol. 45, no. 1 (Maret) 50-55.
Yunus, Nur Rohim. 2015. Aktualisasi Demokrasi Pancasila Dalam Kehidupan Berbangsa
dan Bernegara. Lingua: Social Science Education Journal, Vol. 1, no. 2 (November):
155-166.
Siburian, D. (2021). Agama Kristen dan Hoax: Peran Agama Kristen dalam Menekan
Hoax. BIA': Jurnal
Teologi dan Pendidikan Kristen Kontekstual, 4(2), 226-237.
Sumiyatiningsih, Dien. (2012). Mengajar Dengan Kreatif & Menarik, Yogayakrta:
Andi Offset.
Telaumbanua, Arozatulo, “Peranan Guru Pendidikan Agama Kristen Dalam Membentuk
Karakter Siswa,”
FIDEI: Jurnal Teologi Sistematika dan Praktika 1, no. 2 (n.d.): 219–231.
Yosa, Ikshan, Impelementasi Pembelajaran Pendidikan Agama Kristen Di Abad 21,”
SIKIP: Jurnal
Pendidikan Agama Kristen Vol. 1, No (n.d.): 1–10.
Website
News Detik. Cerita Petani Kendeng Soal Demo.
https://news.detik.com/berita/d-3452919/cerita-warga-sekitar-pabrik-semen-rembang-tentang-
demo-pro-kontra (diakses 9 Mei 2017).
News Detik. Jokowi Bicara Soal Demo Bela Agama.
http://news.detik.com/berita/d-3333191/soal-aksi-4-november-jokowi-demo-itu-hak-tapi-
jangan-paksakan-kehendak (diakses 9 Mei 2017).
Berita Nusantara. _Pemerintah Ingin Pembangunan di Indonesia Tidak Jawasentris.
http://beritanusantara.co.id/index.php/berita/single/b/1097/Fokus_Pembangunan_di_Kawasan_
Timur_dan_Perbatasan__Presiden_Minta_Penggelaran_Pasukan_TNI_Tidak_Lagi_Jawasentris?kat=n
asional (diakses 9 Mei 2017).