Anda di halaman 1dari 16

Jurnal Pendidikan dan Konseling

E-ISSN: 2685-936X dan P-ISSN: 2685-9351


Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai

SURAT PERNYATAAN
Nomor: 5025/JP/FIP.UPTT/IV/2022

Saya yang bertandatangan di bawah ini Tim Redaksi Jurnal Pendidikan dan Konseling
Universitas Tambusai dengan Nomor ISSN 2658-936X (print) dan No. ISSN 2685-9351
(online). Dengan ini menyatakan bahwa artikel dengan judul :

Politik Emansipasi, Demokrasi Pancasila


Tinjauan Teologis, Filosofis, dan Sosiologis terhadap Peran Kaum Radikal di Kancah
Perpolitikan Indonesia
Atas Nama : Asina Marulam Hutapea, Jacob Daan Engel.
Institusi : Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Jakarta
URL Artikel : https://journal.unive rsitaspahlawan.ac.id /index.php/jpdk
Telah melalui proses submit, review, revisi daring penuh dan telah dipublikasikan pada
Jurnal Pendidikan dan Konseling Tambusai Volume 4 Nomor 6 Tahun 2022 di tanggal 16
Desember 2022. Jurnal Pendidikan dan Konseling telah memenuhi syarat sebagai jurnal
tingkat Nasional Terakreditasi Sinta 5 dengan terindeks pada Garuda Ristekdikti
(Nasional), google scholar (Internasional), bielefeid Academic Search Engine (Internasional),
Indonesia One Search (Nasional).
Demikian surat pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.

Bangkinang, 16 Desember 2022

Editor iChief,

Astuti, M.Pd
E-ISSN: 2685-936X (print) Halaman 5921-5935
P-ISSN: 2685-9351 (online) Volume 4 Nomor 6 Tahun 2022

Jurnal Pendidikan dan Konseling


Volume 4 Nomor 6 Tahun 2022
E-ISSN: 2685-936X dan P-ISSN: 2685-9351
Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai

Politik Emansipasi, Demokrasi Pancasila


Tinjauan Teologis, Filosofis, dan Sosiologis terhadap Peran Kaum Radikal di Kancah Perpolitikan
Indonesia

Asina Marulam Hutapea1, Jacob Daan Engel2


1,2
Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Jakarta
Email: asinahutapea150@gmail.com1

Abstrak
Bilamana pemerintah mengambil langkah untuk mengintervensi pihak-pihak yang melempar isu
primordialisme tersebut, maka dengan cepat pemerintah akan dicap sebagai sosok yang otoriter dan
tidak merangkul aspirasi politik rakyatnya. Padahal, jika ditinjau kembali akar masalahnya, terlihat bahwa
tidak sedikit oknum – yang memiliki agenda khusus – yang berlindung dibalik payung demokrasi. tulisan
ini akan bergulat dengan masalah yang sebenarnya menjadi concern bidang keilmuan lain diluar teologi.
Konten dalam tulisan ini akan cenderung terlihat mengarah kepada diskursus filsafat politik dan memiliki
cakupan pembahasan yang juga cenderung meluas. Namun, saya akan mempertahankan tulisan ini tetap
dalam koridor diskursus teologi dengan menandaskan bahwa teologi memiliki ruang untuk mengkritisi
dan bahkan memberi sumbangsih yang positif bagi dunia politik masa kini.
Kata Kunci: pendidikan politik; emansipasi politik; pancasila; demokrasi

Abstract
If political exchange is allowed to continue, it will certainly harm many parties, both the government and
society. If the government takes steps to intervene with those who raised the issue of primordialism, then
the government will quickly be branded as an authoritarian figure and does not accommodate the political
aspirations of its people. In fact, if we review the root of the problem, it can be seen that there are not a
few individuals – who have special agendas – who take refuge under the umbrella of democracy. This
paper will grapple with problems that are actually of concern to other scientific fields outside of theology.
The content in this paper will tend to lead to political philosophy discourses and have a wider scope of
discussion. However, I will keep this paper within the line of theological discourse by emphasizing that
theology has room to criticize and even make a positive contribution to today's political world.
Keywords: political education; political emancipation; Pancasila; democracy

JURNAL PENDIDIKAN DAN KONSELING VOLUME 4 NOMOR 6 TAHUN 2022 5921


E-ISSN: 2685-936X (print) Halaman 5921-5935
P-ISSN: 2685-9351 (online) Volume 4 Nomor 6 Tahun 2022

PENDAHULUAN
Berbicara tentang percaturan politik di Indonesia hari ini, boleh dikatakan sedang dalam
suasana yang kurang kondusif bagi stabilitas negara. Pasalnya, isu agama dan primordialisme
kerap kali dilempar oleh kaum mayoritas sebagai tameng untuk mengukuhkan posisi dan
idealisme mereka di negara yang “katanya” menganut sistem demokrasi.1 Isu primordialisme ini –
sadar tidak sadar – menjadi bahaya laten bagi stabilitas negara. Berkaca pada kasus di negara
seperti Iraq dan Suriah, kedua negara ini mengalami konflik karena dipengaruhi bukan hanya
agenda politik semata, melainkan isu agama yang diracik sedemikian rupa menjadi sebuah bola
panas yang menguntungkan pihak yang memainkannya.
Percaturan politik semacam ini jika dibiarkan terus-menerus berlangsung tentu akan
merugikan banyak pihak, baik itu pemerintah maupun masyarakat. Bilamana pemerintah
mengambil langkah untuk mengintervensi pihak-pihak yang melempar isu primordialisme
tersebut, maka dengan cepat pemerintah akan dicap sebagai sosok yang otoriter dan tidak
merangkul aspirasi politik rakyatnya. Padahal, jika ditinjau kembali akar masalahnya, terlihat
bahwa tidak sedikit oknum – yang memiliki agenda khusus – yang berlindung dibalik payung
demokrasi.2 Beranjak dari titik ini, kita diperhadapkan dengan beberapa pertanyaan mendasar:
“Apakah benar dengan membawa ideologi demokrasi, kita dapat menyampaikan aspirasi sebebas-
bebasnya?” “Ideologi demokrasi macam apa yang sebenarnya sedang berjalan di Indonesia?”
“Bagaimana seyogyanya pemerintah menanggapi cara masyarakat yang menyampaikan
aspirasinya dengan cara-cara yang sesungguhnya tidak mencerminkan nilai demokratis? dan
“Bilamana pemerintah mengakui bahwa sistem dan kebijakan pemerintahan berjalan dengan
nilai-nilai demokrasi, apakah pantas ada intimidasi terhadap kaum minoritas?” Pertanyaan-
pertanyaan tersebut serta sekelumit pertanyaan lainnya mendorong penulis untuk memilih
“Politik Emansipasi, Demokrasi Pancasila, dan Politik Yesus” sebagai topik Ujian Akhir Semester
kelas Filsafat Keilahian Modern.
Sebagai sebuah disclaimer, saya perlu tandaskan bahwa tulisan ini akan bergulat
dengan masalah yang sebenarnya menjadi concern bidang keilmuan lain diluar teologi. Konten
dalam tulisan ini akan cenderung terlihat mengarah kepada diskursus filsafat politik dan memiliki
cakupan pembahasan yang juga cenderung meluas. Namun, saya akan mempertahankan tulisan ini
tetap dalam koridor diskursus teologi dengan menandaskan bahwa teologi memiliki ruang untuk
mengkritisi dan bahkan memberi sumbangsih yang positif bagi dunia politik masa kini.

METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian pustaka. Menurut
Sarwono, penelitian pustaka adalah “mempelajari berbagai buku referensi serta hasil penelitian
sebelumnya yang sejenis yang berguna untuk mendapatkan landasan teori mengenai masalah

1
Kata Mayoritas ini menunjuk pada kaum Islam, secara khusus Islam yang memiliki paham radikal.
2
Dalam hal ini kata “oknum” ditujukan kepada kaum radikal.
JURNAL PENDIDIKAN DAN KONSELING VOLUME 4 NOMOR 6 TAHUN 2022 5922
E-ISSN: 2685-936X (print) Halaman 5921-5935
P-ISSN: 2685-9351 (online) Volume 4 Nomor 6 Tahun 2022

yang akan diteliti.” Metode pustaka yaitu membaca buku-buku, menyelidiki kitab yang berkaitan
dengan pokok bahasan karya ilmiah ini.” setelah dianalisis maka dituangkan di dalam hasil dan
pembahasan berdasarkan hasil tersebut maka dibuatlah satu kesimpulan yang menjadi harapan
dan tujuan penelitian ini.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Manusia dan Politik Emansipasi
Sebelum jauh memahami pemikiran Slavoj Žižek tentang Manusia (Subjek), kita perlu lebih
dahulu memahami atmosfer filsafat kontemporer yang menjadi situasi nyata Žižek pada masanya
berkarya. Hal ini penting karena dari sinilah pandangan Žižek tentang politik berangkat. Era
poststrukturalis dan postmodern menanamkan kesan bahwa Subjek telah mati. Mati dalam
pengertian bahwa Subjek tersebut hanyalah produk sampingan dari struktur-struktur yang
mengepung Subjek itu sendiri. Definisi mengenai pengakuan akan keberadaan Subjek pertama kali
dicetuskan oleh Rene Descartes dengan aksioma terkenalnya yang berbunyi “Cogito Ergo Sum”
(Aku berpikir maka aku ada).3 Žižek melihat konsekuensi dari pernyataan Descartes ini adalah
lebih mengarah kepada subjektivikasi yang merupakan elemen representasif atas Subjek, karena
untuk meyakini dirinya sendiri sebagai Subjek, ia harus secara kontinuitas berkata pada dirinya
sendiri bahwa “aku berpikir maka aku ada”. Ketika Subjek berhenti berkata “aku berpikir maka aku
ada”, maka keyakinan akan subjektivitasnya akan tereduksi dengan sendirinya (Myers 2003, 31). Di
samping aksioma Descartes, Žižek juga mengkritik pandangan Jacques Derrida dan Michael
Foucault yang menyatakan bahwa manusia harus menghormati teks secara otoritatif.4 Pandangan
semacam ini bagi Žižek, membuat Subjek lebih rendah dibandingkan teks yang justru lahir dari
gagasan Subjek itu sendiri. Di tengah situasi seperti ini, Žižek menolak dengan tegas pandangan
ketiga filsuf di atas dan menyatakan bahwa manusia adalah Subjek sadar di dalam kebudayaan
dunia. Subjek sendirilah yang membentuk dan mengadakan seluruh kebudayan tersebut. Dengan
demikian, Seluruh pemikiran kontemporer yang menyatakan “Kematian Subjek” ditentang oleh
Žižek (Anwarudin 2013, 464-467).
Dengan membawa argumen bahwa Subjek lebih tinggi dari apa yang sekadar dipikirkan
(Cogito), kebudyaaan, dan teks yang merepresentasikan gagasan Subjek tersebut, Žižek menarik
sebuah kesimpulan bahwa hakikat dari Subjek adalah dialogis. Dialogis dalam artian ia akan selalu
terhubung dengan dunia sekitarnya. Melalui rangkaian dialog yang tidak pernah selesai ini,
manusia terus meredefinisi dirinya.5 Dalam upaya meredefinisi diri, Subjek membutuhkan
kebudayaan dan Subjek lain untuk berdialog dengan dirinya sendiri (Žižek 2013, 359). Beranjak

3
Aksioma adalah sebuah pernyataan, dimana pernyataan tersebut kita terima sebagai suatu kebenaran dan bersifat umum,
tanpa perlu adanya pembuktian dari kita. Bisa juga dikatakan adalah sebuah ketentuan yang pasti atau mutlak kebenarannya.
4
Perlu untuk diketahui bersama, Kedua tokoh tersebut, secara khusus Derrida menekankan keutamaan teks sebagai alat
kontrol atas realitas. Bagi Derrida, ketika manusia mengubah teks, maka ia mengubah realitas.
5
Redifinisi disini boleh dimengerti sebagai pemaknaan ulang akan diri sendiri.
JURNAL PENDIDIKAN DAN KONSELING VOLUME 4 NOMOR 6 TAHUN 2022 5923
E-ISSN: 2685-936X (print) Halaman 5921-5935
P-ISSN: 2685-9351 (online) Volume 4 Nomor 6 Tahun 2022

dari titik ini, kita dapat melihat bahwa sejatinya Subjek tidak dapat berdiri sendiri, ia tidak dapat
lepas dari realitas di sekelilingnya.
Pertanyaan selanjutnya untuk dijawab adalah “apa relevansi pengertian Subjek dan politik
emansipasi?” Jawaban yang paling sederhana adalah bahwa manusia memiliki kontrol terhadap
situasi dan kondisi lingkungan di mana ia tinggal, karena ia memiliki kesadaran untuk mengatasi
kebudayaan. Di samping itu, melalui kebutuhan akan komunikasi dengan Subjek lain sebagai upaya
redefinisi Subjek, Subjek juga dapat mencari sebuah similaritas dengan Subjek lain yang nantinya
akan membentuk prinsip bersama (“komunalisme”) (Sharpe dan Boucher 2010, 18).6 Prinsip
bersama ini dapat mewujud dalam pembentukan kelompok radikalisme dan kelompok liberal
sekalipun.

Politik Emansipasi dan Stabilitas Negara di Indonesia


Politik emansipasi ditandai dengan persamaan hak bagi semua elemen masyarakat tanpa
terkecuali. Tujuan dari politik emansipasi ini – bagi Žižek – adalah untuk mendorong upaya Subjek
mengintervensi ruang ketakmungkinan. Ruang ketakmungkinan itu sendiri tak lain adalah
kapitalisme kontemporer, yang telah berdiri sebagai kompleksitas relasi penuh resiko yang tidak
lagi memberi peluang apapun. Berhadapan dengan suasana seperti ini, satu-satunya cara yang
dimungkinkan untuk melawan kapitalisme kontemporer hanyalah dengan membangun
subjektivitas militan yang mengarah kepada “kegilaan” radikalitas maksimum tanpa mengindahkan
format sosialnya (Robet 2010, 214).
Pandangan Žižek ini sejalan dengan penegasannya bahwa pada akhirnya politik bukanlah
soal menganalisa kemungkinan atau ketakmungkinan, melainkan bagaimana merumuskan dan
mengintervensi ketakmungkinan itu. Politik tidak pertama-tama mengkalkulasi “peluang apa yang
saya miliki untuk kemudian bertindak”, malah sebaliknya, “politik adalah bertindak dalam situasi
yang dianggap sudah tertutup”, sehingga dari titik itulah peluang muncul. Beranjak dari titik ini,
politik, bagi Žižek, lebih banyak mensyaratkan “kualitas Subjek” yang istimewa, bahkan elitis.
Contoh historisnya adalah fenomena pemerintahan Lenin yang semakin menegaskan watak
elitisme dalam tindakan politiknya. Dengan memberi penekanan terhadap kualitas Subjek, Žižek
sesungguhnya sedang meletakkan dasar perubahan koordinat masyarakat kontemporer yang tidak
berdasarkan suatu basis politik kolektivitas klasik, di mana perubahan politik mestinya dipijakkan
pada suatu kesadaran kolektif kritis (Robet 2010, 215).
Kini kita beralih ke fenomena politik di Indonesia, sejauh mana kesadaran masyarakat
Indonesia terhadap dimensi politik kolektivitas? Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada satu
pernyataan Žižek yang menarik terkait wajah politik secara umum. Menurutnya, ada dua wajah
politik yang kerap berkelindan satu dengan yang lain. Pertama, adalah sisi di mana politik terjadi
begitu saja dalam prosedur kelembagaan dan perilaku aktor-aktornya. Kedua, adalah politik yang

6
Apa yang mendorong Žižek dalam melihat komunalisme sebagai senjata untuk melawan kapitalisme adalah situasi politik di
Slovenia yang pada waktu itu mengalami kejatuhan rezim komunis dan hegemoni dari kapitalisme yang mengubah struktur
masyarakat.
JURNAL PENDIDIKAN DAN KONSELING VOLUME 4 NOMOR 6 TAHUN 2022 5924
E-ISSN: 2685-936X (print) Halaman 5921-5935
P-ISSN: 2685-9351 (online) Volume 4 Nomor 6 Tahun 2022

diharapkan, yang tersimpan secara potensial, tidak teraktualisasi, dan ditekan di bawah instansi
lembaga politik (Robet 2010, 216).
Di Indonesia, dua wajah politik ini saling berbenturan satu dengan yang lain. Di satu sisi,
aktor politik ingin melanggengkan kekuasaan dan hegemoninya di negeri ini demi memegahkan
diri sendiri, dan di sisi lain wong cilik (rakyat kecil) berjuang mati-matian demi hak yang patutnya
mereka peroleh. Kasus yang paling dekat dengan hal ini adalah demo petani asal Kendeng, Jawa
Tengah, yang merasa dirugikan karena dibukanya pabrik semen yang – menurut petani Kendeng –
akan membawa dampak buruk bagi lingkungan tempat tinggal mereka. Tidak berhenti sampai di
situ, alasan lain yang mendorong mereka untuk berdemo adalah kekuatiran mereka terhadap
pabrik semen yang – bagi mereka – akan mengancam mata pencaharian mereka (News Detik
website 2017). Masalah-masalah semacam ini, tidak bisa tidak, erat kaitannya dengan kapitalisme.
Namun, hal yang saya soroti di sini bukan pada perkara apakah benar petani Kendeng ini dirugikan
dalam banyak hal, tetapi lebih kepada cara petani kendeng ini menyampaikan suaranya di hadapan
publik. Saya mengamati kasus ini cukup memilukan karena media mengabarkan bahwa ada satu
orang yang meninggal dunia karena aksi yang mereka sendiri perbuat. Di samping itu – kasus yang
menjadi concern saya dalam pembahasan ini – aksi membela agama Islam adalah isu yang benar-
benar mendorong stabilitas negara ke arah yang tidak begitu baik. Banyak uang negara yang
terkuras hanya demi menjaga aksi ini terus-menerus. Kemudian, aksi ini juga berhasil mengadu-
domba masyarakat Indonesia. Di media sosial tak jarang dijumpai ujaran kebencian (hate speech)
antara saudara setanah air. Lebih ironisnya lagi, aksi ini dilakukan berulang-ulang hingga membuat
pemerintah harus angkat suara, karena hal ini dianggap sudah merugikan bangsa Indonesia yang
menjunjung tinggi asas persatuan. Jokowi sendiri sudah menyatakan bahwa masyarakat tak boleh
memaksakan kehendaknya demi kepentingan sendiri. “Demo itu boleh, semua masyarakat
diberikan hak, tetapi tidak boleh memaksakan kehendak” (News Detik website 2017).
Menanggapi hal di atas, Žižek menyatakan bahwa politik dapat menghukum etika manusia
dalam berelasi dengan sesamanya (Žižek 2013, 962). Jika kita kembali kepada hal yang telah
disebutkan di atas, maka hal ini sejalan dengan pendapat para filsuf postmodern dan
poststrukturalisme lainnya bahwa “Subjek telah mati”. Mati karena ia berada di bawah bayang-
bayang struktur, bahasa, dan budaya yang mengikatnya. Namun, yang membedakan Žižek dengan
filsuf poststrukturalis lainnya adalah rasa optimismenya akan kemampuan manusia keluar dari
jerat tersebut. Optimisme yang dibawa Žižek inilah yang juga mendorong optimisme saya pada
pemahaman bahwa manusia pada dasarnya dapat keluar dari jerat primordialisme yang membuat
mereka fanatik terhadap etniknya. Namun, saya melihat bahwa perlu ada peran pemerintah dalam
memotori hal ini.
Masyarakat Radikal dan Politik Demokrasi
Žižek dengan tegas menyatakan bahwa persoalan mengenai rasisme tidak akan pernah
selesai. Pasalnya, rasisme dibentuk oleh fantasi manusia terhadap objek tertentu (Robet 2010,
150). Contoh konkretnya adalah ketika tidak sedikit orang Indonesia memandang sinis etnis
Tionghoa. Padahal, usut punya usut, tidak sedikit pula orang yang punya kebencian terhadap

JURNAL PENDIDIKAN DAN KONSELING VOLUME 4 NOMOR 6 TAHUN 2022 5925


E-ISSN: 2685-936X (print) Halaman 5921-5935
P-ISSN: 2685-9351 (online) Volume 4 Nomor 6 Tahun 2022

Tionghoa tidak tahu dengan pasti mengapa mereka membenci etnis tersebut. Hal seperti ini kerap
terjadi karena penurun-alihan kebencian dari kerabat kita yang paling dekat, yakni keluarga.
Fantasi yang terus-menerus di bawa ini semakin lama akan menjadi “status” yang melekat di dalam
diri manusia. Kerangka fantasi tersebut akan mendorong seseorang dalam melihat realitas dengan
sudut pandang fantasi: from the real to not real.
Permasalahan mengenai fantasi ini bukannya tidak terjadi di Indonesia. Seperti yang telah
dipaparkan sebelumnya, bahwa kerap terjadi kebencian terhadap etnis tertentu di tanah air.
Ujaran-ujaran kebencian terhadap etnis Tionghoa dapat kita lihat pada kasus yang sama seperti
yang telah dipaparkan di bab sebelumnya, yakni bela Islam. Kita bisa saja berspekulasi bahwa
orang-orang yang membenci etnis Tionghoa ini pada dasarnya tidak tahu mengapa ia harus
membenci etnis tersebut, tetapi doktrinasi fantasi yang dipupuk kepadanya lah yang mendorong
mereka menjadi seorang pembenci Etnis Tionghoa. Sama seperti orang Islam yang membenci
agama Kristen, bukan tidak mungkin mereka adalah produk doktrinasi fantasi orang-orang radikal.
Pertanyaan yang perlu kita jawab sekarang adalah “Bagaimana seyogyanya negara bersikap
terhadap orang-orang radikal?” “Bagaimana cara kita membedakan mana orang yang benar-benar
radikal pada dirinya sendiri dan orang yang menjadi radikal karena doktrinasi yang tidak
bertanggung jawab?”
Žižek memaparkan dengan jelas bahwa dalam politik demokrasi, masyarakat memiliki
ketiga hal berikut (Sharpe dan Boucher 2010, 87).
1. Manusia bebas untuk memilih konsepsi mereka sendiri tentang apa itu yang baik bagi
kemaslahatan mereka. Misalnya dalam memilih ideologi, agama, cita-cita moral, dan
sebagainya.
2. Manusia memiliki hak untuk menjalankan kebebasannya dalam upaya mewujudkan
konsepsi mereka tentang perkembangan manusia. Kebebasan tersebut akan dianggap salah
bilamana melanggar hak “kebebasan” orang lain.
3. Negara harus menjamin kebebasan orang-orang menjadi evaluator atas kebijakan
pemerintah.
Ketiga poin di atas secara umum boleh dikatakan berhasil merangkum pemahaman akan
politik demokrasi. Namun, ada satu kelemahan yang tampaknya belum dirangkul dalam pengertian
demokrasi versi Žižek ini, yakni batasan terhadap “melanggar kebebasan orang lain”. Kita tidak bisa
mereka-reka sejauh mana kebebasan seseorang akan melanggar hak orang lain. Apakah poin
nomor dua tersebut berlaku bilamana ada seseorang yang merasa dirugikan secara personal?
Bagaimana jika kasusnya sebuah tindakan merugikan dilakukan oleh pihak mayoritas dan
merugikan yang minoritas? Bagaimana jika kasusnya sebuah tindakan tertentu merugikan sedikit
pihak, tetapi pihak lain yang jumlahnya lebih banyak tidak merasa dirugikan dan menerima
tindakan tersebut sebagai sesuatu yang benar. Apakah tindakan tersebut akan menjadi salah?
Inilah kompleksitas yang sedang terjadi di Indonesia. Banyak hal yang seharusnya tidak benar
menjadi benar karena dibenarkan oleh mayoritas. Sebaliknya, sesuatu yang benar dapat menjadi
tidak benar bilamana mayoritas tidak menganggap sebuah kebenaran itu tidak benar. Itulah

JURNAL PENDIDIKAN DAN KONSELING VOLUME 4 NOMOR 6 TAHUN 2022 5926


E-ISSN: 2685-936X (print) Halaman 5921-5935
P-ISSN: 2685-9351 (online) Volume 4 Nomor 6 Tahun 2022

mengapa ada ungkapan “kebenaran itu relatif”. Kebenaran hanya akan dianggap benar jika diakui
oleh banyak orang.

Vox Populi Vox Dei: Keadilan Sosial?


Konsep politik demokrasi kerap kali dikaitkan dengan jargon “Vox Populi Vox Dei” yang
artinya “suara rakyat adalah suara Tuhan”. Jargon ini – di samping keunggulannya – memiliki
banyak sekali kelemahan yang menjadi sasaran kritik bagi para pegiat demokrasi maupun para
politisi anti-demokrasi.
Menurut Benny Susetyo, jargon ini adalah benar bila penempatan konteksnya adalah
masyarakat yang ditindas secara totaliter oleh pemerintah, dan rakyat tidak diberi ruang untuk
menyampaikan aspirasinya akan keadilan dan kesejahteraan bagi kehidupan bersama. Adanya
kritik terhadap pemerintahan sebenarnya memberikan sebuah sinyal bahwa penting sekali untuk
memperbarui sistem politik yang tidak lagi menggunakan nurani dan mata hati. Sistem politik
mestilah merangkul kepentingan bersama. Hal ini sejalan dengan nilai-nilai Pancasila (Susetyo
2004, 30).
Sayangnya jargon ini tetap memiliki ruang untuk dikritik. Misalnya jika ditempatkan di
masyarakat yang mayoritas radikal dan intoleran. Apakah suara-suara tersebut menjadi relevan
untuk dikatakan sebagai vox populi vox Dei? Padahal, dibalik masyarakat radikal dan intoleran,
pastilah ada pihak yang merasa dirugikan dan ditindas, yakni kaum mayoritas.7 Kembali pada kasus
aksi bela agama yang dilakukan kaum radikalis, mereka mengklaim bahwa tindakan tersebut
adalah mewakili umat Islam. Terlepas benar atau tidaknya klaim ini, hal yang perlu disoroti adalah
kelompok yang hendak diwakili oleh kaum radikalis ini, yakni umat Islam, agama paling besar di
Indonesia, dan bahkan Indonesia tercatat sebagai negara yang memiliki umat Islam terbesar di
dunia.
Apakah keadilan hanya dikatakan adil bilamana menguntungkan orang banyak? Bukankah
keadilan itu harus berpihak kepada semuanya? Jikalau masih ada yang dirugikan, apakah itu dapat
dikatakan keadilan? Tentu tidak! Suasana yang adil ditandai dengan masyarakat yang posisi dan
derajatnya “sebagai manusia” dianggap sama, bukan menganggap manusia berbeda-beda seolah
ada “kelas kasta” yang membedakannya dengan golongan-golongan tertentu.
Secara umum saya melihat ada dua kelemahan dari sistem politik demokrasi. Pertama,
sistem politik ini membuka kemungkinan yang cukup lebar akan pemimpin yang tidak arif dan
mewakili golongan tertentu. Contoh konkret yang belakangan ini terjadi di Indonesia adalah
dimenangkannya Anies Baswedan dan Sandiaga Uno sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI
Jakarta. Bukan sesuatu yang rahasia lagi bahwa mereka dimenangkan oleh kaum radikalis yang
menyerukan “Pilih pemimpin Islam kalau mau masuk sorga”. Ini tentu menjadi ancaman psikologis
bagi kaum minoritas yang tak mampu bersuara lantang lantaran tertekan dengan keadaan yang
tidak begitu memihak. Satu-satunya bentuk perlawanan terbaik dari kaum minoritas hanyalah
diam ditindas demi tidak memunculkan masalah yang baru lagi.

7
Kata “mayoritas” disini juga merujuk kepada kaum radikal.
JURNAL PENDIDIKAN DAN KONSELING VOLUME 4 NOMOR 6 TAHUN 2022 5927
E-ISSN: 2685-936X (print) Halaman 5921-5935
P-ISSN: 2685-9351 (online) Volume 4 Nomor 6 Tahun 2022

Kedua, demokrasi tidak mewakili seluruh aspirasi masyarakat, karena yang menang dalam
demokrasi hanyalah mereka yang menang dalam voting. Menurut John Nicks, kelemahan dari
sistem politik demokrasi adalah bahwa ia tidak selalu memenangkan apa yang menjadi nilai-nilai
fundamental kita, yakni keadilan (Nicks 2010, 900). Sistem voting tentu membuat pihak yang kalah
harus mengakui kekalahannya dan mengikuti kebijakan yang diambil oleh pihak pemenang. Inilah
yang – menurut saya – membuat Indonesia menjadi rentan akan pemberontakan terhadap
pemerintahan yang sah.

Sistem Politik Demokrasi (Liberal): Menelaah Langkah Politik Kaum Radikalis


Pertanyaan selanjutnya untuk menajamkan inti percakapan yang telah didiskusikan di atas
adalah “Sejauh mana sistem politik demokrasi membantu masyarakat Indonesia dalam menjaga
stabilitas negara?” Pertanyaan ini akan membantu kita untuk melihat bagaimana wajah politik
Indonesia dengan sistem demokrasi yang boleh dikatakan masih dalam tahap belajar.8
Menurut Mirza Nasution, pengertian mengenai demokrasi tidak hanya satu seperti yang kita
mengerti pada umumnya, dalam ilmu ketatanegaraan, didapati bahwa Indonesia mengenal tiga
sistem demokrasi. Pertama, demokrasi liberal. Kedua, demokrasi rakyat. Ketiga, demokrasi
pancasila (Nasution 2015, 81-84).
1. Demokrasi liberal memberi penekanan khusus kepada kebebasan individu terhadap pilihan
politiknya. Pemerintah dan pihak manapun tidak diperbolehkan mengintervensi kebebasan
politik seseorang. Dalam praktiknya, demokrasi model ini menempatkan suara mayoritas
sebagai alat kontrol terhadap sepak terjang pemerintahan. Menambahkan catatan Nasution,
Paulo Bellini menyatakan bahwa demokrasi liberal benar-benar menempatkan rakyat
sebagai aktor politik dan jajaran pemerintahan sebagai eksekutornya. Namun, kelemahan
sistem demokrasi liberal terletak pada sulitnya menampung aspirasi berbagai macam
masyarakat dengan sekelumit ideologinya (Bellini 2014, 119).
2. Demokrasi rakyat memberi penekanan khusus kepada kesamarataan antar-individu. Istilah
yang biasa digunakan untuk menyebut demokrasi model ini adalah Sosialisme/Komunisme.
Sistem demokrasi ini berupaya menghilangkan kelas sosial dalam kehidupan
bermasyarakat. Tidak boleh ada golongan tertentu yang menguasai ekonomi dan
mengintervensi pemerintahan demi keuntungannya sendiri.
3. Demokrasi pancasila merupakan model demokrasi yang memiliki nafas dan cita-cita dari
pelopor tanah air. Demokrasi pancasila tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan UUD 1945
sebagai mekanisme dalam implementasi politiknya. Kelima sila, tidak bisa tidak, menjadi
acuan utama dalam menjalankan kebijakan politik.
Berdasarkan pengamatan saya terhadap kebijakan politik Indonesia hari ini, saya
melihat adanya percampuran sekaligus benturan yang keras antara demokrasi liberal dan
demokrasi pancasila. Untuk memperkuat argumen saya tersebut, saya akan memperlihatkan

8
Saya katakan masih dalam tahap belajar karena Indonesia menjadi sepenuhnya negara Demokrasi belum lebih dari dua
dekade
JURNAL PENDIDIKAN DAN KONSELING VOLUME 4 NOMOR 6 TAHUN 2022 5928
E-ISSN: 2685-936X (print) Halaman 5921-5935
P-ISSN: 2685-9351 (online) Volume 4 Nomor 6 Tahun 2022

kebijakan politik Jokowi yang bagi saya unik dalam memelihara demokrasi pancasila sebagai
ideologi tertinggi bangsa Indonesia.
Melalui media sosial dan berbagai berita yang dapat diakses secara online, saya mendapati
bahwa Jokowi sedang menggencarkan pembangunan di wilayah Timur. Hal ini tentu bersimpangan
dengan pemerintah-pemerintah sebelumnya. Pra-Jokowi, pemerintah memberi perhatian yang
penuh terhadap pembangunan infrastruktur di provinsi Jawa. Namun, Jokowi menunjukkan hal
yang tampak berbeda. Ia justru memfokuskan pembangunan ke wilayah Timur yang kerap tidak
diperhatikan. Salah satu surat kabar merekam pernyataan Jokowi yang kurang lebih berkata
demikian “Fokus pembangunan saat ini harus diarahkan ke wilayah Timur, demi mengurangi
kesenjangan dengan penduduk wilayah Barat, secara khusus Jawa. Pemerintah ingin
menghilangkan kesan Jawasentris dalam kebijakan pemerintahannya” ( Berita Nusantara website
2017). Dari pernyataan Jokowi ini, kita dapat melihat adanya cita-cita yang sarat akan Pancasila,
yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Pemerintahan Jokowi – dengan segala cita-cita positifnya – tidak selalu tanpa hambatan.
Belakangan ini Jokowi kerap didaulat sebagai pemimpin yang tidak berpihak pada “rakyat(?)”
karena dianggap tidak tegas dalam menangani kasus penistaan agama yang mendakwa Basuki
Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai tersangka. Tentu kita sendiri sebagai masyarakat Indonesia sadar
betul, bahwa Jokowi seringkali dipersalahkan atas proses hukum yang lambat dalam memenuhi
keinginan “kaum radikalis” ini supaya Ahok segera dipenjara. Padahal, ini adalah urusan hakim dan
aparat kepolisian, mengapa mesti mempersalahkan dan melemparkan proses hukum ini seolah
menjadi tanggungjawab presiden yang sebenarnya tidak punya wewenang mengintervensi proses
hukum karena ia terikat konstitusi yang mengharuskan dirinya bersikap netral terhadap semua
golongan?
Demi memuluskan cita-citanya, kaum radikalis membentuk sebuah aliansi yang tujuannya
adalah mendesak pemerintah untuk segera menyelesaikan proses hukum yang panjang, karena
mereka sudah lelah menunggu lebih lama lagi. Mereka ingin memaksakan kehendak mereka
terhadap proses hukum yang sedang berjalan. Pertanyaannya, apakah ini yang dinamakan
demokrasi pancasila? Model demokrasi yang menjadi acuan tanah air? Jika menganalisa langkah
politik kaum radikalis, saya mendapat kesan yang kuat bahwa mereka sedang membawa ideologi
demokrasi liberal sebagai oposisi dari demokrasi pancasila. Ini jelas membahayakan baik bagi
jajaran pemerintahan maupun masyarakat Indonesia, secara khusus yang tidak berpihak pada
kaum radikal.
Kembali pada pertanyaan di sub-bab sebelumnya, apakah desakan kaum radikalis terhadap
Jokowi dapat dikatakan sebagai “vox populi vox dei?” Jika kita memakai model demokrasi liberal
sebagai lensa dalam melihat fenomena ini, maka dapat kita katakan bahwa langkah politik kaum
radikalis berpotensi menjadi benar. Lain hal jika kita memandang fenomena ini dengan
menggunakan kacamata demokrasi pancasila. Apabila kita memakai model demokrasi pancasila
sebagai pijakan dalam melihat fenomena radikalisme, maka dengan tegas harus kita katakan bahwa
baik dari “cara” kaum radikalis menyampaikan aspirasi maupun konten dari “aspirasi” yang

JURNAL PENDIDIKAN DAN KONSELING VOLUME 4 NOMOR 6 TAHUN 2022 5929


E-ISSN: 2685-936X (print) Halaman 5921-5935
P-ISSN: 2685-9351 (online) Volume 4 Nomor 6 Tahun 2022

dibawanya, jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai yang dipegang teguh bangsa Indonesia. Oleh
karena itu, harus kita tandaskan bahwa fenomena radikalisme erat kaitannya dengan stabilitas
negara. Namun, bilamana pemerintah hendak mengambil tindakan tegas, maka ia akan
berbenturan dengan nilai demokrasi yang – menurut Mutiani – menjamin peran kelompok-
kelompok yang memiliki kepentingan (Organisasi Masyarakat) (Mutiani 2015, 179).

Dimana Seharusnya Pemerintah Berpijak?


Meskipun Indonesia terikat dengan sistem demokrasi yang kerap kali menjadi tameng kaum
radikalis dalam menyampaikan aspirasi politiknya yang intoleran, namun Indonesia masih
memiliki pijakan yang kuat sebagai negara yang tetap menjalankan sistem demokrasi, namun tetap
merangkul seluruh pihak. Mengapa dapat dikatakan demikian?
Menurut Ramon Kaban, dalam konteks yang lebih khusus, demokrasi Indonesia diwujudkan
dalam pengamalan nilai-nilai yang diusung Pancasila. Nilai-nilai Pancasila merepresentasikan apa
yang disebut dengan keadilan, kasih, dan gotong-royong (Kaban 2003, 292). Berdasarkan apa yang
dikatakan Kaban, dapat kita katakan bahwa secara ideologi, Indonesia sudah cukup mumpuni
dalam mengupayakan semangat keadilan sosial. Bilamana ada masyarakat yang menentang hal ini,
maka ia juga sedang menentang ideologi bangsa Indonesia. Indonesia punya landasan yang kuat
dalam mempertahankan prinsip ini.
Nur Rohim Yunus menyatakan dengan tegas bahwa demokrasi pancasila mendukung
kebijakan pemerintah ke arah yang lebih baik tanpa kesewenang-wenangan. Kebijakan pemerintah
yang terbatas membuat rakyat dapat menyampaikan aspirasinya untuk menggerakkan kebijakan
politik pemerintah sesuai apa yang diharapkan (Yunus 2015, 158). Namun, kelemahan paling
mendasar dari model demokrasi pancasila – sebagaimana model demokrasi pada umumnya –
adalah kecenderungan ketidakpatuhan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah. Masyarakat
tentu punya standar kepuasan dan motivasi masing-masing terhadap apa yang diinginkannya
dalam langkah politik pemerintah. Lagi-lagi, ketegangan ini yang menjadi kompleksitas tanpa akhir.
Adakah jalan tengah untuk menjawab hal ini?
Berdasarkan pembahasan di atas, maka jawaban yang paling realistis adalah bahwa
pemerintah perlu berpijak sepenuhnya terhadap demokrasi pancasila. Demokrasi liberal yang
sedang gencar dipraktekkan oleh oknum-oknum (termasuk kaum radikalis didalamnya) adalah
oposisi terhadap demokrasi pancasila yang selama ini menjadi junjungan bersama. Perlu sebuah
tindakan tegas terhadap oknum-oknum tersebut dengan meredam suara mereka. Hal yang tampak
sulit untuk dijawab adalah mengenai bagaimana cara yang membuat pemerintah tidak terlihat
otoriter dalam upaya meredam suara oknum tersebut. Mengenai hal tersebut akan coba dijawab
melalui sub-topik selanjutnya.
Politik Yesus = Demokrasi Pancasila?9

9
Politik Yesus yang dimaksud di sini bukanlah politik pemerintahan yang umumnya dipahami. Politik Yesus di sini merujuk
kepada sikap-sikap yang Yesus ambil dalam merespon suasana politik dan wajah keagamaan pada masa-Nya berkarya.
JURNAL PENDIDIKAN DAN KONSELING VOLUME 4 NOMOR 6 TAHUN 2022 5930
E-ISSN: 2685-936X (print) Halaman 5921-5935
P-ISSN: 2685-9351 (online) Volume 4 Nomor 6 Tahun 2022

Cukup banyak diskurus teologi yang membahas langkah politik Yesus selama ia
melaksanakan misi-Nya. Ia dikenal dengan cara-cara-Nya yang berbeda (kadang juga dilihat
sebagai sosok kontroversial) dalam mengubah wajah keagamaan dan hukum bangsa Yahudi.
Menurut J.P.M Sweet, Yesus pada masa hidup-Nya memiliki hubungan dengan orang Zelot, bahkan
murid-Nya sendiri ada yang masuk ke dalam bagian gerakan Zelot, yakni Simon orang Zelot (Luk
10:4).10 Namun, Yesus – jika dilihat secara utuh perjalanan misi-Nya – boleh dikatakan bukanlah
sosok yang membenarkan tindakan kekerasan dalam mengupayakan kehendak pribadi seperti
orang-orang Zelot (Sweet 1988, 2-3). Yesus mengutamakan kasih dan kelemahlembutan dalam
melancarkan upaya misi-Nya.
Alan Storkey dalam bukunya yang berjudul “Jesus and Politics: Confronting The Powers”
menyatakan bahwa prinsip politik Yesus adalah yang tidak berpihak pada penindas, tidak
pragmatis, tidak mementingkan agenda pribadi, dan berpihak kepada mereka yang lemah (Storkey
2005, 133). Menambah catatan Storkey, Josef P. Widyatmadja melihat bahwa prinsip politik Yesus
adalah politik yang membebaskan. Politik yang membuat tidak nyaman orang “golongan atas”
dengan segala hegemoninya (Widyatmaja 2010, 119-120).11 Marcus B. Jong lebih senang menyebut
politik Yesus sebagai “politik bela rasa” karena Ia menunjukkan bahwa dirinya mampu lepas dari
jerat kebudayaan yang mengikat-Nya. (Jong 2003, 73).12
Beranjak dari poin di atas, dapatkah kita katakan bahwa politik Yesus sejalan dengan sistem
politik Indonesia, yakni demokrasi pancasila? Dengan melihat asas-asas yang dibangun Yesus
dalam misi-Nya, yakni kasih, tidak pragmatis, mengutamakan mereka yang lemah, dan
membebaskan, maka dapat kita katakan bahwa politik Yesus memiliki similaritas dengan asas-asas
yang dibangun dalam demokrasi pancasila, bukan demokrasi liberal. Demokrasi liberal, sekali lagi,
menurut Thom Brooks hanya mengedepankan pragmatisme golongan masyarakat tertentu sesuai
orientasi dan harapan mereka terhadap agenda-agenda yang ingin dicapai (Brooks 2009, 51).
Yesus adalah representasi dari keseluruhan oposisi terhadap politik yang hanya berpusat
pada hegemoni golongan tertentu. Yesus boleh dikatakan adalah seorang radikal karena ia
mementaskan diri-Nya sebagai sosok yang melawan nilai-nilai yang berlaku pada waktu itu.
Pertanyaannya, apakah Yesus dapat disamakan dengan kelompok radikalis yang sedang
memperjuangkan agamanya di Indonesia? Pertanyaan tersebut akan coba dijawab melalui sub-bab
selanjutnya. Satu hal pasti yang dapat kita setujui bersama melalui pembahasan di atas adalah
bahwa politik Yesus sejalan dengan sistem politik demokrasi pancasila.

10
Zelot adalah salah satu gerakan dalam masyarakat Yahudi yang menentang penjajahan terhadap bangsa Israel dan
melakukan perjuangannya dengan mengangkat senjata dan tidak takut untuk melakukan kekerasan.
11
Golongan atas yang dimaksud di sini adalah para rabi Yahudi yang kerap mengikat banyak orang dengan segala peraturan-
peraturannya.
12
Tindakan Yesus harus diakui memang kerap melawan peraturan-peraturan ala Yahudi yang semestinya menjadi alat
kontrol terhadap perilaku sosial-Nya. Misalnya, ketika Yesus berbicara dengan perempuan Samaria, sebenarnya ia sedang
melanggar hukum yang berlaku pada waktu itu, yakni orang Yahudi tidak boleh bergaul dengan orang Samaria. Sudah orang
Samaria, lawan bicara Yesus adalah perempuan pula, ini semakin mempertegas jati diri Yesus sebagai oposisi dari peraturan
Yahudi yang mengekang.
JURNAL PENDIDIKAN DAN KONSELING VOLUME 4 NOMOR 6 TAHUN 2022 5931
E-ISSN: 2685-936X (print) Halaman 5921-5935
P-ISSN: 2685-9351 (online) Volume 4 Nomor 6 Tahun 2022

Politik Yesus, Demokrasi Pancasila, dan Teori Subjek Žižek


Setelah bermuara pada sebuah jawaban bahwa politik Yesus adalah politik yang memiliki
cita-cita pancasilais, kini saatnya kita merekam kembali pandangan Žižek tentang Subjek dan apa
kaitannya dengan politik Yesus dan demokrasi pancasila yang sedari tadi menjadi topik utama
pembicaraan dalam tulisan ini.
Mengutip kembali saripati pemikiran Žižek di awal percakapan, ia menyatakan bahwa
Subjek tidaklah mati, meskipun ia diikat oleh struktur-struktur (bahasa, budaya, sistem, dll) dengan
sedemikian rupa. Žižek percaya betul bahwa manusia memiliki kesadaran penuh untuk mengontrol
struktur-struktur tersebut, karena adanya struktur itu sendiri tidak lepas dari peran Subjek.
Beranjak dari titik ini, pertanyaan kembali dipertajam “Apa yang seyogyanya pemerintah lakukan
terhadap kaum radikal yang memakai tameng demokrasi demi mengukuhkan hegemoninya?”
Bilamana kita mencoba membenturkan politik Yesus dengan politik kaum radikal, maka
akan ditemukan bahwa kedua golongan ini sangatlah bertolak belakang. Di satu sisi Yesus
memperjuangkan keadilan demi masyarakat yang lemah, di sisi lain kaum radikal membela
kepentinganya sendiri dengan tidak ragu menginjak-injak minoritas. Demokrasi pancasila, sebagai
junjungan tertinggi bangsa Indonesia, jika diperhatikan, lebih cenderung memiliki kesamaan nilai
dengan politik Yesus dibanding politik kaum radikal yang membawa ideologi demokrasi yang
liberal, yang bukan menjadi cita-cita bangsa Indonesia. Maka dengan itu, langkah yang sekiranya
dapat diambil pemerintah terhadap kaum radikal adalah dengan melakukan represi terhadap kaum
radikal dengan memberikan rambu-rambu politik bagi mereka. Model represi yang saya tawarkan
di sini bukanlah model represi Orde Baru yang cenderung totalitar, melainkan mencari
kesepakatan bersama yang tidak merugikan pihak lain. Dengan melandaskan diri terhadap teori
Subjek Žižek, pemerintah perlu mengajak kaum radikal berdialog supaya mereka tidak hanya
meredefinisi dirinya, melainkan juga mengidentifikasi diri untuk berubah ke arah yang lebih baik
(karena menurut Žižek manusia itu pada hakikatnya dialogis. Dialogis karena ia butuh Subjek lain
untuk meredefinisi dirinya). Bilamana dialog dan pencarian kemufakatan bersama tak kunjung
mengubah diri kaum radikal, perlu ada rambu-rambu bagi mereka yang tetap bersikukuh menekan
kaum mayoritas. Lagi-lagi harus ditandaskan karena hal ini berlawanan dengan demokrasi
pancasila. Pemerintah harus kritis dalam melihat mana pihak yang benar-benar bersuara atas nama
demokrasi dan mana yang berlindung dibalik kata demokrasi.
Pemerintah perlu kritis karena sikapnya terhadap kaum radikal memengaruhi
kemaslahatan hidup bersama sebagai masyarakat Indonesia yang majemuk. Sepakat dengan politik
Yesus, saya punya harapan besar pemerintah dapat merangkul seluruh golongan yang ada di negeri
ini, baik itu mereka yang dari sayap kiri maupun kanan, semua hidup bersama dalam sistem politik
yang mengedepankan keadilan sosial bagi bersama. Selama ini kepentingan kaum mayoritas – baik
radikal maupun tidak – lebih sering diprioritaskan dibanding kepentingan minoritas. Politik Yesus
– dengan menjadi oposisi dari nilai-nilai bangsa Yahudi yang dianggapnya tidak tepat – dengan
tegas memberi teguran kepada para pemuka agama Yahudi bahwa mereka harus berpihak kepada
mereka yang lemah.

JURNAL PENDIDIKAN DAN KONSELING VOLUME 4 NOMOR 6 TAHUN 2022 5932


E-ISSN: 2685-936X (print) Halaman 5921-5935
P-ISSN: 2685-9351 (online) Volume 4 Nomor 6 Tahun 2022

Saya tidak sedang bermaksud mendikte kebijakan pemerintah untuk membabi buta
membela kaum minoritas. Ini sama saja membalikkan keadaan, bukan menyetarakan keadaan. Saya
lebih senang menyebut hal ini sebagai pengangkatan martabat kaum minoritas. Pengangkatan
martabat memiliki nilai yang amat penting, karena ini menyangkut hakikat manusia. Jikalau ada
manusia yang dianggap martabatnya lebih rendah dibanding yang lain, bukankah kita juga sedang
merendahkan martabat pencipta manusia? Atau jangan-jangan penciptanya berbeda? Meminjam
istilah Žižek, Pemerintah – sebagai Subjek – mestinya mampu keluar dari jerat primordialisme, dan
menyatakan keadilan yang berangkat dari hati nuraninya sendiri. Hal ini tentu memiliki
konsekuensi logis yang besar, karena perjuangan tentu akan selalu bertemu dengan tantangan.
Yesus sendiri ketika melaksanakan misi-Nya menegakkan keadilan dan kasih di dunia bukan tanpa
tantangan. Ia harus mengorbankan diri-Nya sendiri dimusuhi banyak orang karena motivasi yang
sebenarnya baik, yakni mengangkat harkat dan martabat mereka yang tertindas. Dengan demikian,
jika ingin mewujudkan pemerintahan yang adil, maka banyak tantangan dan resiko yang harus siap
dikunyah. Namun, perjuangan yang dilakukan dengan ketulusan akan selalu berbuah, sama seperti
Yesus yang buah pelayanan-Nya makin dirasakan justru ketika diri-Nya telah mengunyah segala
resiko itu dengan mengorbankan nyawa-Nya sendiri.

KESIMPULAN
Politik di Indonesia semakin hari semakin menunjukkan potretnya yang buram. Hegemoni
terus-menerus menjadi milik kaum mayoritas, dan kaum minoritas hanya dapat diam karena tak
sanggup melawan. Jikalau kaum mayoritas mencoba melawan, maka konsekuensi yang harus
ditanggungnya akan berat. Kaum minoritas hanya dapat bergantung kepada pemerintah yang
memiliki kewibawaan untuk mengubah keadaan menjadi lebih berkeadilan (meski tidak
sepenuhnya mengubah total). Pemerintah perlu melakukan upaya-upaya yang meminimalisir
intimidasi terhadap kaum minoritas, karena pemerintah adalah pelindung bagi rakyatnya. Roma
13:4a dengan jelas mencatat bahwa “pemerintah adalah hamba untuk kebaikanmu”, dan segala
pemerintahan yang ada berasal dari Allah (Rm 13:1). Beranjak dari titik ini, kita sebagai orang
Kristen yang juga menjadi bagian dalam bangsa Indonesia memiliki tugas untuk mendorong
pemerintah mengambil sikap tegas terhadap fenomena ketidakadilan ini. Namun, yang
membedakan dengan kaum radikal adalah kita menyampaikan gagasan ini tidak dengan
melakukan cara-cara yang sama dengan cara kaum radikal, tetapi mengambil bentuk yang lebih
damai dan bersahabat.
Yesus sendiri ketika hendak menyampaikan gagasan-gagasan-Nya tentang kasih dan
keadilan selalu dengan cara-cara yang bersahaja. Contoh konritnya adalah ketika Yesus menohok
banyak orang yang hendak melempari batu terhadap perempuan yang ketahuan berzinah (Yoh
8:2-11). Menurut hukum yang berlaku di bangsa Yahudi, perempuan yang ketahuan berzinah harus
dilempar batu sampai ia mati. Namun, Yesus melawan hukum yang berlaku itu hanya demi
menyelamatkan satu orang. Pertanyaannya, apakah Yesus melakukan cara yang kasar – seperti
kaum radikalis – dalam menyampaikan pandangannya tentang hukum yang berlaku? Tentu tidak!
JURNAL PENDIDIKAN DAN KONSELING VOLUME 4 NOMOR 6 TAHUN 2022 5933
E-ISSN: 2685-936X (print) Halaman 5921-5935
P-ISSN: 2685-9351 (online) Volume 4 Nomor 6 Tahun 2022

Ia memakai cara yang hebat dan mendidik. Bukan membalas kekerasan dengan kekerasan. Inilah
yang juga semestinya kita lakukan dalam menyampaikan aspirasi politik kita. Cara yang damai dan
mendidik akan menjadi salah satu upaya untuk membuat pandangan pihak lain terhadap
Kekristenan lebih jernih lagi. tidak melulu negatif seperti yang terjadi hari ini.

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Benny Susetyo. 2004. Vox populi vox dei. Malang: Averroes Press.
Jong, Marcus B. 2003. Kali pertama jumpa yesus kembali. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Myers, Tony. 2003. Slavoj Žižek. London: Routledge.
Nasution, Mirza. 2015. Politik hukum dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Jakarta:
Puspantara.
Robet, Robertus. 2010. Manusia Politik: Subyek Radikal dan Politik Emansipasi di Era
Kapitalisme Global menurut Slavoj Žižek. Tanggerang: Gaya Hidup.
Sharpe, Matthew dan Geoff Boucher. 2010. Žižek on politics. USA: Edinburgh University.
Storkey, Alan. 2005. Jesus and politics: Confronting the powers. USA: Baker Academic.
Sweet, J.P.M. 1988. Jesus and the politics of His day. Australia: Cambridge University
Press.
Widyatmadja, Josef P. 2010. Yesus & wong cilik. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Žižek, Slavoj. 2013. Less Than Nothing: Hegel and The Shadow of Dialectical Materialism. New York:
Verso.
Artikel
Anwarudin, Ahmad. 2013. Subjek dalam Pandangan Dunia Postmodernisme. Lingua: Refleksi
Postmodernisme, Vol. 13, no. 4 (April): 451-476.
Bellini, Paulo. 2014. 21st-century Liberal Democracy and its Contradictions. Lingua:
Journal of Democracy, Vol. 30, no. 5 (Juli): 114-124.
Kaban, Ramon. 2003. Implementasi Demokrasi Pancasila Dalam Kehidupan Bernegara.
Lingua: Journal of Politcs, Vol. 8, no. 4 (Oktober): 290-301.
Mutiani. 2015. Reaktualisasi Pengalaman Nilai Pancasila Untuk Demokrasi. Lingua:
Social Science Education Journal, Vol. 1, no. 4 (Desember): 176-183.
Nicks, John. 2010. Diversity or Solidarity? Making Sense of the “New” Social Democracy.
Lingua: Journal of Diversity, Vol. 90, no. 10 (Juni): 888-904.
Thom Brooks. 2009. A Critique of Pragmatism and Deliberative Democracy. Lingua:
Journal of Society, Vol. 45, no. 1 (Maret) 50-55.
Yunus, Nur Rohim. 2015. Aktualisasi Demokrasi Pancasila Dalam Kehidupan Berbangsa
dan Bernegara. Lingua: Social Science Education Journal, Vol. 1, no. 2 (November):
155-166.

JURNAL PENDIDIKAN DAN KONSELING VOLUME 4 NOMOR 6 TAHUN 2022 5934


E-ISSN: 2685-936X (print) Halaman 5921-5935
P-ISSN: 2685-9351 (online) Volume 4 Nomor 6 Tahun 2022

Siburian, D. (2021). Agama Kristen dan Hoax: Peran Agama Kristen dalam Menekan
Hoax. BIA': Jurnal
Teologi dan Pendidikan Kristen Kontekstual, 4(2), 226-237.
Sumiyatiningsih, Dien. (2012). Mengajar Dengan Kreatif & Menarik, Yogayakrta:
Andi Offset.
Telaumbanua, Arozatulo, “Peranan Guru Pendidikan Agama Kristen Dalam Membentuk
Karakter Siswa,”
FIDEI: Jurnal Teologi Sistematika dan Praktika 1, no. 2 (n.d.): 219–231.
Yosa, Ikshan, Impelementasi Pembelajaran Pendidikan Agama Kristen Di Abad 21,”
SIKIP: Jurnal
Pendidikan Agama Kristen Vol. 1, No (n.d.): 1–10.
Website
News Detik. Cerita Petani Kendeng Soal Demo.
https://news.detik.com/berita/d-3452919/cerita-warga-sekitar-pabrik-semen-rembang-tentang-
demo-pro-kontra (diakses 9 Mei 2017).
News Detik. Jokowi Bicara Soal Demo Bela Agama.
http://news.detik.com/berita/d-3333191/soal-aksi-4-november-jokowi-demo-itu-hak-tapi-
jangan-paksakan-kehendak (diakses 9 Mei 2017).
Berita Nusantara. _Pemerintah Ingin Pembangunan di Indonesia Tidak Jawasentris.
http://beritanusantara.co.id/index.php/berita/single/b/1097/Fokus_Pembangunan_di_Kawasan_
Timur_dan_Perbatasan__Presiden_Minta_Penggelaran_Pasukan_TNI_Tidak_Lagi_Jawasentris?kat=n
asional (diakses 9 Mei 2017).

JURNAL PENDIDIKAN DAN KONSELING VOLUME 4 NOMOR 6 TAHUN 2022 5935

Anda mungkin juga menyukai