Di Susun Oleh:
FAKULTAS TARBIYAH
2024
BAB II
Setiap agama memiliki pendapat sendiri-sendiri mengenai difable. Termasuk juga agama
islam. Berikut ini akan penulis jabarkan difable menurut perspektif berbagai agama.
Islam memandang para difable itu sama, tak ada yang berbeda. Dalam Al-quran, para difable
dipandang sama dengan individu normal lainnya, hendaknya kita bersikap toleransi
terutama terhadap kaum yang lemah, tidak bersikap diskriminasi, dan memberi keringanan
Dalam islam, manusia itu sama derajatnya di hadapan Allah, yang membedakannya adalah
ketaqwaannya. Rasulullah juga telah menyatakan dalam hadits sebagai berikut yang artinya:
Hadis diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak
melihat kepada bentuk dan harta kalian, akan tetapi Allah melihat kepada hati dan perbuatan
kalian”. (HR. Muslim, Kitāb al-Birr wa al-Ṣilah wa al-Ādab, Bāb Taḥrīm Zulm al- Muslim wa
Ḥazlihi wa Iḥtiqārihi wa Dammihi wa „Irḍihi wa Mālihi, Hadis no. 6708)...16
Dari hadits di atas, telah jelaslah bahwa islam tidak membeda-bedakan manusia apapun
latar belakangnya. Baik itu kaya atau miskin, manusia normal atau difable sekalipun semua
dianggap sama, derajat manusia semua sama di mata Allah, dan sekali lagi ditegaskan bahwa
Menurut ajaran agama mereka, kaum difable ada karena berlakunya karma. Dalam
setiap kehidupan pasti ada yang kaya dan miskin, ada bahagia dan duka, ada juga yang
terlahir sempurna dan tidak sempurna. Maka dari itu, mereka meyakini bahwa semua itu
adalah hukum karma yang telah berlaku. Karma itu merupakan warisan, yang mu
tlak adanya. Ajaran Agama Hindu mengajarkan umatnya untuk percaya dengan adanya
Karmaphala dan Punarbawa. Menurut ajaran Agama Hindu, dua aspek ini sangat
mempengaruhi kehidupan manusia, baik dari kelahirannya, kehidupan yang dia jalani di
dunia ini, sampai pada kematiannya kelak.
Karma pahala itu sendiri berasal dari dua kata yakni "karma" yang artinya perbuatan
atau tindakan dan "phala" yang artinya hasil atau akibat. Jadi, karmaphala dapat diartikan
sebagai suatu hasil dari suatu perbuatan, baik itu perbuatan baik ataupun perbuatan buruk
yang nantinya akan mendatangkan akibat yang tidak dapat kita hindarkan. Karmaphala
sendiri merupakan suatu hukum sebab-akibat, hukum aksi-reaksi, hukum usaha dan nasib.
Karmaphala berlaku secara universal, baik untuk alam semesta, tumbuhan, binatang maupun
manusia.
Maka dari itu umat hindu meyakini bahwa setiap perbuatan baik atau buruk manusia di
Menurut kepercayaan budha, setiap kehidupan ini adalah fana, dan tidak kekal. Jadi
semua yang diuji termasuk ujian mengalami disabilitas juga bersifat sementara. Alam ini
Buddhisme mengenal apa yang disebut sebagai Tiga Corak Kehidupan, salah satu
ajaran terpenting. Dalam bahasa Indonesia, tiga corak tersebut adalah tanpa inti,
dalam kehidupan yang bersyarat dan berasal dari bentukan akan mengandung tiga ciri
tersebut.
Secara akal atau logika belaka, kebanyakan orang mampu memahami tiga ciri itu dan
1 17
https://www.solider.id/baca/702-perspektif-hindu-terhadap-disabilitas
ketidakkekalan: siapakah di antara kita yang sanggup membantah bahwa hidup ini fana? Tak ada
Menurut keyakinan agama kristen, setiap manusia dipandang sama, dan berhak
memperoleh hak yang sama dalam segi apapun. Berikut ini akan dipaparkan beberapa teologi
1. Teologi Allah
Kesempurnaan Tuhan tidak dapat dinilai dengan ukuran manusia. Kaum disabilitas
dimata manusia seperti tidak sempurna. Namun kesempurnaan Tuhan melebihi apa yang
dapat dilihat dan dimengerti oleh manusia. Kesempurnaan Tuhan dalam kaum disabilitas
Mereka yang dimaksud dalam pernyataan ini adalah para kaum disabilitas itu sendiri.
Jadi, dari penjelasan mengenai Teologi Allah diatas dapat disimpulkan bahwa Allah yang
maha sempurna dan maha hadir, terlibat secara total dalam penciptaan alam semesta
termasuk manusia dan kaum disabilitas didalamnya. Kemaha sempurnaan ciptaan Tuhan
dalam kaum disabilitas tidak dilihat dari apa yang dilihat manusia, namun dalam rancangan
Allah. Allah hadir senantiasa dalam diri manusia, termasuk dalam kehidupan kaum
disabilitas dan ini harus merupakan cara pandang kaum non disabilitas.
2. Teologi manusia.
terpenting dari karya penciptaan Allah. Harun menjelaskan bahwa manusia merupakan
3. Teologi dosa
Dosa adalah suatu keadaan yang tidak sesuai dengan norma-norma moral hukum Allah
yang merusak hati dan pikiran manusia.19 Selain tiga teologi di atas ada lagi yang disebut
teologi roh kudus, teologi gereja, dan juga teologi akhir zaman
Dari tiga penjelasan di atas, dapatlah disimpulkan bahwasanya manusia itu memiliki hak dan
derajat yang sama, baik itu manusia normal ataupun difable. Semua manusia berhak mendapatkan
hak mereka, dan juga tak lupa untuk menunaikan kewajiban yang harus dipenuhi sesuai dengan
agama masing-masing.
2
CHOCOC “Pandangan Teologis Terhadap Kaum Disabilitas Dan Implementasinya Bagi Gereja Masa Kini Theodorus
Miraji” Medan
B. Difable dari perspektif kesehatan
Dalam segi kesehatan, para difable masih banyak yang belum mendapat pelayanan kesehatan
yang memadai. Hal ini bisa dilihat dari pembangunan pusat kesehatan ramah difable,
aksesibilitas yang masih kurang baik, dan lain sebagainya. Masih banyak dari tenaga kesehatan
yang belum memahami bagaimana menangani para difable, sehingga kaum difable yang
seharusnya mendapat pertolongan dalam segi kesehatan jadi terabaikan begitu saja.
Dalam berhubungan dengan para tenaga kesehatan, para difable memiliki persepsi yang
berbeda-beda. Jika para difable dewasa, mereka sudah terbiasa untuk berinteraksi dengan tenaga
kesehatan. Faktor kemampuan berkomunikasi inilah yang membuat persepsi positif bagi
mereka, yang beranggapan bahwa para tenaga kesehatan sudah sangat baik dalam melayani dan
Difable anak-anak memiliki persepsi bahwa pelayanan kesehatan adalah hal yang
menakutkan dan traumatis. Anak-anak disabilitas memiliki kondisi primer yang lebih rentan
terhadap penyakit dibanding dengan para anak-anak non-disabilitas sehingga mereka lebih
sering berhubungan dengan tenaga kesehatan. Intensitas yang tinggi tersebut membuat ketakutan
Untuk itu, perlu perhatian lebih agar para disabilitas terkhusus anak-anak, tidak lagi merasa
takut untuk datang ke pusat pelayanan kesehatan, serta bisa memperoleh layanan kesehatan yang
20
Kelvin dkk, “Peningkatan Aksesibilitas Pelayanan Kesehatan Dasar Untuk Difable Di Sukoharjo”
Jawa Tengah
C. Difable dari perspektif psikologi
Jika ditelaah lebih lanjut, kondisi psikologi para kaum difable ini harus lebih diperhatikan
lagi. Karena tak semua bisa menerima keadaan yang menimpa mereka, terlebih lagi yang
mengakibatkan kecacatan seperti tuna netra, daksa, dan lain sebagainya. Dalam hal ini
penerimaan diri sangat diperlukan agar nantinya para kaum difable dapat kembali melanjutkan
hidup mereka.
Penerimaan diri merupakan suatu kemampuan menerima segala hal yang ada pada diri
sendiri baik kekurangan maupun kelebihan yang dimiliki dan bersedia memperbaiki segala
sesuatu yang dianggap kurang (Hurlock, 2006). Pada definisi selanjutnya penerimaan diri juga
merupakan bentuk dari sebuah sikap yang pada dasarnya merasa puas terhadap diri sendiri,
kualitas, serta bakat sendiri serta adanya pengakuan terhadap keterbatasan diri sendiri (Chaplin,
2011). Faktor yang mempengaruhi penerimaan diri, yaitu: Pemahaman Diri, harapan yang
realistik, tidak adanya hambatan lingkungan, tingkah laku sosial yang sesuai, tidak adanya stres
emosional, kenangan akan keberhasilan sebelumnya, identifikasi dengan orang yang memiliki
penyesuaian diri yang baik, perspektif diri, pola asuh masa kecil yang baik, konsep diri yang
Adapun tahapan dalam proses penerimaan diri (self acceptance) menurut Livneh dan Antonak
(2005) ialah:
a. Kaget
Reaksi individu yang muncul pada tahapan ini ialah perasaan tidak percaya dengan hal
yang dialami, adanya gangguan pada mobilitas individu secara keseluruhan, dan disorganisasi
Reaksi selanjutnya ialah rasa panik saat mengetahui sifat dan besarnya peristiwa
traumatis yang dialami ditandai dengan munculnya perasaan bingung dan ketidakmampuan
fungsi kognitif, dan hadir gejala fisiologis termasuk denyut jantung yang cepat, keringat yang
berlebih, serta adanya gangguan pada sistem pencernaan (Livneh dan Antonak, 2005)..
c. Penyangkalan
Reaksi yang muncul pada tahap ini ialah suatu penolakan terhadap kenyataan yang
terjadi, dan biasanya merupakan suatu cara individu untuk mempertahankan diri. Pada tahap
ini, individu akan berusaha untuk menyangkal realitas yang ada dan hanya berfungsi
sementara karena penyangkalan yang dilakukan individu bersifat primitif (Taylor, 2009).
a. Depresi
Reaksi yang muncul ialah adanya rasa putus asa, berdiam diri, menghabiskan banyak waktu
untuk menangis, merasa tidak memiliki harapan, dan merasa tidak dapat tertolong lagi
Perasaan marah membuat individu sulit untuk memperdulikan keadaan dan membuat
individu cenderung menyalahkan kondisi yang dialami (Kubler ross, 2008) Reaksi marah dan
permusuhan biasanya dibagi menjadi dua bagian menurut Livneh dan Antonak (2005) , yaitu:
1. Internalisasi rasa marah. Individu akan menunjukkan rasa marahnya kepada diri
sendiri, adanya rasa benci, rasa bersalah, dan sering menyalahkan diri.
2. Eksternalisasi sikap permusuhan. Individu akan menunjukkan sikap permusuhan
Pada tahap ini individu tidak lagi marah dan mulai membiasakan diri dengan risiko yang
mungkin akan dihadapi. Individu mulai mencoba menghadapi pikiran yang tidak menyenangkan
tentang penyakit yang dialami, dan mulai menyadari kondisi diri dan berusaha untuk dapat
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat ditarik garis besar bahwasanya para difable
membutuhkan support dari orang-orang di sekitarnya, agar nantinya mereka bisa lebih menerima
21
Son Three Nauli Gultom dan I Gusti Ayu Putu Wulan Budisetyani, “Penerimaan Diri Difable (Different Abilities
People): Studi Tentang Remaja Tunanetra Perolehan” Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana
D. Difable dari perspektifekonomi
Dari segi ekonomi, para difable terkadang mengalami kesulitan dalam hak seperti
kesempatan untuk memperoleh pekerjaan. Masih banyak lapangan kerja yang mendiskriminasi
para difable, dan bahkan tak memberi kesempatan yang sama dengan orang normal pada
umumnya. Hal ini menyebabkan para difable mengalami kesulitan dalam segi ekonomi. Tak
jarang kita melihat para difable turun ke jalan, melakukan pekerjaan seperti mengamen,
meminta-minta, dan lain sebagainya. Ini disebabkan oleh diskriminasi yang terjadi terutama
kepada kaum difable. Hal ini berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, di mana
mereka berhak atas berbagai fasilitas, baik fasilitas publik maupun fasilitas perekonomian.
berdasarkan atas prinsip kesetaraan (persamaan) kesempatan dan partisipasi dalam berbagai
aspek kehidupan. Sebagaimana tertuang dalam konstitusi kita, para penyandang disabilitas
memiliki hak untuk melanjutkan hidupnya. Salah satunya, membutuhkan sumber keuangan
untuk melanjutkan hidup. Sumber keuangan ini, di antaranya, berasal dari suatu pekerjaan yang
mereka lakukan.
UUD 1945 Pasal 27 Ayat (2) menyebutkan, seluruh warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak. Artinya, ada persamaan hak bagi setiap warga negara tanpa
membedakan kondisi fisik. Selain itu, pasal 34 ayat 3 menyatakan, negara bertanggung jawab
atas penyediaan fasilitas kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Sebagai implementasi nyata dari amanah UUD tersebut, pemerintah mengeluarkan UU
khusus bagi difable, yaitu UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Peraturan ini
disabilitas, Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kelangsungan hidup setiap warga
negara, termasuk para penyandang disabilitas. Mereka mempunyai kedudukan hukum dan
memiliki hak asasi manusia yang sama sebagai warga negara. Mereka juga adalah bagian yang
Terfokus kepada hak ekonomi, khususnya hak pekerjaan sebagaimana UU mengenai hak
pekerjaan, kewirausahaan, dan koperasi sebutkan, maka setiap warga negara berhak
memperoleh upah yang sama dengan tenaga kerja yang bukan penyandang disabilitas dalam
jenis pekerjaan dan tanggung jawab yang sama; memperoleh Akomodasi yang layak dalam
pekerjaan..22
Untuk itu, seyogyanya baik bemerintah atau perusahaan lebih memperhatikan lagi para difable
terutama yang akan melamar pekerjaan, agar nanti para difable yang turun ke jalan dapat lebih
22
Nalar Politik “ HAM dan Konstituasi”
https://nalarpolitik.com/ham-dan-konstitusi-ekonomi-difable/
E. Difable dari perspektifpolitik dan hukum
Seperti dalam bidang-bidang yang telah kita bahas sebelumnya, hak-hak yang harus dimiliki
Menurut Mulyanto Utomo kini kesadaran publik dan negara untuk menjamin kelangsungan
hidup setiap warga negara, termasuk para penyandang disabilitas yang mempunyai kedudukan
hukum dan memiliki hak asasi manusia yang sama sebagai warga negara Indonesia dan
masyarakat Indonesia untuk maju dan berkembang secara adil dan bermartabat, kian nyata.
Kesadaran itu penting karena disabilitas dapat terjadi pada siapa saja dan kapan saja. Oleh
karena itu membicarakan disabilitas adalah bicara tentang kita, bukan tentang mereka.23
Berdasarkan data Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial,
jumlah penyandang disabilitas tahun 2006 adalah 2.364.232 orang. Sementara itu, Badan
Pusat Statistik menyebutkan ada 2,17% penyandang disabilitas yang berusia 10 tahun ke
atas, dari 237.641.326 jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 (Muthmainnah, 2014).
Menurut Ika Ariania Indriyany jumlah difable yang mengalami perbedaan jumlah, disebabkan
karena perbedaan kriteria dalam menentukan apakah seseorang dapat dikategorikan difable
atau tidak.
Isu disabilitas telah mendapat perhatian khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak
tahun 1980-an, dengan pengadopsian Resolusi Majelis Umum (MU) PBB Nomor 37/52 Tanggal
Disabled Persons (WPA) sebagai strategi global berbasis hak yang pertama di dunia untuk
23
Utomo, 2017, hlm. 4
24
Muhammad Julijanto 130 ◄ INKLUSI: Journal of Disability Studies, Vol. 6, No. 1, Jan-Jun 2019
F. Difable dari perspektifbudaya dan sosial,
Dalam perspektif budaya, masih banyak masyarakat yang masih mengasihani para difable,
sehingga banyak terjadi diskriminasi pada kaum difable. Hal ini karena tak adanya kesempatan
yang diberikan pada para disabilitas untuk mendapatkan pekerjaan, atau memiliki kesempatan
dan hak yang sama dalam hidup bermasyarakat. Stigma masyarakat yang masih menganggap
difable tak dapat melakukan sesuatu yang sama dengan orang normal inilah yang harus
diluruskan. Namun budaya ini seakan sulit dihilangkan, malah semakin berakar di tempat-
tempat tertentu. Misalnya di wilayah yang memang belum inklusif seperti halnya di pedesaan
yang memang belum memiliki akses informasi yang lengkap terkait disabilitas. Stetmen yang
penghambat, bahkan ada yang masih beranggapan bahwa para disabilitas merupakan suatu
Berdasarkan data dari badan statistik (BPS), ada sekitar 10,8 juta disabilitas ddengan usia
kerja. Namun hanya sekitar 5% yang memiliki gelar sarjana. Angka yang memiliki gelar doktor
malah lebih rendah lagi. Ini dikarenakan masih minimnya fasilitas pendidikan ramah disabilitas,
dan kebijakan yang ada pada bidang akademik belum bisa dikatakan inklusif.25
25
Metri “Peneliti Budaya Masyarakat dan Aturan- aturan diskiminitif sebabkan minimnya representasi difable
dalam riset”
https://theconversation.com/peneliti-budaya-masyarakat-dan-aturan-diskriminatif-sebabkan-minimnya- representasi-
difable-dalam-riset-145035 di akses 18 Juni 2022, Pukul 20:13 WIB
Oleh sebab itu, presentase disabilitas yang memiliki pendidikan yang tinggi masih
tergolong rendah. Budaya masyarakat yang masih belum sepenuhnya memahami hak-hak
mendapatkan hak dan kesempatan untuk berbaur dalam masyarakat baik itu di lingkungan
3 15
https://www.pta-banten.go.id/artikel-pengadilan/876-difable-dalam-al-qur-an-dra-hj-muhayah-s-h-m-
16
INKLUSI: Journal of Disability Studies, Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2016,
h.267-284, DOI: 10.14421/ijds.030206, DIFABLE DALAM ALQURAN, SRI HANDAYANA