Anda di halaman 1dari 14

RESUME BAB II

DIFABLE DARI BERBAGAI PERSPEKTIF

Di Susun Oleh:

Mutiara Mahardika (21531099)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH

INSTUTU AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) CURUP

2024
BAB II

DIFABLE DARI BERBAGAI PERSPEKTIF

A. Difable Dari Perspektif Berbagai Agama

Setiap agama memiliki pendapat sendiri-sendiri mengenai difable. Termasuk juga agama

islam. Berikut ini akan penulis jabarkan difable menurut perspektif berbagai agama.

1. Difable menurut perspektif islam.

Islam memandang para difable itu sama, tak ada yang berbeda. Dalam Al-quran, para difable

dipandang sama dengan individu normal lainnya, hendaknya kita bersikap toleransi

terutama terhadap kaum yang lemah, tidak bersikap diskriminasi, dan memberi keringanan

pada para penyandang disabilitas misalnya untuk ikut berperang.

Dalam islam, manusia itu sama derajatnya di hadapan Allah, yang membedakannya adalah

ketaqwaannya. Rasulullah juga telah menyatakan dalam hadits sebagai berikut yang artinya:

Hadis diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak
melihat kepada bentuk dan harta kalian, akan tetapi Allah melihat kepada hati dan perbuatan
kalian”. (HR. Muslim, Kitāb al-Birr wa al-Ṣilah wa al-Ādab, Bāb Taḥrīm Zulm al- Muslim wa
Ḥazlihi wa Iḥtiqārihi wa Dammihi wa „Irḍihi wa Mālihi, Hadis no. 6708)...16

Dari hadits di atas, telah jelaslah bahwa islam tidak membeda-bedakan manusia apapun

latar belakangnya. Baik itu kaya atau miskin, manusia normal atau difable sekalipun semua

dianggap sama, derajat manusia semua sama di mata Allah, dan sekali lagi ditegaskan bahwa

yang membedakan manusia adalah takwanya kepada Allah.

2. Difable Dari Perspektif Agama Hindu.

Menurut ajaran agama mereka, kaum difable ada karena berlakunya karma. Dalam

setiap kehidupan pasti ada yang kaya dan miskin, ada bahagia dan duka, ada juga yang

terlahir sempurna dan tidak sempurna. Maka dari itu, mereka meyakini bahwa semua itu

adalah hukum karma yang telah berlaku. Karma itu merupakan warisan, yang mu

tlak adanya. Ajaran Agama Hindu mengajarkan umatnya untuk percaya dengan adanya

Karmaphala dan Punarbawa. Menurut ajaran Agama Hindu, dua aspek ini sangat

mempengaruhi kehidupan manusia, baik dari kelahirannya, kehidupan yang dia jalani di
dunia ini, sampai pada kematiannya kelak.

Karma pahala itu sendiri berasal dari dua kata yakni "karma" yang artinya perbuatan

atau tindakan dan "phala" yang artinya hasil atau akibat. Jadi, karmaphala dapat diartikan

sebagai suatu hasil dari suatu perbuatan, baik itu perbuatan baik ataupun perbuatan buruk

yang nantinya akan mendatangkan akibat yang tidak dapat kita hindarkan. Karmaphala

sendiri merupakan suatu hukum sebab-akibat, hukum aksi-reaksi, hukum usaha dan nasib.

Karmaphala berlaku secara universal, baik untuk alam semesta, tumbuhan, binatang maupun

manusia.

Maka dari itu umat hindu meyakini bahwa setiap perbuatan baik atau buruk manusia di

masa lalu, pasti nantinya akan berimbas di masa sekarang...17

3. Difable menurut perspektif agama budha.

Menurut kepercayaan budha, setiap kehidupan ini adalah fana, dan tidak kekal. Jadi

semua yang diuji termasuk ujian mengalami disabilitas juga bersifat sementara. Alam ini

fana, dan suatu saat pasti semua akan berakhir.

Buddhisme mengenal apa yang disebut sebagai Tiga Corak Kehidupan, salah satu

ajaran terpenting. Dalam bahasa Indonesia, tiga corak tersebut adalah tanpa inti,

ketidakmemuaskan, dan ketidakkekalan. Dengan begitu, menurut Buddhisme, seluruh hal

dalam kehidupan yang bersyarat dan berasal dari bentukan akan mengandung tiga ciri

tersebut.

Secara akal atau logika belaka, kebanyakan orang mampu memahami tiga ciri itu dan

tanpa ragu memberikan persetujuan atasnya. Sebagai contoh tentang1

1 17
https://www.solider.id/baca/702-perspektif-hindu-terhadap-disabilitas
ketidakkekalan: siapakah di antara kita yang sanggup membantah bahwa hidup ini fana? Tak ada

yang abadi kecuali perubahan itu sendiri.18

4. Difable menurut perspektif agama kristen.

Menurut keyakinan agama kristen, setiap manusia dipandang sama, dan berhak

memperoleh hak yang sama dalam segi apapun. Berikut ini akan dipaparkan beberapa teologi

mengenai disabilitas menurut agama kristen:

1. Teologi Allah

Kesempurnaan Tuhan tidak dapat dinilai dengan ukuran manusia. Kaum disabilitas

dimata manusia seperti tidak sempurna. Namun kesempurnaan Tuhan melebihi apa yang

dapat dilihat dan dimengerti oleh manusia. Kesempurnaan Tuhan dalam kaum disabilitas

dapat dilihat dari bagaimana Allah menyatakan kuasaNya melalui mereka.

Mereka yang dimaksud dalam pernyataan ini adalah para kaum disabilitas itu sendiri.

Jadi, dari penjelasan mengenai Teologi Allah diatas dapat disimpulkan bahwa Allah yang

maha sempurna dan maha hadir, terlibat secara total dalam penciptaan alam semesta

termasuk manusia dan kaum disabilitas didalamnya. Kemaha sempurnaan ciptaan Tuhan

dalam kaum disabilitas tidak dilihat dari apa yang dilihat manusia, namun dalam rancangan

Allah. Allah hadir senantiasa dalam diri manusia, termasuk dalam kehidupan kaum

disabilitas dan ini harus merupakan cara pandang kaum non disabilitas.

2. Teologi manusia.

Teologi tentang manusia atau Antropologi menempatkan manusia sebagai bagian

terpenting dari karya penciptaan Allah. Harun menjelaskan bahwa manusia merupakan

makhluk yang berhubungan dengan Allah dan menguasai alam semesta.


18
Berta “disabilitas sang liyan dan hiduo yang getas”

https://buddhazine.com/disabilitas-sang-liyan-dan-hidup-yang-getas/di akses 18 Juni 2022,Pukul 20.07


Manusia mendapatkan mandat untuk menjadi wakil Allah atas segala ciptaanNya, hal ini

dikenal dengan istilah mandat penciptaan.

3. Teologi dosa

Dosa adalah suatu keadaan yang tidak sesuai dengan norma-norma moral hukum Allah

yang merusak hati dan pikiran manusia.19 Selain tiga teologi di atas ada lagi yang disebut

teologi roh kudus, teologi gereja, dan juga teologi akhir zaman

Dari tiga penjelasan di atas, dapatlah disimpulkan bahwasanya manusia itu memiliki hak dan

derajat yang sama, baik itu manusia normal ataupun difable. Semua manusia berhak mendapatkan

hak mereka, dan juga tak lupa untuk menunaikan kewajiban yang harus dipenuhi sesuai dengan

agama masing-masing.

2
CHOCOC “Pandangan Teologis Terhadap Kaum Disabilitas Dan Implementasinya Bagi Gereja Masa Kini Theodorus
Miraji” Medan
B. Difable dari perspektif kesehatan

Dalam segi kesehatan, para difable masih banyak yang belum mendapat pelayanan kesehatan

yang memadai. Hal ini bisa dilihat dari pembangunan pusat kesehatan ramah difable,

aksesibilitas yang masih kurang baik, dan lain sebagainya. Masih banyak dari tenaga kesehatan

yang belum memahami bagaimana menangani para difable, sehingga kaum difable yang

seharusnya mendapat pertolongan dalam segi kesehatan jadi terabaikan begitu saja.

Dalam berhubungan dengan para tenaga kesehatan, para difable memiliki persepsi yang

berbeda-beda. Jika para difable dewasa, mereka sudah terbiasa untuk berinteraksi dengan tenaga

kesehatan. Faktor kemampuan berkomunikasi inilah yang membuat persepsi positif bagi

mereka, yang beranggapan bahwa para tenaga kesehatan sudah sangat baik dalam melayani dan

memperhatikan para kaum penyandang disabilitas.

Difable anak-anak memiliki persepsi bahwa pelayanan kesehatan adalah hal yang

menakutkan dan traumatis. Anak-anak disabilitas memiliki kondisi primer yang lebih rentan

terhadap penyakit dibanding dengan para anak-anak non-disabilitas sehingga mereka lebih

sering berhubungan dengan tenaga kesehatan. Intensitas yang tinggi tersebut membuat ketakutan

mereka berakumulasi menjadi trauma terhadap tenaga dan praktik kesehatan.20

Untuk itu, perlu perhatian lebih agar para disabilitas terkhusus anak-anak, tidak lagi merasa

takut untuk datang ke pusat pelayanan kesehatan, serta bisa memperoleh layanan kesehatan yang

lebih baik lagi di masa mendatang.

20
Kelvin dkk, “Peningkatan Aksesibilitas Pelayanan Kesehatan Dasar Untuk Difable Di Sukoharjo”

Jawa Tengah
C. Difable dari perspektif psikologi

Jika ditelaah lebih lanjut, kondisi psikologi para kaum difable ini harus lebih diperhatikan

lagi. Karena tak semua bisa menerima keadaan yang menimpa mereka, terlebih lagi yang

mengalami kecacatan bukan bawaan. Misalnya seperti karena kecelakaan sehingga

mengakibatkan kecacatan seperti tuna netra, daksa, dan lain sebagainya. Dalam hal ini

penerimaan diri sangat diperlukan agar nantinya para kaum difable dapat kembali melanjutkan

hidup mereka.

Penerimaan diri merupakan suatu kemampuan menerima segala hal yang ada pada diri

sendiri baik kekurangan maupun kelebihan yang dimiliki dan bersedia memperbaiki segala

sesuatu yang dianggap kurang (Hurlock, 2006). Pada definisi selanjutnya penerimaan diri juga

merupakan bentuk dari sebuah sikap yang pada dasarnya merasa puas terhadap diri sendiri,

kualitas, serta bakat sendiri serta adanya pengakuan terhadap keterbatasan diri sendiri (Chaplin,

2011). Faktor yang mempengaruhi penerimaan diri, yaitu: Pemahaman Diri, harapan yang

realistik, tidak adanya hambatan lingkungan, tingkah laku sosial yang sesuai, tidak adanya stres

emosional, kenangan akan keberhasilan sebelumnya, identifikasi dengan orang yang memiliki

penyesuaian diri yang baik, perspektif diri, pola asuh masa kecil yang baik, konsep diri yang

stabil (Hurlock (2006).

Adapun tahapan dalam proses penerimaan diri (self acceptance) menurut Livneh dan Antonak

(2005) ialah:

1. Reaksi awal (proximal)

a. Kaget

Reaksi individu yang muncul pada tahapan ini ialah perasaan tidak percaya dengan hal

yang dialami, adanya gangguan pada mobilitas individu secara keseluruhan, dan disorganisasi

kognitif (Livneh dan Antonak, 2005).


b. Kecemasan

Reaksi selanjutnya ialah rasa panik saat mengetahui sifat dan besarnya peristiwa

traumatis yang dialami ditandai dengan munculnya perasaan bingung dan ketidakmampuan

fungsi kognitif, dan hadir gejala fisiologis termasuk denyut jantung yang cepat, keringat yang

berlebih, serta adanya gangguan pada sistem pencernaan (Livneh dan Antonak, 2005)..

c. Penyangkalan

Reaksi yang muncul pada tahap ini ialah suatu penolakan terhadap kenyataan yang

terjadi, dan biasanya merupakan suatu cara individu untuk mempertahankan diri. Pada tahap

ini, individu akan berusaha untuk menyangkal realitas yang ada dan hanya berfungsi

sementara karena penyangkalan yang dilakukan individu bersifat primitif (Taylor, 2009).

2. Reaksi menengah (intermediate)

a. Depresi

Reaksi yang muncul ialah adanya rasa putus asa, berdiam diri, menghabiskan banyak waktu

untuk menangis, merasa tidak memiliki harapan, dan merasa tidak dapat tertolong lagi

(Kubler ross, 2008).

b. Marah dan Permusuhan

Perasaan marah membuat individu sulit untuk memperdulikan keadaan dan membuat

individu cenderung menyalahkan kondisi yang dialami (Kubler ross, 2008) Reaksi marah dan

permusuhan biasanya dibagi menjadi dua bagian menurut Livneh dan Antonak (2005) , yaitu:

1. Internalisasi rasa marah. Individu akan menunjukkan rasa marahnya kepada diri

sendiri, adanya rasa benci, rasa bersalah, dan sering menyalahkan diri.
2. Eksternalisasi sikap permusuhan. Individu akan menunjukkan sikap permusuhan

terhadap sekitarnya dengan cara membalaskan perasaan marah yang dirasakan

individu pada orang lain atau lingkungan disekitarnya.

3. Reaksi akhir (distal)

a. Pengakuan dan Penyesuaian

Pada tahap ini individu tidak lagi marah dan mulai membiasakan diri dengan risiko yang

mungkin akan dihadapi. Individu mulai mencoba menghadapi pikiran yang tidak menyenangkan

tentang penyakit yang dialami, dan mulai menyadari kondisi diri dan berusaha untuk dapat

menerima kondisi diri sendiri (Germer, 2009).21

Dari beberapa penjelasan di atas, dapat ditarik garis besar bahwasanya para difable

membutuhkan support dari orang-orang di sekitarnya, agar nantinya mereka bisa lebih menerima

keadaan dan dapat menjalani kehidupan sebagaimana mestinya.

21
Son Three Nauli Gultom dan I Gusti Ayu Putu Wulan Budisetyani, “Penerimaan Diri Difable (Different Abilities
People): Studi Tentang Remaja Tunanetra Perolehan” Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana
D. Difable dari perspektifekonomi

Dari segi ekonomi, para difable terkadang mengalami kesulitan dalam hak seperti

kesempatan untuk memperoleh pekerjaan. Masih banyak lapangan kerja yang mendiskriminasi

para difable, dan bahkan tak memberi kesempatan yang sama dengan orang normal pada

umumnya. Hal ini menyebabkan para difable mengalami kesulitan dalam segi ekonomi. Tak

jarang kita melihat para difable turun ke jalan, melakukan pekerjaan seperti mengamen,

meminta-minta, dan lain sebagainya. Ini disebabkan oleh diskriminasi yang terjadi terutama

pada minimnya kesempatan untuk mendapat pekerjaan yang lebih layak.

Dalam rangka melakukan pembangunan nasional, negara wajib memberikan perhatian

kepada kaum difable. Hal ini berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, di mana

mereka berhak atas berbagai fasilitas, baik fasilitas publik maupun fasilitas perekonomian.

Pemikiran untuk meningkatkan kualitas hidup bagi kelompok masyarakat tersebut

berdasarkan atas prinsip kesetaraan (persamaan) kesempatan dan partisipasi dalam berbagai

aspek kehidupan. Sebagaimana tertuang dalam konstitusi kita, para penyandang disabilitas

memiliki hak untuk melanjutkan hidupnya. Salah satunya, membutuhkan sumber keuangan

untuk melanjutkan hidup. Sumber keuangan ini, di antaranya, berasal dari suatu pekerjaan yang

mereka lakukan.

UUD 1945 Pasal 27 Ayat (2) menyebutkan, seluruh warga negara berhak atas pekerjaan dan

penghidupan yang layak. Artinya, ada persamaan hak bagi setiap warga negara tanpa

membedakan kondisi fisik. Selain itu, pasal 34 ayat 3 menyatakan, negara bertanggung jawab

atas penyediaan fasilitas kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Sebagai implementasi nyata dari amanah UUD tersebut, pemerintah mengeluarkan UU

khusus bagi difable, yaitu UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Peraturan ini

kemudian sempurna dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Sebagaimana tersebutkan dalam konsideran UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang penyandang

disabilitas, Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kelangsungan hidup setiap warga

negara, termasuk para penyandang disabilitas. Mereka mempunyai kedudukan hukum dan

memiliki hak asasi manusia yang sama sebagai warga negara. Mereka juga adalah bagian yang

tidak terpisahkan dari warga negara dan masyarakat Indonesia.

Terfokus kepada hak ekonomi, khususnya hak pekerjaan sebagaimana UU mengenai hak

pekerjaan, kewirausahaan, dan koperasi sebutkan, maka setiap warga negara berhak

memperoleh pekerjaan yang pemerintah swasta selenggarakan tanpa pembeda-bedaan;

memperoleh upah yang sama dengan tenaga kerja yang bukan penyandang disabilitas dalam

jenis pekerjaan dan tanggung jawab yang sama; memperoleh Akomodasi yang layak dalam

pekerjaan..22

Untuk itu, seyogyanya baik bemerintah atau perusahaan lebih memperhatikan lagi para difable

terutama yang akan melamar pekerjaan, agar nanti para difable yang turun ke jalan dapat lebih

diminimalisir karena sudah mendapat pekerjaan yang layak.

22
Nalar Politik “ HAM dan Konstituasi”

https://nalarpolitik.com/ham-dan-konstitusi-ekonomi-difable/
E. Difable dari perspektifpolitik dan hukum

Seperti dalam bidang-bidang yang telah kita bahas sebelumnya, hak-hak yang harus dimiliki

para penyandang disabilitas juga sama di bidang hukum dan politik.

Menurut Mulyanto Utomo kini kesadaran publik dan negara untuk menjamin kelangsungan

hidup setiap warga negara, termasuk para penyandang disabilitas yang mempunyai kedudukan

hukum dan memiliki hak asasi manusia yang sama sebagai warga negara Indonesia dan

masyarakat Indonesia untuk maju dan berkembang secara adil dan bermartabat, kian nyata.

Kesadaran itu penting karena disabilitas dapat terjadi pada siapa saja dan kapan saja. Oleh

karena itu membicarakan disabilitas adalah bicara tentang kita, bukan tentang mereka.23

Berdasarkan data Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial,

jumlah penyandang disabilitas tahun 2006 adalah 2.364.232 orang. Sementara itu, Badan

Pusat Statistik menyebutkan ada 2,17% penyandang disabilitas yang berusia 10 tahun ke

atas, dari 237.641.326 jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 (Muthmainnah, 2014).

Menurut Ika Ariania Indriyany jumlah difable yang mengalami perbedaan jumlah, disebabkan

karena perbedaan kriteria dalam menentukan apakah seseorang dapat dikategorikan difable

atau tidak.

Isu disabilitas telah mendapat perhatian khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak

tahun 1980-an, dengan pengadopsian Resolusi Majelis Umum (MU) PBB Nomor 37/52 Tanggal

3 Desember 1982. Resolusi tersebut menetapkan World Programme of Action Concerning

Disabled Persons (WPA) sebagai strategi global berbasis hak yang pertama di dunia untuk

meningkatkan pencegahan disabilitas.24

23
Utomo, 2017, hlm. 4

24
Muhammad Julijanto 130 ◄ INKLUSI: Journal of Disability Studies, Vol. 6, No. 1, Jan-Jun 2019
F. Difable dari perspektifbudaya dan sosial,

Dalam perspektif budaya, masih banyak masyarakat yang masih mengasihani para difable,

sehingga banyak terjadi diskriminasi pada kaum difable. Hal ini karena tak adanya kesempatan

yang diberikan pada para disabilitas untuk mendapatkan pekerjaan, atau memiliki kesempatan

dan hak yang sama dalam hidup bermasyarakat. Stigma masyarakat yang masih menganggap

difable tak dapat melakukan sesuatu yang sama dengan orang normal inilah yang harus

diluruskan. Namun budaya ini seakan sulit dihilangkan, malah semakin berakar di tempat-

tempat tertentu. Misalnya di wilayah yang memang belum inklusif seperti halnya di pedesaan

yang memang belum memiliki akses informasi yang lengkap terkait disabilitas. Stetmen yang

menganggap penyandang disabilitas sebagai sesuatu yang harus dikasihani, sebagai

penghambat, bahkan ada yang masih beranggapan bahwa para disabilitas merupakan suatu

kutukan, ini merupakan pendapat yang sangat keliru.

Berdasarkan data dari badan statistik (BPS), ada sekitar 10,8 juta disabilitas ddengan usia

kerja. Namun hanya sekitar 5% yang memiliki gelar sarjana. Angka yang memiliki gelar doktor

malah lebih rendah lagi. Ini dikarenakan masih minimnya fasilitas pendidikan ramah disabilitas,

dan kebijakan yang ada pada bidang akademik belum bisa dikatakan inklusif.25

25
Metri “Peneliti Budaya Masyarakat dan Aturan- aturan diskiminitif sebabkan minimnya representasi difable
dalam riset”

https://theconversation.com/peneliti-budaya-masyarakat-dan-aturan-diskriminatif-sebabkan-minimnya- representasi-
difable-dalam-riset-145035 di akses 18 Juni 2022, Pukul 20:13 WIB
Oleh sebab itu, presentase disabilitas yang memiliki pendidikan yang tinggi masih

tergolong rendah. Budaya masyarakat yang masih belum sepenuhnya memahami hak-hak

disabilitas semakin mempersulit dan mempersempit peluang para disabilitas untuk

mendapatkan hak dan kesempatan untuk berbaur dalam masyarakat baik itu di lingkungan

sekitar maupun dalam dunia kerja.

3 15
https://www.pta-banten.go.id/artikel-pengadilan/876-difable-dalam-al-qur-an-dra-hj-muhayah-s-h-m-

16
INKLUSI: Journal of Disability Studies, Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2016,
h.267-284, DOI: 10.14421/ijds.030206, DIFABLE DALAM ALQURAN, SRI HANDAYANA

Anda mungkin juga menyukai