Anda di halaman 1dari 5

FATALISME

Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Psikologi Agama
Dosen Pengampu : Zaenal Muttaqin, S.Si., M.Pd.I.

Disusun oleh :
Muh Islakhudin (18120058)

PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA
PURWOREJO
2019
A. FATALISME

Fatalisme merupakan suatu tindakan atau perilaku yang bersifat fatalis


(berserah kepada nasib). Masyarakat Indonesia yang berada dibawah penjajahan
memang lebih mudah menerima untuk bersikap pasrah, sikap tersebut kemudian
menjurus ke tradisi beragama yang keliru dengan memitoskan sikap pasrah sebagai
bagian dari ajaran agama.Sikap pasrah mengarah pada fatalisme, dikatakan sebagai
kategori sikap menyimpang. Sikap ini mengabaikan peran akal secara normal.
Padahal agama menepatkan akal pada kedudukan yang tinggi. Alquran
mengajarkan kita untuk bersikap pasrah hanya kepada Allah SWT bukan berserah
kepada nasib. seperti terdapat dalam QS An-Nur ayat 42 yang artinya

Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah kembali
(semua makhluk). (QS A- Nur : 42)

Secara psikologis, ada beberapa faktor yang melatarbelakangi munculnya


fatalism, yakni:
1. Pemahaman agama yang keliru
Sebagai manusia biasa, para agamawan memiliki latar belakang sosio-
kultural, tingkat pendidikan, maupun kapasitas yang berbeda. Dalam kondisi
seperti itu terbuka peluang timbulnya “salah tafsir” dalam memahami pesan-pesan
dalam kitab suci maupun risalah rasul.

2. Otoritas Agamawan
Dalam komunitas agama selalu ada pemimpin agamayang jadi panutan
masyarakat pemeluknya. Popularitas yang dicapai sering dianggap sebagai sukses
diri pribadi ini harus senantiasa dipertahankan dan bila perlu ditingkatkan lagi.
Dalam kondisi seperti ini terkadang dengan menggunakan otoritas yang
berlebihan, pemimpin agama terjebak kepada upaya untuk memitoskan ajaran
agama. Ajaran agama dijadikan alat untuk “menyihir” pengikutnya. Kata-kata yang
dikeluarkan harus dianggap sebagai fatwa yang bila dilanggar akan berakibat
buruk. Sebaliknya “disuburkan” pula janji-janji “surgawi” yang muluk sebagai
ganjaran yang diperuntukkan kepada mereka yang patuh dan taat. Pemimpin
agama berusaha menciptakan situasi psikologis pengikutnya hingga terbentuknya
sikap penurut.

2
Salah satu contoh aliran yang menganut faham fatalism adalah Jabariyah
murni atau ekstrim,yang dibawa oleh Jahm bin Shafwān paham fatalisme ini
beranggapan bahwa perbuatan-perbuatan diciptakan Tuhan di dalam diri manusia,
tanpa ada kaitan sedikit pun dengan manusia, tidak ada kekuasaan, kemauan dan
pilihan baginya. Manusia sama sekali tidak mampu untuk berbuat apa-apa, dan
tidak memiliki daya untuk berbuat. Manusia bagaikan selembar bulu yang
diterbangkan angin, mengikuti takdir yang membawanya.
Manusia dipaksa, sama dengan gerak yang diciptakan Tuhan dalam benda-
benda mati. Oleh karena itu manusia dikatakan “berbuat” bukan dalam arti
sebenarnya, tetapi dalam arti majāzī atau kiasan. Seperti halnya “perbuatan” yang
berasal dari benda-benda mati. Misalnya dikatakan: pohon berbuah, air
mengalir,batu bergerak, matahari terbit dan terbenam, langit mendung dan
menurunkan hujan, bumi bergerak dan menghasilkan tumbuh-tumbuhan, dan
sebagainya.
Selain itu, menurut mereka pahala dan dosa ditentukan sebagaimana halnya
dengan semua perbuatan. Jika demikian, maka taklif atau pelaksanaan kewajiban
dan tanggung jawab juga merupakan suatu paksaan. Kalau seseorang mencuri atau
minum khamr misalnya, maka perbuatannya itu bukanlah terjadi atas kehendaknya
sendiri, tetapi timbul karena qada dan qadar Tuhan yang menghendaki demikian.
Dengan kata lain bahwa ia mencuri dan meminum khamr bukanlah atas
kehendaknya tetapi Tuhanlah yang memaksanya untuk berbuat demikian.
Pendapat Jahm yang berkaitan dengan persoalan teologi adalah sebagai
berikut:
a. Manusia tidak mampu untuk berbuaat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya,
tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan.
Pendapat Jahm tentang keterpaksaan ini lebih terkenal dibanding dengan
pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan,
meniadakan sifat Tuhan(nafyu as-sifat), dan melihat Tuhan di akhirat.
b. Surga dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.;’
c. Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini,
pendapatnya sama dengan konsep iman yang diajukan kaum Murji’ah.

3
d. Kalam Tuhan adalah makhluq. Allah maha suci dari segala sifat dan
keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar dan melihat.
Begitupula Tuhan tidak dapat dilihat dengan indera mata di akhirat kelak. 1

Perilaku fatalisme lebih cenderung disebabkan oleh karena pemahaman


yang keliru dan otorisasi pemimpin agama. Hal ini banyak menimpa penganut
agama di negara Indonesia yang masih dangkal dan awam akan hal ketheologisan
mereka hanya berserah kepada nasib (nrimo) dan hal itu adalah sangatlah fatal
sekali dalam kehidupan beragama dan mereka harus di bimbing ke jalan yang
sesuai dengan perilaku beragama yang benar.
”.
Dalam kenyataan, umumnya nilai-nilai ajaran agama sering “dimanipulasi”
hingga melahirkan pemeluk yang fatalis (berserah kepada nasib). Informasi wahyu
dan risalah kerasulan direduksi maknanya menjadi sebaliknya, sampai-sampai para
pemeluknya terbentuk menjadi kelompok yang nrimo. Mereka dibiasakan untuk
menerima keadaan sebagai “gambaran nasib” yang sudah ditentukan dari “atas”.

DAFTAR PUSTAKA

http://berbagimakalah07.blogspot.com/2015/12/makalah-psikologi-agama-tingkah-
laku.html (diakses pada 27 Mei 2019)
https://www.academia.edu/7294473/Review_Buku_Psikologi_Agama_Karangan_Prof._Dr
._H._Jalaluddin (diakses pada 27 Mei 2019)
1

4
https://www.academia.edu/9162119/ILMU_KALAM (diakses pada 27 Mei 2019)

Anda mungkin juga menyukai