Anda di halaman 1dari 4

NATAL (natus est. Lat.) adalah sebuah peristiwa kelahiran.

Sebuah kelahiran biasa layaknya manusia


pada umumnya. Menjadi tidak biasa ketika peristiwa tersebut dipahami dan diyakini sebagai
kelahiran Tuhan di dunia. Hal ini menimbulkan kontroversi baik secara sosial, psikologis, teologis
maupun politis. Pada zamannya, Yesus ditolak di kampung halamannya sendiri (Matius 13,55:
Bukankah Ia ini anak tukang kayu?). Secara Biblis, teks sendiri kontroversial karena “Ia mengandung
dari Roh Kudus“ (Matius 1,18). Ketidakbiasaan ini  berada di luar jalur tradisi Yahudi pada saat itu,
dan telah membawa Yesus kepada hukuman mati di atas kayu salib. Perdebatan teologis mengenai
Tuhan yang manusia dan manusia yang Tuhan telah mewarnai sejarah ajaran Gereja perdana dan
bahkan seumur dengan usia Gereja itu sendiri. Para teolog besar Gereja (a.l. Thomas Aquinas, Karl
Rahner) telah berupaya sedemikian rupa untuk menjelaskan kompleksitas ini, dan akan terus tinggal
di kawasan akademis apabila Gereja gagal mewartakan misteri cinta Ilahi secara lebih sederhana
kepada masyarakat dimana Gereja berada.

Sudah umum diketahui bahwa peristiwa Natal yang dirayakan setiap tanggal 25 Desember
adalah sejatinya kooptasi perayaan sembahan kepada Dewa Matahari di daratan Eropa pada
waktu itu. Analogi terang dan cahaya atas kegelapan dianggap menjadi simbul yang tepat
untuk menggambarkan kehadiran Tuhan di dunia. Beberapa denominasi Gereja berusaha
secara persis menentukan tanggal kelahiran Yesus, sebelum atau sesudah tanggal 25
Desember, sehingga perayaan Natal sering diadakan pada sekitar tanggal 25 Desember,
kecuali Gereja Katolik.

Terlepas dari persoalan teknis, termasuk apakah Yesus lahir di gua atau di kandang, di dalam
cuaca dingin bersalju atau tidak, dikelilingi pohon cemara atau palem, kelihatan ada
kesepakatan bahwa Sang Juru Selamat telah lahir, menebus dosa dan memberi keselamatan
kekal. Berita keselamatan kekal sesudah kematian itu menjadi riil setelah kebangkitan Yesus.
Secara iman dan liturgis,  kebangkitan yang dirayakan di hari Paskah lebih meriah  daripada
peristiwa Natal. Namun pesta dan gaung Natal lebih gempita dibanding Paskah, mungkin
karena sudah ada bawaan komersial dan menjadi industri.

Melihat sekilas sejarah Natal, muatan-muatan inkulturatif sudah sangat kental. Tanggal 25
Desember, gua Natal, pohon cemara, salju, adalah aksesoris inkulturatif untuk memaknai
Natal lebih terpahami oleh budaya setempat pada saat itu. Dengan demikian, budaya-budaya
lain berhak juga untuk mengejawantah makna kelahiran Yesus dengan budayanya sendiri
karena dalam khazanah budaya tidak ada budaya unggulan atau prerogasi budaya. Tidak
mengherankan kalau di Jawa Tengah muncul patung Yusuf dan Maria memakai busana Jawa,
keledai diganti dengan kerbau dan cemara diganti dengan pohon bambu. Tidak ada salju lagi.

Ada diskrepansi antara wahyu Ilahi dengan tangkapan manusia atas kebenaran wahyu.
Tangkapan manusia, dengan demikian, sangat diwarnai oleh kebudayaan di mana dia tinggal.
Keallahan, oleh karenanya selalu sah ditangkap oleh ranah kemanusiaan kita. Atau adakah
keallahan yang tidak ditangkap oleh kemanusiaan kita sehingga kita tidak mengerti?

Kalau kita simak, kekristenan sebagai agama lebih berkembang ke kawasan Timur Tengah,
Turki, Yunani hingga ke seluruh Eropa.. Kerangka pemikiran Yunani tentang logos (Bdk.
Aristoteles) sangat menginspirasi teologi Gereja hingga kini. Kesulitan muncul ketika Gereja
– dengan warna budayanya yang terbentuk berabad-abad – dibawa ke seluruh bagian dunia,
berjumpa dengan banyak sistem religius, tradisi budaya dan agama-agama lain.
Masalah-masalah muncul ketika budaya yang bersifat parsial ingin dijadikan universal.

Lebih memprihatinkan lagi ketika simbol-simbol budaya tersebut menjadi tolok ukur
dalamnya keimanan pemeluknya (misalnya menjadi benar-benar Katolik ketika memasang
salib atau pohon Natal, atau berkalung rosario dan sebagainya). Penghayatan agama melalui
simbol-simbol hanya akan mengerosi kedalaman beragama, dan pengalaman iman menjadi
stagnant, sebuah indikasi kegagalan metodologi pengajaran agama atau katekese.

Di sisi lain, menyamakan kekristenan dengan Barat memang tidak sepenuhnya tepat karena
kerygma, atau inti pokok pesan Injili tetap disampaikan. Yang bisa bermasalah  adalah
bungkus budaya yang khas.

Keniscayaan Inkulturasi

Inkulturasi sebenarnya adalah keniscayaan apabila Gereja tidak mau terjebak dalam
keterasingan, eksklusivitas atau mengalami kegagalan syiar-nya. Sudah jamak kita dengar di
bumi Indonesia kalau pemeluk Kristen adalah sebuah kelompok eksklusif dan kaya.
Tercermin dari pagar sekolah, biara/gereja yang mengelilingi bangunan. Para rohaniwannya
yang berjarak oleh karena status sosialnya, atau umat sendiri yang merasa mempunyai
privilese keselamatan sehingga merasa lebih berkelas, dan karena itu kurang bersosialisasi,
atau bersosialisasi dengan cara-cara yang tidak pas/tepat. Salah satu dampaknya cukup jelas
mengapa gereja dianggap “kurang menyatu” dengan masyarakat kebanyakan, menjadi sulit
mendirikan tempat ibadah meskipun sudah difasilitasi dengan  terbitnya SKB (Surat
Keputusan Bersama) dua menteri.

Sulitnya mendapatkan izin dari perwalian masyarakat setempat untuk membangun gereja
tidak menutup kemungkinan bahwa ini disebabkan karena masih adanya kecurigaan atas
keberadaan Gereja di bumi pertiwi oleh sebagian besar masyarakat Indonesia,  ditambah
masalah politik praktis yang ada. Tidak sedikit para pemeluk Kristen Indonesia tiba-tiba
merasa menjadi tamu asing di rumah atau di negerinya sendiri. Spirit 100% Katolik dan
100% Indonesia masih belum benar-benar membumi. Menimbulkan pertanyaan apakah
Gereja Katolik (di) Indonesia sudah melakukan public communication and relation yang
efektif? Branding yang mau dibangun, baik sebagai institusi maupun oleh sebagian besar
pemeluknya, termasuk nama-nama besar seperti Van Lith, I.J. Kasimo, Driyarkara, Franz
Magnis-Suseno, Romo Mangun, dan lain-lain,  tidak cukup menarik gerbong imaji bahwa
Gereja berpihak kepada kaum miskin dan terlibat dengan keprihatinan serta  pembangunan
Ibu Pertiwi, dan kalah imaji oleh mahalnya sekolah-sekolah dan Rumah Sakit Katolik.

Kabar Gembira terkendala untuk disampaikan sebagai pembebasan untuk semua orang
karena ketidaksepahaman budaya dan “bahasa” di mana Gereja tinggal, padahal “semua
orang tercengang-cengang bagaimana mungkin kita orang Partia, Media, Elam, penduduk
Mesopotamia, Yudea dan Kapadokia, Pontus dan Asia, Frigia dan Pamfilia, Mesir dan
daerah-daerah Libia yang berdekatan dengan Kirene, pendatang-pendatang dari Roma, baik
orang Yahudi maupun penganut agama Yahudi, orang Kreta dan orang Arab, mendengar
mereka (para Rasul) berkata-kata dalam bahasa kita sendiri tentang perbuatan-perbuatan
besar yang dilakukan Allah ?” (Lih. Kisah Para Rasul 2, 8-11). Bagaimanakah sebuah pesan
Injili yang begitu penting yakni cinta kasih yang membebaskan dapat dipahami oleh semua
orang dari berbagai agama, tradisi religius, sistem nilai dan budaya yang berbeda?

Roh Inkulturasi
Roh dari inkulturasi sebenarnya adalah Allah sendiri, di dalam peristiwa inkarnasi (carne =
daging. Lat.), yakni Sabda yang menjadi Daging. Mengutip Injil menurut Yohanes, “Pada
mulanya adalah Sabda, Sabda itu bersama-sama dengan Allah dan Sabda itu adalah Allah
sendiri (1,1-2) (dan) Sabda itu telah menjadi manusia dan diam di antara kita (1,14). Dalam
ungkapan Rasul Paulus “telah mengosongkan diri-Nya sendiri dan mengambil rupa seorang
hamba dan menjadi sama dengan manusia“ (Filipi 2, 7-8).

Imperatif teologis yang pertama adalah bahwa Allah meninggalkan “dunia”-Nya untuk
masuk ke dunia manusia yang ingin diselamatkan-Nya. Sebuah cara yang luar biasa  untuk
pertama-tama menjadi sama, senasib seperjuangan, memahami dan kemudian membawanya
kembali kepada tujuan penciptaan. Masuk ke dalam sistem nilai dan cara berpikir budaya
setempat, yang ingin dilayani, menjadi keharusan yang tidak dapat diabaikan oleh gereja (di)
Indonesia.

Imperatif teologis yang kedua adalah kerendah-hatian Tuhan kepada manusia, yakni,
bagaimana Dia yang duduk di takhta maha tinggi mau merendahkan diri-Nya sedemikian
rupa, bahkan sampai masuk ke dalam kematian (sebuah keniscayaan paling akhir yang
menakutkan). Kerendahatian ini juga yang semestinya menjadi semangat inkulturasi dan
dialog dengan pihak lain di luar Gereja.

Memandangi patung bayi mungil dalam dekorasi sederhana ala Jawa di sebuah keluarga di
desa, semakin memberikan pamahaman refleksi atas kerendahan hati Tuhan, bahwa Ia datang
tidak hanya untuk kalangan istana dan para ahli kitab, tetapi juga untuk yang paling
sederhana, miskin, tertindas dan terlupakan. Tuhan sendiri telah masuk ke dalam dunia
manusia yang ingin diselamatkan-Nya. Inilah imperatif teologis yang ketiga: Ia datang bagi
seluruh umat manusia tanpa terkecuali.

Faktanya adalah bahwa kelahiran Yesus sudah terjadi lebih dari 2000 tahun yang lalu, dan
misinya terus diemban oleh Gereja sampai hari ini. Gereja yang tidak lagi menampakkan
wajah Tuhan – yang menghamba – ibarat tubuh kehilangan jiwanya. Mungkin Natal kali ini
saatnya merenungkan kembali bagaimana Dia bisa lahir di bumi pertiwi dan menjadi
kegembiraan seluruh masyarakat Indonesia.

"Sebagai tema natal nasional, Immanuel berarti Allah Beserta Kita, jadi makna di tengah
kepihatianan pandemi covid-19, perayaan Natal memberi kekuatan kepada umat Katolik untuk
selalu percaya bahwa Allah tetap menyertai hidup manusia dalam situasi sulit, itu soal iman," ungkap
Romo Babey

Tema Natal tahun 2020 "Mereka Akan Menamakannya Immanuel" dihayati sebagai kepercayaan
akan Allah mampu memberikan kekuatan bagi umat Katolik di tengah masa pandemi covid-19.

Tema Natal 2020 adalah “...Mereka Akan Menamakan-Nya Imanuel” (Mat.1:23). Tema
Natal selalu menjadi sebuah pesan yang menarik bagi umat Kristen atau pun juga umat
Katolik. PGI dan KWI merupakan wadah yang menjadi pusat acuan bagi umat Kristiani di
Indonesia. Termasuk Tema Natal tahun 2020 PGI dan KWI sudah resmi menyampaikan
pesan natal ini dalam akun resmi Twitter. 

Imanuel berarti "Allah beserta Kita" Allah yang tetap selalu menyertai dan melindungi
umatNya di tengah ancaman wabah pandemi covid-19.

Anda mungkin juga menyukai