Anda di halaman 1dari 4

Makalah Ilmiah Teologi Feminis

HOT-HOUSE ECCLESIOLOGY
(A Feminist Interpretation of The Church)

Kuirinus Moda Wawa (221131)


Leonardo Liberto Mere (221133)
Matius Jado (2211)
Paulinus Gado (221148)

INSTITUT FILSAFAT DAN TEKNOLOGI KREATIF


LEDALERO-MAUMERE
2022/2023
Pendahuluan
“Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama
kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan
kecemasan para murid Kristus juga (GS. 1).”1 Kutipan ini menandaskan bahwa Gereja mesti
bersolider dengan umatnya. Dalam artian Gereja harus bisa berpartisipasi atau terlibat aktif
dalam segala situasi yang dirasakan umat, khususnya mereka yang menderita dan terpinggirkan.
Dalam artikelnya, Letty M Russell coba menampilkankan Gereja sebagai tempat yang
nyaman dan aman bagi semua orang. Hal ini dilakukan Gereja dengan mengupayakan kesetaraan
dan keadilan kepada semua anggotanya. Upaya internal Gereja ini merupakan basis atau
landasan dasar dari peran yang hendak dijalankan para anggotanya kepada orang-orang yang
berada di luar Gereja khusunya mereka yang terpinggirkan.
Pemahaman tentang Eklesiologi dan Hot House
Ada beberapa pandangan yang diangkat kelompok tentang eklesiologi. Pertama,
eklesiologi Paulus. Dalam eklesiologi Paulus, ia menggambarkan hubungan Kristus dengan
Gereja, di mana Gereja dilihat sebagai tubuh dan Kristus sebagai kepala. Gereja juga dilihat
sebagai mempelai wanita dan Kristus adalah mempelai prianya. Kedua, eklesiologi Markus.
Menurut Markus, Gereja adalah sekelompok atau sekumpulan orang-orang yang secara aktual
mengikuti cara hidup dan keutamaan-keutamaan Kristus. Ketiga, eklesiologi Matius. Dalam
eklesiologi Matius, Gereja dilihat sebagai suatu institusi atau lembaga yang didirikan di dunia
dengan bentuk sosial yang jelas. Kempat, eklesiologi Lukas. Gereja oleh Lukas dilihat sebagai
sumber dan sejarah keselamatan yang dikerjakan Allah.2 Dari pelbagai uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa eklesiologi di dalamnya mencakup empat pemahaman dasar tentang Gereja,
yakni Gereja sebagai Tubuh Kristus, Gereja sebagai persekutuan umat Allah, Gereja sebagai
institusi dan Gereja sebagai sakramen atau tanda keselamatan.
Letty M. Russell mengangkat istilah Hot-House karena dilatarbelakangi oleh permasalahan
sosial yang muncul di Kota Minamata, Jepang. Permasalahan yang terjadi adalah keracunan
timbal yang dialami oleh anak-anak akibat limbah industri. Permasalahan ini mendorong
sekelompok wanita di Jepang untuk mendirikan sebuah tempat khusus yang memberikan
keamanan, kenyamanan, dan perawatan kepada ibu dan anak-anak yang menjadi korban. Tempat
itu disebut sebagai Hot-House. Istilah ini kemudian digunakan oleh Letty M. Russel untuk
menginterpretasi gerakan feminisme di dalam Gereja. Menurut Letty M. Russell, visi yang
dimiliki wanita untuk Gereja adalah Gereja bisa menjadi tempat perlindungan dan tempat yang
aman bagi semua orang, khususnya bagi mereka yang tersubordinasi atau yang tersingkirkan
oleh komunitas manapun.

Model Gereja Hot-House

1
Konsili Vatikan II, Dokumen Konsili Vatikan II, penerj. R. Hardawirayana, SJ, cet. XII (Jakarta: Obor, 2013), hlm.
521.
2
Georg Kirchberger, Allah Menggugat, Sebuah Dogma Kristiani (Maumere: Penerbit Ledalero, 2020), hlm. 393-
396.

1
Gereja sebagai Hot House berarti tempat perlindungan yang memberikan rasa aman dan
nyaman bagi semua orang yang berdiam di dalamnya. Konsep ini sudah ada sejak masa
perjanjian lama sebagaimana yang dirasakan oleh Adam dan Hawa serta para bapa bangsa. Di
mana mereka mendapatkan tempat dan bergerak untuk mencari suatu tempat perlindungan yang
aman dan nyaman (Kel, 21:13; Bil, 35:9-15; Ul, 4:41-43). Selain itu, konsep ini juga terdapat
dalam perjanjian baru sebagaimana yang terungkap dalam perumpamaan tentang orang Samaria
yang baik hati. Orang Samaria yang baik hati itu menggambarkan hospitalitas atau keramah-
tamahan manusia (Luk, 10:30-37). Pemahaman tentang tempat yang aman dan nyaman
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari interpretasi feminis tentang Gereja. Dari perspektif
feminis, Gereja dipahami sebagai komunitas Kristus, di mana semua orang diterima dan
mendapat rasa aman. Gereja adalah komunitas Kristus karena kehadiran Kristus melalui kuasa
Roh dan roh itu menaungi orang-orang yang berkumpul dalam nama Kristus (Mat, 18:20).
Letty M. Russell membeberkan empat petunjuk teknis tentang Hot House Ecclesiology di
antaranya adalah Roh dicurahkan atas wanita, kabar baik diberitakan wanita, keramahan yang
ditawarkan kepada wanita dan keadilan yang dibagikan oleh wanita. Pertama, Roh dicurahkan
ke atas wanita. Kisah lahirnya Gereja dalam Kisah Para Rasul menegaskan bahwa Roh Kudus itu
dicurahkan ke atas semua orang dari pelbagai bangsa tanpa membedakan jenis kelamin, usia dan
kelas sosial. Hal ini berarti rahmat Tuhan bersifat universal. Konsekuensinya, semua orang yang
masuk dalam keanggotaan Gereja mendapat rahmat yang sama dari Tuhan melalui Roh Kudus
baik laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian, setiap orang yang telah menerima rahmat
memiliki kemampuan untuk berpartisipasi dalam kehidupan menggereja. Kedua, kabar baik
diberitakan oleh para wanita. Pada zaman Yesus, para wanita diberi kesempatan untuk
mengambil bagian dalam mewartakan kabar sukacita, sebagaimana yang dilakukan oleh Maria
Magdalena ketika mengabarkan berita tentang kebangkitan Yesus kepada para rasul. Ada
banyak cara untuk memberitakan Injil baik secara verbal maupun melalui tindakan nyata. Ketiga,
keramahan yang ditawarkan kepada wanita. Keramahan adalah totalitas cinta dari Allah sendiri
yang dibagikan kepada sesama (Luk, 10:25-37). Sebagai perwujudan dari komunitas Hot House,
Gereja mesti menampilkan wajah yang ramah kepada semua orang khususnya kepada mereka
yang tertindas dan terpinggirkan. Empat, Keadilan yang dibagikan oleh perempuan. Keadilan
adalah tema yang akrab di dalam Alkitab karena Allah adalah sumber keadilan. Allah
menghendaki keadilan itu tumbuh di antara makhluk ciptaan-Nya baik itu antara manusia dan
sesamanya maupun manusia dengan alam ciptaan. Hal ini selaras dengan apa yang dijelaskan
dalam Kitab Nabi Amos 5:24: “Biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air, dan kebenaran
seperti sungai yang selalu mengalir”. Karunia untuk membagikan keadilan sejatinya dicurahkan
kepada semua pihak baik pria maupun wanita. Mereka memiliki tugas yang sama untuk
berpartisipasi aktif dalam menegakkan keadilan. Wanita perlu mendapat keadilan, kesetaraan dan
situasi yang memadai di dalam Gereja. Hal ini merupakan cara yang dilakukan Gereja agar
wanita dapat berpartisipasi secara aktif dalam mengupayakan keadilan kepada sesama khusunya
mereka yang terpinggirkan.
Penghayatan Model Gereja Hot House dalam Kehidupan Menggereja
Sejauh ini, kami melihat bahwa Gereja telah menjadi hot house atau rumah yang aman dan
nyaman bagi umatnya. Gereja menyadari bahwa pencurahan Roh itu bersifat universal kepada

2
semua anggota Gereja baik laki-laki maupun perempuan. Karena pencurahan Roh itu, semua
anggota Gereja memiliki hak dan kewajiban yang setara dalam mewartakan kabar suckacita
injili. Kabar sukacita itu diwartakan dengan cara membagi kasih atau keramahan dan
menggalakkan keadilan kepada mereka yang terpinggirkan.
Penghayatan model Gereja Hot House yang dijalankan Gereja selama ini menyata dalam
beberapa hal, seperti: (1) wanita mendapat kesempatan yang sama untuk berpartisipasi aktif
dalam kehidupan menggereja. Misalnya: ada begitu banyak wanita yang menjadi ketua dalam
Kelompok Basis dan menjadi anggota Dewan Pastoral Paroki. (2) Wanita diberikan kesempatan
yang luas untuk mengupayakan keadilan. Misalnya: karya nyata yang dilakukan suster
Laurentina, PI dalam mengadvokasi korban human trafficking di Kupang-NTT, gerakan para
suster SSpS melalui lembaga TRUK-F yang dipimpin oleh Sr. Eusthocia dalam mengadvokasi
persoalan yang dihadapi oleh perempuan dan anak.3
Tanggapan Kelompok
Dari berbagai uraian di atas, kami hendak menyoroti beberapa hal:
1. Kami melihat bahwa Gereja telah berikhtiar untuk menampakkan diri sebagai rumah
yang aman dan nyaman atau dalam istilah Rusell hot house bagi semua orang.
2. Gereja telah memberikan kesempatan kepada semua pihak baik laki-laki maupun
perempuan untuk berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan menggerja entah itu dalam
tugas pelayanan, pewartaan maupun upaya memperjuangkan keadilan.
3. Dalam kiprahnya Gereja terus berjuang untuk menjadi garam dan terang dunia misalnya
dengan mendobrak sistem budaya dan pola pikir masyarakat tradisional yang cenderung
diskrimantif terhadap perempuan.
Penutup
Hot house adalah salah satu dari banyak visi tentang bagaimana “menjadi Gereja” di
mana ada kesetaraan dan kondisi yang aman serta nyaman bagi semua anggotanya. Hot house itu
sendiri menampilkan suatu model Gereja yang melibatkan semua golongan termasuk perempuan
dan anak-anak dalam menjalankan tugas pewartaan, pelayanan dan juga perjuangan untuk
menegakkan keadilan.
Referensi
Konsili Vatikan II. Dokumen Konsili Vatikan II. Penerj. R. Hardawirayana, SJ, cet. XII. Jakarta:
Obor, 2013.
Kirchberger, Georg. Allah Menggugat, Sebuah Dogma Kristiani. Maumere: Penerbit Ledalero,
2020.
Matatula, Imanuel Rymaldi. “Peduli Korban Human Traficking, Suster Laurentina dujuluki
Suster Kargo.” Medcom.id. https://www.medcom.id/nasional/peristiwa/GNGAV4jk-
peduli-korban-human-trafficking-sr-laurentina-dijuluki-suster-kargo, diakses pada 14
Maret 2023.

3
Imanuel Rymaldi Matatula, “Peduli Korban Human Traficking, Suster Laurentina dujuluki Suster Kargo”, dalam
Medcom.id, https://www.medcom.id/nasional/peristiwa/GNGAV4jk-peduli-korban-human-trafficking-sr-laurentina-
dijuluki-suster-kargo, diakses pada 14 Maret 2023.

Anda mungkin juga menyukai